Saturday, August 29, 2015

Jadikan Tahlilan ( Profesor Tasawuf ) Sebagai Barometer Pancasilais adalah Pemikiran Sempit

Jadikan Tahlilan Sebagai Barometer Pancasilais adalah Pemikiran Sempit
Sebagaian anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) adalah tokoh Muhammadiyah
Sabtu, 29 Agustus 2015 - 12:41 WIB
Tahlilan adalah khilafiyah. Dan menjadikan masalah khilafiyah sebagai kriteria pancasilais adalah sikap yang justru tidak pancasilais
Menjadikan ukuran seseorang itu pancasilasis atau tidak pancasilais dengan hanya suka tahlil atau tidak tahlil dinilai sebagai sebuah pemikiran yang sempit.  Demikian disampaikan pemerhati pemikiran Islam, Adnin Armas, MA.
Ucapan Dr Aqil Siraj yang menyatakan jika antitahlilan berarti pancasilanya diragukan menunjukkan pikirannya yang sempit,” tegas Adnin dalam rilisnya yang diterimahidayatullah.com, Sabtu (29/08/2015) pagi.
Pernyataan Adnin ini disampaikan guna menanggapi pemberitaan sebelulumnya,  dalam acara halaqah kebangsaan bertema “Pancasila Rumah Kita: Perbedaan adalah Rahmat” di Aula Gedung PBNU Lantai 8, Jakarta, Rabu (26/8/2015).
Dalam halaqah itu, Saiq Aqil sempat mengatakan bahwa orang yang tahlilan pancasilanyamantap, sedang yang anti tahlilan diragukan. [baca: Said Aqil: Kalau Anti Tahlilah Kita Ragukan Pncasilanya].
Menurut Adnin, pernyataan seperti itu hanya akan melukai hati bangsa Indonesia yang tidak mengamalkan tahlilan. Sebab, lanjutnya, banyak warga negara Indonesia yang tergabung dalam berbagai ormas seperti Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad, Dewan Da’wah dan sebagainya yang tidak mengamalkan tahlilan.
Adnin menyebutkan bahwa banyak tokoh umat Islam baik itu yang dahulu maupun sekarang, yang tidak diragukan perjuangannya pada Indonesiaan tetapi mereka sekaligus tidak mengamalkan tahlilan.
“Misalnya, tokoh-tokoh bangsa dari Muhammadiyah termasuk yang merumuskan Pancasila adalah tokoh tokoh yang tidak mengamalkantahlilan,” kata Adnin.
Ia menyebut beberapa nama pejuang kemerdekaan yang mayoritas adalah ulama dari Muhammadiyah.  Ia mencontohkan, Prof Dr Mr Raden Kasman Singodimejo, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir yang terlibat langsung dalam Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Junby Cosakai/BPUPKI).
Menurutnya, siapa yang berani meragukan nama-nama ini dalam pembelaan pada Negara dan Bangsa?
Lebih lanjut, menurut Adnin,  masalah tahlilan adalah khilafiyah. Dan menjadikan masalah khilafiyah sebagai kriteria pancasilais adalah sikap yang justru tidak pancasilais.
“Aqil tidak bijak menjadikan tahlilan sebagai barometer pancasilais,” pungkas Adnin.*

Ulama Su` (jahat)

