KAPAN ISTILAH TAQRIB LAHIR?
Pada tahun 2006, perang kembali pecah antara Syi'ah Hizbullah Lebanon melawan
Zionis, yang berlangsung selama 33 hari. Perang pertama pernah terjadi pada
tahun 1982 antara Lebanon melawan Zionis.
Pasca perang ini, Syi'ah Lebanon kemudian memainkan sandiwara licik. Dengan
membawa bendera 'muqawamah' (perlawanan kpd. Israel), mereka memelas kasihan
dari Muslim-Sunni dunia. Seolah-olah mereka berkata: Wahai muslim dunia,
tidakkah kalian saksikan kami melawan Israel? Bukankah kita semua memusuhi
zionis? Bukankah sudah saatnya kita bersatu?
Maka, muncullah ide TQRIB/PENDEKATAN Sunni Syi'ah.
SIAPA PELOPORNYA ?
Ide ini dipelopori oleh beberapa tokoh Syi'ah seperti; Sayed Agha Boroujerdi,
Kasyif al-ghitha', Baqir al-Shadr, Nawwab Shofawi, Muhsin al-Hakim, Ali
Syari'ati, Muhammad Fadhlullah, dll. Ide tersebut kemudian disambut beberapa
tokoh sunni, seperti; Mahmud Syaltut, Muhammad Abu Zuhrah, Hasanain Makhluf,
Musthafa Abdur Razzaq, Yusuf al-Qardhawi, dll. Meski, pada tahap selanjutnya
beberapa tokoh ini mundur teratur.
Ide TAQRIB sendiri lahir di Mesir, setelah kedua kubu mengadakan dialog, dan
hasilnya diambil kesimpulan bahwa ternyata tidak ada perbedaan signifikan
antara Sunni-Syi'ah, sebab sama-sama memilki Al-Qur'an dan Nabi yang sama.
Perbedaan tersebut juga hanya dalam masalah furu'iyah, sedang dalam masalah
ushul kita sama kecuali masalah wilayah dan imamah Ali.
Jika melihat tokoh-tokoh pelopor TAQRIB ini, khususnya kalangan sunni, kita
tentu tidak meragukan kapasitas keilmuan mereka. Tetapi, mengapa mereka bisa
kecolongan?
APA MASALAHNYA?
Masalahnya adalah tercapainya kesepakatan antara kedua belah pihak saat itu,
yaitu Al-Azhar (Mahmud Syaltut,Cs) dan Syi'ah Iran (Sayed Agha Boroujerdi, Cs),
untuk membangun persatuan Islam, dan 'melupakan' perbedaan yang ada. Biarlah
kita berpegang pada keyakinan masing-masing, dan mencari titik temu.
Tentu, ulama Islam dunia lainnya, tidak sepakat dengan terobosan ini, sehingga
TAQRIB menjadi KONTROVERSI di kalangan internal Sunni. Meski demikian, saat itu
Al-Azhar tetap maju, malah bersama dengan utusan Iran (Muhammad Taqiy al-Qummi)
mereka mendirikan Dar al-Taqrib.
GAGAL DAN GAGAL LAGI !
TAQRIB Sunni-Syi'ah yang sudah diusahakan sejak lama tidak kunjung membuahkan
hasil. Justru sebaliknya, Dar Taqrib malah menajdi pusat penyebaran ajaran
Syi'ah. Demi mengusung taqrib mazhab Fiqih Ja'fari-Imamiyah menjadi legal di
Al-Azhar, bahkan skripsi atau thesis Fiqih muqaran (Perbandingan mazhab) harus
menyertakan pendapat mazhab Ja'fari.
Syi'ah semakin berkembang di Mesir. Taqrib berubah menjadi
Syi'asiasi/Rafidhisasi masyarakat Sunni, dan Dar Taqrib menjadi pusat
pembelajaran tafsir, fiqih, dan ushul Syi'ah.
Fakta ini kemudian disadari oleh sebagian ulama Mesir, maka kritik pun
bermunculan dari semisal Syaikh Abdul Lathif al-Subki, Muhammad Arafat, Syaikh
Ali Thanthawi, Muhammad Rasyid Ridha, Musthafa Siba'i, Abdul Mun'im al-nimr,
dll.
MENGAPA HANYA DI NEGARA SUNNI?
Pertanyaan ini benar-benar mengungkap skenario buruk Syi'ah. Pusat-pusat Taqrib
dan muktamar 'persatuan' hanya ada di negara-negara sunni, dan tidak ada di
negara Iran. Beranikah mereka mendirikan pusat Taqrib di Iran, untuk mengadakan
Taqrib dengan sunni Ahwaz, Blushistan, dan sunni Kurdi?
Jadi jelas sekali, istilah taqrib Syi'ah, sama dengan istilah Terroris Amerika.
Yang dicetuskan hanya demi membela dan memuluskan propaganda mereka.
KONFLIK SUNNI-SYI'AH SANGAT MUDAH DISELESAIKAN !
Sebenarnya, sangat mudah
mengakhiri konflik berkepanjangan Sunni-Syi'ah. Jika syi'ah siap melakukannya
dengan syarat-syarat berikut :
1. Seluruh Syi'ah dunia, melalui perwakilan masing-masing menandatangani
pernyataan bahwa Al-Qur'an/Mushaf Utsmani yang ada sekarang asli, otentik, dan
tidak ada perubahan. Syi'ah harus berlepas diri, dan siap mengadili siapa saja
dari tokoh Syi'ah yang mengatakan Al-Qur'an tidak asli atau telah diubah.
2. Seluruh Syi'ah dunia, melalui perwakilan masing-masing siap menandatangani
pernyataan berlepas diri dari semua referensi, baik ulama maupun kitab Syi'ah,
yang mencaci, melaknat, dan mengkafirkan sahabat serta Isteri-isteri Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam. Selanjutnya siap menjatuhkan sanksi kepada siapa
saja yang berani mengulanginya.
3. Menandatangani perjanjian untuk tidak menebarkan ajaran syi'ah di tengah
masyarakat sunni, di manapun mereka berada.
4. Mengakui keabsahan Khilafah Abu Bakar, Umar, dan Utsman radhiyallahu 'anhum.
5. Siap berdiskusi dan berdialog bersama, guna menyelesaikan segala perbedaan
pendapat dalam masalah ushuliyah seperti rukun iman, rukun Islam, taqiyah, dan
masalah furu'iyah seperti nikah mut'ah, mengusap al-Khuff dalam safar. Dengan
menjadikan Al-Qur'an serta hadits shahih sebagai referensi utama.
Sebaliknya, kaum Sunni dunia, melalui perwakilan masing-masing, siap
menandatangani pernyataan untuk tidak memusuhi ahlu bait Rasulillah. Siapa saja
Ahlus Sunnah yg melanggar hal tersebut maka harus diberi sanksi.
Sekeras-kerasnya. (Ini, disebabkan syi'ah menuduh siapa saja mencintai Abu
Bakar dan Umar, adalah Nashibi; musuh ahlul bait).
Kami yakin, kaum Sunni siap 100 %, tetapi kami ragu, syi'ah bisa memenuhi
syarat-syarat di atas.
