Kaffah
Dalam Beragama
"Hai orang-orang yang
beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turuti
langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata
bagimu." (QS. Al Baqarah: 208)
By Muhammad Nur Ichwan Muslim,
ST.
Islam adalah agama yang sempurna
dan menyeluruh. Islam juga merupakan manhaj (metode) rabbani laksana buhul
(tali) yang kuat dan tidak akan putus kecuali apabila ajarannya dilaksanakan
layaknya metode kalangan Ahli Kitab, yaitu dengan mengimani sebagian ajaran dan
mengufuri sebagian yang lain.
Pemilahan ajaran agama menjadi
inti dan kulit, atau menjadi ushul (pokok) dan furu’ (cabang) merupakan salah
satu ekses dari sikap mengimani sebagian ajaran Islam dan mengufuri sebagian
ajaran yang lain. Maka, terkadang kita dapat melihat fenomena memprihatinkan
dari kaum muslimin yang meremehkan syari’at Islam dengan dalih hal itu bukanlah
inti ajaran Islam, atau itu hanyalah masalah furu’. Demikian pula, sebagian
kalangan memandang sinis para juru dakwah yang berusaha menyeru umat untuk
menerapkan Islam dari segala sisinya, karena beranggapan apa yang diserukan
tersebut hanyalah perkara kulit.
Pemilahan yang telah menjadi
akidah (keyakinan) sebagian kalangan Islam ini tidak selaras dengan ajaran
Islam. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hal berikut :
Pertama: Al-Quran secara tegas
menyeru orang-orang beriman untuk melaksanakan ajaran Islam secara menyeluruh,
tanpa membeda-bedakan ajaran yang satu dengan ajaran yang lain. Allah ta’ala
berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا
تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu
ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah: 208)
Imam Ibnu Katsir
rahimahullah mengatakan, “Allah ta’ala berfirman menyeru para hamba-Nya yang
beriman kepada-Nya serta membenarkan rasul-Nya untuk mengambil seluruh ajaran
dan syari’at; melaksanakan seluruh perintah dan meninggalkan seluruh larangan
sesuai kemampuan mereka.” (Tafsir Ibn Katsir 1/335).
Kita perhatikan ayat
ini, setelah Allah ta’ala mengajak para hamba-Nya yang beriman untuk masuk ke
dalam Islam secara keseluruhan dan melaksanakan ajaran-Nya tanpa
mengesampingkan ajaran yang lain, maka Allah ta’ala memperingatkan hamba-Nya
agar tidak mengikuti langkah syaithan, yaitu dengan firman-Nya,
وَلَا تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ
“dan janganlah kamu turuti langkah-langkah
syaitan.” (QS. Al Baqarah: 208)
Ayat ini menunjukkan
indikasi bahwa, di sana hanya terdapat dua buah pilihan, yaitu:
Pertama, masuk ke
dalam Islam secara keseluruhan dengan melaksanakan ajarannya yang komprehensif
dan paripurna, atau apabila tidak mau melaksanakan ajaran Islam secara
keseluruhan, maka yang ada hanya pilihan kedua, yaitu mengikuti langkah-langkah
syaithan dengan melakukan pembeda-bedaan ajaran Islam atau meremehkan sebagian
ajarannya.
Kedua: Berbagai
hadits nabi yang shahih (valid) tidak mendukung persepsi kalangan tersebut. Hal
ini ditunjukkan oleh beberapa jenis hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berikut:
Hadits-hadits nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan keterkaitan sebagian ajaran Islam
–yang dianggap perkara furu’ oleh kalangan tersebut- dengan balasan yang sangat
besar dari Allah.
Dari Abu Hurairah
radliallahu ‘anhu, dia mengatakan bahwasanya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إذا قال الإمام {
غير المغضوب عليهم ولا الضالين } . فقولوا آمين فإنه من وافق قوله قول الملائكة
غفر له ما تقدم من ذنبه
“Apabila imam membaca { غير المغضوب عليهم ولا الضالين }
, maka ucapkanlah, “Amin”, karena
seorang yang ucapan “”Amin”nya sesuai dengan ucapan para malaikat, maka
dosa-dosanya yang terdahulu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 749).
Hadits-hadits nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memasukkan sebagian ajaran Islam –yang dianggap
perkara furu’ oleh kalangan tersebut- sebagai bagian dari kemuliaan dan menjadi
penopang agar agama ini bisa tetap tegak di muka bumi.
Dari Abu Hurairah
radliallahu ‘anhu, bahwasanya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لايزال الدين ظاهرا
ما عجل الناس الفطر لأن اليهود والنصارى يؤخرون
“Agama ini akan senantiasa tegak selama kaum
muslimin menyegerakan berbuka, karena kaum Yahudi dan Nasrani mengakhirkan
berbuka puasa.” (Hasan. HR. Abu Dawud no. 2353).
Ketiga: Berbagai
fatwa para ulama terdahulu dan kontemporer telah menjelaskan kebatilan
pemilahan dan pengkotak-kotakan yang direkayasa ini.
‘Izz ad-Din Ibnu Abd as-Salam rahimahullah
mengatakan, “Tidak boleh mengatakan salah satu bagian syari’at ini sebagai
qusyur (kulit), karena di dalamnya terkandung berbagai manfaat dan kebaikan.
