Telah masyhur
di kalangan Ahlus-Sunnah bahwa Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa adalah salah seorang shahabat Nabi yang
berpendapat ‘membolehkan’ nikah mut’ah. Bahkan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu pernah mengecamnya dengan keras atas pendapatnya
itu, sebagaimana riwayat :
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، حَدَّثَنَا
الزُّهْرِيُّ، عَنِ الْحَسَنِ، وَعَبْدِ اللَّهِ ابني محمد بن علي، عَنْ
أَبِيهِمَا، أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قِيلَ لَهُ: إِنَّ ابْنَ
عَبَّاسٍ " لَا يَرَى بِمُتْعَةِ النِّسَاءِ بَأْسًا، فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْهَا يَوْمَ خَيْبَرَ، وَعَنْ
لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ "
Telah
menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin
‘Umar : Telah menceritakan kepada kami Az-Zuhriy, dari Al-Hasan dan ‘Abdullah –
keduanya anak Muhammad bin ‘Aliy - , dari ayahnya : Bahwasannya ‘Aliyradliyallaahu
‘anhu pernah dikatakan kepadanya : ‘Sesungguhnya Ibnu
‘Abbaas berpandangan nikah mut’ah itu tidak apa-apa’. Maka ia (‘Aliy) berkata :
“Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang nikah mut’ah dan daging keledai
peliharaan/jinak pada hari Khaibar” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6961].[1]
وحدثناه عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ، حدثنا جُوَيْرِيَةُ، عَنْ
مَالِكٍ، بِهَذَا الْإِسْنَادِ، وَقَالَ: سَمِعَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ،
يَقُولُ لِفُلَانٍ: إِنَّكَ رَجُلٌ تَائِهٌ نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Asmaa’ Adl-Dluba’iy : Telah
menceritakan kepada kami Juwairiyah, dari Maalik dengan sanad ini[2], dan Muhammad bin ‘Aliy mendengar ‘Aliy
bin Abi Thaalib berkata kepada Fulaan (yaitu Ibnu ‘Abbaas) : “Sesungguhnya kamu
itu orang yang bingung. Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kami….dst.” semisal dengan hadits
tersebut [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1407].
Para ulama
berbeda pendapat tentang kapan pengharaman nikah mut’ah ini diberlakukan. Menurut
riwayat di atas, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallammengharamkannya pada waktu perang Khaibar. Namun
ada riwayat lain yang menyatakan Fathul-Makkah :
أَخْبَرَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، عَنْ الرَّبِيعِ
بْنِ سَبْرَةَ الْجُهَنِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: " نَهَى رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ عَامَ الْفَتْحِ
"
Telah
mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Yuusuf : Telah mengkhabarkan kepada kami
Ibnu ‘Uyainah, dari Az-Zuhriy, dari Ar-Rabii’ bin Sabrah Al-Juhaniy, dari
ayahnya, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang nikah mut’ah pada tahun Al-Fath” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 2242; shahih].
Saya tidak akan
berpanjang lebar membahas ini[3], karena yang terpenting telah diketahui
secara shahih dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pengharamannya sampai hari kiamat – sebagaimana
riwayat :
حدثنا مُحَمَّدُ
بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ، حدثنا أَبِي، حدثنا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ
عُمَرَ، حَدَّثَنِي الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ: أَنَّ أَبَاهُ،
حَدَّثَهُ: أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فقَالَ: " يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي
الِاسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ، وَإِنَّ
اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عَنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ
فَلْيُخَلِّ سَبِيلَه، وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا ".
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair : Telah menceritakan
kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Umar :
Telah menceritakan kepadaku Ar-Rabii’ bin Sabrah Al-Juhaniy : Bahwasannya
ayahnya telah menceritakannya : Bahwasannya ia pernah bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda : “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku
pernah mengijinkan kalian nikah mut’ah. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya
hingga hari kiamat. Barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka
segera lepaskanlah, dan janganlah kalian ambil sesuatupun yang telah kalian
berikan kepada wanita yang kalian mut’ahi itu”[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1406].
Lafadh
pengharaman nikah mut’ah hingga hari kiamat dalam hadits di atas adalah shahih
lagi mahfudh. Tahun Al-Fath dengan tahun Authaas (dimana beliaushallallaahu 'alaihi wa sallam pernah
membolehkan mut'ah selama tiga hari) adalah sama, sehingga hadits di atas dapat
dijamak dan tidak ada yang perlu dikontradiktifkan. Maka, tidak akan ada
lagi penghalalan setelah tahun Al-Fath atauAuthas (8
H).
Kembali pada
permasalahan Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, dan kita akan fokus pada bahasan ini…..
Sebelumnya
telah disebutkan bahwa ‘Aliy bin Abi Thaalib mengecam Ibnu ‘Abbaasradliyallaahu
‘anhum atas penghalalan nikah mut’ah. Begitu juga dengan
riwayat berikut :
وحدثني حرملة بن
يحيى. أخبرنا ابن وهب. أخبرني يونس. قال ابن شهاب: أخبرني عروة بن الزبير ؛ أن
عبدالله ابن الزبير قام بمكة فقال إن ناسا أعمى الله قلوبهم كما أعمى أبصارهم
يفتون بالمتعة يعرض برجل فناداه فقال إنك لجلف جاف فلعمري لقد كانت المتعة تفعل
على عهد إمام المتقين ( يريد رسول الله صلى الله عليه و سلم ) فقال له ابن الزبير
فجرب بنفسك فوالله لئن فعلتها لأرجمنك بأحجارك
Telah
menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya yang berkata telah mengabarkan kepada
kami Ibnu Wahb yang berkata telah mengabarkan kepadaku Yunus yang berkata Ibnu
Syihab telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa Abdullah bin Zubair
berdiri [menjadi khatib] di Makkah dan berkata sesungguhnya ada orang yang
dibutakan Allah mata hatinya sebagaimana Allah telah membutakan
matanyayaitu berfatwa bolehnya nikah mut’ah. Ia menyindir seseorang maka orang
tersebut memanggilnya dan berkata “sungguh kamu adalah orang yang kaku dan keras demi
umurku mut’ah telah dilakukan di zaman Imam orang-orang yang bertakwa [yaitu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Maka Ibnu Zubair berkata “lakukanlah
sendiri, demi Allah jika kamu melakukannya maka aku akan merajammu dengan
batu” [Shahih Muslim 2/1023 no 1406].
Ada sebagian
orang Syi’ah yang biasa berlogika aneh mengambil kesimpulan atas dua hadits di
atas bahwa Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa tidak mau menerima hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang pelarangan nikah mut’ah yang disampaikan
‘Aliy radliyallaahu ‘anhu. Berikut katanya :
Bukankah ini
sesuatu yang aneh. Sahabat sekelas Ibnu Abbas tidak menghiraukan larangan
Rasululullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang disampaikan oleh Imam Ali.
