Monday, April 27, 2015

Sebuah Catatan untuk Prof. A. Syafii Maarif. Sunni Biang Perpecahan dan Diberhalakan?

Muhammadiyah menolak konsep kesucian Imam-imam (ma’shumnya imam-mam) dalam ajaran Syi’ah
Jika rumusan akidah dan manhaj Muhammadiyah itu adalah Sunni, apakah Muhammadiyah yang berusia lebih 100 tahun dianggap memberhalakan Sunni?
Oleh: Fahmi Salim
DI KOLOM Resonansi Harian Umum Republika tanggal 9 Desember 2014, Buya Maarif, sapaan akrab Prof. A. Syafii Maarif, mantan Ketum PP Muhammadiyah, menumpahkan uneg-unegnya seputar sejarah perpecahan politik dalam Islam yang melahirkan 3 sekte besar yaitu: Sunni, Syi’ah dan Khawarij. Lihat http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/12/08/ng9s7l-islam-dalam-krisis-1
Beliau, sebagai ahli sejarah, membentangkan ringkas krisis politik pasca wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam terutama peristiwa Perang Onta (35 H/656 M) yang melibatkan para sahabat dan isteri Nabi pasca terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, dan Perang Shiffin (657 M) yang berujung kepada tahkim (arbitrase) di Daumatul Jandal. Beliau lalu menulis;
“Saya rekamkan kejadian tragis ini bukan untuk membuka luka yang telah berusia belasan abad, tetapi untuk menyadarkan kita semua bahwa sengketa yang berdarah-darah di atas sepenuhnya adalah gejala Arab, bukan mewakili Al-Quran yang dengan tegas memerintahkan agar orang beriman itu bersaudara dan berdamai. (QS: Al-Ĥujurât: 10)”
Di penghujung Resonansi-nya beliau menyatakan, “Sunni yang muncul sebagai golongan mayoritas merasa diri selalu berada di pihak yang benar dengan menuduh kelompok Syi’ah dan khawarij sebagai pihak yang salah. Cara pandang yang semacam ini harus dihalau jauh-jauh dengan menjadikan Alquran sebagai hakim dan rujukan yang tertinggi.”
Tak lupa beliau dengan gemas menyatakan, “Sunni, Syi’ah, dan khawarij adalah buah dari perpecahan politik, mengapa kemudian diberhalakan? Pemberhalaan inilah yang selama ratusan tahun telah menghancurkan persaudaraan sejati umat Islam,…” (Lihat Republika tanggal 9 Desember 2014]
Pertama, saya ingin mengapresiasi buah fikiran Buya Maarif sebagai seorang pakar sejarah dan politik Islam, yang telah meluangkan waktunya untuk menuliskan kegundahannya seputar sejarah konflik sekte-sekte Islam sejak awal kemunculannya, yang kemudian direfleksikan beliau dalam konteks saat ini. Konteks sejarah modern yang masih pula melanjutkan dan mewarisi konflik sektarian masa silam. Kita semua tentu berkeinginan agar seluruh muslim bersatu, apa pun sektenya di dunia ini. Tak ada lagi mengusung sunni, syiah atau khawarij dan saling menuduh pihak-pihak lain sebagai sesat atau keluar dari Islam. Namun sejarah dan alur pemikiran Islam tidak sesederhana yang kita bayangkan, dan kadang tidak sesuai dengan yang kita idealkan.
Kedua, saya juga mengapresiasi pernyataan Buya Maarif yang masih kental “kesunnian-nya”, meski beliau bersikeras tidak ingin diasosiasikan kepada aliran Islam tertentu. Bukti kesunnian Buya adalah pernyataannya dalam bagian Resonansi itu, “Menurut hadist, sebagai sahabat nabi, mereka yang terlibat dalam peperangan ini telah dijamin masuk surga.”. Juga yang ini, “Adapun mereka itu dijamin masuk surga sepenuhnya adalah urusan Allah dengan mereka, kita tidak tahu.”
