Tanggapan atas tulisan
Prof. Dr. Kamaruddin Amin
Setelah melihat tulisan Prof. Dr. Kamaruddin
Amin yang membahas masalah taqrib (pendekatan) antara Sunni dan Syiah, penulis
langsung mengambil HP dan mengirimkan informasi ini (dengan isi pesan, “Guru
Besar Ilmu hadis UIN Alauddin, Kamaruddin Amin: Sunni-Syiah sebagai produk
sejarah, ketika Sunni dan Syiah mengakui Tuhan yang sama, Nabi yang sama,
Alquran yang sama, Kiblat yang sama, Syahadat yang sama, Mengapa perbedaan
harus dibesar-besarkan, lihat Fajar hari ini, Selasa 28 Feb 2012, hal 4”) ke
beberapa tokoh, di antara yang menjawabnya adalah salah satu ketua MUI Kota
Makassar dengan isi pesan, “Repot memahami orang yang gak paham sejarah dan
hakikat perbedaan sunni-syiah”.
Inti dari tulisan prof. Dr Kamaruddin Amin
kemarin adalah ingin mendekatkan atau ingin melakukan usaha taqrib antara Sunni
dan Syiah, beliau menulis, “begitu parahkah perbedaan antar keduanya sehingga
tak ada secercah harapan mendekatkan kedua kekuatan dahsyat Islam ini”, dan di
akhir tulisan, “Mungkin dengan cara itu, Sunni dan Syiah dapat bersinergi
membangun peradaban Islam di masa yang akan datang. amin”, semua kaum muslimin
mendambakan kejayaan Islam dengan cara membangun peradaban Islami, dan beliau
menyetujui itu, ini adalah usaha yang mulia. Namun jika usaha itu dimulai
dengan menyatukan atau mendekatkan Sunni-Syiah, menurut kami itu perlu melalui
pertimbangan dan penelitian yang matang. Salah satu indikasinya adalah
penyimpangan Syiah dari ajaran Islam yang murni sudah terlalu parah, buktinya,
di antara 10 kriteria aliran sesat versi MUI, Syiah masuk ke dalam tujuh poin,
padahal kalau satu poin saja sudah bisa divonis menyimpang bahkan sesat.(http://lppimakassar.blogspot.com/2012/02/10-kriteria-aliran-sesat-versi-mui.html)
Tidak hanya itu, Depag sejak dahulu telah
mengeluarkan surat edaran nomorD/BA.01/4865/1983 pada 5 Desember
1983, dengan tegas menyatakan Semua itu (paham Syiah) tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam yang
sesungguhnya. Ditambah Fatwa MUI yang merekomendasikan untuk
mewaspadai paham Syiah.
Kadang bahkan selalu fatwa ini dipahami bahwa
ini bukan fatwa yang memvonis sesat paham Syiah. Namun bagi kami, ungkapan meningkatkan
kewaspadaan jelas bermakna WARNING (peringatan). Ajaran Syiah dianggap
berbahaya, maka umat islam diingatkan agar waspada oleh MUI. Kalau ajaran Syiah
lurus dan sah sesuai syariat Islam, tidak mungkin umat akan diberi peringatan
agar waspada.
Perbedaan Sunni-Syiah
Menurut beliau Al Quran kita dengan Al
Quran-nya Syiah sama saja, buktinya setelah melihat langsung Al Quran di Iran
bahkan di percetakannya tidak ada yang beda sama sekali. Adapun informasi
tahrif (pengubahan) dari kitab al Kafi menurut seorang ayatullah yang diajak
diskusi oleh beliau bahwa orang Syiah tidak menganggap al Kafi sebagai kitab
suci yang tidak mungkin salah, di situ banyak kesalahan yang dikritisi langsung
oleh mereka.
Bukan hanya al Kulaini yang mengakui adanya
perubahan pada Al Quran, di sana ada kitabFashlul Khithab fi Itsbati Tahrifi
Kitabi Rabbil Arbab (kata pemisah untuk menegaskan terjadinya
perubahan pada Kitab Tuhannya para Tuhan) di dalam kitab itu terdapat banyak
contoh perubahan ayat-ayat Al Quran. (lihat daftarnya di buku “Mengapa Kita
Menolak Syiah” terbitan LPPI Jakarta), bahkan dalam muqaddimah kitab itu
penulisnya mencantumkan tidak kurang dari 30 nama ulama Syiah yang mendukung
pendapatnya!
Ulama Syiah yang lain, Al Kirmani mengatakan,
“Terjadi perubahan dan pengurangan pada Al Quran!, Al Quran yang terjaga itu
tidak ada melainkan ada pada Al Qa’im (Imam mahdi), dan Syiah itu terpaksa
membaca Al Quran ini (Al Quran sekarang) sebagai bentuk taqiyyah dari perintah
keluarga Muhammad alaihis salam” (Al Kirmani, Ar Radd ‘ala Hasyim Asy-Syami,
hal 13, cet Iran)
Bahkan Ulama Syiah yang lain, Ni’matullah Al
Jaza’iri mengatakan, “diriwayatkan dari berita-berita bahwa mereka (para Imam
Syiah) alaihimus salam memerintahkan pengikut mereka membaca Al Quran yang ada
sekarang ini di dalam shalat dan selainnya, juga mengamalkan hukum-hukumnya
sampai muncul Maulana Shahibuz Zaman (Imam Mahdi) kemudian ia akan mengangkat
Al Quran ini dari tangan manusia ke langit dan mengeluarkan Al Quran yang
disusun oleh Amirul Mukminin (Ali bin Abi Thalib ra) kemudian dibaca dan hukum-hukumnya
dilaksanakan” (Ni’matullah Al Jaza’iri, Al Anwar An Nu’maniyyah, Jilid 2, hal
363-364) bukankah Apa yang dilakukan oleh Iran dengan mencetak Al Quran yang
sama dengan Al Quran kita adalah taqiyyah (menyembunyikan apa yang diyakini)?
Tentang sahabat, pendapat para ayatullah bahwa
mereka menghormati Abu Bakar, Umar dan Utsman perlu diklarifikasi lebih jauh.
Sebagai contoh, kuburan pembunuh Umar sangat diagung-agungkan, bangunan
kuburannya seperti istana, bahkan ia dijuluki Pahlawan Pembela Agama,
bukankah ini bukti konkret akan bencinya mereka terhadap Umar bin Khattab?
