Monday, September 1, 2014

Shalahuddin Al-Ayyubi Pahlawan Besar Islam, Penumpas Syi’ah Penakluk Jerusalem

Mei 13, 2014
Kali ini kita akan bercerita tentang seorang laki-laki mulia dan memiliki peranan yang besar dalam sejarah Islam, seorang panglima Islam, serta kebanggaan suku Kurdi, ia adalah Shalahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub bin Syadi atau yang lebih dikenal dengan Shalahuddin al-Ayyubi atau juga Saladin. Ia adalah seorang laki-laki yang mungkin sebanding dengan seribu laki-laki lainnya.
Asal dan Masa Pertumbuhannya

tikrit
Shalahuddin al-Ayyubi adalah laki-laki dari kalangan ‘ajam (non-Arab), tidak seperti yang disangkakan oleh sebagian orang bahwa Shalahuddin adalah orang Arab, ia berasal dari suku Kurdi. Ia lahir pada tahun 1138 M di Kota Tikrit, Irak, kota yang terletak antara Baghdad dan Mosul. Ia melengkapi orang-orang besar dalam sejarah Islam yang bukan berasal dari bangsa Arab, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, dan lain-lain.
Karena suatu alasan, kelahiran Shalahuddin memaksa ayahnya untuk meninggalkan Tikrit sehingga sang ayah merasa kelahiran anaknya ini menyusahkan dan merugikannya. Namun kala itu ada orang yang menasihatinya, “Engkau tidak pernah tahu, bisa jadi anakmu ini akan menjadi seorang raja yang reputasinya sangat cemerlang.”
Dari Tikrit, keluarga Kurdi ini berpindah menuju Mosul. Sang ayah, Najmuddin Ayyub tinggal bersama seorang pemimpin besar lainnya yakni Imaduddin az-Zanki. Imaduddin az-Zanki memuliakan keluarga ini, dan Shalahuddin pun tumbuh di lingkungan yang penuh keberkahan dan kerabat yang terhormat. Di lingkungan barunya dia belajar menunggang kuda, menggunakan senjata, dan tumbuh dalam lingkungan yang sangat mencintai jihad. Di tempat ini juga Shalahuddin kecil mulai mempelajari Alquran, menghafal hadis-hadis Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, mempelajari bahasa dan sastra Arab, dan ilmu-ilmu lainnya.
Diangkat Menjadi Mentri di Mesir
Sebelum kedatangan Shalahuddin al-Ayyubi, Mesir merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Syiah, Daulah Fathimiyah. Kemudian pada masa berikutnya Dinasti Fathimiyah yang berjalan stabil mulai digoncang pergolakan di dalam negerinya. Orang-orang Turki, Sudan, dan Maroko menginginkan adanya revolusi. Saat itu Nuruddin Mahmud, paman Shalahuddin, melihat sebuah peluang untuk menaklukkan kerajaan Syiah ini, ia berpandangan penaklukkan Daulah Fathimiyyah adalah jalan lapang untuk membebaskan Jerusalem dari kekuasaan Pasukan Salib.
Nuruddin benar-benar merealisasikan cita-citanya, ia mengirim pasukan dari Damaskus yang dipimpin oleh Asaduddin Syirkuh untuk membantu keponakannya, Shalahuddin al-Ayyubi, di Mesir. Mengetahui kedatangan pasukan besar ini, sebagian Pasukan Salib yang berada di Mesir pun lari kocar-kacir sehingga yang dihadapi oleh Asaduddin dan Shalahuddin hanyalah orang-orang Fathimyah saja. Daulah Fathimiyah berhasil dihancurkan dan Shalahuddin diangkat menjadi mentri di wilayah Mesir. Namun tidak lama menjabat sebagai menteri di Mesir, dua bulan kemudian Shalahuddin diangkat sebagai wakil dari Khalifah Dinasti Ayyubiyah.
