Oleh : Syaikh
Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam, semoga
senantiasa dilimpahkan kepada nabi kita Nabi Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya.
Amma ba’du
Amma ba’du
Berikut ini adalah untaian nasehat yang ditujukan kepada generasi muda Ahlis
Sunnah wal Jama’ah, yang dituliskan dalam rangka andil dalam menunaikan
kewajiban menasehati kaum muslimin, dan mendamaikan antara Ahlis Sunnah,
sebagaimana yang dianjurkan dalam banyak dalil.
Yang
mendorong saya merangkaikan nasehat ini, adalah fenomena yang dialami oleh
banyak pemuda salafiyyin, di berbagai negri islam, dan bahkan di negri-negri
non islam, yang dihuni oleh minoritas islam, yaitu berupa perpecahan yang
besar. Perpecahan yang disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat dalam beberapa
masalah ilmiyyah, dan sikap-sikap kongkrit dalam menghadapi sebagian orang yang
berseberangan (pendapat). Fenomena ini telah menghambat laju perjuangan dakwah
menuju As Sunnah, dan bahkan menghalangi sebagian orang untuk mengikutinya.
Padahal sebelumnya masyarakat umum diberbagai daerah dan negri,
berbondong-bondong untuk mendalaminya.
Saya akan ringkaskan nasehat ini dalam
beberapa poin berikut, dengan disertai harapan kepada Allah, agar melimpahkan
kepadaku keikhlasan niat, dan kebenaran dalam ucapan, serta memberikan manfaat
kepada setiap orang muslim yang membacanya.
Pertama.
Adalah termasuk salah satu prinsip yang ditetapkan dalam agama Islam, bahwa
setiap orang muslim sebelum ia menyibukkan dirinya dengan (kekurangan) orang
lain, hendaknya berusaha dengan sungguh-sungguh, membenahi diri, berupaya
merealisasikan keselamatan, dan menjauhkan segala hal yang akan menyebabkan
kebinasaan terhadap dirinya.
Sebagaimana firman Allah
Sebagaimana firman Allah
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ
وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Artinya : Demi masa, sesungguhnya
manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman, dan mengerjakan amal saleh, dan nasehat- menasehati supaya menetapi
kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran”. [Al Ashr 1-3]
Allah memberitakan tentang orang-orang
yang akan selamat dari kerugian, yaitu orang-orang yang terwujud pada dirinya
perangai-perangai tersebut. Allah menyebutkan, bahwa mereka merealisasikan pada
diri mereka keimanan, dan amal sholeh terlebih dahulu, sebelum mereka
mendakwahi orang lain. Dakwah dengan nasehat-menasehati supaya menetapi
kebenaran, dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran. Sehingga ayat-ayat
ini benar-benar telah menetapkan permasalahan ini.
Dan Allah sungguh telah mencela Bani
Isra’il, dikarenakan mereka menyelisihi prinsip ini, yaitu dengan berfirman
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ
أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Artinya : Mengapa kamu suruh orang lain
(mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri,
padahal kamu membaca Alkitab (Taurat) Maka tidakkah kamu berpikir?”.[Al-Baqarah
:44]
Oleh
karena itu, hendaklah setiap pemuda senantiasa membenahi dirinya sendiri,
sebelum berusaha membenahi orang lain, dan tatkala dirinya telah mencapai
istiqomah (dalam kebaikan), kemudian ia menyatukan antara penerapan ajaran
agama pada dirinya dengan perjuangan mendakwahi orang lain, maka ia benar-benar
telah meniti metode dan petunjuk ulama?salaf, dan Allah akan melimpahkan
kemanfaatan dari (dakwah) nya. Dengan demikian mereka adalah para da’i menuju
kepada As Sunnah, melalui ucapan dan perilakunya. Dan sungguh demi Allah,
metode ini merupakan kedudukan paling agung, yang bila seseorang telah berhasil
mencapainya, maka ia termasuk hamba Allah yang paling baik kedudukannya pada
hari kiyamat.
Allah Ta’ala berfirman.
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى
اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Artinya : Siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang
saleh dan berkata : “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”
[Fush-Shilat :33]
Kedua.
Hendaknya diketahui, bahwa yang benar-benar dikatakan sebagai Ahlis Sunnah
adalah mereka yang menjalankan dengan sempurna (ajaran) agama islam, baik
secara idiologi, ataupun perilaku.
Dan merupakan kekurang pahaman, bila yang dianggap sebagai Ahlis Sunnah atau seorang Salafy, adalah orang yang merealisasikan Aqidah Ahlis Sunnah semata, tanpa memperdulikan segi perilaku, adab-adab yang sesuai dengan ajaran islam, dan menunaikan hak-hak sesama muslim.
Dan merupakan kekurang pahaman, bila yang dianggap sebagai Ahlis Sunnah atau seorang Salafy, adalah orang yang merealisasikan Aqidah Ahlis Sunnah semata, tanpa memperdulikan segi perilaku, adab-adab yang sesuai dengan ajaran islam, dan menunaikan hak-hak sesama muslim.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pada akhir
kitab Al-Aqidah Al Wasithiyyah berkata: ” …Kemudian mereka (Ahlis Sunnah wal
Jama’ah), selain merealisasikan prinsip-prinsip ini: Saling memerintahkan
dengan yang baik, dan melarang dari yang mungkar, sesuai yang diajarkan dalam
syar’at. Mereka menganjurkan untuk menunaikan ibadah haji, berjihad, mendirikan
sholat jum’at, sholat ‘Ied, bersama para pemimpin, baik mereka adalah pemimpin
yang baik (adil) ataupun pemimpin yang jahat. Mereka senantiasa menegakkan sholat
berjama’ah, menjalankan tanggung jawab memberikan nasehat kepada ummat”
Mereka juga senantiasa meyakini makna
sabda Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam : (yang artinya) : Permisalan (peran)
Seorang mukmin terhadap seorang mukmin lain, bagaikan sebuah bangunan yang
kokoh, yang sebagiannya menopang (menguatkan) sebagian lainnya”.
Tatkala ditimpa cobaan (kesusahan),
mereka saling memerintahkan supaya menetapi kesabaran, dan tatkala mendapatkan
kelapangan, saling memerintahkan untuk bersyukur, dan tatkala ditimpa takdir
yang pahit, mereka saling memerintahkan untuk berlapang dada. Mereka senantiasa
menyeru kepada akhlaq-akhlaq mulia, dan amal-amal terpuji. Mereka juga meyakini
makna sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya) : Orang mukmin
yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang paling baik akhlaqnya”
Mereka
senantiasa menganjurkan, agar engkau menyambung (hubungan dengan) orang yang
memutuskan hubungan denganmu, dan memberi orang yang enggan memberimu,
memaafkan orang yang menzalimimu. Mereka juga saling memerintahkan untuk
senantiasa berbakti kepada kedua orang tua, juga untuk bersilaturahmi, berbuat
baik kepada tetangga.
Mereka
juga senantiasa melarang dari perangai berbangga diri, sombong, melampaui
batas, melanggar hak orang lain, baik dengan alasan yang dibenarkan atau tidak.
Mereka senantiasa memerintahkan agar
komitmen dan menjaga akhlaq terpuji dan mencegah dari akhlaq tercela.
Dan setiap hal yang mereka ucapkan dan
lakukan, baik dari hal-hal tersebut diatas, atau lainnya, mereka senantiasa
mengikuti Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah, dan jalan hidup mereka adalah
agama islam yang dengannya Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam?
Ketiga.
Diantara tujuan agung yang dianjurkan agama islam (untuk dicapai), ialah ;
menunjuki manusia untuk menganut agama ini, sebagaimana disabdakan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala beliau mengutus sahabat Ali ke Khaibar
(yaitu pada saat perang Khaibar) (yang artinya) :Seandainya Allah memberi
petunjuk denganmu seseorang saja, itu lebih baik bagimu dibanding (memiliki)
unta merah” [HR Bukhory No: 4210, dan Muslim 2406].
Oleh sebab itu, orang-orang yang telah mendapat karunia dari Allah, berupa hidayah (petunjuk) kepada (mengamalkan) As Sunnah, hendaknya bersungguh-sungguh dalam mendakwahi orang yang masih tersesat dari As Sunnah, atau kurang perhatian dengannya. Mendakwahi mereka agar benar-benar merealisasikan As Sunnah. Hendaknya mereka menempuh segala daya dan upaya yang dapat ia lakukan, dalam menuntun manusia dan mendekatkan pintu hati mereka agar menerima kebenaran.
Oleh sebab itu, orang-orang yang telah mendapat karunia dari Allah, berupa hidayah (petunjuk) kepada (mengamalkan) As Sunnah, hendaknya bersungguh-sungguh dalam mendakwahi orang yang masih tersesat dari As Sunnah, atau kurang perhatian dengannya. Mendakwahi mereka agar benar-benar merealisasikan As Sunnah. Hendaknya mereka menempuh segala daya dan upaya yang dapat ia lakukan, dalam menuntun manusia dan mendekatkan pintu hati mereka agar menerima kebenaran.