Setidaknya ada tiga kemungkinan jika kita mengkonfrontir hadis Imam Ali dan
hadis tentang Ibnu Abbas di atas.
a) Atsar Imam Ali itu tidak benar, dalam arti Imam Ali tidak pernah
mengabarkan hal itu kepada Ibnu Abbas sehingga Ibnu Abbas tidak tahu kalau
nikah mut’ah itu diharamkan di Khaibar.
b) Atsar Imam Ali itu benar jadi Ibnu Abbas sudah tahu kalau nikah
mut’ah diharamkan di Khaibar tetapi ia tetap saja menghalalkannya.
Na’udzubillah
c) Atsar Imam Ali itu benar tetapi Ibnu Abbas tidak mengakui hadis
Imam Ali tersebut. Artinya Ibnu Abbas menganggap Imam Ali tidak dipercaya dalam
hadis yang disampaikannya. Na’udzubillah
Begitu
katanya……
Kita jawab :
a) Hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu adalah benar, karena terbukti shahih. Adalah
mengigau perkataan sebagian orang Syi’ah lain yang mengatakan hadits tersebut
palsu saat ia merasa kebingungan dengan logika bingung yang disampaikan
rekannya di atas :
Ketiga
kemungkinan ini benar-benar membuat bingung.. Jadi jelas [Shahih Bukhari
7/12 no 5115 adalah PALSU !!!. Silakan kepada para pembaca sekalian
untuk memberikan masukannya dalam perkara ini.
b) Ini sekaligus menjawab point c.
Ibnu ‘Abbaas
tidak menerima perkataan yang disampaikan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum itu bukanlah karena semata-mata tidak menerima
hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu dikarenakan Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu – bersama sebagian kecil shahabat lainnya – juga
mempunyai hadits marfu’ yang bertentangan dengan apa yang disampaikan ‘Aliy
bin Abi Thaalib, sehingga itu masih samar baginya. Dan itu jelas sekali
terlihat dalam alasan Ibnu ‘Abbaas dalam perdebatannya dengan Ibnu Zubair radliyallaahu ‘anhum : sungguh kamu adalah orang yang kaku dan keras demi umurku nikah mut’ah telah dilakukan di zaman Imam
orang-orang yang bertakwa [yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam].
Jadi penolakan
Ibnu ‘Abbaas dikarenakan syubhat. Apalagi sebagian shahabat lain ada yang berpendapat
sama dengan Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhum karena ketidaktahuannya tentang pelarangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas nikah mut’ah hingga hari kiamat.
Perkara seperti
ini biasa kita temukan dalam riwayat, baik para shahabat, tabi’iy, atau para
ulama setelah mereka dalam perselisihan fiqhiyyah. Misalnya saja bagaimana perselisihan sebagian
shahabat tentang masalah batal tidaknya shalat seseorang karena dilewati tiga
hal. Perselisihan sebagian shahabat tentang sifat buang air kecilnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (apakah boleh sambil berdiri). Masalah ru’yatullah saat Mi’raj. Dan yang lainnya masih banyak.
Jadi, perselisihan ini dikarenakan perbedaan hadits yang sampai kepada mereka
dan/atau pemahaman terhadap hadits tersebut. Inilah kekayaan fiqh Ahlus-Sunnah
yang tidak dimiliki Syi’ah. Silakan dieksplore dalam kitab-kitab fiqh yang ada.
Dan silakan rekan-rekan baca bagaimana penyikapan khilaf di antara shahabat, karena shahabat itu bukanlah
pribadi sempurnah yang menguasai semua riwayat lagi ma’shum. Tidak terkecuali Ibnu ‘Abbaas dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum.
Namun jika
mereka telah mengetahui secara clear akan keshahihan dan kandungan maknanya, akan rujuk.
Tidak terkecuali dalam hal ini Ibnu ‘Abbaasradliyallaahu ‘anhumaa :
قَالَ يُونُسُ:
قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَسَمِعْتُ الرَّبِيعَ بْنَ سَبْرَةَ، يُحَدِّثُ عُمَرَ بْنَ
عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَأَنَا جَالِسٌ، أَنَّهُ قَالَ: مَا مَاتَ ابْنُ عَبَّاسٍ
حَتَّى رَجَعَ عَنْ هَذِهِ الْفُتْيَا
Telah berkata
Yuunus : Telah berkata Ibnu Syihaab : Aku mendengar Ar-Rabii’ bin Sabrah
menceritakan kepada ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz dan saat itu aku sedang duduk. Ia
(Ibnu Sabrah) berkata : “Tidaklah Ibnu ‘Abbaas meninggal hingga ia rujuk dari
fatwanya ini (tentang kebolehan nikah mut’ah)” [Diriwayatkan oleh Abu ‘Awaanah
no. 4057].
Yuunus bin
Yaziid bin Misykaan, seorang yang tsiqah dan disebut paling mengerti/’aalim akan hadits Az-Zuhriy. Ibnu Syihaab adalah
seorang imam yang tidak perlu dipertanyakan lagi. ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz, amiirul-mukminiin yang disebut sebagai para ulama khalifah paling
utama setelah era Al-Khulafaaur-Raasyidiin.
Ar-Rabii’ bin
Sabrah adalah seorang yang tsiqah, seorang tabi’iy pertengahan. Riwayatnya dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa dihukumi muttashil karena ia sejaman. Telah disebutkan pada riwayat di
atas bahwa Ar-Rabii’ meriwayatkan hadits dari ayahnya (Sabrah bin Ma’bad,
seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) yang disebutkan wafat pada era kekhilafahan
Mu’aawiyyahradliyallaahu ‘anhu. Mu’aawiyyah wafat tahun 60 H. Ibnu
‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa sendiri wafat pada tahun 68 H.
Kesimpulannya :
Riwayat ini shahih.
Ada beberapa
riwayat lain selain di atas tentang rujuknya Ibnu ‘Abbaasradliyallaahu
‘anhumaa. Namun satu yang di sebutkan di sini sudahlah cukup memberikan
keterangan tentang posisi Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu dalam permasalahan nikah mut’ah; yaitu : Ia
memang pernah memfatwakan kebolehannya sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memperbolehkannya. Kemudian setelah
mendapat kecaman dan penjelasan dari para shahabat lain, Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu pun akhirnya menerima dan ruju’ karena telah
nyata baginya kebenaran pengharaman nikah mut’ah, walau itu memerlukan waktu
(tidak seketika).
Seandainya atsar rujuknya Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa di atas tidak pernah ada, atau dianggap palsu,
tetap saja yang kita pakai adalah larangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan nikah mut’ah, karena telah jelas dari lisan
beliau sendiri akan larangannya hingga hari kiamat. Ditambah lagi posisi mayoritas
shahabat, tabi’iin, dan ulama setelahnya yang menyepakati hal itu.
Jika orang
Syi’ah telah memberikan tiga opsi (walau tidak valid), maka ijinkanlah saya
juga melemparkan opsi yang tak sama yang tidak harus dipilih oleh orang Syi’ah
:
1. Jika orang Syi’ah yang gemar memakai hadits
Ahlus-Sunnah membela mati-matian pensyari’atan nikah mut’ah dengan dalih
pendapat Ibnu ‘Abbaas (dan sebagian shahabat lainnya), itu artinya ‘Aliy bin
Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhuharus diakui sebagai pribadi tidak ma’shum karena telah keliru dalam membawakan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang pengharaman nikah mut’ah.
