Wednesday, May 6, 2015

Masukan Untuk Menteri Agama ( 2 ), Hukum Mencaci Istri Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.

                                                       
Barangsiapa menuduh ‘Aaisyah telah berbuat zina yang Allah ta’ala telah membebaskan dirinya dari perbuatan (zina) tersebut, maka orang itu kafir tanpa ada perselisihan pendapat. Telah dihikayatkan adanyaijmaa’ dalam hukum kekafiran ini dari beberapa orang ulama.
Diriwayatkan dari Maalik :
من سَبّ أَبَا بَكْر جُلِد، وَمِن سَبّ عَائِشَة قُتِل، قِيل لَه: لِم؟ قَال من رَمَاهَا فَقَد خالف الْقُرْآن، لِأَنّ اللَّه تَعَالى قَالَ: يَعِظُكُمُ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ.
“Barangsiapa yang mencaci Abu Bakr, ia dicambuk. Dan barangsiapa mencaci ‘Aaisyah, ia dibunuh”. Dikatakan kepadanya : “Mengapa?”. Ia berkata : “Barangsiapa yang menuduhnya, maka ia telah menyelisihi Al-Qur’an, karena Allah ta’ala berfirman : ‘Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman’ (QS. An-Nuur : 17)”[1].

Abus-Saaib Al-Qaadliy berkata:
كُنْتُ يَوْمًا بِحَضْرَةِ الْحَسَنِ بْنِ زَيْدٍ الدَّاعِي بِطَبَرِسْتَانَ، وَكَانَ يَلْبَسُ الصُّوفَ، وَيَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ، وَيَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ، وَيُوَجِّهُ فِي كُلِّ سَنَةٍ بِعِشْرِينَ أَلْفَ دِينَارٍ إِلَى مَدِينَةِ السَّلامِ تُفَرَّقُ عَلَى سَائِرِ وَلَدِ الصَّحَابَةِ، وَكَانَ بِحَضْرَتِهِ رَجُلٌ ذَكَرَ عَائِشَةَ بِذِكْرٍ قَبِيحٍ مِنَ الْفَاحِشَةِ، فَقَالَ: يَا غُلامُ اضْرِبْ عُنُقَهُ، فَقَالَ لَهُ الْعَلَوِيُّونَ: هَذَا رَجُلٌ مِنْ شِيعَتِنَا، فَقَالَ: مَعَاذَ اللَّهِ، هَذَا رَجُلٌ طَعَنَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّهُ تَعَالى: الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ، فَإِنْ كَانَتْ عَائِشَةُ خَبِيثَةً، فَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَبِيثٌ، فَهُوَ كَافِرٌ، فاضْرِبُوا عُنُقَهُ، فَضَرَبُوا عُنُقَهُ وَأَنَا حَاضِر
Pada suatu hari aku berada di dekat Al-Hasan bin Zaid, seorang da’I negeri Thibristaan. Ia waktu itu mengenakan pakaian dari bulu domba. Ia seorang yang memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar. Setiap tahun ia mengirim uang sebanyak 20.000 dinar ke Madiinah agar dibagikan kepada seluruh anak-anak shahabat. Pada waktu itu, hadir di hadapannya seorang laki-laki yang menyebut-nyebut ‘Aaisyah dengan penyebutan buruk lagi keji. Ia (Al-Hasan bin Zaid) berkata : “Wahai ghulaam, penggallah pehernya”. Orang-orang ‘Alawiyyiin berkata kepadanya : “Laki-laki tersebut termasuk pengikut kelompok kami”. Ia berkata : “Aku berlindung kepada Allah, orang ini telah mencela Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman : ‘Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga)” (QS. An-Nuur : 26)’. Apabila ‘Aaisyah seorang wanita yang keji, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun juga seorang laki-laki yang keji. Orang tersebut kafir. Penggallah lehernya”. Maka mereka memenggal lehernya sedangkan aku hadir menyaksikannya.  
Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy[2].
Adapun orang yang mencaci istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa salami selain ‘Aaisyah, maka ada dua pendapat:
1.     Ia seperti orang yang mencaci para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.[3]