Hal itu dengan cara mendakwahi mereka
dengan lemah lembut, sebagaimana firman Allah tatkala berbincang-bincang kepada
Nabi Musa dan Harun :
اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
“Artinya: Pergilah kamu berdua kepada
Fir’aun, sesungguhnya dia telah malampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua
kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut” [Thaha : 43-44]
Hendaknya mereka memanggilnya dengan
julukan-julukan yang sesuai dengan kedudukannya. Sebagaimana dahulu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menulis surat kepada Hiraql, dengan
bersabda (yang artinya) : Kepada Hiraql, Pemimpin Romawi”
Beliau juga memberikan
kunyyah kepada Abdillah bin Saba dengan Abil Habbab
Dan
hendaknya mereka juga senantiasa bersabar dalam menghadapi kekerasan sikap
orang yang didakwahi, dan membalasnya dengan perilaku baik, dan janganlah
menuntut mereka untuk segera menerima kebenaran? Allah berfirman:
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ
“Artinya:
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari
rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi
mereka”[Al-Ahqaaf : 35]
Keempat.
Hendaknya para pelajar (Tholabatul Ilmi), terutama para da’i, dapat membedakan
antara Al Mudarah dan Al Mudahanah. Karena Al Mudarah adalah suatu hal yang
dianjurkan, yaitu : sikap lemah lembut dalam pergaulan, sebagaimana disebutkan
dalam kitab Lisanul Arab, bersikap Mudarah terhadap orang lain adalah dengan
beramah-tamah kepada mereka, berhubungan dengan cara yang baik, dan bersabar
menghadapi gangguan mereka, agar mereka tidak menjauh darimu. Sedangkan Al
Mudahanah (menjilat) adalah sikap tercela, yaitu sikap (mengorbankan) agama,
Allah berfirman :
وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ
“Artinya
: Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap
lunak (pula kepadamu). [Al Qolam : 9].
Al Hasan Al Bashry menafsirkan makna ayat
ini dengan berkata: “Mereka menginginkan agar engkau berpura-pura dihadapan
mereka, sehingga mereka juga akan berpura-pura pula dihadapanmu” [Tafsir Al
Baghowy 4/377].
Dengan demikian, orang yang bersikap
mudarah akan berlemah lembut dalam pergaulan, tanpa meninggalkan sedikitpun
dari prinsip agamanya, sedangkan orang yang bersikap mudahin, ia akan berusaha
menarik simpati orang lain dengan cara meninggalkan sebagian prinsip agamanya.
Sungguh dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, merupakan figur paling baik akhlaqnya, dan paling lemah lembut
terhadap umatnya, dan ini sebagai perwujudan sisi lemah lembut, dan ramah tamah
dari perangai beliau. Di sisi lain, beliau adalah orang paling kuat dalam
(mengemban) agama Allah, sehingga beliau tidak akan meninggalkan prinsip agama,
barang satupun, walau dihadapan siapapun, dan ini adalah perwujudan sisi keteguhan
hati beliau dalam mengemban (prinsip-prinsip) agama. Dan sisi perangai beliau
ini sangat bertentangan dengan sikap mudahanah (menjilat).
Hendaknya para pelajar, memperhatikan
perbedaan antara kedua perangai ini, karena sebagian orang beranggapan, bahwa
bersikap ramah-tamah kepada orang lain, dan berlemah lembut, sebagai tanda
lemah dan luluh dalam (mengemban perintah) agama. Disaat yang lain, ada yang
beranggapan bahwa: sikap membiarkan orang lain dalam kebatilan, dan berdiam
diri tatkala melihat kesalahan, adalah bagian dari sikap ramah-tamah (Ar
Rifqu). Sudah barang tentu kedua kelompok (anggapan) ini adalah, salah, dan
tersesat dari kebenaran. Hendaknya hal ini benar-benar diperhatikan dengan
baik, karena kesalah pahaman pada permasalahan ini, sangat berbahaya, dan tiada
yang dapat terlindung darinya, kecuali orang-orang yang mendapatkan taufiq
(bimbingan) dan petunjuk dari Allah.
Kelima.
Seorang juru dakwah, dalam berdakwah kepada manusia, memiliki dua metode yang
diajarkan dalam syari’at, sebagaimana yang disebutkan dalam banyak dalil,
yaitu: metode menarik simpati dan targhib (menganjurkan), dan metode hajer
(memboikot/menjauhi) dan mengancam. Sehingga salah bila seseorang bersikap
monoton (hanya menerapkan satu metode) kepada setiap orang.
Akan tetapi hendaknya ditempuh metode yang paling berguna dan sesuai dengan masing-masing pelanggar (orang yang menyeleweng), sehingga lebih besar harapan untuk ia dapat menerima kebenaran, dan kembali kepada jalan yang lurus. Apabila dengan metode menarik simpati-lah yang lebih bermanfaat, dan lebih besar harapannya bila diterapkan kepada seorang pelanggar, agar ia menjadi baik, maka metode inilah yang disyari’atkan (dibenarkan) dalam menghadapi orang tersebut. Begitu juga sebaliknya, bila metode hajer (memboikot) lebih berguna bila diterapkan kepadanya, maka metode inilah yang disyari’atkan.
Akan tetapi hendaknya ditempuh metode yang paling berguna dan sesuai dengan masing-masing pelanggar (orang yang menyeleweng), sehingga lebih besar harapan untuk ia dapat menerima kebenaran, dan kembali kepada jalan yang lurus. Apabila dengan metode menarik simpati-lah yang lebih bermanfaat, dan lebih besar harapannya bila diterapkan kepada seorang pelanggar, agar ia menjadi baik, maka metode inilah yang disyari’atkan (dibenarkan) dalam menghadapi orang tersebut. Begitu juga sebaliknya, bila metode hajer (memboikot) lebih berguna bila diterapkan kepadanya, maka metode inilah yang disyari’atkan.
Kesimpulannya: Barang siapa yang menerapkan
metode menarik simpati, terhadap orang yang selayaknya dihajer (diboikot), maka
ia telah bertindak gegabah dan lalai. Dan barang siapa yang menerapkan metode
hajer (boikot) terhadap orang yang selayaknya ditarik simpatinya, maka ia telah
berlaku munaffir (menjadikan orang lain lari) dan ekstrim.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
(Syari’at) menghajer, berbeda-beda sejalan dengan perbedaan orang yang
menerapkannya, dipandang dari kuat, tidaknya, dan sedikit, banyaknya jumlah
mereka; karena tujuan dari (penerapan) hajer (boikot) adalah menghardik orang
yang dihajer (diboikot), memberi pelajaran kepadanya, dan agar masyarakat umum
meninggalkan kesalahan tersebut.
Sehingga apabila manfaat dan kemaslahatan
yang dipetik dari sikap hajer (boikot) lebih besar (dibanding dengan
kerugiannya), sehingga dengan ia diboikot, kejelekan menjadi melemah, dan
sirna, maka pada saat itulah hajer (boikot) disyariatkan.
Akan tetapi bila orang yang diboikot, dan
orang lainnya tidak menjadi jera, bahkan kejelekannya semakin bertambah,
sedangkan pelaku hajer (boikot) kedudukannya lemah, sehingga kerugian yang
ditimbulkan lebih besar dibanding maslahatnya, maka pada keadaan yang demikian
ini, tidak disyariatkan hajer (boikot).
Bahkan menarik simpati sebagian orang itu
lebih berguna dibanding memboikotnya, dan memboikot sebagian lainnya, lebih
berguna dibanding menarik simpatinya. Oleh karena itu, dahulu Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menarik simpati sebagian orang, dan memboikot sebagian
lainnya? Yang demikian ini, sebagaimana halnya menghadapi musuh, kadang kala
disyariatkan peperangan, dan kadang kala perdamaian, dan kadang kala dengan
cara mengambil jizyah (upeti), semua itu disesuaikan dengan situasi dan
kemaslahatan.
Jawaban para imam, seperti imam Ahmad dan
lainnya, tentang permasalahan ini, didasari oleh prinsip tersebut” [Majmu’
Fatawa 28/206].
Beliau menjelaskan kesalahan orang yang
menyama ratakan dalam menerapkan hajer (boikot) atau menarik simpati, tanpa
memperhatikan prinsip tersebut diatas, dengan berkata: “Sesungguhnya sebagian
orang menjadikan hal tersebut (hajer atau menarik simpati) sebagai suatu
keumuman, sehingga mereka menghajer atau mengingkari orang yang tidak
disyariatkan, tidak diwajibkan dan juga tidak disunnahkan. Dan mungkin saja
dikarenakan kesalahan ini, menyebabkannya meninggalkan hal-hal yang diwajibkan
atau disunnahkan, dan akibatnya ia melanggar hal-hal yang diharamkan.
Dan disisi lain ada sebagian orang yang
berpaling dari itu semua, sehingga ia enggan untuk membaoikot (menjauhi)
sesuatu yang diperintahkan untuk diboikot (dijauhi), yaitu berupa hal-hal buruk
lagi bid’ah” [Majmu’ Fatawa 28/213].
Keenam.
Sepantasnya setiap orang yang hendak menerapkan masalah hajer (boikot) untuk
memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam syari’at, yang telah digariskan oleh
para ulama?yang berkompeten dalam hal ini. Sehingga melalui ketentuan-ketentuan
tersebut benar-benar terbedakan dengan jelas, antara pelaku kesalahan yang
disyari’atkan (layak) untuk diboikot dari orang yang tidak layak.
