Barangsiapa menuduh ‘Aaisyah telah berbuat
zina yang Allah ta’ala telah membebaskan dirinya dari perbuatan
(zina) tersebut, maka orang itu kafir tanpa ada perselisihan pendapat. Telah
dihikayatkan adanyaijmaa’ dalam hukum kekafiran ini dari beberapa orang ulama.
Diriwayatkan dari Maalik :
من سَبّ أَبَا بَكْر
جُلِد، وَمِن سَبّ عَائِشَة قُتِل، قِيل لَه: لِم؟ قَال من رَمَاهَا فَقَد خالف
الْقُرْآن، لِأَنّ اللَّه تَعَالى قَالَ: يَعِظُكُمُ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا
لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ.
“Barangsiapa yang mencaci Abu Bakr, ia dicambuk.
Dan barangsiapa mencaci ‘Aaisyah, ia dibunuh”. Dikatakan kepadanya :
“Mengapa?”. Ia berkata : “Barangsiapa yang menuduhnya, maka ia telah
menyelisihi Al-Qur’an, karena Allah ta’ala berfirman :
‘Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu
selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman’ (QS. An-Nuur : 17)”[1].
Abus-Saaib Al-Qaadliy berkata:
كُنْتُ يَوْمًا
بِحَضْرَةِ الْحَسَنِ بْنِ زَيْدٍ الدَّاعِي بِطَبَرِسْتَانَ، وَكَانَ يَلْبَسُ
الصُّوفَ، وَيَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ، وَيَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ، وَيُوَجِّهُ
فِي كُلِّ سَنَةٍ بِعِشْرِينَ أَلْفَ دِينَارٍ إِلَى مَدِينَةِ السَّلامِ
تُفَرَّقُ عَلَى سَائِرِ وَلَدِ الصَّحَابَةِ، وَكَانَ بِحَضْرَتِهِ رَجُلٌ ذَكَرَ
عَائِشَةَ بِذِكْرٍ قَبِيحٍ مِنَ الْفَاحِشَةِ، فَقَالَ: يَا غُلامُ اضْرِبْ
عُنُقَهُ، فَقَالَ لَهُ الْعَلَوِيُّونَ: هَذَا رَجُلٌ مِنْ شِيعَتِنَا، فَقَالَ:
مَعَاذَ اللَّهِ، هَذَا رَجُلٌ طَعَنَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ اللَّهُ تَعَالى: الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ
لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ
أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ،
فَإِنْ كَانَتْ عَائِشَةُ خَبِيثَةً، فَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ خَبِيثٌ، فَهُوَ كَافِرٌ، فاضْرِبُوا عُنُقَهُ، فَضَرَبُوا عُنُقَهُ
وَأَنَا حَاضِر
Pada suatu hari aku berada di dekat
Al-Hasan bin Zaid, seorang da’I negeri Thibristaan. Ia waktu itu mengenakan
pakaian dari bulu domba. Ia seorang yang memerintahkan yang ma’ruf dan melarang
dari yang munkar. Setiap tahun ia mengirim uang sebanyak
20.000 dinar ke Madiinah agar dibagikan kepada seluruh anak-anak shahabat. Pada
waktu itu, hadir di hadapannya seorang laki-laki yang menyebut-nyebut ‘Aaisyah
dengan penyebutan buruk lagi keji. Ia (Al-Hasan bin Zaid) berkata : “Wahai ghulaam, penggallah pehernya”. Orang-orang ‘Alawiyyiin berkata kepadanya :
“Laki-laki tersebut termasuk pengikut kelompok kami”. Ia berkata : “Aku
berlindung kepada Allah, orang ini telah mencela Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman :
‘Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki
yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang
baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk
wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang
dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang
mulia (surga)” (QS. An-Nuur : 26)’. Apabila ‘Aaisyah seorang wanita yang
keji, maka Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam pun juga
seorang laki-laki yang keji. Orang tersebut kafir. Penggallah lehernya”. Maka
mereka memenggal lehernya sedangkan aku hadir menyaksikannya.
Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy[2].