Ditulis oleh Al Ustadz Abu Hamzah Al Atsari
“Aku Heran Dari Orang Yang Menjual Kesesatan Dengan Petunjuk!
Dan Aku Lebih Heran Dari Orang Yang Membeli Dunia Dengan Agama”
Itulah kurang lebih ungkapan dua bait syair yang menggambarkan tentang keberadaan dua golongan pengacau da’wah dan perusuh di kalangan umat.
Mereka tiada lain adalah para bandit-bandit da’wah, yang dzahirnya berbicara tentang agama tetapi kenyataannya justru jauh memalingkan umat dari agama, mereka tiada lain adalah para calo-calo da’wah yang senantiasa mengabaikan dan menjual prinsip-prinsip agama demi untuk menggapai kelezatan dunia.
Sungguh mereka adalah orang-orang yang telah dinyatakan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Di malam hari saat aku isro’, aku melihat suatu kaum di mana lidah-lidah mereka dipotong dengan guntingan dari api” – atau ia (Rasulullah) berkata, “dari besi. Aku bertanya siapa mereka wahai Jibril? Mereka adalah para khatib-khatib dari umatmu!” (H.R. Abu Ya’la dari sahabat Anas bin Malik radliyallahu ‘anhuma).
Para pembaca -hadanallahu wa iyyakum- mereka adalah para da’i dan ulama-ulama su’ yang telah Allah beberkan keberadaannya. Allah berfirman, “Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab. Dan mereka mengatakan ia (yang dibacanya itu datang) dari sisi Allah, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.” (Q.S. Ali Imron: 78).
Dan Allah juga berfirman, “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami, kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh syaithon (sampai dia tergoda) maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.”
“Dan kalau kami menghendaki, sesungguhnya kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami, maka ceritakanlah kepada mereka kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (Q.S. Al A’raf: 175-176).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengistilahkan mereka ulama su’ dengan sebutan “para dai yang berada di tepi pintu-pintu neraka”. Beliau peringatkan kita dari keberadaan mereka sebagaimana dalam sabdanya, “… Dan sesungguhnya yang aku takutkan atas umatku ialah para ulama-ulama yang menyesatkan.” (H.R. Abu Daud dari sahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhu).
Adapun sahabat Umar ibnul Khaththab beliau mengistilahkan mereka dengan sebutan “al munafiq al alim”, ketika ditanya maksudnya, beliau menjawab “aliimul lisaan jaahilul qolbi!” (pandai berbicara tetapi bodoh hatinya -tidak memiliki ilmu-).
Para pembaca hadanallahu wa iyyakum, Allah subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya tetap akan menjaga agama ini dari upaya penyesatan yang dilakukan oleh para ulama dan dai-dai sesat, sehingga kita dibimbing oleh Allah untuk senantiasa bersikap antipati dari seruan dan fatwa-fatwa mereka. Perhatikanlah peringatan-peringatan Allah berikut ini agar menjauh dan tidak mengikuti fatwa-fatwa mereka:
Pertama: “Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim yahudi dan rahib-rahib nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang bathil dan mereka menghalang-halangi manusia dari jalan Allah.” (Q.S. At Taubah: 34).
Kedua: “Hai orang-orang yang beriman jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang-orang kafir setelah kamu beriman.” (Q.S. Ali Imron: 100).
Ketiga: “… Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (Q.S. Al Maidah: 49).
Keempat: “Dan demikianlah kami telah menurunkan Al Qur’an itu sebagai peraturan yang benar dalam bahasa Arab dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap siksa Allah.” (Q.S. Ar Ra’d: 37).
Kelima: “Kemudian kami jadikanlah kamu berada suatu syari’at dan urusan agama, maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Q.S. Al Jaatsiyah: 18).
Keenam: “Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zhalim.” (Q.S. Al Baqoroh: 145).
Demikianlah dan semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjaga dan membimbing kita ke jalan yang diridhoinya. Wallahul Muwaffaq.
Maraji:
– Al Quranul Karim
– Al Musnad Abu Ya’la 1/118 no. 1314
– Sunan Abi Daud 4/450
– Ishlahul Mujtama’ Al Imam Al Baihani
Sumber : Bulletin Al Wala’ Wal Bara’


