Monday, July 27, 2015

Hasan As-Saqqaf, Sunniy atau Rafidhiy? Siapa Yang Suka Menggelari Ahlus Sunnah Dengan Nawashib Kalau Bukan Rafidhah?

Banyak bukti yang menunjukkan betapa kental ‘aqidah rafidhah pada Hasan As-Saqqaf. Diantara bukti tersebut adalah sebagaimana pemaparan berikut. Namun sebelumnya, simak bagaimana sikap Ahlus Sunnah dalam menyikapi apa yang pernah terjadi antara ‘Ali dan Mu’awiyyah radhiyallaahu ‘anhumaa disini.
[ Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Mu'awiyah Dan Pertikaiannya Dengan Ali
Quote : 
Abul Fida' Ibnu Katsir dalam al Bidayah wan Nihayah [1] (X/563) berkata: "Hadits ini termasuk mu'jizat kenabian, sebab benar-benar telah terjadi seperti yang dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di dalamnya juga disebutkan, kedua kelompok yang bertikai itu, yakni penduduk Syam dan penduduk Iraq, masih tergolong muslim. Tidak seperti anggapan kelompok Rafidhah, orang-orang jahil lagi zhalim, yang mengkafirkan penduduk Syam. Dalam hadits itu juga disebutkan, kelompok Ali paling mendekati kebenaran; itulah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Yakni Ali berada di pihak yang benar, dan Mu'awiyah memeranginya karena ijtihad yang keliru, dan ia berhak mendapat satu pahala atas kesalahan ijtihad itu, insya Allah. Sedangkan Ali Radhiyallahu 'anhu adalah imam yang sah, berada di pihak yang benar insya Allah, dan berhak mendapat dua pahala".
Namun bagaimana dengan Hasan As-Saqqaf ? Apakah sikapnya demikian juga layaknya seorang Ahlus Sunnah sebagaimana yang diterangkan oleh Al-Imam Ibnu Katsir? Mari kita lihat, dia berkata dalam tahqiqnya pada kitab Daf’u Syubhah At-Tasybih karya Ibnu Al-Jauziy hal. 240 sbb :
 
“Aku (As-Saqqaf) berkata : maka bagimana bisa beberapa nawashib mengatakan bagi ‘Ali dua pahala, dan bagi Mu’awiyyah satu pahala karena dia mujtahid??"
Bukankah yang berpandangan seperti itu adalah Ahlus Sunnah? Dan siapa yang suka menggelari Ahlus Sunnah dengan Nawashib kalau bukan rafidhah?
- Jaser Leonheart -

comments:

Terima kasih atas pemberitahuannya. Saya kira sebelumnya bahwa bantahan anak mut’ah tersebut akan berbobot, namun ternyata hanyalah tulisan dari tong kosong yang menggelikan bunyinya. Pada intinya dia menyatakan bahwa bisa saja nawashib yang dimaksud oleh Hasan As-Saqqaf bukanlah Ahlus Sunnah meski Ahlus Sunnah juga berpendapat demikian –sebagaimana dinukil Ibnu Katsir– sehingga nawashib yang dimaksud Hasan As-Saqqaf tidak tertuju kepada Ibnu Katsir dan Ahlus Sunnah secara umum.

Sekali lagi, pernyataannya tersebut amat menggelikan. Bagaimana bisa nawashib dan Ahlus Sunnah beraqidah sama dalam hal tersebut (bagi ‘Ali 2 pahala dan Mu’awiyyah 1 pahala) sedangkan sudah jelas-jelas bahwa nawashib adalah mereka yang memusuhi Ahlul Bait?!! Masihkah bagi nawashib yang membenci Ahlul Bait menyempatkan hati mereka untuk mengatakan bagi ‘Ali dua pahala karena ‘Ali benar? Silahkan saja dia membuktikannya siapa dari nawashib yang berkeyakinan demikian. Karena antara yang mengatakan “ada” dan “tiada” maka pihak yang mengatakan “ada” lah yang harus membuktikan.

