Muhammadiyah
menolak konsep kesucian Imam-imam (ma’shumnya imam-mam) dalam ajaran Syi’ah
Jika
rumusan akidah dan manhaj Muhammadiyah itu adalah Sunni, apakah Muhammadiyah
yang berusia lebih 100 tahun dianggap memberhalakan Sunni?
Oleh: Fahmi
Salim
DI KOLOM Resonansi Harian Umum Republika
tanggal 9 Desember 2014, Buya Maarif, sapaan akrab Prof. A. Syafii Maarif,
mantan Ketum PP Muhammadiyah, menumpahkan uneg-unegnya seputar sejarah
perpecahan politik dalam Islam yang melahirkan 3 sekte besar yaitu: Sunni,
Syi’ah dan Khawarij. Lihat http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/12/08/ng9s7l-islam-dalam-krisis-1
Beliau, sebagai ahli sejarah, membentangkan
ringkas krisis politik pasca wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam
terutama peristiwa Perang Onta (35 H/656 M) yang melibatkan para sahabat dan
isteri Nabi pasca terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, dan Perang Shiffin (657
M) yang berujung kepada tahkim (arbitrase) di Daumatul Jandal. Beliau lalu
menulis;
“Saya
rekamkan kejadian tragis ini bukan untuk membuka luka yang telah berusia
belasan abad, tetapi untuk menyadarkan kita semua bahwa sengketa yang
berdarah-darah di atas sepenuhnya adalah gejala Arab, bukan mewakili Al-Quran
yang dengan tegas memerintahkan agar orang beriman itu bersaudara dan berdamai.
(QS: Al-Ĥujurât: 10)”
Di penghujung Resonansi-nya beliau
menyatakan, “Sunni yang muncul sebagai golongan mayoritas merasa diri selalu
berada di pihak yang benar dengan menuduh kelompok Syi’ah dan khawarij sebagai
pihak yang salah. Cara pandang yang semacam ini harus dihalau jauh-jauh dengan
menjadikan Alquran sebagai hakim dan rujukan yang tertinggi.”
Tak lupa beliau dengan gemas menyatakan,
“Sunni, Syi’ah, dan khawarij adalah buah dari perpecahan politik, mengapa
kemudian diberhalakan? Pemberhalaan inilah yang selama ratusan tahun telah
menghancurkan persaudaraan sejati umat Islam,…” (Lihat Republika tanggal 9
Desember 2014]
Pertama, saya ingin mengapresiasi
buah fikiran Buya Maarif sebagai seorang pakar sejarah dan politik Islam, yang
telah meluangkan waktunya untuk menuliskan kegundahannya seputar sejarah
konflik sekte-sekte Islam sejak awal kemunculannya, yang kemudian direfleksikan
beliau dalam konteks saat ini. Konteks sejarah modern yang masih pula
melanjutkan dan mewarisi konflik sektarian masa silam. Kita semua tentu
berkeinginan agar seluruh muslim bersatu, apa pun sektenya di dunia ini. Tak
ada lagi mengusung sunni, syiah atau khawarij dan saling menuduh pihak-pihak
lain sebagai sesat atau keluar dari Islam. Namun sejarah dan alur pemikiran
Islam tidak sesederhana yang kita bayangkan, dan kadang tidak sesuai dengan
yang kita idealkan.
Kedua, saya juga mengapresiasi
pernyataan Buya Maarif yang masih kental “kesunnian-nya”, meski beliau
bersikeras tidak ingin diasosiasikan kepada aliran Islam tertentu. Bukti
kesunnian Buya adalah pernyataannya dalam bagian Resonansi itu, “Menurut
hadist, sebagai sahabat nabi, mereka yang terlibat dalam peperangan ini telah
dijamin masuk surga.”. Juga yang ini, “Adapun mereka itu dijamin masuk surga
sepenuhnya adalah urusan Allah dengan mereka, kita tidak tahu.”
