Sebagaimana telah dimaklumi bahwa
kesetiaan Ahlus Sunah terhadap Rasulullah adalah monoloyalitas (kesetiaan
tunggal). Kesetiaan itu terwujud dalam bentuk memberikan perhatian sepenuh hati
terhadap sunah-sunah beliau, sebagaimana sikap mereka terhadap Alquran. Mereka
berusaha keras untuk memeliharanya dari berbagai dusta dan kesalahan yang dapat
menodai kemurniannya.
Dalam hal kesetiaan ini, kelompok Sy’iah
berbeda dengan Ahlus Sunah, kesetiaan mereka terhadap Rasulullah Saw. tidak
monoloyalitas, karena kesetiaan mereka terbagi kepada para imam yang dipandang
ma’shum. Bahkan kecintaan mereka kepada para imam melebihi kencintaan kepada
Nabi.
Syi’ah Imamiyah, Ja’fariyah, Itsna
‘Asyariyah (atau menggunakan nama samaran Madzhab Ahlul Bait) meyakini para
imam ma’shum itu sebanyak 12 Imam (Itsna ‘Asyariyah) yaitu: 1. Ali ibn Abu
Thalib, 2. Hasan ibn Ali Al-Mujtaba, 3. Husain ibn Ali Sayyidussyuhada,
penghulu para syuhada, 4. Ali ibn Husain, 5. Muhammad Al- Baqir, 6. Ja’far ibn
Muhammad Ash-Shadiq, 7. Musa ibn Ja’far, 8. Ali ibn Musa Ar-Ridha, 9. Muhammad
ibn Ali Al-Taqi Al-Jawad, 10. Ali ibn Muhammad an-Naqi Al-Hadi, 11. Hasan ibn
Ali Al-Askari, dan terakhir, 12. Muhammad ibn Hasan Al-Mahdi. Syi’ah meyakini
bahwa Imam Muhammad ibn Hasan Al-Mahdi masih hidup hingga sekarang ini, tapi
dalam keadaan gaib, namun akan muncul kembali pada akhir zaman. [1]
Posisi imam dalam keyakinan Syi’ah
memiliki kedudukan teristimewa, bahkan lebih tinggi kedudukannya daripada Nabi
Saw. Dalam keyakinan mereka, para imam itu mengetahui hal ghaib, dan mengetahui
seluruh ilmu yang dikeluarkan (diajarkan) kepada para malaikat, para nabi dan
para rasul, dan sesungguhnya mereka mengetahui ilmu yang terdahulu dan
sekarang, dan tidak ada yang tersembunyi bagi mereka sesuatu apapun, dan
sesungguhnya mereka mengetahui seluruh bahasa alam semesta, dan sesungguhnya
seluruh bumi ini adalah milik mereka.
Imam al-Kulaini telah menuliskan dalam
kitabnya al-Kafi berbagai karakteristik kedua belas imam mereka. Karakteristik
dan sifat-sifat tersebut telah mengangkat derajat mereka dari manusia biasa
hingga tingkatan Tuhan.
Seandainya kita hendak menampilkan
berbagai karakteristik itu secara keseluruhan dari kitab al-Kafi dan
kitab-kitab terpercaya mereka lainnya, niscaya akan terkumpul satu jilid kitab
besar.
Karena itu, kami cukupkan dengan kutipan
beberapa judul bab secara utuh dan dengan apa adanya dari kitab al-Kafi, di
antaranya sebagai berikut:
بَابُ أَنَّ
الأَئِمَّةَ عليهم السلام يَعْلَمُونَ جَمِيعَ الْعُلُومِ الَّتِي خَرَجَتْ إِلَى
الْمَـلاَئِكَةِ وَ الأَنْبِيَاءِ وَ الرُّسُلِ عليهم السلام
“Bab: Bahwa Para Imam
Mengetahui Segala Ilmu Yang Turun Kepada Para Malaikat, Nabi Dan Rasul.” [2]
بَابُ أَنَّ
الأَئِمَّةَ عليهم السلام يَعْلَمُونَ مَتَى يَمُوتُونَ، وَأَنَّهُمْ لاَ
يَمُوْتُوْنَ إِلاَّ بِاخْتِيَارٍ مِنْهُمْ
“Bab: Bahwa Para Imam
Mengetahui Kapan Mereka Akan Meninggal, Dan Bahwa Mereka Tidaklah Meninggal
Melainkan Atas Kehendak Mereka Sendiri.” [3]
بَابُ أَنَّ
الأَئِمَّةَ عليهم السلام يَعْلَمُونَ عِلْمَ مَا كَانَ وَ مَا يَكُونُ، وَ
أَنَّهُ لاَ يَخْفى عَلَيْهِمُ الشَّيْءُ صَلَوَاتُ اللّهِ عَلَيْهِمْ
“Bab: Bahwa Para Imam
Mengetahui Perihal Yang Telah Lalu Dan Perihal Yang Akan Datang, Dan
Sesungguhnya Tidak Ada Yang Tersembunyi Bagi Mereka Sesuatu pun.” [4]
بَابُ أَنَّ
الأَئِمَّةَ عليهم السلام عِنْدَهُمْ جَمِيعُ الْكُتُبِ الَّتِي نَزَلَتْ مِنْ
عِنْدِ اللّهِ عَزَّ وَ جَلَّ ، وَأَنَّهُمْ يَعْرِفُونَهَا عَلَى اخْتِـلاَفِ
أَلْسِنَتِهَا
”Bab: Bahwa Para Imam
Memiliki Seluruh Kitab, Dan Mengetahuinya Dengan Segala Perbedaan Bahasanya.”