Konsekuensinya,
maka nyata bagi kita bahwa ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu kalah ‘alim dibandingkan Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa dalam memahami salah satu cabang syari'at dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2. Atau jika ingin tetap berpegang dengan teori
kema’shuman ‘Aliy bin Abi Thaalibradliyallaahu ‘anhu, maka mulai
sekarang belajarlah bicara bahwa nikah mut’ah itu diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya. Tidak ada nukilan shahih – sependek pengetahuan saya – yang
mengatakan bahwa ‘Aliy bin Abi Thaalib membolehkan atau bahkan menganjurkan
nikah mut’ah sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam referensi kitab Ahlus-Sunnah. Kecuali jika
mereka (orang Syi’ah) ingin berhujjah dengan kitab hadits Syi’ah. Kalau memang
demikian, saya angkat tangan.
3. Atau taruhlah riwayat ‘Aliy yang shahih ini
dianggap lemah, palsu, atau bahkan tidak ada sama sekali…. Kira-kira apa sikap
yang seharusnya ada pada diri ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu atas pelarangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam nikah mut’ah ?. Menyelisihi atau menyepakati
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?.
4. Atau …… riwayat pelarangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam nikah mut’ah hingga hari kiamat di atas juga
akan dihukumi tidak shahih ?. Kalau memang begitu, berakhirlah artikel ini
dengan kesimpulan : Riwayat yang bertentangan dengan kebolehan nikah mut’ah
atau riwayat yang dirasa tidak menguntungkan bagi eksisnya nikah mut’ah patut
untuk dilemahkan.
Semoga yang
sedikit ini ada manfaatnya….
Wallaahu a’lam
bish-shawwaab.[4]
[abul-jauzaa’ –
2011].
[1] Riwayat ini ‘mirip’ dengan
riwayat bersanad shahih versi kitab Syi’ah berikut :
محمد بن يحيى عن
أبي جعفر عن أبي الجوزاء عن الحسين بن علوان عن عمرو بن خالد عن زيد بن علي عن
آبائه عن علي عليهم السلام قال : ((حرم رسول الله صلى الله عليه وآله يوم خيبر
لحوم الحمر الأهلية ونكاح المتعة)).
Muhammad bin
Yahyaa, dari Abu Ja’far, dari Abul-Jauzaa’, dari Al-Husain bin ‘Ulwaan, dari
‘Amru bin Khaalid, dari Zaid bin ‘Aliy, dari ayah-ayahnya, dari ‘Aliy ‘alaihis-salaam, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi telah mengharamkan pada hari Khaibar daging
keledai kampung/jinak dan nikah mut’ah” [Tahdziibul-Ahkaam oleh Ath-Thuusiy, 7/251].
Baca pembahasannya di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/08/imam-ali-bin-abi-thalib-dan-nikah-mutah_04.html.
[2] Yaitu sanad yang dibawakan Muslim
sebelumnya : ‘Dari Ibnu Syihaab, dari
‘Abdullah dan Al-Hasan – keduanya anak dari Muhammad bin ‘Aliy - , dari
ayahnya’.
[3] Sebagaimana telah dijelaskan
para ulama. Misalnya saja Al-Imam Muslim yang membuat bab dalam kitab
Shahih-nya : Bab Nikah Mut‘ah dan
Penjelasan bahwa Hal Itu Mulanya Dibolehkan kemudian Dihapus kemudian
Dibolehkan kemudian Dihapus lagi dan Ditetapkan Keharamannya sampai Hari Kiamat ; dimana beliau menjamak beberapa hadits shahih dalam istinbath-nya.
[4] Silakan baca suplemen : http://www.dd-sunnah.net/forum/showthread.php?t=123934
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Ada orang Syi'ah yang menanggapi artikel di atas.
Namun saya hanya akan fokus ke riwayat (karena judul artikel di atas mengenai
hal itu) :
قَالَ يُونُسُ: قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَسَمِعْتُ الرَّبِيعَ بْنَ سَبْرَةَ، يُحَدِّثُ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَأَنَا جَالِسٌ، أَنَّهُ قَالَ: مَا مَاتَ ابْنُ عَبَّاسٍ حَتَّى رَجَعَ عَنْ هَذِهِ الْفُتْيَا
Telah berkata Yuunus : Telah berkata Ibnu Syihaab : Aku
mendengar Ar-Rabii’ bin Sabrah menceritakan kepada ‘Umar bin
‘Abdil-‘Aziiz dan saat itu aku sedang duduk. Ia (Ibnu Sabrah) berkata :
“Tidaklah Ibnu ‘Abbaas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini (tentang
kebolehan nikah mut’ah)” [Diriwayatkan oleh Abu ‘Awaanah no. 4057].
Dikatakan bahwa katanya saya salah dalam menterjemahkan yang bergaris tebal.
Dan katanya, yang benar adalah :
Dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah menceritakan hadis itu [yang dari
ayahnya sebelumnya] kepada Umar bin Abdul Aziz.
Saya katakan : Terjemahan dhahir adalah sebagaimana yang ada dalam artikel di
atas. Tidak ada yang salah sebenarnya. Adapun yang diterjemahkan orang Syi'ah
itu hanyalah penafsiran saja. Seharusnya ia memakai tanda kurung atas kata yang
bercetak tebal di atas, karena itu tidak ada dalam dhahir lafadh.
Perkataannya :
Jadi hadis yang diceritakan Rabi’ bin Sabrah kepada Umar bin Abdul Aziz adalah
hadis Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya bukan hadis Rabi’ bin Sabrah dari Ibnu
Abbas karena tidak dikenal Rabi’ meriwayatkan dari Ibnu Abbas.
Ini hanyalah fallacy saja. Jelas sekali Ibnu Syihaab mengatakan : "Sami'tu
Ar-Rabii' bin Sabrah yuhadditsu 'Umara ibna 'Abdil-'Aziiz wa ana jaalis, annahu
qaala : maa maata Ibn 'Abbaas....dst."
Jadi yang menjadi fokus riwayat ini adalah Ar-Rabii' menceritakan sesuatu
kepada 'Umar bin 'Abdil-'Aziiz yang berisi keterangan tentang nikah mut'ah.
Yang menjadi petunjuk adalah perkataan Ar-Rabii' : "Tidaklah Ibnu
‘Abbaas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini (tentang kebolehan
nikah mut’ah)".
Kemudian dalam pembicaraan itu Ar-Rabii' bin Sabrah menceritakan pengetahuannya
tentang Ibnu 'Abbaas, bahwasannya ia mati dalam keadaan rujuk dari fatwanya
yang terdahulu.
Apa yang menjadi kemusykilan ?.
Ketika orang Syi'ah itu tidak menemukan jalan untuk melemahkan, ia pun berkata
:
Jelas seperti yang dikatakan Ibnu Hajar kalau perkataan soal ruju’nya Ibnu
Abbas adalah perkataan Ibnu Syihab Az Zuhri bukan perkataan Rabi’ bin Sabrah.