Adapun orang yang mencaci istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa salami selain ‘Aaisyah, maka ada dua pendapat:
1. Ia seperti
orang yang mencaci para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.[3]
2. Menurut
pendapat yang lebih benar, orang yang menuduh salah seorangummahaatul-mukminiin telah berbuat zina, maka hukumnya seperti
menuduh ‘Aaisyah berbuat zina (yaitu kafir). Hal itu dikarenakan dalam cacian
itu terdapat aib dan kerendahan terhadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, serta menyakiti beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih dari menyakiti beliau dengan sebab
menikahi mereka (istri-istri Nabi) sepeninggal beliau. Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ
يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِينًا
“Sesungguhnya orang-orang yang
menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat,
dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan” [QS. Al-Ahzaab : 57].
[selesai diterjemahkan dari Taqriibu Ash-Shariimil-Masluul ‘alaa
Syaatimir-Rasuul li-Syaikhil-Islaam Ibni Taimiyyah oleh Dr. Shalaah Ash-Shaawiy, hal. 303-304 dengan sediikit peringkasan
dan penambahan catatan kaki – Abul-Jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 09032015
– 23:44].
------------------------------------------------------
[1] Diriwayatkan oleh
Al-Jauhariy dalam Al-Musnad
Al-Muwaththa’ 1/112-113,
Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa 12/440, dan Abu Sa’iid An-Nuqqaasy dalam Tsalaatsatu Majaalis minal-Amaaliy no. 12. Dibawakan juga oleh Al-Qaadliy
‘Iyaadl dalam Asy-Syifaa’ 2/184.
[2] Diriwayatkan oleh
Al-Laalikaa’iy dalam Syarh
Ushuulil-I’tiqaad no. 2402.
[3] Ibnu Taimiyyah rahimahullah membuat perinciannya:
a. Orang yang
mencaci shahabat dengan cacian yang tidak mengurangi sifat keadilan dan
agamanya, seperti pelit, penakut, kurang berilmu, tidak zuhd, atau yang
semisalnya; maka ia berhak untuk diboikot dan di-ta’zir, tidak
dikafirkan.
b. Orang yang
melaknat dan menjelek-jelekkan shahabat secara mutlak, maka para ulama berbeda
pendapat padanya dikarenakan adanya keragu-raguan permasalahan antara laknat
kemarahan dan laknat keyakinan.
c. Orang yang
mencaci dan menganggap para shahabat murtad setelah wafatnya Rasulullahshallallaahu
‘alaihi wa sallam, kecuali hanya sekelompok kecil saja; atau ia memfasikan
mayoritas shahabat; maka ini tidak diragukan lagi akan kekafirannya karena ia
mendustakan apa yang telah dinashkan oleh Al-Qur’an dalam beberapa ayat akan
adanya keridlaan dan pujian terhadap mereka. Bahkan barangsiapa yang ragu akan
kekafiran orang yang semisal ini, maka ia juga kafir secara yakin [At-Taqriib,
hal. 325-326].
Kalau
kita melihat tindak tanduk Rafidhah (baca: Syi’ah), mereka tidaklah lepas dari
mencela sahabat. Ulama-ulama mereka tidak segan-segan mengatakan bahwa ‘Aisyah
–istri tercinta Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam- itu kafir dan pantas
menempati neraka. Banyak literatur Syi’ah yang menyebutkan ajaran demikian,
bukan hanya satu atau dua pernyataan, bahkan sudah menjadi ajaran pokok mereka.
Tulisan kali ini akan menunjukkan bagaimana pujian Allah pada mereka, sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Juga akan dijelaskan pula
mengenai kafirnya orang yang mencela sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Merenungkan Sifat Mulia Para Sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Sifat mulia para sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, termaktub dalam ayat berikut setelah Allah
memuji Rasul-Nya yang mulia. Allah Ta’ala berfirman,
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ
مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا
سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي
وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ
وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ
فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ
الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ
مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir,
tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari
karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka
dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat
mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas
itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di
atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah
hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang
mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al Fath: 29).
Mula-mula ayat ini berisi pujian Allah
Ta’ala kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak
disangsikan lagi adalah benar. Lalu beliau dipuji sebagai utusan Allah, di mana
pujian ini mencakup semua sifat yang mulia. Kemudian setelah itu, barulah
datang pujian kepada sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa saja
pujian bagi para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Pertama: Mereka keras terhadap orang
kafir namun begitu penyayang terhadap sesama mereka yang beriman sebagaimana
disebutkan dalam ayat di atas,
وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى
الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Dan orang-orang yang bersama dengan dia
adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”
Pujian seperti itu terdapat pula dalam
ayat lainnya,
فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ
يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى
الْكَافِرِينَ
“Maka kelak Allah akan mendatangkan
suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang
bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap
orang-orang kafir” (QS. Al Maidah: 54).