Kedua pernyataan itu hemat saya yang bodoh ini, mencerminkan alam fikiran Sunni yang memegang teguh hadis-hadis Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam yang menjamin beberapa orang sahabat Nabi masuk sorga. Artinya sebenarnya beliau sangat menghormati para sahabat Nabi itu, meskipun terlibat dalam konflik politik sesama mereka. Dan tidak saya dapatkan cacian ataupun celaan Buya terhadap fakta sejarah Islam itu, sebagaimana yang khas di kalangan Syi’ah maupun Khawarij yang suka mencela, melaknat dan mengkafirkan para sahabat Nabi bahkan istri Nabi Aisyah RA. (Berbagai bukti yang melimpah soal celaan dan pengkafiran yang dilakukan Syi’ah dan Khawarij itu bisa dibaca dalam buku Khawarij dan Syi’ah dalam Timbangan Ahlus Sunnah wal Jamaah karya Prof. Dr. Ali Muhammad al-Shallabi [Pustaka al-Kautsar: 2012] dan Panduan MUI Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia [Formas: 2013], pen)
Ketiga, saya sepakat dan mendukung 100 persen lontaran positif Buya Maarif yang menyatakan, ”Cara pandang yang semacam ini (menyalahkan Syi’ah dan khawarij, pen.) harus dihalau jauh-jauh dengan menjadikan Al-Quran sebagai hakim dan rujukan yang tertinggi.”
Kenapa demikian? Karena memang para ulama Islam (Ahlus Sunnah/Sunni) yang berwibawa sepanjang sejarah ketika mengkritisi dan menyalahkan doktrin dan pola pikir aliran Syi’ah dan Khawarij selalu menjadikan Al-Qur’an dan sunnah Nabi sebagai hakim dan rujukan yang tertinggi. Tidak pernah para ulama sunni berlaku semena-mena ketika menyalahkan (baca: menyesatkan) doktrin Syi’ah dan Khawarij, tanpa dalil-dalil yang kuat dan tegas.

Dengan fikiran positif seperti inilah, pada tahun 1997 Ketua Umum PP Muhammadiyah Dr. M. Amien Rais menuliskan kata pengantar untuk buku “Mengapa Kita Menolak Syi’ah?” sebagai berikut; “Kami berpendapat bahwa ada kelemahan dan kekurangan dari golongan Syi’ah itu. Oleh sebab itu kepada segenap ummat Islam dianjurkan untuk mempelajari Syi’ah secara kritis dengan tetap menjadikan Al-Qur’an dan Al-Sunnah Al-Shahihah sebagai alat dan standar penelitiannya.” (Penerbit LPPI: 1997, hlm.xiv).
Jadi lontaran Buya di kolom Resonansi tak jauh berbeda dengan apa yang dianjurkan oleh Dr. M. Amin Rais, Ketua PP Muhammadiyah (1995-2000). Hal ini pula yang melandasi keluarnya 4 butir poin hasil Pleno PP Muhammadiyah menyikapi Syi’ah sebagai berikut;
Pertama: Muhammadiyah meyakini bahwa Nabi Muhammad yang ma’shum. Oleh sebab itu, Muhammadiyah menolak konsep kesucian Imam-imam (ma’shumnya imam-mam) dalam ajaran Syi’ah.
Kedua: Muhammadiyah meyakini bahwa Nabi Muhammad tidak menunjuk siapa pun pengganti beliau sebagai Khalifah. Kekhalifahan setelah beliau diserahkan kepada musyawarah umat, jadi kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhum adalah sah. Oleh sebab itu, Muhammadiyah menolak konsep Rafidhahnya Syi’ah.
Ketiga: Muhammadiyah menghormati Ali bin Abi Thalib sebagaimana sahabat-sahabat yang lain, tetapi Muhammadiyah menolak kultus individu terhadap Ali bin Abi Thalib dan keturunannya.
Keempat: Syi’ah hanya menerima hadis dari jalur Ahlul Bait, ini berakibat ribuan hadis shahih –walaupun diriwayatkan Bukhari Muslim- ditolak oleh Syi’ah. Dengan demikian, banyak sekali perbedaan antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah baik masalah Aqidah, Ibadah, Munakahat, dan lain-lainnya.