TAQRIB/PENDEKATAN SUNNI-SYI'AH TAK MUNGKIN ALIAS MUSTAHIL
1400 tahun sudah berlalu, dan konflik Sunni-Syi'ah masih terus berlanjut. 29
tahun lebih usaha Taqrib berjalan, berbagai kesepakatan telah ditandatangani,
seperti RISALAH AMMAN, pusat-pusat Taqrib juga telah didirikan.
Namun, kesepkatan hanya menjadi sekedar selebaran yang tiada berarti.
Penindasan dan pembantaian Ahlus Sunnah terus berlanjut, dan Syi'ah selalu
menjadi dalangnya. Baik bermain di balik layar seperti penghancuran
Taliban-Afghanistan, maupun sebagai aktor utama, seperti di Iran, Irak, dan
Suria.
Caci maki, laknat, dan pengkafiran sahabat dan Isteri Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam juga masih terus berlanjut. Bahkan telah telah sampai ke negri
tercinta Indonesia.
Jika para sahabat, tabi'in, tabiut tabi'in, ulama empat mazhab, dan ulama Islam
lainnya tidak pernah berpikir apalagi berusaha TAQRIB SUNNI-SYI'AH, maka apakah
kita bisa melakukannya?
Itu semua disebabkan mereka sadar, bahwa perbedaan antara Sunni-Syi'ah adalah
perbedaan dalam ushul aqidah dan idelogi, yang tak mungkin DIDEKATKAN, apalagi
disatukan !
KESIMPULAN
Maka, sebaiknya istilah TAQRIB SUNNI-SYI'AH dipeti es-kan saja, kemudian
dikubur di gudang bawah tanah. Suatu saat, jika ada tokoh hebat yang siap
memulai lagi, maka peti tersebut bisa kita gali lagi.
Jika, seluruh ahlus sunnah sudah sepakat dan setuju taqrib Sunni-syi'ah,
barulah ide tersebut dilanjutkan.
DAN, BUKANKAH SUDAH SAATNYA, KITA MEMPERJUANGKAN TAQRIB DAN PERSATUAN SESAMA
AHLUS SUNNAH ?!
Ket. Photo di atas : Senyum manis Mujahid
al-Ahwaz, sebelum digantung oleh rezim Syi'ah-Iran.
Pandangan
Dr. Ragheb Elsergany terhadap Taqrib Sunni Syiah
Soalan : Mengapa
engkau tidak menggalakkan proses taqrib (merapatkan) antara Ahli Sunnah dan
Syiah?
Jawapan
Bismillah,
Sesungguhnya proses
taqrib berbentuk aqidah dah fiqh antara Ahli Sunnah wal Jamaah dan Syiah adalah
suatu perkara yang mustahil (tidak akan berlaku)! Ini adalah kerana Syiah itu
bukanlah suatu mazhab dalam Islam, tetapi ianya merupakan suatu fahaman sesat
daripada kefahaman Islam. Bahkan ianya adalah satu fahaman yang dibuat oleh
sesetengah kelompok dengan tujuan merosakkan Islam dari dalam.
Kekejaman dan
kesedihan yang melanda umat akibat perbuatan zalim Syiah bukanlah perkara
asing, jika kita perhatikan didalam sejarah Umat hinggalah di zaman sekarang.
Jika kita perhatikan bilangan umat Islam yang terbunuh ditangan Syiah di Iraq
sejak tahun 2003 adalah tersangat banyak berbanding umat Islam yang terbunuh
akibat pembunuhan oleh British dan Yahudi sejak tahun 1917 hingga ke hari ini.
Jadi aku tersangat
pelik kepada pihak yang menuntut supaya berlakunya taqrib dan supaya umat Islam
melupakan apa yang dilakukan syiah selama ini kononnya atas dasar bersatu
menentang golongan musuh Islam sedangkan mereka (Syiah) itu sendiri adalah
musuh Islam. Adalah tidak masuk akal untuk kita menyuruh seseorang itu melupakan
satu musuh demi musuh yang satu lagi! Sedangkan kedua-dua musuh itu terus
menyembelih umat Islam, bahkan berkerjasama melakukan perkara tersebut.
Hubungan antara Syiah yang diketuai oleh Iran dan musuh Islam lain sudah lama
diketahui umum.
Syiah serta Iran lah
yang membantu Amerika dalam melakukan serangan keatas umat Islam Iraq dan
Afganistan dengan syarat Amerika akan memberi mereka kuasa di Negara tersebut.
Bagaimana aku boleh melupakan semua tindakan musuhku dan musuh agamaku ini?
Jadi ingin aku katakan,
persoalan mengenai taqrib (merapatkan) ini adalah satu perkara yang jelas,
iaitu menuntut kedua pihak tersebut tidak boleh menyakiti satu sama lain dan
hidup dalam keadaan aman bersama, bahkan boleh bersepakat dalam sesetengah
perkara. Perkara tersebut hendaklah berlaku dalam keadaan tidak ada berlakunya
tanazul pada perkara asas aqidah atau perkara prinsip.
Sedangkan
perkara ini adalah mustahil untuk terjadi antara Sunni dan Syiah!
Ini merupakan terjemahan kepada
artikel asal ditulis oleh Dr. Ragheb Elsergany iaitu
salah seorang doctor pakar dari Mesir dan salah seorang penulis sejarah Islam
yang terkenal dari laman web: http://islamstory.com/ar
SUNNI
SYIAH Antara Taqrib & Tasamuh
Profesor
Madya. Dr. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Head of Department Akidah and
Religion Studies Universiti Sains Islam Malaysia
......................................................................dst
Inilah
usaha yang dilakukan untuk mendekatkan mazhab Sunni dan Syiah, seperti
mendirikan “Darul Taqrib Baina al-Mazahib al-Islamiyah” [pusat pendekatan
antara mazhab Islam] dan menerbitkan majalah Risalah Al-Islam di Mesir.
Pendirinya terdiri dari perwakilan Sunni dan Syiah. Pihak Sunni diwakili oleh
Syekh Mustafa Al-Maraghi, Syekh Muhammad Syaltut dan Syekh Mustafa Abdul Raziq.
Adapun dari kelompok Syiah diwakili oleh Sayyid Muhammad Husain Kasyif
Al-Ghita’, Sayyid Jawwad Maghniah dan Sayyid Syarafuddin Al-Musawi. Kemudian,
didirikan berbagai pusat pendekatan lain, seperti Muassasah Ahli Bait li
Al-Fikri Al-Islami di Jordan. Pada tahun 1984, didirikan Muassasah Al-Imam
Al-Khuu’i li At-Taqrib Baina Al-Mazahib Al-Islamiah. Selain itu, ada banyak
usaha ilmiah lainnya dalam mendekatkan kedua golongan ini melalui
seminar-seminar nasional dan internasional yang diadakan di berbagai negara
Islam.