Bagaimana mungkin perintah untuk melaksanakan ketaatan dan perkara keimanan
dikatakan sebagai kulit?! Dan ilmu yang disebut sebagai ilmu hakikat dianggap
sebagai bagian dari ajaran syari’at. Tidak ada yang menggunakan berbagai
istilah ini kecuali seorang yang celaka dan tidak tahu tata krama.
Jika dikatakan kepada
salah seorang di antara mereka, “Sesungguhnya pendapat ustadz kamu itu hanyalah
kulit (karena tidak sejalan dengan syari’at), maka dia akan mengingkari dengan
teramat sangat, dan justru berbalik menyematkan label “kulit” tadi pada ajaran
syari’at!
Padahal syari’at ini
tidak lain adalah ajaran yang bersumber dari al-Quran dan sunnah rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka (orang ini pantas) diberi hukuman ta’zir
yang setimpal dengan perbuatan dosanya ini.” (al-Fatawa hal. 71-72).
Pemaparan di atas
menyatakan dengan jelas bahwa kita wajib untuk melaksanakan ajaran syari’at ini
secara keseluruhan, tanpa memilah-milahnya. Ajaran agama ini telah mencakup
kehidupan individu dan sosial, serta tidak meninggalkan perkara yang kecil
maupu yang besar, melainkan telah diterangkan dalam agama kita.
Koreksi terhadap
Kaidah Toleransi!
Beberapa tokoh Islam
kontemporer menetapkan suatu kaidah yang merupakan turunan (derivat), atau kita
katakan kaidah tersebut merupakan implementasi dari pemilahan ajaran agama
menjadi inti dan kulit.
Kaidah tersebut
merupakan kaidah yang terkenal dengan Kaidah Emas (القاعدة الذهبية) atau Kaidah Toleransi yang berbunyi,
نتعاون فيما اتفقنا
عليه, و يعذر بعضنا بعضا فيما اختلفنا فيه
“Kita saling bekerjasama dalam perkara yang
kita sepakati dan saling toleran dalam permasalahan yang kita perselisihkan.”
Jika kaidah ini
diterapkan, maka ajaran Islam akan terlepas satu per satu. Hal ini dapat
dijelaskan dengan berbagai alasan berikut:
Sesungguhnya
perselisihan akan terjadi, bahkan dalam perkara-perkara fundamen dalam agama
ini seperti akidah. Oleh karena itu, umat ini terpecah-pecah ke dalam beberapa
jama’ah dan kelompok. Maka seorang yang memberikan toleransi terhadap
perselisihan ini, maka dirinya telah melegalkan perkara yang diharamkan,
dicela, dan diperingatkan oleh Allah! Bahkan hal ini merupakan salah satu
bentuk pemikiran kelompok Murji’ah. Wal ‘iyadzu billah.
Kaidah ini adalah
rekayasa manusia yang tidak selaras dengan kitabullah, tidakpula dengan sunnah
nabi-Nya, dan juga tidak pernah didengung-dengungkan oleh generasi terbaik umat
ini, yaitu para sahabat dan ulama yang mengikuti mereka dengan baik. Bahkan
metode beragama mereka berseberangan dengan kaidah ini.
Jika kita menerapkan
kaidah ini, maka pintu keburukan akan terbuka lebar-lebar. Karena
konsekuensinya, kita toleran terhadap para da’i yang menyuarakan akidah Wahdat
al-Wujud; kita harus toleran terhadap tindakan-tindakan kalangan yang
terpengaruhi pemikiran Khawarij dan takfir (pengkafiran secara serampangan);
begitupula kita harus berlapang dada dengan fenomena nikah Mut’ah (kawin
kontrak); atau fenomena-fenomena kesyirikan seperti thawaf di kuburan orang
shalih, bertawassul dengan para wali, menta’thil (meniadakan) sifat-sifat bagi
Allah (seperti mengatakan bahwa Allah tidak memiliki pendengaran, tidak pula
penglihatan).
Buah yang diharapkan
oleh pencetus kaidah ini justru berkebalikan dengan realita yang timbul tatkala
kaidah ini diterapkan. Sang pencetus berharap kaidah ini mampu meminimalisir
perselisihan antara kaum muslimin, namun realita membuktikan bahwa kaidah ini
justru merupakan faktor yang memicu bertambahnya perpecahan, perselisihan, dan
terkotak-kotaknya umat ke dalam beberapa aliran keagamaan.
Segala puji bagi
Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya dan umat beliau
yang berjalan di atas sunnah beliau. [1]
Kamis sore, Cibeber, 27 Shofar
1431 Hm bertepatan dengan tanggal 11 Februari 2010.
Penulis: Muhammad Nur
Ikhwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id
[1] Artikel ini merupakan hasil terjemahan
disertai beberapa peringkasan dari artikel Syaikh Salim al-Hilaly, “Khudzu
al-Islama Jumlatan” yang tercetak ke dalam buku beliau al-Maqalat as-Salafiyah
hal 7-12.
