Tuesday, June 30, 2015

Metamorfosis Taqiyyah Syiah

Oleh: Moh. Isom Mudin, M. Ud
Penulis Bina Qalam Indonesia
JIKA diamati, konsep ‘taqiyyah’ dalam syi`ah bersifat tetap, namun mengalami metamorfosis dalam aplikasinya. Taqiyyah adalah Menampakkan sesuatu yang tidak sesuai dengan hati. Menyimpan, menyembunyikan, dan merahasiakan kebenaran pada orang yang berbeda aqidah. Hukumnya wajib, setara dengan shalat.
Dalam tataran aqidah, termasuk bagian dari rukun agama. ‘Tidak beragama orang yang tidak bertaqiyyah’, tulis Kulayni. Konsekwensinya, yang tidak bertaqiyyah adalah pendosa besar bahkan yang tidak diampuni. Konsep ini mendominasi, Sembilan dari sepersepuluh agama. Jadi, taqiyyah bukan karena keadaan terjepit yang menyebabkan nyawa melayang, melainkan menjadi ajaran pokok keseharian.
Dalam tataran praktiknya, taqiyyah mengalami lika-liku yang cukup panjang. Pada masa Daulah Abbasiyyah dan Utsmaniyyah, walaupun menjadi kelompok sempalan dan minoritas, mereka memiliki kebebasan untuk beraktifitas normal sebagaimana orang-orang Sunny. Mereka juga merekrut anggota, mencetak buku-buku syi`ah. Namun, pandangan umum mereka sulit diterima masyarakat. Maka jalan terbaik adalah taqiyyah. Dengan metode ini lambat laun mereka berhasil mendirikan dinasti Fathimiyyah di mesir dan menjadikan Syi`ah sebagai madzhab resmi.
Periode selanjutnya, Syi`ah juga pernah mengalami masa sulit. Tepat Jumadil Akhir 574 H, Sulthan Shalhuddin al-Ayyuby meresmikan madzhab Ahl Sunnah sebagai madzhab resmi. Madzhab Syafi`i dan Maliki mendapat tempat. Pada masa Sulthan Malik ad-Dzahir menambahkan Madzhab hanafi dan hambali. Sedangkan dalam beraqidah mengikuti metode kalam Imam Asy`ari. Para hakim syi`ah diungsikan, sehingga sekte ini dan berbagai varianya pengikutnya seperti hilang ditelan bumi. (al-Maqrizi, al-Mawâi`dz Wa al-I`tibâr, 161). Syi`ah menjadi gerakan bawah tanah dan taqiyyah mamainkan peranannya.
Namun, beberapa dekade ini, terutama pasca revolusi Syi`ah di Iran. Taqiyyah menjadi sebuah dakwah metodologis modern yang cukup sistematis. Disebut dakwah, terkadang mereka memakai baju Ahli Sunnah namun pendapatnya seperti orang syiah, atau mereka tidak lagi segan-segan menampakkan kesyi`ahannya, mengajak setiap orang untuk memaklumi dan menerimanya sebagai salah satu bagian madzhab dalam Islam, bukan lagi sekadar sekte tersendiri. Dikatakan metodologis, mereka menggunakan bumbu argumen yang sepertinya rasional, memakai rujukan-rujukan yang sekilas tampak ilmiah, menganalisa dalil untuk mendukung pendapatnya. Semuanya dibungkus rapi atas nama persatuan, kerukunan, perdamaian.
Dalam taqiyyah metodis ini, syi`ah ditampilkan lebih ramah lingkungan dan seolah-olah tidak jauh berbeda dengan Ahli sunnah. Di sini akan disebutkan sebagian yang pokok saja; misalnya syi`ah juga menghormati para sahabat, istri-istri Nabi, tidak ada perubahan dalam al-Qur`an, tidak mengkafirkan kelompok selain mereka, menghormati Imam Madzhab empat dalam Ahl Sunnah. Jikalau ada, pendapat yang bertentangan itu menurut mereka hanya dari sayap pinggiran saja. Hal ini bisa dilihat dalam buku-buku syi`ah kontemprer seperti dalam dialog fiktif ‘Dialog Sunnah-Syi`ah’, ‘Buku Putih Madzhab Syi`ah’, ‘Mengenal Syi`ah’, ‘Ashl as-Syî`ah wa Ushulihâ’.
Apabila dianalisa lebih lanjut, ini hanya sekedar metode pengelabuhan dakwah saja. Fakta justru sebaliknya, bukan keramahan yang didapat tetapi cacian, kebrutalan dan kefanatikan, walaupun dalam stadium yang berbeda. Bahkan mungkin, orang yang hatinya lembutpun akan mengelus dada dengan tulisan-tulisan tokoh panutan mereka. Penulis menekankan ini bukanlah tuduhan, tetapi fakta dan kenyataan pada rujukan primer di kalangan mereka yang sangat mudah diakses. Bisa juga diperoleh dalam buku-buku tokoh-tokoh kontemporer.
Di sini akan disebutkan sebagian kecil saja. Sudah jamak diketahui bahwa menurut mereka semua sahabat telah murtad. “Pasca wafatnya Nabi, semua orang telah murtad kecuali tiga orang. Aku bertanya, siapa yang tiga itu? Beliau menjawab:‘Miqdad bin al-Aswad’, Abu Dzar al-Ghifari dan Salman al-Farisi”, tulis al-Kulayni dalam al-Kafi. Siti Aisyah dan para Istri dituduh “pelacur” dengan sangat keji. Menurut at-Thusi dalamIkhtiyar Ma`rifat ar-Rijal dengan mengutip Ibn Abbas “kamu tak lain hanyalah seorang pelacur dari Sembilan palacur yang ditinggalkan Rasullah”.
Metode ini semakin jelas diketahui karena adanya kontradiksi di sana-sini. Misalnya, Ali Kasyf al-Ghita` dalam bukunya Ashl as-Syî`ah wa Ushulihâ menyebutkan bahwa syi`ah meyakini keaslian al-Qur`an. Tetapi dalam pendahuluan Kasyf al-Astardia memuji setinggi langit pendahulunya seperti at-Thabarsi yang mencetuskan ketidak otentikan al-Qur`an dalam buku fenomenalnya Fashl al-Khitab `an Itsbat Tahrif Kitab Rabb al-Arbab. Al-Musawi pun demikian, dalam Murâja`ât ia menolak segala tudingan adanya kepercayaan syi`ah yang menyimpang. Namun, ia sendiri mempersilahkan peneliti untuk membaca kitab empat buku Induk Syi`ah yang membuktikan tudingan itu sendiri.