[5]
بَابُ أَنَّهُ لَمْ
يَجْمَعِ الْقُرْآنَ كُلَّهُ إِلاَّ الأَئِمَّةُ عليهم السلام وَ أَنَّهُمْ
يَعْلَمُونَ عِلْمَهُ كُلَّهُ
”Bab: Bahwa Tidaklah
Ada Orang Yang Pernah Menyatukan Alquran Secara Utuh Selain Para Imam, Dan
Bahwa Mereka Mengetahui Seluruh Ilmu Yang Terkandung Dalamnya.” [6]
بَابُ مَا عِنْدَ
الأَئِمَّةِ مِنْ آيَاتِ الاْءَنْبِيَاءِ عليهم السلام
”Bab: Apa-Apa Yang
Dimiliki Oleh Para Imam Dari Mukjizat Para Nabi.” [7]
بَابُ أَنَّهُ
لَيْسَ شَيْءٌ مِنَ الْحَقِّ فِي يَدِ النَّاسِ إِلَا مَا خَرَجَ مِنْ عِنْدِ
الْأَئِمَّةِ عليهم السلام وَ أَنَّ كُلَّ شَيْءٍ لَمْ يَخْرُجْ مِنْ عِنْدِهِمْ
فَهُوَ بَاطِلٌ
”Bab: Bahwa Tidak Ada
Sedikit pun Kebenaran Yang Ada di Masyarakat Selain Yang Pernah Diajarkan Oleh
Para Imam, Dan Bahwa Segala Sesuatu Yang Tidak Diajarkan Oleh Mereka, Maka Itu
Adalah Bathil.” [8]
بَابُ أَنَّ
الْأَرْضَ كُلَّهَا لِلْإِمَامِ عليه السلام
”Bab: Bahwa Bumi
Seluruhnya Adalah Milik Para Imam.” [9]
Keyakinan akan
keistimewaan para imam sangat mempengaruhi sikap kaum Syi’ah terhadap hadis
atau sunah, baik berkaitan dengan kriteria terminologis maupun metodologisnya,
bahkan sumber syariat itu sendiri.
Dalam konteks ini
dapat kita maklumi jika hadis atau sunah versi mereka bukan semata-mata
bersumber dari Nabi Saw. melainkan juga dari para imam dua belas tesebut.
Demikian itu dinyatakan oleh ulama Syi’ah, antara lain:
Syekh Muhammad
Baha’uddin al-‘Amili (w. 1031 H) berkata:
عُرِّفَ الْحَدِيْثُ
بِأَنَّهُ كَلاَمٌ يَحْكِيْ قَوْلَ الْمَعْصُوْمِ أَوْ فِعْلَهُ أَوْ تَقْرِيْرَهُ
“Hadis didefinisikan
yaitu perkataan yang menceritakan perkataan orang yang ma’shum, perbuatannya
atau ketetapannya.” [10]
Pengertian hadis
menurut mereka berbeda dengan Sunah. Menurut mereka, sunah secara istilah
adalah:
نَفْسُ قَوْلِ
الْمَعْصُوْمِ، وَفِعْلِهِ،وَتَقْرِيْرِهِ
“Hakikat perkataan
orang yang ma’shum, perbuatannya atau ketetapannya.” [11]
Dalam redaksi Sayyid
Muhammad Taqiy al-Hakim:
فَهِيَ كُلُّ مَا
يَصْدُرُ عَنِ الْمَعْصُوْمِ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ
“Dan sunah adalah
segala sesuatu yang bersumber dari al-ma’shum, berupa perkataan, perbuatan dan
taqrir.” [12]
Sayyid Muhammad Taqiy
al-Hakim berkata:
وَأَلْحَقَ
الشِّيْعَةُ الإِمَامِيَّةُ كُلَّ مَا يَصْدُرُ عَنْ أَئِمَّتِهِمْ الإِثْنَي
عَشَرَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ بِالسُّنَّةِ الشَّرِيْفَةِ
“Syi’ah imamiyah
menghubungkan dengan sunah segala sesuatu yang bersumber dari para imam mereka
yang dua belas, berupa perkataan, perbuatan dan taqrir.” [13]
Latar belakang
pembentukan istilah dan sumber sunah di kalangan Syi’ah, lebih jauh diterangkan
oleh Syekh Muhammad Ridha al-Muzhaffar—Pakar Ushul Fiqih Syi’ah
kontemporer—sebagai berikut:
السُّنَّةُ فِي
اصْطِلاَحِ الْفُقَهَاءِ: (قَوْلُ النَّبِيِّ أَوْ فِعْلُهُ أَوْ تَقْرِيْرُهُ)…
أَمَّا فُقَهَاءُ الإِمَامِيَّةِ بِالْخُصُوْصِ فَلَمَّا ثَبَتَ لَدَيْهِمْ أَنَّ
الْمَعْصُوْمَ مِنْ آلِ الْبَيْتِ يَجْرِيْ قَوْلُهُ مَجْرَى قَوْلِ النَّبِيِّ
مِنْ كَوْنِهِ حُجَّةً عَلَى الْعِبَادِ وَاجِبَ الإِتِّبَاعِ فَقَدْ تَوَسَّعُوْا
فِي اصْطِلاَحِ السُّنَّةِ إِلَى مَا يَشْمُلُ قَوْلَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ
الْمَعْصُوْمِيْنَ أَوْ فِعْلَهُ أَوْ تَقْرِيْرَهُ، فَكَانَتِ السُّنَّةُ
بِاصْطِلاَحِهِمْ: (قَوْلُ الْمَعْصُوْمِ أَوْ فِعْلُهُ أَوْ تَقْرِيْرُهُ)
As-Sunah menurut
istilah fuqaha’ adalah “Sabda Nabi, perbuatan dan taqrirnya”…Adapun menurut
fuqaha Syi’ah Imamiyah—setelah kokoh
keyakinan mereka bahwa perkataan al-Ma’shum dari kalangan Ahlul Bait setingkat
dengan perkataan Nabi Saw. sebagai sebuah hujjah yang wajib diikuti oleh para hamba—sungguh
mereka memperluas batasan Sunah menjadi sesuatu yang mencakup perkataan,
perbuatan dan taqrir setiap al-Ma’shum (dari Ahlul Bait). Sehingga Sunah dalam
terminologi mereka adalah “perkataan, perbuatan atau taqrir al-Ma’shum.”
