Nama Syaikh Ali Hasan
Al-Halabi, ulama asal Yordan tidak begitu asing bagi sebagian aktivis Islam di
Indonesia. Terutama mereka yang terlibat dalam diskursus masalah takfir.
Atau bagi para aktivis jihad yang menjadi rival adu pemikiran dengan BNPT
(Badan Negara Penanggulangan Terorisme). Maklum, tokoh yang diusung sebagian
aktivis Salafi di Indonesia itu pernah menjadi tamu undangan BNPT dalam rangka
kampanye deradikalisasi.
Kini Al-Halabi kembali datang
ke Indonesia. Dalam undangan yang banyak disebar via media sosial, ia akan
mengisi kajian tentang tauhid di masjid Istiqlal, Jakarta bertepatan agenda
umat Islam yaitu Parade Tauhid Indonesia yang akan digelar 16 Agustus
mendatang. Sebagian kalangan menganggap acara itu sebagai tandingan, karena
banyaknya broadcast melalui media sosial yang bermaksud menggembosi
parade tersebut.
Tak ayal, debat tentang siapa
dan bagaimana kredibilitas Al-Halabi pun kembali mencuat. Terlebih ketika
diketahui bahwa Lajnah Daimah lil BuhutsAl-Ilmiyah wal
Ifta (komisi fatwa kerajaan Saudi yang di isi oleh para ulama
yang muktabar dan diakui keilmuannya oleh para ahlul
ilmi dan tholabul ilm) mengeluarkan fatwa tentang pikiran Al-Halabi
yang disebut terkontaminasi pemikiran Irja’. Fatwa ini berkaitan dengan
buku Al-Halabi yang berjudul At-Tahdzir min Fitnati at-Takfir.
Namun, sorotan dari lembaga
tinggi ulama Saudi itu seolah ditangkis oleh dai muda asal Indonesia, Ust. Abu
Yahya Badrussalam, Lc. Beberapa waktu lalu beredar rekaman Ust. Abu Yahya yang
membela Al-Halabi. Inti pernyataan Abu Yahya dalam rekaman berdurasi
kurang lebih 10 menit tersebut seputar:
1.Kritik Lajnah
Daimah tersebut dinilai lemah. Karena menurut Abu Yahya berdasarkan
penuturan Al-Halabi, Al-Halabi pernah menemui Syaikh Sholeh bin Fauzan
Al-Fauzan. Ketika Al-Halabi bertanya apakah Syaikh Al-Fauzan sudah membaca buku
tersebut, Syaikh Al-Fauzan mengatakan, belum. Beliau, menurut cerita Al-Halabi
hanya menyimpulkan isi buku tersebut dari cerita orang lain (qiila wa qoola).
2.Dalam buku yang dibahas
oleh Lajnah Daimah, Abu Yahya tidak menemukan indikasi pemahaman Murjiah.
Tulisan tersebut semuanya sesuai dengan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah.
3.Jarh (kritik) satu ulama
kepada ulama lain adalah lumrah, karena manusia tidak ada yang sempurna.
Terlebih, menurut Abu Yahya, jarh satu pihak belum tentu disepakati
pihak lain.
Sungguh menarik untuk menelaah statemen Abu Yahya di atas. Pada poin pertama, sebagai dai yang mempunyai
jam terbang tinggi, seharusnya Abu Yahya tetap obyektif dalam memandang sebuah
permasalahan.
Cerita pertemuan Al-Halabi
dengan Syaikh Sholeh Al-Fauzan berikut pembicaraan yang ada di dalamnya itu
hanya “diriwayatkan” oleh Al-Halabi, sebagai pihak “tertuduh.” Isi “riwayat”
tersebut membagus-baguskan Al-Halabi selaku pembawa riwayat. Apakah cerita
kebaikan seorang tertuduh yang dibawakan oleh si tertuduh itu sendiri layak
ditelan mentah-mentah tanpa ada sikap kritis dan skeptis?
Apalagi, salah satu poin yang dikritisi (tiga dari tujuh poin) dalam
fatwa Lajnah Daimah adalah perbuatan Al-Halabi yang suka menukil sembarangan,
tidak utuh dan berbelok dari kalimat asli yang dinukil.