Sikap tersebut hendaknya menjadi pedoman bagi warga Muhammadiyah khususnya dan umat Islam pada umumnya, sehingga dengan demikian kita bersikap waspada terhadap ajaran dan doktrin Syi’ah yang memang sangat berbeda dengan faham Ahlus Sunnah yang banyak dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia. [Sumber: Majalah Tabligh No. 7/IX/ Jumadal Awal-Jumadil Akhir 1433 H, hal 5. (lihat http://koepas.org/index.php/berita/372-sikap-resmi-muhammadiyah-terhadap-syi-ah)]
TENTU saja 4 butir sikap resmi PP Muhammadiyah itu keluar setelah mengkaji doktrin dan ajaran Syi’ah Imamiyah (Rafidhah, yang berkembang di Indonesia) dengan menjadikan Al-Quran dan Sunnah Shahihah sebagai alat dan standar penelitiannya. Apalagi, Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Ketua PP Muhammadiyah sekaligus Ketua MUI Pusat bidang Pengkajian telah mensupervisi langsung buku Panduan MUI tentang “Penyimpangan Syi’ah di Indonesia”.
Ijinkan saya yang bodoh ini bertanya kepada Buya Maarif yang mumpuni ilmunya melebihi kapasitas saya yang fakir ilmu. Apakah ada di dalam Al-Qur’an, ada ayat yang menyatakan bahwa imam (pemimpin politik dan agama) itu maksum (infallible, suci dari dosa)?
Adakah ayat Qur’an atau satupun hadis Nabi yang sahih menegaskan penunjukan Ali bin Abi Thalib dan 11 keturunannya sebagai imam pasca wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam? Adakah ayat Qur’an atau hadis shahih yang menyatakan imamah Ali dan keturunannya itu adalah salah satu pokok ajaran agama Islam (termasuk Rukun Iman yang Enam)? Adakah ayat Qur’an atau hadis Nabi yang membolehkan bahkan menganjurkan kita mencela dan mengkafirkan para Sahabat dan istri Nabi sebagaimana yang diamalkan oleh kaum Syi’ah [plus Khawarij]? Adakah ayat Qur’an atau hadis sahih yang membenarkan doktrin bahwa Al-Qur’an yang di tangan muslimin se-dunia sejak wafatnya Nabi hingga saat ini dan nanti adalah palsu, tidak lengkap dan tidak orisinil, juga telah hilang karena turut hilangnya (ghaib) Imam Mahdi yang ditunggu kaum Syi’ah itu? Sebagaimana yang diimani dan didoktrinkan Syi’ah selama ini, sehingga meresahkan umat Islam di tingkat akar rumput, dengan penyebarannya yang massif.
Pertanyaan sederhana saya itu adalah dalam rangka memverifikasi doktrin-doktrin Syi’ah itu dengan Al-Qur’an dan Sunnah Shahihah yang menjadi pedoman akidah Muhammadiyah, sebagaimana keinginan Buya Maarif.
Keempat, benarkah Sunni lahir karena perpecahan politik? Tentu saja hemat saya, tidak benar seperti itu. Sunni adalah doktrin dan ajaran Islam yang diyakini dan dipraktekkan oleh Rasulullah dan para Sahabatnya pada masa Nabi hidup maupun sesudah wafatnya, bahkan jauh berpuluh tahun sebelum terjadinya konflik politik (Perang Onta dan Perang Shiffin) seperti yang diuraikan oleh Buya Maarif. Ia adalah akidah yang diajarkan langsung oleh Rasulullah yang diturunkan langsung dari Al-Qur’an berupa penjabaran rukun Iman, Islam dan Ihsan, sikap terhadap keutuhan dan keaslian Al-Qur’an, sikap terhadap sahabat Nabi dan lain-lain. Berbeda dengan Sunni, maka Syi’ah dan Khawarij lah yang merupakan produk sejarah konflik politik tersebut. Ajaran dan doktrin mereka tidak pernah dikenal di jaman Rasulullah, sebagai puncak sempurnanya ajaran Islam sebagaimana diwahyukan Allah dalam surah al-Maidah ayat 3.