Ibnu Hajar sendiri telah berkata dalam syarhnya terhadap suatu hadits :
وفي هذا الحديث علم من أعلام النبوة وفضيلة ظاهرة لعلي ولعمار ورد على النواصب الزاعمين أن عليا لم يكن مصيبا في حروبه
“Dalam hadits ini terdapat salah satu mukjizat Nubuwwah, fadhilah (keutamaan) yang jelas bagi ‘Ali dan ‘Ammar, dan bantahan kepada golongan nawashib yang mengklaim bahwa ‘Ali bukanlah pihak yang benar dalam semua peperangannya.” [Fathul-Bariy, 1/646]

Perhatikan perkataan Ibnu Hajar; “bantahan terhadap nawashib” dan “Ali bukanlah pihak yang benar dalam setiap peperangannya” lantas bagaimana bisa nawashib mengatakan bagi ‘Ali 2 pahala karena ‘Ali benar? Maka hendaknya si anak mut’ah tidak tahu diri itu memeriksa kembali logika rendahannya tersebut. Dengan begitu “pede”-nya ia menyatakan bahwa orang lain tidak faham logika, justru dirinya lah yang mengalami kekacauan logika karena meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya sehingga ludahnya sendiri yang menelanjangi kejahilannya.
Sungguh menyedihkan.

Jika pun mengikuti pola fikir anak mut’ah tersebut, maka terlebih dulu kita harus melihat siapakah nawashib di sisi Hasan As-Saqqaf? Apakah Ahlus Sunnah termasuk di dalamnya? Sebenarnya apabila dia memang sudah membaca kitab-kitab Hasan As-Saqqaf, tentu tidak asing lagi bagaimana pandangan Hasan As-Saqqaf terhadap para ulama Ahlus Sunnah. Oleh karena itu sengaja tidak saya paparkan pada tulisan di atas agar tidak berkepanjangan.

Dalam kitab Hasan-Saqqaf yang berjudul زهر الريحان في الرد على تحقيق البيان pada hal. 136-137, ia menyatakan bahwa Ahlus Sunnah terbagi menjadi 3 bagian dimana pada bagian ke-3 nya adalah nawashib. Kemudian Hasan As-Saqqaf membagi lagi bagian ketiga ini (nawashib) menjadi dua. Untuk yang pertama, An-Nawawiy termasuk di dalamnya. Dan yang kedua, adalah semisal Al-Jauzjaniy dan Ibnul-‘Arabiy Al-Malikiy.

Kita memang berlepas diri dari pembagian versi Hasan As-Saqqaf tersebut, namun dari pola pemahamannya mengenai Ahlus Sunnah dapat difahami bahwa nawashib mencakup Ahlus Sunnah Wa Al-Jama’ah di sisi Hasan As-Saqqaf. Dengan ini jelas bahwa perkataan Hasan As-Saqqaf dengan “nawashib” pada artikel di atas dapat tertuju kepada Ahlus Sunnah.

Bisa dilihat juga bagaimana ia mencap para ‘ulama Ahlus Sunnah yang disebut dalam dua video berikut sebagai nawashib :

Lebih lanjut lagi, pada hal. 139, Hasan As-Saqqaf dengan jelas dan tegas pula menyatakan bahwa Ibnu Katsir adalah nashibiy. Screenshot : 

Telah jelas sebelumnya dimana Ibnu Katsir menyatakan bahwa aqidah Ahlus Sunnah adalah bagi ‘Ali 2 pahala dan bagi Mu’awiyyah 1 pahala, lalu diketahui pula pernyataan Hasan As-Saqqaf bahwa Ibnu Katsir adalah nashibiy, maka bagaimana bisa anak mut’ah tersebut mengatakan bahwa pernyataan Hasan As-Saqqaf; “bagaimana bisa sebagian nawashib menyatakan bagi ‘Ali 2 pahala dan bagi Mu’awiyyah 1 pahala” tidak tertuju kepada Ahlus Sunnah?

Maka banyak-banyaklah membaca wahai anak mut’ah, kumpulkan refrensi sebelum berkoar-koar. Ataukah karena kedengkian para hamba mut’ah terhadap Mu’awiyyah radhiyallaahu ‘anhu lah yang menyebabkan otak mereka menjadi lemah?
موتوا بغيظكم
“Matilah kalian karena kemarahan kalian itu.”
Wallaahu A’lam.