Oleh: Moh.
Isom Mudin, M. Ud
Penulis Bina Qalam
Indonesia
JIKA diamati, konsep ‘taqiyyah’ dalam syi`ah bersifat tetap, namun
mengalami metamorfosis dalam aplikasinya. Taqiyyah adalah Menampakkan sesuatu
yang tidak sesuai dengan hati. Menyimpan, menyembunyikan, dan merahasiakan
kebenaran pada orang yang berbeda aqidah. Hukumnya wajib, setara dengan shalat.
Dalam tataran praktiknya, taqiyyah mengalami lika-liku yang
cukup panjang. Pada masa Daulah Abbasiyyah dan Utsmaniyyah, walaupun menjadi
kelompok sempalan dan minoritas, mereka memiliki kebebasan untuk beraktifitas
normal sebagaimana orang-orang Sunny. Mereka juga merekrut anggota, mencetak
buku-buku syi`ah. Namun, pandangan umum mereka sulit diterima masyarakat. Maka jalan
terbaik adalah taqiyyah. Dengan metode ini lambat laun mereka berhasil
mendirikan dinasti Fathimiyyah di mesir dan menjadikan Syi`ah sebagai madzhab
resmi.
Periode selanjutnya, Syi`ah juga pernah mengalami masa sulit.
Tepat Jumadil Akhir 574 H, Sulthan Shalhuddin al-Ayyuby meresmikan madzhab Ahl
Sunnah sebagai madzhab resmi. Madzhab Syafi`i dan Maliki mendapat tempat. Pada
masa Sulthan Malik ad-Dzahir menambahkan Madzhab hanafi dan hambali. Sedangkan
dalam beraqidah mengikuti metode kalam Imam Asy`ari. Para hakim syi`ah
diungsikan, sehingga sekte ini dan berbagai varianya pengikutnya seperti hilang
ditelan bumi. (al-Maqrizi, al-Mawâi`dz
Wa al-I`tibâr, 161). Syi`ah menjadi gerakan bawah tanah dan
taqiyyah mamainkan peranannya.
Namun, beberapa dekade ini, terutama pasca revolusi Syi`ah di
Iran. Taqiyyah menjadi sebuah dakwah metodologis modern yang cukup sistematis.
Disebut dakwah, terkadang mereka memakai baju Ahli Sunnah namun pendapatnya
seperti orang syiah, atau mereka tidak lagi segan-segan menampakkan
kesyi`ahannya, mengajak setiap orang untuk memaklumi dan menerimanya sebagai
salah satu bagian madzhab dalam Islam, bukan lagi sekadar sekte tersendiri.
Dikatakan metodologis, mereka menggunakan bumbu argumen yang sepertinya
rasional, memakai rujukan-rujukan yang sekilas tampak ilmiah, menganalisa dalil
untuk mendukung pendapatnya. Semuanya dibungkus rapi atas nama persatuan,
kerukunan, perdamaian.
Dalam taqiyyah metodis
ini, syi`ah ditampilkan lebih ramah lingkungan dan seolah-olah tidak jauh
berbeda dengan Ahli sunnah. Di sini akan disebutkan sebagian yang pokok saja;
misalnya syi`ah juga menghormati para sahabat, istri-istri Nabi, tidak ada
perubahan dalam al-Qur`an, tidak mengkafirkan kelompok selain mereka,
menghormati Imam Madzhab empat dalam Ahl Sunnah. Jikalau ada, pendapat yang
bertentangan itu menurut mereka hanya dari sayap pinggiran saja. Hal ini bisa
dilihat dalam buku-buku syi`ah kontemprer seperti dalam dialog fiktif ‘Dialog
Sunnah-Syi`ah’, ‘Buku Putih Madzhab Syi`ah’,
‘Mengenal
Syi`ah’, ‘Ashl
as-Syî`ah wa Ushulihâ’.
Apabila dianalisa lebih lanjut, ini hanya sekedar metode
pengelabuhan dakwah saja. Fakta justru sebaliknya, bukan keramahan yang didapat
tetapi cacian, kebrutalan dan kefanatikan, walaupun dalam stadium yang berbeda.
Bahkan mungkin, orang yang hatinya lembutpun akan mengelus dada dengan
tulisan-tulisan tokoh panutan mereka. Penulis menekankan ini bukanlah tuduhan,
tetapi fakta dan kenyataan pada rujukan primer di kalangan mereka yang sangat
mudah diakses. Bisa juga diperoleh dalam buku-buku tokoh-tokoh kontemporer.
Di sini akan disebutkan sebagian kecil saja. Sudah jamak
diketahui bahwa menurut mereka semua sahabat telah murtad. “Pasca
wafatnya Nabi, semua orang telah murtad kecuali tiga orang. Aku bertanya, siapa
yang tiga itu? Beliau menjawab:‘Miqdad bin al-Aswad’, Abu Dzar al-Ghifari dan
Salman al-Farisi”, tulis al-Kulayni dalam al-Kafi. Siti Aisyah dan
para Istri dituduh “pelacur” dengan sangat keji. Menurut at-Thusi dalamIkhtiyar
Ma`rifat ar-Rijal dengan
mengutip Ibn Abbas “kamu tak lain hanyalah seorang pelacur dari Sembilan
palacur yang ditinggalkan Rasullah”.
Metode ini semakin jelas diketahui karena adanya kontradiksi di
sana-sini. Misalnya, Ali Kasyf al-Ghita` dalam bukunya Ashl as-Syî`ah wa Ushulihâ menyebutkan bahwa syi`ah meyakini
keaslian al-Qur`an. Tetapi dalam pendahuluan Kasyf
al-Astardia memuji setinggi langit pendahulunya seperti at-Thabarsi
yang mencetuskan ketidak otentikan al-Qur`an dalam buku fenomenalnya Fashl al-Khitab `an Itsbat Tahrif
Kitab Rabb al-Arbab. Al-Musawi
pun demikian, dalam Murâja`ât ia menolak segala tudingan adanya
kepercayaan syi`ah yang menyimpang. Namun, ia sendiri mempersilahkan peneliti
untuk membaca kitab empat buku Induk Syi`ah yang membuktikan tudingan itu
sendiri.