وَالسِّرُّ فِي ذلِكَ
أَنَّ الأَئِمَّةَ مِنْ آلِ الْبَيْتِ عليه السلام لَيْسُوْا هُمْ مِنْ قَبِيْلِ
الرُّوَاةِ عَنِ النَّبِيِّ وَالْمُحَدِّثِيْنَ عَنْهُ لِيَكُوْنَ قَوْلُهُمْ
حُجَّةً مِنْ جِهَةِ أَنَّهُمْ ثِقَاتٌ فِي الرِّوَايَةِ بَلْ لِأَنَّهُمْ هُمُ
الْمَنْصُوْبُوْنَ مِنَ اللهِ تَعَالَى عَلَى لِسَانِ النَّبِيِّ لِتَبْلِيْغِ
الأَحْكَامِ الْوَاقِعَةِ، فَلاَ يَحْكُمُوْنَ إِلاَّ عَنِ الأَحْكَامِ
الْوَاقِعِيَّةِ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى َكَمَا هِيَ، وَذلِكَ مِنْ طَرِيْقِ
الإِلْهَامِ كَالنَّبِيِّ مِنْ طَرِيْقِ الْوَحْيِ أَوْ مِنْ طَرِيْقِ
التَّلَقِّيْ مِنَ الْمَعْصُوْمِ قَبْلَهُ…
Rahasia di balik itu
semua adalah karena para imam dari kalangan Ahlul Bait tidaklah sama dengan
para perawi dan ahli hadits yang meriwayatkan dari Nabi—hingga perkataan mereka
baru dapat dijadikan hujjah jika mereka ‘tsiqah’ dalam periwayatannya—namun
mereka adalah orang-orang yang ditunjuk oleh Allah Ta’ala melalui lisan
Nabi-Nya untuk menyampaikan hukum-hukum yang bersifat realita. Maka mereka
tidak mungkin menetapkan hukum, kecuali jika hukum-hukum realita itu memang
berasal dari Allah Ta’ala apa adanya. Dan itu semua (diperoleh) melalui jalur
ilham—seperti Nabi melalui jalur wahyu—atau
melalui penerimaan dari (imam) ma’shum sebelumnya…
وَعَلَيْهِ فَلَيْسَ
بَيَانُهُمْ لِلأَحْكَامِ مِنْ نَوْعِ رِوَايَةِ السُّنَّةِ وَحِكَايَتِهَا، وَلاَ
مِنْ نَوْعِ الإِجْتِهَادِ فِي الرَّأْيِ وَالإِسْتِنْبَاطِ مِنْ مَصَادِرِ
التَّشْرِيْعِ، بَلْ هُمْ أَنْفُسُهُمْ مَصْدَرٌ لِلتَّشْرِيْعِ فَقَوْلُهُمْ
سُنَّةٌ لاَ حِكَايَةُ السُّنَّةِ
Berdasarkan ini, maka
penjelasan mereka terhadap hukum bukan termasuk dalam kategori periwayatan
Sunah atau ijtihad dalam menggali sumber-sumber tasyri’, akan tetapi karena
merekalah sumber hukum (tasyri’) itu sendiri. Maka perkataan mereka adalah
sunah, bukan hikayat sunah.” [14]
Dengan demikian,
Syi’ah mempunyai keyakinan bahwa wahyu tidak terhenti sepeninggal Rasulullah.
Karena itu, imam-imam Syi’ah dapat mengeluarkan hadis dan Sunah. Jadi, tidak
heran jika surat-surat dan khutbah para imam serta hal-hal lain yang disangkut
pautkan dengan ajaran agama diposisikan sebagai hadis dan Sunah. Ini menjadikan
kajian hadis Syi’ah berbeda dengan kalangan Ahlus Sunah. Itulah yang menjadikan
penyebab jumlah hadis Syi’ah jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah hadis
Ahlus Sunah.
Dari sini dapat dimaklumi,
jika di kalangan Syi’ah jumlah hadis yang bersumber dari para imam itu jauh
lebih banyak dibanding dengan hadis Nabi Saw., bahkan hadis Ali sendiri.
