Saturday, December 20, 2014

Mengapa Syiah Menggunakan Istilah Takfiri-Wahabi?

Kamis, 27 Juni 2013

Oleh: Multazim Jamil
ISU Sunni-Syiah saat ini sedang menjadi trending topic di ranah pergerakan belakangan ini. Bisa jadi ini merupakan efek dari jihad Suriah yang sedang menggelora. Di Indonesia sendiri, kasus pengusiran warga Syiah di Sampang, Madura, merupakan isu yang cukup sensitif.
Dalam perang opini antara kubu Sunni dan Syiah, ada satu fenomena yang unik, yaitu penyebutan istilah Sunni yang oleh kubu Syiah sering diganti dengan kata Wahabi atau takfiri. Sementara, kubu Sunni masih tetap menggunakan kata Syiah sebagai sebutan bagi kaum Syiah baik kelompok Nushairiyah, Imamiyah, dan yang lain.
Pada siaran Indonesia Lawyers Club (ILC) TV One, Selasa 25 Juni 2013, salah satu narasumber, Dr Haidar Bagir, CEO Mizan, menyebut kelompok takfiri sebagai biang dari permasalahan Sunni-Syiah. Berlanjut kemudian, terjadi perang opini di dunia maya lewat jejaring sosial twitter.

Pihak Sunni yang malam itu melakukan aksi twitstorm dengan hastag #SyiahBukanIslam, mendapat perlawanan dari pihak Syiah dengan hastag #IndonesiaTanpaTakfiri.
Sedikit melakukan perbandingan, labelisasi takfiri juga digunakan oleh kalangan warga NU dalam perang opini, jauh sebelum konflik Sunni-Syiah ter-blow up dan menjadi headline media massa di Indonesia.
Sudah mafhum bahwa labelisasi Wahabi, takfiri, dan lain sebagainya adalah sematan serupa yang dialamatkan kepada Ahlus Sunnah.
Pada 2003, RAND Corporation, sebuah lembaga think-tank bentukan Barat untuk analisis dunia Islam dan Timur tengah, melalui sebuah rekomendasi berjudul “Civil Democratic Islam: Parnters, Resources, and Strategies” memberikan pemetaan kawan dan lawan, serta arahan-arahan bagi pemerintah negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim untuk mengatasi terorisme.
Rekomendasi ini diawali dengan klasifikasi umat Islam menjadi empat kelompok, yaitu Fundamentalis, Tradisionalis, Modernis, dan Sekuler. Pembagian kelompok ini berdasarkan fleksibilitas masing-masing kelompok terhadap ajaran Islam dan sikap terhadap demokrasi.
Sebutan untuk kelompok fundamentalis diarahkan pada kelompok Islam yang memegang teguh ajaran Islam, bercita-cita menegakkan Syariah, dan paling getol menentang demokrasi.
Dalam masyarakat kita, kelompok ini lebih akrab dengan stigma Wahabi atau takfiri. Sedangkan kelompok tradisional adalah kelompok Islam yang masih berpegang pada budaya lokal dan seringnya menganggap kelompok fundamentalis musuh berbahaya.
Pada poin kedua rekomendasi RAND Corporation disebutkan, “Support the traditionalists against the fundamentalists” (dukung kelompok tradisionalis dan lawan kelompok fundamentaslis). Ini adalah prinsip adu domba. Cara seperti inilah yang digunakan Barat termasuk Belanda untuk menghancurkan pejuang Indonesia. Strategi adu domba inilah yang saat ini mungkin sedang diterapkan di Indonesia.
Ormas-ormas Islam terbesar di Indonesia, seperti NU, mewakili identitas sebagai kelompok tradisionalis di Indonesia. Sementara itu, Jaringan Islam Liberal (JIL) mewakili kelompok modernis, walau kini sudah kembang kempis karena dana dari donatur hampir habis sering mengklaim diri sebagai “Cendekiawan Moderat NU”. Ya, duet Tradisionalis-Modernis seolah telah menjadi pasangan yang serasi, walau tak sedikit muncul penentangan dari internal kalangan NU sendiri terhadap pemikiran JIL.
Posisi Syiah
Nah, kembali ke masalah Syiah. Di manakah posisi kelompok Syiah dalam grand strategy adu domba buatan RAND Corporation ini?
Mari kita cermati kembali penggunaan istilah dan labelisasi oleh pihak Syiah kepada Sunni. Penggunaan istilah takfiri dan Wahabi oleh Syiah sebenarnya hanyalah mendompleng tren yang sedang menjamur, sebagaimana kebiasaan stigma atau label Wahabi kepada kelompok yang bersemangat menegakkan Syariat Islam. Ini menunjukkan kebingungan mereka untuk mengidentifikasi lawan mereka sesungguhnya.
Syiah sadar, lawan mereka, secara istilah, adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang jumlahnya adalah mayoritas di negeri ini. Namun jika Syiah menggunakan terang-terangan istilah Ahlus Sunnah, itu sama artinya ia bunuh diri, karena akan berhadapan dengan jutaan warga Sunni termasuk NU, Muhmammadiyah dan Ormas-ormas Islam lain di negeri ini yang berpaham Sunni. Wajar jika Syiah terjebak dan membebek garis-garis arahan RAND Corporation di atas.
Hal ini tentu berbanding terbalik dengan jargon Syiah yang selama ini seolah mengusung sikap anti-Amerika dan anti Zionis. Namun faktanya, Syiah malah latah mengikuti skenario adu domba buatan lembaga riset Amerika, RAND Corporation.
Lalu, masih relevankah slogan Anti-Amerika bila mereka sendiri demen dengan istilah-istilah bahkan menggunakan cara Amerika?
Penulis adalah pemerhati sosial