Dahulu pernah beredar rumor
bahwa Syaikh Al-Utsaiminrahimahullah pernah memuji-muji Al-Halabi.
Namun, Syaikh Ihsan Al-Utaibi menolaknya, sembari membawa saksi yang
menyatakan Syaikh Al-Utsaimin tidak pernah mengeluarkan pernyataan seperti itu.
Syaikh Ihsan Al-Utaibi dalam
tulisan beliau di saaid.net yg berjudul “At Ta’liq ala Kadzibah Jadidah
lil Halabi” beliau berkata bahwa, ” Saya memiliki saksi yg cukup untuk
menjelaskan kedustaannya (Ali Hasan Al-Halabi). Syaikh Utsaimin pernah ditanya
terkait perkataan orang ini (Ali Al-Halabi). Beliau mendustakan perkataan Ali
Al-Halabi sembari berkata, “Bahkan bila engkau melihat tulisan dan stempelku
merekomendasikan hal seperti itu, janganlah kau percaya!” Kata-kata Syaikh
Utsaimin di atas merupakan bentuk pengingkaran beliau terhadap perkataan Ali
Al-Halabi.
Dalam keterangan fatwa di
atas jelas-jelas Lajnah Daimah melakukan kajian dan telaah terhadap kedua
kitab syaikh Ali Hasan Al-Halabi. Maka bagaimana mungkin Abu Yahya dengan mudahnya mengatakan bahwa
Syaikh Shalih Fauzan hanya mendapat bisikan dari orang lain akan kesesatan buku
tersebut?
Kedua, Abu Yahya tidak menemukan indikasi pemahaman Murjiah pada
buku At-Tahdzir min Fitnati at-Takfir yang dikritik oleh Lajnah
Daimah dalam fatwanya.
Benar, Lajnah Daimah terdiri dari manusia yang kadang bisa salah dan
keliru. Namun, bila benar buku tersebut bersih dari pemikiran Murjiah, kumpulan
ulama terkemuka Saudi itu berani memvonis adanya indikasi irja’? Atau,
jangan-jangan Abu Yahya sendiri belum membaca dengan teliti, baik buku tersebut
maupun fatwa Lajnah Daimah.
Di bagian akhir tulisan ini dicantumkan teks asli fatwa tersebut dalam
bahasa Arab, diikuti terjemahnya dalam bahasa Indonesia. Sangat jelas, di
halaman berapa saja titik krusial pemikiran Al-Halabi yang
dianggap neo-murjiah.
Penulis yang mencoba menelaah, masih menemukan keganjilan dalam cetakan
ke-3 buku tersebut. Dalam pengantar yang dicetak dua tahun setelah fatwa Lajnah
Daimah keluar, Al-Halabi menghapus konten yang menjadi titik kritik Lajnah
Daimah. Dalammukadimah, ia
menyebut penghapusan tersebut sebagai wujud penghormatan dirinya kepada kibarul
ulama, “Walau sebenarnya poin-poin itu masih bisa didiskusikan lebih lanjut,”
imbuhnya.
Tak ada permintaan maaf atau pengakuan bersalah atas cetakan sebelumnya.
Ditambah lagi, dalam cetakan ke-3 tersebut masih menyisakan
aroma irja’. Mari perhatikan nukilan berikut:
Perkataan Ibnul Qoyim: “Wa ammal hukmu
bighoiri ma anzalal-Lah wa tarkus sholah fahuwa minal kufri amali qoth’an. Fal
haakim bighori ma anzalal-Lahu wa taarikus sholah kaafirun bi nashshi
Rasulillah. Wa lakin huwa kufrul
amal, la kufru i’tiqodin.
Pada penggalan kata kufrul amal, Al-Halabi
memberikan catatan kaki, “bimakna kufru ashghor.” Dia menyebut kufrul
amal dengankufrul ashghor, padahal kufrul akbar itu bisa
berupa amal, ucapan (qoul) atau keyakinan (I’tiqod). Di sinilah
aromah irja’ masih terasa kental.
Sementara pada poin ketiga dalam pernyataan Abu
Yahya, memang banyak kejadian di mana jarh oleh satu pihak ditolak
oleh pihak lain. Tetapi
dalam kasus kritik atas pemahaman irja’ Al-Halabi, yang mengkritik
bukanlah perseorangan, melainkan lembaga. Alasan dalam fatwa tersebut juga
dikemukakan secara rinci, sejelas matahari di siang hari.
