Monday, November 9, 2015

Noam Chomsky Membedah Amerika

chomsky-wolrd
Noam Chomsky adalah anomaly. Meski ia berdarah Yahudi, tapi ia anti Israel dan kritis kepada pemerintah Amerika. Keintelektualannya diakui dunia. Bahkan seorang penulis –Arthur Naiman- menempatkannya intelektual ke-8 setelah: Marx, Lenin, Shakespeare, Aristoteleles, Injil, Plato dan Freud.
Ia lahir pada 7 Desember 1928 di Philadelpia, Amerika. Karya-karya tulisnya menghiasi dunia. Tulisan-tulisannya tajam, lugas dan kritis. Baik soal bahasa maupun politik. Ia menjadi professor linguistik di usia muda belia, 32 tahun. Ia terakhir mengajar di MIT, Amerika.
Bukunya yang kini beredar di Indonesia, How the World Works (Penerbit Bentang, 2014) telah dicetak ratusan ribu di seluruh dunia. Buku ini sebenarnya kumpulan dari empat buku kecilnya, yaitu: Apa Yang Sesungguhnya Diinginkan Paman Sam; Yang Kaya Sedikit dan Yang Gelisah Banyak; Rahasia, Kebohongan dan Demokrasi ; dan Kebaikan Bersama.
Menurut Chomsky, hubungan antara Amerika Serikat dan negara-negara lain semestinya ditelusuri sejak awal mula sejarah Amerika, tapi Perang Dunia II adalah tapal batas yang nyata. Ketika kebanyakan negara industry pesaing berada dalam kondisi lemah atau hancur karena perang, AS justru menangguk untung yang teramat besar, Teritori AS nyaris tak mendapat serangan dan produksi nasional naik lebih dari tiga kali lipat.
Bahkan sebelum perang, AS telah menjadi negara industry paling maju di dunia – situasi yang berlangsung sejak peralihan abad. Saat ini, bagaimanapun secara harfiah AS menguasai 50% kekayaan dunia dan mengontrol kedua sisi dari dua samudera. Dalam sejarah, tak pernah ada masa ketika satu kekuasaan memiliki control menyeluruh atas dunia atau keamanan nasional yang begitu rupa.
Para pembuat kebijakan AS menyadari dengan baik bahwa AS muncul dari Perang Dunia II sebagai kekuasaan global dalam sejarah. Selama dan setelah perang, dengan hati-hati mereka merencanakan cara membentuk dunia paska perang. Lantaran AS adalah masyarakat yang terbuka, kita bisa membaca rencana-rencana mereka yang sangat mugas dan jelas.
Para perencana kebijakan AS – mulai dari mereka yang ada di Departemen Luar Negeri hingga Badan Urusan HUbungan Luar Negeri (lembaga utama tempat para pemimpin bisnis dapat memengaruhi kebijakan luar negeri)- sepakat bahwa dominasi AS harus dipertahankan. Namun ada beragam pendapat mengenai cara melakukannya.
Pada garis ekstrim, Anda dapat melihat dokumen-dokumen seperti National Security Cuncil Memorandum 68 (1950). NSC 68 mengembangkan pandangan Menteri Luar Negeri Dean Acheson dan ditulis oleh Paul Nitze, orang yang hingga kini masih berada dalam lingkaran kekuasaan (dia adalah salah seorang negoisator control militer pada masa Presiden Reagen).  Strategiini dinamakan roll back strategyyang “membantu perkembangan benih-benih kehancuran dalam system Uni Soviet” sehingga nantinya AS bisa menegoisasikan penyelesaian konflik berdasarkan syarat-syarat tertentu “dengan Uni Soviet (atau negara-negara penerusnya).”
Kebijakan-kebijakan yang direkomendasikan dalam NSC 68 mensyaratkan pengorbanan dan disiplin AS –dengan kata lain pengeluaran militer yang besar dan pemotongan anggaran untuk pelayanan sosial. Hal itu juga diperlukan untuk mengatasi “ekses toleransi” yang menghasilkan terlalu banyak perbedaan pendapat dalam lingkup domestic.
Nyatanya kebijakan-kebijakan semacam itu telah lama diimplementasikan. Pada 1949, spionase AS di Eropa Timur telah bersalin rupa menjadi jaringan yang dijalankan Reinhard Gehlen, yang mengepalai intelijen Nazi di Front Timur. Jaringan ini merupakan satu bagian dari aliansi AS-Nazi yang melibatkan kriminal-kriminal paling keji untuk operasi intelijen di Amerika Latin dan wilayah lainnya.