Islam kaffah maknanya adalah : Islam secara
menyeluruh, yang Allah ‘Azza wa Jalla perintahkan dalam Al-Qur`an surat
Al-Baqarah ayat 208. Perintah kepada kaum mu`minin seluruhnya. Allah ‘Azza wa
Jalla berfirman :
أَفَتُؤْمِنُونَ
بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ
مِنْكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ
يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
(85) [البقرة/85
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam secara kaffah
(menyeluruh), dan janganlah kalian mengikuti jejak-jejak syaithan karena
sesungguhnya syaithan adalah musuh besar bagi kalian.” [Al-Baqarah : 208]
Memeluk dan mengamalkan Islam secara kaffah adalah perintah Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang harus dilaksanakan oleh setiap mukmin, siapapun dia, di manapun
dia, apapun profesinya, di mana pun dia tinggal, di zaman kapan pun dia hidup,
baik dalam sekup besar ataupun kecil, baik pribadi atau pun masyarakat, semua
masuk dalam perintah ini : “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian
kepada Islam secara kaffah (menyeluruh)
Pada ayat yang sama, kita dilarang mengikuti jejak langkah syaithan, karena
sikap mengikuti jejak-jejak syaithan bertolak belakang dengan Islam yang
kaffah. Sementara pada ayat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga
menyebutkan tentang kebiasaan kaum Yahudi (Ahlul Kitab). Yaitu ketika Allah
turunkan kepada mereka Kitab-Nya, Allah mengutus kepada mereka Rasul-Nya,
mereka tidak mau mengimani, menjalankan, dan mengamalkan syari’at yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala turunkan secara kaffah. Ini adalah akhlak Yahudi. Allah
Subhanahu wa Ta’ala menyatakan tentang mereka :
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (85) [البقرة/85]
“Apakah kalian ini mau beriman kepada sebagian Al Kitab(Taurot) sementara
kalian tidak mau beriman, tidak mau mengamalkan dengan syari’at yang
lainnya,tidaklah balasan bagi orang-orang yang berbuat seperti ini diantara
kalian,kecuali kehinaan di dunia. Dan pada Hari Kiamat nanti mereka akan
dikembalikan ke sekeras-keras adzab. Tidaklah Allah sekali-kali lalai dari apa
yang kalian lakukan.” (Al-Baqarah : 85)
Ayat yang kedua ini sebagai peringatan :
Bahwa kita dilarang meniru akhlak dan cara kaum Yahudi dalam beragama. Yaitu
mereka mau menerima syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Allah turunkan
dalam kitab Taurat atau disampaikan Rasul-Nya pada waktu itu jika syari’at
tersebut tidak bertentangan dengan hawa nafsu mereka. Namun jika syari’at
tersebut menurut pandangan mereka jika diterapkan dapat menghalangi kepentingan
duniawi, kepentingan hawa nafsu dan syahwat mereka, atau tidak bisa diterima
oleh akal logika mereka yang sempit, maka mereka tidak mau beriman dan
mengamalkan syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut. Barangsiapa yang
berbuat seperti itu, maka sungguh balasannya adalah kehinaan didunia dan adzab
di akhirat nanti lebih keras lagi. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan lalai
terhadap apa yang kita lakukan ini.
Sumber:http://kajiansalafyui.wordpress.com
Sumber:http://kajiansalafyui.wordpress.com
Berislam
Secara Kaffah
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (208) فَإِنْ زَلَلْتُمْ
مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْكُمُ الْبَيِّنَاتُ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ
حَكِيمٌ (209)
“Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya,
dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh
yang nyata bagimu. Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) sesudah
datang kepadamu bukti-bukti kebenaran, maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Baqarah [2]: 208-209)
Di bawah
bayangan dua lukisan yang menggambarkan contoh kemunafikan yang jahat dan
contoh iman yang bersih, ayat-ayat berikut memanggil kaum muslimin dengan sifat
iman, karakter khas mereka, supaya masuk ke dalam Islam dengan keseluruhan jiwa
mereka, supaya mereka waspada dari mengikuti jejak setan, serta mengingatkan
mereka agar tidak tergelincir setelah mereka mendapat penerangan yang jelas:
“Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya,
dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh
yang nyata bagimu. Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) sesudah
datang kepadamu bukti-bukti kebenaran, maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Baqarah [2]: 208-209)
Itulah
seruan kepada orang-orang Mukmin dengan menggunakan sifat iman. Sifat yang
mereka cintai dan membedakan mereka. Sifat yang menghubungkan mereka dengan
Allah yang menyeru mereka agar seluruh entitas mereka masuk ke dalam Islam.
Maksud pertama dari seruan ini adalah supaya orang-orang Mukmin menyerahkan
seluruh jiwa raga mereka kepada Allah, serta menyerahkan segala urusan mereka
kepada Allah, baik kecil atau besar. Hendaklah mereka menyerah secara mutlak
kepada Allah, tanpa ada yang tercecer darinya, baik pikiran atan perasaan, niat
atau tindakan, cinta atau ketakutan yang tidak tunduk kepada Allah dan tidak
ridha dengan ketetapan dan keputusan-Nya. Hendaklah mereka memberikan ketaatan
dan kepatuhan kepada Allah dengan penuh keyakinan dan kerelaan. Mereka
hendaklah menyerah diri mereka kepada qudrat Ilahi yang membimbing
langkah-langkah mereka dengan keyakinan bahwa Allah ingin agar mereka mendapat
kebaikan, nasihat dan petunjuk, dan dengan keyakinan bahwa mereka sedang menuju
ke jalan dan kesudahan yang baik di dunia dan Akhirat.