2.     Menurut pendapat yang lebih benar, orang yang menuduh salah seorangummahaatul-mukminiin telah berbuat zina, maka hukumnya seperti menuduh ‘Aaisyah berbuat zina (yaitu kafir). Hal itu dikarenakan dalam cacian itu terdapat aib dan kerendahan terhadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, serta menyakiti beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih dari menyakiti beliau dengan sebab menikahi mereka (istri-istri Nabi) sepeninggal beliau. Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِينًا
Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan [QS. Al-Ahzaab : 57].
[selesai diterjemahkan dari Taqriibu Ash-Shariimil-Masluul ‘alaa Syaatimir-Rasuul li-Syaikhil-Islaam Ibni Taimiyyah oleh Dr. Shalaah Ash-Shaawiy, hal. 303-304 dengan sediikit peringkasan dan penambahan catatan kaki – Abul-Jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 09032015 – 23:44].
                             ------------------------------------------------------ 
[1]      Diriwayatkan oleh Al-Jauhariy dalam Al-Musnad Al-Muwaththa’ 1/112-113, Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa 12/440, dan Abu Sa’iid An-Nuqqaasy dalam Tsalaatsatu Majaalis minal-Amaaliy no. 12. Dibawakan juga oleh Al-Qaadliy ‘Iyaadl dalam Asy-Syifaa’ 2/184.
[2]      Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 2402.
[3]      Ibnu Taimiyyah rahimahullah membuat perinciannya:
a.      Orang yang mencaci shahabat dengan cacian yang tidak mengurangi sifat keadilan dan agamanya, seperti pelit, penakut, kurang berilmu, tidak zuhd, atau yang semisalnya; maka ia berhak untuk diboikot dan di-ta’zir, tidak dikafirkan.
b.      Orang yang melaknat dan menjelek-jelekkan shahabat secara mutlak, maka para ulama berbeda pendapat padanya dikarenakan adanya keragu-raguan permasalahan antara laknat kemarahan dan laknat keyakinan.
c.      Orang yang mencaci dan menganggap para shahabat murtad setelah wafatnya Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam, kecuali hanya sekelompok kecil saja; atau ia memfasikan mayoritas shahabat; maka ini tidak diragukan lagi akan kekafirannya karena ia mendustakan apa yang telah dinashkan oleh Al-Qur’an dalam beberapa ayat akan adanya keridlaan dan pujian terhadap mereka. Bahkan barangsiapa yang ragu akan kekafiran orang yang semisal ini, maka ia juga kafir secara yakin [At-Taqriib, hal. 325-326].
Artikel terkait : 


Kalau kita melihat tindak tanduk Rafidhah (baca: Syi’ah), mereka tidaklah lepas dari mencela sahabat. Ulama-ulama mereka tidak segan-segan mengatakan bahwa ‘Aisyah –istri tercinta Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam- itu kafir dan pantas menempati neraka. Banyak literatur Syi’ah yang menyebutkan ajaran demikian, bukan hanya satu atau dua pernyataan, bahkan sudah menjadi ajaran pokok mereka. Tulisan kali ini akan menunjukkan bagaimana pujian Allah pada mereka, sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Juga akan dijelaskan pula mengenai kafirnya orang yang mencela sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Merenungkan Sifat Mulia Para Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Sifat mulia para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, termaktub dalam ayat berikut setelah Allah memuji Rasul-Nya yang mulia. Allah Ta’ala berfirman,

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al Fath: 29).