Al Majlisi berkata, “Perkataan alaihis salam
‘huma/ mereka berdua’ adalah Abu Bakar dan Umar, dan yang dimaksud dengan
‘Fulan’ adalah Umar, artinya Jin yang disebutkan di dalam ayat adalah Umar, dia
dinamakan demikian karena dia merupakan setan, baik ia menyerupai setan karena
ia anak zina atau karena makar dan tipu dayanya seperi setan, dan yang terakhir
mengandung kebalikannya, yaitu yang dimaksud dengan ‘Fulan’ adalah Abu Bakar!!!”
(Mir’aatul ‘Uquul, jilid 26, kitab Ar Raudhah, hal 488) bukankah ini bukti
bahwa orang Syiah sangat membenci Abu Bakar dan Umar bin Khattab RA?
Ni’matullah Al Jaza’iri berkata, “Di Zaman
Nabi Shallallahu alaihi wa aalihi, Utsman termasuk orang yang menampakkan
keislaman dan menyembunyikan kemunafikan! ” (Al Anwar An Nu’maniyyah, jilid 1,
hal 81)
Lebih dari itu, dalam acara-acara asyura
mereka yang diadakan di Makassar juga di tempat lainnya mereka sangat
mendiskreditkan sahabat (baca, Fajar, Selasa, 29 Des 2009)
Tentang Nikah Mut’ah MUI sudah memfatwakan
keharamannya (silahkan lihat alasan dan dalil lengkapnya di Himpunan Fatwa MUI,
tahun 2010, hal 350-355). Nabi Muhammad saw bersabda, “Wahai manusia, aku
pernah membolehkan kamu melakukan mut’ah dengan wanita. Kemudian Allah telah
mengharamkan hal itu sampai hari kiamat” (HR. Muslim) sehingga bukan Umar yang
mengharamkan Nikah Mut’ah, namun beliau hanyalah mempertegas larangan Nabi
Muhammad saw.
Beberapa mahasiswi di Makassar sudah melakukan
Nikah Mut’ah, bahkan salah satu di antara mereka mengatakan bahwa yang
meninggalkan Nikah Mut’ah bisa termasuk golongan kafir! (lihat Skripsi
Mahasiswa Fakultas Psikologi UNM tahun 2011 “Perempuan Dalam Nikah Mut’ah” hal
59)
Penulis pernah mendapatkan tarif Nikah Mut’ah
di internet
(http://www.eramuslim.com/berita/dunia/tarif-nikah-mut-ah-di-iran.htm) apakah
ini mengindikasikan bahwa Nikah Mut’ah mudah dilakukan di Iran atau tidak.
Wallahu a’lam
Terakhir, Jika ingin dijabarkan lebih jauh
kita akan menemukan perbedaan-perbedaan Sunni dengan Syiah yang begitu banyak,
perbedaan-perbedaan itu diungkap untuk menjaga aqidah umat Islam supaya tidak
disusupi dengan aqidah yang rusak, karena jika aqidah rusak seluruh amalan
tertolak. Hal ini dilakukan untuk memperjelas mana yang haq/ benar dan mana
yang bathil/ salah, dan agar keduanya tak bercampur menjadi satu, bukan justru
dikaburkan. Sunni dan Syiah akan bisa bersinergi untuk membangun peradaban
Islam jika Syiah benar-benar berhenti menyakiti perasaan keagamaan kita. Apa yang
terjadi sekarang ini di Suriah menunjukkan bahwa jika mereka kuat tidak akan
bertoleransi dengan kita.Wallahu a’lam
Oleh: Muhammad Istiqamah, Mahasiswa Semester 6
Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh, STIBA Makassar
(Muis/LPPIMakassar.blogspot.com)
Oleh. K.H. M. SAID ABD. SHAMAD, Lc
Bolehkan kita berkata,
“Ketika Republik Indonesia (RI) dan Republik Maluku Selatan (RMS) mengakui
tanah air yang sama, bahasa yang sama, negara yang sama, dan bangsa yang sama,
mengapa perbedaan dibesar-besarkan?” Tentunya tidak boleh! Ini tanggapan
penulis terhadap ungkapan Prof. Dr. Kamaruddin Amin yang berbunyi,
“Ketika Sunni dan Syiah mengakui Tuhan yang sama, Nabi yang sama, Al
Quran yang sama, kiblat yang sama, syahadat yang sama mengapa perbedaan harus
dibesar-besarkan?” (Fajar, Selasa, 28/2/2012).
Prof. Kamaruddin adalah
penulis kedua kesan-kesan perjalanan ke Iran oleh pegurus MUI Pusat dan Daerah
baru-baru ini, setelah Prof. Dr. Hamdan Juhannis, menulis kesan-kesannya tiga
kali berturut-turut di Fajar, 15,16, dan 17 Feb 2012 yang lalu. Menurut Prof.
Hamdan, ini adalah kerjasama Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan Mushtafa
International University (MIU), dan beberapa Guru Besar serta Doktor UIN
Alauddin Makassart mewakili MUI Sulsel dalam rombongan ini dimana Prof. Dr. H.
Umar Shihab adalah inisiator kegiatan akdemik di Iran.
Disini penulis meragukan,
betulkah kegiatan ini kerjasama resmi MUI dengan MIU Iran, karena MUI
telah jelas sikapnya terhadap syiah: 1. Bahwa mayoritas umat Islam Indonesia
adalah penganut paham Sunni (Ahlussunnah wal Jamaah) yang tidak mengakui dan
menolak paham Syiah secara umum dan ajarannya tentang nikah mutah secara khusus
(Himpunan Fatwa MUI, hal. 351). 2. Faham Syiah mempunyai perbedaan pokok dengan
mazhab Sunni yang dianut oleh umat Islam Indonesia. 3. Syiah pada umumnya tidak
mengakui kekhalifaan Abu Bakar, Umar, dan Usman-radhiyallahu anhum-
sedang Ahlussunnah wal Jamaah mengakui keempat khulafaur rasyidin tersebut.
4. Mengingat perbedaan pokok antara syiah dan Ahlussunnah wal Jamaah, terutama
mengenai perbedaan tentang “Imamah” (Pemerintahan), Majelis Ulama Indonesia
menghimbau kepada umat Islam Indonesia yang berpaham Ahlussunnah wal Jamaah
agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya paham yang
didasarkan atas ajaran Syiah. (H. fatwa MUI. Hal. 48-49).
