Friday, December 4, 2015

Taqiyyah Ala Bung Haidar


Tokoh Syiah pemilik Mizan Grup, Bung Haidar Bagir, yang masih konsisten  bertaqiyah akan kesyiahannya, pernah ditanya tentang doktrin taqiyyah ala Syiah. Pertanyaan itu sebagai berikut: “Syiah punya doktrin menyembunyikan keyakinan (taqiyah). Dengan doktrin ini orang Syiah akan bersikap baik di depan, tapi di belakang menjelekkan orang-orang Sunni. Komentar Anda?”
Pertanyaan di atas diajukan oleh Warsa Tarsono dari Madina Online saat mewawancarai Bung Haidar Bagir, di salah satu kantornya di Cinere, Depok. Saat itu, Bung Haidar menjawab:
“Sebenarnya taqiyah itu kan akal sehat. Taqiyah itu ada di dalam Al-Quran. Orang tidak boleh menyangkal keesaan Allah kecuali dalam keadaan takut. Ada riwayat yang mengisahkan ibunya Amar bin Yasir dibunuh karena ketika dia dipaksa menyatakan Tuhannya adalah Latta dan Uzza dia teguh menyatakan bahwa Tuhannya adalah Allah. Tapi saat Amar bin Yasir yang ditanya, dia menjawab Tuhan dia adalah Latta dan Uzza. Akhirnya Amar Bin Yasir dilepaskan.

Kemudian Amar bin Yasir menghadap Rasulullah sambil menangis. Dia berkata, “Saya tadi sudah mengaku Latta dan Uzza sebagai Tuhan saya. Kalau tidak mengatakan itu saya akan dibunuh.” Nabi menjawab, “Bagaimana hati kamu?” Amar menjawab, “Hati saya tentram. Hati saya pada Allah.” Kemudian Nabi berkata lagi, “Kalau mereka menyiksa kamu lagi dan menyuruh kamu mengaku Tuhan kamu Latta dan Uzza, katakan saja begitu.”

Sederhana saja, orang Syiah itu minoritas. Mereka banyak ditindas di mana-mana. Nah kalau dia ditindas karena dia Syiah, lalu dia menyembunyikan kesyiahannya apa tidak boleh? Salahnya apa orang menyembunyikan keyakinannya dalam keadaan nyawanya atau keyakinannya terancam? Kalau taqiyah orang Syiah itu sengaja untuk mengelabui dan kemudian menusuk dari belakang orang Sunni itu tidak ada. Kalau maksudnya untuk menyembunyikan keimanan untuk keselamatan dalam keadaan ditindas, tidak usah orang Syiah, mayoritas orang waras pun melakukannya. Apakah orang-orang yang saat ini menuduh Syiah ber-taqiyah dulu mereka terbuka melawan Soeharto? Kalau anti Soeharto tapi tidak melawan atau dia diam itu namanya apa? Itu taqiyah. Jadi taqiyah tidak hanya dilakukan orang Syiah tapi yang lainnya juga. Terutama kalangan yang dalam keadaan tertindas.”[1]
Jawaban Bung Haidar di atas bisa jadi mengagetkan sebagian pihak, namun biasa saja bagi pihak lain, karena jawaban di atas dianggap sebagai “jawaban taqiyah”nya Bung Haidar. Ini resiko bagi orang yang meyakini kebenaran doktrin taqiyyahunlimited. Saat berbicara jujur pun ia akan dinilai sedang bertaqiyyah oleh orang lain.
Al-Quran Melegitimasi Taqiyyah Syiah?
Kata Bung Haidar, Sebenarnya taqiyah itu kan akal sehat. Taqiyah itu ada di dalam Al-Quran. Orang tidak boleh menyangkal keesaan Allah kecuali dalam keadaan takut.”
Mengajukan konsep taqiyyah dalam Al-Qur’an untuk melegitimasi taqiyyah ala Syiah tentu tidak benar secara akidah dan ilmiah, karena konsep taqiyyah yang diterapkan Syiah tidaklah sama dengan taqiyyah yang dijelaskan al-Qur’an.
Apa taqiyyah menurut doktrin Syiah? Ulama kenamaan Syiah, Syekh Al-Mufid[2] (W. 413 H) berkata, semoga saja Bung Haidar percaya, bahwa beliau tidak sedang bertaqiyyah:
التَّقِيَّةُ كِتْمَانُ الْحَقِّ وَسَتْرُ الإِعْتِقَادِ فِيْهِ ومُكَاتَمَةُ الْمُخَالِفِيْنَ وَتَرْكُ مُظَاهَرَتِهِمْ بِمَا يُعْقِبُ ضَرَرًا فِي الدِّيْنِ أَوِ الدُّنْيَا
"Taqiyyah adalah menyimpan kebenaran dan menyembunyikan keyakinan, serta merahasiakannya terhadap orang-orang yang tidak seakidah dan tidak minta bantuan mereka dalam hal-hal yang dapat mengakibatkan bahaya, baik dalam urusan agama maupun keduniaan.” [3]

1

Syekh al-Mufid hendak menjelaskan bahwa taqiyyah ala Syiah berarti mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinannya sendiri, dalam rangka menyelamatkan diri dari orang yang tidak sepaham dalam akidah Syiahnya.
Jadi, taqiyyah dalam keyakinan Syiah justru dipergunakan ketika mereka berhadapan dengan umat Islam yang tidak seakidah dengan mereka. Hal demikian karena Syiah beranggapan jika Ahlussunnah lebih jelek dari dari pada orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Dalam hukum-hukum keagamaan Syiah, menerapkan konseptaqiyyah ketika bergaul dengan umat Islam adalah suatu kewajiban. Dalam hal ini, Hurr al-‘Amili menulis satu judul khusus dalam kitabnya, Wasa’il asy-Syi’ah, yang menjelaskan kewajiban kaum Syiah menggunakan konsep taqiyyah ketika bergaul dengan Ahlussunnah:
بَابُ وُجُوْبِ عِشْرَةِ العَامَّةِ (أَهْلِ السُّنَّةِ) بِالتَّقِيَّةِ.
 “Bab menjelaskan kewajiban berinteraksi dengan kalangan mayoritas (Ahlussunnah) dengan menerapkan konsep taqiyyah.”[4]
Selain itu, taqiyyah bagi Syiah bukanlah sekadar anjuran atau dispensasi (rukhshah), akan tetapi dijadikan sebagai bagian dari pilar-pilar atau rukun-rukun agama (arkan ad-din), seperti halnya shalat dalam Islam. Barangsiapa tidak bersedia menerapkan konsep taqiyyah, maka berarti ia telah merobohkan salah satu pilar agama. Mengenai hal ini, tokoh Syiah kenamaan, Ibnu Babawaih al-Qummi, memberikan penjelasan sebagai berikut:
اِعْتِقَادُنَا فِيْ التَّقِيَّةِ أَنَّهَا وَاجِبَةٌ مَنْ تَرْكَهَا بِمَنْزِلَةِ مَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ.
“Keyakinan kita tentang taqiyyah adalah wajib, barangsiapa meninggalkan taqiyyah sama halnya dengan meninggalkan shalat.”[5]
Dalam kitab induk Syiah, Ushul al- Kafi, dijelaskan bahwa orang yang tidak bersedia menggunakan konsep taqiyyah berarti tidak beragama:
إِنَّ تِسْعَةَ أَعْشَارِ الدِّيْنِ فِيْ التَّقِيَّةِ وَلَا دِيْنَ لِمَنْ لَا تَقِيَّةَ لَهُ.
 “Sesungguhnya sembilan dari seperpuluh agama berada dalam taqiyyahbarangsiapa yang tidak bersedia menggunakan konsep taqiyyah berarti tidak beragama.”[6]
Lebih jauh, dalam Tafsir Hasan al-‘Askari dikemukakan, bahwa dosa meninggalkan taqiyyah tidak akan diampuni oleh Allah Swt., yang berarti meninggalkan taqiyyah sama halnya dengan menyekutukan Allah Swt. (syirik):
يَغْفِرُ اللهُ للمُؤْمِنِ كُلَّ ذَنْبٍ يَظْهَرُ مِنْهُ فِيْ الدّنْيَا والآخرَةِ. مَا خَلَا ذَنْبَيْنِ: تَرْكَ التَّقِيَّةِ وَتَضْيِيْعَ حُقُوقِ الإِخْوَانِ.
“Allah SWT. akan mengampuni segala dosa yang dikerjakan oleh orang mukmin, baik di dunia maupun di akhirat, kecuali dua perkara, yaitu meninggalkan taqiyyah dan menyia-nyiakan hak-hak saudara.”[7]
Paparan keterangan para tokoh di atas, semoga saja mereka tidak sedang bertaqiyyah, sudah cukup menjelaskan bahwa:
  • Syiah tidak meletakan taqiyyah hanya sebagai dispensasi (rukhshah), akan tetapi sebagai rukun agama.
  • Taqiyyah tidak diterapkan untuk menjaga keimanan dari ancaman orang kafir, akan tetapi diterapkan untuk menyembunyikan keyakinan yang ganjil dari kelompok muslim mayoritas (Sunni).
  • Bagi Syiah, taqiyyah lebih dari sekedar kebutuhan temporal, akan tetapi merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan secara kontinu tanpa terputus waktu.
Kalau begitu, dimana letak perbedaan konsep taqiyyah ala Syiah dengan taqiyyah yang dijelaskan al-Qur’an?
Orang-orang Arab biasa mengungkapkan kata taqiyyah dengan kalimat “tuqah”. Dalam al-Qur’an disebutkan:
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِير
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah kembali (mu).”(QS. Al-‘Imran [3]: 28)
Al-Qur’an membenarkan seseorang mengucapkan kata-kata kufur, jika terancam jiwa, badan atau harta bendanya. Dalam al-Qur’an dijelaskan:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS. An-Nahl [16]: 106)
Dalam berbagai kitab tafsir dijelaskan, bahwa ayat ini turun menyangkut kasus sahabat Nabi saw., bernama ‘Ammar bin Yasir Ra., yang mengucapkan kalimat kufur karena dipaksa oleh kaum musyrik untuk mengucapkannya, dan jika enggan akan dibunuh, sebagaimana mereka telah membunuh kedua orang tuanya. Akibat desakan tersebut, Ammar mengucapkan kalimat kufur, dan ketika ia menyampaikan halnya kepada Rasulullah saw., maka turunlah ayat di atas yang membenarkan sikapnya, dan Rasulullah saw. berpesan kepadanya: “Kalau mereka kembali mengancammu, maka engkau boleh mengucapkan lagi kalimat kufur, selama hatimu tetap tenang dalam keimanan.”[8]
Secara tersurat, ayat ini merupakan dalil bagi bolehnya mengucapkan kalimat-kalimat kufur atau perbuatan yang mengandung makna kekufuran, saat seorang muslim berada dalam keadaan terpaksa, walaupun menurut mayoritas ulama, menyatakan dengan tegas keyakinan justru lebih baik, sebagaimana dilakukan oleh kedua orang tua Ammar.[9]
Dari sini, para ulama memahami, bahwa taqiyyah merupakan sebuah rukhshah (dispensasi Syariat) yang dapat diterapkan hanya dalam keadaan terdesak (idhtirar). Karena itu, dalam ayat ke-28 surat Ali Imran di atas, taqiyyah dijadikan sebagai pengecualian dari larangan menjadikan orang mukmin sebagai wali: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin…kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.”
Bahkan, status taqiyyah sebagai rukhshah yang hanya bisa diterapkan dalam keadaan terdesak ketika menghadapi orang kafir ini sudah merupakan kesepakatan ulama (ijma’). Dalam hal ini, Ibnu al-Mundzir berkata:
أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ مَنْ أُكْرِهَ عَلَى الكُفْرِ حَتَّى خَشِيَ عَلَى نَفْسِهِ الْقَتْلَ فَكَفَرَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌ بِالإِيْمَانِ أَنَّهُ لَا يُحْكَمُ عَلَيْهِ بِالْكُفْرِ.
“Para ulama bersepakat bahwa orang yang dipaksa menjadi kafir dengan pemaksaan hingga pada taraf yang membahayakan dirinya dengan dibunuh, lalu ia menyatakan kekafiran, namun hatinya tetap tenang dalam keimanan, maka orang tersebut tidak dihukumi kafir.”[10]
Kendati diperbolehkan menggunakan konsep taqiyyah dalam keadaan terdesak, akan tetapi kesepakatan para ulama selanjutnya adalah lebih mengutamakan orang yang tidak menggunakan taqiyyah. Mengenai hal ini, Ibnu Bathal menegaskan:
وَ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ مَنْ أُكْرِهَ عَلَى الكُفْرِ وَاخْتَارَ الْقَتْلَ أَنَّهُ أَعْظَمُ أَجْرًا عِنْدَ اللهِ.
“Para ulama bersepakat bahwa orang yang dipaksa untuk kafir, namun ia lebih memilih dibunuh, maka ia akan mendapatkan pahala yang lebih besar di sisi Allah Swt.”[11]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa taqiyyahhanya dapat diterapkan dalam menghadapi orang kafir dan dalam keadaan terpaksa. Islam sebagai agama dakwah, tidak mematok taqiyyah sebagai konsep yang permanen. Taqiyyahjuga tidak diterapkann secara umum dan menyeluruh untuk semua umat Islam. Akan tetapi tertentu pada individu-individu yang lemah dan hanya dalam tempo yang diperlukan beserta ada unsur keterpaksaan. Nah, apabila faktor-faktor tersebut sudah tak ditemukan, maka keleluasaan untuk menerapkan konsep taqiyyah sudah tidak diberikan lagi.[12]
Maka dari itu, para ulama salaf berkesimpulan bahwa taqiyyahtidak bisa di pakai lagi setelah Allah Swt. menjayakan agama Islam. Sahabat Muadz bin Jabal dan Imam Mujahid berkata: “Taqiyyah diterapkan dalam Islam sebelum orang-orang Islam kuat dan jaya, sedangkan pada masa sekarang taqiyyah sudah tidak difungsikan lagi, sebab Islam sudah jaya dan orang-orang Islam sudah kuat.”[13]
Penjelasan mengenai pengertian, latar belakang, maksud dan tujuan serta ruang-lingkup penggunaan taqiyyah dalam konsep Islam, seperti dikemukakan di atas, tentu saja sangat kontras dengan taqiyyah ala Syiah, baik mengenai pengertian, latar belakang, maksud dan tujuan serta ruang-lingkup penggunaannya.
Dengan begitu, mengajukan kasus Ammar bin Yasir untuk mengclearkan taqiyyah ala Syiah tentu tidak relevan secara akidah dan ilmiah, namun bisa jadi sah-sah saja bagi orang yang sedang memberi “jawaban taqiyah”. Bukankah bagi orang bertaqiyyah, segala sesuatu itu menjadi serba mungkin?
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
[2]Namanya Muhamad bin Muhamad bin al-Nu’man al-‘Akbari al-Baghdadi, salah seorang ulama Syi’ah kenamaan.
[3] Lihat, Tashhih I’tiqadat al-Imamiyyah, hlm. 138.
[4] Lihat, Wasa’il asy-Syi’ah, Juz 11, hlm. 470.
[5] Lihat, Ibnu Babawaih, Al-I’tiqadat, hlm. 114.
[6] Lihat, Ushul Kafi, Juz 2, hlm. 217.
[7] Lihat, Tafsir Hasan al-‘Askari, hlm. 113.
[8] Lihat, Tafsir ath-Thabari, Juz 17, hlm. 304; Tafsir Ibnu Katsir,Juz 4, hlm. 605; dan Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilal al-Qur’an, Juz 4, hlm. 492.
[9] Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Juz 12, hlm. 314.
[10] Lihat, Fath, al-Bari, Juz 12, hlm. 314.
[11] Ibid., hlm. 317.
[12] Lihat, Ushul Madzhab asy-Syi’ah, Juz 2, hlm. 980-981.
[13] Ibid., hlm. 978. Bandingkan dengan penjelasan Al-Qurthubi dalam Tafsir al-Qurthubi, Juz 4, hlm. 57 dan Asy-Syaukani dalamFath al-Qadir, Juz 1, hlm. 331.