Riwayat Abu Awanah ini adalah satu kesatuan dengan riwayat perselisihan Ibnu
Abbas dan Ibnu Zubair dalam Shahih Muslim sebelumnya dengan sanad dari Yunus
dari Ibnu Syihab, kemudian Ibnu Syihab Az Zuhri juga membawakan hadis Rabi’ bin
Sabrah dan ia [Az Zuhri] memberikan komentar akhir kalau Ibnu Abbas telah
menarik fatwanya. Jadi pernyataan ruju’nya Ibnu Abbas adalah pendapat Az
Zuhri semata yang tidak shahih sanadnya kepada Ibnu Abbas.
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Ini adalah pendalilan yang tidak nyambung lagi bingung
jika digunakan untuk untuk menolak riwayat Abu 'Awaanah. Tidak dipungkiri bahwa
ada riwayat dari Az-Zuhriy yang mengatakan Ibnu 'Abbaas rujuk dari fatwanya.
Kalau Ibnu Hajar menisbatkan itu Mustakhraj nya Abu 'Awaanah, ya mari kita buka
bersama, apa isi riwayatnya. Jelas sekali di situ Az-Zuhriy mengatakan :
"Aku mendengar Ar-Rabii’ bin Sabrah menceritakan kepada ‘Umar bin
‘Abdil-‘Aziiz dan saat itu aku sedang duduk. Ia (Ibnu Sabrah)
berkata : “Tidaklah Ibnu ‘Abbaas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya
ini (tentang kebolehan nikah mut’ah)”.
Apakah mungkin perkataan Az-Zuhriy : annahu qaala : maa
maata.... adalah perkataan Az-Zuhriy sendiri ? Bentuk kalimat ini adalah
bentuk kalimat orang ketiga. Saya gak tahu apakah orang Syi'ah mengerti tentang
riwayat itu apa tidak.
Perkataan orang Syi'ah itu :
Telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Ibnu Abbas menghalalkan
mut’ah, menegaskan tentang Ayat Al Qur’an yang menghalalkan mut’ah kemudian mengkritik
Umar dimana Ibnu Abbas yang menyatakan seandainya mut’ah tidak dilarang Umar
maka tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang celaka. Ditambah lagi
dengan fakta bahwa beberapa sahabat dan murid Ibnu Abbas seperti Atha’ dan
Sa’id bin Jubair juga menghalalkan mut’ah. Jadi kabar ruju’nya Ibnu Abbas dari
fatwanya itu kabar yang lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah.
Ini adalah perkataan basi.
Tidak ada yang mengingkari bahwa Ibnu 'Abbaas pernah menghalalkan nikah mut'ah.
Namun perkataan Ar-Rabii' bin Sabrah menjadi satu kesaksian bahwa Ibnu 'Abbaas
meninggal dalam keadaan rujuk dari fatwanya terdahulu. Adapun sebagian murid
Ibnu 'Abbaas yang juga menghalalkan nikah mut'ah, maka itu tidak bisa menjadi
dalil untuk menolak riwayat Ar-Rabii' bin Sabrah di atas. Apakah ada riwayat
yang semisal yang menyatakan Ibnu 'Abbaas meninggal dalam keadaan masih
berpegang pada fatwa penghalalan ?. Jika tidak ada, maka khabar Ar-Rabii' ini
diterima sebagai satu bentuk pengamalan kaedah : Yang mengetahui menjadi hujjah
bagi orang yang tidak mengetahui. Kaedah ini sangat masyhur dan banyak
diterapkan dalam banyak permasalahan fiqh ketika terjadi ikhtilaaf dalam
riwayat.
Mungkin saja ada sedikit celah untuk melemahkannya sebagaimana perkataannya
bahwa Ar-Rabii' tidak dikenal periwayatannya dari Ibnu 'Abbaas. Jadi, katanya,
riwayat tersebut berasal dari ayahnya dari Ibnu 'Abbaas.
Saya katakan : Hal itu tidak masalah, karena tidak disebutkannya Ibnu 'Abbaas
dalam jajaran guru Ar-Rabii' bukanlah hujjah bahwa riwayat itu munqathi'.
Riwayat itu setara dengan riwayat mu'an'an. Seandainya dipenuhi persyaratan
shahih, maka shahih lah dia. Dan telah saya sebutkan persyaratan keshahihan
dalam artikel di atas.
Ar-Rabii' menceritakan ihwal kehidupan Ibnu 'Abbaas.
Apa yang menjadi penghalang baginya untuk tidak mengetahui kehidupan Ibnu
'Abbaas dan kematiannya ? Ia hidup sejaman dan Ibnu 'Abbaas. Dan ia pun hidup
senegeri dengan Ibnu 'Abbaas di kota Madinah.
[yang menjadi penghalang sebenarnya adalah pemahaman dari orang Syi'ah itu
sendiri yang mengharuskan Ibnu 'Abbaas meninggal dalam keadaan tetap berpegang
pada fatwanya]
Walhasil, riwayat Abu 'Awaanah tentang rujuknya Ibnu 'Abbaas adalah shahih.
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Komentar di atas mendapat lagi sanggahan lagi dari
revisi artikel sebelumnya. Sebenarnya sudah jelas saya tuliskan di atas. Tapi
tidak mengapa saya ulang. Ini riwayat Abu 'Awaanah :
قَالَ يُونُسُ: قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَسَمِعْتُ الرَّبِيعَ بْنَ سَبْرَةَ، يُحَدِّثُ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَأَنَا جَالِسٌ، أَنَّهُ قَالَ: مَا مَاتَ ابْنُ عَبَّاسٍ حَتَّى رَجَعَ عَنْ هَذِهِ الْفُتْيَا
Telah berkata Yuunus : Telah berkata Ibnu Syihaab : Aku mendengar Ar-Rabii’ bin
Sabrah menceritakan kepada ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz dan saat itu aku sedang
duduk. Ia (Ibnu Sabrah) berkata : “Tidaklah Ibnu ‘Abbaas meninggal
hingga ia rujuk dari fatwanya ini (tentang kebolehan nikah mut’ah)”
[Diriwayatkan oleh Abu ‘Awaanah no. 4057].
Yang saya cetak tebal, menurut orang Syi'ah itu merupakan perkataan Ibnu
Syihaab. Sehingga yang mengatakan annahu qaala itu adalah Yuunus yang taqdirnya
kembali ke Ibnu Syihaab.
Ia melandaskan alasannya itu dari riwayat Muslim :
وأخبرني ربيع بن سبرة الجهني أن أباه قال قد كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه و سلم عن المتعة قال ابن شهاب وسمعت ربيع بن سبرة يحدث ذلك عمر بن عبدالعزيز وأنا جالس
JUga riwayat Al-Baihaqiy :
وأخبرني الربيع بن سبرة الجهني أن أباه قال قد كنت استمتعت في عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم من امرأة من بني عامر ببردين أحمرين ثم نهانا رسول الله صلى الله عليه و سلم عن المتعة قال بن شهاب وسمعت الربيع بن سبرة يحدث ذلك عمر بن عبد العزيز وأنا جالس
Mana yang menjelaskan bahwa lafadh annahu qaala : maa maata....dst itu adalah
perkataan Ibnu Syihaab ?