Ketentuan-ketentuan tersebut, diantaranya, ialah :
1. Yang Berkaitan Dengan Pemboikot.
1. Yang Berkaitan Dengan Pemboikot.
Yaitu hendaknya orang yang kuat, memiliki pengaruh, sehingga pemboikotan yang
ia lakukan menimbulkan pengaruh, yang berupa teguran terhadap pelaku kesalahan.
Adapun bila pemboikot adalah orang yang lemah, maka boikot yang ia lakukan
tidak akan membuahkan hasilnya
Ketentuan ini berlaku bila tujuan pemboikotan adalah untuk memberikan pelajaran kepada pelaku kesalahan.
Ketentuan ini berlaku bila tujuan pemboikotan adalah untuk memberikan pelajaran kepada pelaku kesalahan.
Adapun bila tujuannya ialah demi menjaga
kemaslahatan pemboikot, yaitu karena ditakutkan akan timbul kerusakan dalam
urusan agamanya, bila ia bergaul dengan pelaku kesalahan, maka ia dibenarkan
untuk memboikot setiap orang yang akan mendatangkan kerugian baginya, bila ia
bergaul atau duduk-duduk dengannya.
Yang demikian ini, dikarenakan hajer
(boikot) disyariatkan demi mencapai kemaslahatan pemboikot, yaitu dengan cara
memboikot setiap orang yang bila ia bergaul dengannya akan merusak agamanya,
Sebagaimana disyariatkan demi mencapai kemaslahatan orang yang diboikot, yaitu
dengan cara memboikot pelaku kesalahan, yang diharapkan akan mendapat
pelajaran, bila diboikot.
Dan hajer (boikot) juga disyariatkan,
demi mencapai kemaslahatan masyarakat banyak, yaitu dengan cara memboikot
sebagian pelaku kesalahan, sehingga masyarakat, menjadi jera dan takut untuk
melakukan perbuatan seperti perbuatan mereka. Dan banyak dalil yang menunjukkan
setiap macam dari ketiga jenis pemboikotan ini.
2. Yang Berkaitan Dengan Orang Yang
Diboikot.
Yaitu apabila ia akan mendapatkan manfaat dengan terjadinya pemboikotan atas
dirinya, sehingga ia terpengaruh dan kembali kepada kebenaran. Adapun bila
tidak mendapatkan manfaat dengannya, bahkan kadang kala semakin bertambah jauh
dan menentang, maka tidak disyariatkan untuk memboikotnya. Dan hal ini bisa
saja kembalinya kepada tabi’at yang dimiliki oleh sebagian orang; kuat, keras,
dan enggan untuk tunduk kepada orang lain, walau tabiat ini akan menjadikannya
binasa. Nah orang semacam ini tidak akan mendapatkan pelajaran dari hukuman,
dan boikot, akan tetapi kadang kala dapat dipengaruhi dengan cara menarik
simpati, dan sikap ramah tamah.
Ada kalanya yang menyebabkan ia tidak mendapatkan manfaat dari pemboikotan adalah adanya kendala-kendala lain, misalnya, karena ia adalah seorang pemimpin, atau kaya raya, atau orang yang memiliki kedudukan sosial di masyarakat. Orang-orang semacam mereka, biasanya tidak akan berguna bila diboikot, karena mereka biasanya merasa tidak butuh terhadap orang yang memboikotnya. Oleh karena itu dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menarik simpati para pemimpin yang ditaati dikaumnya, begitu juga pemuka masyarakat, seperti halnya Abu Sufyan, ‘Uyainah bin Hishn, Al Aqra’bin Habis, dan yang serupa dengan mereka.
Ada kalanya yang menyebabkan ia tidak mendapatkan manfaat dari pemboikotan adalah adanya kendala-kendala lain, misalnya, karena ia adalah seorang pemimpin, atau kaya raya, atau orang yang memiliki kedudukan sosial di masyarakat. Orang-orang semacam mereka, biasanya tidak akan berguna bila diboikot, karena mereka biasanya merasa tidak butuh terhadap orang yang memboikotnya. Oleh karena itu dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menarik simpati para pemimpin yang ditaati dikaumnya, begitu juga pemuka masyarakat, seperti halnya Abu Sufyan, ‘Uyainah bin Hishn, Al Aqra’bin Habis, dan yang serupa dengan mereka.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Oleh karena itu, dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menarik perhatian
sebagian orang, dan memboikot sebagaian lainnya, sebagaimana halnya tiga orang
sahabat yang tidak ikut (dalam perang Tabuk), ketiga-tiganya lebih baik bila
dibanding kebanyakan orang-orang yang ditarik perhatiannya. Hal ini dikarenakan
mereka (orang-orang yang ditarik perhatiannya) adalah para pemimpin, lagi
ditaati di kabilah masing-masing”. [Majmu’ Fatawa 28/206]
3. Yang Berkaitan Dengan Jenis
Pelanggaran.
Tidak ada jenis pelanggaran yang dapat dikatakan : bahwa pelakunya selalu
diboikot, dalam situasi apapun, atau selalu tidak diboikot, dalam situasi
apapun. Sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa setiap perbuatan bid’ah pasti
diboikot, sedangkan perbuatan maksiat, tidak, atau bid’ah mukaffirah (yang
menyebabkan pelakunya diklaim kafir) diboikot, sedang selainnya tidak, atau
dosa-dosa besar diboikot, sedang dosa-dosa kecil tidak.
Yang benar adalah, disyariatkan memboikot setiap (pelaku) kesalahan, walaupun kecil, apabila ia adalah orang yang layak untuk dihajer (diboikot) dan ia akan mendapatkan manfaat dengannya. Dengan demikian yang menjadi inti permasalahan dalam hal ini ialah; apakah pelaku pelanggaran tersebut mendapatkan manfaat dari pemboikotan atau tidak, tanpa memperhatikan besar kecilnya pelanggaran. Sehingga mungkin saja seorang yang sholeh, pengagung As Sunnah, diboikot, hanya karena kesalahan kecil, sebagaimana halnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memboikot sebagian sahabatnya, karena sebagian pelanggaran kecil. Sebagai contoh, beliau memboikot ‘Ammar bin Yasir Radhiyallahu ‘anhu tatkala menggunakan minyak za’faran. [HR Abu Dawud dalam kitab As Sunnan 5/8], dan beliau tidak menjawab ucapan salam seorang sahabat yang memiliki kubah, hingga ia menghancurkannya. [HR Abu Dawud, 5/402].
Yang benar adalah, disyariatkan memboikot setiap (pelaku) kesalahan, walaupun kecil, apabila ia adalah orang yang layak untuk dihajer (diboikot) dan ia akan mendapatkan manfaat dengannya. Dengan demikian yang menjadi inti permasalahan dalam hal ini ialah; apakah pelaku pelanggaran tersebut mendapatkan manfaat dari pemboikotan atau tidak, tanpa memperhatikan besar kecilnya pelanggaran. Sehingga mungkin saja seorang yang sholeh, pengagung As Sunnah, diboikot, hanya karena kesalahan kecil, sebagaimana halnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memboikot sebagian sahabatnya, karena sebagian pelanggaran kecil. Sebagai contoh, beliau memboikot ‘Ammar bin Yasir Radhiyallahu ‘anhu tatkala menggunakan minyak za’faran. [HR Abu Dawud dalam kitab As Sunnan 5/8], dan beliau tidak menjawab ucapan salam seorang sahabat yang memiliki kubah, hingga ia menghancurkannya. [HR Abu Dawud, 5/402].
Dan kadang kala tidak disyariatkan
memboikot sebagian pelaku pelanggaran besar, yang tingkat kesholehan pelakunya
jauh dibawah orang-orang yang diboikot. Sebagai contoh Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menarik simpati Al Aqra’ bin Habis, ‘Uyainah bin Hishn, bahkan beliau
menarik simpati sebagian orang munafiqin, semacam Abdullah bin Ubai, dan yang
serupa dengannya. Semua ini sesuai dengan kemaslahatan dan mempertimbangkan
ketentuan-ketentuan lain dalam masalah pemboikotan.
4. Yang Berkaitan Dengan Waktu Dan Tempat
Terjadinya Pelanggaran
Hendaknya dibedakan antara tempat dan waktu yang banyak terjadi pelanggaran dan
kemungkaran, sehingga pelakunya memiliki kekuatan, dengan tempat dan waktu yang
jarang terjadi pelanggaran, sehingga kekuatan pelakunya lemah.
Sehingga apabila kekuatan diwaktu dan tempat tersebut berada ditangan Ahli Sunnah, maka disyariatkan untukmenghajer (memboikot), tentunya dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan lainnya, disebabkan pelaku pelanggaran dalam keadaan lemah, sehingga ia akan menjadi jera dengan pemboikotan tersebut. Sebagaimana firmankan tentang kisah sahabat Ka’ab bin Malik dan kedua kawannya:
Sehingga apabila kekuatan diwaktu dan tempat tersebut berada ditangan Ahli Sunnah, maka disyariatkan untukmenghajer (memboikot), tentunya dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan lainnya, disebabkan pelaku pelanggaran dalam keadaan lemah, sehingga ia akan menjadi jera dengan pemboikotan tersebut. Sebagaimana firmankan tentang kisah sahabat Ka’ab bin Malik dan kedua kawannya:
حَتَّىٰ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ
بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ
مِنَ اللَّهِ إِلَّا
“Artinya: Hingga apabila bumi telah
menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah
sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada
tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. [At-Taubah : 118]
Sebagaimana teguran dan pendidikan,
berhasil dicapai melalui pemboikotan sahabat Umar bin Khotthab beserta seluruh
ummat, terhadap Shobigh bin ‘Asal, sebagaimana telah diketahui bersama.
