Monday, November 2, 2015

Islam Nusantara Bertentangan dengan Al-Qur’an Surat Al Baqarah : 208 Dan Surat Al-Maidah : 3

Kaffah Dalam Beragama

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." (QS. Al Baqarah: 208)
By Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST. 
Islam adalah agama yang sempurna dan menyeluruh. Islam juga merupakan manhaj (metode) rabbani laksana buhul (tali) yang kuat dan tidak akan putus kecuali apabila ajarannya dilaksanakan layaknya metode kalangan Ahli Kitab, yaitu dengan mengimani sebagian ajaran dan mengufuri sebagian yang lain.
Pemilahan ajaran agama menjadi inti dan kulit, atau menjadi ushul (pokok) dan furu’ (cabang) merupakan salah satu ekses dari sikap mengimani sebagian ajaran Islam dan mengufuri sebagian ajaran yang lain. Maka, terkadang kita dapat melihat fenomena memprihatinkan dari kaum muslimin yang meremehkan syari’at Islam dengan dalih hal itu bukanlah inti ajaran Islam, atau itu hanyalah masalah furu’. Demikian pula, sebagian kalangan memandang sinis para juru dakwah yang berusaha menyeru umat untuk menerapkan Islam dari segala sisinya, karena beranggapan apa yang diserukan tersebut hanyalah perkara kulit.
Pemilahan yang telah menjadi akidah (keyakinan) sebagian kalangan Islam ini tidak selaras dengan ajaran Islam. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hal berikut :
Pertama: Al-Quran secara tegas menyeru orang-orang beriman untuk melaksanakan ajaran Islam secara menyeluruh, tanpa membeda-bedakan ajaran yang satu dengan ajaran yang lain. Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
 “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah: 208)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah ta’ala berfirman menyeru para hamba-Nya yang beriman kepada-Nya serta membenarkan rasul-Nya untuk mengambil seluruh ajaran dan syari’at; melaksanakan seluruh perintah dan meninggalkan seluruh larangan sesuai kemampuan mereka.” (Tafsir Ibn Katsir 1/335).
Kita perhatikan ayat ini, setelah Allah ta’ala mengajak para hamba-Nya yang beriman untuk masuk ke dalam Islam secara keseluruhan dan melaksanakan ajaran-Nya tanpa mengesampingkan ajaran yang lain, maka Allah ta’ala memperingatkan hamba-Nya agar tidak mengikuti langkah syaithan, yaitu dengan firman-Nya,
وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ
 “dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan.” (QS. Al Baqarah: 208)

Ayat ini menunjukkan indikasi bahwa, di sana hanya terdapat dua buah pilihan, yaitu:
Pertama, masuk ke dalam Islam secara keseluruhan dengan melaksanakan ajarannya yang komprehensif dan paripurna, atau apabila tidak mau melaksanakan ajaran Islam secara keseluruhan, maka yang ada hanya pilihan kedua, yaitu mengikuti langkah-langkah syaithan dengan melakukan pembeda-bedaan ajaran Islam atau meremehkan sebagian ajarannya.
Kedua: Berbagai hadits nabi yang shahih (valid) tidak mendukung persepsi kalangan tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa jenis hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
Hadits-hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan keterkaitan sebagian ajaran Islam –yang dianggap perkara furu’ oleh kalangan tersebut- dengan balasan yang sangat besar dari Allah.
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, dia mengatakan bahwasanya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذا قال الإمام { غير المغضوب عليهم ولا الضالين } . فقولوا آمين فإنه من وافق قوله قول الملائكة غفر له ما تقدم من ذنبه
 “Apabila imam membaca { غير المغضوب عليهم ولا الضالين }  , maka ucapkanlah,  “Amin”, karena seorang yang ucapan “”Amin”nya sesuai dengan ucapan para malaikat, maka dosa-dosanya yang terdahulu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 749).
Hadits-hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasukkan sebagian ajaran Islam –yang dianggap perkara furu’ oleh kalangan tersebut- sebagai bagian dari kemuliaan dan menjadi penopang agar agama ini bisa tetap tegak di muka bumi.
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, bahwasanya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لايزال الدين ظاهرا ما عجل الناس الفطر لأن اليهود والنصارى يؤخرون
 “Agama ini akan senantiasa tegak selama kaum muslimin menyegerakan berbuka, karena kaum Yahudi dan Nasrani mengakhirkan berbuka puasa.” (Hasan. HR. Abu Dawud no. 2353).
Ketiga: Berbagai fatwa para ulama terdahulu dan kontemporer telah menjelaskan kebatilan pemilahan dan pengkotak-kotakan yang direkayasa ini.
 ‘Izz ad-Din Ibnu Abd as-Salam rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh mengatakan salah satu bagian syari’at ini sebagai qusyur (kulit), karena di dalamnya terkandung berbagai manfaat dan kebaikan. Bagaimana mungkin perintah untuk melaksanakan ketaatan dan perkara keimanan dikatakan sebagai kulit?! Dan ilmu yang disebut sebagai ilmu hakikat dianggap sebagai bagian dari ajaran syari’at. Tidak ada yang menggunakan berbagai istilah ini kecuali seorang yang celaka dan tidak tahu tata krama.
Jika dikatakan kepada salah seorang di antara mereka, “Sesungguhnya pendapat ustadz kamu itu hanyalah kulit (karena tidak sejalan dengan syari’at), maka dia akan mengingkari dengan teramat sangat, dan justru berbalik menyematkan label “kulit” tadi pada ajaran syari’at!
Padahal syari’at ini tidak lain adalah ajaran yang bersumber dari al-Quran dan sunnah rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka (orang ini pantas) diberi hukuman ta’zir yang setimpal dengan perbuatan dosanya ini.” (al-Fatawa hal. 71-72).
Pemaparan di atas menyatakan dengan jelas bahwa kita wajib untuk melaksanakan ajaran syari’at ini secara keseluruhan, tanpa memilah-milahnya. Ajaran agama ini telah mencakup kehidupan individu dan sosial, serta tidak meninggalkan perkara yang kecil maupu yang besar, melainkan telah diterangkan dalam agama kita.
Koreksi terhadap Kaidah Toleransi!
Beberapa tokoh Islam kontemporer menetapkan suatu kaidah yang merupakan turunan (derivat), atau kita katakan kaidah tersebut merupakan implementasi dari pemilahan ajaran agama menjadi inti dan kulit.