Demikian itu tampak jelas terlihat jika kita merujuk kepada empat kitab standar
hadis Syi’ah (al-Kafi, Man La Yahdhuruh al-Faqih, Tahdzib al-Ahkam,
al-Istibshar). Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa kandungan hadis dalam
empat kitab tersebut sebanyak 43.850 hadis. Jika kita merujuk kepada angka itu,
akan didapatkan hasil bahwa kapasitas hadis Nabi Saw. dalam empat kitab itu
hanya sebesar 11.30 % (4.956 hadis). Sementara kapasitas hadis Ja’far
ash-Shadiq (Imam Syi’ah ke-6) sebesar 25 %
(10.967 hadis).
Berangkat dari fakta
ini, kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sumber ajaran Syi’ah itu bukan
Sunah Rasulullah, melainkan Sunah Ja’fariyyah, sehingga mereka disebut pula
kelompok Syi’ah Ja’fariyyah dan fikihnya disebut fikih Ja’fari. Jika demikian
halnya, apakah benar Imam Ja’far ash-Shadiq, yang diklaim Syiah sebagai Imam
ke-6 itu, sebagai penggagas agama Syiah? Apakah benar beliau mengajarkan
doktrin-doktrin Syiah, yang sebenarnya bertentangan dengan ajaran moyangnya
Ahlul Bait (Nabi saw.)? Hakikatnya Imam Ja’far berlepas diri dari apa yang
mereka katakan. Kajian lebih lanjut tentang itu akan ditayangkan pada edisi
khusus sigabah.com
By Amin Muchtar,
sigabah.com/beta
[1] Lihat, Buku Putih
Mazhab Syiah, terbitan ormas Syiah (ABI), hal. 22-23.
[2] Lihat,
al-Kafi, jilid 1, hal. 255, pada kitab
al-Hujjah.
[3] Ibid., hal. 258.
[4] Ibid., hal. 260.
[5] Ibid., hal. 227.
[6] Ibid., hal. 228.
[7] Ibid., hal. 231.
[8] Ibid., hal. 339.
[9] Ibid., hal. 407.
[10]Lihat, Masyriq
asy-Syamsain, hal. 268 dan al-Wajizah fi ad-Dirayah, hal. 2. Lihat pula
keterangan Syekh Abdullah bin Muhammad
Hasan al-Mamqani dalam Miqbas al-Hidayah, Juz 1, hal. 57; Syekh Hasan
ash-Shadr, dalam Nihayah ad-Dirayah, hal. 80.
[11]Lihat keterangan
Syekh Hasan ash-Shadr, Nihayah ad-Dirayah, hal. 85; Syekh I’dad Abu al-Fadhl
al-Babuli, Rasa’il fi Dirayah al-Hadis, Juz 2, hal. 530; Syekh Muhammad Husen
al-Anshari, al-Ma’ayir al-’Ilmiyyah li Naqd al-Hadis, hal. 20; Syekh Muhammad
Kazhim al-Khurasani, Kifayah al-Ushul, hal. 8; Syekh al-Anshari, Fara’id
al-Ushul, hal. 365; Syekh Hasan bin Ali Asghar al-MuSawi, Muntaha al-Ushul, Juz
2, hal. 117; Sayyid Muhsin al-Hakim, Haqa’iq al-Ushul, hal. 12.
[12]Lihat, al-Ushul
al-’Ammah li al-Fiqh al-Muqaran, hal. 122. Lihat pula keterangan Syekh Abu
Thalib at-Tajlil at-Tibrizi dalam Tanzih ay-Syi’ah al-Itsna ’Asyariyah ’an
asy-Syubuhat al-Wahiyah, hal. 57.
[13]Lihat, Sunah Ahl
al-Bait, hal. 9.
[14]Lihat, Ushul
al-Fiqh, hal. 331-332.
Syiah dan Abdullah bin
Saba’
Secara
historis, asas dan ideologi Syiah tidak muncul secara tiba-tiba atau tanpa
perhitungan matang. Sekte yang lebih menonjolkan sikap keberpihakan terhadap
Ali ra. ini muncul melalui tahapan yang panjang dan berliku, di mana pada
ujungnya, sekte ini memiliki banyak cabang, sebagaimana yang akan kita lihat
nanti.
Sejarah
awal munculnya sikap keberpihakan yang berlebihan (tasyayyu’) terhadap
Sayyidina Ali ra. masih menjadi perdebatan panjang di kalangan sejarawan dan
para pengamat sejarah sekte-sekte Islam, baik dari kalangan sejarawan terdahulu
maupun para pengkaji sejarah kontemporer. Bahkan, di kalangan Syiah sendiri
juga masih belum ditemukan kata sepakat antara penulis yang satu dengan yang
lain.
Sebagian
penulis Syiah mencatat bahwa sekte ini muncul pada masa Nabi SAW. Awal
kemunculan sikap afiliasi terhadap Sayyidina Ali ra. bersamaan dengan
munculnya risalah Nabi SAW. itu sendiri. Menurutnya, Nabi-lah
yang menjadi ‘peletak batu pertama’ munculnya benih-benih Syiah. Karenanya,
pendapat ini menyatakan bahwa sejak masa Nabi SAW. sudah terdapat sekelompok
kecil sahabat yang memihak terhadap Sayyidina Ali ra.