Inilah sifat yang semestinya dimiliki
oleh orang beriman. Mereka keras dan berlepas diri dari orang kafir dan mereka
berbuat baik terhadap orang-orang beriman. Mereka bermuka masam di depan orang
kafir dan bermuka ceria di hadapan saudara mereka yang beriman. Sebagaimana
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا
الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً
“Hai orang-orang yang beriman,
perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka
menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama
orang-orang yang bertaqwa” (QS. At Taubah: 123).
Dari An Nu’man bin Basyir, ia berkata
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ
وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ
تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam
hal kasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih
kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam” (HR. Muslim no.
2586).
Dari Abu Musa, ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ
، يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin dengan mukmin yang lain
seperti sebuah bangunan yang bagian-bagiannya saling menguatkan satu dan
lainnya” (HR. Bukhari no. 6026 dan Muslim no. 2585).
Kedua: Para sahabat nabi adalah orang
yang gemar beramal sholeh, juga memperbanyak shalat dan shalat adalah
sebaik-baik amalan
Ketiga: Mereka dikenal ikhlas dalam
beramal dan selalu mengharapkan pahala di sisi Allah, yaitu balasan surga.
Kedua sifat ini disebutkan dalam ayat di
atas,
تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ
فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا
“Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud
mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya”
Keempat: Mereka terkenal khusyu’ dan
tawadhu’. Itulah yang disebutkan dalam ayat,
سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ
السُّجُودِ
“Tanda-tanda mereka tampak pada muka
mereka dari bekas sujud”.
Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang
dimaksud adalah tanda yang baik. Mujahid dan ulama tafsir lainnya mengatakan
bahwa yang dimaksud adalah khusyu’ dan tawadhu’.
Ulama pakar tafsir lainnya, yaitu As
Sudi berkata bahwa yang dimaksud adalah shalat telah membaguskan wajah mereka.
Sebagian salaf berkata,
من كثرت صلاته بالليل حسن وجهه بالنهار
“Siapa yang banyak shalatnya di malam
hari, maka akan berserilah wajahnya di siang hari.”
Sebagian mereka pula berkata,
إن للحسنة نورا في القلب، وضياء في الوجه،
وسعة في الرزق، ومحبة في قلوب الناس.
“Setiap kebaikan akan memancarkan cahaya
di hati dan menampakkan sinar di wajah, begitu pula akan melampangkan rizki dan
semakin membuat hati manusia tertarik padanya.”
Karena baiknya hati, hal itu akan
dibuktikan dalam amalan lahiriyah. Sebagaimana kata ‘Umar bin Al Khottob,
من أصلح سريرته أصلح الله علانيته.
“Siapa yang baik hatinya, maka Allah pun
akan memperbaiki lahiriyahnya.”
Para sahabat radhiyallahu ‘anhum, niat
mereka dan amal baik mereka adalah murni hanya untuk Allah. Sehingga siapa saja
yang memandang mereka, maka akan terheran dengan tanda kebaikan dan jalan hidup
mereka. Demikian kata Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya.
Kelima: Para sahabat dipuji oleh umat
sebelum Islam dan mereka adalah sebaik-baik umat.
Imam Malik rahimahullah berkata bahwa
telah sampai pada beliau, jika kaum Nashoro melihat para sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menaklukkan Syam, mereka berkata, “Demi
Allah, mereka sungguh lebih baik dari Hawariyyin (pengikut setia Nabi ‘Isa
‘alaihis salam), sebagaimana yang sampai pada kami.” Kaum Nashrani telah
membenarkan hal ini. Ini menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang dalam
anggapan umat-umat sebelum Islam sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab
mereka. Dan umat Islam yang paling mulia dan utama adalah para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu dalam ayat yang kita
bahas di atas disebutkan,
ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ
وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ
فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ
“Demikianlah sifat-sifat mereka dalam
Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang
mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi
besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya.”