Mula-mula ayat ini berisi pujian Allah Ta’ala kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak disangsikan lagi adalah benar. Lalu beliau dipuji sebagai utusan Allah, di mana pujian ini mencakup semua sifat yang mulia. Kemudian setelah itu, barulah datang pujian kepada sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa saja pujian bagi para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Pertama: Mereka keras terhadap orang kafir namun begitu penyayang terhadap sesama mereka yang beriman sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas,

وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ

“Dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”

Pujian seperti itu terdapat pula dalam ayat lainnya,

فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ

“Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir” (QS. Al Maidah: 54).

Inilah sifat yang semestinya dimiliki oleh orang beriman. Mereka keras dan berlepas diri dari orang kafir dan mereka berbuat baik terhadap orang-orang beriman. Mereka bermuka masam di depan orang kafir dan bermuka ceria di hadapan saudara mereka yang beriman. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً

“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa” (QS. At Taubah: 123).

Dari An Nu’man bin Basyir, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal kasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam” (HR. Muslim no. 2586).

Dari Abu Musa, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ ، يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

“Seorang mukmin dengan mukmin yang lain seperti sebuah bangunan yang bagian-bagiannya saling menguatkan satu dan lainnya” (HR. Bukhari no. 6026 dan Muslim no. 2585).

Kedua: Para sahabat nabi adalah orang yang gemar beramal sholeh, juga memperbanyak shalat dan shalat adalah sebaik-baik amalan

Ketiga: Mereka dikenal ikhlas dalam beramal dan selalu mengharapkan pahala di sisi Allah, yaitu balasan surga.

Kedua sifat ini disebutkan dalam ayat di atas,

تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا

“Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya”

Keempat: Mereka terkenal khusyu’ dan tawadhu’. Itulah yang disebutkan dalam ayat,

سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ

“Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud”.

Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah tanda yang baik. Mujahid dan ulama tafsir lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud adalah khusyu’ dan tawadhu’.

Ulama pakar tafsir lainnya, yaitu As Sudi berkata bahwa yang dimaksud adalah shalat telah membaguskan wajah mereka.

Sebagian salaf berkata,

من كثرت صلاته بالليل حسن وجهه بالنهار

“Siapa yang banyak shalatnya di malam hari, maka akan berserilah wajahnya di siang hari.”

Sebagian mereka pula berkata,

إن للحسنة نورا في القلب، وضياء في الوجه، وسعة في الرزق، ومحبة في قلوب الناس.

“Setiap kebaikan akan memancarkan cahaya di hati dan menampakkan sinar di wajah, begitu pula akan melampangkan rizki dan semakin membuat hati manusia tertarik padanya.”

Karena baiknya hati, hal itu akan dibuktikan dalam amalan lahiriyah. Sebagaimana kata ‘Umar bin Al Khottob,

من أصلح سريرته أصلح الله علانيته.

“Siapa yang baik hatinya, maka Allah pun akan memperbaiki lahiriyahnya.”

Para sahabat radhiyallahu ‘anhum, niat mereka dan amal baik mereka adalah murni hanya untuk Allah. Sehingga siapa saja yang memandang mereka, maka akan terheran dengan tanda kebaikan dan jalan hidup mereka. Demikian kata Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya.

Kelima: Para sahabat dipuji oleh umat sebelum Islam dan mereka adalah sebaik-baik umat.

Imam Malik rahimahullah berkata bahwa telah sampai pada beliau, jika kaum Nashoro melihat para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menaklukkan Syam, mereka berkata, “Demi Allah, mereka sungguh lebih baik dari Hawariyyin (pengikut setia Nabi ‘Isa ‘alaihis salam), sebagaimana yang sampai pada kami.” Kaum Nashrani telah membenarkan hal ini. Ini menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang dalam anggapan umat-umat sebelum Islam sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab mereka. Dan umat Islam yang paling mulia dan utama adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu dalam ayat yang kita bahas di atas disebutkan,

ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ

“Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya.”