Namun semua usaha itu tidak efektif
sebagaimana yang diharapkan. Bahkan sikap saling memburukkan
dan saling mengkafirkan semakin meningkat. Langkah untuk mendekatkan
Sunni-Syiah sudah dihentikan. Oleh karena itu, perlu dibangunkan kembali
aktifitas-aktifitas dan pintu penyelesaian lain. Contohnya, mengaktifkan sikap
toleransi antara mazhab. Sebab perbezaan antara Sunni dan Syiah sangat
fundamental dengan perbezaan yang menonjol pada ajaran masing-masing. Imam
Hasan Al-Banna dalam usaha menyelaraskan hubungan Sunni dan Syiah, berkata:
نَتَعَاوَنُ فِيْمَا اتَّفَقْنَا عَلَيْهِ، وَيَعْذُرُ
بَعْضُنَا بَعْضًا فِيْمَا اخْتَلَفْنَا فِيْهِ
“Kita
bekerjasama dalam perkara yang kita sepaham, dan saling memaafkan satu sama
lain dalam perkara yang kita perselisihkan”. Pesan ini lebih kepada sikap toleransi, bukan pendekatan
mazhab. Walaupun golongan Sunni dan Syiah adalah Islam ( ? ), namun kandungan mazhab keduanya
berbeza antara satu sama lain. Sulit membezakan antara penganut Islam
Sunni dan Syiah. Sekiranya Sunni mengakui Al-Qur’an dan sunnah adalah pegangan
hidup dan asas seorang Muslim, Syiah pun demikian. Jika ada orang non-Muslim
menghina Al-Qur’an dan sunnah, reaksi keras akan timbul dari keduanya.
Contohnya, perancangan hari pembakaran Al-Qur’an sedunia oleh sebuah gereja
Dove World Outreach Center di Gainesville, yang dirancang oleh pendeta Terry
Jones. Sunni dan Syiah menentang keras sehingga usaha pembakaran pun akhirnya
berhasil digagalkan. Namun,
jika diteliti perbezaan dari segi akidah, kedua-keduanya sulit disatukan.
Sunni dan Syiah perlu
mengadakan dialog untuk tasamuh (toleransi), bukan untuk taqarub
(pendekatan). Sikap toleransi berarti tidak saling tuduh-menuduh,
menghancurkan, dan kafir-mengkafirkan. Meminjam istilah Prof. Hamid Thahir, semua perkara itu
adalah al-musykilat az-zaaifah, yaitu permasalahan palsu, sebab tidak ada
timbal-balik ketika usaha taqrib tidak membuahkan hasil kepada umat.
Oleh karena itu, kedua-duanya perlu dibiarkan berkembang dengan normal dan
tidak saling memaksakan akidah masing-masing. Lebih buruk lagi sekiranya sifat
saling menjatuhkan terjadi dalam golongan Ahlu Sunnah, yaitu antara aliran
Asya’irah, Maturidiah, Salafiah dan Wahabiah. Implikasinya, seakan-akan Islam
adalah agama perpecahan, tidak menginginkan persatuan dan kedamaian antara
sesama penganut. Kita harus membangun bukan meruntuhkan, berdialog bukan
berdebat, maju bersama-sama bukan mundur bersama-sama. Hindari menjajah
golongan sendiri, cukuplah kita dijajah oleh non-Muslim yang belum selesai
hingga kini karena sibuk dengan pertengkaran dan perseteruan antara mazhab.
Sekiranya kedua golongan Ahli Sunnah dan Syiah saling bersikap ta’ashub (fanatik),
maka akan menghasilkan konflik dalaman. Setiap golongan merasa benar. Akhirnya
bukan menambahkan perbaikan malah mengeruhkan perbezaan, sehingga terlupa
agenda peningkatan status sosial umat. Sepatutnya, setiap aliran menghentikan
perbincangan yang menjurus kepada pengkafiran kerana dikhawatirkan timbul
konflik dalam agama. Hanya Allah sahaja yang mengetahui kekafiran
umatnya. Oleh sebab itu konflik dalam dunia Islam sebaikanya diselesaikan
dengan sikap toleransi dan saling menghormati.
Mengajak Syiah
Bertaubat, Mungkinkah?
Oleh: Zahrul
Bawady M. Daud
SEBAGAI agama
samawi, Islam diperkenalkan melalui wahyu. Fase permulaan Islam berlangsung
melalui dua sumber otentik yang terus dipelihara. Al-Quran dan Hadis merupakan
sumber primer ajaran Islam. Islam tetap bertahan dengan dua sumber utama ini
hingga akhir zaman.
Setelah
mangkatnya nabi Muhammad, ummat Islam diterpa fitnah dari berbagai penjuru.
Dari peristiwa kaum murtad pada masa Abu Bakar ra hingga terbunuhnya Usman ra
yang menimbulkan instabilitas politik pada masa itu. Kericuhan politik yang
didalangi oleh golongan munafik dan pembenci Islam ini kemudian melahirkan
beberapa gesekan di antara kalangan ummat Islam. Kisruh politik bahkan merembes
kepada perkembangan sekte-sekte baru. Pada masa ini pula lahir paham Syiah.
Membicarakan
Syiah setidaknya melahirkan dua pembahasan. Secara fikih atau secara akidah.
Ada beberapa pendapat ulama Syiah yang diterima oleh kalangan Sunni. Namun
demikian, sangat banyak akidah Syiah yang bertentangan dengan keyakinan Sunni.
Kenyataan ini harus membuat kita objektif dalam memilah bahwa yang
dipertentangkan adalah konsep akidah Syiah, dengan melihat latar belakang
kelompok yang masih terpecah belah.
Para ulama
rentang zaman mencoba melakukan pendekatan (taqrib) antara Sunni dan Syiah.
Namun sejauh ini, usaha yang digalang oleh ulama tersebut banyak menemui jalan
buntu.
Banyak ulama saat
ini mulai ragu hal itu akan terwujud. Dr. Muhammad Imarah, cendikiawan Islam
yang dulunya sangat demokratis dan mendorong lahirnya pendekatan Sunni–Syiah
pun mulai angkat tangan. Dalam makalah beliau akhir-akhir ini, usaha pendekatan
Sunni-Syiah dilabeli hampir mustahil.
Parahnya,
kegagalan taqrib justru menjadi senjata menghakimi Sunni. Syeikh Umar
Al-Quraysi, Guru Besar Akidah-Filsafat Al-Azhar menyebut, “Amat aneh, bagaimana
sebuah kegagalan akibat kesalahan pemikiran golongan Syiah justeru menjadi
bumerang bagi Sunni. Sunni dianggap pemecah belah, sok suci dan bertentangan
dengan kebijaksanaan. “
Beliau
menyimpulkan bahwa peran media dan pemikir liberal amat urgent dalam mindset
(pandangan) ini di kalangan ummat Islam.
Menurut Prof. Dr.
Khusyui, membicarakan masalah Syiah amatlah rumit. Karena teori dan penerapan
ideologi Syiah kesehariannya banyak yang bertentangan dengan prinsip yang
diajarkan melalui kitab kitab Syiah sendiri. Hal ini tak lain karena akidah
taqiyah (menyembunyikan ideologi) yang mereka terapkan. Di dalam al-Kafy,
Kulainy bahkan meriwayatkan hadis maudhu’ (palsu) yang menyebut bahwa tidak
beriman seseorang yang tidak melakukan taqiyah. Hal ini amat mengherankan
mengingat bagaimana sebuah kepercayaan yang mereka pelajari, kemudian mereka
khianati dengan lisan mereka sendiri.
Oleh karena itu,
menjadi sebuah amanah ilmiah untuk membahas Syiah, bukan dari kasus
perseorangan, akan tetapi dari sumber akidah mereka. Sebagaimana yang terangkum
di dalam kitab Al-Kafy karya Al-Kulayni, yang dianggap ‘kitab suci’ menurut
ulama mereka, atau kitab Fashl Khitab Fi Itsbat Kalam Rabbi Al-Arbab Karya
Thabrisy yang berusaha menggugat orisinalitas al-Quran, maupun kitab-kitab
ulama Syiah di era kontemporer.