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Demikianlah sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka
menguatkan, mendukung dan menolong Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga
mereka selalu bersamanya sebagaimana tunas yang selalu menyertai tanaman”.
Tunas itulah ibarat para sahabat dan tanaman itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam panutan mereka.
Kafirnya Orang yang Mencela Sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
Setelah disebutkan sifat-sifat mulai
para sahabat, kemudian Allah menyebutkan sifat mereka yang selalu menolong Nabi
mereka shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana halnya tunas pada tanaman,
lalu disebutkan,
يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ
الْكُفَّارَ
“Tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir”.
Sebagaimana dalam salah satu riwayat
dari Imam Malik rahimahullah, beliau mengkafirkan Rafidhah (Syi’ah) di mana
mereka menaruh kebencian pada para sahabat. Imam Malik berkata,
لأنهم يغيظونهم، ومن غاظ الصحابة فهو كافر
لهذه الآية
“Karena para sahabat membuat hari mereka
jengkel. Dan siapa yang jengkel (murka) pada para sahabat, maka ia kafir
berdasarkan ayat ini.”
Sekelompok ulama sependapat dengan Imam
Malik dalam hall ini. Juga banyak hadits yang menunjukkan keutamaan para
sahabat dan larangan mencela mereka sebagai pendukung. Cukup dengan pujian dan
ridho Allah atas mereka sebagaimana terbukti dalam ayat ini.
Bukti dari Literatur Syi’ah Mengenai
Celaan pada Para Sahabat
[1] Salah satu buku induk ajaran Syi’ah
yaitu karangan ulama besar mereka, Al Kulaini menyebutkan riwayat dari Ja’far
‘alaihis salam, “Manusia (para sahabat) telah murtad setelah wafatnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali tiga orang.” Aku berkata, “Siapa saja
tiga orang tersebut?” Disebutkan, “Al Miqdad bin Al Aswad, Abu Dzar Al Ghifari
dan Salman Al Farisi”. (Furu’ Al Kaafi, Al Kulaini, hal. 115)
***
Lihatlah bagaimana tujuan keji Syi’ah
yang bukan hanya mencela, namun menganggap murtad para sahabat yang mulia
kecuali tiga sahabat di atas.
[2] Al Majlisi menyebutkan dalam
kitabnya bahwa bekas budak ‘Ali bin Husain. Di mana ia pernah bersama ‘Ali bin
Husain. Lalu bekas budaknya ini berkata pada ‘Ali bin Husain, “Engkau punya
kewajiban untuk memberitahukanku mengenai dua orang pria yaitu Abu Bakr dan
‘Umar.” ‘Ali bin Husain berkata, “Mereka berdua itu kafir. Dan siapa saja yang
mencintai keduanya, maka ia juga ikut kafir.” (Baharul Anwar, Al Majlisi, 29:
137)
***
Perlu diketahui bahwa sebenarnya ‘Ali
bin Husain dan ahlul bait tidaklah seperti yang diceritakan di atas. Mereka
sebenarnya berlepas diri dari kebiadaban dan tuduhan keji orang-orang Syi’ah.
Dan ini jadi bukti bagaimana bencinya orang Syi’ah pada dua sahabat yang mulia
yaitu Abu Bakr dan ‘Umar. Padahal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri
memuji Abu Bakr dengan julukan shiddiq (orang yang paling membenarkan sabda
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan menyebut ‘Umar dengan syuhada’.
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki gunung Uhud bersama Abu Bakar,
Umar dan ‘Utsman. Gunung Uhud pun berguncang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lalu bersabda,
اثْبُتْ أُحُدُ فَإِنَّمَا عَلَيْكَ
نَبِىٌّ وَصِدِّيقٌ وَشَهِيدَانِ
“Diamlah Uhud, di atasmu ada Nabi, Ash
Shiddiq (yaitu Abu Bakr) dan dua orang Syuhada’ (‘Umar dan ‘Utsman)” (HR.
Bukhari no. 3675).
[3] Ulama pakar tafsir di kalangan
Syi’ah yaitu Al Qummi berkata mengenai firman Allah Ta’ala,
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ
وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
“Dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan” (QS. An Nahl: 90). Namun lihatlah bagaimana
tafsiran Al Qummi mengenai ayat ini. Ia berkata, “Fahsya’ adalah Abu Bakr,
munkar adalah ‘Umar (bin Khottob), dan baghyu adalah ‘Utsman (bin ‘Affan).”