Adapun apabila kekuatan pada suatu waktu
dan tempat berada ditangan orang-orang jahat, dan penjaja kebatilan, maka tidak
disyari’atkan pemboikotan ; -kecuali pada momen-momen tertentu- karena
pemboikotan pada saat seperti ini tidak akan dapat merealisasikan tujuannya,
berupa pendidikan, dan teguran, bahkan dimungkinkan orang-orang yang berpegang
teguh dengan kebenaran akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
“Oleh karena itu hendaknya dibedakan antara tempat-tempat yang banyak terjadi
praktek-praktek bid’ah, sebagaimana halnya yang terjadi di kota Bashrah banyak
orang-orang yang mengingkari taqdir (Qodariyah), di kota Khurasan banyak ahli
nujum, dan di kota Kufah banyak orang-orang Syi’ah, dengan tempat-tempat yang
tidak demikian halnya. Dan hendaknya dibedakan antara para pemimpin yang
memiliki pengikut, dengan lainnya. Dan apabila telah diketahui tujuan syari’at,
maka hendaknya ditempuh jalan tercepat untuk mencapai tujuan tersebut”
[Majmu’Fatawa 28/206-207]
5. Yang Berkaitan Dengan Masa
Pemboikotan.
Hendaknya masa pemboikotan disesuaikan dengan keadaan pelaku pelanggaran dan
jenis pelanggaran, karena ada orang-orang yang sudah jera bila diboikot selama
satu hari, dua hari , satu bulan atau dua bulan, dan ada orang-orang yang butuh
waktu lebih lama. Dan apabila tujuan pemboikotan telah tercapai, maka harus
dihentikan, karena kalu tidak, yang terjadi adalah rasa putus asa dan putus
harapan. Sebaliknya, bila masa pemboikotan kurang dari yang selazimnya, maka
tidak akan ada gunanya.
Tatkala Ibnu Qayyim menyebutkan faedah-faedah yang dapat disimpulkan dari kisah pemboikotan NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sahabat Ka’ab bin Malik dan kedua kawannya, beliau berkata: “Dalam kisah ini terdapat dalil bahwa pemboikotan seorang pemimpin, atau ulama’ atau pemuka masyarakat, terhadap orang yang melakukan suatu pelanggaran yang mengharuskan untuk dicela (diboikot). Hendaknya pemboikotan tersebut merupakan obat, yaitu dengan cara yang dapat merealisasikan perbaikan (penyembuhan), dan tidak berlebih, baik dalam jumlah atau metode, sehingga dapat membinasakan orang tersebut, karena tujuannya (pemboikotan) adalah untuk memberikan pendidikan, bukan membinasakan” [Zad Al Ma’ad 3/20]
Tatkala Ibnu Qayyim menyebutkan faedah-faedah yang dapat disimpulkan dari kisah pemboikotan NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sahabat Ka’ab bin Malik dan kedua kawannya, beliau berkata: “Dalam kisah ini terdapat dalil bahwa pemboikotan seorang pemimpin, atau ulama’ atau pemuka masyarakat, terhadap orang yang melakukan suatu pelanggaran yang mengharuskan untuk dicela (diboikot). Hendaknya pemboikotan tersebut merupakan obat, yaitu dengan cara yang dapat merealisasikan perbaikan (penyembuhan), dan tidak berlebih, baik dalam jumlah atau metode, sehingga dapat membinasakan orang tersebut, karena tujuannya (pemboikotan) adalah untuk memberikan pendidikan, bukan membinasakan” [Zad Al Ma’ad 3/20]
Ketujuh
:
Mengingkari pelaku pelanggaran, dan membantahnya, dalam rangka menunaikan
kewajiban menasehati orang tersebut, dan menjaga masyarakat dari kesalahannya,
adalah salah satu prinsip baku Ahlis Sunnah, bahkan hal ini termasuk macam
jihad paling mulia. Akan tetapi, harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam
syari’at, dan syarat-syarat yang telah ditetapkan, sehingga dengan cara ini,
dapat dicapai tujuan syar’at dari pengingkaran dan bantahan tersebut. Diantara
ketentuan dan syarat tersebut, ialah:
1. Hendaknya pengingkaran tersebut dilakukan dengan penuh rasa ikhlas, niat yang jujur lagi murni hanya karena ingin memperjuangkan kebenaran. Diantara konsekwensi keikhlasan dalam hal ini, ialah: Ia senang bila pelaku pelanggaran mendapatkan petunjuk, dan kembali kepada kebenaran, dan ia menempuh segala usaha yang dapat ia lakukan, agar hati pelaku pelanggaran tersebut dapat terbuka, bukan malah menjadikannya semakin jauh. Dan hendaknya ia berdoa secara khusus untuk orang tersebut, agar Allah memberi petunjuk kepadanya, apabila ia dari kalangan Ahli Sunnah, atau selain mereka. Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu mendoakan sebagian orang kafir, agar mendapat petunjuk, maka bagaimana halnya bila ia dari kalangan kaum muslimin yang bertauhid (tentu lebih pantas untuk didoakan).
1. Hendaknya pengingkaran tersebut dilakukan dengan penuh rasa ikhlas, niat yang jujur lagi murni hanya karena ingin memperjuangkan kebenaran. Diantara konsekwensi keikhlasan dalam hal ini, ialah: Ia senang bila pelaku pelanggaran mendapatkan petunjuk, dan kembali kepada kebenaran, dan ia menempuh segala usaha yang dapat ia lakukan, agar hati pelaku pelanggaran tersebut dapat terbuka, bukan malah menjadikannya semakin jauh. Dan hendaknya ia berdoa secara khusus untuk orang tersebut, agar Allah memberi petunjuk kepadanya, apabila ia dari kalangan Ahli Sunnah, atau selain mereka. Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu mendoakan sebagian orang kafir, agar mendapat petunjuk, maka bagaimana halnya bila ia dari kalangan kaum muslimin yang bertauhid (tentu lebih pantas untuk didoakan).
2. Hendaknya bantahan terhadap orang
tersebut dilakukan oleh seorang ulama’ yang benar-benar telah mendalam ilmunya,
sehingga ia menguasai dengan detail, segala sudut pandang dalam permasalahan
tersebut, yaitu, yang berkaitan dengan dalil-dalil syari’at, keterangan para
ulama’ dalam masalah tersebut, dan sejauh mana tingkat penyelewengan pelanggar
tersebut. Dan juga sumber munculnya syubhat pada orang itu, dan keterangan para
ulama’ seputar cara mematahkan syubhat tersebut, serta mengambil pelajaran dari
keterangan mereka dalam hal ini.
Hendaknya orang yang membantah memiliki
kriteria: dapat mengemukakan dalil-dalil yang kuat ketika mengemukakan
kebenaran, dan mematahkan syubhat, ungkapan-ungkapan yang detail, agar tidak
nampak, atau dipahami dari perkataannya suatu kesimpulan yang tidak sesuai
dengan yang ia inginkan. Karena bila orang yang membantah tidak memiliki
kriteria ini, niscaya yang terjadi adalah kerusakan besar.
3. Hendaknya tatkala membantah,
diperhatikan perbedaan tingkat pelanggaran, kedudukan baik dari segi agama
ataupun sosial yang ada pada orang-orang tersebut. Begitu juga motivasi
pelanggaran, apakah karena kebodohan, atau hawa nafsu dan keinginan untuk
berbuat bid’ah, atau ungkapannya yang kurang baik, atau salah mengucap, atau
terpengaruh oleh seorang guru atau lingkungan masyarakatnya, atau karena
memiliki takwil, atau tujuan-tujuan lain yang ada pada pelanggaran terhadap
syari’at.
Barang siapa membantah pelaku
pelanggaran, dengan tidak memperdulikan dan tidak memperhatikan terhadap
perbedaan-perbedaan ini, niscaya ia akan terjerumus kedalam tindak ekstrim
(berlebih-lebihan) atau sebaliknya (kelalaian), yang akan menjadikan
perkataannya tidak atau kurang berguna.
4. Hendaknya tatkala membantah,
senantiasa berusaha mewujudkan maslahat (tujuan) syari’at dari tindakan
tersebut. Sehingga apabila tindakannya tersebut justru mendatangkan kerusakan
yang lebih besar dibanding dengan kesalahan yang hendak dibantah, maka tidak
disyari’atkan untuk membantah. Karena suatu kerusakan tidak dibenarkan untuk
ditolak dengan kerusakan lebih besar.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
“Tidak dibenarkan menolak kerusakan kecil dengan kerusakan besar, juga tidak
dibenarkan mencegah kerugian ringan dengan melakukan kerugian yang lebih besar.