Kaidah tersebut merupakan kaidah yang terkenal dengan Kaidah Emas (القاعدة الذهبية) atau Kaidah Toleransi yang berbunyi,
نتعاون فيما اتفقنا عليه, و يعذر بعضنا بعضا فيما اختلفنا فيه
 “Kita saling bekerjasama dalam perkara yang kita sepakati dan saling toleran dalam permasalahan yang kita perselisihkan.”
Jika kaidah ini diterapkan, maka ajaran Islam akan terlepas satu per satu. Hal ini dapat dijelaskan dengan berbagai alasan berikut:
Sesungguhnya perselisihan akan terjadi, bahkan dalam perkara-perkara fundamen dalam agama ini seperti akidah. Oleh karena itu, umat ini terpecah-pecah ke dalam beberapa jama’ah dan kelompok. Maka seorang yang memberikan toleransi terhadap perselisihan ini, maka dirinya telah melegalkan perkara yang diharamkan, dicela, dan diperingatkan oleh Allah! Bahkan hal ini merupakan salah satu bentuk pemikiran kelompok Murji’ah. Wal ‘iyadzu billah.
Kaidah ini adalah rekayasa manusia yang tidak selaras dengan kitabullah, tidakpula dengan sunnah nabi-Nya, dan juga tidak pernah didengung-dengungkan oleh generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat dan ulama yang mengikuti mereka dengan baik. Bahkan metode beragama mereka berseberangan dengan kaidah ini.
Jika kita menerapkan kaidah ini, maka pintu keburukan akan terbuka lebar-lebar. Karena konsekuensinya, kita toleran terhadap para da’i yang menyuarakan akidah Wahdat al-Wujud; kita harus toleran terhadap tindakan-tindakan kalangan yang terpengaruhi pemikiran Khawarij dan takfir (pengkafiran secara serampangan); begitupula kita harus berlapang dada dengan fenomena nikah Mut’ah (kawin kontrak); atau fenomena-fenomena kesyirikan seperti thawaf di kuburan orang shalih, bertawassul dengan para wali, menta’thil (meniadakan) sifat-sifat bagi Allah (seperti mengatakan bahwa Allah tidak memiliki pendengaran, tidak pula penglihatan).
Buah yang diharapkan oleh pencetus kaidah ini justru berkebalikan dengan realita yang timbul tatkala kaidah ini diterapkan. Sang pencetus berharap kaidah ini mampu meminimalisir perselisihan antara kaum muslimin, namun realita membuktikan bahwa kaidah ini justru merupakan faktor yang memicu bertambahnya perpecahan, perselisihan, dan terkotak-kotaknya umat ke dalam beberapa aliran keagamaan.
Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya dan umat beliau yang berjalan di atas sunnah beliau. [1]
Kamis sore, Cibeber, 27 Shofar 1431 Hm bertepatan dengan tanggal 11 Februari 2010.
Penulis: Muhammad Nur Ikhwan Muslim
 [1] Artikel ini merupakan hasil terjemahan disertai beberapa peringkasan dari artikel Syaikh Salim al-Hilaly, “Khudzu al-Islama Jumlatan” yang tercetak ke dalam buku beliau al-Maqalat as-Salafiyah hal 7-12.

