Mei 13, 2014
Kali ini kita akan
bercerita tentang seorang laki-laki mulia dan memiliki peranan yang besar dalam
sejarah Islam, seorang panglima Islam, serta kebanggaan suku Kurdi, ia adalah
Shalahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub bin Syadi atau yang lebih dikenal dengan
Shalahuddin al-Ayyubi atau juga Saladin. Ia adalah seorang laki-laki yang
mungkin sebanding dengan seribu laki-laki lainnya.
Asal dan Masa Pertumbuhannya
tikrit
Shalahuddin al-Ayyubi
adalah laki-laki dari kalangan ‘ajam (non-Arab), tidak seperti yang disangkakan oleh
sebagian orang bahwa Shalahuddin adalah orang Arab, ia berasal dari suku Kurdi.
Ia lahir pada tahun 1138 M di Kota Tikrit, Irak, kota yang terletak antara
Baghdad dan Mosul. Ia melengkapi orang-orang besar dalam sejarah Islam yang
bukan berasal dari bangsa Arab, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam
Tirmidzi, dan lain-lain.
Karena suatu alasan,
kelahiran Shalahuddin memaksa ayahnya untuk meninggalkan Tikrit sehingga sang
ayah merasa kelahiran anaknya ini menyusahkan dan merugikannya. Namun kala itu
ada orang yang menasihatinya, “Engkau tidak pernah tahu, bisa jadi anakmu
ini akan menjadi seorang raja yang reputasinya sangat cemerlang.”
Dari Tikrit, keluarga
Kurdi ini berpindah menuju Mosul. Sang ayah, Najmuddin Ayyub tinggal bersama
seorang pemimpin besar lainnya yakni Imaduddin az-Zanki. Imaduddin az-Zanki
memuliakan keluarga ini, dan Shalahuddin pun tumbuh di lingkungan yang penuh
keberkahan dan kerabat yang terhormat. Di lingkungan barunya dia belajar
menunggang kuda, menggunakan senjata, dan tumbuh dalam lingkungan yang sangat
mencintai jihad. Di tempat ini juga Shalahuddin kecil mulai mempelajari
Alquran, menghafal hadis-hadis Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam,
mempelajari bahasa dan sastra Arab, dan ilmu-ilmu lainnya.
Diangkat Menjadi Mentri
di Mesir
Sebelum kedatangan
Shalahuddin al-Ayyubi, Mesir merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Syiah, Daulah
Fathimiyah. Kemudian pada masa berikutnya Dinasti Fathimiyah yang berjalan
stabil mulai digoncang pergolakan di dalam negerinya. Orang-orang Turki, Sudan,
dan Maroko menginginkan adanya revolusi. Saat itu Nuruddin Mahmud, paman
Shalahuddin, melihat sebuah peluang untuk menaklukkan kerajaan Syiah ini, ia
berpandangan penaklukkan Daulah Fathimiyyah adalah jalan lapang untuk
membebaskan Jerusalem dari kekuasaan Pasukan Salib.
Nuruddin benar-benar
merealisasikan cita-citanya, ia mengirim pasukan dari Damaskus yang dipimpin
oleh Asaduddin Syirkuh untuk membantu keponakannya, Shalahuddin al-Ayyubi, di
Mesir. Mengetahui kedatangan pasukan besar ini, sebagian Pasukan Salib yang
berada di Mesir pun lari kocar-kacir sehingga yang dihadapi oleh Asaduddin dan
Shalahuddin hanyalah orang-orang Fathimyah saja. Daulah Fathimiyah berhasil
dihancurkan dan Shalahuddin diangkat menjadi mentri di wilayah Mesir. Namun
tidak lama menjabat sebagai menteri di Mesir, dua bulan kemudian Shalahuddin
diangkat sebagai wakil dari Khalifah Dinasti Ayyubiyah.