Pengarahan seruan seperti ini kepada orang-orang yang beriman itu
mengisyaratkan bahwa di sana ada orang-orang yang masih ragu-ragu dalam
memberikan ketaatan dan kepatuhan yang mutlak kepada Allah, baik dalam keadaan
sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Keberadaan orang-orang yang seperti
mereka ini di dalam masyarakat Islam di samping golongan orang-orang yang penuh
yakin dan ridha itu memanglah suatu perkara yang biasa. Seruan ini ditujukan
setiap masa kepada orang-orang yang beriman supaya mereka senantiasa ikhlas
kepada Allah, dan supaya aliran pikiran dan perasaan mereka ini selaras dengan
kehendak Allah terhadap mereka dan selaras dengan pengarahan Nabi dan agama
mereka tanpa ragu dan bimbang.
Apabila
seseorang Islam menyambut seruan itu dengan sambutan yang seperti itu, maka
berarti ia memasuki sebuah alam yang seluruhnya diselubungi kedamaian dan
keamanan, sebuah alam yang seluruhnya dipenuhi keyakinan dan keyakinan,
kerelaan dan kemantapan, di mana tidak terdapat lagi kembimbangan dan
kegelisahan, dan tidak ada lagi kedurhakaan dan kesesatan. Kedamaian pada jiwa
dan hati nurani. Kedamaian pada akal dan logika. Kedamaian pada manusia dan
makhluk hidup lainnya. Kedamaian pada seluruh alam semesta dan seluruh yang
maujud. Kedamaian yang menerangi lekuk-lekuk hati nurani. Kedamaian yang
memayungi kehidupan dan masyarakat. Kedamaian di bumi dan di langit.
Kesan
pertama yang dilimpahkan oleh kedamaian ini di dalam hati ialah persepsinya
yang benar terhadap Allah sebagai Rabb-nya, juga kejelasan dan kesederhanaan
persepsi tersebut. Allah Tuhan Yang Maha Esa dan setiap Muslim hanya
bertawajjuh kepada-Nya dengan hati yang teguh dan yakin. Hatinya bulat kepada
Allah, tanpa terombang-ombang dari satu jalan ke jalan lain, tidak
dikejar-kejar oleh satu tuhan dari sini dan tuhan lain dari sana—sebagaimana
yang terjadi dalam berhalaisme dan jahiliyah. Ia hanya bertuhan kepada Allah
Yang Maha Esa, dan hanya kepada Allah ia membulatkan hatinya dengan penuh
keyakinan, ketenteraman, terang dan jelas.
Allah Maha Kuat, Maha Kuasa, Maha Perkasa dan Maha
Gagah. Setiap Muslim yang bertawajjuh kepada Allah berarti ia bertawajjuh
kepada kekuatan dan kekuasaan yang haqiqi dan tunggal di alam ada ini. Ia tidak
lagi takut kepada segala kekuatan dan kuasa lain yang palsu. Dia benar-benar
merasa tenteram dan senang hati. Ia tidak lagi takut kepada sesiapa dan kepada
sesuatu apa karena ia menyembah Allah yang Maha Kuasa, Maha Perkasa dan Maha
Gagah. Ia tidak lagi bimbang kehilangan sesuatu dan tidak mengharapkan sesuatu
pada yang lain dari Allah yang berkuasa menahan dan memberi. Allah Maha Adil
dan Maha Bijaksana.
Kekuatan dan
kudrat kuasaNya menghindarkannya dari kezaliman, hawa nafsu dan penganiayaan.
Allah tidak sama dengan tuhan-tuhan di dalam keyakinan-keyakinan paganisme dan
jahiliyah yang mempunyai berbagai keinginan dan kehendak hawa nafsu. Setiap
Muslim yang berlindung pada Allah berarti ia telah berlindung pada satu kuasa
Yang Maha Kuat, di mana ia dapat merasakan keadilan, pembelaan dan keamanan.
Allah Maha
Pengasih dan Maha Penyayang, Pemberi dan Pengurnia segala nikmat, Pengampun
dosa dan Penerima taubat. Dialah yang mengabulkan do’a orang yang berada di
dalam kesusahan, dan menghapus kesusahan itu apabila ia memohon kepadaNya.
Karena itu, setiap Muslim yang berada di bawah naungan-Nya akan merasa aman,
tenteram, selamat dan beruntung. Ia diberi rahmat apabila lemah dan diberi
keampunan apabila bertaubat.
Demikianlah
dinamika hubungan seseorang Muslim dengan sifat-sifat Allah yang telah
diajarkan oleh Islam kepadanya. Ia mendapati dalam setiap sifat Allah itu
hakikat-hakikat yang mententeramkan hatinya, menenangkan jiwanya, dan
memberinya jaminan perlindungan, rahmat, belas kasihan, kekuatan dan keteguhan,
kemantapan dan kedamaian.
Demikianlah
hati seseorang Muslim dilimpahi kedamaian yang muncul dari persepsi yang benar
tentang hubungan antara hamba dan Rabb, di antara Pencipta dan alam semesta,
dan antara alam semesta dan manusia. Allah telah menciptakan alam semesta ini
dengan haq, dan menciptakan segala makhluk di alam semesta ini dengan ukuran
dan hikmah. Manusia adalah diciptakan dengan sengaja dan tidak akan dibiarkan
sia sia. Telah disediakan untuknya setiap situasi dan kondisi di alam yang
sesuai dengan keberadaannya.