Islam kaffah maknanya adalah : Islam secara menyeluruh, yang Allah ‘Azza wa Jalla perintahkan dalam Al-Qur`an surat Al-Baqarah ayat 208. Perintah kepada kaum mu`minin seluruhnya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : 
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (85) [البقرة/85
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam secara kaffah (menyeluruh), dan janganlah kalian mengikuti jejak-jejak syaithan karena sesungguhnya syaithan adalah musuh besar bagi kalian.” [Al-Baqarah : 208] 

Memeluk dan mengamalkan Islam secara kaffah adalah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang harus dilaksanakan oleh setiap mukmin, siapapun dia, di manapun dia, apapun profesinya, di mana pun dia tinggal, di zaman kapan pun dia hidup, baik dalam sekup besar ataupun kecil, baik pribadi atau pun masyarakat, semua masuk dalam perintah ini : “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam secara kaffah (menyeluruh) 


Pada ayat yang sama, kita dilarang mengikuti jejak langkah syaithan, karena sikap mengikuti jejak-jejak syaithan bertolak belakang dengan Islam yang kaffah. Sementara pada ayat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyebutkan tentang kebiasaan kaum Yahudi (Ahlul Kitab). Yaitu ketika Allah turunkan kepada mereka Kitab-Nya, Allah mengutus kepada mereka Rasul-Nya, mereka tidak mau mengimani, menjalankan, dan mengamalkan syari’at yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan secara kaffah. Ini adalah akhlak Yahudi. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan tentang mereka : 
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (85) [البقرة/85] 
“Apakah kalian ini mau beriman kepada sebagian Al Kitab(Taurot) sementara kalian tidak mau beriman, tidak mau mengamalkan dengan syari’at yang lainnya,tidaklah balasan bagi orang-orang yang berbuat seperti ini diantara kalian,kecuali kehinaan di dunia. Dan pada Hari Kiamat nanti mereka akan dikembalikan ke sekeras-keras adzab. Tidaklah Allah sekali-kali lalai dari apa yang kalian lakukan.” (Al-Baqarah : 85) 

Ayat yang kedua ini sebagai peringatan : 
Bahwa kita dilarang meniru akhlak dan cara kaum Yahudi dalam beragama. Yaitu mereka mau menerima syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Allah turunkan dalam kitab Taurat atau disampaikan Rasul-Nya pada waktu itu jika syari’at tersebut tidak bertentangan dengan hawa nafsu mereka. Namun jika syari’at tersebut menurut pandangan mereka jika diterapkan dapat menghalangi kepentingan duniawi, kepentingan hawa nafsu dan syahwat mereka, atau tidak bisa diterima oleh akal logika mereka yang sempit, maka mereka tidak mau beriman dan mengamalkan syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut. Barangsiapa yang berbuat seperti itu, maka sungguh balasannya adalah kehinaan didunia dan adzab di akhirat nanti lebih keras lagi. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan lalai terhadap apa yang kita lakukan ini.
Sumber:http://kajiansalafyui.wordpress.com


Berislam Secara Kaffah

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (208) فَإِنْ زَلَلْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْكُمُ الْبَيِّنَاتُ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (209)
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran, maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Baqarah [2]: 208-209)
Di bawah bayangan dua lukisan yang menggambarkan contoh kemunafikan yang jahat dan contoh iman yang bersih, ayat-ayat berikut memanggil kaum muslimin dengan sifat iman, karakter khas mereka, supaya masuk ke dalam Islam dengan keseluruhan jiwa mereka, supaya mereka waspada dari mengikuti jejak setan, serta mengingatkan mereka agar tidak tergelincir setelah mereka mendapat penerangan yang jelas:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran, maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Baqarah [2]: 208-209)
Itulah seruan kepada orang-orang Mukmin dengan menggunakan sifat iman. Sifat yang mereka cintai dan membedakan mereka. Sifat yang menghubungkan mereka dengan Allah yang menyeru mereka agar seluruh entitas mereka masuk ke dalam Islam. Maksud pertama dari seruan ini adalah supaya orang-orang Mukmin menyerahkan seluruh jiwa raga mereka kepada Allah, serta menyerahkan segala urusan mereka kepada Allah, baik kecil atau besar. Hendaklah mereka menyerah secara mutlak kepada Allah, tanpa ada yang tercecer darinya, baik pikiran atan perasaan, niat atau tindakan, cinta atau ketakutan yang tidak tunduk kepada Allah dan tidak ridha dengan ketetapan dan keputusan-Nya. Hendaklah mereka memberikan ketaatan dan kepatuhan kepada Allah dengan penuh keyakinan dan kerelaan. Mereka hendaklah menyerah diri mereka kepada qudrat Ilahi yang membimbing langkah-langkah mereka dengan keyakinan bahwa Allah ingin agar mereka mendapat kebaikan, nasihat dan petunjuk, dan dengan keyakinan bahwa mereka sedang menuju ke jalan dan kesudahan yang baik di dunia dan Akhirat.