Selama dua bulan
memerintah Mesir, Shalahuddin membuat kebijakan-kebijakan progresif yang
visioner. Ia membangun dua sekolah besar berdasarkan madzhab Ahlussunnah wal
Jamaah. Hal ini ia tujukan untuk memberantas pemikiran Syiah yang bercokol
sekian lama di tanah Mesir. Hasilnya bisa kita rasakan hingga saat ini, Mesir
menjadi salah satu negeri pilar dakwah Ahlussunnah wal Jamaah atau Sunni. Kebijakan
lainnya yang ia lakukan adalah mengganti penyebutan nama-nama khalifah
Fathimiyah dengan nama-nama khalifah Abbasiyah dalam khutbah Jumat.
Menaklukkan Jerusalem
Persiapan Shalahuddin
untuk menggempur Pasukan Salib di Jerusalem benar-benar matang. Ia
menggabungkan persiapan keimanan (non-materi) dan persiapan materi yang luar
biasa. Persiapan keimanan ia bangun dengan membersihkan akidah Syiah bathiniyah
dari dada-dada kaum muslimin dengan membangun madrasah dan menyemarakkakn
dakwah, persatuan dan kesatuan umat ditanamkan dan dibangkitkan kesadaran
mereka menghadapi Pasukan Salib. Dengan kampanyenya ini ia berhasil menyatukan
penduduk Syam, Irak, Yaman, Hijaz, dan Maroko di bawah satu komando. Dari
persiapan non-materi ini terbentuklah sebuah pasukan dengan cita-cita yang sama
dan memiliki landasan keimanan yang kokoh.
Dari segi fisik
Shalahuddin mengadakan pembangunan makas militer, benteng-benteng perbatasan,
menambah jumlah pasukan, memperbaiki kapal-kapal perang, membangun rumah sakit,
dll.
Pada tahun 580 H,
Shalahuddin menderita penyakit yang cukup berat, namun dari situ tekadnya untuk
membebaskan Jerusalem semakin membara. Ia bertekad apabila sembuh dari
sakitnya, ia akan menaklukkan Pasukan Salib di Jerusalem, membersihkan tanah
para nabi tersebut dari kesyirikan trinitas.
Dengan karunia Allah,
Shalahuddin pun sembuh dari sakitnya. Ia mulai mewujudkan janjinya untuk
membebaskan Jerusalem. Pembebasan Jerusalem bukanlah hal yang mudah,
Shalahuddin dan pasukannya harus menghadapi Pasukan Salib di Hathin terlebih
dahulu, perang ini dinamakan Perang Hathin, perang besar sebagai pembuka untuk
menaklukkan Jerusalem. Dalam perang tersebut kaum muslimin berkekuatan 63.000
pasukan yang terdiri dari para ulama dan orang-orang shaleh, mereka berhasil membunuh
30.000 Pasukan Salib dan menawan 30.000 lainnya.
Setelah menguras energy
di Hathin, akhirnya kaum muslimin tiba di al-Quds, Jerusalem, dengan jumlah
pasukan yang besar tentara-tentara Allah ini mengepung kota suci itu. Perang
pun berkecamuk, Pasukan Salib sekuat tenaga mempertahankan diri, beberapa
pemimpin muslim pun menemui syahid mereka –insya Allah- dalam peperangan ini.
Melihat keadaan ini, kaum muslimin semakin bertambah semangat untuk segera
menaklukkan Pasukan Salib.
Untuk memancing emosi
kaum muslimin, Pasukan Salib memancangkan salib besar di atas Kubatu Shakhrakh.
Shalahuddin dan beberapa pasukannya segera bergerak cepat ke sisi terdekat
dengan Kubbatu Shakhrakh untuk menghentikan kelancangan Pasukan Salib. Kemudian
kaum muslimin berhasil menjatuhkan dan membakar salib tersebut. Setelah itu, jundullah menghancurkan menara-menara dan benteng-benteng al-Quds.