Taqiyah inilah
yang membuat Syiah semakin menyebar luas, terutama di kalangan masyarakat
muslim yang belum kuat pegangan akidahnya. Tanpa merujuk kepada sumber yang
muktabar, para pengemban dakwah Syiah berhasil menggaet jamaah, ditambah lagi
dengan bantuan penganut paham liberalis yang membenarkan semua hal dikritik
walaupun merubah inti ajaran Islam itu sendiri.
Kecintaan dan
penghormatan kepada keluarga Nabi (ahl al-bait) tidaklah terlarang. Bahkan
diperintahkan untuk semua kaum Muslim. Akan tetapi yang harus dikecam adalah
langkah sebagian orang yang berlebih-lebihan dalam mengangungkan ahl bait
apalagi sampai mencela para Sahabat Nabi yang lain. Bahkan yang lebih ekstrim,
ada anggapan bahwa Jibril seharusnya tidak menyampaikan wahyu pada Nabi
Muhammad, akan tetapi pada Ali ra.
Pendapat seperti
ini semakin diperparah dengan doktrin imamiyah dan kelemahan al-Quran.
Sebuah riwayat dari Baqir dalam kitab Al-Wafy yang dianggap valid di sisi Syiah
imamiah meriwayatkan tentang orang orang yang tidak dilihat oleh Allah di hari
kiamat dan mereka akan kekal di dalam neraka. Orang yang mengaku diri Imam,
orang yang mengingkari imam (imam Syiah), orang yang menganggap Abu Bakar dan
Umar sebagai sahabat mulia. Mereka juga mentakwil dua wanita kafir yang disebut
dalam surat Tahrim:10 sebagai Aisyah dan Hafsah. Na’udzubillah.
Al-Majlisy (1111)
ulama Syiah yang amat masyhur di dalam Bihar al-Anwar, meriwayatkan ideologi
Syiah yang mengatakan bahwa imam-imam Syiah maksum (terlepas dari dosa)
sebagaimana maksumnya para nabi. Baik dari dosa kecil maupun dosa besar,
disengaja atau tidak. Puncaknya, martabat para imam akan sederajat dengan Nabi.
Lain lagi dengan
Syiah Ismailiah, mereka meyakini reinkarnasi dan ketuhanan imam mereka. Syiah
ini juga menjadi pelopor tidak wajibnya jumat dan boleh jamak (menggabungkan
dua shalat) kapan saja. Berbagai pertentangan yang timbul antara Sunni dan
Syiah dasarnya sangat sulit untuk disatukan. Demikian juga dengan Syiah
Nushairiyah pengikut Muhammad bin Nushair, Darruz pengikut Abi Muhamad
al-Darruzy yang terpecah dari Syiah Ismailiah dan sekte lain dari Syiah yang
menyimpang dari Islam.
Kontradiksi
antara Sunni dan Syiah dalam bidang akidah tidak bisa kita anggap sebagai
sebuah khazanah keilmuan yang harus dipelihara. Akan tetapi lebih kepada
pelecehan intelektual yang tidak bertanggung jawab dan dipenuhi oleh fanatisme
buta. Konflik ini bahkan menjadi batu loncatan untuk menghancurkan Islam dari
dalam melalui usaha desakralisasi wahyu.
Pendekatan
Sunni-Syiah merupakan proyek gemerlap, yang menawarkan cahaya yang berkilauan.
Akan tetapi usaha ini seperti diakui pula oleh Musthafa Siba’i hanya sebuah
usaha sia-sia. Karena apa yang disepakati di meja runding, selalu dikhianati
dalam penerapannya. [Baca juga: Distorsi Syiah Di Balik Ajakan “Persatuan”
Umat]
Usaha penyatuan
Sunni-Syiah akan berhasil, dengan syarat Syiah bersedia membuka ‘baju’ Syiah
yang mereka pakai. Kemudian bersama menghormati ahl al-bait sesuai kewajaran,
lalu duduk bersama membahas mana permasalahan yang boleh terjadi perbedaan
pendapat dan mana yang tidak. Jika ini tak terwujud, maka hadits Nabi yang
mengatakan bahwa “ummatku tidak akan bersepakat di dalam kesesatan” akan
terwujud pada usaha penyatuan Sunni-Syiah. Wallahu A’lam.*
Penulis alumni
Dayah Bustanul Ulum, Mahasiswa Pasca Sarjana Al-Azhar, Kairo. Email: zahrulbawady@yahoo.com
Rekonsiliasi Sunnah-Syiah,
Mungkinkah? Kapan dan Bagaimana?
Mukadimah
Setelah
mengkaji definisi Syiah Dua Belas Imam, sejarah perkembangannya serta konsepsi
Syiah dari klasik hingga kontemporer, sebenarnya dapat dipetakan dengan jelas
di mana posisi Syiah dalam pandangan Ahlu Sunnah dan sejauh mana jarak yang
memisahkan antara keduanya. Namun realitanya Ulama’ Ahlu Sunnah semenjak dulu
hingga kini, terbagi menjadi tiga kelompok besar. Pertama, kelompok yang
menganggap Syiah telah keluar dari koridor Islam. Kedua, kelompok yang meyakini
bahwa Syiah tidak keluar dari koridor Islam meskipun memuat beragam keyakinan
dan ajaran yang dianggap mereka menyimpang dari ajaran yang lurus. Ketiga,
kelompok yang menganggap Syiah hanya sebagai gerakan politik semata.
Dari tiga
sudut pandang ini timbul pertanyaan, mungkinkah rekonsiliasi antara Sunnah dan
Syiah dapat diwujudkan? Jika mungkin, bagaimana? Jika tidak, mengapa?
Membaca
realita obyektif sejarah umat Islam dapat kita temukan bahwa hubungan
Sunnah-Syiah sepanjang sejarah didominasi oleh konflik, ketidakharmonisan dan
bahkan pertumpahan darah. Untuk itu proses rekonsiliasi (taqrīb ) antara Sunnah-Syiah telah banyak dilakukan dan diupayakan. Bahkan
rekonsiliasi antara agama, etnis, bangsa, kelompok, madzhab, dan organisasi,
dalam arti saling mengenal, saling memahami dan mengerti, saling berdialog,
saling mengkritik dan mengingatkan, saling bersinergi dan bekerja sama dalam
hal-hal yang disepakati untuk kemajuan bersama, saling membantu dan menguatkan
pun banyak diupayakan, karena sejatinya rekonsiliasi dalam arti semacam ini
merupakan cita-cita dan harapan mulia setiap umat manusia.
Pandangan
sebagian Ahlu Sunnah bahwa Syiah telah keluar dari koridor Islam dan sebaliknya
(pandangan sebagian Syiah bahwa Ahlu Sunnah telah keluar dari Islam), demikian
pula pandangan penganut salah satu agama terhadap penganut agama lain, tidak secara
otomatis harus mengubah status hubungan antara dua kelompok ini menjadi
hubungan peperangan, pertikaian dan pertumpahan darah. Hubungan konflik dan
peperangan dalam hubungan antar-manusia adalah hubungan pengecualian. Hubungan
yang orisinal adalah hubungan keharmonisan.