Pada selasa sore,
28/02/12 penulis kirim pertanyaan kepada beberapa pengurus MUI
Pusat, tentang perjalan ke Iran kali ini, maka Dr. KH. Cholil Nafis (Sekertaris
Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Pusat) menjawab, “Itu bukan keputusan dan
bukan kerjasama resmi MUI.” Lebih tegas lagi Prof. Dr. Yunahar Ilyas (Ketua MUI
Pusat) menyatakan , “Rapat MUI sudah memutuskan bahwa tidak ada kunjungan resmi
atasnama MUI ke Iran, itu semua kunjungan atasnama pribadi walaupun pengurus
MUI baik Pusat maupun Daerah.” Setahu penulis ini adalah untuk keduakalinya
pengurus MUI Pusat Prof. Umar Syihab melakukan inisiatif pribadi dengan
mengatasnamakan MUI Pusat, dengan mengirim para Guru Besar dan Doktor UIN
Alauddin Makassar dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ke Iran untuk menerima
“pelajaran” dari para Ayatullah di sana, agar kembali ke Indonesia dan
menyampaikan pesan dan kesan yang berbeda dengan sikap resmi MUI Pusat di atas.
Pada perjalan pertama,
harian Fajar memuat tulisan dengan judul, MUI: Syiah Sah Sebagai Mazhab Islam.
Di antara beritanya: di tengah upaya ormas-ormas Islam tertentu menyesatkan
aliran Syiah di Indonesia, petinggi MUI Pusat justru menempuh sikap sebaliknya.
Ketua MUI Pusat Prof. Dr. Umar Syihab menandatangani naskah kesepahaman (Memorandum
of Understanding) dengan Sekjen Majma’ Taqrib Bainal Madzahib, Ayatullah
Ali Taskiri. Poin penting dalam Mou tersebut adalah pengakuan bahwa Syiah adalah
termasuk salah satu mazhab dalam Islam yang sah di Indonesia. Sekretaris MUI
Sulsel Pro. Dr. Ghalib yang ikut dalam rombongan mengatakan, “Saya fikir
perbedaan kita (Sunni) dan Syiah hanya soal Imamah, dan itu tidak menjadikan
mereka sesat.” Ghalib pun mengakui bahwa memang ada kelompok dari ormas
yang mempermasalahkan keberadaan Syiah di Sulsel, namun ia meyakinkan MUI
akan berupaya menyelasaikan perbedaan pandang antar kelompok Islam ini secara
damai. (Ahad, 1 Januari 2012).
Prof. Kamaruddin dalam tulisannya
tersebut mengatakan bahwa Abu Bakar, Umar, dan Usman adalah Sahabat yang mereka
hormati. Di bagian lain beliau menulis, “Perbedaan yang paling mendasar yang
diakui oleh mereka adalah tentang Khilafah, mereka mengakui bahwa yang berhak
menjadi Khalifah setelah Nabi adalah Ali, bukan Abu Bakar, Umar, dan Usman.”
(Fajar, Selasa, 28 Feb 2012)
Di sini penulis menilai
bahwa sebagian Guru Besar UIN Alauddin Makassar dengan mudah dikelabui oleh
para Ayatullah Syiah di Iran sehingga dengan enteng mengatakan, “Mengapa
perbedaan ini perlu dibesar-besarkan?” Padahal justru soal Khalifah sesudah
Nabi yang disebut juga Imamah inilah yang menjadi alasan utama MUI Pusat
menyerukan agar mewaspadai masuknya ajaran yang berdasarkan paham Syiah. Imamah
menurut Syiah adalah salahsatu rukun iman dan merupakan pangkat kepemimpinan
berupa penunjukan ilahi kepada Imam Ali ra dan Imam-imam sesudahnya yang
berjumlah duabelas. Siapa yang mengingkarinya adalah kafir. Berkata Al Mufid,
“Sepakat Syiah Imamiah bahwa barangsiapa yang mengingkari salahseorang dari
Imam-imam itu dan menolak kewajiban dari Allah untuk mentaatinya, maka ia kafir
lagi sesat dan kekal dalam neraka.” (Biharul Anwar lil Majelisi, jilid
XXIII, hlm. 390). Berkata Assaduq, “Keyakinan kami terhadap orang yang mengingkari
Imamahnya amirul mukminin dan Imam-imam sesudahnya sama dengan orang yang
mengingkari kenabian seluruh para nabi. Dan keyakinan kami terhadap orang yang
mengakui kepemimpinan Amirul Mukminin (Ali) tapi mengingkari kepemimpinan
salahseorang dari Imam-imam sesudahnya sama dengan orang yang mengakui seluruh
nabi tapi mengingkari kenabian Muhammad saw.” (Risalatul I’tiqadaat, hlm.
103). Berkata Emilia Renita, Sekretaris IJABI dalam bukunya yang diedit
oleh suaminya, Dr. Jalaluddin Rakhmat, “Yang tidak mengenal imam, mati
jahiliah. Mati jahiliah berarti mati tidak dalam keadaan Islam.” (40 Masalah
Syiah, hlm. 98). Dr. Jalaluddin Rakhmat yang menulis kata pengantar sebagai
editor dalam buku tersebut mengatakan, “Secara khusus, sebagai Ketua Dewan
Syuro Ikatan Jama’ah Ahlulbait Indonesia, kami memberikan buku ini kepada
seluruh anggota IJABI sebagai pedoman dakwah mereka.” Dari keterangan penulis
di atas apakah bijaksana dan tepat pernyataan kedua Guru Besar UIN Alauddin
Makassar di atas, “Mengapa perbedaan harus dibesar-besarkan dan saya fikir
perbedaan kita (Sunni) dan Syiah hanya soal Imamah, dan itu tidak menjadikan
mereka sesat.”
Maka sebagai Guru Besar
UIN Alauddin seharusnya hati-hati dalam menerima informasi (tabayyun)
yang sepihak agar pernyataannya dapat obyektif. Kenapa harus jauh-jauh pergi
mendengar tentang Syiah, sedang LPPI sudah sekian lama mau menghadap UIN
Alauddin untuk menjelaskan tentang hal itu namun ditolak secara langsung atau
tidak langsung.
(Ketua LPPI Makassar, Anggota Komisi Dakwah
MUI Makassar)
(Muis/LPPIMakassar.blogspot.com)
Oleh: Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, M.A.*
Inkonsistensi
Metode Kritik Hadis? BANTAHAN terhadap Prof. DR. Kamaruddin Amin
PENDAHULUAN
Sikap
kritis terhadap produk intelektual ilmuwan terdahulu merupakan suatu
keniscayaan. Sikap taken for granted suatu produk pemikiran
akan menyebabkan perkembangkan ilmu pengetahuan menjadi stagnan. Adanya
diskursus yang menghadirkan tesis, antitesis dan sintesis melahirkan iklim
keilmuan yang menggairahkan.