Segala
kejadian yang ada di bumi ini telah diciptakan untuk manfaat dan
kepentingannya. Ia dipandang tinggi di sisi Allah. Dialah khalifah Allah di
bumi ini dan Allah-lah yang menolongnya dalam melaksanakan tugas khilafah ini.
Alam semesta di sekelilingnya menjadi sahabat baiknya. Ruhnya berpaut dengan
ruh alam semesta apabila kedua-duanya bertawajjuh kepada Allah.
Ia diundang
untuk menyaksikan pagelaran Ilahi yang diadakan di langit dan di bumi supaya ia
menikmatinya dan bermesra dengannya dengan sepenuh mata dan hati. Ia diseru
supaya berhubungan mesra dengan segala sesuatu dan segala yang hidup di alam
semesta yang besar ini, yang penuh dengan sahabat-sahabat yang juga turut
diundang untuk menyaksikan pagelaran itu. Mereka semua ikut meramaikan
pagelaran tersebut.
Agama yang
mendorong penganutnya berdiri di hadapan tumbuh-tumbuhan yang kecil dan
menyarankan bahwa dia akan mendapat pahala apabila dia menyiram tumbuh itu
berusaha supaya subur dan menghilangkan segala sesuatu yang menghalangi
kesuburannya, adalah satu agama yang sangat indah dan mulia. Agama tersebut
mencurahkan kedamaian di dalam ruhnya dan membebaskan ruhnya untuk berpelukan
dengan alam semesta dan makhluk yang ada, dan menyebarkan suasana aman, mesra,
kasih sayang dan damai di sekeliling alam semesta.
Keyakinan
kepada hari Akhirat memainkan peran utamanya dalam melimpahkan kedamaian pada
jiwa seseorang mukmin dan alamnya, serta menghapuskan perasaan keluh kesah,
bosan dan putus asa. Sesungguhnya perhitungan final tidak dilakukan di bumi
ini, dan balasan yang sempurna juga tidak dibuat di dunia ini. Sesungguhnya
perhitungan itu akan diadakan di Akhirat, dan keadilan yang mutlak dijamin di
dalamnya.
Oleh sebab
itu, seseorang Mukmin tidak merasa menyesal terhadap usaha-usaha kebajikan dan
jihadnya demi kepentingan agama Allah meskipun usaha dan jihadnya itu tidak
membuahkan di bumi ini. Dia tidak merasa gelisah terhadap upah dan ganjaran
kerjanya meskipun upah dan ganjaran itu tidak diberi dengan sempurna di dunia
ini menurut penilaian manusia. Karena dia yakin bahwa upah dan ganjaran itu
akan diberikan kepadanya secara sempurna menurtu timbangan Allah.
Dia tidak
merasa berputus asa dari mendapat keadilan jika keberuntungan dalam perjalanan
yang singkat ini dibagikan tidak sesuai keinginannya, karena keadilan pasti
terjadi karena Allah tidak sekali-kali menzalimi hamba-hamba-Nya.
ISLAM KAFFAH (TAFSIR SURAT
AL-MAIDAH [05]: 3)
Oleh Drs. Hafidz ‘Abdurrahman, MA
الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ
فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ، الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا
Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk
(mengalahkan) agama kalian. Oleh karena itu, janganlah kalian takut kepada
mereka, tetapi takutlah kalian kepada-Ku.
Pada hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, telah
mencukupkan atas kalian nikmat-Ku, dan telah meridhai Islam menjadi agama bagi
kalian (QS al-Maidah [5]: 3).
Tafsir Ayat
Mengenai waktu dan tempat diturunkan-nya ayat ini,
al-Bukhari telah mengeluarkan hadis yang berasal dari ‘Umar bin al-Khaththab
r.a., yang menyatakan:
Ada seorang laki-laki Yahudi berkata kepada beliau
(‘Umar), “Amirul Mukminin, ayat dalam kitab Anda yang tengah Anda baca itu,
seandainya diturunkan kepada kami, orang-orang Yahudi, tentu kami akan
menjadikan hari (turunnya ayat) itu sebagai hari raya.” Beliau (‘Umar)
bertanya, “Ayat yang mana?” Laki-laki itu berkata:
}الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ
عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيـنًا{
‘Umar
berkata:
«قَدْ عَرَفْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ وَالْمَكَانَ الَّذِي
نَزَلَتْ فِيهِ عَلَى النَّبِيِّ r وَهُوَ قَائِمٌ
بِعَرَفَةَ يَوْمَ جُمُعَةٍ»
Kami benar-benar mengetahui hari dan tempat ayat itu
diturunkan kepada Nabi saw., yaitu ketika beliau berdiri (wuquf) di Arafah pada
Hari Jumat.
Sedangkan
as-Suyuthi menyatakan:
Ibn Mandah telah mengeluarkan riwayat dalam kitab
as-Shahâbah dari ‘Abdullah bin Jabalah bin Hibban bin Hajar. ‘Abdullah
menerimanya dari bapaknya, sementara bapaknya dari kakeknya, yakni Hibban yang
mengatakan:
«كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ r وَأَنَا أَوْقَدُ تَحْتَ القِدْرِ فِيْهَا لَحْمُ
الْمَيْتَةِ فَأَنْزَلَ تَحْرِيْمَ الْمَيْتَةِ فَأَكْفَأْتُ القِدْرَ»
Kami pernah bersama Nabi saw.. Saat itu saya sedang
memanaskan wadah yang berisi daging bangkai, kemudian Allah menurunkan (ayat)
yang mengharamkan bangkai (QS al-Maidah [05]: 3), lalu kami menumpahkan wadah
tersebut.