Prinsip rekonsiliasi dalam arti
di atas merupakan anjuran penting Al-Quran:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan,
serta Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang
paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui“.
Untuk itu
masalah rekonsiliasi ini sejatinya tidak terletak pada penting-tidaknya
rekonsiliasi itu, akan tetapi terletak pada apa dan bagaimana rekonsiliasi itu
bisa diwujudkan. Inilah yang menjadi akar polemik dan perdebatan yang tak
kunjung henti dari dulu hingga kini.
Banyak
ulama’ dan lembaga, seperti yang akan kita sebutkan kemudian, telah berupaya
melakukan rekonsiliasi Sunnah-Syiah ini, namun realitanya tidak ada yang bisa
bertahan dan berlanjut hingga kini. Pertanyaan, mengapa demikian? Apa
masalahnya? Lalu. apa dengan demikian rekonsiliasi masih mempunyai masa
depan? Ataukah, harapan itu seratus persen telah pupus? Pembahasan berikut
berupaya mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas.
Akar Sejarah
Sebenarnya,
akar sejarah rekonsiliasi (taqrīb ) Sunnah-Syiah sudah lama dimulai. Menurut
Syeikh Abu Zahrah kembali ke sosok al-Thusi (385-460 H)[1],
atau menurut Dr. Mahmud al-Basyuni kembali ke sosok al-Thabarsi (548 H)[2].
Bentuk taqrīb yang dikembangkan oleh al-Thabarsi
berupa pengambilan referensi dari kedua belah pihak (Sunnah dan Syiah) yang ia
racik dalam tafsirnya “Majma’ al-Bayān”. Tidak hanya itu, Thabarsi juga berusaha
menghindari pemuatan ide-ide ekstrem yang biasa dikutip oleh pendahulunya, para
ahli tafsir Syiah dalam buku-buku tafsir mereka.
Jika
metodologi tafsir yang dikembangkan oleh Thabarsi ternyata merupakan
pengembangan dari metodologi Thusi, maka apa yang disampaikan oleh syeikh Abu
Zahrah bahwa Thusi-lah perintis upaya taqrīb ini, bisa dibenarkan. Walaupun menurut
beberapa ulama’ Syiah seperti Ibnu Thowus (dari ulama’ klasik) dan Nuri Thabarsi (dari ulama’ kontemporer), bahwa apa yang ditulis oleh Thusi hanya
merupakan pengejawantahan dari trik-trik taqiyyah dan mudārāt (mengikuti alur pemikiran penentang).
Pendapat ini juga diperkuat oleh Dr. al-Qoffari. Menurutnya apa yang dilakukan
oleh Thusi dan Thabarsi hanyalah merupakan trik untuk menarik simpati pengikut
Ahlu Sunnah karena seperti disebutkan oleh Al-Majlisi dalam “Bihār al-Anwār”, bahwa para ulama’ Syiah dilarang mengambil riwayat Ahli Sunnah,
kecuali untuk dijadikan penguat bagi pendapat mereka[3].
Meski
tidak bisa dilepas dari kecurigaan, pola yang dilakukan oleh Thusi atau
Thabarsi merupakan upaya penting dalam proses rekonsiliasi (taqrīb) guna mendekatkan dua kelompok dengan cara mendekatkan sumber atau
referensi pengetahuan (at-taqrīb fī mashādir
al-ma’rifah), karena
dengan kedekatan sumber pengetahuan (epistemologi) bisa berkembang menuju “at-taqrib fī al-ma’rifah), kedekatan pengetahuan itu sendiri. Kedekatan
pengetahuan dan sumbernya akan mendekatkan sikap dan aksi.
Usaha
serupa pada masa kontemporer ini telah dilakukan dengan cemerlang oleh
Ayatullah al-Udzma al-Muntadziri dalam bukunya ”Wilāyat al-faqīh wa fiqh ad-daulah al-Islāmiyah”.
Meskipun
penting, apa yang dilakukan oleh Thusi ini hanyalah upaya taqrīb (rekonsiliasi) dalam tataran wacana dan
pemikiran, cakupannya juga sangat terbatas dan eksklusif, belum menjadi wacana
umum di kalangan ulama’-ulama’ Syiah, apalagi menyentuh tataran praktis.
Adapun
dalam tataran praktis, proses rekonsiliasi –sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu
Katsir dalam Bidayah wa Nihayah-nya, telah dimulai sejak pasca-konflik
besar-besaran antara Sunnah-Syiah di Baghdad yang mulai berkecamuk pada tahun
338 H, tepatnya pada tahun 437 H; pada tahun ini terjadi kesepakatan antara
Sunnah dan Syiah untuk bersatu-padu dalam memerangi Yahudi di Baghdad dan
mengalahkan mereka.[4]
Namun,
rekonsiliasi ini tidak bisa bertahan lama. Konflik antar-kelompok ini kemudian
meletus kembali pada tahun 439 H. Lima tahun kemudian rekonsiliasi kembali
terjadi, tepatnya pada tahun 442 H, dalam bentuk sebuah kesepakatan bahwa
keduanya dibolehkan pergi mengunjungi Masyhad Imam Ali dan Imam Husen, sementara pengikut
Syiah menunjukkan sikap yang positif terhadap para Sahabat, serta shalat di
Masjid Ahli Sunnah. Terhadap peristiwa ini Ibnu Katsir mengomentari, “Ini
benar-benar peristiwa yang unik, tidak akan pernah terjadi jika bukan dalam
rangka taqiyyah”[5].
Sekali
lagi, kesimpulan Ibnu Katsir ini dibenarkan oleh Dr. Al-Qoffari. Alasannya
adalah bahwa pada tahun 443 H, satu tahun persis setelah peristiwa rekonsiliasi
itu, pengikut Syiah menempelkan papan besar bertuliskan: “Muhammad dan Ali adalah sebaik-baik manusia, barang siapa yang
ridha kepada keduanya, maka ia telah bersyukur, barang siapa yang membangkang,
maka dia telah kafir/kufur”.
Tulisan yang tentu saja mengisyaratkan kafirnya para Sahabat ini memicu
munculnya kembali pertikaian antar-dua kelompok ini[6].
Rekonsiliasi
ketiga terjadi kembali pada tahun 488 H, di
daerah al-Karkh. Di sini Ahlu Sunnah dan Syiah saling mengunjungi, saling
berinteraksi, dan saling mengundang makan. Akan tetapi peristiwa ini sekali
lagi dikomentari oleh Ibnu Katsir dan Ibn al-Jauzi sebagai sebuah keajaiban[7],
karena dalam rentetan sejarah peristiwa seperti ini ibarat kilatan cahaya di
tengah-tengah kegelapan malam jika dibandingkan dengan fenomena konflik yang
terus berkepanjangan. Sayangnya, Ibnu Katsir tidak menganalisa, mengapa
fenomena rekonsiliasi ini bisa terjadi.
Pola taqrīb (rekonsiliasi) yang terjadi dalam
tataran praktik ini dapat kita kategorikan ke dalam istilah tashāluh wa tasāmuh (berdamai dan pengembangan sikap toleransi).
Pola ini dapat dijadikan solusi dan alternatif dari konflik yang telah mengarah
hingga pada pertumpahan darah.