Lalu apa benar Sunni diberhalakan? Yang lalu dituding penyebab hancurnya persaudaraan sejati umat Islam? Apa pernyataan Buya tersebut tidak paradox dan justeru bertentangan dengan rumusan akidah yang baku dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah? Apakah pendapat Buya yang khas Sunni mengatakan, “Menurut hadist, sebagai sahabat Nabi, mereka yang terlibat dalam peperangan ini telah dijamin masuk surga” itu juga sebagai suatu yang diberhalakan?
Mari kita lihat pedoman akidah dalam Kitab Iman HPT Muhammadiyah halaman 22 sebagai berikut:
“Inilah pokok-pokok akidah [Rukun Iman yang Enam] yang benar sebagaimana terdapat di dalam Al-Qur’an dan Sunnah, serta didukung oleh atsar yang mutawatir. Barang siapa yang meyakini semuanya itu dengan mantap maka ia adalah termasuk ahlul haq wal sunnah (golongan yang menetapi kebenaran dan konsisten dengan sunnah Nabi), dan berlepas dari ahlul bid’ah wal dholal (golongan yang menetapi bid’ah dan kesesatan).” (lihat HPT Muhammadiyah, cet. Penerbit Suara Muhammadiyah, November 2011, hlm.22-23)
Begitu pula teologi Muhammadiyah menegaskan mengikuti manhaj Ahlus Sunnah yang diistilahkan oleh HPT Muhammadiyah (hlm.13) sebagai al-Firqoh an-Najiyah min al-Salaf, yaitu firqoh yang terjamin keselamatannya dari kalangan salaf. Dimana istilah itu merujuk kepada hadis Abdullah bin ‘Amr RA, yang dimaktubkan pada halaman 23 Kitab Iman HPT, bahwasanya Rasulullah Shallahu ‘aihi Wassallam bersabda, “Niscaya akan datang kepada ummatku apa yang telah datang kepada Bani Israil, teladan jejak kaki mengikuti jejak kaki (hadzwan na’li bil-na’li) sampai kalau ada orang yang menggagahi ibunya dengan terang-terangan pastilah diantara ummatku ada pula yang berbuat demikian. Dan bahwa Bani Israil telah bercerai-berai menjadi 72 aliran dan ummatku akan bercerai-berai menjadi 73 aliran; semuanya masuk neraka, kecuali satu aliran”. Kata sahabat: “Siapakah aliran yang satu itu ya Rasulullah?” Jawab beliau: “Ialah mereka yang mengikuti jejakku dan sahabat-sahabatku.” (HR. at-Tirmidzi)
Jika demikian halnya rumusan akidah dan manhaj Muhammadiyah itu adalah Sunni, apakah Muhammadiyah yang telah lewat berusia 100 tahun ini pula dianggap memberhalakan Sunni, dan turut pula dituding sebagai penyebab hancurnya persaudaraan sejati umat Islam?
Pun tokoh besar ulama Muhammadiyah, Buya Prof. HAMKA, dalam artikelnya di Kompas pada tanggal 11-Desember-1980, telah menulis, “Kita di Indonesia ini adalah golongan Sunni”, “Dan saya pun tetap seorang Sunni yang tak perlu berpegang pada pendapat orang Syi’ah dan ajaran-ajaran Ayatullah”. Apakah lalu Buya Maarif berani dan tega mengatakan bahwa Buya HAMKA dengan ketegasan ucapannya itu, adalah telah menjadikan Sunni sebagai ‘berhala’, dan karena afiliasi Sunni-nya lalu dianggap ikut menghancurkan persaudaran sejati ummat Islam? Insya Allah Buya Maarif tidak setega itu.
Semoga saya tidak berlebihan menilai Buya Maarif dengan tulisan ringan ini. Dan semoga juga ada yang berbaik hati menyampaikan guratan pena ini kepada Buya Maarif, tokoh yang saya hormati. Wallahu a’lam bil-shawab.*
Penulis adalah anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah 2010-2015