Operasi ini termasuk “tentara rahasia’ di bawah sokongan AS Nazi yang menyediakan agen-agen dan bantuan-bantuan militer kepada pasukan yang dibentuk Hitler dan masih beroperasi di Uni Soviet dan Eropa Timur hingga awal 1950-an. (Informasi ini telah diketahui di AS, tetapi dianggap tak penting –meskipun mungkin orang akan terkejut jika menilik lebih jauh dan menemukan bahwa katakanlah Uni Soviet telah memasok agen dan bantuan untuk pasukan bentukan Hitler yang beroperasi di wilayah Rockies).
Kebijakan-kebijakan Amerika di dunia ketiga sangat mudah dipahami. AS secara konsisten menentang demokrasi bilamana hasil-hasilnya tak dapat dikontrol. Masalah pada demokrasi sejati adalah bahwa demokrasi memungkinkan terjadi pembelotan sehingga pemerintah di negara Dunia Ketiga harus merespon kebutuhan-kebutuhan penduduk mereka sendirialih-alih kebutuhan para investor AS.
Kajian atas system inter Amerika dipublikasikan oleh Royal Institute of International Affairs di London menyimpulkan bahwa ketika secara permukaan AS berperan dalam demokrasi, nyatanya komitmen mereka sesungguhnya adalah pada “perusahaan kapitalis dan swasta.” Ketika hak-hak investor terancam, demokrasi harus dienyahkan. Sebaliknya selama hak-hak ini dilindungi, bahkan para pembunuh dan penyiksa akan tetap aman sentosa.
Beberapa pemerintahan parlementer dihambat atau digulingkan dengan dukungan AS. Sebagian bahkan melalui intervensi langsung, misalnya di Irak pada 1953, di Guetamala pada 1954 (juga pada 1963 ketika Kennedy mendukung kudeta militer untuk mencegah kembalinya demokrasi), di Republik Dominika pada 1963 dan 1965, di Brasil pada 1964, di Cile pada 1973 juga di tempat-dtempat lainnya. Kebijakan-kebijakan AS di El Savador memiliki begitu banyak kesamaan dengan kebijakan AS di banyak tempat lainnya di seantero jagad.
Metode-metode yang digunakan tidaklah terlalu cantik. Yang dilakukan militer pemberontak yang didukung AS di Nikaragua atau yang dilakukan oleh teroris binaan AS di El Savador dan Guetamala bukanlah pembunuhan biasa. Elemen utamanya adalah penyiksaan brutal dan sadis  –memukul-mukulkan tubuh anak-anak ke bebatuan, menggantung para perempuan dengan kaki di atas, dada terpotong dan kulit wajah dikelupas mati kehabisan darah.Memenggal kepala dan menaruhnya di atas tiang. Tujuan penyiksaan ini adalah untuk menghancurkan gagasan nasionalisme independen dan kekuatan rakyat yang dapat melahirkan demokrasi yang lebih bermakna.
Tak satupun negara yang bebas dari perlakuan demikian, tak peduli meski itu adalah negara yang tak terlampau penting. Pada kenyataannya negara-negara yang palig lemah dan miskin justru seringkali memunculkan hysteria terbesar.
Misalnya Laos yang pada 1960-an agaknya merupakan negara yang paling miskin di dunia. Kebanyakan rakyat yang tinggal di sana bahkan tak tahu ada sebuah negara bernama Laos. Mereka hanya tahu desa kecil tempat mereka tinggal dan desa kecil di dekatnya.
Akan tetapi segera setelah revolusi sosial level rendah mulai berkembang di sana, Washington menundukkan Laos dengan pengeboman rahasia yang membunuh secara massif, menyapu habis area pemukiman, dan dinyatakan sebagai sebuah operasi yang tak berhubungan dengan AS yang tengah memerangi Vietnam Selatan.
Grenada adalah sebuah negara penghasil pala dengan seratus ribu penduduk yang wilayahnya bahkan sulit ditemukan dalam peta. Namun ketika benih-benih revolusi sosial mulai muncul di Grenada, Washington bergerak cepat untuk menghancurkan ancaman tersebut.
Dari Revolusi Bolshevik 1917 sampai runtuhnya pemerintahan-pemeirntahan komunis di Eropa Timur pada ahir 1980an, sah-sah saja bagi AS untuk mengklaim bahwa setiap serangan merupakan aksi pertahanan terhadap ancaman Uni Soviet. Maka ketika menginvasi Grenada pada 1983, Kepala Staf Gabungan menjelaskan bahwa di tengah serangan Soviet atas Eropa Barat, sikap tidak kooperatif Grenada akan merintangi pasokan minyak dari Karibia ke Eropa Barat dan membuat AS tidak dapat melindungi sekutu-sekutunya yang terkepung. Mungkin ini terdengar lucu, tetapi cerita semacam itu membantu mobilisasi dukungan public untuk tindakan agresi, terror dan subversi.