Pengarahan seruan seperti ini kepada orang-orang yang beriman itu mengisyaratkan bahwa di sana ada orang-orang yang masih ragu-ragu dalam memberikan ketaatan dan kepatuhan yang mutlak kepada Allah, baik dalam keadaan sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Keberadaan orang-orang yang seperti mereka ini di dalam masyarakat Islam di samping golongan orang-orang yang penuh yakin dan ridha itu memanglah suatu perkara yang biasa. Seruan ini ditujukan setiap masa kepada orang-orang yang beriman supaya mereka senantiasa ikhlas kepada Allah, dan supaya aliran pikiran dan perasaan mereka ini selaras dengan kehendak Allah terhadap mereka dan selaras dengan pengarahan Nabi dan agama mereka tanpa ragu dan bimbang.

Apabila seseorang Islam menyambut seruan itu dengan sambutan yang seperti itu, maka berarti ia memasuki sebuah alam yang seluruhnya diselubungi kedamaian dan keamanan, sebuah alam yang seluruhnya dipenuhi keyakinan dan keyakinan, kerelaan dan kemantapan, di mana tidak terdapat lagi kembimbangan dan kegelisahan, dan tidak ada lagi kedurhakaan dan kesesatan. Kedamaian pada jiwa dan hati nurani. Kedamaian pada akal dan logika. Kedamaian pada manusia dan makhluk hidup lainnya. Kedamaian pada seluruh alam semesta dan seluruh yang maujud. Kedamaian yang menerangi lekuk-lekuk hati nurani. Kedamaian yang memayungi kehidupan dan masyarakat. Kedamaian di bumi dan di langit.
Kesan pertama yang dilimpahkan oleh kedamaian ini di dalam hati ialah persepsinya yang benar terhadap Allah sebagai Rabb-nya, juga kejelasan dan kesederhanaan persepsi tersebut. Allah Tuhan Yang Maha Esa dan setiap Muslim hanya bertawajjuh kepada-Nya dengan hati yang teguh dan yakin. Hatinya bulat kepada Allah, tanpa terombang-ombang dari satu jalan ke jalan lain, tidak dikejar-kejar oleh satu tuhan dari sini dan tuhan lain dari sana—sebagaimana yang terjadi dalam berhalaisme dan jahiliyah. Ia hanya bertuhan kepada Allah Yang Maha Esa, dan hanya kepada Allah ia membulatkan hatinya dengan penuh keyakinan, ketenteraman, terang dan jelas.
Allah Maha Kuat, Maha Kuasa, Maha Perkasa dan Maha Gagah. Setiap Muslim yang bertawajjuh kepada Allah berarti ia bertawajjuh kepada kekuatan dan kekuasaan yang haqiqi dan tunggal di alam ada ini. Ia tidak lagi takut kepada segala kekuatan dan kuasa lain yang palsu. Dia benar-benar merasa tenteram dan senang hati. Ia tidak lagi takut kepada sesiapa dan kepada sesuatu apa karena ia menyembah Allah yang Maha Kuasa, Maha Perkasa dan Maha Gagah. Ia tidak lagi bimbang kehilangan sesuatu dan tidak mengharapkan sesuatu pada yang lain dari Allah yang berkuasa menahan dan memberi. Allah Maha Adil dan Maha Bijaksana.
Kekuatan dan kudrat kuasaNya menghindarkannya dari kezaliman, hawa nafsu dan penganiayaan. Allah tidak sama dengan tuhan-tuhan di dalam keyakinan-keyakinan paganisme dan jahiliyah yang mempunyai berbagai keinginan dan kehendak hawa nafsu. Setiap Muslim yang berlindung pada Allah berarti ia telah berlindung pada satu kuasa Yang Maha Kuat, di mana ia dapat merasakan keadilan, pembelaan dan keamanan.
Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Pemberi dan Pengurnia segala nikmat, Pengampun dosa dan Penerima taubat. Dialah yang mengabulkan do’a orang yang berada di dalam kesusahan, dan menghapus kesusahan itu apabila ia memohon kepadaNya. Karena itu, setiap Muslim yang berada di bawah naungan-Nya akan merasa aman, tenteram, selamat dan beruntung. Ia diberi rahmat apabila lemah dan diberi keampunan apabila bertaubat.