Selama dua bulan memerintah Mesir, Shalahuddin membuat kebijakan-kebijakan progresif yang visioner. Ia membangun dua sekolah besar berdasarkan madzhab Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini ia tujukan untuk memberantas pemikiran Syiah yang bercokol sekian lama di tanah Mesir. Hasilnya bisa kita rasakan hingga saat ini, Mesir menjadi salah satu negeri pilar dakwah Ahlussunnah wal Jamaah atau Sunni. Kebijakan lainnya yang ia lakukan adalah mengganti penyebutan nama-nama khalifah Fathimiyah dengan nama-nama khalifah Abbasiyah dalam khutbah Jumat.
Menaklukkan Jerusalem
Persiapan Shalahuddin untuk menggempur Pasukan Salib di Jerusalem benar-benar matang. Ia menggabungkan persiapan keimanan (non-materi) dan persiapan materi yang luar biasa. Persiapan keimanan ia bangun dengan membersihkan akidah Syiah bathiniyah dari dada-dada kaum muslimin dengan membangun madrasah dan menyemarakkakn dakwah, persatuan dan kesatuan umat ditanamkan dan dibangkitkan kesadaran mereka menghadapi Pasukan Salib. Dengan kampanyenya ini ia berhasil menyatukan penduduk Syam, Irak, Yaman, Hijaz, dan Maroko di bawah satu komando. Dari persiapan non-materi ini terbentuklah sebuah pasukan dengan cita-cita yang sama dan memiliki landasan keimanan yang kokoh.

Dari segi fisik Shalahuddin mengadakan pembangunan makas militer, benteng-benteng perbatasan, menambah jumlah pasukan, memperbaiki kapal-kapal perang, membangun rumah sakit, dll.
Pada tahun 580 H, Shalahuddin menderita penyakit yang cukup berat, namun dari situ tekadnya untuk membebaskan Jerusalem semakin membara. Ia bertekad apabila sembuh dari sakitnya, ia akan menaklukkan Pasukan Salib di Jerusalem, membersihkan tanah para nabi tersebut dari kesyirikan trinitas.
Dengan karunia Allah, Shalahuddin pun sembuh dari sakitnya. Ia mulai mewujudkan janjinya untuk membebaskan Jerusalem. Pembebasan Jerusalem bukanlah hal yang mudah, Shalahuddin dan pasukannya harus menghadapi Pasukan Salib di Hathin terlebih dahulu, perang ini dinamakan Perang Hathin, perang besar sebagai pembuka untuk menaklukkan Jerusalem. Dalam perang tersebut kaum muslimin berkekuatan 63.000 pasukan yang terdiri dari para ulama dan orang-orang shaleh, mereka berhasil membunuh 30.000 Pasukan Salib dan menawan 30.000 lainnya.
Setelah menguras energy di Hathin, akhirnya kaum muslimin tiba di al-Quds, Jerusalem, dengan jumlah pasukan yang besar tentara-tentara Allah ini mengepung kota suci itu. Perang pun berkecamuk, Pasukan Salib sekuat tenaga mempertahankan diri, beberapa pemimpin muslim pun menemui syahid mereka –insya Allah- dalam peperangan ini. Melihat keadaan ini, kaum muslimin semakin bertambah semangat untuk segera menaklukkan Pasukan Salib.
Untuk memancing emosi kaum muslimin, Pasukan Salib memancangkan salib besar di atas Kubatu Shakhrakh. Shalahuddin dan beberapa pasukannya segera bergerak cepat ke sisi terdekat dengan Kubbatu Shakhrakh untuk menghentikan kelancangan Pasukan Salib. Kemudian kaum muslimin berhasil menjatuhkan dan membakar salib tersebut. Setelah itu, jundullah menghancurkan menara-menara dan benteng-benteng al-Quds.