Justru dalam riwayat Abu 'Awaanah, Yunus meriwayatkan perkataan Ibnu Syihaab
sebagaimana riwayat Muslim dan Al-Baihaqiy di atas. Kemudian di situ
ditambahkan lafadh, annahu qaala : maa maata Ibn 'Abbaas hattaa raja'a 'an
hadzihil-futyaa.
Atau selengkapnya Abu 'Awaanah berkata :
Qaala Yuunus : Qaala Ibnu Syihaab : Wa sami'tu Ar-Rabii' bin Sabrah yuhadditsu
(dzaalika) 'Umara ibna 'Abdil-'Aziiz, wa ana jaalis, annahu qaala :......
Jadi annahu qaala itu bukan terputus, tapi satu rangkaian dengan kalimat
sebelumnya (yaitu dengan kalimat wa ana jaalis).
Seandainya annahu qaala itu merupakan perkataan Yuunus, maka susunan kalimatnya
janggal. Sebab Abu 'Awaanah dalam kitabnya tersebut membuka dengan qaala Yuunus
(karena riwayat Ibnu Syihaab itu berasal dari Yuunus). Jika kita gabungkan kalimatnya
:
Qaala Yuunus : qaala Ibnu Syihaab annahu qaal
atau
Qaala Yuunus, annahu qaala ?
Dua kalimat di atas tidak benar.
Namun jika kita susun sebagaimana telah saya tulis di atas :
Qaala Yuunus : Qaala Ibnu Syihaab : Wa sami'tu Ar-Rabii' bin Sabrah yuhadditsu
'Umara ibna 'Abdil-'Aziiz, wa ana jaalis, annahu qaala......
Maka kalimat semacam ini dhahirnya mudah dipahami bahwa annahu qaala itu
dikatakan oleh Ibnu Syihaab (bukan Yuunus) sehingga pemilik perkataan : Maa
maata Ibn 'Abbaas adalah Ar-Rabii' bin Sabrah.
Sebagai catatan saja bahwa saya dalam hal ini tidak sedang dalam pengingkaran
bahwa majelis Ibnu Syihaab, Ar-Rabii', dan 'Umar bin 'Abdil-'Aziiz sedang
membawakan hadits yang disebut sebelumnya (hadits yang diriwayatkan Ar-Rabii'
dari bapaknya).
Oleh karena itu, tidak masalah jika penerjemahannya menjadi (sebagaimana
riwayat Muslim) : Telah berkata Ibnu Syihaab : Aku mendengar Ar-Rabii'
menceritakan hal itu (hadits Ar-Rabii' dari bapaknya) kepada 'Umar bin
'Abdil-'Aziiz dan saat itu aku sedang Diterima dalam pemahaman bahasa Arab.
Karena wa annahu qaala itu satu rangkaian dengan perkataan Ibnu Syihaab
sebelumnya. Penjamakannya, perkataan : maa maata...dst. itu merupakan
tambahan keterangan dari Ar-Rabii' sebagaimana telah saya katakan sebelumnya.
Abu Al-Jauzaa'
: mengatakan...
Kalau kita paksa bahwa annahu qaala setelah wa anaa
jaalis itu milik Yuunus yang ditujukan kepada Ibnu Syihaab, maaf beribu maaf,
saya sampai saat ini belum bisa memahaminya.
Makanya itu, ketika orang Syi'ah menterjemahkannnya jadi banyak tanda kurungnya
(kata gantinya jadi banyak untuk dua kata saja - yaitu annahu qaala) :: قال ابن شهاب : وسمعت الربيع بن سبرة يحدث عمر بن عبد العزيز وأنا جالس أنه قال : ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا
Yunus berkata Ibnu Syihab berkata dan aku mendengar Rabi’ bin Sabrah
menceritakan hadis [yaitu riwayat dari ayahnya sebelumnya] kepada Umar bin
Abdul Aziz dimana saat itu aku sedang duduk. [Yunus berkata] Ia [Ibnu
Syihab Az Zuhri] berkata “tidaklah Ibnu Abbas wafat hingga ia rujuk dari
fatwanya ini”.
Cermati kalimat yang saya tebali, kemudian bandingkan dengan yang versi bahasa
Arabnya
....wa ana jaalis, annahu qaala :....
Kira-kira nyambung nggak ?
Pertama saya kasih contoh gampang untuk perkataanya
kalau Abu Awanah dalam kitabnya membuka dengan perkataan qala Yunus. maka saya
katakan kepada salafy lucu itu konsekuensinya zahir sanad hadis itu adalah “Abu
Awanah berkata Yunus berkata Ibnu Syihab berkata” maka saya tanya sanad seperti
itu shahih tidak?. Apakah Abu Awanah meriwayatkan dari Yunus bin Yazid?.
Silakan salafy itu jawab
Dan kalau ia mau menjawab antara Abu Awanah dan Yunus itu terdapat sanad lain,
sanad mana? mau pakai sanad dari hadis perselisihan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair
sebelumnya. lho kok bisa? ngapain salafy itu pakai keterangan dari sanad
sebelumnya. Secara zahir Abu Awanah dalam kitabnya membuka dengan perkataan
qala Yunus artinya sanad tersebut mu’allaq. Antara Abu Awanah dan Yunus bin
Yazid itu terputus. Nah bisa terima tidak logika yang seperti ini. Kalau ndak
bisa, ya jangan kebanyakan membantah, pikir dulu baik-baik.
Kalau ia mau menanyakan mana yang benar dengan lafaz Qaala Yuunus : qaala Ibnu
Syihaab annahu qaal atau Qaala Yuunus, annahu qaala ?. Maka yang benar adalah
yang terakhir. lafaz ‘annahu qala adalah perkataan Yunus dan “hu” disana adalah
Az Zuhri. Buktinya dapat dilihat pada riwayat Muslim dan Baihaqi, disana hadis
yang dimaksud tidak dimulai dengan lafaz “qala Yunus” tetapi “qala Ibnu Syihab”
dan pada kedua riwayat itu hadisnya berhenti pada kata wa ana jalis. sedangkan
pada riwayat Abu Awanah, lafaz hadisnya dimulai dengan “qala Yunus” dan setelah
lafaz “wa ana jalis” terdapat tambahan “annahu qala”. Maka bisa dipahami kalau
lafaz annahu qala adalah milik Yunus.
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Katanya, konsekuensinya adalah Abu 'Awaanah berkata :
Yuunus berkata : Ibnu Syihaab berkata......
Saya katakan kepada orang yang saya anggap agak pendek pikirannya :
Tentu saja tidak seperti itu, sebagaimana orang Syi'ah di perkataan awalnya
katanya 'tidak mempermasalahkannya'. Soalnya sudah sama-sama diketahui
bahwasannya Abu 'Awaanah dalam kitabnya itu membawakan dari sanad hingga ke
Yuunus. Begitu juga dalam riwayat Muslim dan Al-Baihaqiy. Membuka yang saya
maksudkan adalah dalam hal riwayat yang sedang dibahas sesuai tartib dalam
Mustakhraj, karena Abu 'Awaanah membawakan beberapa riwayat dari Yuunus. Kok
ujug2 bisa mu'allaq. Jadi saran saya, tidak perlu membikin masalah yang bukan
masalah, yang sama-sama dan diketahui....