Pasukan Salib mulai
terpojok, merek tercerai-berai, dan mengajak berunding untuk menyerah. Namun
Shalahuddin menjawab, “Aku tidak akan menyisakan seorang pun dari kaum Nasrani,
sebagaimana mereka dahulu tidak menyisakan seorang pun dari umat Islam (ketika
menaklukkan Jerusalem)”. Namun pimpinan Pasukan Salib, Balian bin Bazran,
mengancam “Jika kaum muslimin tidak mau menjamin keamanan kami, maka kami akan
bunuh semua tahanan dari kalangan umat Islam yang jumlahnya hampir mencapai
4000 orang, kami juga akan membunuh anak-anak dan istri-istri kami,
menghancurkan bangunan-bangunan, membakar harta benda, menghancurkan Kubatu
Shakhrakh, membakar apapun yang bisa kami bakar, dan setelah itu kami akan
hadapi kalian sampai darah penghabisan! Satu orang dari kami akan membunuh satu
orang dari kalian! Kebaikan apalagi yang bisa engkau harapkan!” Inilah ancaman
yang diberikan Pasukan Salib kepada Shalahuddin dan pasukannya.
Shalahuddin pun
mendengarkan dan menuruti kehendak Pasukan Salib dengan syarat setiap laki-laki
dari mereka membayar 10 dinar, untuk perempuan 5 dinar, dan anak-anak 2 dinar.
Pasukan Salib pergi meninggalkan Jerusalem dengan tertunduk dan hina. Kaum
muslimin berhasil membebaskan kota suci ini untuk kedua kalinya.
Shalahuddin memasuki
Jerusalem pada hari Jumat 27 Rajab 583 H / 2 Oktober 1187, kota tersebut
kembali ke pangkuan umat Islam setelah selama 88 tahun dikuasai oleh
orang-orang Nasrani. Kemudian ia mengeluarkan salib-salib yang terdapat di
Masjid al-Aqsha, membersihkannya dari segala najis dan kotoran, dan
mengembalikan kehormatan masjid tersebut.
Wafatnya Sang Pahlawan
Sebagaimana manusia
sebelumnya, baik dari kalangan nabi, rasul, ulama, panglima perang dan yang
lainnya, Shalahuddin pun wafat meninggalkan dunia yang fana ini. Ia wafat pada usia 55
tahun, pada 16 Shafar 589 H bertepatan dengan 21 Febuari 1193 di Kota Damaskus.
Ia meninggal karena mengalami sakit demam selama 12 hari. Orang-orang ramai
menyalati jenazahnya, anak-anaknya Ali, Utsman, dan Ghazi turut hadir
menghantarkan sang ayah ke peristirahatannya. Semoga Allah meridhai, merahmati,
dan membalas jasa-jasa engkau wahai pahlawan Islam, sang pembebas
Jerusalem.
Sumber:
Shalahuddin al-Ayyubi
Bathalu al-Hathin oleh Abdullah Nashir Unwan
Shalahuddin al-Ayyubi oleh Basim al-Usaili
Shalahuddin al-Ayyubi oleh Abu al-Hasan an-Nadawi
Islamstroy.com
Ditulis
oleh Nurfitri Hadi
Artikel http://www.KisahMuslim.com
Dendam Syi’ah Kepada
Shalahuddin al-Ayyubi
Mei 13, 2014
Orang-orang Syiah belum
lupa bahwa Shalahuddin al-Ayyubi adalah orang yang telah melenyapkan Daulah
Fathimiyah (kerajaan Syiah) di Mesir, dan kembali memberikan tempat bagi
Ahlussunnah wal Jamaah. Karena itulah mereka berulang kali berusaha untuk
membunuhnya, untuk mendirikan Daulah Fathimiyah yang baru. Dan dalam semua
konspirasi ini mereka meminta bantuan kepada orang-orang asing serta berkirim
surat kepada mereka.