Pasukan Salib mulai terpojok, merek tercerai-berai, dan mengajak berunding untuk menyerah. Namun Shalahuddin menjawab, “Aku tidak akan menyisakan seorang pun dari kaum Nasrani, sebagaimana mereka dahulu tidak menyisakan seorang pun dari umat Islam (ketika menaklukkan Jerusalem)”. Namun pimpinan Pasukan Salib, Balian bin Bazran, mengancam “Jika kaum muslimin tidak mau menjamin keamanan kami, maka kami akan bunuh semua tahanan dari kalangan umat Islam yang jumlahnya hampir mencapai 4000 orang, kami juga akan membunuh anak-anak dan istri-istri kami, menghancurkan bangunan-bangunan, membakar harta benda, menghancurkan Kubatu Shakhrakh, membakar apapun yang bisa kami bakar, dan setelah itu kami akan hadapi kalian sampai darah penghabisan! Satu orang dari kami akan membunuh satu orang dari kalian! Kebaikan apalagi yang bisa engkau harapkan!” Inilah ancaman yang diberikan Pasukan Salib kepada Shalahuddin dan pasukannya.

Shalahuddin pun mendengarkan dan menuruti kehendak Pasukan Salib dengan syarat setiap laki-laki dari mereka membayar 10 dinar, untuk perempuan 5 dinar, dan anak-anak 2 dinar. Pasukan Salib pergi meninggalkan Jerusalem dengan tertunduk dan hina. Kaum muslimin berhasil membebaskan kota suci ini untuk kedua kalinya.
Shalahuddin memasuki Jerusalem pada hari Jumat 27 Rajab 583 H / 2 Oktober 1187, kota tersebut kembali ke pangkuan umat Islam setelah selama 88 tahun dikuasai oleh orang-orang Nasrani. Kemudian ia mengeluarkan salib-salib yang terdapat di Masjid al-Aqsha, membersihkannya dari segala najis dan kotoran, dan mengembalikan kehormatan masjid tersebut.

Wafatnya Sang Pahlawan
Sebagaimana manusia sebelumnya, baik dari kalangan nabi, rasul, ulama, panglima perang dan yang lainnya, Shalahuddin pun wafat meninggalkan dunia yang fana ini. Ia wafat pada usia 55 tahun, pada 16 Shafar 589 H bertepatan dengan 21 Febuari 1193 di Kota Damaskus. Ia meninggal karena mengalami sakit demam selama 12 hari. Orang-orang ramai menyalati jenazahnya, anak-anaknya Ali, Utsman, dan Ghazi turut hadir menghantarkan sang ayah ke peristirahatannya. Semoga Allah meridhai, merahmati, dan  membalas jasa-jasa engkau wahai pahlawan Islam, sang pembebas Jerusalem.
Sumber:
Shalahuddin al-Ayyubi Bathalu al-Hathin oleh Abdullah Nashir Unwan
Shalahuddin al-Ayyubi oleh Basim al-Usaili
Shalahuddin al-Ayyubi oleh Abu al-Hasan an-Nadawi
Islamstroy.com
Ditulis oleh Nurfitri Hadi

Dendam Syi’ah Kepada Shalahuddin al-Ayyubi
Mei 13, 2014
Orang-orang Syiah belum lupa bahwa Shalahuddin al-Ayyubi adalah orang yang telah melenyapkan Daulah Fathimiyah (kerajaan Syiah) di Mesir, dan kembali memberikan tempat bagi Ahlussunnah wal Jamaah. Karena itulah mereka berulang kali berusaha untuk membunuhnya, untuk mendirikan Daulah Fathimiyah yang baru. Dan dalam semua konspirasi ini mereka meminta bantuan kepada orang-orang asing serta berkirim surat kepada mereka.