Muhammad
Husain Ali Kasyif al-Ghitha’, seorang penulis Syiah kontemporer ternama, adalah
di antara mereka yang berpendapat demikian. Dalam salah satu karyanya, dia
mengemukakan bahwa orang pertama kali yang memunculkan benih-benih keberpihakan
terhadapa Sayyidina Ali ra. adalah pembawa syariat Islam sendiri (Nabi Muhammad
SAW.). Artinya, menurut pandangan ini, munculnya benih-benih Syiah adalah
bersamaan dengan munculnya benih-benih ajaran Islam.[1]
Hal
serupa juga diungkapkan oleh Muhammad Jawwad Mughniyah. Penulis kontemporer
Syiah yang satu ini beranggapan bahwa Nabi Muhammad SAW. telah memunculkan
ideologi Syiah dan seruan untuk mencintai Sayyidina Ali ra. dan keluarganya. Ia
juga memaparkan bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah orang yang pertama kali
menggunakan kata ‘Syiah’ terhadap para pengikutnya. Muhammad Jawwad
Mughniyah meyakinkan, andai saja tidak ada Nabi Muhammad SAW., niscaya Syiah
tidak akan muncul dan tidak berbekas.[2]
Tokoh
Syiah terkemuka dan motor penggerak revolusi Iran, Ayatullah Ruhullah Khomaini,
dalam “al-Hukumah al-Islamiyyah”-nya, juga mengemukakan komentar yang
sama. Menurutnya, Syiah sebetulnya muncul dari titik nol. Ketika Rasulullah
SAW. mengumpulkan kaumnya, lalu mengajukan asas khilafah kepada mereka,
Rasulullah SAW. malah ditertawakan dan dihina oleh mereka. Khomaini
melanjutkan, bahwa Rasulullah SAW. bersabda kepada mereka, “Siapa yang akan
menjadi pengganti, pewaris dan menteriku menangani urusan ini?” lalu tidak
satupun yang meresponnya kecuali Sayyidina Ali ra. padahal beliau saat itu
masih berusia muda. Pada saat itu, salah seorang dari mereka berkata kepada Abu
Thalib, seraya memberi dorongan, “Sesungguhnya, keponakanmu ingin agar
kamu memperhatikan omongan anakmu dan mematuhinya.”[3]
Di sini
secara tidak langsung, para penulis Syiah di atas menafikan peran Abdullah bin
Saba’ (w. 40 H) dalam kancah sejarah awal kemunculan Syiah. Memang, tidak
sedikit dari kalangan penulis Syiah mutakhir yang mempermasalahkan kebenaran
munculnya orang Yahudi yang digembar-gemborkan sebagai proklamator pecinta
keluarga Nabi SAW. (Ahlul Bait) ini, kendati keberadaan Abdullah bin
Saba’ telah menjadi kenyataan sejarah yang tak terelakkan, dan telah diungkap
profil, latarbelakang dan perannya oleh para ahli di setiap periode.
Seorang
penulis Syiah kontemporer, Murtadha al-‘Askari, adalah salah satu di antara
mereka yang mengingkari keberadaan Abdullah bin Saba’. Menurutnya, kisah
tentang Abdullah bin Saba’ hanyalah sebuah legenda yang tidak ditemukan ujung
pangkalnya, ia hanyalah tokoh fiktif yang dibuat-buat (utshurah).[4] Bahkan,
di antara penulis itu, seperti Ali al-Wardi dan Musthafa asy-Syaibi,
beranggapan bahwa Abdullah bin Saba’ tidak lain adalah seorang sahabat yang
bernama Ammar bin Yasir ra.[5]
Penafian
terhadap Ibnu Saba’ juga diakui seorang penulis kenamaan terkini, Dr. Quraish
Shihab. Berikut kutipan komentar sosok yang dikenal sebagai pakar tafsir modern
ini dalam bukunya, Sunnah Syiah
Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran:
“Rasanya tidaklah logis, seorang Yahudi dapat mempengaruhi sahabat-sahabat
besar Nabi SAW. Tak dapat dibayangkan, bahwa tokoh semacam Sayyidina Ali bin
Abi Thalib, Thalhah dan az-Zubair ra—yang pengetahuan, keikhlasan, dan
kedekatan mereka kepada Nabi SAW. sudah umum diketahui—dapat dikelabui oleh
seorang Yahudi, sehingga upaya berdamai mereka gagal. Karena itu, banyak pakar,
baik Sunnah, lebih-lebih Syiah, yang menolak bukan saja peranan Abdullah bin
Saba’ yang demikian besar, tetapi wujud pribadinya dalam kenyataan pun mereka
sangsikan. Tidak sedikit pakar menilai bahwa pribadi Abdullah bin Saba’ sama
sekali tidak pernah ada. Ia adalah tokoh fiktif yang diciptakan para
anti-Syiah. Ia (Abdullah bin Saba’) adalah sosok yang tidak pernah wujud dalam
kenyataan. Thaha Husain – ilmuwan kenamaan Mesir – adalah seorang yang
menegaskan ketiadaan Bin Saba’ itu. Dan bahwa ia adalah hasil rekayasa
musuh-musuh Syiah.”[6]
Namun,
jika kita merujuk pada buku-buku sejarah yang otoratif, atau pada pernyataan
para sejarawan terkemuka, agaknya pernyataan dari para tokoh Syiah ini lebih
merupakan upaya preventif dalam rangka melindungi akidah dan menutupi kedok
mereka. Sebab dalam catatan sejarah perkembangan Islam, peran Abdullah bin Saba’ sudah menjadi
rahasia umum. Malah, biang keladi gerakan yang mengobarkan pemberontakan
terhadap khalifah Utsman bin Affan ra. ini tidak hanya menjadi bahan
dokumentasi ulama Sunni, tokoh-tokoh Syiah pun tidak ketinggalan membukukan
biografinya. Tidak sedikit para pemuka Syiah yang diakui memiliki kapabilitas
dan dinilai ‘tsiqah’ periwayatannya, mengakui akan keberadaan
sosok yang disebut sebagai Abdullah bin Saba’.