Namun
demikian, produk pemikiran yang “belum matang” alias prematur dan
dipublikasikan secara luas dapat berekses negatif di dalam masyarakat. Dalam
konteks pemikiran yang menggugat kemapanan konsep ulama hadis bisa berimplikasi tashkik(upaya
meragukan) terhadap kitab-kiaab induk hadis, dan hasil penelitian semacam itu
bisa ber-“efek domino” dan menjadi “amunisi” yang digunakan oleh aktivis inkar
al-sunnah untuk merobohkan kedudukan hadis sebagai salah satu dari marja’iyyah
al-‘ulya fi al-Islam.
Tulisan
ini membahas salah satu pemikiran Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin
Amin, M.A tentang konsep kritik hadis menurut ulamahadis.Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, M.Aperaih
gelar doktor dengan predikat Summa Cumlaude dalam bidang studi
Islam di Rheinischen Friedrich Wilhelms Universitaet Bonn, Jerman. Beliau
pernah menjadi dosen dan pembantu rektor bidang kerjasama dan Pengembangan
Kelembagaan UIN Alauddin Makasar. Saat ini beliau menjabat sebagai Direktur
Jendral Pendidikan Islam Kemenag RI.
KRITIK KAMARUDDIN AMIN DAN BANTAHANNYA
Kamaruddin
Amin dalam Pidato pengukuhan guru besarnya di Bidang Ilmu Hadis Fakultas
Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar tanggal 29 Desember 2010 berjudul
“Western Methods of Dating vis-a-vis Ulumul Hadis: Refleksi Metodologis atas
Diskursus Kesarjanaan Hadis Islam dan Barat”[1] dan juga dalam makalah
berjudul “Problematika Ulumul Hadis, Sebuah Upaya Pencarian Metodologi
Alternatif”menyebutkan bahwa ”Terdapat sejumlah inkonsistensi metode kritik
hadis. Ada gap yang cukup menganga antara teori dan fakta, antara teori ulumul
hadis dengan keadaan objektif literatur hadis. Kalau teori ulumul hadis
diaplikasikan secara ketat, bisa jadi kualitas literatur hadis menurun secara
sangat signifikan.”[2]
Pendapat
professor di atas patut dinilai ”prematur” karena kurang didasari argumentasi
yang cukup meyakinkan. Bahkan, pendapat tersebut merefleksikan ketidakmampuan
peneliti mutaakhirin dalam memahami manhaj (metodologi) ulama hadis
mutaqaddimin. Penilaian ”prematur” semacam ini juga pernah kami temui dalam
penelitian skipsi yang menguji kembali penilaian DR. Muhibbin–saat ini menjadi
guru besar Ilmu hadis di UIN Semarang dalam disertasi doktoralnya di (saat itu)
IAIN Sunan Kalijaga—yang mengklaim banyaknya hadis-hadis dalam Kitab Sahih
al-Bukhari yang tidak memenuhi syarat kesahihan hadis.
Jika
ditelusuri, ternyata perspektif Sang guru besar tersebut berangkat dari metode
kritik hadis yang bersifat global (mujmal). Padahal dalam tataran implemetasi
praktis para ulama hadis mutaqaddimin, kaidah-kaidah umum yang diramu oleh
ulama hadis tersebut memiliki perincian yang lebih kompleks.
Coba
perhatikan argumentasi Prof. Kamaruddin Amin dalam makalah Pidato pengukuhan
guru besarnya tersebut: ”Contoh sederhana, teori ulumul hadis mengajarkan
kepada kita bahwa riwayat seorang mudallis tidak bisa dijadikan hujja apabila
ia tidak berterus terang atau ia tidak menyatakan secara tegas sumber
informantnya, misalnya dengan mengatakan ’an atau sejenisnya, kecuali kalau
riwayat tersebut dikuatkan oleh riwayat perawi lain yang thiqa.”
Pendapat
di atas adalah bukti—maaf—terlalu globalnya pemahaman Profesor tentang konsep
riwayat mudallisin. Seharusnya seorang mahasiswa ilmu hadis, apalagi seorang
doktor dan professor mengetahui bahwa menilai riwayat mudallis tidak
sesederhana itu. Pernyataan tersebut hanya pantas dikatakan oleh seseorang yang
pemula di awal belajar ilmu hadis. Penilaian terhadap perawi mudallis tidak
bisa ”dipukul rata” seperti itu. Ibnu Hajar al-Asqalany dalam Kitab Ta’rif Ahl
al-Taqdis bi Maratib al-Mawshufiin bi al-Tadlis—bersumber dari klasifikasi para
perawi yang dikritik melakukan tadlis (mudallisin) menurut al-‘Ala’iy dalam
Jami’ al-Tahsil–menyebutkan bahwa para perawi mudallis itu terbagi dalam lima
(5) tingkatan. Tingkatan 1 dan 2 adalah para mudallis yang diakui ittishal
sanad-nya,` baik pada riwayat yang lafadz sama’-nya diungkapkan dengan jelas
atau tidak seperti mengatakan ‘an dan sejenisnya. Adapun tingkatan 3, 4 dan 5
mensyaratkan apa yang disebutkan oleh professor. Perincian tentang ini ada
dalam Kitab Manhaj al-Mutaqaddimiin fi al-Tadliis oleh Nasir bin Hamd al-Fahd 2
jilid
Jika
Profesor berpegang kepada pendapat : “…riwayat seorang mudallis tidak bisa
dijadikan hujja apabila ia tidak berterus terang atau ia tidak menyatakan
secara tegas sumber informantnya, misalnya dengan mengatakan ’an atau
sejenisnya, kecuali kalau riwayat tersebut dikuatkan oleh riwayat perawi lain
yang thiqa.”
Maka, banyak riwayat hadis dari para tokoh-tokoh perawi hadis yang
hadis-hadisnya diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan Ashabus sunan seperti
A’masy, Ayub Al-Sakhtiyani, Qatadah, Sufyan al-Tsaury dan Sufyan bin ’Uyainah,
dll termasuk Imam Malik tidak bisa dijadikan hujjah. Dalam Shahih al-Bukhari
saja, Jumlah perawi yang dikritik sebagai perawi mudallis dalam Sahih
al-Bukhari sebanyak 68 perawi yang 57, 3% diantaranya adalah mudallis level 1
dan 2. Lihat Disertasi DR. Awwad al-Khalaf. Riwayat al-Mudallisin fi Sahih
al-Bukhari: Jam’uha-Takhrijuha-al-Kalam ‘alaiha.