Al-Maqrizi berkata dalam as-Suluk, “Pada tahun 559 H, sekelompok penduduk Mesir berkumpul untuk mengangkat salah seorang anak al-Adhid –khalifah terakhir Fathimiyah – dan membunuh Shalahuddin al-Ayyubi, serta mengirimkan surat kepada orang-orang asing guna meminta bantuan dari mereka. Di antara mereka adalah; al-Qadhi al-Mufaddhal Dhiya’uddin Nasrullah bin Abdullah bin Kamil al-Qadhi, Syarif al-Julais, Najah al-Hamami, al-Faqih Imarah bin Ali al-Yamani, Abdusshamad al-Katib, al-Qadhi al-A’az Salamah al-Uwairis seorang ketua pelaksan Dewan Konsiderasi dan Kehakiman, dai terkenal Abdul Jabir bin Islamil bin Abdul Qowi, dan Wa’iz Zainuddin bin Naja. Wa’iz melaporkan mereka kepada sultan (Shalahuddin) dan meminta padanya untuk memberikan semua yang ada pada Ibnu Kamil ad-Da’i berupa jabatan dan semua fasilitas. Permintaannya itu dikabulkan, kemudian orang-orang tersebut dikepung dan semuanya dihukum gantung. Shalahuddin mulai mengawasi setiap orang yang mempunyai ambisi untuk membangun kembali Daulah Fathimiyah.
Shalahuddin menghukum mati dan menahan banyak orang hingga ia disarankan agar memberangkatkan seluruh pasukan dan pegawai istana serta panglima tentara Sudan ke wilayah dataran paling tinggi. Ia juga menangkap seorang laki-laki beranama Qadid pada tanggal 15 Ramadhan. Qadid adalah salah seorang propagandis Daulah Fathimiyah di Alexandria.” (as-Suluk li Ma’rifati Duwal al-Muluk, 1: 53-54).
Meskipun para penghianat yang telah mengadakan konspirasi telah dihukum mati, tetapi orang-orang asing tetap datang sesuai dengan hasil korespondensi yang telah dilakukan di antara mereka sebelumnya.
Al-Maqrizi berkata, “Pada bulan Dzulhijjah di tahun yang sama, armada tentara asing (Imarah al-Yamani) tiba-tiba berlabuh di Shaqaliah melalui pelabuhan Alexandria. Orang yang telah mempersiapkan armada ini adalah Ghalyalam bin Rajar, penguasa Shaqaliyah yang berkuasa pada tahun 560 H. Ketika armada pasukan ini berlabuh di dermaga, mereka menurunkan 1500 kavaleri dari kapal-kapal perang mereka. Jumlah mereka adalah 30.000 prajurit, terdiri dari pasukan berkuda dan pejalan kaki. Jumlah kapal yang mengangkut peralatan perang dan blokade sebanyak enam kapal, dan yang mengangkut logistik dan para personil sebanyak empat puluh kapal perang, jumlah mereka kira-kira 50.000 pejalan kaki.
Mereka berlabuh dekat mercusuar dan menyerang kaum muslimin sampai mendesak mereka ke as-Sur. Jumlah kaum muslimin yang terbunuh sangat banyak. Kapal-kapal perang asing bergerak secara perlahan-lahan ke pelabuhan, sementara di sana terdapat kapal-kapal kaum muslimin, kemudian mereka menenggelamkannya. Mereka berhasil menguasai pantai dan membuat perkemahan di sana. Jumlah perkemahan mereka mencapai 300 buah kemah, mereka terus bergerak untuk mengepung seluruh negeri, dan memasang tiga buah manjanik untuk menghancurkan benteng. Saat itu Shalahuddin sedang berada di wilayah Faqus dan baru mendapat berita tentang penyerangan musuh ini setelah tiga hari. Ia mulai menyiapkan pasukan dan membuka pintu gerbang. Kaum muslimin menyerang orang-orang asing dan membakar peralatan perang mereka. Allah menolong kaum muslimin dengan perantara bantuan Shalahuddin.

Orang-orang asing banyak terbunuh dan kaum muslimin mengambil peralatan perang mereka sebagai ghanimah. Sebagian dari mereka yang selamat kembali berlayar melarikan diri.
Seandainya Allah tidak memberikan pertolongan-Nya kepada Shalahuddin dan kaum muslimin yang bersamanya tentulah akan semakin banyak jiwa yang dikorbankan dan darah yang mengalir. Semua ini tidak lain adalah upaya balas dendam yang dilakukan oleh orang-orang Syiah terhadap Shalahuddin yang menghancurkan kerajaan mereka, Daulah Fathimiyah.