Demikianlah dinamika hubungan seseorang Muslim dengan sifat-sifat Allah yang telah diajarkan oleh Islam kepadanya. Ia mendapati dalam setiap sifat Allah itu hakikat-hakikat yang mententeramkan hatinya, menenangkan jiwanya, dan memberinya jaminan perlindungan, rahmat, belas kasihan, kekuatan dan keteguhan, kemantapan dan kedamaian.
Demikianlah hati seseorang Muslim dilimpahi kedamaian yang muncul dari persepsi yang benar tentang hubungan antara hamba dan Rabb, di antara Pencipta dan alam semesta, dan antara alam semesta dan manusia. Allah telah menciptakan alam semesta ini dengan haq, dan menciptakan segala makhluk di alam semesta ini dengan ukuran dan hikmah. Manusia adalah diciptakan dengan sengaja dan tidak akan dibiarkan sia sia. Telah disediakan untuknya setiap situasi dan kondisi di alam yang sesuai dengan keberadaannya.
Segala kejadian yang ada di bumi ini telah diciptakan untuk manfaat dan kepentingannya. Ia dipandang tinggi di sisi Allah. Dialah khalifah Allah di bumi ini dan Allah-lah yang menolongnya dalam melaksanakan tugas khilafah ini. Alam semesta di sekelilingnya menjadi sahabat baiknya. Ruhnya berpaut dengan ruh alam semesta apabila kedua-duanya bertawajjuh kepada Allah.
Ia diundang untuk menyaksikan pagelaran Ilahi yang diadakan di langit dan di bumi supaya ia menikmatinya dan bermesra dengannya dengan sepenuh mata dan hati. Ia diseru supaya berhubungan mesra dengan segala sesuatu dan segala yang hidup di alam semesta yang besar ini, yang penuh dengan sahabat-sahabat yang juga turut diundang untuk menyaksikan pagelaran itu. Mereka semua ikut meramaikan pagelaran tersebut.
Agama yang mendorong penganutnya berdiri di hadapan tumbuh-tumbuhan yang kecil dan menyarankan bahwa dia akan mendapat pahala apabila dia menyiram tumbuh itu berusaha supaya subur dan menghilangkan segala sesuatu yang menghalangi kesuburannya, adalah satu agama yang sangat indah dan mulia. Agama tersebut mencurahkan kedamaian di dalam ruhnya dan membebaskan ruhnya untuk berpelukan dengan alam semesta dan makhluk yang ada, dan menyebarkan suasana aman, mesra, kasih sayang dan damai di sekeliling alam semesta.
Keyakinan kepada hari Akhirat memainkan peran utamanya dalam melimpahkan kedamaian pada jiwa seseorang mukmin dan alamnya, serta menghapuskan perasaan keluh kesah, bosan dan putus asa. Sesungguhnya perhitungan final tidak dilakukan di bumi ini, dan balasan yang sempurna juga tidak dibuat di dunia ini. Sesungguhnya perhitungan itu akan diadakan di Akhirat, dan keadilan yang mutlak dijamin di dalamnya.
Oleh sebab itu, seseorang Mukmin tidak merasa menyesal terhadap usaha-usaha kebajikan dan jihadnya demi kepentingan agama Allah meskipun usaha dan jihadnya itu tidak membuahkan di bumi ini. Dia tidak merasa gelisah terhadap upah dan ganjaran kerjanya meskipun upah dan ganjaran itu tidak diberi dengan sempurna di dunia ini menurut penilaian manusia. Karena dia yakin bahwa upah dan ganjaran itu akan diberikan kepadanya secara sempurna menurtu timbangan Allah.
Dia tidak merasa berputus asa dari mendapat keadilan jika keberuntungan dalam perjalanan yang singkat ini dibagikan tidak sesuai keinginannya, karena keadilan pasti terjadi karena Allah tidak sekali-kali menzalimi hamba-hamba-Nya.