Dalam
tataran pemerintahan, rekonsiliasi ini juga telah dibangun oleh al-Makmun jauh
sebelum tahun-tahun di atas. Untuk maksud ini Makmun mengangkat Ali Ridho
(keturunan Ahli Bait) sebagai wali al-ahd (putra mahkota), karena selain untuk menyedot perlawanan Syiah
terhadap khilafah Bani Umayyah, dalam pandangan al-Makmun, Ali al-Ridha –pada
saat itu- merupakan keturunan terbaik Ahli Bait, baik dari sisi agama
(keberagamaan) maupun keilmuan. Namun kematian Ali Ridha secara mendadak tidak
lama setelah itu, tepatnya pada tahun (203 H) telah membakar fitnah permusuhan
dua kelompok itu kembali, karena pengikut Syiah meyakini bahwa kematian Ali
Ridha adalah akibat ulah al-Makmun dengan cara meracuninya.
Pola
rekonsiliasi yang dibangun oleh Makmun ini dapat kita kategorikan ke dalam rekonsiliasi politik, dengan cara memberikan kesempatan kepada oposisi untuk masuk
dalam pemerintahan. Usaha seperti ini secara otomatis akan dapat menyedot
perlawanan oposisi dan dapat menjadikan mereka masuk secara integral menjadi
bagian dari pemerintahan yang sah, selain itu dapat membuang rasa dan kesan
adanya kelas kedua dalam masyarakat.
Upaya rekonsiliasi Sunnah-Syiah
terpenting dan terbesar yang tercatat dalam sejarah –sebagaimana ditulis
oleh Muhibbuddin Khotib- adalah Muktamar an-Najf (1156 H). Menurutnya, muktamar
ini merupakan kejadian satu-satunya dalam sejarah Islam[8].
Menurut
putra dari Abdullah al-Suweidi[9],
perintis muktamar ini, sebelumnya telah dikenal sebagai salah satu ulama’ yang
sering melakukan dialog dengan ulama’ Syiah. Ia dikenal sebagai pedebat ulung
(ahli dalam berdebat), dengan argumentasi-argumentasi yang tidak pernah bisa
dipatahkan oleh ulama’ Syiah.
Muktamar
ini dihadiri oleh 70 Mujtahid Syiah dari Iran dan Najf (Iraq) dipimpin oleh
al-Mula Bisyi Ali Akbar dan beberapa ulama’ Ahlu Sunnah yaitu 1 orang dari
daerah Ardalan (daerah barat Iran), 7 ulama’ dari Afghanistan dan sebanyak 7
ulama’ dari negara belakang sungai (mā warāa al-nahr/mesopotamia), serta disaksikan
oleh lebih dari 70.000 pengunjung yang datang dari penjuru daerah; baik dari
keturunan Arab, non Arab maupun Turkistan, sehingga Nadir Syah, penguasa
tunggal Iran saat itu dan pendiri Dinasti Afsharid, turut mengikuti jalannya
muktamar ini, dan memperhatikan dengan seksama melalui dua orang informan yang
masing-masing tidak saling tahu satu sama lain.
Dengan
kelihaian dan kecerdasan Abdullah Suweidi yang sangat luar biasa, ia mampu
menundukkan para ulama’ Syiah serta mampu mematahkan seluruh argumentasi yang
mereka keluarkan, sehingga keluarlah rekomendasi di akhir muktamar ini sebagai
berikut:
Bahwa
dengan hikmat-Nya, Allah telah menurunkan para Rasul secara berturut turut yang
ditutup dengan Rasulullah Saw.
Bahwa
setelah Rasul Saw wafat, para Sahabat sepakat bahwa sosok terbaik di antara
mereka adalah Abu Bakar. Mereka juga sepakat untuk membaiat as-Shiddiq,
termasuk Imam Ali. Beliau telah membaiat Abu Bakar dengan kesadaran pribadinya
dan bukan karena paksaan. Para Sahabat telah dipuji oleh Allah sebagai as-sābiqun
al-awwalūn dan telah
mendapat ridha dari Allah. Lalu Abu Bakar menawarkan Umar bin Khattab sebagai
alternatif khalifah setelahnya. Merekapun kemudian membaiat Umar bin Khattab.
Umar kemudian menjadikan baiat setelahnya syura untuk 6 orang Sahabat, dan
terpilih Utsman bin Affan. Setelah beliau mati syahid, para Sahabat kembali
sepakat untuk memilih Imam Ali sebagi khalifah.
Keempat
Sahabat tersebut merupakan para Sahabat agung yang bersatu dalam tempat, zaman
yang satu, tidak pernah terjadi perselisihan serta konflik antara mereka.
Bahwa
Nadir Syah telah meletakkan keutamaan dan urutan mereka dalam khilafah seperti
tersebut di atas, barang siapa yang menghina atau mengurangi hak mereka maka
harta, anak, keluarga, serta darahnya menjadi halal, serta akan
mendapat kutukan dari Allah, para Malaikat dan seluruh manusia.
Mulai
saat itu tidak pernah ada lagi kutukan, hinaan serta cercaan terhadap para
Sahabat di seluruh daerah Iran, bahkan Nadir syah sendiri meninggalkan paham
syiah yang ia anut untuk kemudian beralih ke paham sunnah. Namun demikian tidak
diketahui sampai kapan kondisi ini berlangsung, karena dalam kenyataannya,
mayoritas hubungan Syiah-Sunnah sepanjang sejarah (selain peristiwa-peristiwa
di atas) selalu dipenuhi oleh kondisi disharmoni, konflik, dan bahkan
konfrontasi berdarah.
Upaya
Abdullah Suweidi ini sebenarnya merupakan “al-munādharah” (debat) yang difasilitasi oleh negara
dan berakhir dengan rekomendasi yang kemudian dijadikan regulasi (peraturan)
pemerintah yaitu “Keharusan adanya tasamuh (toleransi)”.
Memasuki
abad dua puluh, upaya rekonsiliasi kembali ditempuh oleh para tokoh dan ulama’
kedua belah pihak.
Dalam
skala lembaga (seperti yang pernah dilakukan oleh Jama’ah al-Ukhuwwah
al-Islamiyah (dirintis oleh Muhammad Hasan al-a’dhami di Mesir 1937 M, lalu dipindah ke
Karachi tahun 1948 M), dan Dar at-Taqrīb baina
al-madzahib al-Islamiyah (dirintis oleh Muhammad Taqi
al-Qummi 1364 H di Kairo pada masa Syeikh Syaltut), Dār
al-Inshāf (didirikan
tahun 1366 di Mesir).