Karena syari’at Islam (senantiasa) mengajarkan agar senantiasa merealisasikan
kemaslahatan, dan menyempurnakannya, juga melenyapkan kerusakan dan
menguranginya, sedapat mungkin. Singkat kata; bila tidak mungkin untuk
disatukan antara dua kebaikan, maka syari’at islam (mengajarkan untuk) memilih
yang terbaik. Begitu juga halnya dengan dua kejelekan, bila tidak dapat
dihindarkan secara bersamaan, maka kejelekan terbesarlah yang dihindarkan” [Al
Masail Al Mardiniyyah 63-64]
5. Hendaknya bantahan, disesuaikan dengan
tingkat tersebarnya kesalahan tersebut. Sehingga apabila suatu kesalahan hanya
muncul di suatu negri, atau masyarakat, maka tidak layak bantahannya disebar
luaskan ke negri atau masyarakat yang belum mendengar kesalahan tersebut, baik
melalui penerbitan kitab, atau kaset, atau sarana-sarana lainnya. Karena
menyebar luas bantahan, berarti secara tidak langsung menyebar luaskan pula
kesalahan tersebut. Sehingga bisa saja ada orang yang membaca atau mendengarkan
bantahan, akan tetapi syubhat-syubhat (kesalahan itu) masih membayangi hati dan
pikirannya, dan tidak merasa puas dengan bantahan itu.
Sehingga menghindarkan masyarakat dari
mendengarkan kebatilan dan kesalahan, lebih baik daripada mereka
mendengarkannya, dan membantahnya kemudian. Sungguh ulama?terdahulu, senantiasa
mempertimbangkan hal ini dalam setiap bantahan mereka. Banyak sekali kita
dapatkan kitab-kitab mereka yang berisikan bantahan, mereka hanya menyebutkan
dalil-dalil yang menjelaskan kebenaran, yang merupakan kebalikan dari kesalahan
tersebut, tanpa menyebutkan kesalahan itu. Tentu ini membuktikan akan tingkat
pemahaman mereka, yang belum dicapai oleh sebagian orang zaman sekarang.
Pembahasan yang telah diutarakan,
berkaitan dengan menebarkan bantahan di negri yang belum dijangkiti kesalahan,
sama halnya pembahasan tentang menebarkan bantahan di tengah-tengah sekelompok
orang yang tidak mengetahui kesalahan itu, walaupun ia tinggal di negri yang
sama. Sehingga tidak seyogyanya menebarkan bantahan, baik melalui buku atau kaset,
ditengah-tengah masyarakat yang tidak mengetahui atau mendengar adanya
kesalahan itu.
Betapa banyak orang awam yang terfitnah,
dan terjatuh ke kubang keraguan tentang dasar-dasar agama, akibat mereka
membaca buku-buku bantahan yang tidak dapat dipahami oleh akal pikiran mereka.
Maka hendaknya orang-orang yang
menebarkan buku-buku bantahan ini, takut kepada Allah, dan berhati-hati, agar
tidak menjadi penyebab terfitnahnya masyarakat, dalam urusan agama mereka.
Dan diantara yang paling mengherankan
saya ialah; sebagian pelajar, membagi-bagikan sebagian buku bantahan, kepada
sebagian orang yang baru masuk islam, orang-orang yang keislamannya baru
berjalan beberapa hari atau bulan, kemudian mereka mengarahkannya agar membaca
buku tersebut. Alangkah mengherankan sekali tindakan mereka.
6. Hukum membantah pelaku kesalahan,
ialah fardhu kifayah, sehingga bila telah ada seorang ulama’ yang
melaksanakannya, dan dengan bantahan dan peringatan yang ia lakukan, telah
terealisasi tujuan syari’at, maka tanggung jawab (kewajiban) para ulama?telah
gugur. Hal ini sebagaimana telah ditetapkan oleh para ulama?dalam permasalahan
hukum fardhu kifayah.
Adalah termasuk kesalahan, tatkala ada
seorang ulama’ membantah seorang pelaku kesalahan, atau fatwa yang
memperingatkan dari kesalahan seseorang, banyak pelajar menuntut ulama’
lainnya, juga para pelajar lainnya agar menyatakan sikap mereka terhadap ulama’
pembantah tersebut dan pelaku kesalahan yang dibantah, atau fatwa itu. Bahkan
tidak jarang para pelajar pemula, bahkan juga masyarakat awam, untuk menyatakan
sikapnya terhadap ulama’ pembantah dan pelaku kesalahan tersebut.
Terlebih dari itu semua, mereka kemudian
menjadikan permasalahan ini sebagai asas wala’ dan bara’ (loyalitas dan
permusuhan), dan akhirnya yang terjadi saling menghajer (memboikot) hanya
karena perkara ini.
Bahkan kadang kala sebagian pelajar
memboikot sebagian gurunya (syeikhnya), yang selama bertahun-tahun ia menimba
ilmu darinya, hanya dikarenakan permasalahan ini pula. Dan kadang kala pula,
fitnah ini menyusup kedalam keluarga, sehingga engkau dapatkan seseorang
memboikot saudaranya, seorang anak bersikap tidak sopan terhadap orang tuanya,
bahkan kadang kala, seorang istri diceraikan dan anak-anak menjadi
terpisah-pisah, hanya karena permasalahan ini.
Dan bila engkau melihat fenomena yang
menimpa masyarakat, niscaya engkau akan mendapatkan mereka terpecah menjadi dua
kelompok atau bahkan lebih. Setiap kelompok membidikkan berbagai tuduhan, dan
akhirnya saling memboikot. Semua ini terjadi dikalangan orang-orang yang
menisbatkan dirinya kepada As Sunnah (Ahlis Sunnah), yang sebelumnya setiap
kelompok tidak dapat mencela akidah dan manhaj kelompok lain, sebelum
terjadinya perbedaan ini. Fenomena ini kembalinya kepada kebodohan yang sangat
tentang As Sunnah (Manhaj Ahlis Sunnah), kaidah-kaidah mengingkari
(kemungkaran) menurut Ahlis Sunnah, atau kepada hawa nafsu (yang diturutkan),
kita memohon kepada Allah perlindungan dan keselamatan.
Kedelapan.
Ulama’ Ahlis Sunnah yang telah terkenal akan keselamatan akidah dan jasanya
dalam memperhuangkan As Sunnah (Manhaj Ahlis Sunnah), hendaknya senantiasa
dijaga kehormatannya, diperhatikan kedudukannya, tidak sepatutnya dicela, atau
diklaim sebagai pelaku bid’ah, atau dituduh mengikuti hawa nafsu, atau fanatis,
hanya karena memiliki kesalahan dalam berijtihad.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Tidak diragukan lagi, bahwa kesalahan seseorang dalam permasalahan yang
detail, akan diampuni, walaupun kesalahan tersebut tergolong dalam
permasalahan-permasalahan ilmiyyah (akidah). Kalau kita tidak bersikap
demikian, niscaya kebanyakan ulama?akan binasa (tidak dihargai jasanya).
Apabila Allah mengampuni orang yang tidak mengetahui bahwa khomer adalah haram,
dikarenakan ia hidup disuatu masyarakat bodoh, padahal ia tidak pernah menuntut
ilmu, maka seorang ulama?yang bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, sesuai
dengan yang ia peroleh dimasa dan tempat ia berada, apabila ia benar-benar
bertujuan mengikuti (ajaran) Rasulullah sedapat mungkin, tentua ia lebih berhak
untuk diterima Allah kebaikannya dan mendapatkan pahala atas usaha dan jasanya,
dan diampunkan kesalahannya. hal ini sebagai realisasi dari firman-Nya: “Wahai
Tuhan kami, janganlah Engkau menyiksa kami, jika kami lupa atau bersalah”
[Majmu’ fatawa 20/165]
Pada kesempatan lain beliau juga berkata:
“Ini adalah keyakinan ulama’ salaf (terdahulu), dan para imam ahli fatwa,
seperti Abu Hanifah, As Syafi’i, Ats-Tsaury, Dawud bin Ali, dan lainnya. Mereka
tidak menganggap berdosa orang yang salah dalam berijtihad, baik dalam permasalahan-permasalahan
prinsip (ushul), atau cabang (furu). Hal ini sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu
Hazem dan lainnya, dan mereka berkata: inilah pendapat yang dikenal dari
kalangan para sahabat, pengikut mereka dalam kebaikan (tabi’in), dan para imam
agama. mereka tidaklah mengkafirkan, juga tidak menfasikkan, juga tidak
menganggap berdosa, seorang ahli ijtihad yang salah (dalam berijtihad), tidak
dalam permasalahan amaliyah, juga tidak dalam masalah ilmiyah (akidah). Mereka
beralasan, bahwa membedakan antara permasalahan-permasalahan furu’ (cabang)
dengan permasalahan-permasalahan ushul (prinsip) hanyalah pendapat ahlil
bid’ah, dari kalangan orang-orang penganut ilmu kalam (filsafat), mu’tazilah,
jahmiyyah, dan pengikut mereka” [Majmu’ Fatawa 19/207]
Kita menegaskan hal ini, bukan berarti
kita tinggal diam, tidak menasehati ulama’ tersebut bila ia melakukan
kesalahan, bahkan menasehatinya adalah sebuah kewajiban setiap orang yang
mengetahui kesalahannya, dan sikap ini termasuk bakti dan perilaku baik kepadanya.
Akan tetapi sudah barang tentu nasehat harus dilakukan dengan cara ramah,
lembut, metode yang sesuai dengan kedudukannya dalam keilmuan dan
perjuangannya.