ISLAM KAFFAH (TAFSIR SURAT AL-MAIDAH [05]: 3)

Oleh Drs. Hafidz ‘Abdurrahman, MA
الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ، الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا
Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agama kalian. Oleh karena itu, janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kalian kepada-Ku.  Pada hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, telah mencukupkan atas kalian nikmat-Ku, dan telah meridhai Islam menjadi agama bagi kalian (QS al-Maidah [5]: 3).
Tafsir Ayat
Mengenai waktu dan tempat diturunkan-nya ayat ini, al-Bukhari telah mengeluarkan hadis yang berasal dari ‘Umar bin al-Khaththab r.a., yang menyatakan:
Ada seorang laki-laki Yahudi berkata kepada beliau (‘Umar), “Amirul Mukminin, ayat dalam kitab Anda yang tengah Anda baca itu, seandainya diturunkan kepada kami, orang-orang Yahudi, tentu kami akan menjadikan hari (turunnya ayat) itu sebagai hari raya.” Beliau (‘Umar) bertanya, “Ayat yang mana?” Laki-laki itu berkata:
}الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيـنًا{
     ‘Umar berkata:
«قَدْ عَرَفْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ وَالْمَكَانَ الَّذِي نَزَلَتْ فِيهِ عَلَى النَّبِيِّ r وَهُوَ قَائِمٌ بِعَرَفَةَ يَوْمَ جُمُعَةٍ»
Kami benar-benar mengetahui hari dan tempat ayat itu diturunkan kepada Nabi saw., yaitu ketika beliau berdiri (wuquf) di Arafah pada Hari Jumat.
    Sedangkan as-Suyuthi menyatakan:
Ibn Mandah telah mengeluarkan riwayat dalam kitab as-Shahâbah dari ‘Abdullah bin Jabalah bin Hibban bin Hajar. ‘Abdullah menerimanya dari bapaknya, sementara bapaknya dari kakeknya, yakni Hibban yang mengatakan:
«كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ r وَأَنَا أَوْقَدُ تَحْتَ القِدْرِ فِيْهَا لَحْمُ الْمَيْتَةِ فَأَنْزَلَ تَحْرِيْمَ الْمَيْتَةِ فَأَكْفَأْتُ القِدْرَ»
Kami pernah bersama Nabi saw.. Saat itu saya sedang memanaskan wadah yang berisi daging bangkai, kemudian Allah menurunkan (ayat) yang mengharamkan bangkai (QS al-Maidah [05]: 3), lalu kami menumpahkan wadah tersebut.
    Secara dalâlah (lafadz) bisa disimpulkan, bahwa pernyataan ‘Umar yang menyatakan: 'Arafnâ dzâlika al-yawm wa al-makân al-ladzî nazalat fîhi ‘alâ an-nabiy (kami benar-benar mengetahui hari dan tempat ayat itu diturunkan kepada Nabi saw.), khususnya frasa:  al-ladzî nazalat fîhi ‘alâ an-nabiy, mirip dengan penyataan sahabat: nazalat hâdzihi al-âyat fî kadzâ (ayat ini diturunkan dalam konteks ini). Dalam hal  ini, menurut Ibn Taimiyah, ada perbedaan, apakah berarti sebab atau tafsir? Termasuk musnad (hadis marfû‘) atau bukan? Yang jelas, al-Bukhari memasukkannya sebagai musnad atau marfû‘. Pernyataan ‘Umar di atas lebih menunjukkan sebab, khususnya berkaitan dengan waktu dan tempatnya.
    Sedangkan riwayat yang kedua, secara dalâlah menunjukkan, bahwa riwayat tersebut memang merupakan sebab turunnya ayat ini. Sebab, di sana dinyatakan dengan fâ’ at-ta‘qîb, yang berkonotasi akibat. Hanya saja, riwayat tersebut tidak menyatakan waktu dan tempatnya. Karena itu, kebanyakan ulama  tafsir, baik klasik maupun kontemporer, seperti Ibn Katsir dan as-Sayis, misalnya, menyatakan bahwa waktu dan tempat turunnya ayat ini merujuk pada riwayat al-Bukhari, seperti yang dinyatakan oleh ‘Umar di atas. Sementara itu, peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut jarang disebut,  kecuali dalam riwayat as-Suyuthi di atas.
Ayat ini bukan ayat yang terakhir diturunkan kepada Rasul karena setelahnya Rasul masih hidup selama 81 hari. Ayat-ayat yang diturunkan sesudahnya antara lain, secara berurutan, ayat kalâlah, ribâ, dan dayn (utang). Setelah ayat ribâ (QS 2: 281) dan ayat dayn diturunkan, Rasul masih hidup selama 9 malam. Yang jelas, surat al-Maidah [5]: 3 ini diturunkan setelah berbagai peristiwa politik terjadi dalam kehidupan umat Islam, seperti pembersihan entitas politik Yahudi (Bani Qaynuqa’, Bani Nadhir, Bani Qurayzhah, dan Khaybar) dan entitas politik musyrik (Qurays Makkah), penaklukan kota Makkah, serta tunduknya kabilah-kabilah di Jazirah Arab kepada negara Islam Madinah.
Karena itu, pantas jika dalam konteks itu Allah Swt. kemudian berfirman: al-Yawm[a] ya’is[a] al-ladîna kafarû min dînikum (Hari ini, orang-orang kafir putus asa terhadap agamamu). Di sini Allah menggunakan frasa al-ladzîna kafarû yang merupakan shîghat umum, tanpa disertai takhshîsh, sehingga konotasinya tetap umum, meliputi semua orang kafir. Artinya, setelah semua peristiwa tersebut, orang-orang kafir—baik Yahudi, Nasrani maupun Musyrik—telah berputus asa untuk menghancurkan agama kalian dan mengalahkan kalian. Karena itu, Allah kemudian menyatakan: Falâ takhsyawhum wakhsyawnî (Janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kalian kepada-Ku). Di sini, Allah menyatakan dengan fâ’ at-ta‘qîb, yang menjelaskan alasan mengapa orang-orang Mukmin tidak boleh dan bahkan tidak perlu takut kepada orang-orang kafir, tetapi hendaknya hanya takut kepada Allah. Sebab, orang-orang kafir itu sudah merasa tidak mampu lagi untuk menghancurkan agama kalian dan juga umat kalian.