Di dalam rekaman audio tersebut Abu Yahya
Badrussalam juga berulang kali memberi tazkiah kepada
buku Shoihatun Nadzir. Padahal jelas-jelas Lajnah
Daimah memfatwakan bahwa buku itu mengandung pemahaman irja’. Apakah
Ustadz Abu Yahya Badrussalam tidak tahu isi dari buku tersebut, atau beliau
sepemahan dengan buku Shoihatun Nadzir yang menurut Lajnah Daimah
mengandung pemahaman Murji’ah?
Lajnah Daimah adalah sebuah komisi fatwa
yang di isi oleh para ulama yang muktabar dan diakui kelimuannya oleh
para ahlul ilmidan tholabtul ilm. Maka mengatakan bahwa Lajnah
Da’imahmengeluarkan fatwa akan kesesatan pemahaman seseorang seperti syaikh Ali
Al-Halabi hanya berdasarkan qiila wa qola adalah perbuatan yang
merendahkan martabat Lajnah Da’imah tersebut.
Ada kaedah Al-Ashlu Baqo’u ma Kaana ala
Maa Kaana. Kaedah itulah yang seharusnya dipakai dalam masalah ini. Selama
belum ada fatwa baru yang mencabut keputusan fatwa di atas maka fatwa di atas
tetap berlaku. Kedua buku Al-Halabi (At-Tahdzir min Fitnati
at-Takfir dan Shoihatu Nadzir) memiliki pemahaman Murji’ah, dan
dilarang beredar. Tanpa perlu berspekulasi bahwa pelarangan buku tersebut
menjadi keinginan sekelompok takfiri yang pemikirannya, menurut Ust. Abu
Yahya, telah diluluhlantakkan oleh buku Al-Halabi tersebut.
Wallahu a’lam bissowab.
Penulis: Miftahul Ihsan, Lc.
LAMPIRAN: FATWA LAJNAH DAIMAH
Segala puji bagi bagi Allah dan sholawat dan
salam semoga tercurah kepada nabi yang tidak ada nabi sesudahnya.
Amma ba’du
Lajnah Daimah lil BuhutsAl-Ilmiyah wal
Ifta (Komisi tetap untuk Kajian Ilmiyah dan fatwa) telah mengkaji
terkait permintaan dari beberapa penasehat kepada Mufti ‘Aam, beberapa
permohonan fatwa yang bermanfaat terkait amanah umum bagi Hai’ah Kibarul
Ulama No. 2928 tanggal 13/5/1421 H dan No. 2929 tanggal 13/5/1421 H
terkait dua kitab “At-Tahdzir min Fitnati at-Takfir” dan ‘Shoihatu Nadzir’ yang
disusun oleh Ali Hasan Al-Halabi.
Bahwasanya kedua buku itu mengajak kepada
pemahaman Murji’ah, dengan menyatakan bahwa amal bukanlah syarat sah iman dan
dia menisbatkan hal itu kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dia juga menyusun
bukunya dengan nukilan-nukilan yang diselewengkan dari Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dan Hafidz Ibnu Katsir dan selainnya. Para penasehat ingin penjelasan
apa yang ada pada dua buku tersebut agar para pembaca bisa mengetahui yang
benar dari yang bathil.
Setelah Lajnah Da’imah mempelajari dan mengkaji
dua buku tersebut, Lajnah mendapat kejelasan bahwa buku “At-Tahdzir min Fitnati
at-Takfir” yang disusun oleh Ali Hasan Al-Halabi dan menyandarkannya kepada
perkataan-perkataan ulama pada Muqoddimah dan catatan kakinya, buku tersebut
mengandung:
Penulis membangun bukunya di atas madzhab
Murji’ah yang bid’ah dan batil. Murji’ah itu hanya membatasi kekufuran
sebatas kufru juhud, kufru takdzib dan istihlal hati.
Sebagaimana tercantum pada halaman enam footnote kedua dan halaman 22. Hal ini
bertentangan dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berpendapat bahwa kekufuran
itu bisa berupa keyakinan, perkataan, perbuatan, dan keragu-raguan.