Kedua pernyataan itu hemat saya yang bodoh
ini, mencerminkan alam fikiran Sunni yang memegang teguh hadis-hadis Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam yang menjamin beberapa orang sahabat
Nabi masuk sorga. Artinya sebenarnya beliau sangat menghormati para sahabat
Nabi itu, meskipun terlibat dalam konflik politik sesama mereka. Dan tidak saya
dapatkan cacian ataupun celaan Buya terhadap fakta sejarah Islam itu,
sebagaimana yang khas di kalangan Syi’ah maupun Khawarij yang suka mencela,
melaknat dan mengkafirkan para sahabat Nabi bahkan istri Nabi Aisyah RA.
(Berbagai bukti yang melimpah soal celaan dan pengkafiran yang dilakukan Syi’ah
dan Khawarij itu bisa dibaca dalam buku Khawarij dan Syi’ah dalam Timbangan
Ahlus Sunnah wal Jamaah karya Prof. Dr. Ali Muhammad al-Shallabi [Pustaka
al-Kautsar: 2012] dan Panduan MUI Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah
di Indonesia [Formas: 2013], pen)
Ketiga, saya sepakat dan
mendukung 100 persen lontaran positif Buya Maarif yang menyatakan, ”Cara
pandang yang semacam ini (menyalahkan Syi’ah dan khawarij, pen.) harus dihalau
jauh-jauh dengan menjadikan Al-Quran sebagai hakim dan rujukan yang tertinggi.”
Kenapa demikian? Karena memang para ulama Islam (Ahlus Sunnah/Sunni) yang
berwibawa sepanjang sejarah ketika mengkritisi dan menyalahkan doktrin dan pola
pikir aliran Syi’ah dan Khawarij selalu menjadikan Al-Qur’an dan sunnah Nabi
sebagai hakim dan rujukan yang tertinggi. Tidak pernah para ulama sunni berlaku
semena-mena ketika menyalahkan (baca: menyesatkan) doktrin Syi’ah dan Khawarij,
tanpa dalil-dalil yang kuat dan tegas.
Dengan fikiran positif seperti inilah, pada
tahun 1997 Ketua Umum PP Muhammadiyah Dr. M. Amien Rais menuliskan kata
pengantar untuk buku “Mengapa Kita Menolak Syi’ah?” sebagai berikut; “Kami
berpendapat bahwa ada kelemahan dan kekurangan dari golongan Syi’ah itu. Oleh
sebab itu kepada segenap ummat Islam dianjurkan untuk mempelajari Syi’ah secara
kritis dengan tetap menjadikan Al-Qur’an dan Al-Sunnah Al-Shahihah sebagai alat
dan standar penelitiannya.” (Penerbit LPPI: 1997, hlm.xiv).
Jadi lontaran Buya di kolom Resonansi tak
jauh berbeda dengan apa yang dianjurkan oleh Dr. M. Amin Rais, Ketua PP
Muhammadiyah (1995-2000). Hal ini pula yang melandasi keluarnya 4 butir poin
hasil Pleno PP Muhammadiyah menyikapi Syi’ah sebagai berikut;
Pertama: Muhammadiyah meyakini bahwa Nabi
Muhammad yang ma’shum. Oleh sebab itu, Muhammadiyah menolak konsep kesucian
Imam-imam (ma’shumnya imam-mam) dalam ajaran Syi’ah.
Kedua: Muhammadiyah meyakini bahwa Nabi
Muhammad tidak menunjuk siapa pun pengganti beliau sebagai Khalifah.
Kekhalifahan setelah beliau diserahkan kepada musyawarah umat, jadi
kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhum adalah sah. Oleh sebab itu, Muhammadiyah
menolak konsep Rafidhahnya Syi’ah.
Ketiga: Muhammadiyah menghormati Ali bin
Abi Thalib sebagaimana sahabat-sahabat yang lain, tetapi Muhammadiyah menolak
kultus individu terhadap Ali bin Abi Thalib dan keturunannya.
Keempat: Syi’ah hanya menerima hadis dari
jalur Ahlul Bait, ini berakibat ribuan hadis shahih –walaupun diriwayatkan Bukhari
Muslim- ditolak oleh Syi’ah. Dengan demikian, banyak sekali perbedaan antara
Syi’ah dan Ahlus Sunnah baik masalah Aqidah, Ibadah, Munakahat, dan
lain-lainnya.