Selanjutnya Allah berfirman: al-Yawm[a] akmaltu lakum dînakum (Hari ini, Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian), yang  berarti secara eksplisit, ayat ini menyatakan, bahwa sejak hari ini (Hari Jumat, saat Nabi wuquf di Arafah) agama ini telah sempurna, tidak ada penambahan dan pengurangan. Padahal, pada kenyataannya, setelah ayat tersebut turun, masih ada beberapa ayat hukum yang diturunkan, seperti yang dijelaskan di atas. Karena itu, menurut as-Suyuthi, frasa: akmaltu lakum dînakum ini adalah bentuk isykâl (ambigu). Namun, ambiguitas tersebut bisa dijelaskan oleh as-Sayis dengan baik. Menurutnya,  yang dimaksud Allah telah menyempurnakan agama ini adalah, bahwa sebelum turunnya ayat ini, hukum-hukum Islam ada yang—menurut ilmu Allah—bersifat temporal, dan berpeluang untuk di-nasakh (dihapus), namun sekarang semuanya sudah sempurna dan layak untuk diimplementasikan pada tiap waktu dan tempat. Di sini, kesempurnaan Islam tersebut terlihat pada substansinya; ketika ia mengajarkan dasar-dasar akidah, legislasi hukum (tasyrî‘ al-ahkâm), dan ketentuan  ijtihad (qawânîn al-ijtihâd). Di sisi lain, orang Arab biasa menggunakan kata dîn (agama) dengan konotasi syarî‘ah yang disyariatkan, yang meliputi akidah dan hukum syariat; baik ibadah, ekonomi, pemerintahan, sosial, pendidikan, maupun yang lainnya. Artinya, sebagai ajaran, Islam adalah ajaran yang sempurna, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak ada lagi aspek syariat yang belum dibahas di dalamnya. Ini dikuatkan oleh firman Allah:
}وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ{
Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu. (QS an-Nahl [16]: 89).
Sementara itu, firman Allah yang menyatakan, wa atmamtu ‘alaykum ni‘matî (Aku telah menyempurnakan untuk kalian nikmat-Ku), maksudnya adalah nikmat memasuki kota Makkah dengan aman dan tenang, sementara sebelumnya mereka telah diusir dari Makkah dan tidak bisa masuk ke dalamnya. Namun, setelah terjadinya penaklukan kota Makkah, orang-orang musyrik dibersihkan dari Makkah. Kemudian setelah turunnya surat Barâ’ah (at-Taubah), mereka dilarang melakukan haji di Baitullah sehingga umat Islam bisa melakukan ibadah haji dengan tenang dan tidak terganggu dengan hajinya orang-orang musyrik.
Selanjutnya, Allah berfirman: wa radhîtu lakum al-Islâm[a] dîn[an] (Aku telah meridhai Islam sebagai agama kalian). Kata al-Islâm di sini bisa berarti musytarak (kata dengan banyak konotasi), antara tunduk dan nama agama tertentu, dan bisa berarti manqûl (kata yang maknanya telah ditransformasikan dari konteks bahasa ke konteks syariat). Karena itu, di sini berlaku kaidah: al-manqûl râjih ‘alâ al-musytarak (kata manqûl lebih kuat ketimbang kata musytarak). Dengan demikian, frasa tersebut mempunyai konotasi bahwa Allah telah meridhai al-Islâm (Islam) sebagai agama bagi Nabi Muhammad dan umatnya. Ini dikuatkan dengan firman Allah:
}إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ الإِسْلاَمُ{
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS Ali ‘Imran [3]: 19).
}وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ{
Siapa saja yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima agama itu. (QS Ali ‘Imran [3]: 85).
    Frasa wa radhîtu lakum al-Islâm[a] dîn[an] merupakan dalil yang mengkhususkan Islam sebagai agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Ini bisa dipahami dari struktur kalimat: wa radhîtu lakum al-Islâm[a] dîn[an], dengan mendahulukan lakum ketimbang obyeknya, al-Islâm, yang bisa berarti hashr (meng-“hanya”-kan). Dengan demikian, bisa diartikan, bahwa Dia meridhai Islam hanya sebagai agama untuk kalian. Inilah secara umum tafsir ayat al-Quran di atas.
Wacana Tafsir: Konotasi Dîn menurut al-Quran
Orang-orang Barat telah menyempitkan konotasi kata dîn hanya terbatas pada spiritualisme dan ritualisme, tidak lebih. Dalam bahasa Arab, kata dîn adalah kata musytarak (mengandung banyak arti). Al-Quran kadang-kadang menggunakan kata dîn dengan konotasi balasan (jazâ’) dan akuntabilitas (hisâb), misalnya:
}فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ{
Apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? (QS at-Tin [95]: 7).
    Kata tersebut, juga bisa berarti thâ‘ah (taat), misalnya:
}وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ{
Sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. (QS al-A‘raf [7]: 29).
bisa berarti ‘âdah (tradisi), misalnya:
}لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ{
Untukmulah tradisi agamamu dan untukku tradisi agamaku. (QS al-Kafirun [109]: 6).
juga bisa berarti millah (agama), misalnya:
}شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلاَ تَتَفَرَّقُوا فِيهِ{
Dia telah mensyariatkan kalian tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh,  apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, serta apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan ‘Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya. (QS as-Syura [42]: 13).