Jadi yang jadi titik masalah adalah sanad Yuunus dari Ibnu Syihaab tentang
kesaksiannya atas riwayat Ar-Rabii'. Sekali lagi ini fokusnya.
Orang Syii'ah memberikan bukti yang gak nyambung dan tidak diterima logika.
Katanya, buktinya dalam riwayat Muslim dan Al-Baihaqiy dimulai dengan Qaala
Ibnu Syihaab, dan berhenti pada kata : Wa ana jaalis. Jadi, katanya, perkataan annahu
qaala itu milik Yuunus, dan "hu" nya itu tertuju pada Ibnu Syihaab.
Coba saya ajak para Pembaca lain mencermati logika orang Syi'ah ini. Apa
masalahnya kalau dalam riwayat Muslim dan Al-Baihaqiy seperti itu ?
Abu 'Awaanah dalam Mustakhraj nya 'membuka' (coba deh dipahami, capeek deh
kalau ini juga jadi masalah) pada beberapa riwayatnya adalah Qaala Yuunus. Lha
kok bisa orang Syi'ah itu mau mengatakan annahu qaala itu juga dikatakan oleh
Yuunus yang kata gantu "hu"-nya tertuju pada Ibnu Syihaab. Tolong
deh, cermati sekali lagi.
Qaala Yuunus : annahu qaala ?
Justru dalam periwayatan Abu 'Awaanah itu, annahu qaala itu satu rangkaian
dengan Qaala Yuunus. Sehingga lengkapnya Qaala Yuunus : Qaala Ibnu Syihaab : Wa
sami'tu Ar-Rabii' bin Sabrah yuhadditsu (dzaalika) 'Umara ibna 'Abdil-'Aziiz,
wa ana jaalis, annahu qaala :.......
Jadi ringkasnya, annahu qaala itu tambahan perkataan Ibnu Syiihab yang
diriwayatkan oleh Abu 'Awaanah melalui sanadnya sampai pada Yuunus - dimana itu
tidak ada dalam riwayat Al-Baihaqiy dan Muslim
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Sebagai tambahan tentang tartib Abu 'Awaanah dalam
Mustakhraj-nya sebagai berikut (no. 4057) :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا عَمِّي(ح) وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ مَعْرُوفٍ، وَأَبُو سَعِيدٍ الْجُعْفِيُّ، قَالا: أنبا ابْنُ وَهْبٍ(ح) وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَوْفٍ، حَدَّثَنَا أَصْبَغُ بْنُ الفَرَجِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ وَهْبٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي يُونُسُ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ، قَامَ بِمَكَّةَ، فَقَالَ: إِنَّ نَاسًا أَعْمَى اللَّهُ قُلُوبَهُمْ كَمَا أَعْمَى أَبْصَارَهُمْ، يُفْتُونَ بِالْمُتْعَةِ، يُعَرِّضُ بِابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى: بِرَجُلٍ، وَقَالَ غَيْرُهُ: ابْنُ عَبَّاسٍ. فَنَادَاهُ ابْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّكَ جِلْفٌ جَافٍ، فَلَعَمْرِي لَقَدْ كَانَتِ الْمُتْعَةُ تُعْمَلُ فِي عَهْدِ إِمَامِ الْمُتَّقِينَ، يُرِيدُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -، فَقَالَ لَهُ ابْنُ الزُّبَيْرِ: فَجَرِّبْ بِنَفْسِكِ، فَوَاللَّهِ لَئِنْ فَعَلْتَهَا لأَرْجُمَنَّكَ بِأَحْجَارِكَ.
Di atas adalah sanad asalnya. Kemudian Abu 'Awaanah membawakan riwayat lain
sebagai berikut (dengan meringkas sanad, sampai pada Yuunus) :
قَالَ يُونُسُ: قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَأَخْبَرَنِي خَالِدُ بْنُ المُهَاجِرِ بْنِ سَيْفِ اللَّهِ أَنَّهُ بَيْنَمَا هُوَ جَالِسٌ عِنْدَ ابْنِ عَبَّاسٍ جَاءَهُ رَجُلٌ، فَاسْتَفْتَاهُ فِي الْمُتْعَةِ، فَأَمَرَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ بِهَا. فَقَالَ لَهُ ابْنُ أَبِي عَمْرَةَ الأَنْصَارِيُّ: مَهْلا يَا ابْنَ عَبَّاسٍ. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: أَمَّا هِيَ وَاللَّهِ لَقَدْ فُعِلَتْ فِي عَهْدِ إِمَامِ الْمُتَّقِينَ. قَالَ ابْنُ أَبِي عَمْرَةَ: يَا أَبَا عَبَّاسٍ إِنَّهَا كَانَتْ رُخْصَةً فِي أَوَّلِ الإِسْلامِ لِمَنِ اضْطُرَّ إِلَيْهَا، كَالْمَيْتَةِ، وَالدَّمِ، وَلَحْمِ الْخِنْزِيرِ، ثُمَّ أَحْكَمَ اللَّهُ الدِّينَ، وَنَهَى عَنْهَا.
قَالَ يُونُسُ: قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَأَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ كَانَ يُفْتِي بِهَا، وَيَغْمِصُ ذَلِكَ عَلَيْهِ أَهْلُ الْعِلْمِ، فَأَبَى ابْنُ عَبَّاسٍ أَنْ يَنْتَقِلَ عَنْ ذَلِكَ، حَتَّى طَفِقَ بَعْضُ الشُّعَرَاءِ يَقُولُ:
يَا صَاحِ هَلْ لَكَ فِي فُتْيَا ابْنِ عَبَّاسٍ هَلْ لَكَ فِي نَاعِمٍ خُودٍ مُبْتَلَّةٍ
تَكُونُ مَثْوَاكَ حَتَّى يَصْدِرَ النَّاسُ
قَالَ: فَازْدَادَ أَهْلُ الْعِلْمِ لَهَا قَذَرًا، وَلَهَا بُغْضًا حِينَ قِيلَ فِيهَا الأَشْعَارُ.
Sanad di atas dimulai dari : Qaala Yuunus...dst.
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Dan berikut adalah sanad yang dibahas (masih pada
nomor yang sama) :
قَالَ يُونُسُ: قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: أَخْبَرَنِي الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ، أَنَّ أَبَاهُ، قَالَ: كُنْتُ اسْتَمْتَعْتُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مِنِ امْرَأَةٍ مِنْ بَنِي عَامِرٍ بِبُرْدَيْنِ أَحْمَرَيْنِ، ثُمَّ نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - عَنِ الْمُتْعَةِ.
قَالَ يُونُسُ: قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَسَمِعْتُ الرَّبِيعَ بْنَ سَبْرَةَ، يُحَدِّثُ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَأَنَا جَالِسٌ، أَنَّهُ قَالَ: مَا مَاتَ ابْنُ عَبَّاسٍ حَتَّى رَجَعَ عَنْ هَذِهِ الْفُتْيَا.