TAM: Munas MUI Ke-IX, Titik TolakPelemahan Pemikiran dan Aliran Sesat

Munas MUI ke-9 di Surabaya telah menghasilkan kepemimpinan baru, yakni K.H. DR (HC) Ma’ruf Amin sebagai Ketua Umum MUI Pusat periode 2015-2020. Sebuah perubahan penting dalam rangka merevitalisasi kelembagaan MUI agar lebih optimal dalam menyikapi persoalan umat dan negara.
Di tengah maraknya persoalan keumatan, MUI Pusat dihadapkan pada permasalahan internal yang selama ini cenderung bersikap tidak tegas terhadap pemikiran dan keyakinan sesat atau menyimpang. Semakin tidak tegasnya MUI Pusat, maka semakin marak pula pemikiran dan aliran sesat di Indonesia. MUI sebagai wadah ulama, zu’ama, dan cendekiawan Islam di Indonesia, harus tampil di garga terdepan dalam upaya menangkal ekspansi pemikiran dan aliran sesat yang sedang tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Kepemimpinan MUI sebelumnya, tidak jelas dalam menyikapi tuntutan umat terhadap pemikiran dan aliran sesat. Terlihat cenderung berada di dua posisi antara pembiaran dan pelarangan.
MUI harus lebih berperan konstruktif, strategis dan sinergis dalam upaya menjaga kemurnian ajaran agama. Ketegasan sikap atas persoalan umat harus diwujudkan demi terjaganya kemurnian ajaran agama. Jelasnya, pilihan tegas “pelarangan” dalam bentuk fatwa harus segera direalisasikan.
Langkah awal – sebagai bagian dari Fatwa MUI Pusat – adalah diperlukan adanya registrasi terhadap Ormas-Ormas Islam yang ada selama ini, diperkuat dengan keputusan MUI Pusat. Registrasi ini dimaksudkan sebagai deklarasi keberpihakan MUI Pusat terhadap Ormas-Ormas Islam, dan sekaligus isyarat kepada pemerintah bahwa Ormas-Ormas Islam adalah bagian integral dari MUI.
Dengan demikian, segala kegiatan Ormas Islam tidak lagi dapat dibatasi oleh pemerintah. Penutupan media Islam milik Ormas Islam, contoh pembatasan pemerintah yang bersifat “abuse of power”. Khusus terhadap ormas aliran sesat tidak diberikan registrasi dan digolongkan sebagai ormas yang patut diwaspadai dan kemudian direkomendasikan kepada pemerintah.
Selanjutnya, diperlukan pula adanya Pusat Informasi dan Komunikasi (PIK-MUI) dalam kelembagaan MUI, baik di tingkat Pusat maupun di Daerah. Sesuai dengan namanya, lembaga ini menampung semua aduan umat atas adanya penodaan/penistaan maupun penyimpangan ajaran pokok agama.
Kita ketahui, saat ini sangat banyak beredar penodaan/penistaan maupun penyimpangan ajaran pokok agama. Salah satu dari sekian banyak aliran sesat, adalah agama Syiah yang dikembangkan dan di-remote dari Iran. PIK-MUI tentu tidaklah bersifat pasif, hanya menampung semua informasi yang datang dari umat. Akan tetapi, PIK–MUI bersinergi dengan Komisi Pengkajian dan Fatwa untuk menetukan aspek hukum terkait dengan adanya laporan dimaksud.
Untuk selanjutnya, pihak MUI memperkarakan kasus penodaan/penistaan maupun penyimpangan ajaran pokok agama kepada aparat penegak hukum yang berwenang. Dengan demikian, akan tercipta sinergitas antara MUI dengan aparat penegak hukum dalam rangka law enforcement.
Adapun dampak sosiologis yang “mungkin” timbul, harus pula diantisipasi dengan serangkaian koordinasi dengan aparat penegak hukum. Disinilah MUI dituntut untuk lebih berperan aktif dalam bentuk sosialisasi dan edukasi. Keputusan berupa fatwa harus diimbangi dengan sosialisasi dan edukasi. Mengingat keterbatasan yang ada, perlu disinergikan dengan berbagai Ormas Islam dalam kepentingan sosialisasi dan edukasi dimaksud.
Penulis sangat yakin, di bawah kepemimpinan K.H. DR (HC) Ma’ruf Amin, MUI Pusat akan melakukan serangkaian penguatan aqidah umat melalui keluarnya Fatwa Sesat terhadap Syiah maupun aliran dan pemikiran sesat lainnya. Harapan ini adalah harapan umat yang selama ini selalu dituduh sebagai kaum intoleran, takfiri, wahabi dan sebutan lainnya.
Mereka, tentu tidak merasa nyaman dengan tampilnya K.H. DR. Ma’ruf Amin sebagai Ketua Umum MUI Pusat. Sandaran mereka selama ini tidak lagi menjadi manfaat, sehingga mendorong mereka untuk mendukung Islam Nusantara. Dalam kasus ini, Syiah dan kaum Sepilis telah menjadi “penumpang gelap.” Biarlah mereka berjalan di tengah kegelapan, penuh dengan kesesatan yang pada akhirnya akan mengantarkan mereka kepada kerugian yang nyata.
Tim Advokasi Muslim-NKRI pada kesempatan yang berbahagia ini menyampaikan ucapan selamat kepada KH. DR (HC) Ma’ruf Amin, sebagai Ketua Umum terpilih MUI Pusat untuk periode 2015-2020, semoga Allah SWT selalu memberikan petunjuk dan pertolongan-Nya dalam menjalankan tugas keseharian.
Wassalamu’alaikum Wr Wb.
Jakarta, 27 Agustus 2015
Tim Advokasi Muslim-NKRI
Ketua Umum
DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM.