Tokoh Syiah pemilik Mizan Grup, Bung Haidar Bagir, yang masih
konsisten bertaqiyah akan kesyiahannya, pernah ditanya tentang doktrin
taqiyyah ala Syiah. Pertanyaan itu sebagai berikut: “Syiah punya
doktrin menyembunyikan keyakinan (taqiyah). Dengan doktrin ini orang Syiah akan
bersikap baik di depan, tapi di belakang menjelekkan orang-orang Sunni.
Komentar Anda?”
Pertanyaan di atas diajukan oleh Warsa Tarsono dari Madina
Online saat mewawancarai Bung Haidar Bagir, di salah satu kantornya di
Cinere, Depok. Saat itu, Bung Haidar menjawab:
“Sebenarnya taqiyah itu kan akal sehat. Taqiyah itu ada di dalam
Al-Quran. Orang tidak boleh menyangkal keesaan Allah kecuali dalam keadaan
takut. Ada riwayat yang mengisahkan ibunya Amar bin Yasir dibunuh karena ketika
dia dipaksa menyatakan Tuhannya adalah Latta dan Uzza dia teguh menyatakan
bahwa Tuhannya adalah Allah. Tapi saat Amar bin Yasir yang ditanya, dia
menjawab Tuhan dia adalah Latta dan Uzza. Akhirnya Amar Bin Yasir dilepaskan.
Kemudian Amar bin Yasir menghadap Rasulullah sambil menangis. Dia
berkata, “Saya tadi sudah mengaku Latta dan Uzza sebagai Tuhan saya. Kalau
tidak mengatakan itu saya akan dibunuh.” Nabi menjawab, “Bagaimana hati kamu?”
Amar menjawab, “Hati saya tentram. Hati saya pada Allah.” Kemudian Nabi berkata
lagi, “Kalau mereka menyiksa kamu lagi dan menyuruh kamu mengaku Tuhan kamu
Latta dan Uzza, katakan saja begitu.”
Sederhana saja, orang Syiah itu minoritas. Mereka banyak ditindas
di mana-mana. Nah kalau dia ditindas karena dia Syiah, lalu dia menyembunyikan
kesyiahannya apa tidak boleh? Salahnya apa orang menyembunyikan keyakinannya
dalam keadaan nyawanya atau keyakinannya terancam? Kalau taqiyah orang Syiah itu
sengaja untuk mengelabui dan kemudian menusuk dari belakang orang Sunni itu
tidak ada. Kalau maksudnya untuk menyembunyikan keimanan untuk keselamatan
dalam keadaan ditindas, tidak usah orang Syiah, mayoritas orang waras pun
melakukannya. Apakah orang-orang yang saat ini menuduh Syiah ber-taqiyah dulu
mereka terbuka melawan Soeharto? Kalau anti Soeharto tapi tidak melawan atau
dia diam itu namanya apa? Itu taqiyah. Jadi taqiyah tidak hanya dilakukan orang
Syiah tapi yang lainnya juga. Terutama kalangan yang dalam keadaan tertindas.”[1]
Jawaban Bung Haidar di atas bisa jadi mengagetkan sebagian pihak,
namun biasa saja bagi pihak lain, karena jawaban di atas dianggap sebagai
“jawaban taqiyah”nya Bung Haidar. Ini resiko bagi orang yang meyakini kebenaran
doktrin taqiyyahunlimited. Saat berbicara jujur pun ia akan dinilai
sedang bertaqiyyah oleh orang lain.
Al-Quran Melegitimasi Taqiyyah Syiah?
Kata Bung Haidar, “Sebenarnya taqiyah itu kan akal sehat.
Taqiyah itu ada di dalam Al-Quran. Orang tidak boleh menyangkal keesaan Allah
kecuali dalam keadaan takut.”
Mengajukan konsep taqiyyah dalam Al-Qur’an untuk melegitimasi
taqiyyah ala Syiah tentu tidak benar secara akidah dan ilmiah, karena
konsep taqiyyah yang diterapkan Syiah tidaklah sama dengan
taqiyyah yang dijelaskan al-Qur’an.
Apa taqiyyah menurut doktrin Syiah? Ulama kenamaan Syiah, Syekh
Al-Mufid[2] (W. 413 H) berkata, semoga saja Bung
Haidar percaya, bahwa beliau tidak sedang bertaqiyyah:
التَّقِيَّةُ كِتْمَانُ
الْحَقِّ وَسَتْرُ الإِعْتِقَادِ فِيْهِ ومُكَاتَمَةُ الْمُخَالِفِيْنَ وَتَرْكُ
مُظَاهَرَتِهِمْ بِمَا يُعْقِبُ ضَرَرًا فِي الدِّيْنِ أَوِ الدُّنْيَا
"Taqiyyah adalah menyimpan kebenaran dan menyembunyikan
keyakinan, serta merahasiakannya terhadap orang-orang yang tidak seakidah
dan tidak minta bantuan mereka dalam hal-hal yang dapat mengakibatkan bahaya,
baik dalam urusan agama maupun keduniaan.” [3]
Syekh al-Mufid hendak menjelaskan bahwa taqiyyah ala
Syiah berarti mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinannya sendiri,
dalam rangka menyelamatkan diri dari orang yang tidak sepaham dalam akidah
Syiahnya.
Jadi, taqiyyah dalam keyakinan Syiah justru
dipergunakan ketika mereka berhadapan dengan umat Islam yang tidak seakidah
dengan mereka. Hal demikian karena Syiah beranggapan jika Ahlussunnah lebih
jelek dari dari pada orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Dalam hukum-hukum keagamaan Syiah, menerapkan konseptaqiyyah ketika
bergaul dengan umat Islam adalah suatu kewajiban. Dalam hal ini, Hurr al-‘Amili
menulis satu judul khusus dalam kitabnya, Wasa’il asy-Syi’ah, yang
menjelaskan kewajiban kaum Syiah menggunakan konsep taqiyyah ketika
bergaul dengan Ahlussunnah:
بَابُ وُجُوْبِ عِشْرَةِ العَامَّةِ (أَهْلِ السُّنَّةِ)
بِالتَّقِيَّةِ.
“Bab menjelaskan kewajiban berinteraksi dengan kalangan
mayoritas (Ahlussunnah) dengan menerapkan konsep taqiyyah.”[4]
Selain itu, taqiyyah bagi Syiah bukanlah sekadar
anjuran atau dispensasi (rukhshah), akan tetapi dijadikan sebagai bagian
dari pilar-pilar atau rukun-rukun agama (arkan ad-din), seperti halnya
shalat dalam Islam. Barangsiapa tidak bersedia menerapkan konsep taqiyyah, maka
berarti ia telah merobohkan salah satu pilar agama. Mengenai hal ini, tokoh
Syiah kenamaan, Ibnu Babawaih al-Qummi, memberikan penjelasan sebagai berikut:
اِعْتِقَادُنَا فِيْ التَّقِيَّةِ أَنَّهَا وَاجِبَةٌ مَنْ تَرْكَهَا
بِمَنْزِلَةِ مَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ.
“Keyakinan kita tentang taqiyyah adalah wajib,
barangsiapa meninggalkan taqiyyah sama halnya dengan meninggalkan
shalat.”[5]
Dalam kitab induk Syiah, Ushul al- Kafi, dijelaskan
bahwa orang yang tidak bersedia menggunakan konsep taqiyyah berarti
tidak beragama:
إِنَّ تِسْعَةَ أَعْشَارِ الدِّيْنِ فِيْ التَّقِيَّةِ وَلَا دِيْنَ
لِمَنْ لَا تَقِيَّةَ لَهُ.
“Sesungguhnya sembilan dari seperpuluh agama berada dalam
taqiyyah, barangsiapa yang tidak bersedia menggunakan konsep
taqiyyah berarti tidak beragama.”[6]
Lebih jauh, dalam Tafsir Hasan al-‘Askari dikemukakan,
bahwa dosa meninggalkan taqiyyah tidak akan diampuni oleh
Allah Swt., yang berarti meninggalkan taqiyyah sama halnya
dengan menyekutukan Allah Swt. (syirik):
يَغْفِرُ اللهُ للمُؤْمِنِ كُلَّ ذَنْبٍ يَظْهَرُ مِنْهُ فِيْ
الدّنْيَا والآخرَةِ. مَا خَلَا ذَنْبَيْنِ: تَرْكَ التَّقِيَّةِ وَتَضْيِيْعَ
حُقُوقِ الإِخْوَانِ.
“Allah SWT. akan mengampuni segala dosa yang dikerjakan oleh orang
mukmin, baik di dunia maupun di akhirat, kecuali dua perkara, yaitu
meninggalkan taqiyyah dan menyia-nyiakan hak-hak saudara.”[7]
Paparan keterangan para tokoh di atas, semoga saja mereka tidak
sedang bertaqiyyah, sudah cukup menjelaskan bahwa:
- Syiah tidak meletakan taqiyyah hanya
sebagai dispensasi (rukhshah), akan tetapi sebagai rukun agama.
- Taqiyyah tidak diterapkan untuk menjaga keimanan dari ancaman
orang kafir, akan tetapi diterapkan untuk menyembunyikan keyakinan yang
ganjil dari kelompok muslim mayoritas (Sunni).
- Bagi Syiah, taqiyyah lebih dari sekedar kebutuhan temporal, akan tetapi merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan secara kontinu tanpa terputus waktu.
Kalau begitu, dimana letak perbedaan konsep taqiyyah ala
Syiah dengan taqiyyah yang dijelaskan al-Qur’an?
Orang-orang Arab biasa mengungkapkan kata taqiyyah dengan
kalimat “tuqah”. Dalam al-Qur’an disebutkan:
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ
الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا
أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى
اللَّهِ الْمَصِير
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi
wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian,
niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara
diri dari sesuatu yang yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu
terhadap diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah kembali (mu).”(QS. Al-‘Imran [3]: 28)
Al-Qur’an membenarkan seseorang mengucapkan kata-kata kufur, jika
terancam jiwa, badan atau harta bendanya. Dalam al-Qur’an dijelaskan:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ
وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا
فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia
mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya
tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan
baginya azab yang besar.” (QS. An-Nahl [16]: 106)
Dalam berbagai kitab tafsir dijelaskan, bahwa ayat ini turun
menyangkut kasus sahabat Nabi saw., bernama ‘Ammar bin Yasir Ra., yang
mengucapkan kalimat kufur karena dipaksa oleh kaum musyrik untuk
mengucapkannya, dan jika enggan akan dibunuh, sebagaimana mereka telah membunuh
kedua orang tuanya. Akibat desakan tersebut, Ammar mengucapkan kalimat kufur,
dan ketika ia menyampaikan halnya kepada Rasulullah saw., maka turunlah ayat di
atas yang membenarkan sikapnya, dan Rasulullah saw. berpesan kepadanya: “Kalau
mereka kembali mengancammu, maka engkau boleh mengucapkan lagi kalimat kufur,
selama hatimu tetap tenang dalam keimanan.”[8]
Secara tersurat, ayat ini merupakan dalil bagi bolehnya
mengucapkan kalimat-kalimat kufur atau perbuatan yang mengandung makna
kekufuran, saat seorang muslim berada dalam keadaan terpaksa, walaupun menurut
mayoritas ulama, menyatakan dengan tegas keyakinan justru lebih baik,
sebagaimana dilakukan oleh kedua orang tua Ammar.[9]
Dari sini, para ulama memahami, bahwa taqiyyah merupakan
sebuah rukhshah (dispensasi Syariat) yang dapat diterapkan
hanya dalam keadaan terdesak (idhtirar). Karena itu, dalam ayat ke-28
surat Ali Imran di atas, taqiyyah dijadikan sebagai
pengecualian dari larangan menjadikan orang mukmin sebagai wali: “Janganlah
orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mukmin…kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu
yang ditakuti dari mereka.”
Bahkan, status taqiyyah sebagai rukhshah yang
hanya bisa diterapkan dalam keadaan terdesak ketika menghadapi orang kafir ini
sudah merupakan kesepakatan ulama (ijma’). Dalam hal ini, Ibnu
al-Mundzir berkata:
أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ مَنْ أُكْرِهَ عَلَى الكُفْرِ حَتَّى خَشِيَ
عَلَى نَفْسِهِ الْقَتْلَ فَكَفَرَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌ بِالإِيْمَانِ أَنَّهُ
لَا يُحْكَمُ عَلَيْهِ بِالْكُفْرِ.
“Para ulama bersepakat bahwa orang yang dipaksa menjadi kafir
dengan pemaksaan hingga pada taraf yang membahayakan dirinya dengan dibunuh,
lalu ia menyatakan kekafiran, namun hatinya tetap tenang dalam keimanan, maka
orang tersebut tidak dihukumi kafir.”[10]
Kendati diperbolehkan menggunakan konsep taqiyyah dalam
keadaan terdesak, akan tetapi kesepakatan para ulama selanjutnya adalah lebih
mengutamakan orang yang tidak menggunakan taqiyyah. Mengenai
hal ini, Ibnu Bathal menegaskan:
وَ أَجْمَعُوْا عَلَى
أَنَّ مَنْ أُكْرِهَ عَلَى الكُفْرِ وَاخْتَارَ الْقَتْلَ أَنَّهُ أَعْظَمُ
أَجْرًا عِنْدَ اللهِ.
“Para ulama bersepakat bahwa orang yang dipaksa untuk kafir, namun
ia lebih memilih dibunuh, maka ia akan mendapatkan pahala yang lebih besar di
sisi Allah Swt.”[11]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa taqiyyahhanya
dapat diterapkan dalam menghadapi orang kafir dan dalam keadaan terpaksa. Islam
sebagai agama dakwah, tidak mematok taqiyyah sebagai konsep
yang permanen. Taqiyyahjuga tidak diterapkann secara umum dan
menyeluruh untuk semua umat Islam. Akan tetapi tertentu pada individu-individu
yang lemah dan hanya dalam tempo yang diperlukan beserta ada unsur
keterpaksaan. Nah, apabila faktor-faktor tersebut sudah tak ditemukan, maka
keleluasaan untuk menerapkan konsep taqiyyah sudah tidak
diberikan lagi.[12]
Maka dari itu, para ulama salaf berkesimpulan bahwa taqiyyahtidak
bisa di pakai lagi setelah Allah Swt. menjayakan agama Islam. Sahabat Muadz bin
Jabal dan Imam Mujahid berkata: “Taqiyyah diterapkan dalam Islam
sebelum orang-orang Islam kuat dan jaya, sedangkan pada masa sekarang taqiyyah sudah
tidak difungsikan lagi, sebab Islam sudah jaya dan orang-orang Islam sudah
kuat.”[13]
Penjelasan mengenai pengertian, latar belakang, maksud dan tujuan
serta ruang-lingkup penggunaan taqiyyah dalam konsep Islam,
seperti dikemukakan di atas, tentu saja sangat kontras dengan taqiyyah ala
Syiah, baik mengenai pengertian, latar belakang, maksud dan tujuan serta
ruang-lingkup penggunaannya.
Dengan begitu, mengajukan kasus Ammar bin Yasir untuk mengclearkan
taqiyyah ala Syiah tentu tidak relevan secara akidah dan ilmiah, namun bisa
jadi sah-sah saja bagi orang yang sedang memberi “jawaban taqiyah”. Bukankah
bagi orang bertaqiyyah, segala sesuatu itu menjadi serba mungkin?
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
[1]Silahkan akses http://www.madinaonline.id/sosok/haidar-bagir-sejarah-sunni-syiah-adalah-sejarah-perdamaian/
[2]Namanya Muhamad bin Muhamad bin al-Nu’man
al-‘Akbari al-Baghdadi, salah seorang ulama Syi’ah kenamaan.
[3] Lihat, Tashhih I’tiqadat
al-Imamiyyah, hlm. 138.
[4] Lihat, Wasa’il
asy-Syi’ah, Juz 11, hlm. 470.
[5] Lihat, Ibnu Babawaih, Al-I’tiqadat, hlm.
114.
[6] Lihat, Ushul Kafi, Juz
2, hlm. 217.
[7] Lihat, Tafsir Hasan
al-‘Askari, hlm. 113.
[8] Lihat, Tafsir
ath-Thabari, Juz 17, hlm. 304; Tafsir Ibnu Katsir,Juz 4,
hlm. 605; dan Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilal al-Qur’an, Juz 4,
hlm. 492.
[9] Lihat, Fath
al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Juz 12, hlm. 314.
[10] Lihat, Fath, al-Bari, Juz
12, hlm. 314.
[11] Ibid., hlm. 317.
[12] Lihat, Ushul Madzhab
asy-Syi’ah, Juz 2, hlm. 980-981.
[13] Ibid., hlm. 978. Bandingkan dengan
penjelasan Al-Qurthubi dalam Tafsir al-Qurthubi, Juz 4, hlm.
57 dan Asy-Syaukani dalamFath al-Qadir, Juz 1, hlm. 331.