Sa’ad
al-Qummi, seorang tokoh dan pakar fikih Syiah abad ketiga, tidak memungkiri
keadaan Abdullah bin Saba’. Tokoh yang dikenal ‘tsiqah’ dan
memiliki wawasan luas di kalangan Syiah ini, malah menyebutkan dengan rinci
para pengikut Abdullah bin Saba’, yang dikenal dengan sekte Saba’iyah. Dalam
karyanya, Al-Maqalat wa al-Firaq, al-Qummi menyatakan bahwa
Saba’iyah adalah sekte (firqah) pertama kali yang menerapkan sikap
mendukung atau mencintai secara berlebihan (al-ghuluw) terhadap
Sayyidina Ali ra. dalam perjalanan sejarah Islam.
Menurut
tokoh Syiah—yang konon telah bertemu dengan Imam-iman Syiah yang ma’shum—Abdullah
bin Saba’ adalah orang pertama kali yang memunculkan cacian dan kebencian
terhadap Abu Bakar, Umar, Utsman dan para sahabat ra. atas dasar perintah
Sayyidina Ali ra. Akan tetapi, ketika perilaku itu diketahui oleh Sayyidina Ali
ra., beliau lantas memerintahkan agar Abdullah bin Saba’ dibunuh. Akhirnya,
Abdullah bin Saba’ diasingkan ke Mada’in.[7]
Kisah
tentang Abdullah bin Saba’ juga dikutip oleh guru besar Syiah, An-Nubakhti dan
Al-Kasyi.[8] Kedua
guru besar Syiah ini—dikalangan Syiah—dikenal ‘tsiqah’ dan
menjadi rujukan mereka. Kutipan statemen yang dipaparkan oleh Al-Kasyi berikut
akan lebih memperjelas tentang wujud Abdullah bin Saba’: “Para pakar
ilmu menyebutkan bahwa Abdullah bin Saba’ adalah orang Yahudi yang kemudian
masuk Islam. Atas dasar keyahudiannya, ia menggambarkan Ali ra. setelah
wafatnya Rasulullah SAW. sebagai Yusya’ bin Nun yang mendapatkan wasiat dari
Nabi Musa As…”
Sejarawan
kenamaan Syiah pada masa dinasti Abbasiyah, Ahmad bin Abi Ya’qub, juga ikut andil
mencatat sosok Abdullah bin Saba’. Dia mengutip perkataan Sayyidina Utsman ra.
saat marah-marah terhadap Sahabat Ammar bin Yasir karena telah merahasiakan
wafatnya Abdullah bin Mas’ud dan Miqdad bin Al-Aswad: “Celakalah Ibnu
as-Sauda’ (Abdullah bin Saba’) itu. Sungguh aku benar-benar mengetahuinya.”[9]
Dalam
salah satu karyanya, Ibnu Khaldun juga menyebutkan bahwa Abdullah bin
Saba’—yang populer dengan sebutan Ibnu as-Sauda’—adalah orang Yahudi. Dia
memeluk agama Islam pada masa Sayyidina Utsman bin Affan ra., namun sangat
tidak mencerminkan kepribadian seorang Muslim.[10] Saat
Sayyidina Utsman bin Affan ra. menjabat sebagai khalifah, Abdullah bin Saba’
berkali-kali diasingkan dari komunitas Muslim. Mula-mula ia dibuang ke Bashrah,
kemudian diusir oleh Abdullah bin Amir dan melarikan diri ke Kufah, lalu ke
negeri Syam hingga akhirnya ke Mesir. Di sanalah dia melanjutkan misinya;
menyebarkan propaganda untuk mempengaruhi banyak orang agar mencaci Sayyidina
Utsman ra.[11] Dalam
propagandanya, dia menyatakan bahwa Utsman ra. telah merampas hak khilafah.
Secara diam-diam, sosok yang konon berdarah Yaman itu juga mengajak penduduk
Mesir untuk memihak pada Ahlul Bait. Dia menegaskan bahwa Sayyidina
Ali ra. adalah orang yang mendapat wasiat dari Rasulullah SAW. untuk menjdai
penggantinya.[12]
Berangkat
dari paparan para penulis Sunni dan para guru besar Syiah ini, jelaslah
kiranya, bahwa orang-orang Syiah kontemporer berusaha untuk menyembunyikan
kenyataan ini. Mereka sengaja melakukan distorsi terhadap fakta sejarah yang
tidak hanya ditulis oleh para penulis Sunni dan para sejarawan yang otoritatif,
namun juga diakui oleh orang-orang Syiah sendiri. Mereka menutup-nutupi keberadaan
Abdullah bin Saba’ karena ideologinya tidak jauh berbeda dengan ideologi
Saba’iyah.
