Friday, August 14, 2015

Syaikh Ali Hasan Al-Halabi, Antara Ust. Abu Yahya Badrusalam dan Dewan Fatwa Saudi

Nama Syaikh Ali Hasan Al-Halabi, ulama asal Yordan tidak begitu asing bagi sebagian aktivis Islam di Indonesia. Terutama mereka yang terlibat dalam diskursus masalah takfir. Atau bagi para aktivis jihad yang menjadi rival adu pemikiran dengan BNPT (Badan Negara Penanggulangan Terorisme). Maklum, tokoh yang diusung sebagian aktivis Salafi di Indonesia itu pernah menjadi tamu undangan BNPT dalam rangka kampanye deradikalisasi.
Kini Al-Halabi kembali datang ke Indonesia. Dalam undangan yang banyak disebar via media sosial, ia akan mengisi kajian tentang tauhid di masjid Istiqlal, Jakarta bertepatan agenda umat Islam yaitu Parade Tauhid Indonesia yang akan digelar 16 Agustus mendatang. Sebagian kalangan menganggap acara itu sebagai tandingan, karena banyaknya broadcast melalui media sosial yang bermaksud menggembosi parade tersebut.
Tak ayal, debat tentang siapa dan bagaimana kredibilitas Al-Halabi pun kembali mencuat. Terlebih ketika diketahui bahwa Lajnah Daimah lil BuhutsAl-Ilmiyah wal Ifta  (komisi fatwa kerajaan Saudi yang di isi oleh para ulama yang muktabar dan diakui keilmuannya oleh para ahlul ilmi dan tholabul ilm) mengeluarkan fatwa tentang pikiran Al-Halabi yang disebut terkontaminasi pemikiran Irja’. Fatwa ini berkaitan dengan buku Al-Halabi yang berjudul At-Tahdzir min Fitnati at-Takfir.
Namun, sorotan dari lembaga tinggi ulama Saudi itu seolah ditangkis oleh dai muda asal Indonesia, Ust. Abu Yahya Badrussalam, Lc. Beberapa waktu lalu beredar rekaman Ust. Abu Yahya yang membela Al-Halabi.  Inti pernyataan Abu Yahya dalam rekaman berdurasi kurang lebih 10 menit tersebut seputar:
1.Kritik Lajnah Daimah tersebut dinilai lemah. Karena menurut Abu Yahya berdasarkan penuturan Al-Halabi, Al-Halabi pernah menemui Syaikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan. Ketika Al-Halabi bertanya apakah Syaikh Al-Fauzan sudah membaca buku tersebut, Syaikh Al-Fauzan mengatakan, belum. Beliau, menurut cerita Al-Halabi hanya menyimpulkan isi buku tersebut dari cerita orang lain (qiila wa qoola).
2.Dalam buku yang dibahas oleh Lajnah Daimah, Abu Yahya tidak menemukan indikasi pemahaman Murjiah. Tulisan tersebut semuanya sesuai dengan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah.
3.Jarh (kritik) satu ulama kepada ulama lain adalah lumrah, karena manusia tidak ada yang sempurna. Terlebih, menurut Abu Yahya, jarh satu pihak belum tentu disepakati pihak lain.
Sungguh menarik untuk menelaah statemen Abu Yahya di atas. Pada poin pertama, sebagai dai yang mempunyai jam terbang tinggi, seharusnya Abu Yahya tetap obyektif dalam memandang sebuah permasalahan.
Cerita pertemuan Al-Halabi dengan Syaikh Sholeh Al-Fauzan berikut pembicaraan yang ada di dalamnya itu hanya “diriwayatkan” oleh Al-Halabi, sebagai pihak “tertuduh.” Isi “riwayat” tersebut membagus-baguskan Al-Halabi selaku pembawa riwayat. Apakah cerita kebaikan seorang tertuduh yang dibawakan oleh si tertuduh itu sendiri layak ditelan mentah-mentah tanpa ada sikap kritis dan skeptis?
Apalagi, salah satu poin yang dikritisi (tiga dari tujuh poin) dalam fatwa Lajnah Daimah adalah perbuatan Al-Halabi yang suka menukil sembarangan, tidak utuh dan berbelok dari kalimat asli yang dinukil.