Semuanya mulai dari Qaala Yuunus. Oleh karena itu, kata annahu qaala itu bukan
berdiri sendiri, sebagaimana riwayat yang lain, tapi masih kelanjutan dari
Qaala Yuunus : Qaala Ibnu Syihaab.
Atau, sebagaimana dikatakan pada komentar sebelumnya, bahwa lafadh
: annahu qaalaa adalah lafadh yang dibawakan oleh Abu 'Awaanah dari
perkataan Ibnu Syihaab, yang tidak dibawakan oleh Muslim dan Al-Baihaqiy.
Annahu qaala itu adalah perkataan Ibnu Syihaab (dan memang konteks kalimatnya
seperti itu) yang dlamir "hu" nya itu kembali ke Ar-Rabii'.
Dan perlu diingat bahwa terjemahan yang lebih tepat dari annahu qaala adalah :
Bahwasannya ia berkata. Dari sini saja janggal kalau itu diucapkan oleh Yuunus,
apalagi dengan melihat tartib penulisan Abu 'Awaanah dalam Al-Mustakhraj di
atas.
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Dapat khabar dari komentar yang tidak saya
publikasikan bahwa artikel dan komentar di atas telah dibantah secara lengkap
oleh orang Syi'ah. Maaf, dia hanya mengulang statement saja. Malah akhirnya -
di tengah kebingungan dirinya untuk membantah - berani mengatakan :
.....Hilangnya lafaz “dzalik” dalam riwayat Abu
Awanah bisa karena kekeliruannya atau kekeliruan dari naskah kitab Abu
Awanah.
Hingga akhirnya ia memodifikasi riwayat Abu 'Awaanah agar sesuai
dengan sangkaannya menjadi :
قال : أخبرني يونس ، عن ابن شهاب أنه قال : ما مات ابن عباس حتى رجع عن هذه الفتيا.
"....telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab bahwa ia
berkata “tidaklah Ibnu Abbas meninggal hingga ia ruju’ dari fatwanya ini".
Itulah hasil modifikasinya.
Saya berhujjah dengan riwayat Abu 'Awaanah, sedangkan dirinya berhujjah dengan
dirinya sendiri berdasarkan riwayat modifikasinya itu.
Adapun 'bukti' scan kitab pdf - yang saya juga punya - tidaklah membuktikan
apa-apa kecuali hanya sangka-menyangka saja.
Nikah Mut’ah dalam Islam…
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Saya ingin menanyakan
tentang nikah mut’ah dalam Islam. Saya janda dengan dua orang anak
yang ditinggal suami karena kematian. Saat ini saya menjalani pernikahan mut’ahdengan seorang laki-laki sudah dua tahun
lamanya. Kami menikah dengan alasan tidak mau tidak dijalan Allah, saat kami
menikah tidak ada siapapun yang tahu tentang pernikahan kami. Waktu terus
berlanjut, tapi setiap saya menanyakannya tentang kapan pastinya pernikahan
yang sesungguhnya akan dijalankan, pasangan saya selalu bicara dua tahun lagi.
Saya mendesak banget kare keluarga juga sudah
bertanya dan saya memikirkan perkembangan anak-anak saya nanti. Dia menunda
pernikahan yang sebenarnya dengan alas an ada hal-hal yang harus dia buktikan
dahulu (pekerjaan) kepada keluarganya. Padahal anak-anak saya sudah merasa
bahwa dia adalah bapak mereka dan saya meyakini kalau rezeki tidak akan ke
mana. Terus terang pengetahuan saya tentang aturan pernikahan memang tidak
banyak, malah dahulu dia yang menyarankan untuk dilakukannya nikah mut’ah antara kami. Yang menjadi
pertanyaan saya adalah
1. Apa dan bagaimana aturan/hadis tentang nikah mut’ah dalam Islam?
2. Sampai kapan nikah mut’ah itu berlaku?
3. Apa yang bisa saya jadikan alas an kuat kepada
pasangan agar dapat segera melangsungkan pernikahan sesungguhnya?
Demikian, dan terimakasih
atas bimbingannya
Wassalam,
Khadijah.
Alhamdulillah, was-shalatu was-salamu ‘ala rasulillah, la haula wala
quwwata illa billah, waba’du.
Ibu Khadijah yang budiman,
Saya mengapresiasi usaha ibu yang selalu mencari kebenaran, termasuk dalam hal
status perkawinan ibu. Perlu diketahui, bahwa kebenaran menurut ajaran Islam
adalah jika sesuai dengan firman Allah SWT dalam al-Quran al-karim dan sesuai
dengan petunjuk Rasulullah SAW dalam sunnahnya, sebagaimana dinyatakan dalam
sebuah hadis yang artinya :
“Aku tinggalkan kepada kalian dua hal yang kalian tidak akan tersesat
jika berpegang teguh kepada keduanya: kitab Allah (al-quran) dan sunnah
rasulNya” .
Dari hadis tersebut dapat
diketahui bahwa ajaran yang tidak sesuai dengan kitabullah dan sunnah rasulNya
adalah ajaran yang tersesat jalan, termasuk dalam hal pernikahan.
Dalam ajaran Islam, maksud
utama dari pernikahan itu selain sebagai ibadah adalah untuk membangun ikatan
keluarga yang langgeng (mitsaqan ghalidzha) yang dipenuhi dengan sinar kedamaian (sakinah), saling cinta (mawaddah), dan saling kasih-sayang (rahmah). Dengan begitu, ikatan pernikahan yang tidak
ditujukan untuk membangun rumah tangga secara langgeng, tidaklah sesuai dengan
tujuan ajaran Islam.
Di samping itu, jika kita
tengok sejarah awal Islam, di mana ketika itu masyarakat jahiliyah tidak
memberikan kepada wanita hak-haknya sebagaimana mestinya karena wanita ketika
itu lebih dianggap sebagai barang yang bisa ditukar seenaknya, dapat kita
ketahui betapa ajaran Islam menginginkan agar para wanita dapat diberikan
hak-haknya sebagaimana mestinya. Oleh karenanya, dengan syariat nikah menurut
Islam ini, ajaran Islam ingin melindungi para wanita untuk mendapatkan
hak-haknya. Para wanita tidak dapat dipertukarkan lagi sebagaimana zaman
jahiliyah. Para wanita selain harus menjalankan kewajibannya sebagai istri,
juga mempunyai hak untuk diperlakukan secara baik (mu’asyarah bil ma’ruf), dan ketika suami meninggal ia juga dapat
bagian dari harta warisan.
Demikian tujuan nikah
menurut ajaran Islam. Sedangkan nikah mut’ah adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu, sehingga apabila
waktunya telah habis maka dengan sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya
talak. Dalam nikah mut’ah si wanita yang menjadi istri juga tidak
mempunyai hak waris jika si suami meninggal. Dengan begitu, tujuan nikah mut’ah ini tidak sesuai dengan tujuan nikah menurut
ajaran Islam sebagaimana disebutkan di atas, dan dalam nikah mut’ah ini pihak wanita teramat sangat dirugikan. Oleh
karenanya nikah mut’ah ini dilarang oleh Islam.