bisa juga berarti syarî'at (akidah dan hukum), misalnya:
}أَفَغَيْرَ دِينِ اللهِ يَبْغُونَ{
Apakah mereka mencari agama (akidah dan hukum) yang lain dari agama (akidah dan hukum) Allah. (QS Ali ‘Imran [3]: 83).
Juga bisa berarti keadaan (al-hâl), kekuasaan (as-sulthân), paksaan (al-qahr), maksiat (al-ma‘shiyyah) dan apa yang menjadi agama seseorang (yatadayyana bihi ar-rajul). Karena itu, untuk menentukan makna mana yang lebih tepat untuk penggunaan kata tersebut harus dikembalikan pada qarînah lafdhiyyah (indikator kata) yang ada.
Hanya saja, dalam al-Quran, konotasi dîn sebagai agama dinyatakan secara umum; meliputi millah, yang  berarti dasar-dasar monoteisme (ashl at-tawhîd), yang mengajarkan bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan syarî'at, yang meliputi akidah dan hukum syariat. Sementara itu, dîn dalam konteks Islam tidak lain adalah syariat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri, dan sesamanya.
Dengan demikian, penggunaan istilah dîn yang merujuk pada konotasi agama—apalagi untuk menyebut Islam—dengan maksud spiritualisme dan ritualisme an sich adalah ahistoris.
Wacana Tafsir: Islam adalah Akidah dan Sistem
Islam adalah nama yang digunakan oleh Allah Swt. untuk menyebut agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., seperti yang dinyatakan dalam surat al-Maidah ayat 3: wa radhîtu lakum al-Islâm[a] dîn[an, atau yang dinyatakan dalam surat Ali ‘Imrân: 85: waman yabtaghi ghayr[a] al-Islâm[a] dîn[an].
Para ulama telah bersepakat, bahwa Islam bukan hanya terdiri dari akidah, tetapi juga syariat. Mahmud Syaltut, mantan syaikh al-Azhar, mengatakan:
Siapa saja yang mengimani akidah (Islam) dan mengabaikan syariatnya atau mengambil syariat tetapi meninggalkan akidah, maka menurut Allah, dia bukanlah Muslim, dan dalam pandangan Islam, dia tidak menapaki jalan keselamatan.
Inilah yang dinyatakan dalam firman Allah Swt.: 
} يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً {
Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam agama Islam secara kâffah (total). (QS al-Baqarah [2]: 208).
Dalam hal  ini, Ibn  Manzhur menyatakan, bahwa maksudnya adalah masuklah ke dalam Islam dengan seluruh syariatnya. Lebih jauh, Syaltut mengatakan, bahwa Islam menuntut diintegrasikannya syariat dengan akidah; masing-masing tidak bisa dipisahkan. Akidah adalah dasar yang memancarkan syariat, sementara  syariat merupakan wujud fisik yang lahir dari akidah. Dengan kata lain,  akidah adalah fondasi, sedangkan syariat adalah bangunan yang berdiri di atasnya. Karena itu, akidah tanpa syariat bagaikan fondasi tanpa wujud bangunan, sehingga abstrak dan sulit diukur. Sebaliknya, bangunan tanpa fondasi juga tidak mungkin, karena ia akan runtuh. Karena itu pula, para ulama menyatakan, bahwa keimanan adalah aspek batiniah, sedangkan syariat adalah aspek lahiriah.
Sementara itu, secara syar‘î, akidah adalah keimanan yang bulat yang sesuai dengan realitas (yang diimani) dan bersumber dari dalil yang berkaitan dengan Allah, malaikat, kitab, rasul, Hari Kiamat serta qadhâ’ dan qadar yang baik dan buruknya berasal dari Allah Swt. Sebaliknya, syariat adalah sistem yang disyariatkan oleh Allah atau sistem yang dasar-dasarnya disyariatkan oleh Allah agar digunakan oleh manusia untuk mengatur hubungan dirinya dengan Tuhan, diri, dan sesamanya. Dalam hal ini, ‘Alwi as-Saqqaf dengan tepat sekali menyatakan:
Allah telah menurunkan syariat ini kepada Rasul-Nya saw. Di dalamnya dijelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh makhluk-Nya dalam mengemban tanggung jawab yang diperintahkan kepada mereka serta ritualitas yang telah dibebankan ke pundak mereka. Rasulullah saw. belum akan wafat sebelum agama ini sempurna, dengan kesaksian dari Allah Swt. dalam perkara tersebut, seraya berfirman:
} الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا {
Pada hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, mencukupkan untuk kalian nikmat-Ku, dan meridhai Islam sebagai agama kalian. (QS al-Maidah [5]: 3).
Karena itu, siapa saja yang menyangka bahwa masih ada sesuatu dalam agama ini yang belum sempurna, sejatinya sangkaan itu telah ditolak dengan firman Allah tersebut.
Dengan demikian, Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna, yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun persoalan yang belum dipecahkan oleh Islam sehingga masih kabur atau tidak jelas status hukumnya. Nabi saw. Bersabda:
«قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلاَّ هَالِكٌ»
Aku telah meninggalkan kalian dalam keadaan yang terang-benderang, malamnya bagaikan siang harinya; setelahku tidak akan ada yang tersesat kecuali orang yang celaka. (HR Ahmad dari Irbadh bin Sariyyah). []

Islam Nusantara adalah Islam Kaffah ala NU
Islam Kaffah Dalam Pandangan NU
Imam Istiqlal: Tidak ada Islam Arab dan Islam Nusantara