Sikap tersebut hendaknya menjadi pedoman
bagi warga Muhammadiyah khususnya dan umat Islam pada umumnya, sehingga dengan
demikian kita bersikap waspada terhadap ajaran dan doktrin Syi’ah yang memang
sangat berbeda dengan faham Ahlus Sunnah yang banyak dianut oleh mayoritas umat
Islam Indonesia. [Sumber: Majalah
Tabligh No. 7/IX/ Jumadal Awal-Jumadil Akhir 1433 H, hal 5. (lihat
http://koepas.org/index.php/berita/372-sikap-resmi-muhammadiyah-terhadap-syi-ah)]
TENTU saja 4 butir sikap resmi
PP Muhammadiyah itu keluar setelah mengkaji doktrin dan ajaran Syi’ah Imamiyah
(Rafidhah, yang berkembang di Indonesia) dengan menjadikan Al-Quran dan Sunnah
Shahihah sebagai alat dan standar penelitiannya. Apalagi, Prof. Dr. Yunahar
Ilyas, Ketua PP Muhammadiyah sekaligus Ketua MUI Pusat bidang Pengkajian telah
mensupervisi langsung buku Panduan MUI tentang “Penyimpangan Syi’ah di
Indonesia”.
Ijinkan saya yang bodoh ini bertanya kepada
Buya Maarif yang mumpuni ilmunya melebihi kapasitas saya yang fakir ilmu.
Apakah ada di dalam Al-Qur’an, ada ayat yang menyatakan bahwa imam (pemimpin
politik dan agama) itu maksum (infallible, suci dari dosa)?
Adakah ayat Qur’an atau satupun hadis Nabi
yang sahih menegaskan penunjukan Ali bin Abi Thalib dan 11 keturunannya sebagai
imam pasca wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam? Adakah ayat
Qur’an atau hadis shahih yang menyatakan imamah Ali dan keturunannya itu adalah
salah satu pokok ajaran agama Islam (termasuk Rukun Iman yang Enam)? Adakah
ayat Qur’an atau hadis Nabi yang membolehkan bahkan menganjurkan kita mencela
dan mengkafirkan para Sahabat dan istri Nabi sebagaimana yang diamalkan oleh
kaum Syi’ah [plus Khawarij]? Adakah ayat Qur’an atau hadis sahih yang
membenarkan doktrin bahwa Al-Qur’an yang di tangan muslimin se-dunia sejak
wafatnya Nabi hingga saat ini dan nanti adalah palsu, tidak lengkap dan tidak
orisinil, juga telah hilang karena turut hilangnya (ghaib) Imam Mahdi yang
ditunggu kaum Syi’ah itu? Sebagaimana yang diimani dan didoktrinkan Syi’ah
selama ini, sehingga meresahkan umat Islam di tingkat akar rumput, dengan
penyebarannya yang massif.
Pertanyaan sederhana saya itu adalah dalam
rangka memverifikasi doktrin-doktrin Syi’ah itu dengan Al-Qur’an dan Sunnah
Shahihah yang menjadi pedoman akidah Muhammadiyah, sebagaimana keinginan Buya
Maarif.
Keempat, benarkah Sunni lahir
karena perpecahan politik? Tentu saja hemat saya, tidak benar seperti itu.
Sunni adalah doktrin dan ajaran Islam yang diyakini dan dipraktekkan oleh
Rasulullah dan para Sahabatnya pada masa Nabi hidup maupun sesudah wafatnya,
bahkan jauh berpuluh tahun sebelum terjadinya konflik politik (Perang Onta dan
Perang Shiffin) seperti yang diuraikan oleh Buya Maarif. Ia adalah akidah yang
diajarkan langsung oleh Rasulullah yang diturunkan langsung dari Al-Qur’an
berupa penjabaran rukun Iman, Islam dan Ihsan, sikap terhadap keutuhan dan
keaslian Al-Qur’an, sikap terhadap sahabat Nabi dan lain-lain. Berbeda dengan
Sunni, maka Syi’ah dan Khawarij lah yang merupakan produk sejarah konflik
politik tersebut. Ajaran dan doktrin mereka tidak pernah dikenal di jaman
Rasulullah, sebagai puncak sempurnanya ajaran Islam sebagaimana diwahyukan
Allah dalam surah al-Maidah ayat 3.