(Tafsir Al Qummi, 1: 390)
Jika ulama Syi’ah saja mencela seperti
ini, bagaimana lagi dengan pengikutnya?
[4] Yusuf Al Jaroni dalam kitabnya
menyebutkan bahwa ‘Aisyah telah murtad setelah wafatnya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagaimana murtadnya sahabat Al Jamm Al Ghofir (Asy Syihab
Ats Tsaqib fii Bayani Ma’na An Nashib, Yusuf Al Jaroni, hal. 236).
[5] Dalam buku Syi’ah, mereka menuduh
‘Aisyah telah berzina. Mengenai firman Allah Ta’ala yang sebenarnya mensucikan
‘Aisyah dari tuduhan zina yaitu pada surat An Nuur,
أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ
“Mereka (yang dituduh) itu bersih dari
apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu)” (QS. An Nuur: 26). Kata
mereka, ayat ini yang dimaksud adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam, bukan pada istrinya ‘Aisyah. (Ash Shiroth Al Mustaqim, Zainuddin An
Nabathi Al Bayadhi, 3: 165)
***
Bagaimana mungkin ‘Aisyah dituduh
berzina, sedangkan dalam surat An Nuur sebelumnya disebutkan,
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ
وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ
لِلطَّيِّبَاتِ
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk
laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang
keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan
laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)” (QS. An Nuur:
26).
Bagaimana pula ‘Aisyah itu murtad dan
berbuat zina, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu menaruh hati
pada ‘Aisyah. Lihatlah bagaimana ungkapan cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada istrinya tercinta.
قَالَتْ عَائِشَةُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صلى الله عليه وسلم كُنْتُ لَكِ كَأِبي زَرْعٍ لِأُمِّ زَرْعٍ
‘Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku bagimu seperti sayangnya Abu Zar’ pada Ummu
Zar’. (HR. Bukhari no. 5189 dan Muslim no. 2448).
Dalam riwayat lain, A’isyah berkata,
يَا رَسُوْلَ اللهِ بَلْ أَنْتَ خَيْرٌ
إِلَيَّ مِنْ أَبِي زَرْعٍ
“Wahai Rasulullah, bahkan engkau lebih
baik kepadaku daripada Abu Zar’” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubro 5: 358,
no. 9139)
Pujian Tinggi pada Para Sahabat
Di akhir ayat, Allah menyebutkan pujian
tinggi pada para sahabat,
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Allah menjanjikan kepada orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan
pahala yang besar”.
Siapa saja yang mengikuti para sahabat
dalam sifat mulia mereka, ia akan mendapatkan keutamaan demikian.
Ya Allah, berilah kami petunjuk untuk
mengikuti jejak mulia para sahabat dan moga kami menjadi orang-orang yang
mencintai mereka.
Kami tutup tulisan ini dengan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِى ، فَلَوْ أَنَّ
أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ
نَصِيفَهُ
“Janganlah kalian mencela sahabatku.
Seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas semisal gunung
Uhud, maka itu tidak bisa menandingi satu mud infak sahabat, bahkan tidak pula
separuhnya” (HR. Bukhari no. 3673 dan Muslim no. 2540).
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Referensi:
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir,
terbitan Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, tahun 1421 H, 13: 132-135.
Man Hum Asy Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah,
‘Abdullah bin Muhammad As Salafi, dd-sunnah.net, cetakan pertama, 1428 H.
Min ‘Aqoidi Asy Syi’ah, ‘Abdullah bin
Muhammad As Salafi (dengan muqoddimah: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin
Baz), dd-sunnah.net, cetakan ketiga, 1428 H.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 27 Rabi’uts
Tsani 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
(
Penanda tangan Risalah Aman )
Berikut
ini adalah cuplikan dari tayangan video kajian Syeikh Yusuf Al-Qardhawi dalam
salah satu stasiun TV di negeri timur tengah,
Syeikh
Yusuf Al-Qardhawi: …. Sampai pada tahapan orang-orang yang mengikuti mereka.
Maka apatah lagi dengan orang-orang yang mencela mereka. Oleh karena itu
mencela sahabat adalah hal yang paling berbahaya!