Penilaian
global semacam itu tidak objektif. Karena banyak perawi mudallis yang tidak
me-tadlis kecuali dari perawi yang tsiqoh seperti Ibrahim bin Yazid al-Nakha’I,
Isma’il bin Abi Khalid, Basyir bin al-Muhajir, al-Hasan al-Basri (perawi ini
juga dikritik Prof), Sufyan al-Tsaury dan Sufyan bin ‘Uyainah, dll. Atau perawi
mudallis dengan periwayatan mu’an’an tetapi dari guru mulazamah dalam waktu
lama, seperti Husyaim bin Basyir ’an Husain bin Abdul Rahman. Atau karena
perawi mudallis tersebut sedikit kasus tadlisnya, atau riwayat tadlisnya
diperinci yaitu ditolak jika meriwayatkan dari gurunya yg tertentu dan diterima
dari guru tertentu, dll. Para perawi mudallis semacam ini tidak bisa diklaim
tertolak periwayatannya begitu saja dengan kaidah global seperti pendapat
Profesor di atas.
Ditambah
lagi dengan fakta bahwa lafaz ungkapan (sighot) mu’an’an tidak selamanya
orisinil dari ungkapan para perawi di level atas (guru) tetapi diubah untuk
peringkasan sanad oleh murid. Hal inilah yang harus ditelusuri sebelum
menggunakan kaidah global di atas. Lihat penjelasan DR. Khalid al-Daris “Mauqif
al-Imamain al-Bukhari wa Muslim min Istirath al-Liqa wa al-Sima’.
Selanjutnya
kita lakukan uji verifikasi atas dalil atau argumen Profesor…
Profesor berkata: ”Mari kita menguji teori ini secara praktis dalam literatur
hadis dengan mengambil contoh kasus Abu Zubayr. Abu Zubayr, seorang Tabiin yang
di klaim oleh mayoritas kritikus hadis sebagai mudallis. Dengan berpedoman pada
teori tersebut di atas maka semua hadis yang diriwayatkannya secara tidak
langsung (misalnya dengan menggunakan kata-kata ’an dan sejenisnya) tidak bisa
dijadikan hujja (dalil yang kuat), kecuali kalau ada hadis lain yang
menguatkannya. Dalam kitab-kitab hadis, kutub al-sitta, misalnya, ditemukan
ratusan hadis yang diriwatkan oleh Abu Zubayr, dimana dia tidak menjelaskan
cara penerimaannya apakah lansung dari informannya atau tidak. Dalam kutub
al-sitta, Abu al-Zubayr meriwayatkan 360 hadis dari Sahabat Jabir b. Abdullah
saja, belum termasuk hadis yang diriwayatkan Abu al-Zubayr dari Sahabat lain.
Jumlah tersebut akan bertambah lagi apabila diteliti riwayat Abu al-Zubayr
dalam kitab kitab hadis yang lain. Dari 360 hadis tersebut, Muslim merekam 194,
Abu Dawud 83, Tirmizi 52, Nasai 141 dan Ibn Maja 78 hadis. Sebenarnya, jalur
Abu Zubayr – Jabir dalam kutub al-sitta sebanyak 548, tapi beberapa diantaranya
hadis hadis yang berulang. Dari 194 hadis riwayat Abu al-Zubayr yang terdapat
dalam Sahih Muslim, 125 diantaranya Abu Zubayr menggunakan kata-kata ‘an dan
sejenisnya, hanya 69 hadis dimana ia menggunakan kata kata haddathana dan
sejenisnya. Menurut teori ulumul hadis, riwayat seperti ini tidak bisa di
jadikan hujja. Kalau demikian halnya maka menurut ulumul hadis, kita harus
menolak ratusan hadis yang terdapat dalam kitab hadis termasuk dalam sahih
Buhari dan Muslim.”
Pendapat
di atas dapat dikritisi sebagai berikut:
Untuk
diketahui, Abu Zubayr yang dimaksud oleh Profesor di atas adalah Muhammad bin
Muslim bin Tadrus al-Qurashy al-Asady atau lebih dikenal dengan Abu al-Zubayr
al-Makky. Seorang tabi’in yang wafat tahun 126 H. Beliau seorang perawi yang
tsiqoh, namun dinilai melakukan tadlis.
Menurut Profesor: ” Abu Zubayr, seorang Tabiin yang di klaim oleh mayoritas
kritikus hadis sebagai mudallis. Dengan berpedoman pada teori tersebut di atas
maka semua hadis yang diriwayatkannya secara tidak langsung (misalnya dengan
menggunakan kata-kata ’an dan sejenisnya) tidak bisa dijadikan hujja (dalil
yang kuat), kecuali kalau ada hadis lain yang menguatkannya”. Pendapat tersebut
perlu diberi catatan dalam konteks Kitab Sahih Muslim:
(1) Dari 194 hadis riwayat Abu al-Zubayr yang terdapat dalam Sahih
Muslim—menurut perhitungan profesor—tetapi menurut penelusuran kami jumlahnya
lebih dari 200 hadis (melalui Maktabah Syamilah tanpa verifikasi sebanyak 214
hadis)—terdapat 66 hadis dengan ungkapan murid perawi Abu al-Zubair tentang Abu
al-Zubair “Annahu Sami’a Jabir”. Dan 2 hadis dengan ungkapan Abu al-Zubair
sendiri “Haddatsana Jabir”. Serta satu hadis dengan lafaz “Haddatsahu annahu
ra’a Jabir”. Dengan demikian, status validitas (kesahihan) hadis tersebut tidak
terpengaruh dengan klaim status tadlis Abu al-Zubair.
(2)
Imam Al-Dzahaby sendiri dalam Kitab “al-Muqidzah” menetapkan riwayat Abu
al-Zubair ‘an Jabir dari jalur al-Laits dan Zuhair termasuk dalam maratib
(peringkat) jalur sanad tersahih. Demikian pula penelitian DR. Hamzah
al-Malibary dalam Kitab “Al-Muwazanah fi Tashih al-Ahadits wa Ta’liliha”
menegaskan mu’an’an jalur tersebut bernilai ittishol (sanadnya bersambung). Di
dalam Sahih Muslim terdapat 59 hadis Abu al-Zubair dengan jalur sanad tersebut.
(3)
Sebenarnya ada 11 argumen untuk membantah orang-orang yang mendho’ifkan hadis
Abu al-Zubair dengan alasan “tadlis”-nya. Hal ini dapat dikaji dalam Kitab Dr.
Al-Auny “al-Mursal al-Khofy wa ‘Alaqatuhu bi al-Tadlis” di Juz 1 dan Kitab
karya DR. Khalid al-Daris “Mauqif al-Imamain al-Bukhari wa Muslim min Istirath
al-Luqoya wa al-Sima’hal. 338-145 dan “Al-Idah wa al-Tabyin bi Anna Aba
al-Zubair Laisa min al-Mudallisiin”. Pembahasan lain terkait status Abu
al-Zubair ini dapat dikaji dalam tulisan DR. Salih bin Ahmad Rida dalam
Kitabnya “Sahifah Abu Al-Zubair al-Makky ‘An Jabir bin Abdillah al-Anshary
radiyallahu ‘anhuma” dan Abu al-Mundzir Muhammad Ibn ‘Abdul Latif al-Minyawy
dalam Kitab “Syarh al-Muqizah li al-Dzahaby”. Bahkan Al-Minyawi membuktikan
status ketsiqohan level mudallis-nya Abu al-Mudzir lebih unggul daripada
beberapa perawi level 2 bahkan 1 dalam kategori al-Hafiz Ibnu Hajar.