Dalam hal
ini, Dr. Ahmad Muhammad Ahmad Jaliy dalam bukunya Dirasah ‘an al-Firaq
fi Tarikh al-Muslimin “al-Khawarij wa asy-Syi’ah” dan Dr. Nashir bin
Abdillah Al-Qifari dalam Ushulu Madzahib asy-Syiah al-Imamiyah al-Itsna
‘Asyariyah, menulis bahwa orang-orang Syiah memang sengaja berupaya
menutup-nutupi peran Abdullah bin Saba’ dalam sejarah awal kemunculan
alirannya. Upaya mereka dalam mengembalikan sejarah awal kemunculan sektenya
pada masa Nabi SAW. sebetulnya adalah upaya pelarian, guna menyangkal gerak
mereka yang kontras Syiah, dan telah membuktikan bahwa ideologi Syiah memang
bersumber dari Yahudi dan doktrin-doktrin Persia.[13]
Lebih
jelas, Dr. Ahmad Muhammad Ahmad Jaliy menegaskan: “Dalam sorotan kajian
ilmiah mutakhir untuk permasalahan krusial dalam sejarah Islam ini, pandangan
Thaha Husain dan sejenisnya mengenai Abdullah bin Saba’ tidak dihiraukan oleh
para pengkaji yang menekankan penelitian mendalam terhadap berita-berita dan
realita seputar gerakan Saba’iyah. Mereka menetapkan fakta yang tidak
memberikan ruang keraguan akan keberadaan Abdullah bin Saba’ dan hal-hal yang
berkenaan dengannya, dalam menggerakan fitnah dan mempersiapkan kehancurannya
dengan rapi.”[14]
Sementara
asumsi yang dimunculkan oleh Dr. Quraish Shihab di atas, adalah asumsi yang
meleset dan tidak memiliki landasan apapun dari sejarah. Kekeliruan Dr. Quraish
Shihab terletak pada pilihan beliau yang hanya mengikuti asumsi penulis Syiah
kontemporer, yakni Muhammad Ali Kasyif al-Ghitha’, dimana pernyataannya juga
ditolak mentah-mentah oleh para ahli serta bertentangan dengan pandangan
ulama-ulama Syiah terdahulu yang dianggap otoritatif.
Maka
dapat dimaklumi, bahwa pemaparan Dr. Quraish Shihab dalam konteks ini sungguh
amat dangkal. Beliau tidak berani masuk pada akar permasalahan dan sama sekali
tidak menunjukkan bukti-bukti kesejarahan dari sumber-sumbernya yang
terpercaya. Dr. Quraish Shihab, misalnya, sama sekali tidak melakukan pembacaan
terhadap situasi dan kondisi umat Islam, di mana Abdullah bin Saba’ melancarkan
berbagai propagandanya.
Namun
demikian, upaya Dr. Quraish Shihab yang perlu mendapat acungan jempol adalah
kelihaiannya dalam menggiring logika pembaca, dan pembacaannya yang cermat
terhadap nalar mereka. Bahwa siapa pun akan setuju dengan pernyataan bahwa
Sayyidina Ali ra. tidak mungkin terpengaruh oleh propaganda murahan Abdullah
bin Saba’, sebab faktanya, Sayyidina Ali ra. sendiri pernah membakar
hidup-hidup para pengikut abdullah bin Saba’ yang mengkultuskan beliau. Demikian
pula halnya dengan pemuka sahabat yang lain, mereka semua tidak ada yang
terpengaruh oleh fitnah Ibnu Saba’, sebab ia (Abdullah bin Saba’) hanya
menyebarkan ajaran-ajaran sesatnya kepada masyarakat Muslim awam, yang
sebelumnya telah termakan isu miring mengenai berbagai penyelewengan yang
dilakukan oleh para menteri dan gubernur Khalifah Utsman ra.
Abdullah
bin Saba’ berikut para musuh Islam lain yang sebelumnya telah dipecundangi umat
Islam, pada periode Khalifah Utsman seakan menemukan momentum baru untuk
melakukan pembalasan terhadap kaum Muslimin. Di sinilah mereka berjuang
mengorbankan fitnah dikalangan masyarakat akar rumput yang tidak selektif dalam
menerima informasi, serta telah terlanjur membenci para pemimpin daerah dan
para pemegang kebijakan pada periode pemerintahan Sayyidina Utsman ra.
Nah,
disinilah Abdullah bin Saba’ berhasil mencaplok sebagian besar mereka yang
menaruh dendam kepada pemerintah. Ia mulai menyebarkan akidah-akidah menyimpang
yang diadopsinya dari ajaran Yahudi, seperti raj’ah, bada’, para
nabi, para washi dan sebagainya. Menurutnya, setiap nabi pasti
mempunyai washi , dan Ali adalah washi-nya Nabi
Muhammad SAW. Setelah berhasil menyebarkan akidah tersebut, selanjutnya ia
beralih menyebarkan sikap anti-Utsman dengan cara mencemarkan nama baik beliau
yang dituduh merampas kursi kekhilafahan Sayyidina Ali ra. tanpa hak.