Kemudian bila ia bertaubat, meninggalkan
kesalahannya, dan meralat kesalahannya, maka ia diterima, dan tidak dibenarkan
lagi untuk membicarakannya, tidak juga mencelanya karena kesalahan tersebut,
juga tidak dibenarkan kita meragukan kesungguhannya dalam bertaubat.
Namun bila ia tidak bertaubat,
dikarenakan masih memiliki alasan tertentu, atau syubhat yang menghalanginya
untuk mengetahui kebenaran, maka hendaknya dilihat; apabila kesalahan tersebut
hanya terbatas pada dirinya sendiri, maka tanggung jawab kita telah selesai
dengan menasehatinya, akan tetapi jika kesalahan tersebut telah menyebar, maka hendaknya
masyarakat diperingatkan dari kesalahan itu, dengan tetap menjaga kehormatan
ulama?tersebut.
Sepantasnya pada kesempatan ini, kita
senantiasa mengingat kewajiban menjaga dua prinsip besar: Pertama: Kewajiban
bersikap tulus demi kebenaran, Kedua: Kewajiban menjaga kehormatan ulama? kedua
prinsip ini menurut Ahlis Sunnah tidaklah saling bertentangan, dan tidak
dibenarkan untuk membesar-besarkan salah satunya, walau harus dengan
mengabaikan yang lainnya.
Cinta kepada ulama’ menjaga kedudukan
mereka, tidak berarti tinggal diam melihat kesalahan mereka, dan tidak
memperingatkannya. Bersikap tulus demi kebenaran, dan mengingatkan kesalahan
seorang ulama’ tidak berarti mencela dan memakinya, akan tetapi kedua prinsip
ini dapat digabungkan oleh setiap orang yang mendapatkan bimbingan dari Allah.
Barang siapa yang mengetahui metode
ulama’ dalam mengingatkan kesalahan sebagian mereka, tanpa diserta celaan,
niscaya ia akan mengetahui hakikat permasalahan ini, dan bukti-bukti nyata
perkataan ini banyak sekali didapatkan dalam perkataan ulama’.
Kesembilan:
Ahlul bid’ah yang menyelisihi Akidah Ahlis Sunnah, dan manhaj (metode) mereka
dalam berdalil, mengajar, mendidik, dan berdakwah ke jalan Allah, serta
mengikuti hawa nafsu. Mereka juga tidak menjadikan ulama?Ahlis Sunnah sebagai
suri tauladan, bahkan sebaliknya, malah mencela, dan mencemooh mereka, bahkan
menganggap diri mereka lebih utama dibanding para ulama’ Ahlis Sunnah. Mereka
ialah mubtadi’ah (ahli bid’ah) lagi sesat, sepantasnya untuk diperangi dengan
cara menjelaskan kepada seluruh masyarakat, keburukan jalan mereka,
penyelewengan mereka dari As Sunnah. Juga dengan membantah mereka, dan
memperlakukan mereka dalam segala kondisi dengan perlakuan terhadap Ahlul
bid’ah.
Akan tetapi, hal ini tidak menghalangi kita untuk mendakwahi mereka kepada kebenaran, dan bila dianggap akan menyebabkan mereka kembali kepada As Sunnah, maka diadakan diskusi antara ulama’ dengan mereka, yaitu diskusi dengan cara-cara yang baik.
Akan tetapi, hal ini tidak menghalangi kita untuk mendakwahi mereka kepada kebenaran, dan bila dianggap akan menyebabkan mereka kembali kepada As Sunnah, maka diadakan diskusi antara ulama’ dengan mereka, yaitu diskusi dengan cara-cara yang baik.
Hendaknya kita selalu waspada, agar tidak
mencampur-adukkan antara sikap yang seharusnya diambil dalam menghadapi
Ulama’Ahlis Sunnah, -walau mereka memiliki kesalahan- yaitu kewajiban menjaga
kedudukan dan kehormatan mereka, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas,
dengan sikap yang seharusnya diambil dalam menghadapi ulama’ Ahlil bid’ah, yang
seyogyanya diboikot, dan diperingatkan dari mereka agar dijauhi. Yang demikian
ini, dikarenakan kesalahan ulama’ Ahlis Sunnah, merupakan hasil dari usaha
mereka dalam mencapai kebenaran, dengan menempuh metode-metode yang dibenarkan
dalam berdalil. Sedangkan kesalahan ulama’ Ahlil bid’ah, ialah hasil dari hawa
nafsu, penyelewengan, dan tidak menempuh metode-metode yang dibenarkan dalam
berdalil, sehingga sangat jauhlah perbedaan antara keduanya.
Permasalahan ini, merupakan titik
perbedaan antara Ahlis Sunnah dan Ahlil bid’ah. Dan dengan ini pula seorang yag
cerdas dan jeli dapat memahami, sebab kenapa para ulama’ Ahlis Sunnah yang
memiliki kesamaan pendapat dengan sebagian Ahlil bid’ah dalam beberapa
keyakinan mereka, tidak diklaim sebagai ahlil bid’ah.
Kesepuluh :
Saya menutup nasehat ini dengan menyebutkan beberapa anjuran ringan dan
faedah-faedah berharga, yang saya rasa bila diamalkan, akan mendatangkan pahala
besar dan kedudukan tinggi disisi Allah. Saya menyeru saudara-saudaraku untuk
mengamalkannya, dan senantiasa memperhatikannya, terlebih-lebih pada masa ini,
masa yang banyak tersebar fitnah, hawa nafsu diumbar, kebodohan merajalela,
kecuali orang-orang yang mendapatkan rahmat dan petunjuk Allah.
1. Wahai penganut As Sunnah, ketahuilah:
jika anda benar-benar penganut As Sunnah, sekali-kali tidak akan merugikanmu,
tipu daya yang ditujukan kepadamu oleh seluruh penghuni langit dan bumi, dan
anda tidak akan dapat terusir dari (jalan) As Sunnah, hanya karena tuduhan
mereka kepada anda, sebagai pelaku bid’ah. Sebaliknya, jika anda adalah pelaku
kesesatan dan peyelewengan dan saya memohonkan perlindungan kepada Allah untuk
anda, agar anda tidak menjadi demikian- niscaya tidak berguna bagimu disisi
Allah, pujian seluruh manusia, dan penisbatan mereka bahwa anda adalah penganut
As Sunnah, serta sanjungan mereka kepada anda dengan berbagai julukan palsu,
-bila realitanya Allah telah mengetahui tentang hakikat diri anda sebagaimana
yang anda ketahui sendiri- oleh karena itu hendaknya anda tidak berdusta pada
diri sendiri. Hendaknya cukup sebagai peringatan bagimu pada situasi seperti
ini, wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu Abbas, Radhiyallahu
‘anhu dan hadits tiga orang yang akan pertama kali dimasukkan kedalam api
neraka, semoga Allah melindungi saya dan anda darinya.
2. Ketahuilah bahwasannya ulama’ Ahlis
Sunnah yang mendalam (kokoh) ilmunya, dapat mencapai kedudukan tinggi dan
menjadi pemimpin (imam) dalam keagamaan selain karena taufiq (bimbingan) Allah
kepada mereka- dikarenakan kesabaran dan keyakinan mereka. Allah Ta’ala
berfirman:
“Artinya : Dan Kami jadikan dari mereka
imam-imam (para pemimpin), yang memberi petunjuk dengan urusan Kami, tatkala
mereka bersabar, dan mereka yakin dengan ayat-ayat Kami”.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Dengan kesabaran dan keyakinan, kepemimpinan dalam urusan agama akan dicapai”
Dan yang dimaksud dari keyakinan ialah ;
kekuatan dalam ilmu, yang dilandasi oleh dalil yang benar, pemahaman lurus.
Bukan (sebagai keyakinan) apa yang dianut oleh sebagian pelajar, berupa sikap
pasrah dalam berilmu dengan taklid kepada seorang ulama’ atau pelajar lain,
atau dakwaan bahwa kebenaran akan selalu bersama ulama’ tersebut, dan tidak ada
yang memahami As Sunnah dengan baik, kecuali dia.
Dan yang dimaksud dari kesabaran ialah;
kegigihan dan keuletan dalam menuntut ilmu, dengan disertai pengamalan, dan
mengisi seluruh waktunya, siang dan malam dengan hal tersebut. Berbeda halnya
dengan orang-orang yang lemah semangat, dan lebih senang dengan santai, pasrah
kepada gejolak hawa nafsu, sehingga ia tidak memiliki semangat untuk belajar,
juga tidak untuk beramal.