Secara
dalâlah (lafadz) bisa disimpulkan, bahwa pernyataan ‘Umar yang menyatakan:
'Arafnâ dzâlika al-yawm wa al-makân al-ladzî nazalat fîhi ‘alâ an-nabiy (kami
benar-benar mengetahui hari dan tempat ayat itu diturunkan kepada Nabi saw.),
khususnya frasa: al-ladzî nazalat fîhi
‘alâ an-nabiy, mirip dengan penyataan sahabat: nazalat hâdzihi al-âyat fî kadzâ
(ayat ini diturunkan dalam konteks ini). Dalam hal ini, menurut Ibn Taimiyah, ada perbedaan,
apakah berarti sebab atau tafsir? Termasuk musnad (hadis marfû‘) atau bukan?
Yang jelas, al-Bukhari memasukkannya sebagai musnad atau marfû‘. Pernyataan
‘Umar di atas lebih menunjukkan sebab, khususnya berkaitan dengan waktu dan
tempatnya.
Sedangkan
riwayat yang kedua, secara dalâlah menunjukkan, bahwa riwayat tersebut memang
merupakan sebab turunnya ayat ini. Sebab, di sana dinyatakan dengan fâ’
at-ta‘qîb, yang berkonotasi akibat. Hanya saja, riwayat tersebut tidak
menyatakan waktu dan tempatnya. Karena itu, kebanyakan ulama tafsir, baik klasik maupun kontemporer,
seperti Ibn Katsir dan as-Sayis, misalnya, menyatakan bahwa waktu dan tempat
turunnya ayat ini merujuk pada riwayat al-Bukhari, seperti yang dinyatakan oleh
‘Umar di atas. Sementara itu, peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat
tersebut jarang disebut, kecuali dalam
riwayat as-Suyuthi di atas.
Ayat ini bukan ayat yang terakhir diturunkan kepada
Rasul karena setelahnya Rasul masih hidup selama 81 hari. Ayat-ayat yang
diturunkan sesudahnya antara lain, secara berurutan, ayat kalâlah, ribâ, dan
dayn (utang). Setelah ayat ribâ (QS 2: 281) dan ayat dayn diturunkan, Rasul
masih hidup selama 9 malam. Yang jelas, surat al-Maidah [5]: 3 ini diturunkan
setelah berbagai peristiwa politik terjadi dalam kehidupan umat Islam, seperti
pembersihan entitas politik Yahudi (Bani Qaynuqa’, Bani Nadhir, Bani Qurayzhah,
dan Khaybar) dan entitas politik musyrik (Qurays Makkah), penaklukan kota
Makkah, serta tunduknya kabilah-kabilah di Jazirah Arab kepada negara Islam
Madinah.
Karena itu, pantas jika dalam konteks itu Allah Swt.
kemudian berfirman: al-Yawm[a] ya’is[a] al-ladîna kafarû min dînikum (Hari ini,
orang-orang kafir putus asa terhadap agamamu). Di sini Allah menggunakan frasa
al-ladzîna kafarû yang merupakan shîghat umum, tanpa disertai takhshîsh,
sehingga konotasinya tetap umum, meliputi semua orang kafir. Artinya, setelah
semua peristiwa tersebut, orang-orang kafir—baik Yahudi, Nasrani maupun
Musyrik—telah berputus asa untuk menghancurkan agama kalian dan mengalahkan
kalian. Karena itu, Allah kemudian menyatakan: Falâ takhsyawhum wakhsyawnî (Janganlah
kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kalian kepada-Ku). Di sini, Allah
menyatakan dengan fâ’ at-ta‘qîb, yang menjelaskan alasan mengapa orang-orang
Mukmin tidak boleh dan bahkan tidak perlu takut kepada orang-orang kafir,
tetapi hendaknya hanya takut kepada Allah. Sebab, orang-orang kafir itu sudah
merasa tidak mampu lagi untuk menghancurkan agama kalian dan juga umat kalian.