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Demikianlah sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menguatkan, mendukung dan menolong Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga mereka selalu bersamanya sebagaimana tunas yang selalu menyertai tanaman”. Tunas itulah ibarat para sahabat dan tanaman itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam panutan mereka.

Kafirnya Orang yang Mencela Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Setelah disebutkan sifat-sifat mulai para sahabat, kemudian Allah menyebutkan sifat mereka yang selalu menolong Nabi mereka shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana halnya tunas pada tanaman, lalu disebutkan,

يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ

“Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir”.

Sebagaimana dalam salah satu riwayat dari Imam Malik rahimahullah, beliau mengkafirkan Rafidhah (Syi’ah) di mana mereka menaruh kebencian pada para sahabat. Imam Malik berkata,

لأنهم يغيظونهم، ومن غاظ الصحابة فهو كافر لهذه الآية

“Karena para sahabat membuat hari mereka jengkel. Dan siapa yang jengkel (murka) pada para sahabat, maka ia kafir berdasarkan ayat ini.”

Sekelompok ulama sependapat dengan Imam Malik dalam hall ini. Juga banyak hadits yang menunjukkan keutamaan para sahabat dan larangan mencela mereka sebagai pendukung. Cukup dengan pujian dan ridho Allah atas mereka sebagaimana terbukti dalam ayat ini.

Bukti dari Literatur Syi’ah Mengenai Celaan pada Para Sahabat

[1] Salah satu buku induk ajaran Syi’ah yaitu karangan ulama besar mereka, Al Kulaini menyebutkan riwayat dari Ja’far ‘alaihis salam, “Manusia (para sahabat) telah murtad setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali tiga orang.” Aku berkata, “Siapa saja tiga orang tersebut?” Disebutkan, “Al Miqdad bin Al Aswad, Abu Dzar Al Ghifari dan Salman Al Farisi”. (Furu’ Al Kaafi, Al Kulaini, hal. 115)

***
Lihatlah bagaimana tujuan keji Syi’ah yang bukan hanya mencela, namun menganggap murtad para sahabat yang mulia kecuali tiga sahabat di atas.

[2] Al Majlisi menyebutkan dalam kitabnya bahwa bekas budak ‘Ali bin Husain. Di mana ia pernah bersama ‘Ali bin Husain. Lalu bekas budaknya ini berkata pada ‘Ali bin Husain, “Engkau punya kewajiban untuk memberitahukanku mengenai dua orang pria yaitu Abu Bakr dan ‘Umar.” ‘Ali bin Husain berkata, “Mereka berdua itu kafir. Dan siapa saja yang mencintai keduanya, maka ia juga ikut kafir.” (Baharul Anwar, Al Majlisi, 29: 137)

***
Perlu diketahui bahwa sebenarnya ‘Ali bin Husain dan ahlul bait tidaklah seperti yang diceritakan di atas. Mereka sebenarnya berlepas diri dari kebiadaban dan tuduhan keji orang-orang Syi’ah. Dan ini jadi bukti bagaimana bencinya orang Syi’ah pada dua sahabat yang mulia yaitu Abu Bakr dan ‘Umar. Padahal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memuji Abu Bakr dengan julukan shiddiq (orang yang paling membenarkan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan menyebut ‘Umar dengan syuhada’.

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki gunung Uhud bersama Abu Bakar, Umar dan ‘Utsman. Gunung Uhud pun berguncang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda,

اثْبُتْ أُحُدُ فَإِنَّمَا عَلَيْكَ نَبِىٌّ وَصِدِّيقٌ وَشَهِيدَانِ

“Diamlah Uhud, di atasmu ada Nabi, Ash Shiddiq (yaitu Abu Bakr) dan dua orang Syuhada’ (‘Umar dan ‘Utsman)” (HR. Bukhari no. 3675).