Al-Maqrizi berkata
dalam as-Suluk, “Pada tahun 559 H, sekelompok penduduk Mesir berkumpul untuk
mengangkat salah seorang anak al-Adhid –khalifah terakhir Fathimiyah – dan
membunuh Shalahuddin al-Ayyubi, serta mengirimkan surat kepada orang-orang
asing guna meminta bantuan dari mereka. Di antara mereka adalah; al-Qadhi
al-Mufaddhal Dhiya’uddin Nasrullah bin Abdullah bin Kamil al-Qadhi, Syarif
al-Julais, Najah al-Hamami, al-Faqih Imarah bin Ali al-Yamani, Abdusshamad
al-Katib, al-Qadhi al-A’az Salamah al-Uwairis seorang ketua pelaksan Dewan
Konsiderasi dan Kehakiman, dai terkenal Abdul Jabir bin Islamil bin Abdul Qowi,
dan Wa’iz Zainuddin bin Naja. Wa’iz melaporkan mereka kepada sultan (Shalahuddin)
dan meminta padanya untuk memberikan semua yang ada pada Ibnu Kamil ad-Da’i
berupa jabatan dan semua fasilitas. Permintaannya itu dikabulkan, kemudian
orang-orang tersebut dikepung dan semuanya dihukum gantung. Shalahuddin mulai
mengawasi setiap orang yang mempunyai ambisi untuk membangun kembali Daulah
Fathimiyah.
Shalahuddin menghukum
mati dan menahan banyak orang hingga ia disarankan agar memberangkatkan seluruh
pasukan dan pegawai istana serta panglima tentara Sudan ke wilayah dataran
paling tinggi. Ia juga menangkap seorang laki-laki beranama Qadid pada tanggal
15 Ramadhan. Qadid adalah salah seorang propagandis Daulah Fathimiyah di
Alexandria.” (as-Suluk li Ma’rifati Duwal al-Muluk, 1: 53-54).
Meskipun para
penghianat yang telah mengadakan konspirasi telah dihukum mati, tetapi
orang-orang asing tetap datang sesuai dengan hasil korespondensi yang telah
dilakukan di antara mereka sebelumnya.
Al-Maqrizi berkata,
“Pada bulan Dzulhijjah di tahun yang sama, armada tentara asing (Imarah
al-Yamani) tiba-tiba berlabuh di Shaqaliah melalui pelabuhan Alexandria. Orang
yang telah mempersiapkan armada ini adalah Ghalyalam bin Rajar, penguasa
Shaqaliyah yang berkuasa pada tahun 560 H. Ketika armada pasukan ini berlabuh
di dermaga, mereka menurunkan 1500 kavaleri dari kapal-kapal perang mereka.
Jumlah mereka adalah 30.000 prajurit, terdiri dari pasukan berkuda dan pejalan
kaki. Jumlah kapal yang mengangkut peralatan perang dan blokade sebanyak enam
kapal, dan yang mengangkut logistik dan para personil sebanyak empat puluh
kapal perang, jumlah mereka kira-kira 50.000 pejalan kaki.
Mereka berlabuh dekat
mercusuar dan menyerang kaum muslimin sampai mendesak mereka ke as-Sur. Jumlah
kaum muslimin yang terbunuh sangat banyak. Kapal-kapal perang asing bergerak
secara perlahan-lahan ke pelabuhan, sementara di sana terdapat kapal-kapal kaum
muslimin, kemudian mereka menenggelamkannya. Mereka berhasil menguasai pantai
dan membuat perkemahan di sana. Jumlah perkemahan mereka mencapai 300 buah
kemah, mereka terus bergerak untuk mengepung seluruh negeri, dan memasang tiga
buah manjanik untuk menghancurkan benteng. Saat itu Shalahuddin sedang berada
di wilayah Faqus dan baru mendapat berita tentang penyerangan musuh ini setelah
tiga hari. Ia mulai menyiapkan pasukan dan membuka pintu gerbang. Kaum muslimin
menyerang orang-orang asing dan membakar peralatan perang mereka. Allah
menolong kaum muslimin dengan perantara bantuan Shalahuddin.
Orang-orang asing
banyak terbunuh dan kaum muslimin mengambil peralatan perang mereka sebagai ghanimah.
Sebagian dari mereka yang selamat kembali berlayar melarikan diri.
Seandainya Allah tidak
memberikan pertolongan-Nya kepada Shalahuddin dan kaum muslimin yang bersamanya
tentulah akan semakin banyak jiwa yang dikorbankan dan darah yang mengalir.
Semua ini tidak lain adalah upaya balas dendam yang dilakukan oleh orang-orang
Syiah terhadap Shalahuddin yang menghancurkan kerajaan mereka, Daulah
Fathimiyah.
