Kamis, 27 Juni 2013
Oleh: Multazim Jamil
ISU Sunni-Syiah saat ini sedang menjadi trending topic di ranah pergerakan
belakangan ini. Bisa jadi ini merupakan efek dari jihad Suriah yang sedang
menggelora. Di Indonesia sendiri, kasus pengusiran warga Syiah di Sampang,
Madura, merupakan isu yang cukup sensitif.
Dalam perang opini antara kubu Sunni dan Syiah, ada satu fenomena yang unik,
yaitu penyebutan istilah Sunni yang oleh kubu Syiah sering diganti dengan kata
Wahabi atau takfiri. Sementara, kubu Sunni masih tetap menggunakan kata Syiah
sebagai sebutan bagi kaum Syiah baik kelompok Nushairiyah, Imamiyah, dan yang
lain.
Pada siaran Indonesia Lawyers Club (ILC) TV One, Selasa 25 Juni 2013, salah
satu narasumber, Dr Haidar Bagir, CEO Mizan, menyebut kelompok takfiri sebagai
biang dari permasalahan Sunni-Syiah. Berlanjut kemudian, terjadi perang opini
di dunia maya lewat jejaring sosial twitter.
Pihak Sunni yang malam
itu melakukan aksi twitstorm dengan hastag #SyiahBukanIslam, mendapat
perlawanan dari pihak Syiah dengan hastag #IndonesiaTanpaTakfiri.
Sedikit melakukan perbandingan, labelisasi takfiri juga digunakan oleh kalangan
warga NU dalam perang opini, jauh sebelum konflik Sunni-Syiah ter-blow up dan
menjadi headline media massa di Indonesia.
Sudah mafhum bahwa labelisasi Wahabi, takfiri, dan lain sebagainya adalah
sematan serupa yang dialamatkan kepada Ahlus Sunnah.
Pada 2003, RAND Corporation, sebuah lembaga think-tank bentukan Barat untuk
analisis dunia Islam dan Timur tengah, melalui sebuah rekomendasi berjudul
“Civil Democratic Islam: Parnters, Resources, and Strategies” memberikan
pemetaan kawan dan lawan, serta arahan-arahan bagi pemerintah negara-negara
yang mayoritas berpenduduk Muslim untuk mengatasi terorisme.
Rekomendasi ini diawali dengan klasifikasi umat Islam menjadi empat kelompok,
yaitu Fundamentalis, Tradisionalis, Modernis, dan Sekuler. Pembagian kelompok
ini berdasarkan fleksibilitas masing-masing kelompok terhadap ajaran Islam dan
sikap terhadap demokrasi.
Sebutan untuk kelompok fundamentalis diarahkan pada kelompok Islam yang memegang
teguh ajaran Islam, bercita-cita menegakkan Syariah, dan paling getol menentang
demokrasi.
Dalam masyarakat kita, kelompok ini lebih akrab dengan stigma Wahabi atau
takfiri. Sedangkan kelompok tradisional adalah kelompok Islam yang masih
berpegang pada budaya lokal dan seringnya menganggap kelompok fundamentalis
musuh berbahaya.
Pada poin kedua rekomendasi RAND Corporation disebutkan, “Support the
traditionalists against the fundamentalists” (dukung kelompok tradisionalis dan
lawan kelompok fundamentaslis). Ini adalah prinsip adu domba. Cara seperti
inilah yang digunakan Barat termasuk Belanda untuk menghancurkan pejuang
Indonesia. Strategi adu domba inilah yang saat ini mungkin sedang diterapkan di
Indonesia.
Ormas-ormas Islam terbesar di Indonesia, seperti NU, mewakili identitas sebagai
kelompok tradisionalis di Indonesia. Sementara itu, Jaringan Islam Liberal
(JIL) mewakili kelompok modernis, walau kini sudah kembang kempis karena dana
dari donatur hampir habis sering mengklaim diri sebagai “Cendekiawan Moderat
NU”. Ya, duet Tradisionalis-Modernis seolah telah menjadi pasangan yang serasi,
walau tak sedikit muncul penentangan dari internal kalangan NU sendiri terhadap
pemikiran JIL.
Posisi Syiah
Nah, kembali ke masalah Syiah. Di manakah posisi kelompok Syiah dalam grand
strategy adu domba buatan RAND Corporation ini?
Mari kita cermati kembali penggunaan istilah dan labelisasi oleh pihak Syiah
kepada Sunni. Penggunaan istilah takfiri dan Wahabi oleh Syiah sebenarnya
hanyalah mendompleng tren yang sedang menjamur, sebagaimana kebiasaan stigma
atau label Wahabi kepada kelompok yang bersemangat menegakkan Syariat Islam.
Ini menunjukkan kebingungan mereka untuk mengidentifikasi lawan mereka
sesungguhnya.
Syiah sadar, lawan mereka, secara istilah, adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang
jumlahnya adalah mayoritas di negeri ini. Namun jika Syiah menggunakan
terang-terangan istilah Ahlus Sunnah, itu sama artinya ia bunuh diri, karena
akan berhadapan dengan jutaan warga Sunni termasuk NU, Muhmammadiyah dan
Ormas-ormas Islam lain di negeri ini yang berpaham Sunni. Wajar jika Syiah
terjebak dan membebek garis-garis arahan RAND Corporation di atas.
Hal ini tentu berbanding terbalik dengan jargon Syiah yang selama ini seolah
mengusung sikap anti-Amerika dan anti Zionis. Namun faktanya, Syiah malah latah
mengikuti skenario adu domba buatan lembaga riset Amerika, RAND Corporation.
Lalu, masih relevankah slogan Anti-Amerika bila mereka sendiri demen dengan
istilah-istilah bahkan menggunakan cara Amerika?
Penulis adalah pemerhati
sosial