(4) Hal
yang seharusnya diklarifikasi dulu oleh Profesor sebelum menggunakan kadiah
global di atas adalah apakah jika di dalam suatu jalur sanad disebutkan “Abu
al-Zubayr ‘an Jabir” adalah benar-benar orisinil merupakan ungkapan yang
bersumber dari Abu Jubair sendiri? Sehingga nisbat kepada gurunya diragukan
karena status tadlisnya. Faktanya ternyata, tidak semua sighot tahammul wal ada
“mu’an’an” itu bersumber dari perawi itu sendiri tetapi dari perawi di bawahnya
sebagaimana hasil penelitian DR. Khalid al-Daris dalam “Mauqif al-Imamain
al-Bukhari wa Muslim…”. Hal ini dapat dikonfirmasi dalam Sahih Muslim sendiri.
Misalnya pada hadis nomor 93, 1063, 1552 dan 1554. Imam Muslim membandingkan
data perubahan ungkapan tahammul itu pada jalur yang berbeda untuk hadis yang
sama.
Dengan
demikian, kesimpulan Profesor bahwa “Menurut teori ulumul hadis, riwayat
seperti ini tidak bisa di jadikan hujja. Kalau demikian halnya maka menurut
ulumul hadis, kita harus menolak ratusan hadis yang terdapat dalam kitab hadis
termasuk dalam sahih Buhari dan Muslim.” adalah kesimpulan yang PREMATUR…
Prof.
Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, M.A menyatakan argumentasi berikutnya: ”Kasus
yang sama juga terjadi pada perawi Hasan al-Basri. Oleh mayoritas kritikus
hadis, Hasan al-Basri dianggap sebagai mudallis. Meskipun ada juga yang
memujinya sebagai faqih dan murua, tapi ia tetap diklaim telah melakukan
tadlis. Terlepas dari apa yang disampaikan oleh para kritikus hadis tentang
tokoh ini, kemunculannya sebagai perawi hadis yang begitu sering dalam kitab
hadis menjadikannya sebagai tokoh yang terlalu penting untuk diabaikan. Dalam
kutub al-sitta saja Hasan al-Basri meriwayatkan tidak kurang dari 281 hadis. 43
hadis diantaranya terdapat dalam Sahih Bukari dan Muslim (the most highly
appreciated hadith collections). 31 hadis terdapat dalam Sahih al-Bukhari dan
12 terdapat dalam Sahih Muslim. Dari 31 hadis yang terdapat dalam Sahih
al-Bukhari, hanya delapan kali Hasan al-Basari mengatakan haddathana dan sejenisnya,
yang oleh para kritikus hadis dianggap mendengarnya secara langsung dari
informantnya. Dalam 17 hadis, Hasan al-Basri ber ’an’ana, yang oleh
para kritikus hadis dianggap tidak menerimanya secara langsung. Selebihnya,
hadis Hasan al-Basri dalam Sahih al-Bukhari adalah mursal. Dalam Sahih Muslim
hanya dua kali Hasan al-Basri mengatakan haddathana dari 12 hadis yang
diriwayatkannya. Kesimpulan apa yang dapat ditarik dari data data ini? Dengan
menerapkan teori ulumul hadis pada kasus Hasan al-Basri, maka 17 hadis dalam
al-Bukhari dan delapan hadis dalam Sahih Muslim harus ditolak, atau paling
tidak kehujjahannya harus di ”gantung” sampai ada hadis lain yang thiqa yang
dapat menguatkannya.
Pendapat
Profesor di atas hampir sama dengan pendapat DR. Muhibbin, MA dalam
Disertasinya yang mengklaim bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh al-Hasan
dari Abi Bakrah ra adalah hadis yang tidak memenuhi syarat ketersambungan sanad
(ittishol sanad) karena tadlis. Oleh karena itu, saya kutipkan dari pembahasan
tentang status riwayat Al-Hasan Al-Basri ini dari pembahasan skripsi saya
“Isykaliyah Hawla Ahadith al-Bukhari wa Syart Sahihi..” sbb:
Menurut
DR. Muhibbin, hadis-hadis tersebut tidak muttashil karena terputusnya sanad
pada al-Hasan dari Abu Bakrah ra. Al-Hasan (w. 110 H) tidak pernah meriwayatkan
langsung hadis dari Abu Bakrah (w. 51 H), tetapi melalui perantara perawi lain
(al-wasithoh) yaitu al-Ahnaf bin Qais (w. 67 H). DR. Muhibbin merujuk kepada
pendapat ad-Daruquthni (w. 385 H) yang membuktikan “illat” di atas dalam
kitabnya Al-Ilzamat wa al-tatabu’. Sebenarnya Ibnu Hajar al-Asqolani telah
menjelaskan permasalahan ini dalam Kitab Hadyu as-Sary, akan tetapi DR.
Muhibbin tidak sepakat dan berkomentar bahwa Ibnu Hajar hanya bersandar kepada
indikasi dalam al-Jami’ al-Sahih menyatakan al-Hasan mendengar dari Abu Bakrah
sementara al-Bukhari sangat ketat dalam masalah (iitishol sanad) itu.
Menurutnya, pendapat Ibnu Hajar ini tidak dapat mengalahkan argumentasi bahwa
al-Hasan tidak mendengar langsung dari Abu bakrah.
Jika
klaim DR. Muhibbin tentang keterputusan sanad antara Al-Hasan ‘an Abi Bakrah
ini benar, maka hal tersebut cukup signifikan mengingat dalam Kitab Shohih
al-Bukhari terdapat dua belas (12) hadis yang diriwayatkan oleh al-Hasan dari
Abu Bakrah ra.
Data pribadi Al-Hasan al-Bashri
Al-Hasan
bin Abu al-Hasan al-Bashri, seorang tabi’in yang faqih dan tokoh yang masyhur
dengan keutamaannya. Beliau wafat tahun 110 H ketika berumur hampir 90 tahun.
Menurut data memang al-Hasan sering meng-irsal-kan dan melakukan tadlis hadis.