Al-Maqrizi mengatakan,
“Pada tahun 570 H, Kanzuddaulah pemimpin Uswan mengumpulkan orang-orang Arab
dan Sudan menuju Kairo. Ia berencana mengembalikan eksistensi Daulah
Fathimiyah. Demi mengumpulkan orang-orang tersebut, Kanzuddaulah rela
mengeluarkan uang yang banyak. Orang-orang yang bersamanya adalah orang-orang
Syiah yang mempunyai cita-cita yang sama dengannya. Mereka pun berhasil
membunuh beberapa orang pejabat Shalahuddin.
Di Desa Thud, muncul
seorang laki-laki yang bernama Abbas bin Syadi, dia berhasil merebut wilayah
Qush dan merampas harta kekayaannya. Shalahuddin menyiapkan saudaranya Sulta
Adil dengan pasukan yang besar untuk menghancurkan gerakan Abbas bin Syadi (as-Suluk
li Ma’rifati Duwal al-Muluk, 1: 57-58).
Penghianatan ini bukan
hanya sekedar berusaha membunuh Shalahuddin saja, tetapi juga berakibat semakin
berbahayanya orang-orang asing yang berada di wilayah Syam. Ibnu Katsir
berkata, “Tahun 570 H telah tiba, Shalahuddin al-Ayyubi berencana datang ke
wilayah Syam untuk melindungi daerah tersebut dari serangan orang-orang asing,
namun ternyata ia mendapatkan suatu permasalahan yang mengakibatkan
keinginannya berubah. Alasannya karena orang-orang asing telah datang ke
pesisir Mesir dengan armada yang sangat banyak, peralatan perang yang lengkap,
dan pasukan yang besar.
Alasan lainnya yang
menghalangi keberangkatan Shalahuddin menuju Syam adalah seorang laki-laki yang
dikenal dengan al-Kanz, sebagian orang lainnya menyebutnya dengan Abbas bin
Syadi, seorang panglima militer Daulah Fathimiyah. Dia dihubungkan dengan suatu
wilayah yang bernama Aswan, di sana ia berhasil mempengaruhi masa untuk turut
mendukungnya. Abbas bin Syadi sangat yakin bahwa ia akan berhasil mengembalikan
eksistensi Daulah Fathimiyah (al-Bidayah wa an-Nihayah, 12: 287-288).
Ketika negara telah
tenang kembali dan tidak ada pemimpin dari Daulah Fathimiyah di sana,
Shalahuddin muncul bersama pasukan Truki menuju wilayah Syam. Kedatangannya ke
Syam bertujuan menguatkan persaatuan, berbuat baik kepada penduduknya, melawan
orang-orang yang zalim, menegakkan syiar Islam di bumi Syam, mengembalikan
keagungan Alquran, dan memberantas aliran dan sekte yang menyimpang, yang mana
hal ini mulai menurun kualitasnya setelah Nuruddin Mahmud bin Zanki wafat.
Pada tanggal 14
Dzulhijjah 571 H, beberapa orang Syiah Ismailiyah berusaha melawan Shalahuddin.
Setelah orang-orang ini melukai beberapa pejabat, Shalahuddin berhasil
mengalahkan mereka (as-Suluk li Ma’rifati Dual al-Muluk, 1: 61).
Pada tahun 584 H, dua belas orang Syiah memberontak di malam hari. Mereka
berteriak-teriak dengan mengatakan, “Wahai keturunan Ali! Wahai keturunan Ali!”
Mereka melewati jalan-jalan sambil berteriak seperti itu, dengan melakukan itu
mereka mengira pejabat negara akan memenuhi ajakan mereka. Cita-cita mereka
satu, agar Daulah Fathimiyah tegak kembali. Untuk membuat suasana mencekam dan
merusak stabilitas keamanan, mereka mengeluarkan orang-orang yang ada di
penjara (as-Suluk li Ma’rifati Dual al-Muluk, 1: 101).
Sumber: Pengkhianatan-Pengkhianatan Syiah oleh Imad Ali Abdu Sami’.
Artikel KisahMuslim.Com