Tak peduli apakah mereka liberal atau konservatif, media-media utama dikuasai oleh korporasi raksasa yang dimiliki oleh dan berjejaring dengan para kongomerat yang bahkan lebih besar lagi. Seperti korporasi lainnya, mereka menjual produk ke pasar.
Pasar adalah para pengiklan –yakni kelompok bisnis yang lain. Sementara produknya adalah para audiens. Bagi para elite media yang merancang agenda dasar yang kemudian diadopsi media lain, produk itu lebih jauh lagi, adalah audiens yang secara relative memiliki hak-hak istimewa.
Karenanya ada korporasi besar yang menjual audiens yang kaya dan istimewa kepad perusahaan lain. Tak mengherankan gambaran dunia yang ditampilkan merefleksikan kepentingan yang sempit dan bias, serta mengakomodasi nilai-nilai yang dipegang oleh para penjual, pembeli dan produk itu sendiri.
000
Hampir sepanjang abad 20, Amerika menjadi kekuatan ekonomi dunia yang dominan dan tak terjangkau. Hal itu membuat perang ekonomi menjadi senjata yang mematikan, termasuk aneka tindakan seperti embargo illegal sampai penguatan aturan IMF (bagi negara-negara yang lemah).
Namun dalam dua puluh tahun terakhir, ekonom AS relative mundur dibandingkan dengan Jepang dan Eropa dibawah komando Jerman (berkat mismanajemen ekonomi pada masa pemerintahan Presiden Reagan yang memanjakan orang-orang kaya dengan membebankan biaya kepada mayoritas populasi dan generasi-generasi masa depan). Namun pada saat yang sama, kekuatan militer AS unggul secara mutlak.
Selama Uni Soviet masih ada, ada batasan mengenai seberapa besar kekuatan yang bisa dipakai oleh AS, terutama di area-area jauh yang tidak dikuasai AS secara langsung. Lantaran Uni Soviet biasa mendukung pemerintah dan gerakan-gerakan politik yang ingin dihancurkan oleh AS.
Muncul kekhawatiran bahwa intervensi AS di dunia ketiga bisa meledak menjadi perang nuklir. Dengan runtuhnya Soviet, AS menjadi bisa lebih bebas menggunakan kekerasan di seluruh dunia, sebuah fakta yang diketahui dengan baik oleh para analis kebijakan AS semenjak beberapa tahun sebelumnya.
Dalam pelbagai konfrontasi, setiap pihak mencoba menggeser ke domain dengan lebih banyak kemungkinan untuk menang. JIka Anda ingin memimpin, mainkanlah kartu andalan Anda. Kartu andalan Amerika Serikat adalah kekuatan –jika AS bisa menegakkan prinsip sehingga kekuatan menguasai dunia, itu adalah kemenangan.
Namun sebaliknya jika sebuah konflik diselesaikan dengan cara damai, itu akan merugikan, karena rival-rival AS pastinya lebih baik atau lebih hebat dalam domain tersebut.
Bagi AS, diplomasi secara khusus adalah opsi yang buruk kecuali jika dicapai di bawah ancaman senjata.  Tujuan AS di negara-negara dunia ketiga hanya mendapatkan sedikit dukungan.
Hal ini tak mengejutkan sebab AS mencoba memaksanakanstruktur-struktur dominasi dan eksploitasi. Penyelesaian diplomasi digunakan untuk merespons, setidaknya dalam beberapa hal, , kepentingan partisipan lain dalam negoisasi, dan itu menjadi masalah jika posisi Anda tak begitu popular.
Karenanya negoisasi adalah hal yang dihindari oleh AS. Berlawanan dengan banyak propaganda, hal demikian benar terjadi di Asia Tenggara, Timur Tengah dan Amerika Tengah dalam jangka waktu yang lama.
Bertentangan dengan latar belakang ini, wajar jika pemeirntahan Bush menganggap kekuatan militer sebagai instrument kebijakan utama yang lebih disukai ketimbang pemberian sanksi dan diplomasi (sebagaimana yang terjadi dalam krisis Teluk).
Namun lantaran kini kekurangan basis ekonomi untuk memaksanakan tatanan dan stabilitas di dunia ketiga, AS harus mengandalkan pihak lain untuk membayar ongkosnya –pihak yang sangat dibutuhkan untuk menjamin penghormatan yang pantas bagi sang tuan.
Aliran keuntungan dari produksi minyak Teluk memang cukup membantu, tetapi Jepang dan dataran Eropa yang dipimpin Jerman juga harus menanggung sebagian biaya sebab AS berperan sebagai tentara bayaran, seperti yang diberitakan oleh media-media bisnis internasional.*NH.