Lalu apa benar Sunni diberhalakan? Yang
lalu dituding penyebab hancurnya persaudaraan sejati umat Islam? Apa pernyataan
Buya tersebut tidak paradox dan justeru bertentangan dengan rumusan akidah yang
baku dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah? Apakah pendapat Buya
yang khas Sunni mengatakan, “Menurut hadist, sebagai sahabat Nabi, mereka yang
terlibat dalam peperangan ini telah dijamin masuk surga” itu juga sebagai suatu
yang diberhalakan?
Mari kita lihat pedoman akidah dalam Kitab
Iman HPT Muhammadiyah halaman 22 sebagai berikut:
“Inilah pokok-pokok akidah [Rukun Iman yang
Enam] yang benar sebagaimana terdapat di dalam Al-Qur’an dan Sunnah, serta
didukung oleh atsar yang mutawatir. Barang siapa yang meyakini semuanya itu
dengan mantap maka ia adalah termasuk ahlul haq wal sunnah (golongan yang menetapi
kebenaran dan konsisten dengan sunnah Nabi), dan berlepas dari ahlul bid’ah wal
dholal (golongan yang menetapi bid’ah dan kesesatan).” (lihat HPT Muhammadiyah,
cet. Penerbit Suara Muhammadiyah, November 2011, hlm.22-23)
Begitu pula teologi Muhammadiyah menegaskan
mengikuti manhaj Ahlus Sunnah yang diistilahkan oleh HPT Muhammadiyah (hlm.13)
sebagai al-Firqoh an-Najiyah min al-Salaf, yaitu firqoh yang terjamin
keselamatannya dari kalangan salaf. Dimana istilah itu merujuk kepada hadis
Abdullah bin ‘Amr RA, yang dimaktubkan pada halaman 23 Kitab Iman HPT,
bahwasanya Rasulullah Shallahu ‘aihi Wassallam bersabda, “Niscaya akan datang kepada ummatku apa
yang telah datang kepada Bani Israil, teladan jejak kaki mengikuti jejak kaki
(hadzwan na’li bil-na’li) sampai kalau ada orang yang menggagahi ibunya dengan
terang-terangan pastilah diantara ummatku ada pula yang berbuat demikian. Dan
bahwa Bani Israil telah bercerai-berai menjadi 72 aliran dan ummatku akan
bercerai-berai menjadi 73 aliran; semuanya masuk neraka, kecuali satu aliran”.
Kata sahabat: “Siapakah aliran yang satu itu ya Rasulullah?” Jawab beliau:
“Ialah mereka yang mengikuti jejakku dan sahabat-sahabatku.” (HR.
at-Tirmidzi)
Jika demikian halnya rumusan akidah dan
manhaj Muhammadiyah itu adalah Sunni, apakah Muhammadiyah yang telah lewat
berusia 100 tahun ini pula dianggap memberhalakan Sunni, dan turut pula
dituding sebagai penyebab hancurnya persaudaraan sejati umat Islam?
Pun tokoh besar ulama Muhammadiyah, Buya
Prof. HAMKA, dalam artikelnya di Kompas pada tanggal 11-Desember-1980, telah
menulis, “Kita di Indonesia ini adalah golongan Sunni”, “Dan saya pun tetap
seorang Sunni yang tak perlu berpegang pada pendapat orang Syi’ah dan
ajaran-ajaran Ayatullah”. Apakah lalu Buya Maarif berani dan tega mengatakan
bahwa Buya HAMKA dengan ketegasan ucapannya itu, adalah telah menjadikan Sunni
sebagai ‘berhala’, dan karena afiliasi Sunni-nya lalu dianggap ikut
menghancurkan persaudaran sejati ummat Islam? Insya Allah Buya Maarif tidak
setega itu.
Semoga saya tidak berlebihan menilai Buya
Maarif dengan tulisan ringan ini. Dan semoga juga ada yang berbaik hati
menyampaikan guratan pena ini kepada Buya Maarif, tokoh yang saya hormati. Wallahu a’lam bil-shawab.*
Penulis
adalah anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah 2010-2015