Dalam hal ini syaikh
al-Bakri dalam kitabnya I’anah at-Thalibin menyatakan yang artinya:
“Kesimpulannya, nikah mut’ah ini haram hukumnya. Nikah ini
disebut nikah mut’ah karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan
belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling
mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan
menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan”.
Memang benar bahwa nikah mut’ah ini pernah dibolehkan ketika awal Islam, tapi
kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam
kitabnya Syarh Shahih Muslim yang artinya:
“yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah
dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum
perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian
dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari perang Authas,
kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat”.
Alasan kenapa ketika itu
dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga
para sahabat yang ikut perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu
masih dalam masa peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika
Allah memberikan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat
ketika itu.
Ada
pendapat yang membolehkan nikah mut’ah ini berdasarkan fatwa
sahabat Ibnu Abbas r.a., padahal fatwa
tersebut telah direvisi oleh Ibnu Abbas sendiri, sebagaimana disebutkan
dalam kitab fiqh as-sunnah yang artinya:
Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa
tabi’in bahwa nikah mut’ah hukumnya boleh, dan yang paling populer
pendapat ini dinisbahkan kepada sahabat Ibnu Abbasr.a., dan dalam
kitab Tahzhib as-Sunan dikatakan:
sedangkan Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah ini
tidaklah secara mutlak, akan tetapi hanya ketika dalam keadaan dharurat. Akan
tetapi ketika banyak yang melakukannya dengan tanpa mempertimbangkan
kedharuratannya, maka ia merefisi pendapatnya tersebut. Ia berkata: “inna
lillahi wainna ilaihi raji’un, demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu
(hanya untuk kesenangan belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan. Saya
tidak menghalalkan nikahmut’ah kecuali ketika dalam keadaan dharurat, sebagaimana
halalnya bangkai, darah dan daging babi ketika dalam keadaan dharurat, yang
asalnya tidak halal kecuali bagi orang yang kepepet dalam keadaan dharurat.
Nikah mut’ah itu sama seperti bangkai, darah, dan daging babi, yang
awalnya haram hukumnya, tapi ketika dalam keadaan dharurat maka hukumnya
menjadi boleh”
Namun
demikian, pendapat yang menghalalkan nikah mut’ah tersebut tidaklah kuat
untuk dijadikan dasar hukum. Sedangkan pendapat yang mengharamkannya dasar
hukumnya sangat kuat, sebab dilandaskan di atas hadis shahih yang artinya :
“Diriwayatkan bahwa sahabat Ali r.a. berkata:
Rasulullah s.a.w. melarang nikah mut’ah ketika perang Khaibar” Hadis dianggap shahih
oleh imam Bukhari dan Muslim.
Hadis
lain menyatakan:
“Diriwayatkan bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa’
r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. memperbolehkan nikah mut’ah selama
tiga hari pada tahun Authas (ketika ditundukkannya Makkah, fathu Makkah)
kemudian (setelah itu) melarangnya” HR. Muslim.
Di
hadis lain disebutkan:
“Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a.
sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya
aku pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah
mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih
mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian
ambil apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ah” HR. Muslim, Abu Dawud,
an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.
Hadis-hadis
tersebut cukup kuat untuk dijadikan pijakan menetapkan hukum haram bagi nikah mut’ah, dan sangat terang
benderang menjelaskan bahwa Islam melarang nikahmut’ah.
Oleh karena itu, jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka ia telah dianggap
melanggar ajaran Islam dan secara otomatis nikahnya tersebut batal, sebagaimana
disebutkan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh
Shahih Muslim:
“Para ulama sepakat (ijma’) bahwa jika saat ini
ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka hukumnya tidak sah (batal),
baik sebelum atau sesudah dilakukan hubungan badan”
Dari
penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa nikah mut’ah pernah dibolehkan ketika
zaman Rasul s.a.w. masih hidup, tapi kemudian diharamkan oleh rasulullah s.a.w.
sampai hari kiamat. Jika ada yang melaksanakan nikah mut’ah pada masa sekarang, maka
nikah mut’ah tersebut hukumnya batal.
Dengan
begitu, kiranya pertanyaan ibu sudah terjawab semuanya. Sebenarnya melalui
pertanyaan yang ibu ajukan, saya menangkap kesan bahwa ibu sudah tidak yakin
dengan sahnya nikah mut’ah yang ibu lakukan.
Berkali-kali ibu menyebutkan ingin “nikah sesungguhnya”. Apalagi pernikahan ibu
dilakukan “dengan tanpa diketahui siapapun”. Sedangkan dalam Islam pernikahan
selain harus ada wali juga harus ada yang menjadi saksi, sehingga tetap harus
ada orang yang menyaksikan. Selain itu, ajaran Islam juga sangat menganjurkan
adanya walimah (semacam pesta).
Tujuannya, agar semakin banyak orang yang menjadi saksi bahwa kedua orang
tersebut telah menjalin ikatan pernikahan. Saksi ini penting, karena setelah
akad nikah selesai kedua mempelai, yakni suami dan istri, saling mempunyai
hak-hak perdata, misalnya dalam hal warisan. Jika ada sengketa di kemudian
hari, misalnya, maka kedudukan istri untuk menuntut haknya akan semakin kuat,
karena ada banyak saksi. Ketentuan ini tentu tidak berlaku terhadap nikah mut’ah, karena dalam nikah mut’ah ketika jangka waktu
pernikahan telah habis, maka tanpa talakpun secara otomatis tidak ada lagi
hubungan antara kedua orang tersebut. Dan jangan lupa, dalam nikahmut’ah istri tidak berhak
mendapat warisan dari suami, ketika, misalnya, suaminya tersebut meninggal.
Tegasnya, dengan nikah mut’ah, para wanita yang
menjadi istri kedudukannya sangatlah lemah. Oleh karenanya Islam melarang nikah mut’ah tersebut.
Apabila
kita renungkan dengan hati yang jernih, betapa ajaran Islam itu sangat indah,
jika dilaksanakan dengan tulus ikhlas, sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Sekarang tinggal kemauan dan kesungguhan dari kita, umat manusia, untuk tunduk
dan mematuhi sabda rasulullah s.a.w. tersebut. Kemuliaan di sisi Allah SWT
adalah bagi orang yang rela mendahulukan dan tunduk kepada aturan-aturanNya
sebagaimana disampaikan oleh utusanNya. Oleh karenanya, saya menyarankan kepada
ibu, selagi masih ada kesempatan segeralah menyatakan penyesalan secara
bersungguh-sungguh dengan bertaubat, dan mulailah dengan ikatan pernikahan yang
diridhai oleh Allah SWT. Yakinlah, bahwa ampunan Allah itu maha luas, dan
tetapkan hati bahwa Allah ‘azza wajalla akan senantiasa bersama
orang yang tunduk terhadap aturan-aturanNya.Wallahu
a’lam bi as-shawab (Oleh Drs. H. Sholahudin al Aiyub, M.Sc)