Sunday, January 31, 2016

Jangankan Taqrib, Tasamuh Saja Mustahil ! Konflik Sunni-Syi’ah Sangat Mudah Diselesaikan Jika Syi’ah Siap Melakukannya Dengan Syarat-Syarat.... ( Untuk Profesor Su’per Sunni Liberal/Syi’ah Lokal Yang Masih Gemar Seminar Taqrib )

Hasil gambar untuk sunni syiah


KAPAN ISTILAH TAQRIB LAHIR?

Pada tahun 2006, perang kembali pecah antara Syi'ah Hizbullah Lebanon melawan Zionis, yang berlangsung selama 33 hari. Perang pertama pernah terjadi pada tahun 1982 antara Lebanon melawan Zionis.

Pasca perang ini, Syi'ah Lebanon kemudian memainkan sandiwara licik. Dengan membawa bendera 'muqawamah' (perlawanan kpd. Israel), mereka memelas kasihan dari Muslim-Sunni dunia. Seolah-olah mereka berkata: Wahai muslim dunia, tidakkah kalian saksikan kami melawan Israel? Bukankah kita semua memusuhi zionis? Bukankah sudah saatnya kita bersatu?

Maka, muncullah ide TQRIB/PENDEKATAN Sunni Syi'ah.

SIAPA PELOPORNYA ?

Ide ini dipelopori oleh beberapa tokoh Syi'ah seperti; Sayed Agha Boroujerdi, Kasyif al-ghitha', Baqir al-Shadr, Nawwab Shofawi, Muhsin al-Hakim, Ali Syari'ati, Muhammad Fadhlullah, dll. Ide tersebut kemudian disambut beberapa tokoh sunni, seperti; Mahmud Syaltut, Muhammad Abu Zuhrah, Hasanain Makhluf, Musthafa Abdur Razzaq, Yusuf al-Qardhawi, dll. Meski, pada tahap selanjutnya beberapa tokoh ini mundur teratur.
Ide TAQRIB sendiri lahir di Mesir, setelah kedua kubu mengadakan dialog, dan hasilnya diambil kesimpulan bahwa ternyata tidak ada perbedaan signifikan antara Sunni-Syi'ah, sebab sama-sama memilki Al-Qur'an dan Nabi yang sama.

Perbedaan tersebut juga hanya dalam masalah furu'iyah, sedang dalam masalah ushul kita sama kecuali masalah wilayah dan imamah Ali.

Jika melihat tokoh-tokoh pelopor TAQRIB ini, khususnya kalangan sunni, kita tentu tidak meragukan kapasitas keilmuan mereka. Tetapi, mengapa mereka bisa kecolongan?

APA MASALAHNYA?

Masalahnya adalah tercapainya kesepakatan antara kedua belah pihak saat itu, yaitu Al-Azhar (Mahmud Syaltut,Cs) dan Syi'ah Iran (Sayed Agha Boroujerdi, Cs), untuk membangun persatuan Islam, dan 'melupakan' perbedaan yang ada. Biarlah kita berpegang pada keyakinan masing-masing, dan mencari titik temu.

Tentu, ulama Islam dunia lainnya, tidak sepakat dengan terobosan ini, sehingga TAQRIB menjadi KONTROVERSI di kalangan internal Sunni. Meski demikian, saat itu Al-Azhar tetap maju, malah bersama dengan utusan Iran (Muhammad Taqiy al-Qummi) mereka mendirikan Dar al-Taqrib.

GAGAL DAN GAGAL LAGI !

TAQRIB Sunni-Syi'ah yang sudah diusahakan sejak lama tidak kunjung membuahkan hasil. Justru sebaliknya, Dar Taqrib malah menajdi pusat penyebaran ajaran Syi'ah. Demi mengusung taqrib mazhab Fiqih Ja'fari-Imamiyah menjadi legal di Al-Azhar, bahkan skripsi atau thesis Fiqih muqaran (Perbandingan mazhab) harus menyertakan pendapat mazhab Ja'fari.

Syi'ah semakin berkembang di Mesir. Taqrib berubah menjadi Syi'asiasi/Rafidhisasi masyarakat Sunni, dan Dar Taqrib menjadi pusat pembelajaran tafsir, fiqih, dan ushul Syi'ah.

Fakta ini kemudian disadari oleh sebagian ulama Mesir, maka kritik pun bermunculan dari semisal Syaikh Abdul Lathif al-Subki, Muhammad Arafat, Syaikh Ali Thanthawi, Muhammad Rasyid Ridha, Musthafa Siba'i, Abdul Mun'im al-nimr, dll.

MENGAPA HANYA DI NEGARA SUNNI?

Pertanyaan ini benar-benar mengungkap skenario buruk Syi'ah. Pusat-pusat Taqrib dan muktamar 'persatuan' hanya ada di negara-negara sunni, dan tidak ada di negara Iran. Beranikah mereka mendirikan pusat Taqrib di Iran, untuk mengadakan Taqrib dengan sunni Ahwaz, Blushistan, dan sunni Kurdi?

Jadi jelas sekali, istilah taqrib Syi'ah, sama dengan istilah Terroris Amerika. Yang dicetuskan hanya demi membela dan memuluskan propaganda mereka.

KONFLIK SUNNI-SYI'AH SANGAT MUDAH DISELESAIKAN !

Sebenarnya, sangat mudah mengakhiri konflik berkepanjangan Sunni-Syi'ah. Jika syi'ah siap melakukannya dengan syarat-syarat berikut :

1. Seluruh Syi'ah dunia, melalui perwakilan masing-masing menandatangani pernyataan bahwa Al-Qur'an/Mushaf Utsmani yang ada sekarang asli, otentik, dan tidak ada perubahan. Syi'ah harus berlepas diri, dan siap mengadili siapa saja dari tokoh Syi'ah yang mengatakan Al-Qur'an tidak asli atau telah diubah.

2. Seluruh Syi'ah dunia, melalui perwakilan masing-masing siap menandatangani pernyataan berlepas diri dari semua referensi, baik ulama maupun kitab Syi'ah, yang mencaci, melaknat, dan mengkafirkan sahabat serta Isteri-isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Selanjutnya siap menjatuhkan sanksi kepada siapa saja yang berani mengulanginya.

3. Menandatangani perjanjian untuk tidak menebarkan ajaran syi'ah di tengah masyarakat sunni, di manapun mereka berada.

4. Mengakui keabsahan Khilafah Abu Bakar, Umar, dan Utsman radhiyallahu 'anhum.

5. Siap berdiskusi dan berdialog bersama, guna menyelesaikan segala perbedaan pendapat dalam masalah ushuliyah seperti rukun iman, rukun Islam, taqiyah, dan masalah furu'iyah seperti nikah mut'ah, mengusap al-Khuff dalam safar. Dengan menjadikan Al-Qur'an serta hadits shahih sebagai referensi utama.

Sebaliknya, kaum Sunni dunia, melalui perwakilan masing-masing, siap menandatangani pernyataan untuk tidak memusuhi ahlu bait Rasulillah. Siapa saja Ahlus Sunnah yg melanggar hal tersebut maka harus diberi sanksi. Sekeras-kerasnya. (Ini, disebabkan syi'ah menuduh siapa saja mencintai Abu Bakar dan Umar, adalah Nashibi; musuh ahlul bait).

Kami yakin, kaum Sunni siap 100 %, tetapi kami ragu, syi'ah bisa memenuhi syarat-syarat di atas.

TAQRIB/PENDEKATAN SUNNI-SYI'AH TAK MUNGKIN ALIAS MUSTAHIL

1400 tahun sudah berlalu, dan konflik Sunni-Syi'ah masih terus berlanjut. 29 tahun lebih usaha Taqrib berjalan, berbagai kesepakatan telah ditandatangani, seperti RISALAH AMMAN, pusat-pusat Taqrib juga telah didirikan.

Namun, kesepkatan hanya menjadi sekedar selebaran yang tiada berarti. Penindasan dan pembantaian Ahlus Sunnah terus berlanjut, dan Syi'ah selalu menjadi dalangnya. Baik bermain di balik layar seperti penghancuran Taliban-Afghanistan, maupun sebagai aktor utama, seperti di Iran, Irak, dan Suria.

Caci maki, laknat, dan pengkafiran sahabat dan Isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam juga masih terus berlanjut. Bahkan telah telah sampai ke negri tercinta Indonesia.

Jika para sahabat, tabi'in, tabiut tabi'in, ulama empat mazhab, dan ulama Islam lainnya tidak pernah berpikir apalagi berusaha TAQRIB SUNNI-SYI'AH, maka apakah kita bisa melakukannya?

Itu semua disebabkan mereka sadar, bahwa perbedaan antara Sunni-Syi'ah adalah perbedaan dalam ushul aqidah dan idelogi, yang tak mungkin DIDEKATKAN, apalagi disatukan !

KESIMPULAN

Maka, sebaiknya istilah TAQRIB SUNNI-SYI'AH dipeti es-kan saja, kemudian dikubur di gudang bawah tanah. Suatu saat, jika ada tokoh hebat yang siap memulai lagi, maka peti tersebut bisa kita gali lagi.

Jika, seluruh ahlus sunnah sudah sepakat dan setuju taqrib Sunni-syi'ah, barulah ide tersebut dilanjutkan.

DAN, BUKANKAH SUDAH SAATNYA, KITA MEMPERJUANGKAN TAQRIB DAN PERSATUAN SESAMA AHLUS SUNNAH ?!


Ket. Photo di atas : Senyum manis Mujahid al-Ahwaz, sebelum digantung oleh rezim Syi'ah-Iran. 

Pandangan Dr. Ragheb Elsergany terhadap Taqrib Sunni Syiah

Soalan : Mengapa engkau tidak menggalakkan proses taqrib (merapatkan) antara Ahli Sunnah dan Syiah?
Jawapan
Bismillah,
Sesungguhnya proses taqrib berbentuk aqidah dah fiqh antara Ahli Sunnah wal Jamaah dan Syiah adalah suatu perkara yang mustahil (tidak akan berlaku)! Ini adalah kerana Syiah itu bukanlah suatu mazhab dalam Islam, tetapi ianya merupakan suatu fahaman sesat daripada kefahaman Islam. Bahkan ianya adalah satu fahaman yang dibuat oleh sesetengah kelompok dengan tujuan merosakkan Islam dari dalam.
Kekejaman dan kesedihan yang melanda umat akibat perbuatan zalim Syiah bukanlah perkara asing, jika kita perhatikan didalam sejarah Umat hinggalah di zaman sekarang. Jika kita perhatikan bilangan umat Islam yang terbunuh ditangan Syiah di Iraq sejak tahun 2003 adalah tersangat banyak berbanding umat Islam yang terbunuh akibat pembunuhan oleh British dan Yahudi sejak tahun 1917 hingga ke hari ini.
Jadi aku tersangat pelik kepada pihak yang menuntut supaya berlakunya taqrib dan supaya umat Islam melupakan apa yang dilakukan syiah selama ini kononnya atas dasar bersatu menentang golongan musuh Islam sedangkan mereka (Syiah) itu sendiri adalah musuh Islam. Adalah tidak masuk akal untuk kita menyuruh seseorang itu melupakan  satu musuh demi musuh yang satu lagi! Sedangkan kedua-dua musuh itu terus menyembelih umat Islam, bahkan berkerjasama melakukan perkara tersebut. Hubungan antara Syiah yang diketuai oleh Iran dan musuh Islam lain sudah lama diketahui umum.
Syiah serta Iran lah yang membantu Amerika dalam melakukan serangan keatas umat Islam Iraq dan Afganistan dengan syarat Amerika akan memberi mereka kuasa di Negara tersebut. Bagaimana aku boleh melupakan semua tindakan musuhku dan musuh agamaku ini?
Jadi ingin aku katakan, persoalan mengenai taqrib (merapatkan) ini adalah satu perkara yang jelas, iaitu menuntut kedua pihak tersebut tidak boleh menyakiti satu sama lain dan hidup dalam keadaan aman bersama, bahkan boleh bersepakat dalam sesetengah perkara. Perkara tersebut hendaklah berlaku dalam keadaan tidak ada berlakunya tanazul pada perkara asas aqidah atau perkara prinsip.
Sedangkan perkara ini adalah mustahil untuk terjadi antara Sunni dan Syiah!
Ini merupakan terjemahan kepada artikel asal ditulis oleh Dr. Ragheb Elsergany iaitu salah seorang doctor pakar dari Mesir dan salah seorang penulis sejarah Islam yang terkenal dari laman web: http://islamstory.com/ar

SUNNI SYIAH Antara Taqrib & Tasamuh

Profesor Madya. Dr. Kamaluddin Nurdin Marjuni 
Head of Department Akidah and Religion Studies    Universiti Sains Islam Malaysia
......................................................................dst
Inilah usaha yang  dilakukan untuk mendekatkan mazhab Sunni dan Syiah, seperti mendirikan “Darul Taqrib Baina al-Mazahib al-Islamiyah” [pusat pendekatan antara mazhab Islam] dan menerbitkan majalah Risalah Al-Islam di Mesir. Pendirinya terdiri dari perwakilan Sunni dan Syiah. Pihak Sunni diwakili oleh Syekh Mustafa Al-Maraghi, Syekh Muhammad Syaltut dan Syekh Mustafa Abdul Raziq. Adapun dari kelompok Syiah diwakili oleh Sayyid Muhammad Husain Kasyif Al-Ghita’, Sayyid Jawwad Maghniah dan Sayyid Syarafuddin Al-Musawi. Kemudian, didirikan berbagai pusat pendekatan lain, seperti Muassasah Ahli Bait li Al-Fikri Al-Islami di Jordan. Pada tahun 1984, didirikan Muassasah Al-Imam Al-Khuu’i li At-Taqrib Baina Al-Mazahib Al-Islamiah. Selain itu, ada banyak usaha ilmiah lainnya dalam mendekatkan kedua golongan ini melalui seminar-seminar nasional dan internasional yang diadakan di berbagai negara Islam.

Namun semua usaha itu tidak efektif sebagaimana yang diharapkan. Bahkan sikap saling memburukkan dan saling mengkafirkan semakin meningkat. Langkah untuk mendekatkan Sunni-Syiah sudah dihentikan. Oleh karena itu, perlu dibangunkan kembali aktifitas-aktifitas dan pintu penyelesaian lain. Contohnya, mengaktifkan sikap toleransi antara mazhab. Sebab perbezaan antara Sunni dan Syiah sangat fundamental dengan perbezaan yang menonjol pada ajaran masing-masing. Imam Hasan Al-Banna dalam usaha menyelaraskan hubungan Sunni dan Syiah, berkata:
نَتَعَاوَنُ فِيْمَا اتَّفَقْنَا عَلَيْهِ، وَيَعْذُرُ بَعْضُنَا بَعْضًا فِيْمَا اخْتَلَفْنَا فِيْهِ
“Kita bekerjasama dalam perkara yang kita sepaham, dan saling memaafkan satu sama lain dalam perkara yang kita perselisihkan”. Pesan ini lebih kepada sikap toleransi, bukan pendekatan mazhab. Walaupun golongan Sunni dan Syiah adalah Islam ( ? ), namun kandungan mazhab keduanya berbeza antara satu sama lain. Sulit membezakan antara penganut Islam Sunni dan Syiah. Sekiranya Sunni mengakui Al-Qur’an dan sunnah adalah pegangan hidup dan asas seorang Muslim, Syiah pun demikian. Jika ada orang non-Muslim menghina Al-Qur’an dan sunnah, reaksi keras akan timbul dari keduanya. Contohnya, perancangan hari pembakaran Al-Qur’an sedunia oleh sebuah gereja Dove World Outreach Center di Gainesville, yang dirancang oleh pendeta Terry Jones. Sunni dan Syiah menentang keras sehingga usaha pembakaran pun akhirnya berhasil digagalkan. Namun, jika diteliti perbezaan dari segi akidah, kedua-keduanya sulit disatukan. Sunni dan Syiah perlu mengadakan dialog untuk tasamuh (toleransi), bukan untuk taqarub (pendekatan). Sikap toleransi berarti tidak saling tuduh-menuduh, menghancurkan, dan kafir-mengkafirkan. Meminjam istilah Prof. Hamid Thahir, semua perkara itu adalah al-musykilat az-zaaifah, yaitu permasalahan palsu, sebab tidak ada timbal-balik ketika usaha taqrib tidak membuahkan hasil kepada umat. Oleh karena itu, kedua-duanya perlu dibiarkan berkembang dengan normal dan tidak saling memaksakan akidah masing-masing. Lebih buruk lagi sekiranya sifat saling menjatuhkan terjadi dalam golongan Ahlu Sunnah, yaitu antara aliran Asya’irah, Maturidiah, Salafiah dan Wahabiah. Implikasinya, seakan-akan Islam adalah agama perpecahan, tidak menginginkan persatuan dan kedamaian antara sesama penganut. Kita harus membangun bukan meruntuhkan, berdialog bukan berdebat, maju bersama-sama bukan mundur bersama-sama. Hindari menjajah golongan sendiri, cukuplah kita dijajah oleh non-Muslim yang belum selesai hingga kini karena sibuk dengan pertengkaran dan perseteruan antara mazhab. Sekiranya kedua golongan Ahli Sunnah dan Syiah saling bersikap ta’ashub (fanatik), maka akan menghasilkan konflik dalaman. Setiap golongan merasa benar. Akhirnya bukan menambahkan perbaikan malah mengeruhkan perbezaan, sehingga terlupa agenda peningkatan status sosial umat. Sepatutnya, setiap aliran menghentikan perbincangan yang menjurus kepada pengkafiran kerana dikhawatirkan timbul konflik dalam agama. Hanya Allah sahaja yang mengetahui  kekafiran umatnya. Oleh sebab itu  konflik dalam dunia Islam sebaikanya diselesaikan dengan sikap toleransi dan saling menghormati.

Mengajak Syiah Bertaubat, Mungkinkah?

Oleh: Zahrul Bawady M. Daud
SEBAGAI agama samawi, Islam diperkenalkan melalui wahyu. Fase permulaan Islam berlangsung melalui dua sumber otentik yang terus dipelihara. Al-Quran dan Hadis merupakan sumber primer ajaran Islam. Islam tetap bertahan dengan dua sumber utama ini hingga akhir zaman.
Setelah mangkatnya nabi Muhammad, ummat Islam diterpa fitnah dari berbagai penjuru. Dari peristiwa kaum murtad pada masa Abu Bakar ra hingga terbunuhnya Usman ra yang menimbulkan instabilitas politik pada masa itu. Kericuhan politik yang didalangi oleh golongan munafik dan pembenci Islam ini kemudian melahirkan beberapa gesekan di antara kalangan ummat Islam. Kisruh politik bahkan merembes kepada perkembangan sekte-sekte baru. Pada masa ini pula lahir paham Syiah.
Membicarakan Syiah setidaknya melahirkan dua pembahasan. Secara fikih atau secara akidah. Ada beberapa pendapat ulama Syiah yang diterima oleh kalangan Sunni. Namun demikian, sangat banyak akidah Syiah yang bertentangan dengan keyakinan Sunni. Kenyataan ini harus membuat kita objektif dalam memilah bahwa yang dipertentangkan adalah konsep akidah Syiah, dengan melihat latar belakang kelompok yang masih terpecah belah.
Para ulama rentang zaman mencoba melakukan pendekatan (taqrib) antara Sunni dan Syiah. Namun sejauh ini, usaha yang digalang oleh ulama tersebut banyak menemui jalan buntu.
Banyak ulama saat ini mulai ragu hal itu akan terwujud. Dr. Muhammad Imarah, cendikiawan Islam yang dulunya sangat demokratis dan mendorong lahirnya pendekatan Sunni–Syiah pun mulai angkat tangan. Dalam makalah beliau akhir-akhir ini, usaha pendekatan Sunni-Syiah dilabeli hampir mustahil.
Parahnya, kegagalan taqrib justru menjadi senjata menghakimi Sunni. Syeikh Umar Al-Quraysi, Guru Besar Akidah-Filsafat Al-Azhar menyebut, “Amat aneh, bagaimana sebuah kegagalan akibat kesalahan pemikiran golongan Syiah justeru menjadi bumerang bagi Sunni. Sunni dianggap pemecah belah, sok suci dan bertentangan dengan kebijaksanaan. “
Beliau menyimpulkan bahwa peran media dan pemikir liberal amat urgent dalam mindset (pandangan) ini di kalangan ummat Islam.
Menurut Prof. Dr. Khusyui, membicarakan masalah Syiah amatlah rumit. Karena teori dan penerapan ideologi Syiah kesehariannya banyak yang bertentangan dengan prinsip yang diajarkan melalui kitab kitab Syiah sendiri. Hal ini tak lain karena akidah taqiyah (menyembunyikan ideologi) yang mereka terapkan. Di dalam al-Kafy, Kulainy bahkan meriwayatkan hadis maudhu’ (palsu) yang menyebut bahwa tidak beriman seseorang yang tidak melakukan taqiyah. Hal ini amat mengherankan mengingat bagaimana sebuah kepercayaan yang mereka pelajari, kemudian mereka khianati dengan lisan mereka sendiri.
Oleh karena itu, menjadi sebuah amanah ilmiah untuk membahas Syiah, bukan dari kasus perseorangan, akan tetapi dari sumber akidah mereka. Sebagaimana yang terangkum di dalam kitab Al-Kafy karya Al-Kulayni, yang dianggap ‘kitab suci’ menurut ulama mereka, atau kitab Fashl Khitab Fi Itsbat Kalam Rabbi Al-Arbab Karya Thabrisy yang berusaha menggugat orisinalitas al-Quran, maupun kitab-kitab ulama Syiah di era kontemporer.
Taqiyah inilah yang membuat Syiah semakin menyebar luas, terutama di kalangan masyarakat muslim yang belum kuat pegangan akidahnya. Tanpa merujuk kepada sumber yang muktabar, para pengemban dakwah Syiah berhasil menggaet jamaah, ditambah lagi dengan bantuan penganut paham liberalis yang membenarkan semua hal dikritik walaupun merubah inti ajaran Islam itu sendiri.
Kecintaan dan penghormatan kepada keluarga Nabi (ahl al-bait) tidaklah terlarang. Bahkan diperintahkan untuk semua kaum Muslim. Akan tetapi yang harus dikecam adalah langkah sebagian orang yang berlebih-lebihan dalam mengangungkan ahl bait apalagi sampai mencela para Sahabat Nabi yang lain. Bahkan yang lebih ekstrim, ada anggapan bahwa Jibril seharusnya tidak menyampaikan wahyu pada Nabi Muhammad, akan tetapi pada Ali ra.
Pendapat seperti ini semakin diperparah dengan doktrin imamiyah dan kelemahan al-Quran.

Sebuah riwayat dari Baqir dalam kitab Al-Wafy yang dianggap valid di sisi Syiah imamiah meriwayatkan tentang orang orang yang tidak dilihat oleh Allah di hari kiamat dan mereka akan kekal di dalam neraka. Orang yang mengaku diri Imam, orang yang mengingkari imam (imam Syiah), orang yang menganggap Abu Bakar dan Umar sebagai sahabat mulia. Mereka juga mentakwil dua wanita kafir yang disebut dalam surat Tahrim:10 sebagai Aisyah dan Hafsah. Na’udzubillah.

Al-Majlisy (1111) ulama Syiah yang amat masyhur di dalam Bihar al-Anwar, meriwayatkan ideologi Syiah yang mengatakan bahwa imam-imam Syiah maksum (terlepas dari dosa) sebagaimana maksumnya para nabi. Baik dari dosa kecil maupun dosa besar, disengaja atau tidak. Puncaknya, martabat para imam akan sederajat dengan Nabi.
Lain lagi dengan Syiah Ismailiah, mereka meyakini reinkarnasi dan ketuhanan imam mereka. Syiah ini juga menjadi pelopor tidak wajibnya jumat dan boleh jamak (menggabungkan dua shalat) kapan saja. Berbagai pertentangan yang timbul antara Sunni dan Syiah dasarnya sangat sulit untuk disatukan. Demikian juga dengan Syiah Nushairiyah pengikut Muhammad bin Nushair, Darruz pengikut Abi Muhamad al-Darruzy yang terpecah dari Syiah Ismailiah dan sekte lain dari Syiah yang menyimpang dari Islam.
Kontradiksi antara Sunni dan Syiah dalam bidang akidah tidak bisa kita anggap sebagai sebuah khazanah keilmuan yang harus dipelihara. Akan tetapi lebih kepada pelecehan intelektual yang tidak bertanggung jawab dan dipenuhi oleh fanatisme buta. Konflik ini bahkan menjadi batu loncatan untuk menghancurkan Islam dari dalam melalui usaha desakralisasi wahyu.
Pendekatan Sunni-Syiah merupakan proyek gemerlap, yang menawarkan cahaya yang berkilauan. Akan tetapi usaha ini seperti diakui pula oleh Musthafa Siba’i hanya sebuah usaha sia-sia. Karena apa yang disepakati di meja runding, selalu dikhianati dalam penerapannya. [Baca juga: Distorsi Syiah Di Balik Ajakan “Persatuan” Umat]
Usaha penyatuan Sunni-Syiah akan berhasil, dengan syarat Syiah bersedia membuka ‘baju’ Syiah yang mereka pakai. Kemudian bersama menghormati ahl al-bait sesuai kewajaran, lalu duduk bersama membahas mana permasalahan yang boleh terjadi perbedaan pendapat dan mana yang tidak. Jika ini tak terwujud, maka hadits Nabi yang mengatakan bahwa “ummatku tidak akan bersepakat di dalam kesesatan” akan terwujud pada usaha penyatuan Sunni-Syiah. Wallahu A’lam.*
Penulis alumni Dayah Bustanul Ulum, Mahasiswa Pasca Sarjana Al-Azhar, Kairo. Email: zahrulbawady@yahoo.com

Rekonsiliasi Sunnah-Syiah, Mungkinkah? Kapan dan Bagaimana?

Mukadimah

Setelah mengkaji definisi Syiah Dua Belas Imam, sejarah perkembangannya serta konsepsi Syiah dari klasik hingga kontemporer, sebenarnya dapat dipetakan dengan jelas di mana posisi Syiah dalam pandangan Ahlu Sunnah dan sejauh mana jarak yang memisahkan antara keduanya. Namun realitanya Ulama’ Ahlu Sunnah semenjak dulu hingga kini, terbagi menjadi tiga kelompok besar. Pertama, kelompok yang menganggap Syiah telah keluar dari koridor Islam. Kedua, kelompok yang meyakini bahwa Syiah tidak keluar dari koridor Islam meskipun memuat beragam keyakinan dan ajaran yang dianggap mereka menyimpang dari ajaran yang lurus. Ketiga, kelompok yang menganggap Syiah hanya sebagai gerakan politik semata.
Dari tiga sudut pandang ini timbul pertanyaan, mungkinkah rekonsiliasi antara Sunnah dan Syiah dapat diwujudkan? Jika mungkin, bagaimana? Jika tidak, mengapa?
Membaca realita obyektif sejarah umat Islam dapat kita temukan bahwa hubungan Sunnah-Syiah sepanjang sejarah didominasi oleh konflik, ketidakharmonisan dan bahkan pertumpahan darah. Untuk itu proses rekonsiliasi (taqrīb ) antara Sunnah-Syiah telah banyak dilakukan dan diupayakan. Bahkan rekonsiliasi antara agama, etnis, bangsa, kelompok, madzhab, dan organisasi, dalam arti saling mengenal, saling memahami dan mengerti, saling berdialog, saling mengkritik dan mengingatkan, saling bersinergi dan bekerja sama dalam hal-hal yang disepakati untuk kemajuan bersama, saling membantu dan menguatkan pun banyak diupayakan, karena sejatinya rekonsiliasi dalam arti semacam ini merupakan cita-cita dan harapan mulia setiap umat manusia.
Pandangan sebagian Ahlu Sunnah bahwa Syiah telah keluar dari koridor Islam dan sebaliknya (pandangan sebagian Syiah bahwa Ahlu Sunnah telah keluar dari Islam), demikian pula pandangan penganut salah satu agama terhadap penganut agama lain, tidak secara otomatis harus mengubah status hubungan antara dua kelompok ini menjadi hubungan peperangan, pertikaian dan pertumpahan darah. Hubungan konflik dan peperangan dalam hubungan antar-manusia adalah hubungan pengecualian. Hubungan yang orisinal adalah hubungan keharmonisan.

Prinsip rekonsiliasi dalam arti di atas merupakan anjuran penting Al-Quran:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, serta Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui“.
Untuk itu masalah rekonsiliasi ini sejatinya tidak terletak pada penting-tidaknya rekonsiliasi itu, akan tetapi terletak pada apa dan bagaimana rekonsiliasi itu bisa diwujudkan. Inilah yang menjadi akar polemik dan perdebatan yang tak kunjung henti dari dulu hingga kini.
Banyak ulama’ dan lembaga, seperti yang akan kita sebutkan kemudian, telah berupaya melakukan rekonsiliasi Sunnah-Syiah ini, namun realitanya tidak ada yang bisa bertahan dan berlanjut hingga kini. Pertanyaan, mengapa demikian? Apa masalahnya? Lalu. apa dengan demikian rekonsiliasi masih mempunyai  masa depan? Ataukah, harapan itu seratus persen telah pupus? Pembahasan berikut berupaya mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas.

Akar Sejarah

Sebenarnya, akar sejarah rekonsiliasi (taqrīb ) Sunnah-Syiah sudah lama dimulai. Menurut Syeikh Abu Zahrah kembali ke sosok al-Thusi (385-460 H)[1], atau menurut Dr. Mahmud al-Basyuni kembali ke sosok al-Thabarsi (548 H)[2].
Bentuk taqrīb  yang dikembangkan oleh al-Thabarsi berupa pengambilan referensi dari kedua belah pihak (Sunnah dan Syiah) yang ia racik dalam tafsirnya “Majma’ al-Bayān”. Tidak hanya itu, Thabarsi juga berusaha menghindari pemuatan ide-ide ekstrem yang biasa dikutip oleh pendahulunya, para ahli tafsir Syiah dalam buku-buku tafsir mereka.
Jika metodologi tafsir yang dikembangkan oleh Thabarsi ternyata merupakan pengembangan dari metodologi Thusi, maka apa yang disampaikan oleh syeikh Abu Zahrah bahwa Thusi-lah perintis upaya taqrīb  ini, bisa dibenarkan. Walaupun menurut beberapa ulama’ Syiah seperti Ibnu Thowus (dari ulama’ klasik) dan Nuri Thabarsi (dari ulama’ kontemporer), bahwa apa yang ditulis oleh Thusi hanya merupakan pengejawantahan dari trik-trik taqiyyah dan mudārāt (mengikuti alur pemikiran penentang). Pendapat ini juga diperkuat oleh Dr. al-Qoffari. Menurutnya apa yang dilakukan oleh Thusi dan Thabarsi hanyalah merupakan trik untuk menarik simpati pengikut Ahlu Sunnah karena seperti disebutkan oleh Al-Majlisi dalam “Bihār al-Anwār”, bahwa para ulama’ Syiah dilarang mengambil riwayat Ahli Sunnah, kecuali untuk dijadikan penguat bagi pendapat mereka[3].
Meski tidak bisa dilepas dari kecurigaan, pola yang dilakukan oleh Thusi atau Thabarsi merupakan upaya penting dalam proses rekonsiliasi (taqrīb) guna mendekatkan dua kelompok dengan cara mendekatkan sumber atau referensi pengetahuan (at-taqrīb  fī mashādir al-ma’rifah), karena dengan kedekatan sumber pengetahuan (epistemologi) bisa berkembang menuju “at-taqrib fī al-ma’rifah), kedekatan pengetahuan itu sendiri. Kedekatan pengetahuan dan sumbernya akan mendekatkan sikap dan aksi.
Usaha serupa pada masa kontemporer ini telah dilakukan dengan cemerlang oleh Ayatullah al-Udzma al-Muntadziri dalam bukunya ”Wilāyat al-faqīh wa fiqh ad-daulah al-Islāmiyah”.
Meskipun penting, apa yang dilakukan oleh Thusi ini hanyalah upaya taqrīb  (rekonsiliasi) dalam tataran wacana dan pemikiran, cakupannya juga sangat terbatas dan eksklusif, belum menjadi wacana umum di kalangan ulama’-ulama’ Syiah, apalagi menyentuh tataran praktis.
Adapun dalam tataran praktis, proses rekonsiliasi –sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Katsir dalam Bidayah wa Nihayah-nya, telah dimulai sejak pasca-konflik besar-besaran antara Sunnah-Syiah di Baghdad yang mulai berkecamuk pada tahun 338 H, tepatnya pada tahun 437 H; pada tahun ini terjadi kesepakatan antara Sunnah dan Syiah untuk bersatu-padu dalam memerangi Yahudi di Baghdad dan mengalahkan mereka.[4]
Namun, rekonsiliasi ini tidak bisa bertahan lama. Konflik antar-kelompok ini kemudian meletus kembali pada tahun 439 H. Lima tahun kemudian rekonsiliasi kembali terjadi, tepatnya pada tahun 442 H, dalam bentuk sebuah kesepakatan bahwa keduanya dibolehkan pergi mengunjungi Masyhad Imam Ali dan Imam Husen, sementara pengikut Syiah menunjukkan sikap yang positif terhadap para Sahabat, serta shalat di Masjid Ahli Sunnah. Terhadap peristiwa ini Ibnu Katsir mengomentari, “Ini benar-benar peristiwa yang unik, tidak akan pernah terjadi jika bukan dalam rangka  taqiyyah[5].
Sekali lagi, kesimpulan Ibnu Katsir ini dibenarkan oleh Dr. Al-Qoffari. Alasannya adalah bahwa pada tahun 443 H, satu tahun persis setelah peristiwa rekonsiliasi itu, pengikut Syiah menempelkan papan besar bertuliskan: “Muhammad dan Ali adalah sebaik-baik manusia, barang siapa yang ridha kepada keduanya, maka ia telah bersyukur, barang siapa yang membangkang, maka dia telah kafir/kufur”. Tulisan yang tentu saja mengisyaratkan kafirnya para Sahabat ini memicu munculnya kembali pertikaian antar-dua kelompok ini[6].
Rekonsiliasi ketiga terjadi kembali pada tahun 488 H, di daerah al-Karkh. Di sini Ahlu Sunnah dan Syiah saling mengunjungi, saling berinteraksi, dan saling mengundang makan. Akan tetapi peristiwa ini sekali lagi dikomentari oleh Ibnu Katsir dan Ibn al-Jauzi sebagai sebuah keajaiban[7], karena dalam rentetan sejarah peristiwa seperti ini ibarat kilatan cahaya di tengah-tengah kegelapan malam jika dibandingkan dengan fenomena konflik yang terus berkepanjangan. Sayangnya, Ibnu Katsir tidak menganalisa, mengapa fenomena rekonsiliasi ini bisa terjadi.
Pola taqrīb  (rekonsiliasi) yang terjadi dalam tataran praktik ini dapat kita kategorikan ke dalam istilah tashāluh wa tasāmuh  (berdamai dan pengembangan sikap toleransi). Pola ini dapat dijadikan solusi dan alternatif dari konflik yang telah mengarah hingga pada pertumpahan darah.
Dalam tataran pemerintahan, rekonsiliasi ini juga telah dibangun oleh al-Makmun jauh sebelum tahun-tahun di atas. Untuk maksud ini Makmun mengangkat Ali Ridho (keturunan Ahli Bait) sebagai wali al-ahd (putra mahkota), karena selain untuk menyedot perlawanan Syiah terhadap khilafah Bani Umayyah, dalam pandangan al-Makmun, Ali al-Ridha –pada saat itu- merupakan keturunan terbaik Ahli Bait, baik dari sisi agama (keberagamaan) maupun keilmuan. Namun kematian Ali Ridha secara mendadak tidak lama setelah itu, tepatnya pada tahun (203 H) telah membakar fitnah permusuhan dua kelompok itu kembali, karena pengikut Syiah meyakini bahwa kematian Ali Ridha adalah akibat ulah al-Makmun dengan cara meracuninya.
Pola rekonsiliasi yang dibangun oleh Makmun ini dapat kita kategorikan ke dalam rekonsiliasi politik, dengan cara memberikan kesempatan kepada oposisi untuk masuk dalam pemerintahan. Usaha seperti ini secara otomatis akan dapat menyedot perlawanan oposisi dan dapat menjadikan mereka masuk secara integral menjadi bagian dari pemerintahan yang sah, selain itu dapat membuang rasa dan kesan adanya kelas kedua dalam masyarakat.

Upaya rekonsiliasi Sunnah-Syiah terpenting dan terbesar yang  tercatat dalam sejarah –sebagaimana ditulis oleh Muhibbuddin Khotib- adalah Muktamar an-Najf (1156 H). Menurutnya, muktamar ini merupakan kejadian satu-satunya dalam sejarah Islam[8].

Menurut putra dari Abdullah al-Suweidi[9], perintis muktamar ini, sebelumnya telah dikenal sebagai salah satu ulama’ yang sering melakukan dialog dengan ulama’ Syiah. Ia dikenal sebagai pedebat ulung (ahli dalam berdebat), dengan argumentasi-argumentasi yang tidak pernah bisa dipatahkan oleh ulama’ Syiah.
Muktamar ini dihadiri oleh 70 Mujtahid Syiah dari Iran dan Najf (Iraq) dipimpin oleh al-Mula Bisyi Ali Akbar dan beberapa ulama’ Ahlu Sunnah yaitu 1 orang dari daerah Ardalan (daerah barat Iran), 7 ulama’ dari Afghanistan dan sebanyak 7 ulama’ dari negara belakang sungai (mā warāa al-nahr/mesopotamia), serta disaksikan oleh lebih dari 70.000 pengunjung yang datang dari penjuru daerah; baik dari keturunan Arab, non Arab maupun Turkistan, sehingga Nadir Syah, penguasa tunggal Iran saat itu dan pendiri Dinasti Afsharid, turut mengikuti jalannya muktamar ini, dan memperhatikan dengan seksama melalui dua orang informan yang masing-masing tidak saling tahu satu sama lain.
Dengan kelihaian dan kecerdasan Abdullah Suweidi yang sangat luar biasa, ia mampu menundukkan para ulama’ Syiah serta mampu mematahkan seluruh argumentasi yang mereka keluarkan, sehingga keluarlah rekomendasi di akhir muktamar ini sebagai berikut:
Bahwa dengan hikmat-Nya, Allah telah menurunkan para Rasul secara berturut turut yang ditutup dengan Rasulullah Saw.
Bahwa setelah Rasul Saw wafat, para Sahabat sepakat bahwa sosok terbaik di antara mereka adalah Abu Bakar. Mereka juga sepakat untuk membaiat as-Shiddiq, termasuk Imam Ali. Beliau telah membaiat Abu Bakar dengan kesadaran pribadinya dan bukan karena paksaan. Para Sahabat telah dipuji oleh Allah sebagai as-sābiqun al-awwalūn dan telah mendapat ridha dari Allah. Lalu Abu Bakar menawarkan Umar bin Khattab sebagai alternatif khalifah setelahnya. Merekapun kemudian membaiat Umar bin Khattab. Umar kemudian menjadikan baiat setelahnya syura untuk 6 orang Sahabat, dan terpilih Utsman bin Affan. Setelah beliau mati syahid, para Sahabat kembali sepakat untuk memilih Imam Ali sebagi khalifah.
Keempat Sahabat tersebut merupakan para Sahabat agung yang bersatu dalam tempat, zaman yang satu, tidak pernah terjadi perselisihan serta konflik antara mereka.
Bahwa Nadir Syah telah meletakkan keutamaan dan urutan mereka dalam khilafah seperti tersebut di atas, barang siapa yang menghina atau mengurangi hak mereka maka harta, anak, keluarga, serta darahnya menjadi halal, serta akan mendapat kutukan dari Allah, para Malaikat dan seluruh manusia.
Mulai saat itu tidak pernah ada lagi kutukan, hinaan serta cercaan terhadap para Sahabat di seluruh daerah Iran, bahkan Nadir syah sendiri meninggalkan paham syiah yang ia anut untuk kemudian beralih ke paham sunnah. Namun demikian tidak diketahui sampai kapan kondisi ini berlangsung, karena dalam kenyataannya, mayoritas hubungan Syiah-Sunnah sepanjang sejarah (selain peristiwa-peristiwa di atas) selalu dipenuhi oleh kondisi disharmoni, konflik, dan bahkan konfrontasi berdarah.
Upaya Abdullah Suweidi ini sebenarnya merupakan “al-munādharah” (debat) yang difasilitasi oleh negara dan berakhir dengan rekomendasi yang kemudian dijadikan regulasi (peraturan) pemerintah yaitu “Keharusan adanya tasamuh (toleransi)”.
Memasuki abad dua puluh, upaya rekonsiliasi kembali ditempuh oleh para tokoh dan ulama’ kedua belah pihak.
Dalam skala lembaga (seperti yang pernah dilakukan oleh Jama’ah al-Ukhuwwah al-Islamiyah (dirintis oleh Muhammad Hasan al-a’dhami di Mesir 1937 M, lalu dipindah ke Karachi tahun 1948 M), dan Dar at-Taqrīb  baina al-madzahib al-Islamiyah (dirintis oleh Muhammad Taqi al-Qummi 1364 H di Kairo pada masa Syeikh Syaltut), Dār al-Inshāf (didirikan tahun 1366 di Mesir).
Dalam skala individu / perorangan. Dari Sunnah, misalnya, oleh Syeikh Muhammad Abduh (1849-1905), Syeikh Rasyid Ridla, Syeikh Abd al-Majid Salim (1299-1375 H), Syeikh Musthafa al-Maraghi (1881-1945 M), Syeikh Musthafa Abd Raziq (1885-1946 M), Syeikh Mahmud Syaltut (1893-1963 M), Syeikh Muhammad al-Madani (1907-1968 M), Syeikh Ali al-Khafif (1891-1978 M), Syeikh Abd Aziz Isa (1909-1994), Syeikh Hasan al-Banna (1906-1949 M), Dr. Musthofa Siba’i, dan Syiekh Musa Jarullah, dan lain-lain. Sementara, dari Syiah oleh Ayatullah Husein Husein al-Brujurdi, Sayyid Muhammad Taqiyuddin al-Qummi, Muhammad Husaini Ali Kasyif al-Ghita’, Muhammad al-Kholisi (tokoh Syiah Iraq), Abdul Husen Syaraf al-Musawi (1290-1377 H, lahir di Kadhimiyah dan meninggal di Bairut), Muhammad Jawad Mughniyah, serta Ahmad al-Kasrawi (lahir di kota Tibriz Iran, meninggal 1324 H) dan lain-lain.[10]
Pada saat Syeikh Syaltuth menjabat sebagai Syeikh al-Azhar, mengeluarkan fatwa paling kontroversial tentang hubungan Sunni-Syi’i menyangkut kebolehan bagi Ahlu Sunnah untuk melakukan ibadah sesuai dengan madzhab Ja’fari.
Usaha paling terakhir dan terbesar yang tidak hanya mencakup Sunnah-Syiah, tapi dengan berbagai kelompok-kelompok lainnya, seperti Zaidiyah, Ibadhiyah dan lain-lain, adalah upaya yang dilakukan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi melewati “Ittihāt al-ālami li al-ulamā’ al-muslimīn”. Juga apa yang dilakukan oleh Abdullah at-Tsani bin Husein, Raja Yordania, pada bulan November 2004 yang dikenal dengan nama Risalah Amman. Pertemuan yang menghasilkan Risalah Amman (Amman Message) ini dihadiri oleh 553 tokoh Islam dari berbagai belahan dunia, baik dari kalangan Sunni maupun Syiah.[11]
Usaha-usaha ini dapat diklasifikasikan kepada: Pertama, rekonsiliasi dalam bidang keilmuan berupa saling mengutip dari referensi kedua madzhab, saling menerbitkan buku, majalah, website, mengadakan seminar bersama, dialog bersama, pertemuan-pertemuan ilmiah bersama, dan berbagai aktivitas diskusi lainnya. Kedua, rekonsiliasi dalam bidang politik berupa pengangkatan salah satu Ahli Bait menjadi putra mahkota. Ketiga, rekonsiliasi dalam bidang interaksi sosial berupa tashāluh wa tasāmuh (berdamai dan mengembangkan sikap toleran). Keempat, rekonsiliasi melalui munādzarah (debat publik) yang berakhir dengan rekomendasi untuk saling toleran, saling bekerja sama. Kelima, membentuk lembaga rekonsiliasi dengan agenda saling mengunjungi, menerbitkan buku dan majalah bersama, mengadakan seminar dan muktamar bersama.
Namun, pada akhirnya, upaya-upaya rekonsiliasi seperti tersebut di atas tidak bisa berlanjut. Pertanyaannya, mengapa demikian?

Masa Depan Rekonsiliasi

Syu’bah Asa mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan di atas, namun dengan keputusasaan yang mendalam akan masa depan rekonsiliasi ini. Menurutnya, terdapat 6 penghalang di hadapan proses rekonsiliasi yang menjadi cita-cita banyak kalangan[12]:
Kenyataan bahwa keduanya, Ahlu Sunnah dan Syiah, baru bertemu kembali. Hal ini sangat layak menyebabkan keterkejutan, jika beberapa hal ternyata berbeda dari yang selama ini diasumsikan. Sementara, asumsi sebagian pihak bahwa dengan berlalunya waktu akan menyebabkan kemenyatuan yang luruh nampaknya tidak bisa dibenarkan. Hal ini setidaknya disebabkan oleh fakta kedua, yaitu:
Adanya perbedaan-perbedaan yang sangat mendasar tentang beberapa hal terutama tentang otentisitas Al-Quran, setidaknya perbedaan metodologi tafsir di mana metodologi Syiah sangat kental dengan nuansa “batin”nya, munculnya penciptaan Hadis para Imam yang secara otomatis juga menjadi sumber hukum legitimasi yang sangat tinggi terhadap mujtahid resmi (yang masih hidup) untuk menggantikan ijtihad-ijtihad yang dipandang tidak relevan lagi. Perbedaan-perbedaan mendasar itu tentunya tidak dengan mudah dapat dikatakan hanya sekadar perbedaan ijtihad fiqhiyah, atau secara kongkretnya seperti perbedaan antara NU dan Muhammadiyah jika di Indonesia.
Di sisi lain, kita mendapati penghujatan, pengkafiran dan penghinaan para Sahabat masih merupakan bagian dari Hadis-Hadis khas mereka dan bagian dari etos dendam dari tradisi Syiah yang masih sangat kental, atau etos paradigma pembagian para Sahabat menjadi dua: 1). Putih yaitu Imam Ali dan keluarga serta keturunannya, yang dalam alam khayalan mereka ibarat pendawa di pewayangan. 2). Hitam dipimpin oleh Abu Bakar dan seterusnya, mereka ibarat Kurawa dalam pewayangan yang jumlahnya jauh lebih banyak.
Mutlaknya tuntutan pemerintahan pada Syiah. Kuatnya tuntutan ini disebabkan –di antaranya- oleh karena al-Imāmah merupakan bagian dari rukun Iman.
Dampak kawin mut’ah di kalangan muda-mudi yang semakin meluas. Ini menyebabkan kegelisahan bagi para orang tua, bahkan di beberapa tempat kawin mut’ah dijadikan alternatif bagi praktik perzinaan yang jelas-jelas diharamkan oleh agama.
Sifat eksklusif Syiah dengan menyebut “Islām Syī’ah” dan bukan “Islam”. Padahal tatkala revolusi digulirkan, syiar (semboyan) yang didengung-dengungkan selalu adalah “Islāmiyah … Islāmiyah”.
Mu’taz al-Khotib juga mencatat keberatan-keberatan Ahlu Sunnah terhadap hasil usaha “taqrīb” (Rekonsiliasi) yang selama ini sudah dilakukan, di antaranya adalah apa yang dimaksud dengan rekonsiliasi di sini lebih kepada pendekatan Ahlu Sunnah kepada Syiah, bukan sebaliknya. Atau, bukan keduanya saling mendekat, alasannya:
Pertama, mengapa kantor pusat rekonsiliasi ini didirikan di kota-kota atau negara yang mayoritas penduduknya bermadzhab Ahlu Sunnah (seperti Dār at-Taqrīb di Mesir), bukan di negara yang penduduknya bermadzhab Ahlu Sunnah dan Syiah secara seimbang? Ini menandakan bahwa yang dimaksud dengan taqrīb adalah pendekatan Ahlu Sunnah kepada Syiah.
Kedua, jika beberapa ulama’ Ahlu Sunnah telah melakukan cooling down yang di antaranya melalui pernyataan salah satu ulama’nya bahwa beribadah dengan madzhab Ja’fari itu sah, seperti yang dilakukan oleh Syeikh Mahmud Syaltut. Namun demikian, tidak didapati fatwa semisal itu keluar dari seorang ulama’ kalangan Syiah.
Ketiga, walaupun ulama’ Ahlu Sunnah telah menyatakan keberatan melalui berbagai media seperti seminar dan muktamar, tulisan, himbauan dan lain-lain, terhadap usaha pensyiahan Ahlu Sunnah di berbagai negara yang mayoritas penduduknya bermadzhab Ahli Sunnah, namun himbauan ini seakan tidak pernah dipedulikan. Usaha penSyiahan penganut Ahlu Sunnah terus berjalan dengan menggunakan berbagai sarana dan media serta dana yang cukup besar.
Keempat, Syiah melalui Iran selalu memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk merebut kekuasaan dengan cara apapun, meskipun harus mengorbankan kepentingan Ahlu Sunnah seperti yang terjadi di Iraq dan Suriah saat ini.[13]
Argumentasi-argumentasi yang disampaikan oleh Syu’bah Asa, serta keberatan-keberatan yang dicatat oleh Mu’taz al-Khatib, memang sangat beralasan. Argumentasi-argumentasi yang mereka ketengahkan mengarah pada sebuah kesimpulan bahwa upaya rekonsiliasi yang telah dirajut mulai dulu hingga kini, ternyata hanya bertepuk sebelah tangan. Semuanya hancur berantakan akibat ego dan ambisi politik Syiah.
Namun apakah ini berarti bahwa kemungkinan rekonsiliasi itu menjadi mustahil sama sekali?
Sebenarnya keterkejutan-keterkejutan yang sedang dialami oleh kedua belah pihak, seperti yang disampaikan oleh Syu’bah Asa, walaupun sulit, pada hakikatnya tidak menafikan secara mutlak kemungkinan rekonsiliasi dalam semua bentuknya. Sebab, dalam hal perbedaan-perbedaan yang dinilai Syu’bah Asa sangat prinsipil sekalipun, kini sebagian telah mengalami evolusi dan metamorfosa walaupun berjalan sangat berlahan. Tercatat bahwa beberapa pemikir Syiah kontemporer sedikit-banyak telah mengalami perubahan ke arah moderasi seperti:
Konsepsi tentang otentisitas Al-Quran, misalnya, telah terjadi pergeseran sikap dari ekstremitas menuju moderasi; di mana mayoritas pemikir “Tren Kontemporer” Syiah tidak lagi menganut paham “Tahrīf Al-Quran” (adanya perubahan dalam Al-Quran) seperti para pendahulu mereka dari “Tren Klasik”.
Kasus “Nikah Mut’ah” walaupun pada pertengahan tahun 2010 pemerintah Iran mengeluarkan keputusan membuka tempat-tempat praktik nikah mut’ah secara legal sebagai solusi bagi banyaknya kasus perkosaan di Iran[14] sehingga praktik ini semakin membabi buta, namun menurut hasil penelitian Sharla Haery yang berjudul “Kawin Mut’ah dan improvisasi Budaya”, persepsi masyarakat tentang nikah mut’ah ini juga telah mengalami pergeseran ke arah moderasi, di mana sebagian kalangan menengah ke atas di Iran (terutama wanita), tidak lagi menganggap mut’ah sebagai sarana pendekatan diri kepada Allah. Bahkan telah muncul tren baru di kalangan wanita Iran yang menganggap bahwa mut’ah merupakan prostitusi terselubung dan pelecehan terhadap wanita.
Demikian pula dengan sikap mereka terhadap para Sahabat, walaupun mayoritas mutlak masih berpegang teguh pada tren klasik, hanya saja telah ada pergeseran pemikiran ke arah moderasi (pada sebagian kecil ulama’)[15].
Perubahan paling konkret yang dapat kita saksikan adalah pergeseran praktik dan penerapan Imamah dari “Nash wa al-Washiyah” menuju “Welayat Faqih”, di tangan para sebagian ulama’ dari masa Ahmad bin Muhammad al-Naraqi sampai Al-Khumaini. Meskipun mereka tidak bisa meninggalkan konsep Nash wa al-wahiyyah (Teks dan Wasiat) ini secara mutlak, namun dalam tataran praktik konsep teks dan wasiat sudah tidak bisa lagi dipertahankan sehingga mengharuskan mereka untuk mencari alternatif baru. Itulah konsep “welayat al-faqih” yang sejatinya merupakan penerapan terhadap sistem “Syura”.
Ini menunjukkan bahwa pergeseran dalam pemikiran sebagian tokoh-tokoh Syiah menuju moderasi serta munculnya gerakan reformasi itu mungkin, dan bahkan konkret. Asumsi ini diperkuat oleh hasil penelitian Dr. Basmah binti Ahmad, Prof. Madya pada Program Studi Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, Univ. Thibah Madinah, Saudi Arabia, tentang munculnya fenomena gerakan koreksi di kalangan tokoh dan ulama’ Syiah dengan judul: “Dhāhirat at-Tashhīh Inda as-Syiah; ‘Ardhun wa Naqd”. Dr. Basmah mencatat nama beberapa tokoh yang terlibat dalam gerakan koreksi ini di antaranya adalah Ali Mudzaffaryan, Ahmad al-Kasrawi, Abu Fadl al-Barqu`i, Musthafa Thaba’thabai, Ahmad al-Katib, Ibnu Abi al-Hasan al-Ashfahani, Husein al-Musawi, Dr. Musa al-Musawi, Muhammad Husein Fadhlullah, Hasan Nuri Sulaiman al-Alawi, dan Abu Khalifah Ali bin Muhammad al-Qadhibi.
Sementara, tema-tema yang menjadi perhatian gerakan koreksi ini antara lain kritik atas buku al-Kafi dan beberapa buku induk lainnya, kritik atas wacana otentisitas Al-Quran, kritik atas konsep Imamah dan khilafah, kritik atas konsep dan penerapan taqiyyah, koreksi atas konsep Mahdiyah, Raj`ah, pandangan ekstrem terhadap para Imam, dan Mut`ah.
Hanya saja pertanyaan berat yang kita hadapi adalah: Apakah fenomena ini merupakan bagian dari trik-trik taqiyyah untuk menjaring simpati pengikut Ahli Sunnah, seperti yang disimpulkan oleh Ibnu Katsir, Ibnu Jauzi dan kemudian ditandaskan oleh Dr. Al-Qaffari atau merupakan perubahan yang sebenarnya?
Memang sulit dipungkiri adanya realita bahwa tidak semua penggagas rekonsiliasi jujur dan berniat tulus. Karena realita obyektifnya menunjukkan bahwa sebagian kalangan Syiah melakukan upaya taqrīb  (rekonsiliasi) ini dengan tujuan politis-agama, yaitu untuk melancarkan strategi penyebaran Syiah di kalangan pengikut Ahli Sunnah, atau untuk tujuan politis-kekuasaan yaitu untuk merealisasikan strategi impor revolusi Islam (Syiah)  ke seluruh penjuru dunia, terutama di negara-negara yang mayoritas dihuni oleh Ahli Sunnah. Salah satu buktinya adalah tidak adanya sinkronisasi antara yang disepakati dengan apa yang terjadi di lapangan.
Inilah salah satu penyebab terjadinya kegagalan-kegagalan yang terus-menerus dalam proses rekonsiliasi selama ini, termasuk mundurnya Dr. Yusuf al-Qaradhawi dari upaya yang telah beliau rintis melalui al-ittihād a-ālami li al-ulamā’ al-muslimīn.
Namun di sisi lain, sulit pula mengingkari realita bahwa bahwa tidak seluruh penggagas rekonsiliasi bermotif taqiyyah, karena realitanya, sebagian di antara mereka yang merupakan pelopor dari gerakan ini (terutama yang termasuk dalam gerakan koreksi), sebagaimana disebutkan oleh Dr. Basmah, dianggap telah keluar dari mainstream Syiah Dua Belas Imam oleh mayoritas ulama’ Syiah yang masih berhaluan tradisionalis (al-ikhbari), yang terkadang berujung pada pentakfiran, hal yang kemudian menimbulkan reaksi sebanding dari kalangan Ahlu Sunnah yang terkadang juga jauh dari sikap moderat.
Menurut Najf Ali Mirza`i, munculnya problematika rekonsiliasi ini diakibatkan oleh adanya tumpang-tindih antara tujuan pengetahuan dan kultural budaya serta kepentingan politik.[16] Asumsi ini diperkuat oleh argumentasi-argumentasi Mu’taz al-Khotib yang telah kita sebutkan di muka.
Meskipun sangat rumit dan sulit, namun pilihan rekonsiliasi merupakan pilihan yang nampaknya harus diambil oleh kedua kelompok, untuk menghindari alternatif lain yang lebih buruk yaitu konflik dan peperangan. Maka, perlu dirumuskan formulasi dan kerangka rekonsiliasi tersebut untuk menghindari akibat-akibat buruk bagi kehidupan kedua pengikut umat Islam ini.
Untuk maksud tersebut perlu kiranya dirumuskan langkah-langkah strategis yang patut diambil dalam rangka merealisasikan rekonsiliasi ini dalam skala global, dengan syarat bahwa kedua belah pihak secara jujur dan tulus sepakat untuk merealisasikan tujuan rekonsiliasi ini, serta secara serius ingin merealisasikannya dalam realita. Rumusan yang dimaksud  adalah sebagai berikut:
Mereorientasi kembali tujuan rekonsiliasi yang diinginkan yaitu: Mewujudkan perdamaian, suasana saling menghormati, dan menghindari konflik yang berakhir dengan pertikaian dan pertumpahan darah.
Menata ulang kode etik penyebaran madzhab. Di antara yang bisa diusulkan adalah selayaknya masing-masing kelompok fokus pada pembinaan anggotanya, tidak berambisi untuk menebarkan atau mendakwahkan pahamnya di kalangan umat Islam yang mayoritas telah memilih corak pemahaman, madzhab tertentu atau kelompok tertentu. Dengan demikian, kedutaan-kedutaan yang ada tidak difungsikan sebagai basis penyebaran madzhab. Fungsi kedutaan hendaknya hanya difokuskan pada pembinaan hubungan diplomatik antar-negara (dalam masalah politik dan ekonomi-sosial seperti kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, olah raga, seni, serta lain-lainnya).

Sasaran penyebaran paham (madzhab) tersebut  bisa diarahkan ke daerah-daerah minus yang belum memeluk Islam (musyrik), Non-Muslim, atheis, daerah pedalaman yang belum memiliki agama, penganut sosialis, materialis, dan lain-lain), agar tidak menimbulkan gesekan dan perebutan pengaruh yang biasanya disertai dengan usaha saling menafikan, mengeliminasi, dan bahkan membinasakan.

Di negara (daerah) di mana kedua kelompok telah eksis dan berada dalam kurun waktu yang lama, hendaknya ada pengakuan terhadap eksistensi masing-masing kelompok (seperti Iraq, Lebanon, Suriah, Yaman, dan seterusnya).

Sementara di negara (daerah) yang salah satu kelompok menjadi mayoritas dan telah menentukan corak madzhab secara resmi (seperti Iran dengan Syiah Imamamiyah-Ja’fariyah, Maroko dengan Asy’ari-Maliki, Saudi Arabia dengan Salaf-Hambali, Mesir dengan Syafi’i/Hanafi), diusulkan agar menjamin keleluasaan minoritas (dalam Undang-undang) untuk melaksanakan ajaran dan ritual paham dalam lingkungan mereka, dengan syarat tidak berambisi untuk menebarkan pahamnya di luar lingkungan mereka sampai dalam batas menciptakan keresahan di kalangan masyarakat mayoritas –seperti yang akan  disebutkan dalam poin  berikut.

Lontaran ini muncul karena baik Syiah maupun Sunnah telah memiliki negara masing-masing. Pelarangan satu kelompok terhadap yang lain akan mengakibatkan terjadinya konflik abadi. Misalnya, minoritas pada masing-masing negara akan menjadi korban dari kebijakan ini.

Memberikan hak kepada setiap kelompok untuk menjelaskan kebenaran kelompok yang dianutnya, serta mengkritik penyelewengan yang terjadi pada kelompok lain, dengan menggunakan argumentasi-argumentasi yang kuat dan benar berasaskan Al-Quran (sebagai sumber yang disepakati bersama) serta logika yang benar, tanpa harus mencela pengusung ide. Kritik tersebut diarahkan kepada ide yang dianggap sebagai obyek kritiknya. Semua itu dilakukan dengan menjunjung tinggi adab al-ikhtilāf atau kode etik dalam berselisih dan berbeda.

Dengan poin ini, maka kegiatan dialog, munādzarah (debat terbuka), polemik (melewati tulisan), seminar, diskusi dan lain-lain, sedapat mungkin dan sebanyak mungkin bisa dilaksanakan. Sebab, program semacam ini akan membuka pikiran para pengikut fanatik yang mengikuti madzhab tertentu hanya karena keturunan atau pergaulan, bukan karena argumentasi dan alasan logis yang dapat diterima secara logis.

Hendaknya kedua belah pihak melakukan telaah ulang terhadap ajaran-ajaran yang oleh masing-masing dianggap telah mapan namun tidak berdasar, dengan tujuan:

Pertama: Mengeluarkan ajaran-ajaran yang sejatinya merupakan infiltrasi dari luar yang terbentuk melalui perjalanan sejarah yang panjang, seperti: Perayaan hari-hari raya selain Idul Fitri dan Idul Adha, ajaran ziarah kubur yang berlebihan, ajaran menyakiti diri pada peringatan hari tertentu, meragukan keotentikan Al-Quran, konsep Imamah melalui nash wa al-washiyyah, menganggap Imamah dan Imam sebanding dengan kenabian dan Nabi, menjadikan Imam sebagai sumber hukum selain Rasul serta pemilik tunggal dan mutlak penafsiran batini terhadap (Al-Quran dan Sunnah),

Kedua: Mengeluarkan ajaran-ajaran yang isinya menimbulkan kebencian dan permusuhan terhadap kelompok lain seperti: Pentakfiran, penfasikan, pembid’ahan yang dilakukan secara serampangan termasuk di dalamnya pendiskreditan dan pentakfiran terhadap para Sahabat, fatwa pengharaman beribadah di belakang kelompok lain, atau fatwa penghalalan darah dan harta kelompok lain.

Namun demikian, langkah selanjutnya adalah memberikan hak untuk melakukan penindakan terhadap kelompok lain kepada masing-masing kelompok, jika memang telah terbukti –berdasarkan kajian ilmiah yang serius-, bahwa kelompok yang dimaksud benar-benar telah meresahkan masyarakat, atau bahkan menyebabkan kondisi masyarakat (keamanan maupun sosial) mengalami chaos. Dalam kondisi semacan ini, proses penindakan itu tidak bisa dianggap sebagai upaya fanatisme dan diskriminasi kelompok tertentu, namun masuk dalam kategori memelihara dan menjaga eksistensi masyarakat dari kondisi chaos, dengan syarat semuanya itu dilakukan sesuai prosedur hukum yang berlaku di masyarakat tersebut.

Sebaliknya, memberikan hak pembelaan diri kepada minoritas yang terbukti telah dirampas hak-hak asasinya untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan madzhabnya, atau diperlakukan secara diskriminatif di dalam masyarakat.

Dalam tataran nasional kesepakatan ini diupayakan oleh salah satu lembaga negara yang menangani masalah-masalah agama. Sementara dalam tataran internasional ditangani oleh lembaga Islam Internasional, yang sekaligus lembaga-lembaga bersangkutan menjadi mediator dengan meletakkan butir-butir kesepakatan kedua belah pihak serta mengawasi jalannya proses tersebut, termasuk di dalamnya menindak tegas pihak yang melanggar kesepakatan yang telah digariskan.

Bagaimana di Indonesia?

Dari hasil konsensus rakyat Indonesia semenjak masuknya Islam, Indonesia menjadi Negara tempat berlabuhnya madzhab Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah secara akidah dan madzhab-madzhab fikih yang empat terutama Syafi’i secara fikih. Sebagaimana Iran menjadi tempat berlabuhnya madzhab Syiah Dua Belas Imam secara akidah, dan Ja’fari secara fikih. Bedanya, di Iran madzhab Ja’fari Itsna Asyari termaktub dalam Undang-undang Dasar. Sementara, di Indonesia tidak.
Merupakan hak masyarakat untuk merawat dan menjaga akidah dan madzhab masing-masing. Untuk itu merupakan hak masyarakat Indonesia yang mayoritas bermadzhab Ahlu Sunnah untuk merawat dan menjaga akidah ini lewat berbagai sarana seperti: Lembaga (swasta maupun negara), sekolah, media, organisasi, Undang-Undang Dasar maupun Undang-Undang, dan tuntutan untuk dijadikan madzhab resmi Negara. Hak serupa telah didapat oleh mayoritas masyarakat Syiah di Iran.
Penjelasan tentang kebenaran akidah Ahlu Sunnah tidak mungkin dipisahkan dari penjelasan tentang kebatilan dan penyimpangan madzhab-madzhab lainnya, karena dalam menyikapi dua hal yang kontradiktif seseorang dituntut untuk percaya kepada “sesuatu yang dianggap benar” dan mengingkari “sesuatu yang dianggap batil’ dalam satu waktu. Meyakini keduanya benar, itu tidak mungkin. Demikian pula meyakini kebatilan pada keduanya, juga tidak mungkin. Inilah tugas para Ulama’, akademisi di bidang akidah, lembaga penelitian pada organisasi-organisasi keislaman, terlebih tugas Lembaga seperti Majelis Ulama’ Indonesia.
Namun demikian, di tengah-tengah kondisi umat Islam yang masih dilanda perpecahan dan konflik internal yang seringkali berakhir dengan pertumpahan darah, nampaknya penjelasan tentang penyimpangan dan kesesatan Syiah seyogyanya tidak mengantarkan kepada pentakfiran. Dari tiga pendapat yang berkembang di kalangan Ahlu Sunnah berkenaan dengan sikap terhadap Syiah, sebagaimana disebutkan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi, nampaknya sikap moderat ini (menjelaskan penyimpangan dan kesesatan Syiah tanpa mentakfirkan) merupakan pilihan yang lebih utama.
Hal yang juga perlu ditekankan kembali adalah bahwa penjelasan tentang penyimpangan Syiah selayaknya tidak disampaikan secara provokatif sehingga tidak memicu terjadinya kekerasan. Di samping itu perlu disosialisakan kepada masyarakat bahwa perbedaan tidak harus menyebabkan adanya kebencian, sehingga menyebabkan perpecahan (al-khilāfu la yufsidu al-wudda qadhiyyah). Pengikut Syiah di Indonesia selayaknya dimasukkan dalam kategori “Ummah Mad’uwwah” (umat yang didakwahi atau obyek dakwah) dan bukan “Ummah Muhārabah” (umat yang harus diperangi dan dibinasakan). Maka sebagai madzhab yang bertanggung jawab untuk menjaga kebenaran, serta membentengi pengikutnya dari ajaran-ajaran yang menyeleweng, Ahlu Sunnah dituntut untuk menyusun strategi dakwah yang efektif, strategis, cerdas dan elegan sesuai dengan petunjuk dan tuntunan Al-Quran, serta berkiblat kepada metode Nabi dan para Salaf as-Shaleh. Usaha semisal dapat dipastikan telah dipraktikkan dan diwujudkan dalam realita oleh Pemerintah Iran sebagai Negara Syiah.
Di sisi lain, agar terjadi harmonisasi yang sesungguhnya, kelompok Syiah di Indonesia perlu menyadari bahwa sebagai minoritas perlu memperhatikan dan menghormati perasaan mayoritas, dengan cara di antaranya:
Tidak berambisi untuk menyebarkan madzhab Syiah di tengah-tengah komunitas yang jelas-jelas bermadzhab Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah. Ambisi yang berlebihan untuk mensyiahkan penganut Ahlu Sunnah di Indonesia akan berakibat buruk bagi hubungan sosial-kultural masyarakat Indonesia.
Penganut Syiah di Indonesia juga dituntut memiliki keberanian untuk melakukan koreksi terhadap ekstremitas doktrin yang selama ini dianut mayoritas penganut Syiah, utamanya: Penghinaan dan pengkafiran terhadap Sahabat dan yang tidak meyakini kebenaran Imamah, keyakinan terhadap kemaksuman Imam, dan keyakinan tentang terjadinya perubahan di dalam Al-Quran. Keberanian untuk melakukan koreksi terhadap ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin Syiah ini tidak dilakukan dalam rangka taqiyyah, tapi dalam konteks keinginan yang tulus untuk melakukan rekonsiliasi menuju harmonisasi yang diharapkan bersama.
Penganut Syiah juga dituntut untuk tidak mengadakan perayaan hari raya Syiah secara terbuka. Hal ini agar tidak memicu kecurigaan, kesalahpahaman dan mengundang kebencian di kalangan Ahlu Sunnah.
Hal yang sama perlu diperhatikan oleh minoritas pengikut Ahlu Sunnah yang berada di tengah mayoritas kelompok lain termasuk Syiah.
Dengan poin-poin di atas, diharapkan Sunnah dan Syiah dan demikian pula umat dari berbagai madzhab serta aliran lembaga, partai politik dan organisasi tidak terjebak dalam konflik dan pertikaian yang tidak saja akan menguras tenaga dan energi tapi juga membinasakan wujudnya secara perlahan. Jika demikian, bisa dipastikan semua pihak tidak akan mampu mengembangkan diri, terlebih menghadapi berbagai tantangan yang datang dari luar.
Jika kedua belah pihak, atau salah satunya tidak mengindahkan hal-hal di atas karena ego kelompok atau  karena kebodohan, maka sejatinya mereka sedang menyiapkan bom waktu yang sewaktu-waktu akan meledak dan memporak-porandakan sendi-sendi bangunan peradaban Umat di Indonesia.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut, akibat apa yang diperbuat oleh manusia. Yang demikian itu agar mereka merasakan sebagian apa yang mereka perbuat, mudah-mudahan mereka segera kembali” (QS Ar-Rum: 41).
Wallahu a’laa wa a’lam.
Catatan Kaki:

[1] Muhammad Abu Zahrah, Al-Imām As-Shādiq, (Beirut: Dar Fikr al-Arabi), hlm. 464
[2] Mahmud Basyuni Muhammad Faudah, Al-Thabarsi Mufassiran, (Disertasi Doctoral belum dipublikasikan di Fakultas Ushuluddin Univ. Al-Azhar Kairo), hlm. 10
[3] Nashir Abdullah bin Ali al-Qaffari, Masalah Taqrīb Baina Ahli As-Sunnah wa As-Syī’ah, (Riyadh: Dar Thiba, Cet 6, t.t), hlm. 2/149.
[4] Ibnu Katsir, Bidāyah Wa an-nihāyah: hlm. 11/221
[5] Ibnu Katsir, Bidāyah Wa an-nihāyah: hlm. 12/54-56
[6] Al-Qaffari, Masalah Taqrīb Baina Ahli As-Sunnah wa As-Syī’ah, hlm. 2/151
[7] Ibid, hlm. 2/149
[8] Kisah muktamar ini terekam dalam catatan seorang ulama’ Iraq, Abdullah bin Husain bin Mar’i bin Nashiruddin al-Dauri al-Suweidi (1104-1174 H) (al-Nafhah al-maskiah ti rihlah al-makkiah), dan buku anaknya: Abdurrahman bin Abdullah al-Suwedi (Hadāiq al-zauro’ fī sirāth al-wuzarā’ atau sering disebut dengan “Tārikh Baghdād”), oleh Ustadz Muhibbuddin Khotib diterbitkan dengan judul “Muktamar Najf” yang sebelumnya ia ulas dalam majalah “al-Fath” dengan judul yang sangat bombastis: “A’dham muktamar fī tārikh al-muslimin littafāhum baina al-Syī’ah wa Ahlu Sunnah al-Muhammadiyyah”.
[9] Tentang kehebatan Suweidi ini Mahmud Syukri al-Alusi menulis:
“Sosok yang satu ini memang mempunyai kelebihan yang tak terbatas, entah betapa tinggi perannya dalam mempertahankan kebenaran ajaran Ahli Sunnah, terutama saat Nadir Syah datang ke Iraq dengan membonceng orang-orang luar (yang terkenal dengan ahli nifaq dan pengadu domba). Saat itu para utusan Syah berdebat hebat dengan Ahmad Basya, Gubernur Baghdad. Demikian perdebatan itu terus berlanjut melewati utusan-utusan yang terus bergantian, sampai akhirnya Syah turun tangan dengan mengeluarkan keputusan untuk menetapkan madzhab Syī’ah Imamiyah Itsnā Asyariah sebagai madzhab resmi serta menolak madzhab Sunnah. Mendengar ini gubernur Baghdad -Ahmad Basya- mengutus Abdullah Suweidi untuk berdebat dengan para ulama’ Syi’ah. Dengan kepiawaiannya ia bisa menundukkan lawan debatnya serta meluruskan kesesatan-kesesatan mereka, sehingga akhirnya Nadir Syah beralih halauan dari Syi’i menjadi Sunni, di samping secara otomatis ia berhasil menyelamatkan ratusan nyawa akibat fanatisme kelompok ini” (al-Maslak al-adzfar, Mahmud Syukri al-alusi, dikutip dari “Masalatu al-Taqrīb  baina ahli al-sunnah wa al-Syi’ah”, Nashiruddin al-Qofari, Dar Tibah li annasyr wa al-tauzi’, Riyadh 1420 H , hlm.  104-106).
[10] Mohammad Emarah, Fitnat at-Takfir baina as-Syī’ah, wa al-Wahhābiyyah, wa as-Shūfiyah, (Kairo: Darussalam, Cet. I, 2009), hlm. 37-38
[11] Lihat secara terperinci di: http://www.ammanmessage.com/index.php?lang=ar.
[12] Mengapa Kita menolak Syiah; Kumpulan Makalah Seminar Nasional tentang Syī’ah, di Aula Masjid Istiqlal Jakarta, 21 September 1997, (Jakarta, LPPI, Cetakan 4, Desember 2000)
[13] Mu’taz al-Khotib (Editor), Mihnah at-Taqrīb  baina as-Sunnah wa as-Syī’ah, (Kairo: Islam Online.net dan Nahdhah Mashr, Cet. I, 2009), hlm. 147-150
[14] ttp://www.alrashead.net/index.php?prevn&id=4573&typen=20
[15] Lihat pembahasan “Konsepsi Syī’ah tentang Sahabat”, hlm. 139
[16] Najf Ali Mirza`i, Al-Wihdah wa at-Taqrīb  wa isykāliyyat tadākhul as-siyasi wa al-ma’rifi, dalam “Fitnat at-taqrīb  baina as-sunnah wa as-syī’ah”, ibid. hlm. 109-113
Dosen dan Ketua Program Studi Ilmu Aqidah Pascasarjana ISID Gontor Jawa Timur.


Taqrib Sunni – Syiah Gagasan Usang Yang Diulang. Pengakuan Syeikh Al-Qaradhawi: ‘Iran Menipu Saya’
http://lamurkha.blogspot.co.id/2015/11/taqrib-sunni-syiah-gagasan-usang-yang.html
Sikap Al-Azhar Mesir tentang ‘Taqrib’ Sunni-Syiah
Berkedok Risalah Amman Syiah Siap Membantai Muslim Indonesia
Muktamar Persatuan Sunni-Syiah, Tapi Shalatnya Pisah-pisah
Masukan Untuk Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin Terkait Risalah Amman
MUI: Akidah Sebagai Landasan Perbedaan Antara Sunni Syiah
Sunni-Syiah, Minyak-Air
Ustadz Farid: " Syiah Ini Agama Karangan, Jelas Berbeda Dengan Islam, Asyura Adalah Pendahuluan Untuk Revolusi Syiah”. Lakukan Penyimpangan Terhadap Agama, Syiah Melanggar Hukum Dan Berantas Kesesatan Syiah Lebih Efektif Dengan Kekuasaan
Al-Azhar Adakan Lomba Ilmiah Bantah Syiah Untuk Mahasiswa Asing
Penodaan Syiah Terhadap Mazhab Fikih Ja’fari
140 Ulama Saudi Ajak Umat Waspadai Makar Syiah Iran Di Negeri-Negeri Kaum Muslimin ( VS 10 Poin Deklarasi Jakarta Dimotori Su'per Cendekiawan Syiah/Sepilis Yang Mengajak Berasyik-Masyuk Dengan Syiah )
[ Peristiwa Lama Melawan Lupa ] Prof. Dr. Quraish shihab, Umar Shihab, Azyumardi Azra, Amien Rais, dan Din Syamsuddin menyatakan mazhab syi’ah tidak sesat
MEREKA MEMBELA SYIAH ( Para Profesor Su’per lokal )
PENDEKATAN SUNNI SYIAH DI INDONESIA ( 2012)
Taqrib ngawur dan nyeleneh oleh orang-orang keblinger dengan paparan yang jauh dari ilmiyyah
http://www.manhajul-anbiya.net/pendekatan-sunni-syiah-di-indonesia/