Adapun Abu Bakrah ats-Tsaqofy, seorang shahabat Nabi SAW. Nama aslinya Nufai’
ibnu al-Harits. Wafat tahun 52 H di Basrah, saat kekhalifahan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan. Meriwayatkan hadis dari Rasulullah SAW dan orang yang meriwayatkan
hadis darinya antara lain anak-anaknya Abdurrahman (w. 96 H), Abdul Aziz,
Abdullah, termasuk Al-hasan al-Bashri (w.110 H), Al-Ahnaf bin Qois (w. 67 H
atau 72 H di Kufah), Muhammad bin Sirin (w. 110 H).
Adz-Dzahaby
dalam menerangkan biografi al-Hasan menyatakan bahwa al-Hasan melakukan irsal
dari beberapa orang sahabat seperti Ali bin Abi Tholib (w. 40 H), Ummu Salamah.
Al-hasan tidak mendengar langung (sima’) dari Abdullah bin Umar (w.73 atau 74
H), Abu Musa al-Asy’ary (w.50 H), Ibnu Abbas (w. 67 H), Abu Hurairah (w. 57 H),
dll.
Dari
data di atas, dapat disimpulkan bahwa dari aspek mu’asharah antara al-Hasan
dengan para shahabat telah terpenuhi. Karena al-Hasan yang lahir tahun 21 H.
sementara Abi Bakrah ra wafat tahun 51 H, sehingga ada rentang waktu 30 tahun
kesempatan bertemu (mu’asharah zamaniyah). Demikian pula mereka pernah bersama
di satu wilayah yaitu di Kota Basrah dengan Abi Bakrah (mu’asharah makaniyah).
Argumentasi
Penetapan sima’-nya al-Hasan dari Abi Bakrah ra & Verifikasi Status
Tadlisnya
Dalam
hadis al-Bukhari nomor. 3463 Kitab al-Manaqib bab Manaqib al-Hasan wal Husain
Ra. Riwayat Shodaqoh (bin Al-Fadl) dari (Sufyan) Ibn Uyainah dari Abu Musa dari
al-Hasan yang menyatakan “Sami’a Aba Bakrah”. Berikut teksnya :
فَقَالَ الْحَسَنُ
وَلَقَدْ سَمِعْتُ
أَبَا بَكْرَةَ
يَقُولُ رَأَيْتُ
رَسُولَ اللَّهِ
– صلى الله
عليه وسلم
– عَلَى الْمِنْبَرِ
وَالْحَسَنُ بْنُ
عَلِىٍّ إِلَى
جَنْبِهِ ……. . قَالَ
لِى عَلِىُّ
بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ إِنَّمَا
ثَبَتَ لَنَا
سَمَاعُ الْحَسَنِ
مِنْ أَبِى
بَكْرَةَ بِهَذَا
الْحَدِيثِ .
Dan berkata Al Hasan; Sungguh saya
mendengar Abu Bakrah berkata; Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di
atas mimbar bersabda, ketika itu Al Hasan ada disamping beliau. Sesekali beliau
melihat ke arah orang banyak dan sesekali melihat kepadanya: “Sesungguhnya
anakku ini adalah sayyid (pemimpin) dan dengan perantaraannya Allah akan
mendamaikan dua kelompok besar kaum Muslimin “. Ali bin Abdillah berkata
kepadaku: “Sesungguhnya kepastian mendengar (sima’)nya al-Hasan dari Abu Bakrah
dengan (keterangan) hadis ini.” (Al-Bukhari. Al-Jami’ As-Shohih. Kitab As-Sulhu
Bab Qaul an-Nabi SAW li al-Hasan bin ‘Ali ra (ibniy hadza sayyidun), no.
2704.)
Ali bin
Abdillah yang dimaksud oleh al-Bukhari adalah Guru beliau, Ali bin Abdullah
Ibnu Al-Madini (w. 234 H). Ali ibn Al-Madiny adalah seorang ulama yang diakui
kredibilitas dan kapasitas keilmuan dan kepakarannya dalam ilmu hadis,
khususnya dalam masalah ‘ilalhadis. Ahmad bin Hanbal berkata :
Orang yang paling mengetahui masalah ‘ilal di antara kami (para muhaditsin)
adalah Ali bin Al-Madini. Al-Bukhari sendiri berkomentar tentang gurunya
tersebut: “saya tidak merasa yunior dihadapan siapapun dalam ilmu hadis kecuali
di hadapan Ali bin Al-Madini. Abu Hatim Ar-Rozy berkata : “Beliau adalah panji
(yang dipedomani) manusia dalam ilmu hadis dan ‘ilal-nya. Syaikh Muqbil bin
Hadi al-Wad’y mengomentari Ali al-Madiny adalah puncak ketinggian ilmu ‘ilal
hadis an-nabawy ditambah lagi keilmuannya yang luas tentang ilmu naqd ar-rijal,
hafalan hadis yang banyak dan kedalaman pengetahuan tentang ilmu hadis. Pernah
bertemu bertemu Hammad bin Zaid dan (berguru) kepada Yahya bin Sa’id
al-Qoththon. Menulis banyak karya tulis, bahkan dikatakan mencapai sekitar dua
ratus tulisan.
Penegasan
Ibnu al-Madini ini untuk mengklarifikasi status periwayatan al-hasan dari Abi
Bakrah ra yang diklaim banyak melakukan irsal dari orang yang belum pernah
ditemuinya dengan shighot (ungkapan) yang menyebabkan orang menduga riwayat
al-Hasan dari Abi Bakrah adalah mursal. Dengan adanya riwayat yang secara tegas
dan jelas menyebutkan pengakuan sima’-nya al-Hasan dari Abi Bakrah, maka
kepastian status sima’nya itu valid.
Di
antara argumen yang kontra sima’ al-Hasan dari Abi Bakrah adalah dugaan tentang
sedikitnya kesempatan al-Hasan untuk bertemu para sahabat Nabi dan melakukan
aktivitas periwayatan hadis dari mereka, mengingat seringnya al-Hasan al-Basri
pergi berjihad dan kesibukannya menjadi sekretaris Amir Khurasan, Ar-rabi’ ibnu
zayyad serta menjadi mufti Kota Basrah menggantikan Jabir bin Zaid Abu
asy-Sya’tsa’.