Selanjutnya, provokasi Abdullah bin Saba’ yang sangat rapi dan terencana ini
berujung pada kudeta kepala Negara dan terbunuhnya sang Khalifah.[15]
Kembali
pada ajaran sesat Abdullah bin Saba’, sekalipun gerakan pengkultusan terhadap
Sayyidina Ali ra. sendiri, sebagaimana paparan guru besar Syiah, al-Qummi,
namun ideologi yang diajarkan Abdullah bin Saba’ terlanjur tertanam subur dalam
benak orang-orang yang memiliki nilai keimanan dangkal. Semakin hari, doktrin
sesat Abdullah bin Saba’ itu semakin merebah ke berbagai kawasan.
Peristiwa
Jamal dan Shiffin yang kemudian disusul dengan terbunuhnya Ali ra. dan Husain
putra Ali ra., selanjutnya menjadi semacam pupuk yang semakin menyuburkan
doktrin-doktrin sesat Abdullah bin Saba’ itu. Kufah adalah sasaran utamanya
dalam penyebaran fitnah dan propaganda ideologis atas nama kecintaan terhadap Ahlul
Bait. Peristiwa -peristiwa itulah yang mereka jadikan momentum baru untuk
memperkokoh propagandanya yang tidak lain hanyalah untuk menghancurkan
persatuan umat Islam.[16]
By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku Mungkinkah
SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah
Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)
[1] Muhammad Husain Ali Kasyif
al-Ghitha’, Ashl as-Syiah wa Ushuliha, hlm. 43
[2] Muhammad Jawwad Mughniyah, asy-Syiah
fi al-Mizan, hlm. 17 dan Tarikh al-Fikr al-Ja’fari, hlm.
105; al-Wabili, Hawiyat asy-Syiah, hlm. 27 dan buku-buku Syiah kontemporer
lainnya.
[3], Ayatullah Ruhullah Khomaini, al-Hukumah
al-Islamiyyah,hlm. 131.
[4] Murtadha al-‘Askari, Abdullah bin
Saba’, hlm. 35 dan seterusnya.
[5] Ali al-Wardi, Wu’adh as-Shalathin,
hlm. 274 dan Musthafa asy-Syaibi, as-Shilah baina at-Tashawuf wa
at-Tasyayyu’, hlm. 40-41
[6] Dr. Quraish Shihab, Sunnah Syiah
Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Hlm. 65.
[7] Al-Qummi, Al-Maqalat wa al-Firaq, hlm.
20.
[8] Lihat penjelasan Abdullah bin Saba’
dalam Firaq as-Syi’ahkarya An-Naubakhti, hlm. 22 dan Rijal
al-Kasyi, hlm. 106-108. Lihat pula penjelasan lengkap oleh Sulaiman
bin Hamad Al-‘Audah dalam Abdullah bin Saba’ wa Atsaruhu fi-Ahdatsi
al-Fitnah fi-Shadhri al-Islam.
[9] Tarikh al-Ya’qubi, juz 2 hlm.
171. Dalam literatur sejarah Islam dijelaskan bahwa Ibnu Sauda’ adalah nama
Abdullah bin Saba’ yang populer. Lihat dalam Tarikh Ibnu Khaldun,
juz 2 hlm. 139-161 dan juz 3 hlm. 171.
[10] Sayyid Husain Al-Musawi, setelah keluar
dari sekte Syiah, mengungkap dan mengakui bahwa Abdullah bin Saba’ adalah orang
Yahudi yang menampakkan diri sebagai seorang Muslim. Lihat pula Umar Abdul
Jabbar; Khulashah Nurul Yaqin.
[11] Dalam catatan Dr. Muhammad Kamil
Al-Hasyimi dijelaskan bahwa orang-orang yang dipropaganda oleh Abdullah bin
Saba’ adalah orang-orang Mesir yang tidak puas dengan wakil-wakil Khalifah
Utsman ra. yang ada di Mesir dan daerah-daerah lain. ‘Aqa’idu as-Syiah fi
al-Mizan (dalam edisi Bahasa Indonesia, Hakikat Akidah Syiah),
hlm. 14.
[12] Tarikh Ibnu Khaldun, juz 2
hlm. 139. Lihat juga kutipan kitabRaudh Shafa karya sejarawan Iran
oleh Dr. Ahmad Kamal Sya’t dalam bukunya Asy-Syi’ah Al-Imamiyah
Falsafah wa Tarikh, hlm. 109.
[13] Lihat, Dr. Ahmad Muhammad Ahmad
Jaliy, Dirasah ‘an al-Firaq wa Tarikh al-Muslimin, Al-Khawarij wa
asy-Syi’ah, hlm. 156. Lihat juga, Dr. Nashir bin Abdillah
Al-Qifari, Ushul Madzhab asy-Syi’ah al-Imamiyah al-Itsna
‘Asyariyah, juz 1 hlm. 72-73, dan Muhammad Al-Bandari, At-Tasyayyu’
baina Mafhum al-A’immah wa al-Mafhum al-Farisi, hlm. 20.
[14] Dr. Ahmad Muhammad Ahmad Jaliy, Dirasah
‘an al-Firaq wa Tarikh al-Muslimin, Al-Khawarij wa asy-Syi’ah, hlm.
157.
[15] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir
ath-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, juz 4 hlm. 340-341.
[16] Dr. Muhammad Kamil al-Hasyimi, ‘Aqa’idu
asy-Syiah fi al-Mizan (edisi Bahasa Indonesia, Hakikat Akidah Syiah),
hlm. 16.