Dahulu pernah beredar rumor bahwa Syaikh Al-Utsaiminrahimahullah pernah memuji-muji Al-Halabi. Namun,  Syaikh Ihsan Al-Utaibi menolaknya, sembari membawa saksi yang menyatakan Syaikh Al-Utsaimin tidak pernah mengeluarkan pernyataan seperti itu.
Syaikh Ihsan Al-Utaibi dalam tulisan beliau di saaid.net yg berjudul “At Ta’liq ala Kadzibah Jadidah lil Halabi” beliau berkata bahwa, ” Saya memiliki saksi yg cukup untuk menjelaskan kedustaannya (Ali Hasan Al-Halabi). Syaikh Utsaimin pernah ditanya terkait perkataan orang ini (Ali Al-Halabi). Beliau mendustakan perkataan Ali Al-Halabi sembari berkata, “Bahkan bila engkau melihat tulisan dan stempelku merekomendasikan hal seperti itu, janganlah kau percaya!” Kata-kata Syaikh Utsaimin di atas merupakan bentuk pengingkaran beliau terhadap perkataan Ali Al-Halabi.
Dalam keterangan fatwa di atas jelas-jelas Lajnah Daimah melakukan kajian dan telaah terhadap kedua kitab syaikh Ali Hasan Al-Halabi. Maka bagaimana mungkin Abu Yahya dengan mudahnya mengatakan bahwa Syaikh Shalih Fauzan hanya mendapat bisikan dari orang lain akan kesesatan buku tersebut?
Kedua, Abu Yahya tidak menemukan indikasi pemahaman Murjiah pada buku At-Tahdzir min Fitnati at-Takfir yang dikritik oleh Lajnah Daimah dalam fatwanya. Benar, Lajnah Daimah terdiri dari manusia yang kadang bisa salah dan keliru. Namun, bila benar buku tersebut bersih dari pemikiran Murjiah, kumpulan ulama terkemuka Saudi itu berani memvonis adanya indikasi irja’? Atau, jangan-jangan Abu Yahya sendiri belum membaca dengan teliti, baik buku tersebut maupun fatwa Lajnah Daimah.
Di bagian akhir tulisan ini dicantumkan teks asli fatwa tersebut dalam bahasa Arab, diikuti terjemahnya dalam bahasa Indonesia. Sangat jelas, di halaman berapa saja titik krusial pemikiran Al-Halabi yang dianggap neo-murjiah.
Penulis yang mencoba menelaah, masih menemukan keganjilan dalam cetakan ke-3 buku tersebut. Dalam pengantar yang dicetak dua tahun setelah fatwa Lajnah Daimah keluar, Al-Halabi menghapus konten yang menjadi titik kritik Lajnah Daimah. Dalammukadimah, ia menyebut penghapusan tersebut sebagai wujud penghormatan dirinya kepada kibarul ulama, “Walau sebenarnya poin-poin itu masih bisa didiskusikan lebih lanjut,” imbuhnya.
Tak ada permintaan maaf atau pengakuan bersalah atas cetakan sebelumnya. Ditambah lagi, dalam cetakan ke-3 tersebut masih menyisakan aroma irja’. Mari perhatikan nukilan berikut:
halabi03
Perkataan Ibnul Qoyim: “Wa ammal hukmu bighoiri ma anzalal-Lah wa tarkus sholah fahuwa minal kufri amali qoth’an. Fal haakim bighori ma anzalal-Lahu wa taarikus sholah kaafirun bi nashshi Rasulillah. Wa lakin huwa kufrul amal, la kufru i’tiqodin.
Pada penggalan kata kufrul amal, Al-Halabi memberikan catatan kaki, “bimakna kufru ashghor. Dia menyebut kufrul amal dengankufrul ashghor, padahal kufrul akbar itu bisa berupa amal, ucapan (qoul) atau keyakinan (I’tiqod). Di sinilah aromah irja’ masih terasa kental.