Selanjutnya Allah berfirman: al-Yawm[a] akmaltu lakum
dînakum (Hari ini, Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian),
yang berarti secara eksplisit, ayat ini
menyatakan, bahwa sejak hari ini (Hari Jumat, saat Nabi wuquf di Arafah) agama
ini telah sempurna, tidak ada penambahan dan pengurangan. Padahal, pada
kenyataannya, setelah ayat tersebut turun, masih ada beberapa ayat hukum yang
diturunkan, seperti yang dijelaskan di atas. Karena itu, menurut as-Suyuthi,
frasa: akmaltu lakum dînakum ini adalah bentuk isykâl (ambigu). Namun,
ambiguitas tersebut bisa dijelaskan oleh as-Sayis dengan baik. Menurutnya, yang dimaksud Allah telah menyempurnakan
agama ini adalah, bahwa sebelum turunnya ayat ini, hukum-hukum Islam ada
yang—menurut ilmu Allah—bersifat temporal, dan berpeluang untuk di-nasakh
(dihapus), namun sekarang semuanya sudah sempurna dan layak untuk diimplementasikan
pada tiap waktu dan tempat. Di sini, kesempurnaan Islam tersebut terlihat pada
substansinya; ketika ia mengajarkan dasar-dasar akidah, legislasi hukum
(tasyrî‘ al-ahkâm), dan ketentuan
ijtihad (qawânîn al-ijtihâd). Di sisi lain, orang Arab biasa menggunakan
kata dîn (agama) dengan konotasi syarî‘ah yang disyariatkan, yang meliputi
akidah dan hukum syariat; baik ibadah, ekonomi, pemerintahan, sosial,
pendidikan, maupun yang lainnya. Artinya, sebagai ajaran, Islam adalah ajaran
yang sempurna, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak ada lagi aspek
syariat yang belum dibahas di dalamnya. Ini dikuatkan oleh firman Allah:
}وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ
شَيْءٍ{
Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran)
untuk menjelaskan segala sesuatu. (QS an-Nahl [16]: 89).
Sementara itu, firman Allah yang menyatakan, wa
atmamtu ‘alaykum ni‘matî (Aku telah menyempurnakan untuk kalian nikmat-Ku),
maksudnya adalah nikmat memasuki kota Makkah dengan aman dan tenang, sementara
sebelumnya mereka telah diusir dari Makkah dan tidak bisa masuk ke dalamnya.
Namun, setelah terjadinya penaklukan kota Makkah, orang-orang musyrik
dibersihkan dari Makkah. Kemudian setelah turunnya surat Barâ’ah (at-Taubah),
mereka dilarang melakukan haji di Baitullah sehingga umat Islam bisa melakukan
ibadah haji dengan tenang dan tidak terganggu dengan hajinya orang-orang
musyrik.
Selanjutnya, Allah berfirman: wa radhîtu lakum
al-Islâm[a] dîn[an] (Aku telah meridhai Islam sebagai agama kalian). Kata
al-Islâm di sini bisa berarti musytarak (kata dengan banyak konotasi), antara
tunduk dan nama agama tertentu, dan bisa berarti manqûl (kata yang maknanya
telah ditransformasikan dari konteks bahasa ke konteks syariat). Karena itu, di
sini berlaku kaidah: al-manqûl râjih ‘alâ al-musytarak (kata manqûl lebih kuat
ketimbang kata musytarak). Dengan demikian, frasa tersebut mempunyai konotasi
bahwa Allah telah meridhai al-Islâm (Islam) sebagai agama bagi Nabi Muhammad
dan umatnya. Ini dikuatkan dengan firman Allah:
}إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ الإِسْلاَمُ{
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah
hanyalah Islam. (QS Ali ‘Imran [3]: 19).
}وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ
يُقْبَلَ مِنْهُ{
Siapa saja yang mencari agama selain agama Islam, maka
sekali-kali tidaklah akan diterima agama itu. (QS Ali ‘Imran [3]: 85).
Frasa wa
radhîtu lakum al-Islâm[a] dîn[an] merupakan dalil yang mengkhususkan Islam
sebagai agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Ini bisa dipahami dari
struktur kalimat: wa radhîtu lakum al-Islâm[a] dîn[an], dengan mendahulukan
lakum ketimbang obyeknya, al-Islâm, yang bisa berarti hashr (meng-“hanya”-kan).
Dengan demikian, bisa diartikan, bahwa Dia meridhai Islam hanya sebagai agama
untuk kalian. Inilah secara umum tafsir ayat al-Quran di atas.
Wacana Tafsir: Konotasi Dîn menurut al-Quran
Orang-orang Barat telah menyempitkan konotasi kata dîn
hanya terbatas pada spiritualisme dan ritualisme, tidak lebih. Dalam bahasa
Arab, kata dîn adalah kata musytarak (mengandung banyak arti). Al-Quran
kadang-kadang menggunakan kata dîn dengan konotasi balasan (jazâ’) dan
akuntabilitas (hisâb), misalnya:
}فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ{
Apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari)
pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? (QS at-Tin [95]: 7).
Kata
tersebut, juga bisa berarti thâ‘ah (taat), misalnya:
}وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ{
Sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu
kepada-Nya. (QS al-A‘raf [7]: 29).
bisa berarti ‘âdah (tradisi), misalnya:
}لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ{
Untukmulah tradisi agamamu dan untukku tradisi
agamaku. (QS al-Kafirun [109]: 6).
juga bisa berarti millah (agama), misalnya:
}شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا
وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى
وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلاَ تَتَفَرَّقُوا فِيهِ{
Dia telah mensyariatkan kalian tentang agama apa yang
telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh, apa
yang telah Kami wahyukan kepadamu, serta apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa, dan ‘Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kalian
berpecah-belah tentangnya. (QS as-Syura [42]: 13).
bisa juga berarti syarî'at (akidah dan hukum),
misalnya:
}أَفَغَيْرَ دِينِ اللهِ يَبْغُونَ{
Apakah mereka mencari agama (akidah dan hukum) yang
lain dari agama (akidah dan hukum) Allah. (QS Ali ‘Imran [3]: 83).