Syarif
Hatim al-Auny dalam penelitiannya terhadap riwayat-riwayat al-Hasan yang
kemudian dibukukan dalam Kitab “al-Mursal al-Khafy” mengoreksi pendapat
tersebut. Al-Auny menyatakan jika sebab adanya tadlis adalah karena jihadnya
al-Hasan, maka justru jihadnya al-Hasan tidaklah totalitas menjauhkannya dari
aktivitas keilmuan. Bahkan sebaliknya, dengan aktivtas jihadnya itulah al-Hasan
bisa bertemu dengan banyak sekali sahabat Nabi SAW yang merupakan pintu
mendapatkan riwayat hadis. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari al-Haitsam bin ‘Ubaid
dari bapaknya dari al-Hasan bahwa ada seseorang yang berkata kepada al-Hasan;
“Engkau menympaikan hadis kepada kami dengan mengatakan “Nabi SAW bersabda”,
alangkah baiknya jika engkau menyebutkan sanadnya kepada kami. Al-Hasan
menjawab: “Demi Allah, kami tidak berdusta kepadamu dan kami tidak dibohongi
(oleh yang meriwayatkan kepada kami), sungguh aku telah ikut dalam peperangan
(jihad) di daerh Khurasan dan di tengah-tengah kami ada 300 orang sahabat Nabi
SAW.”
Bahkan dalam penelitian Umar Im’an Abu Bakar dalam “At-Ta’sis fi Fanni Dirasat
al-Asanid” menyebutkan riwayat dari al-Hasan yang menjelaskan manhajnya dalam
Irsal yaitu jika al-Hasan mendapatkan riwayat suatu hadis dari empat orang
sahabat maka dia meninggalkan penyebutan nama-nama shahabat dan sanadnya
langsung disandarkan kepada Rasulullah SAW.
Yahya bin Sa’id al-Qothon ketika menjelaskan tentang hadis-hadis Samrah yang
diriwayatkan oleh al-Hasan berkata : al-Hasan adalah seorang ulama yang
terkumpul kebaikan dalam dirinya, seorang yang alim, tinggi kedudukannya,
dihormati, seorang perawi yang tsiqot ma’mun, ahli ibadah, luas ilmunya, fasih
lisannya, bagus penampilannya. Hadis-hadis yang disebutkan sanadnya oleh
al-Hasan dari orang yang pernah dia dengar adalah hadis yang menjadi hujjah.
Bahkan ketika al-Hasan datang ke Kota Makkah dan diminta menyampaikan
hadis-hadisnya, banyak orang berkumpul termasuk tokoh-tokoh tabi’in seperti
Mujahid,’Atha bin Abi Rabbah, Thawus bin Kisan al-Yamani, Amr bin Syua’ib, dll.
Sebagian dari mereka berkomentar: “Kami belum pernah melihat orang yang
keilmuannya seperti dia”.
Dari
informasi Yahya bin Sa’id al-Qothon di atas, DR. Syarif Hatim al-Auny
berkesimpulan bahwa hal ini jelas bahwa riwayat al-Hasan dari siapa saja yang
kita ketahui bahwa al-Hasan pernah mendegar langsung (sima’) darinya adalah
riwayat yang shohih dan menjadi hujjah dan tidak mesti bahwa setiap hadisnya
diungkapkan dengan ungkapan sima’.
Dalam Kitab Tahrir Ulumil Hadis, DR. Abdulah bin Yusuf al-Judai’ berkesimpulan
bahwa pendapat ad-Daruquhny adalah pendapat yang lemah (marjuh) karena
tsubut-nya riwayat dari al-Hasan yang secara jelas (Shorihah) menyebutkan
sima’nya dari Abi Bakrah.
Adapun klaim DR. Muhibbin bahwa pendapat ittishol sanad al-Hasan dari Abi
Bakrah itu adalah subjektivitas al-Bukhari sendiri, maka hal ini sangat tidak
tepat, sebab para imam al-Jarh wa ta’dil seperti Ali a-Madiny yang juga guru
al-Bukhari, Yahya bin Sa’id al-Qothan, dll sepakat dengan al-Bukhari. Bahkan
bukan hanya al-Bukhari yang mencantumkan hadis al-Hasan dari Abi Bakrah tapi
juga Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, Al-Baihaqy, Ibnu
Hibban, dll.
Dengan
data-data di atas dapat disimpulkan :
(1) DR.
Muhibbin hanya bersandar pada pendapat ad-Daruquthny dan tidak berusaha untuk
mengumpulkan data-data tentang riwayat al-Hasan dari Abi Bakrah dan melakukan
tarjih atas perbedaan pendapat para ulama. Ad-Daruquthny sendiri sebenarnya
tidak eksplisit menyatakan riwayat al-Hasan dari Abi Bakrah sebagai hadis
dho’if.
(2) Riwayat al-Hasan dari Abi Bakrah bukanlah hadis yang munqothi’. Riwayat
tersebut memenuhi syarat al-Bukhari dari aspek Ittishol sanad yaitu Mu’asharoh
dan tsubut al-Liqo’. Dengan demikian, hadis al-Hasan dari Abi Bakrah adalah
hadis yang shohih dan tidak dho’if sebagaimana penilaian DR. Muhibbin.
(3) Penilaian ittishol sanad riwayat al-Hasan dari Abi Bakrah bukanlah
penilaian subjektif al-Bukhari karena cukup banyak ulama al-Jarh wa at-Ta’dil
yang memberi penilaian positif dalam aspek ittishol sanadnya seperti Ali
Al-Madiny, Yahya bin Sa’id al-Qoththon, dll. Demikian pula, cukup banyak ahli
hadis yang mengakui riwayat tersebut dan mencantumkannya dalam kitab-kitab
hadis mereka seperti Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’I, Ahmad, dll. Apalagi
Imam al-Bukhari sendiri telah mengajukan karyanya al-Ja>mi’ al-S{ah{i>h}
kepada para pakar hadis pada masanya yaitu Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in,
Ali bin Al-Madiny, dll kemudian diuji dan diakui kesahihannya oleh mereka.
(4) Adanya beberapa riwayat al-Hasan dari Abi Bakrah melalui al-Ahnaf bin Qois
tidak bertentangan dan menafikan validitas riwayat langsung al-Hasan dari Abi
Bakrah, karena hal tersebut menunjukkan keragaman sumber periwayatan (تنوع
مصادر الرواية).
Al-Hasan meriwayatkan hadis dari al-Ahnaf bin Qois dan juga al-Hasan
meriwayatkan langsung dari Abi Bakrah
ra. Hal ini didukung oleh bukti-bukti kuat adanya hubungan guru-murid
(periwayatan) antara al-Hasan dengan mereka.
Wallahu
A’lam bis showab
[1]UIN
Online, “Western
Methods Of Dating Vis-à-vis Ulumul Hadis”, dalam http://www.uin-alauddin.ac.id/uin-982-.html (29
Desember 2014)
[2]Amin Kamaruddin, ”Problematika Ulumul Hadis
Sebuah Upaya Pencarian Metodologi Alternatif”, dalam://www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah%20Komaruddin.doc.
(27 Desember 2014), 4