3. Ketahuilah bahwasannya mengklaim orang lain
dengan kafir, mubtadi’ dan fasik, merupakan hak Allah, oleh karenanya jangan sekali-kali
anda mengkalaim dengan kafir, atau mubtadi’ atau fasik orang yang tidak layak
diklaim demikian, walaupun ia telah mengklaim anda dengan kafir, atau mubtadi’
atau fasik. Karena sesungguhnya Ahlis Sunnah tidak membenarkan untuk membalas
kezaliman pelaku kesalahan dengan kezaliman. Akan tetapi metode membalas
kezaliman dengan kezaliman, merupakan perangai Ahlil bid’ah.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Orang-orang Khowarij selalu mengkafirkan Ahlis Sunnah wal Jama’ah, demikian
juga Mu’tazilah, mereka mengkafirkan setiap orang yang bertentangan dengannya,
demikian pula halnya Rafidhoh (Syi’ah). Kalaupun mereka tidak mengkafirkan,
tapi mereka mengklaim dengan fasik’. Sedangkan Ahlis Sunnah, senantiasa
mengikuti kebenaran yang datang dari Tuhan mereka, kebenaran yang dibawa oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan mereka tidaklah mengkafirkan
orang yang menyelisihi mereka dalam kebenaran itu. Akan tetapi mereka adalah
orang yang paling tahu tentang kebenaran, dan paling sayang terhadap manusia”
[Minhajus Sunnah 5/158]
4. Janganlah sekali-kali anda memboikot
saudaramu yang telah memboikotmu, bila pemboikotan terhadapnya tidak dibenarkan
secara syari’at. Akan tetapi hendaknya anda selalu memulai mengucapkan salam
kepadanya, berusaha menarik simpatinya. Berusahalah untuk menghapuskan syubhat
yang menyebabkannya memboikot anda. Bila ia tetap berpaling darimu, maka janganlah
anda berkeyakinan dalam hati anda bahwa anda dibenarkan untuk memboikotnya. Dan
janganlah anda menyibukkan diri anda dengan terus berusaha mendekatinya, karena
anda telah terbebas dari dosa memutus hubungan, sedangkan dia akan bertanggung
jawab atas tindakannya itu.
5. Celaan orang lain terhadap anda, bisa
saja dengan cara menjelek-jelekkan pribadi anda, dan bisa dengan cara
menisbatkan -dengan dusta- kepada anda suatu perkataan yang bertentangan dengan
keyakinan Ahlis Sunnah. Maka apabila yang mereka lakukan adalah
menjelek-jelekkan pribadi anda, misalnya dengan mengatakan: Ia orang sesat,
bodoh, tidak paham, maka janganlah sekali-kali anda membela diri. Karena bila
anda membela diri, niscaya anda akan terjerumus kedalam tazkiatun nafsi (memuji
diri sendiri), dan sikap seperti ini merupakan kebinasaan yang nyata.
Ada seseorang yang menjelek-jelekkan
seorang Imam dengan suatu ucapan, maka Imam itu hanya menjawab: “Tuduhan) Anda
tidak terlalu jauh”. Dahulu Ahlil bid’ah senantiasa mensifati pribadi ulama’
Ahlis Sunnah dengan berbagai kedustaan, akan tetapi mereka tidak pernah
memperdulikannya, Yang mereka lakukan hanyalah membantah kesalahan mereka dalam
urusan agama, dan menasehati masyarakat umum. Oleh karena itu hendaknya kita
menjadikan mereka suri tauladan dalam hal ini.
Adapun bila ia menisbatkan suatu
perkataan sesat, misalnya dengan mengatakan: Si fulan berkata demikian,
demikian, dan menisbatkan kepadamu suatu perkataan yang tidak pernah anda
ucapkan, maka anda cukup membantah penisbatan tersebut, agar pada kemudian hari
tidak ada yang menisbatkan perkataan tersebut kepada anda. Dan para ulama’
senantiasa menjelaskan kepada masyarakat tentang perkataan-perkataan yang tidak
pernah mereka ucapkan, yang dinisbatkan kepada mereka. Dan sikap ini sama
sekali bukan termasuk kedalam sikap memuji diri sendiri, bahkan merupakan
nasehat kepada masyarakat.
Sehingga sangat jelas perbedaan antara
contoh ini dengan contoh sebelumnya. Oleh karena itu hendaknya anda berpegang
teguh dengan ajaran ulama’ salaf dalam hal semacam ini. Dan janganlah anda
menyerupai sebagian orang bodoh, yang bila dituduh dengan suatu tuduhan, ia
langsung menebarkan keseluruh penjuru dunia, berbagai pujian, dan sanjungan
terhadap dirinya, Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan. dan yang
terakhir:
6. Ketahuilah bahwa setiap manusia akan
menjadi semakin besar (kedudukannya) dalam bidang amalannya masing-masing,
sehingga jika anda berpegang teguh dengan As Sunnah, niscaya kedudukan anda
semakin hari, akan semakin besar, dan tidak akan lama lagi, anda akan menjadi
pemimpin dalam (pengamalan) As Sunnah, Allah Ta’ala berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ
بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Artinya : Dan Kami jadikan di antara
mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika
mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami” [As Sajdah : 24].
Dan sebaliknya, jika anda mengamalkan
bid’ah, niscaya kedudukan anda semakin hari akan semakin besar, dan tidak akan
lama lagi, anda akan menjadi pemimpin dalam (pengamalan) bid’ah. Allah Ta’ala
berfirman :
قُلْ مَنْ كَانَ فِي الضَّلَالَةِ فَلْيَمْدُدْ
لَهُ الرَّحْمَٰنُ مَدًّا
“Artinya : Katakanlah: “Barangsiapa yang
berada di dalam kesesatan, maka biarlah Rabbnya yang Maha Pemurah memperpanjang
tempo baginya” [Maryam :75].
Dan setelah Allah mensifati Fir’aun
beserta kaumnya dengan kesombongan, Dia berfirman:
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَدْعُونَ إِلَى
النَّارِ ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يُنْصَرُونَ
“Artinya : Dan Kami jadikan mereka
pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka” [Al Qhashash : 41].
Maka silahkan anda memilih untuk diri
anda, suatu amalan yang esok anda senang bila menjadi pemimpin dalamnya.
Inilah dan hanya Allah Ta’ala-lah yang
lebih tahu, dan semoga Allah senantiasa melimpahkan sholawat, salam dan
keberkahan atas hamba dan rasul-Nya Muhammad.
Ditulis oleh:
Ibrahim bin Amir Ar Ruhaily
Selesai ditulis di kota Madinah
Pada tanggal 8/10/1424 H.
[Diterjemahkan Oleh ASPRI RAHMAT AZAI Islamic University of Madinah Po. Box : 10234 Phone : 966-4-8390448 Mobile: 966-59467833]
Selesai ditulis di kota Madinah
Pada tanggal 8/10/1424 H.
[Diterjemahkan Oleh ASPRI RAHMAT AZAI Islamic University of Madinah Po. Box : 10234 Phone : 966-4-8390448 Mobile: 966-59467833]
Dari murid Muhammad Nashiruddin Al-Albani
rahimahullah, yaitu Syaikh Dr. Muhammad bin Musa alu Nashr, beliau berkata
didalam nasehatnya:
Segala puji milik Allah, kita memuji-Nya, memohon pertolangan kepada-Nya, dan
memohon ampun kepada-Nya, kita berlindung kepada Allah dari keburukan jiwa kita
dan keburukan amal kita.
Siapa yang Allah beri petunjuk maka tidak ada yang bisa menyesatkannya dan
siapa yang disesatkan, tidak ada yang bisa memberi petunjuk kepadanya
Saya bersaksi tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata dan tiada
sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya,
Amma ba’du.
Kami sekarang dipulau Lombok, Indonesia. Termasuk salah satu pulau yang sangat
indah, di negeri Indonesia. Termasuk pulau yang di sana banyak masjidnya, dan
semangat mengikuti syariat Allah. Dakwah ahlus sunah di pulau ini berkembang
pesat. Melebihi yang ada di pulau lain,
Di kesempatan ini, saya akan menyampaikan sebuah nasehat bagi rakan-rekanku
ahlus sunah yang mereka bangga sebagai bagian dari dakwah yang berkah itu,
yaitu dakwah ahlus sunah. Dakwah ahlus sunah mengajak umat untuk kembali kepada
ajaran Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu
‘anhum baik dalam masalah keyakinan, prinsip hidup (manhaj), maupun akhlak,
dalam masalah ilmu, amal, maupun tinkah laku yang merupan penerapan untuk
firman Allah
“Wahai orang yang beriman, masuklah kedalam as-Silmi secara keseluruhan,” (QS
Al-Baqarah: 208) Maksud as-Silmi adalah agama Islam. Kata Islam jika dinyatakan
tanpa batasan, maknanya adalah Islam pertama. Yaitu islamnya Rasul sallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabat, islam generasi terbaik Di mana Nabi
sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku,
kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya.”
Islam, seperti yang ditinggalkan oleh Nabi untuk umatnya sebelum terjadinya
perselisihan. Sebelum munjulnya kelompok-kelompok sesat, sebelum munjulnya khawarij,
sebelum munjul sekte syiah, mu’tazilah, jahmiyah, atau murjiah. Dan
semua sekte yang diperingatkan oleh Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana
beliau bersabda, “Yahudi dan Nasrani terpecah menjadi 72 golongan, dan
umatku akan terpecah menjadi 73 gorolangan, semua di neraka kecuali satu.” Beliau
ditanya, “Siapa mereka” dalam riwayat lain “Mereka adalah orang
yang memiliki pemahaman seperti saya dan para sahabat saat ini.”
Wahai saudaraku,
Bertaqwalah kepada Allah dalam dakwah kalian..