Dalam
skala individu / perorangan. Dari Sunnah, misalnya, oleh Syeikh Muhammad Abduh
(1849-1905), Syeikh Rasyid Ridla, Syeikh Abd al-Majid Salim (1299-1375 H),
Syeikh Musthafa al-Maraghi (1881-1945 M), Syeikh Musthafa Abd Raziq (1885-1946
M), Syeikh Mahmud Syaltut (1893-1963 M), Syeikh Muhammad al-Madani (1907-1968
M), Syeikh Ali al-Khafif (1891-1978 M), Syeikh Abd Aziz Isa (1909-1994), Syeikh
Hasan al-Banna (1906-1949 M), Dr. Musthofa Siba’i, dan Syiekh Musa Jarullah,
dan lain-lain. Sementara, dari Syiah oleh
Ayatullah Husein Husein al-Brujurdi, Sayyid Muhammad Taqiyuddin al-Qummi,
Muhammad Husaini Ali Kasyif al-Ghita’, Muhammad al-Kholisi (tokoh Syiah Iraq),
Abdul Husen Syaraf al-Musawi (1290-1377 H, lahir di Kadhimiyah dan meninggal di
Bairut), Muhammad Jawad Mughniyah, serta Ahmad al-Kasrawi (lahir di kota Tibriz
Iran, meninggal 1324 H) dan lain-lain.[10]
Pada saat
Syeikh Syaltuth menjabat sebagai Syeikh al-Azhar, mengeluarkan fatwa paling
kontroversial tentang hubungan Sunni-Syi’i menyangkut kebolehan bagi Ahlu
Sunnah untuk melakukan ibadah sesuai dengan madzhab Ja’fari.
Usaha
paling terakhir dan terbesar yang tidak hanya mencakup Sunnah-Syiah, tapi
dengan berbagai kelompok-kelompok lainnya, seperti Zaidiyah, Ibadhiyah dan
lain-lain, adalah upaya yang dilakukan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi melewati “Ittihāt al-ālami li al-ulamā’
al-muslimīn”. Juga apa yang dilakukan oleh Abdullah at-Tsani bin
Husein, Raja Yordania, pada bulan November 2004 yang dikenal dengan nama
Risalah Amman. Pertemuan yang menghasilkan Risalah Amman (Amman Message) ini
dihadiri oleh 553 tokoh Islam dari berbagai belahan dunia, baik dari kalangan
Sunni maupun Syiah.[11]
Usaha-usaha
ini dapat diklasifikasikan kepada: Pertama, rekonsiliasi dalam bidang keilmuan
berupa saling mengutip dari referensi kedua madzhab, saling menerbitkan buku,
majalah, website, mengadakan seminar bersama, dialog bersama,
pertemuan-pertemuan ilmiah bersama, dan berbagai aktivitas diskusi lainnya.
Kedua, rekonsiliasi dalam bidang politik berupa pengangkatan salah satu Ahli
Bait menjadi putra mahkota. Ketiga, rekonsiliasi dalam bidang interaksi sosial
berupa tashāluh wa tasāmuh (berdamai dan mengembangkan sikap
toleran). Keempat, rekonsiliasi melalui munādzarah (debat publik) yang berakhir dengan
rekomendasi untuk saling toleran, saling bekerja sama. Kelima, membentuk
lembaga rekonsiliasi dengan agenda saling mengunjungi, menerbitkan buku dan
majalah bersama, mengadakan seminar dan muktamar bersama.
Namun,
pada akhirnya, upaya-upaya rekonsiliasi seperti tersebut di atas tidak bisa
berlanjut. Pertanyaannya, mengapa demikian?
Masa Depan Rekonsiliasi
Syu’bah
Asa mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan di atas, namun dengan keputusasaan
yang mendalam akan masa depan rekonsiliasi ini. Menurutnya, terdapat 6
penghalang di hadapan proses rekonsiliasi yang menjadi cita-cita banyak
kalangan[12]:
Kenyataan
bahwa keduanya, Ahlu Sunnah dan Syiah, baru bertemu kembali. Hal ini sangat
layak menyebabkan keterkejutan, jika beberapa hal ternyata berbeda dari yang
selama ini diasumsikan. Sementara, asumsi sebagian pihak bahwa dengan
berlalunya waktu akan menyebabkan kemenyatuan yang luruh nampaknya tidak bisa
dibenarkan. Hal ini setidaknya disebabkan oleh fakta kedua, yaitu:
Adanya
perbedaan-perbedaan yang sangat mendasar tentang beberapa hal terutama tentang
otentisitas Al-Quran, setidaknya perbedaan metodologi tafsir di mana metodologi
Syiah sangat kental dengan nuansa “batin”nya,
munculnya penciptaan Hadis para Imam yang secara otomatis juga menjadi sumber
hukum legitimasi yang sangat tinggi terhadap mujtahid resmi (yang masih hidup)
untuk menggantikan ijtihad-ijtihad yang dipandang tidak relevan lagi.
Perbedaan-perbedaan mendasar itu tentunya tidak dengan mudah dapat dikatakan
hanya sekadar perbedaan ijtihad fiqhiyah, atau secara kongkretnya seperti perbedaan
antara NU dan Muhammadiyah jika di Indonesia.
Di sisi
lain, kita mendapati penghujatan, pengkafiran dan penghinaan para Sahabat masih
merupakan bagian dari Hadis-Hadis khas mereka dan bagian dari etos dendam dari
tradisi Syiah yang masih sangat kental, atau etos paradigma pembagian para
Sahabat menjadi dua: 1). Putih yaitu Imam Ali dan keluarga serta
keturunannya, yang dalam alam khayalan mereka ibarat pendawa di pewayangan. 2).
Hitam dipimpin oleh Abu Bakar dan seterusnya, mereka ibarat Kurawa dalam
pewayangan yang jumlahnya jauh lebih banyak.
Mutlaknya
tuntutan pemerintahan pada Syiah. Kuatnya tuntutan ini disebabkan –di
antaranya- oleh karena al-Imāmah merupakan bagian dari rukun Iman.
Dampak
kawin mut’ah di kalangan muda-mudi yang semakin meluas. Ini menyebabkan
kegelisahan bagi para orang tua, bahkan di beberapa tempat kawin mut’ah
dijadikan alternatif bagi praktik perzinaan yang jelas-jelas diharamkan oleh
agama.
Sifat
eksklusif Syiah dengan menyebut “Islām Syī’ah” dan bukan “Islam”. Padahal
tatkala revolusi digulirkan, syiar (semboyan) yang didengung-dengungkan selalu
adalah “Islāmiyah … Islāmiyah”.
Mu’taz
al-Khotib juga mencatat keberatan-keberatan Ahlu Sunnah terhadap hasil usaha “taqrīb” (Rekonsiliasi) yang selama ini sudah
dilakukan, di antaranya adalah apa yang dimaksud dengan rekonsiliasi di sini
lebih kepada pendekatan Ahlu Sunnah kepada Syiah, bukan sebaliknya. Atau, bukan
keduanya saling mendekat, alasannya:
Pertama,
mengapa kantor pusat rekonsiliasi ini didirikan di kota-kota atau negara yang
mayoritas penduduknya bermadzhab Ahlu Sunnah (seperti Dār at-Taqrīb di Mesir), bukan di negara yang penduduknya
bermadzhab Ahlu Sunnah dan Syiah secara seimbang? Ini menandakan bahwa yang
dimaksud dengan taqrīb adalah pendekatan Ahlu Sunnah kepada Syiah.
Kedua,
jika beberapa ulama’ Ahlu Sunnah telah melakukan cooling down yang di antaranya melalui pernyataan salah
satu ulama’nya bahwa beribadah dengan madzhab Ja’fari itu sah, seperti yang
dilakukan oleh Syeikh Mahmud Syaltut. Namun demikian, tidak didapati fatwa
semisal itu keluar dari seorang ulama’ kalangan Syiah.