Pembawa
acara: Mencela sahabat –wahai Syekh- apakah itu menyebabkannya menjadi kafir
atau fasik atau bagaimana pendapat Anda?
Syeikh
Yusuf Al-Qardhawi: Jika dia tidak memiliki syubhat (ta'wil), maka dia Kafir!
Namun
jika ia memiliki syubhat (ta'wil), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan banyak
ulama tidak mengkafirkannya, dan jika tidak niscaya ia telah kafir.
Seperti
jika ia mengatakan bahwa semua sahabat itu murtad sepeninggal Nabi, atau
mencela Aisyah setelah Allah bebaskan ia dari tuduhan zina (peristiwa ifk -penerj)
yang mana Allah turunkan ayat-ayat yang jelas dalam surat An-Nur.
Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (ayat 4)
Mengapa
waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak
berperasangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa) tidak berkata:
“Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.”
Mengapa
mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita
bohong itu? oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka
itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta.
Sekiranya
tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di
akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang
berita bohong itu. (ayat 12-14)
Maka
siapa yang tetap mencela Aisyah, tidak diragukan lagi kekafirannya!
Baca juga tiga fatwa
beliau tentang Syiah;
a) Perbedaan Antara
Mazhab Sunni dan Syiah (http://www.lppimakassar.com/2012/08/fatwa-terbaru-syaikh-yusuf-al-qaradhawi.html),
b) Sikap Syeikh Yusuf
Al-Qardhawi di Muktamar Taqrib di Doha, (http://www.lppimakassar.com/2012/09/fatwa-terbaru-syaikh-yusuf-al-qaradhawi.html)
dan
c) Mencaci Para Sahabat (http://www.lppimakassar.com/2012/09/fatwa-terbaru-syekh-yusuf-qaradhawi.html)
(lppimakassar.com)
Ayyub
bin Hasan Al-Faqih berkata: Mazdak seorang yang terpercaya menceritakan
kepadaku, ia seorang penjual kayu jati, ia berkata: Saya menjual kayu jati di
ahwaz kepada seseorang, dia memiliki wibawa dan kekuasaan, saya menemuinya
untuk meminta harganya, ketika itu nama Abu Bakar dan Umar disebut-sebut
didekatnya radhiyallahu ‘anhuma, lantas ia mencelanya, saya agak takut
melarangnya lantaran wibawanya dan kekuasaannya, setelah itu saya pulang ke rumah,
malam itu saya lalui malam dengan rasa sedih dan sesak, hanya Allah yang
mengetahuinya, akhirnya saya bermimpi melihat Nabi dalam mimpi, saya
memanggilnya: wahai Rasulullah, orang ini mencela Abu Bakar dan Umar,
Rasulullah berkata: ini?, saya jawab: ini!, ia bertanya lagi, ini? Saya jawab:
ini!, Rasulullah berkata padaku: berdirilah dan sandarkanlah ia, saya berdiri
dan saya menyandarkannya, kemudian Rasulullah berkata memerintahkanku:
Berdirilah kemudian sembelihlah!, namun penyembelihan itu terasa berat di
mataku, Rasulullah pun mengulanginya sampai tiga kali: Berdirilah dan
sembelihlah, kemudian saya berdiri, lalu saya gorok dengan pisau pada urat
lehernya, lalu saya pun menyembelihnya, ketika pagi menyeruak, saya bergumam
dalam diri: Demi Allah, saya akan pergi kepadanya dan mengabarkannya mimpi ini,
ketika saya sampai pada pintu rumahnya, saya mendengar teriakan dari dalam
rumah, saya bertanya: teriakan apa ini? Mereka menjawab: fulan yang dipotong
oleh seorang penyembelih pada tengah malam. Saya katakan: Saya yang
menyembelihnya atas dasar perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
kemudian putranya (anak pencela Abu Abu Bakar dan Umar) keluar menemuiku, dan
berkata: Saya sangat berharap anda menyembunyikannya untuk kami.
(Sumber:
An-Nahyu ‘An Sabb Al-Ash-haab wa maa fiihi min al-istmi wa al-‘iqab, Dhiyauddin
Muhammad bin Abdul Wahid Al-Maqdisi, Darul Faruq, Kairo, Mesir, Cet I, 2009,
hal 44)
(lppimakassar.com)
Buka :