Jadilah orang yang layak untuk menisbahkan diri kepada dakwah ini, menisbahkan
diri dengan dakwah salaf merupakan satu keutamaan, harus ada perjuagan,
memiliki nilai, tidak semua orang yang mengatakan ‘Saya salafy’ layak disebut
salafy. Betapa banyak ngaku salafy, namun dia justru mencemarkan dakwah salaf,
baik dia tahu atau tidak tahu, baik sengaja atau tidak sengaja. Karena itu,
saya ingin sampaikan bhwa selayaknya kita sesuai karekter para salaf generasi
pertama (sahabat), selayaknya kita bersungguh-sungguh untuk selalu di atas
jalan yang lurus yang diajarkan para nabi, para shiddiqun, para syuhada, dan
orang-orang shaleh sebagaimana yang di firmankan Allah
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu :
Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang
shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa: 69)
Selayaknya kita tidak memiliki penyimpangan dalam aqidah ahlus sunah, aqidah
salaf, aqidah yang diajarkan Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para
sahabatnya dan yang didakwahkan kepada umatnya.
Selayaknya kita tidak menyimpang dari akhlak Rasul sallallahu ‘alaihi wa
sallam, dimana akhlak beliau adalah Al-Qur’an, dimana Allah memuji beliau dalam
kitabnya, melalui firman-Nya, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS.
Ali Imran: 159)
Tidak layak bagi salafy untuk bersikap keras dan kasar..
Selayaknya salafy adalah orang yang lemah lembut, santun, karena Nabi
sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesuatu yang diiringi kelembutan pasti
akan menjadi indah, dan ketika kelembutan dicabut dari sesuatu maka akan
menjadi buruk.” Banyak orang tahu bahwa salafy adalah benar, namun meraka lari
menjauh dari dakawah salaf disebabkan akhlak, sebagai orang yang ngaku salafy,
orang awam yang ngaku salafy, atau orang yang brutal, padahal Allah menyebut
para sahabat Nabi-Nya bahwa mereka adalah orang yang kasih sayang diantara
mereka namun menyedihkan, ini tidak kita jumpai pada kebanyakan salafiyin,
ketika seseorang berbeda pendapat dengan saudaranya hingga menjadikan mereka
saling bersebarangan, dan terkadang perselisihannya menjadi masalah prinsip,
kadang muncul tuduhan sesat dan bid’ah dan menngajak orang lain untuk turut
memboikotnya. Ini bukan akhlak salaf..
Akhlak salaf generasi pertama adalah saling menasehati, saling kasih sayang,
Allah Ta’ala berfirman, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang
yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi
berkasih sayang sesama mereka,” (QS. Al-Fath: 29) ada juga orang salafy
yang basa-basi mendekati orang berduit dan berpangkat, selalu mengikuti di
belakang mereka, bersikap ramah dengan mereka. Namun ketika bersama temannya
sesama muslim, mereka bersikap sangat keras, sangat kasar, sangat galak,
seolah-olah dia sedang bersama musuhnya, wal ‘iyadzu billah..
Dan ini tidak sesuai prinsip salafus shaleh radhiyallahu ‘anhum, dimana,
prinsip al-wala wal bara menjadi bagian penting dalam aqidah mereka. Lihat Nabi
Ibrahim ‘alaihis salam.. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya telah ada
suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan
dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas
diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami
ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan
kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS
Al Mumtahanah: 4)
Ibrahim ‘alaihis salam berlepas diri dari bapaknya,. Nuh ‘alaihi salam berlepas
diri dari anaknya kerena Allah,. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam
berlepas diri dari pamannya karena Allah, ikatan iman yang paling kuat. Adalah
cinta karena Allah dan benci kerena Allah..
Kita wajib bersatu di atas kalimat tauhid.. Salafiyah yang sejati adalah mereka
yang menyatukan umat di atas kalimat tauhid, sebagaimana selayaknya
diperhatikan para dai salafiyin. Agar mereka memperhatikan tauhid, agar
menjadikan tauhid, terutama tauhid uluhiyah di posisi pertama misi mereka.
Karena penyembahan kubur telah tersebar, menyebar luas menggunakan jimat,
mendatangi dukun dan peramal, I’tikaf di kuburan, wal ‘iyadzu billah..
Di sana ada pemuka kesesatan, mengajak manusia untuk menghidupkan menyembah
kuburan, beri’tikaf di kuburan. Karena itu, layak untuk membendung mereka, wajib
untuk dijadikan misi utama salafy. Menegakkan misi tauhid yang merupakan
kewajiban hamba kepada Allah, mereka fokuskan untuk tauhid dalam ibadah namun
tidak meninggalkan kajian tauhid asma wa shifat. Termasuk tauhid rububiyah,
karena di sana banyak orang atheis.
Mereka manusia seperti kita, siapa yang megikuti mereka maka akan dicampakkan
ke dalam neraka. Demikian pula, selayaknya bagi salafiyin untuk waspada
terhadap bahaya syiah majusi yang merupakan bahaya laten yang sangat
mengamcam kaum muslimin dan masyarakat arab terutama setelah mereka memiliki
Negara di iran dalunya adalah Negara shafawiyah termasuk juga Negara Iraq dan
banyak juga kelompok di Lebanon, mereka juga mengancam teluk. Sekarang mereka
di syam dan mereka memiliki kolompok di sana, Nushairiyah sekte alawiyah yang
sangat keras saat ini, bahaya syiah. Tidak selayaknya kita anggap remeh..
Saya juga mengingatkan dari dakwah hizbiyah yang menganggap enteng dan remeh
permusuhan kita dengan syiah dan rafidhah, mereka menganggap
bahwa perseteruan ini hanya karena latar belakang politik. Perselisihan kita
saat ini dengan rafidhah bukanlah kerena politik, mereka memerangi
kita karena aqidah kita. Mereka para pemimpin kita Abu Bakr, Umar, Usman, mereka
membenci semua ahlis sunah. Memerangi sunah, mereka membatai ahlus sunah, hanya
karena bernama ahlus sunah dan karena dorongan nafsu. Maha Suci Allah dari apa
yang mereka ucapkan
Kita memohon kepada Allah, agar Dia melindungi kaum muslimin dari kejahatan
mereka. Kita memohon kepada Allah agar Dia menolong ahlus sunah wal jamaah di
Suriah, Iraq, dan di semua wilayah. Demikian pula di Yaman, dengan
ancaman syiah Hutsiyin. Mereka mengancam untuk menguasai Yaman orang yang
meremehkan perang melawan rafidhah bisa jadi akalnya tidak sadar atau
kerena dia pro-syiah dan bukan ahlus sunah karena itu, wajib bagi
ahlus sunah wal jamaah agar melawan musuh besar, Rafidhah ini di bumi
islam dan di berbagai negeri islam mereka telah memerangi kita dengan aqidah,
pemikiran dan kesesatan mereka kita sampaikan dalil tentang kesesatan mereka
dan menjelaskan sisi kesesatan mereka kita menolak dan menghalangi permisuhan
mereka terhadap wilayah kaum muslimin..
Bertawakallah kepada Allah wahai salafiyin, perhatikanlah ilmu dasar yang bermanfaat
dengan ikhlas untuk mendapatkan wajah Allah, jauh dari keinginan materi. Betapa
seringnya manusia menyebabkan permusuhan antara dua saudara atau dua teman,
jadikanlah akhirat sebagai puncak cita-cita kita..
Allah pasti menanggung rizki kita, Allah menanggung rizki sumua hamba-Nya, Dia
yang memberi rizki semut di sarangnya. Mungkinkah Dia tidak memberi rizki
kepada hamba yang beriman? Hamba yang ikhlas, yang mengajak orang untuk
mentauhidkannya, yang mengajak untuk mengikuti ajaran dan akhlak Nabi Sallallahu
Alaihi wa Sallam. Tentu saja tidak mungkin..
Ini merupan ungkapan ringkas yang aku jadikan nasehat, pertama untuk diriku.
Kemudian untuk para saudara, sementara kita didekat(dalam) Ramadhan bulan baik,
yang penuh berkah, lagi mulia. Bulan yang Allah tunjuk sebagai waktu untuk
banyak melakukan ketaatan, amal kebaikan ditingkatkan, dosa diampuni, amal
kebaikan dilipat gandakan, pintu surga dibukan dan pintu neraka ditutup, pintu
langit dibuka..
Ada penyuru dari langit yang menyurukan, "Wahai pencari kebaikan,
segera lakukan". "Wahai pelaku kejahatan, berhentilah"
Kita sambut tamu yang mulia ini, utusan yang mulia ini dengan sambutan yang
terbaik. Menampakkan kegembiraan dan bahagia dalam menyambutnya, kita
sungguh-sungguh dalam puasa dan shalat malamnya, banyak membaca Al-Qur'an
ketika Ramadhan dan semua amal soleh..
Ya Allah, bantulah kami untuk selalu mengingatmu, mensyukuri-Mu, dan beribadah
dengan baik kepada-Mu.
Ya Allah, sampaikanlah kami di bulam Ramadhan dan berkahilah Ramadhan kami.
Bantulah kami dalam menjalankan puasa dan shalat malam, dan beramal kebaikan di
bulan Ramadhan. Jadikanlah kami orang yang mendapatkan rahmat di bulan
Ramadhan, dan termasuk orang yang Engkau ampuni dan Engkau bebaskan dari
neraka. Hanya Engkau yang mampu melakukannya..
Wasallahu wa sallam ala Nabiyyina Muhammadin wa alihi wasallam tasliman
katsiro..