Sementara pada poin ketiga dalam pernyataan Abu Yahya, memang banyak kejadian di mana jarh oleh satu pihak ditolak oleh pihak lain. Tetapi dalam kasus kritik atas pemahaman irja’ Al-Halabi, yang mengkritik bukanlah perseorangan, melainkan lembaga. Alasan dalam fatwa tersebut juga dikemukakan secara rinci, sejelas matahari di siang hari.
Di dalam rekaman audio tersebut Abu Yahya Badrussalam juga berulang kali memberi tazkiah kepada buku Shoihatun Nadzir. Padahal jelas-jelas Lajnah Daimah memfatwakan bahwa buku itu mengandung pemahaman irja’. Apakah Ustadz Abu Yahya Badrussalam tidak tahu isi dari buku tersebut, atau beliau sepemahan dengan buku Shoihatun Nadzir yang menurut Lajnah Daimah mengandung pemahaman Murji’ah?
Lajnah Daimah adalah sebuah komisi fatwa yang di isi oleh para ulama yang muktabar dan diakui kelimuannya oleh para ahlul ilmidan tholabtul ilm. Maka mengatakan bahwa Lajnah Da’imahmengeluarkan fatwa akan kesesatan pemahaman seseorang seperti syaikh Ali Al-Halabi hanya berdasarkan qiila wa qola adalah perbuatan yang merendahkan martabat Lajnah Da’imah tersebut.
Ada kaedah Al-Ashlu Baqo’u ma Kaana ala Maa Kaana. Kaedah itulah yang seharusnya dipakai dalam masalah ini. Selama belum ada fatwa baru yang mencabut keputusan fatwa di atas maka fatwa di atas tetap berlaku. Kedua buku Al-Halabi  (At-Tahdzir min Fitnati at-Takfir dan Shoihatu Nadzir) memiliki pemahaman Murji’ah, dan dilarang beredar. Tanpa perlu berspekulasi bahwa pelarangan buku tersebut menjadi keinginan sekelompok takfiri yang pemikirannya, menurut Ust. Abu Yahya, telah diluluhlantakkan oleh buku Al-Halabi tersebut.
Wallahu a’lam bissowab.
Penulis: Miftahul Ihsan, Lc.

LAMPIRAN: FATWA LAJNAH DAIMAH

halab06

Segala puji bagi bagi Allah dan sholawat dan salam semoga tercurah kepada nabi yang tidak ada nabi sesudahnya.
Amma ba’du
 Lajnah Daimah lil BuhutsAl-Ilmiyah wal Ifta  (Komisi tetap untuk Kajian Ilmiyah dan fatwa) telah mengkaji terkait permintaan dari beberapa penasehat kepada Mufti ‘Aam, beberapa permohonan fatwa yang bermanfaat terkait amanah umum bagi Hai’ah Kibarul Ulama No. 2928 tanggal 13/5/1421 H dan No. 2929 tanggal 13/5/1421 H terkait dua kitab “At-Tahdzir min Fitnati at-Takfir” dan ‘Shoihatu Nadzir’ yang disusun oleh Ali Hasan Al-Halabi.
Bahwasanya kedua buku itu mengajak kepada pemahaman Murji’ah, dengan menyatakan bahwa amal bukanlah syarat sah iman dan dia menisbatkan hal itu kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dia juga menyusun bukunya dengan nukilan-nukilan yang diselewengkan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Hafidz Ibnu Katsir dan selainnya. Para penasehat ingin penjelasan apa yang ada pada dua buku tersebut agar para pembaca bisa mengetahui yang benar dari yang bathil.
Setelah Lajnah Da’imah mempelajari dan mengkaji dua buku tersebut, Lajnah mendapat kejelasan bahwa buku “At-Tahdzir min Fitnati at-Takfir” yang disusun oleh Ali Hasan Al-Halabi dan menyandarkannya kepada perkataan-perkataan ulama pada Muqoddimah dan catatan kakinya, buku tersebut mengandung:
Penulis membangun bukunya di atas madzhab Murji’ah yang bid’ah dan batil. Murji’ah itu hanya membatasi kekufuran sebatas kufru juhud, kufru takdzib dan istihlal hati. Sebagaimana tercantum pada halaman enam footnote kedua dan halaman 22. Hal ini bertentangan dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berpendapat bahwa kekufuran itu bisa berupa keyakinan, perkataan, perbuatan, dan keragu-raguan.