Juga bisa berarti keadaan (al-hâl), kekuasaan
(as-sulthân), paksaan (al-qahr), maksiat (al-ma‘shiyyah) dan apa yang menjadi
agama seseorang (yatadayyana bihi ar-rajul). Karena itu, untuk menentukan makna
mana yang lebih tepat untuk penggunaan kata tersebut harus dikembalikan pada
qarînah lafdhiyyah (indikator kata) yang ada.
Hanya saja, dalam al-Quran, konotasi dîn sebagai agama
dinyatakan secara umum; meliputi millah, yang
berarti dasar-dasar monoteisme (ashl at-tawhîd), yang mengajarkan bahwa
tidak ada tuhan selain Allah, dan syarî'at, yang meliputi akidah dan hukum
syariat. Sementara itu, dîn dalam konteks Islam tidak lain adalah syariat yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan, diri, dan sesamanya.
Dengan demikian, penggunaan istilah dîn yang merujuk
pada konotasi agama—apalagi untuk menyebut Islam—dengan maksud spiritualisme
dan ritualisme an sich adalah ahistoris.
Wacana Tafsir: Islam adalah Akidah dan Sistem
Islam adalah nama yang digunakan oleh Allah Swt. untuk
menyebut agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., seperti yang
dinyatakan dalam surat al-Maidah ayat 3: wa radhîtu lakum al-Islâm[a] dîn[an,
atau yang dinyatakan dalam surat Ali ‘Imrân: 85: waman yabtaghi ghayr[a]
al-Islâm[a] dîn[an].
Para ulama telah bersepakat, bahwa Islam bukan hanya
terdiri dari akidah, tetapi juga syariat. Mahmud Syaltut, mantan syaikh
al-Azhar, mengatakan:
Siapa saja yang mengimani akidah (Islam) dan
mengabaikan syariatnya atau mengambil syariat tetapi meninggalkan akidah, maka
menurut Allah, dia bukanlah Muslim, dan dalam pandangan Islam, dia tidak
menapaki jalan keselamatan.
Inilah yang dinyatakan dalam firman Allah Swt.:
} يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً {
Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke
dalam agama Islam secara kâffah (total). (QS al-Baqarah [2]: 208).
Dalam hal ini,
Ibn Manzhur menyatakan, bahwa maksudnya
adalah masuklah ke dalam Islam dengan seluruh syariatnya. Lebih jauh, Syaltut
mengatakan, bahwa Islam menuntut diintegrasikannya syariat dengan akidah;
masing-masing tidak bisa dipisahkan. Akidah adalah dasar yang memancarkan
syariat, sementara syariat merupakan
wujud fisik yang lahir dari akidah. Dengan kata lain, akidah adalah fondasi, sedangkan syariat
adalah bangunan yang berdiri di atasnya. Karena itu, akidah tanpa syariat
bagaikan fondasi tanpa wujud bangunan, sehingga abstrak dan sulit diukur.
Sebaliknya, bangunan tanpa fondasi juga tidak mungkin, karena ia akan runtuh.
Karena itu pula, para ulama menyatakan, bahwa keimanan adalah aspek batiniah,
sedangkan syariat adalah aspek lahiriah.
Sementara itu, secara syar‘î, akidah adalah keimanan
yang bulat yang sesuai dengan realitas (yang diimani) dan bersumber dari dalil
yang berkaitan dengan Allah, malaikat, kitab, rasul, Hari Kiamat serta qadhâ’
dan qadar yang baik dan buruknya berasal dari Allah Swt. Sebaliknya, syariat
adalah sistem yang disyariatkan oleh Allah atau sistem yang dasar-dasarnya
disyariatkan oleh Allah agar digunakan oleh manusia untuk mengatur hubungan
dirinya dengan Tuhan, diri, dan sesamanya. Dalam hal ini, ‘Alwi as-Saqqaf
dengan tepat sekali menyatakan:
Allah telah menurunkan syariat ini kepada Rasul-Nya
saw. Di dalamnya dijelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh makhluk-Nya
dalam mengemban tanggung jawab yang diperintahkan kepada mereka serta
ritualitas yang telah dibebankan ke pundak mereka. Rasulullah saw. belum akan
wafat sebelum agama ini sempurna, dengan kesaksian dari Allah Swt. dalam
perkara tersebut, seraya berfirman:
} الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ
لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ
دِينًا {
Pada hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian
agama kalian, mencukupkan untuk kalian nikmat-Ku, dan meridhai Islam sebagai
agama kalian. (QS al-Maidah [5]: 3).
Karena itu, siapa saja yang menyangka bahwa masih ada
sesuatu dalam agama ini yang belum sempurna, sejatinya sangkaan itu telah
ditolak dengan firman Allah tersebut.
Dengan demikian, Islam adalah agama yang lengkap dan
sempurna, yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun
persoalan yang belum dipecahkan oleh Islam sehingga masih kabur atau tidak
jelas status hukumnya. Nabi saw. Bersabda:
«قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا
كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلاَّ هَالِكٌ»
Aku telah meninggalkan kalian dalam keadaan yang
terang-benderang, malamnya bagaikan siang harinya; setelahku tidak akan ada
yang tersesat kecuali orang yang celaka. (HR Ahmad dari Irbadh bin Sariyyah).
[]
Islam Nusantara adalah Islam Kaffah ala NU
Islam Kaffah Dalam Pandangan NU
Imam Istiqlal: Tidak ada Islam Arab dan Islam Nusantara