[3] Ulama pakar tafsir di kalangan Syi’ah yaitu Al Qummi berkata mengenai firman Allah Ta’ala,

وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ

“Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan” (QS. An Nahl: 90). Namun lihatlah bagaimana tafsiran Al Qummi mengenai ayat ini. Ia berkata, “Fahsya’ adalah Abu Bakr, munkar adalah ‘Umar (bin Khottob), dan baghyu adalah ‘Utsman (bin ‘Affan).” (Tafsir Al Qummi, 1: 390)

Jika ulama Syi’ah saja mencela seperti ini, bagaimana lagi dengan pengikutnya?

[4] Yusuf Al Jaroni dalam kitabnya menyebutkan bahwa ‘Aisyah telah murtad setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana murtadnya sahabat Al Jamm Al Ghofir (Asy Syihab Ats Tsaqib fii Bayani Ma’na An Nashib, Yusuf Al Jaroni, hal. 236).

[5] Dalam buku Syi’ah, mereka menuduh ‘Aisyah telah berzina. Mengenai firman Allah Ta’ala yang sebenarnya mensucikan ‘Aisyah dari tuduhan zina yaitu pada surat An Nuur,

أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ

“Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu)” (QS. An Nuur: 26). Kata mereka, ayat ini yang dimaksud adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan pada istrinya ‘Aisyah. (Ash Shiroth Al Mustaqim, Zainuddin An Nabathi Al Bayadhi, 3: 165)

***
Bagaimana mungkin ‘Aisyah dituduh berzina, sedangkan dalam surat An Nuur sebelumnya disebutkan,

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)” (QS. An Nuur: 26).

Bagaimana pula ‘Aisyah itu murtad dan berbuat zina, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu menaruh hati pada ‘Aisyah. Lihatlah bagaimana ungkapan cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada istrinya tercinta.

قَالَتْ عَائِشَةُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم كُنْتُ لَكِ كَأِبي زَرْعٍ لِأُمِّ زَرْعٍ

‘Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku bagimu seperti sayangnya Abu Zar’ pada Ummu Zar’. (HR. Bukhari no. 5189 dan Muslim no. 2448).

Dalam riwayat lain, A’isyah berkata,

يَا رَسُوْلَ اللهِ بَلْ أَنْتَ خَيْرٌ إِلَيَّ مِنْ أَبِي زَرْعٍ

“Wahai Rasulullah, bahkan engkau lebih baik kepadaku daripada Abu Zar’” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubro 5: 358, no. 9139)

Pujian Tinggi pada Para Sahabat

Di akhir ayat, Allah menyebutkan pujian tinggi pada para sahabat,

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”.

Siapa saja yang mengikuti para sahabat dalam sifat mulia mereka, ia akan mendapatkan keutamaan demikian.

Ya Allah, berilah kami petunjuk untuk mengikuti jejak mulia para sahabat dan moga kami menjadi orang-orang yang mencintai mereka.

Kami tutup tulisan ini dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِى ، فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ

“Janganlah kalian mencela sahabatku. Seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas semisal gunung Uhud, maka itu tidak bisa menandingi satu mud infak sahabat, bahkan tidak pula separuhnya” (HR. Bukhari no. 3673 dan Muslim no. 2540).

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Referensi:

Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, tahun 1421 H, 13: 132-135.
Man Hum Asy Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah, ‘Abdullah bin Muhammad As Salafi, dd-sunnah.net, cetakan pertama, 1428 H.
Min ‘Aqoidi Asy Syi’ah, ‘Abdullah bin Muhammad As Salafi (dengan muqoddimah: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz), dd-sunnah.net, cetakan ketiga, 1428 H.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 27 Rabi’uts Tsani 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id