Penulis melakukan penyelewengan atas nukilan
yang dinisbatkan kepada Ibnu Katsir pada kitab “Al-Bidayah wa An-Nihayah” jilid
13 halaman 118. Pada footnote halaman 15 penulis menukil dari Ibnu
Katsir yang berbunyi, “Bahwa sesungguhnya Jenghis Khan menganggap Ilyasik
berasal dari Allah SWT, dan inilah sebab kekufuran mereka.” Setelah ditelusuri
ke buku yang dirujuk, tidak didapati perkataan di atas yang dinisbatkan kepada
Ibnu Katsir.
Penisbatan dusta yang dia lakukan kepada Ibnu
Taimiyah pada halaman 17-18. Penulis menisbatkan kepada Ibnu Taimiyah di setiap
buku yang disebutkan bahwa mengganti hukum bukanlah kekufuran menurut Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, kecuali disertai dengan pengetahuan (makrifah), keyakinan
dan istihlal (menganggap halal yang diharamkan). Ini nyata kedustaan
atas nama Syaikhul Islam. Beliau adalah penyebar paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah
sementara yang dinisbatkan penulis kepada Ibnu Taimiyah adalah pemahaman
Murji’ah.
Penulis melakukan penyelewengan terhadap maksud
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh dalam buku beliau “Tahkimul Qowanin”.
Penulis (Al-Halabi—red) berpendapat bahwa Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu
syaikh mensyaratkan istihlal hati. Padahal perkataan Syaikh di dalam
kitab yang disebutkan begitu jelas seperti terangnya matahari yang menerangkan
bahwa Syaikh berada di atas Manhaj Ahlus Sunnah.
Dia mengomentari perkataan ahlul ilmi dengan
membawa pemahaman perkataan tersebut kepada sesuatu yang bukan maknanya.
Seperti yang terdapat pada halaman 108, footnote nomor 1, halaman 109 footnote
nomor 21 dan halaman 110 footnote nomor 2.
Di dalam kitab tersebut terdapat peremehan
terkait permasalahan berhukum dengan hukum Allah, terkhusus pada halaman 5,
footnote nomor 1, dengan menuduh bahwa memberikan perhatian dengan mewujudkan
tauhid dalam masalah ini (Al Hukmu bi Ghoiri ma Anzalallah) mirip dengan
Syi’ah. Apa yang disampaikan penulis adalah kesalahan yang fatal sekali.
Setelah menelaah pada kitab kedua (Shoihatu
Nadzir) didapati bahwa buku ini laksana sandaran bagi kitab yang disebutkan
tadi (At-Tahdzir min fitnati Takfir). Dan keadaan kedua buku ini sebagaimana
yang sudah disebutkan di atas.
Lajnah Daimah melihat bahwa kedua kitab ini
tidak boleh dicetak, dipasarkan, dan dijual karena di dalamnya terdapat
kebatilan dan penyelewengan. Kami menasehati penulis dua kitab tersebut untuk
bertakwa kepada Allah terhadap dirinya dan kaum muslimin terkhusus para
pemuda. Hendaknya si penulis bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu
syar’i kepada para ulama yang diakui keilmuannya dan bersih akidahnya.
Sesungguhnya ilmu itu amanah maka tidak boleh menyebarkannya kecuali sesuai
dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Hendaknya penulis meninggalkan pendapat seperti
ini dan metode dalam menyelewengkan pendapat para ulama. Sudah jamak diketahui
bahwa kembali kepada kebenaran adalah sebuah keutamaan dan kemuliaan bagi
seorang muslim. Semoga Allah memberi taufik.
Dan sholawat senantiasa tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarga, dan sahabat beliau semua.
Fatwa dikeluarkan oleh : Lajnah Daimah Lil
buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’.
Ketua : Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad
Alu Syaikh
Anggota : Abdullah bin Abdurrahman Al-Ghudayyan.
Anggota : Bakr bin Abdullah Abu Zaid.
Anggota : Sholih bin Fauzan AL Fauzan.
(
catatan : red.lamurkha hanya menampilkan artikel saja, pendapat yang
berbeda/sanggahan bisa ditampilkan di lamurkha. Afwan wa syukran )