Al-Maqrizi mengatakan, “Pada tahun 570 H, Kanzuddaulah pemimpin Uswan mengumpulkan orang-orang Arab dan Sudan menuju Kairo. Ia berencana mengembalikan eksistensi Daulah Fathimiyah. Demi mengumpulkan orang-orang tersebut, Kanzuddaulah rela mengeluarkan uang yang banyak. Orang-orang yang bersamanya adalah orang-orang Syiah yang mempunyai cita-cita yang sama dengannya. Mereka pun berhasil membunuh beberapa orang pejabat Shalahuddin.
Di Desa Thud, muncul seorang laki-laki yang bernama Abbas bin Syadi, dia berhasil merebut wilayah Qush dan merampas harta kekayaannya. Shalahuddin menyiapkan saudaranya Sulta Adil dengan pasukan yang besar untuk menghancurkan gerakan Abbas bin Syadi (as-Suluk li Ma’rifati Duwal al-Muluk, 1: 57-58).
Penghianatan ini bukan hanya sekedar berusaha membunuh Shalahuddin saja, tetapi juga berakibat semakin berbahayanya orang-orang asing yang berada di wilayah Syam. Ibnu Katsir berkata, “Tahun 570 H telah tiba, Shalahuddin al-Ayyubi berencana datang ke wilayah Syam untuk melindungi daerah tersebut dari serangan orang-orang asing, namun ternyata ia mendapatkan suatu permasalahan yang mengakibatkan keinginannya berubah. Alasannya karena orang-orang asing telah datang ke pesisir Mesir dengan armada yang sangat banyak, peralatan perang yang lengkap, dan pasukan yang besar.
Alasan lainnya yang menghalangi keberangkatan Shalahuddin menuju Syam adalah seorang laki-laki yang dikenal dengan al-Kanz, sebagian orang lainnya menyebutnya dengan Abbas bin Syadi, seorang panglima militer Daulah Fathimiyah. Dia dihubungkan dengan suatu wilayah yang bernama Aswan, di sana ia berhasil mempengaruhi masa untuk turut mendukungnya. Abbas bin Syadi sangat yakin bahwa ia akan berhasil mengembalikan eksistensi Daulah Fathimiyah (al-Bidayah wa an-Nihayah, 12: 287-288).
Ketika negara telah tenang kembali dan tidak ada pemimpin dari Daulah Fathimiyah di sana, Shalahuddin muncul bersama pasukan Truki menuju wilayah Syam. Kedatangannya ke Syam bertujuan menguatkan persaatuan, berbuat baik kepada penduduknya, melawan orang-orang yang zalim, menegakkan syiar Islam di bumi Syam, mengembalikan keagungan Alquran, dan memberantas aliran dan sekte yang menyimpang, yang mana hal ini mulai menurun kualitasnya setelah Nuruddin Mahmud bin Zanki wafat.
Pada tanggal 14 Dzulhijjah 571 H, beberapa orang Syiah Ismailiyah berusaha melawan Shalahuddin. Setelah orang-orang ini melukai beberapa pejabat, Shalahuddin berhasil mengalahkan mereka (as-Suluk li Ma’rifati Dual al-Muluk, 1: 61).
Pada tahun 584 H, dua belas orang Syiah memberontak di malam hari. Mereka berteriak-teriak dengan mengatakan, “Wahai keturunan Ali! Wahai keturunan Ali!” Mereka melewati jalan-jalan sambil berteriak seperti itu, dengan melakukan itu mereka mengira pejabat negara akan memenuhi ajakan mereka. Cita-cita mereka satu, agar Daulah Fathimiyah tegak kembali. Untuk membuat suasana mencekam dan merusak stabilitas keamanan, mereka mengeluarkan orang-orang yang ada di penjara (as-Suluk li Ma’rifati Dual al-Muluk, 1: 101).
Sumber: Pengkhianatan-Pengkhianatan Syiah oleh Imad Ali Abdu Sami’.
Artikel KisahMuslim.Com