Penulis melakukan penyelewengan atas nukilan yang dinisbatkan kepada Ibnu Katsir pada kitab “Al-Bidayah wa An-Nihayah” jilid 13 halaman 118. Pada footnote halaman 15 penulis menukil dari Ibnu Katsir yang berbunyi, “Bahwa sesungguhnya Jenghis Khan menganggap Ilyasik berasal dari Allah SWT, dan inilah sebab kekufuran mereka.” Setelah ditelusuri ke buku yang dirujuk, tidak didapati perkataan di atas yang dinisbatkan kepada Ibnu Katsir.
Penisbatan dusta yang dia lakukan kepada Ibnu Taimiyah pada halaman 17-18. Penulis menisbatkan kepada Ibnu Taimiyah di setiap buku yang disebutkan bahwa mengganti hukum bukanlah kekufuran menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, kecuali disertai dengan pengetahuan (makrifah), keyakinan dan istihlal (menganggap halal yang diharamkan). Ini nyata kedustaan atas nama Syaikhul Islam. Beliau adalah penyebar paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah sementara yang dinisbatkan penulis kepada Ibnu Taimiyah adalah pemahaman Murji’ah.
Penulis melakukan penyelewengan terhadap maksud Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh dalam buku beliau “Tahkimul Qowanin”. Penulis (Al-Halabi—red) berpendapat bahwa Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu syaikh mensyaratkan istihlal hati. Padahal perkataan Syaikh di dalam kitab yang disebutkan begitu jelas seperti terangnya matahari yang menerangkan bahwa Syaikh berada di atas Manhaj Ahlus Sunnah.
Dia mengomentari perkataan ahlul ilmi dengan membawa pemahaman perkataan tersebut kepada sesuatu yang bukan maknanya. Seperti yang terdapat pada halaman 108, footnote nomor 1, halaman 109 footnote nomor 21 dan halaman 110 footnote nomor 2.
Di dalam kitab tersebut terdapat peremehan terkait permasalahan berhukum dengan hukum Allah, terkhusus pada halaman 5, footnote nomor 1, dengan menuduh bahwa memberikan perhatian dengan mewujudkan tauhid dalam masalah ini (Al Hukmu bi Ghoiri ma Anzalallah) mirip dengan Syi’ah. Apa yang disampaikan penulis adalah kesalahan yang fatal sekali.
Setelah menelaah pada kitab kedua (Shoihatu Nadzir) didapati bahwa buku ini laksana sandaran bagi kitab yang disebutkan tadi (At-Tahdzir min fitnati Takfir). Dan keadaan kedua buku ini sebagaimana yang sudah disebutkan di atas.
Lajnah Daimah melihat bahwa kedua kitab ini tidak boleh dicetak, dipasarkan, dan dijual karena di dalamnya terdapat kebatilan dan penyelewengan. Kami menasehati penulis dua kitab tersebut untuk bertakwa kepada Allah terhadap dirinya dan kaum muslimin terkhusus para pemuda.  Hendaknya si penulis bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu syar’i kepada para ulama yang diakui keilmuannya dan bersih akidahnya. Sesungguhnya ilmu itu amanah maka tidak boleh menyebarkannya kecuali sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Hendaknya penulis meninggalkan pendapat seperti ini dan metode dalam menyelewengkan pendapat para ulama. Sudah jamak diketahui bahwa kembali kepada kebenaran adalah sebuah keutamaan dan kemuliaan bagi seorang muslim. Semoga Allah memberi taufik.
Dan sholawat senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan sahabat beliau semua.
Fatwa dikeluarkan oleh : Lajnah Daimah Lil buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’.
Ketua : Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh
Anggota : Abdullah bin Abdurrahman Al-Ghudayyan.
Anggota : Bakr bin Abdullah Abu Zaid.
Anggota : Sholih bin Fauzan AL Fauzan.


( catatan : red.lamurkha hanya menampilkan artikel saja, pendapat yang berbeda/sanggahan bisa ditampilkan di lamurkha. Afwan wa syukran )