( Penanda tangan Risalah Aman )
Berikut ini adalah cuplikan dari tayangan video kajian Syeikh Yusuf Al-Qardhawi dalam salah satu stasiun TV di negeri timur tengah,
Syeikh Yusuf Al-Qardhawi: …. Sampai pada tahapan orang-orang yang mengikuti mereka. Maka apatah lagi dengan orang-orang yang mencela mereka. Oleh karena itu mencela sahabat adalah hal yang paling berbahaya!
Pembawa acara: Mencela sahabat –wahai Syekh- apakah itu menyebabkannya menjadi kafir atau fasik atau bagaimana pendapat Anda?
Syeikh Yusuf Al-Qardhawi: Jika dia tidak memiliki syubhat (ta'wil), maka dia Kafir!
Namun jika ia memiliki syubhat (ta'wil), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan banyak ulama tidak mengkafirkannya, dan jika tidak niscaya ia telah kafir.
Seperti jika ia mengatakan bahwa semua sahabat itu murtad sepeninggal Nabi, atau mencela Aisyah setelah Allah bebaskan ia dari tuduhan zina (peristiwa ifk -penerj) yang mana Allah turunkan ayat-ayat yang jelas dalam surat An-Nur.
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (ayat 4)
Mengapa waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak berperasangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa) tidak berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.”
Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta.
Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu. (ayat 12-14)
Maka siapa yang tetap mencela Aisyah, tidak diragukan lagi kekafirannya!

Baca juga tiga fatwa beliau tentang Syiah; 
b) Sikap Syeikh Yusuf Al-Qardhawi di Muktamar Taqrib di Doha, (http://www.lppimakassar.com/2012/09/fatwa-terbaru-syaikh-yusuf-al-qaradhawi.html) dan 
(lppimakassar.com)


Ayyub bin Hasan Al-Faqih berkata: Mazdak seorang yang terpercaya menceritakan kepadaku, ia seorang penjual kayu jati, ia berkata: Saya menjual kayu jati di ahwaz kepada seseorang, dia memiliki wibawa dan kekuasaan, saya menemuinya untuk meminta harganya, ketika itu nama Abu Bakar dan Umar disebut-sebut didekatnya radhiyallahu ‘anhuma, lantas ia mencelanya, saya agak takut melarangnya lantaran wibawanya dan kekuasaannya, setelah itu saya pulang ke rumah, malam itu saya lalui malam dengan rasa sedih dan sesak, hanya Allah yang mengetahuinya, akhirnya saya bermimpi melihat Nabi dalam mimpi, saya memanggilnya: wahai Rasulullah, orang ini mencela Abu Bakar dan Umar, Rasulullah berkata: ini?, saya jawab: ini!, ia bertanya lagi, ini? Saya jawab: ini!, Rasulullah berkata padaku: berdirilah dan sandarkanlah ia, saya berdiri dan saya menyandarkannya, kemudian Rasulullah berkata memerintahkanku: Berdirilah kemudian sembelihlah!, namun penyembelihan itu terasa berat di mataku, Rasulullah pun mengulanginya sampai tiga kali: Berdirilah dan sembelihlah, kemudian saya berdiri, lalu saya gorok dengan pisau pada urat lehernya, lalu saya pun menyembelihnya, ketika pagi menyeruak, saya bergumam dalam diri: Demi Allah, saya akan pergi kepadanya dan mengabarkannya mimpi ini, ketika saya sampai pada pintu rumahnya, saya mendengar teriakan dari dalam rumah, saya bertanya: teriakan apa ini? Mereka menjawab: fulan yang dipotong oleh seorang penyembelih pada tengah malam. Saya katakan: Saya yang menyembelihnya atas dasar perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian putranya (anak pencela Abu Abu Bakar dan Umar) keluar menemuiku, dan berkata: Saya sangat berharap anda menyembunyikannya untuk kami. 
(Sumber: An-Nahyu ‘An Sabb Al-Ash-haab wa maa fiihi min al-istmi wa al-‘iqab, Dhiyauddin Muhammad bin Abdul Wahid Al-Maqdisi, Darul Faruq, Kairo, Mesir, Cet I, 2009, hal 44)
(lppimakassar.com)
Buka :