Ketiga,
walaupun ulama’ Ahlu Sunnah telah menyatakan keberatan melalui berbagai media seperti
seminar dan muktamar, tulisan, himbauan dan lain-lain, terhadap usaha
pensyiahan Ahlu Sunnah di berbagai negara yang mayoritas penduduknya bermadzhab
Ahli Sunnah, namun himbauan ini seakan tidak pernah dipedulikan. Usaha
penSyiahan penganut Ahlu Sunnah terus berjalan dengan menggunakan berbagai
sarana dan media serta dana yang cukup besar.
Keempat,
Syiah melalui Iran selalu memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk
merebut kekuasaan dengan cara apapun, meskipun harus mengorbankan kepentingan
Ahlu Sunnah seperti yang terjadi di Iraq dan Suriah saat ini.[13]
Argumentasi-argumentasi
yang disampaikan oleh Syu’bah Asa, serta keberatan-keberatan yang dicatat oleh
Mu’taz al-Khatib, memang sangat beralasan. Argumentasi-argumentasi yang mereka
ketengahkan mengarah pada sebuah kesimpulan bahwa upaya rekonsiliasi yang telah
dirajut mulai dulu hingga kini, ternyata hanya bertepuk sebelah tangan.
Semuanya hancur berantakan akibat ego dan ambisi politik Syiah.
Namun
apakah ini berarti bahwa kemungkinan rekonsiliasi itu menjadi mustahil sama
sekali?
Sebenarnya
keterkejutan-keterkejutan yang sedang dialami oleh kedua belah pihak, seperti
yang disampaikan oleh Syu’bah Asa, walaupun sulit, pada hakikatnya tidak
menafikan secara mutlak kemungkinan rekonsiliasi dalam semua bentuknya. Sebab,
dalam hal perbedaan-perbedaan yang dinilai Syu’bah Asa sangat prinsipil
sekalipun, kini sebagian telah mengalami evolusi dan metamorfosa walaupun
berjalan sangat berlahan. Tercatat bahwa beberapa pemikir Syiah kontemporer
sedikit-banyak telah mengalami perubahan ke arah moderasi seperti:
Konsepsi
tentang otentisitas Al-Quran, misalnya, telah terjadi pergeseran sikap dari
ekstremitas menuju moderasi; di mana mayoritas pemikir “Tren Kontemporer” Syiah
tidak lagi menganut paham “Tahrīf
Al-Quran” (adanya perubahan dalam Al-Quran) seperti para pendahulu
mereka dari “Tren Klasik”.
Kasus
“Nikah Mut’ah” walaupun pada pertengahan tahun 2010 pemerintah Iran
mengeluarkan keputusan membuka tempat-tempat praktik nikah mut’ah secara legal
sebagai solusi bagi banyaknya kasus perkosaan di Iran[14] sehingga praktik ini semakin membabi
buta, namun menurut hasil penelitian Sharla Haery yang berjudul “Kawin Mut’ah
dan improvisasi Budaya”, persepsi masyarakat tentang nikah mut’ah ini juga
telah mengalami pergeseran ke arah moderasi, di mana sebagian kalangan menengah
ke atas di Iran (terutama wanita), tidak lagi menganggap mut’ah sebagai sarana
pendekatan diri kepada Allah. Bahkan telah muncul tren baru di kalangan wanita
Iran yang menganggap bahwa mut’ah merupakan prostitusi terselubung dan
pelecehan terhadap wanita.
Demikian
pula dengan sikap mereka terhadap para Sahabat, walaupun mayoritas mutlak masih
berpegang teguh pada tren klasik, hanya saja telah ada pergeseran pemikiran ke
arah moderasi (pada sebagian kecil ulama’)[15].
Perubahan
paling konkret yang dapat kita saksikan adalah pergeseran praktik dan penerapan
Imamah dari “Nash wa al-Washiyah”
menuju “Welayat Faqih”, di
tangan para sebagian ulama’ dari masa Ahmad bin Muhammad al-Naraqi sampai
Al-Khumaini. Meskipun mereka tidak bisa meninggalkan konsep Nash
wa al-wahiyyah (Teks
dan Wasiat) ini secara mutlak, namun dalam tataran praktik konsep teks dan
wasiat sudah tidak bisa lagi dipertahankan sehingga mengharuskan mereka untuk
mencari alternatif baru. Itulah konsep “welayat
al-faqih” yang sejatinya merupakan penerapan terhadap sistem “Syura”.
Ini
menunjukkan bahwa pergeseran dalam pemikiran sebagian tokoh-tokoh Syiah menuju
moderasi serta munculnya gerakan reformasi itu mungkin, dan bahkan konkret.
Asumsi ini diperkuat oleh hasil penelitian Dr. Basmah binti Ahmad, Prof. Madya
pada Program Studi Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, Univ. Thibah Madinah,
Saudi Arabia, tentang munculnya fenomena gerakan koreksi di kalangan tokoh dan
ulama’ Syiah dengan judul: “Dhāhirat at-Tashhīh Inda
as-Syiah; ‘Ardhun wa Naqd”. Dr. Basmah mencatat nama beberapa tokoh
yang terlibat dalam gerakan koreksi ini di antaranya adalah Ali Mudzaffaryan,
Ahmad al-Kasrawi, Abu Fadl al-Barqu`i, Musthafa Thaba’thabai, Ahmad al-Katib,
Ibnu Abi al-Hasan al-Ashfahani, Husein al-Musawi, Dr. Musa al-Musawi, Muhammad
Husein Fadhlullah, Hasan Nuri Sulaiman al-Alawi, dan Abu Khalifah Ali bin
Muhammad al-Qadhibi.
Sementara,
tema-tema yang menjadi perhatian gerakan koreksi ini antara lain kritik atas
buku al-Kafi dan beberapa buku induk lainnya, kritik atas wacana otentisitas
Al-Quran, kritik atas konsep Imamah dan khilafah, kritik atas konsep dan
penerapan taqiyyah, koreksi atas konsep Mahdiyah, Raj`ah, pandangan ekstrem
terhadap para Imam, dan Mut`ah.
Hanya
saja pertanyaan berat yang kita hadapi adalah: Apakah fenomena ini merupakan
bagian dari trik-trik taqiyyah untuk menjaring simpati pengikut Ahli Sunnah,
seperti yang disimpulkan oleh Ibnu Katsir, Ibnu Jauzi dan kemudian ditandaskan
oleh Dr. Al-Qaffari atau merupakan perubahan yang sebenarnya?
Memang
sulit dipungkiri adanya realita bahwa tidak semua penggagas rekonsiliasi jujur
dan berniat tulus. Karena realita obyektifnya menunjukkan bahwa sebagian
kalangan Syiah melakukan upaya taqrīb (rekonsiliasi) ini dengan tujuan
politis-agama, yaitu untuk melancarkan strategi penyebaran Syiah di kalangan
pengikut Ahli Sunnah, atau untuk tujuan politis-kekuasaan yaitu untuk
merealisasikan strategi impor revolusi Islam (Syiah) ke seluruh penjuru
dunia, terutama di negara-negara yang mayoritas dihuni oleh Ahli Sunnah. Salah
satu buktinya adalah tidak adanya sinkronisasi antara yang disepakati dengan
apa yang terjadi di lapangan.
Inilah
salah satu penyebab terjadinya kegagalan-kegagalan yang terus-menerus dalam
proses rekonsiliasi selama ini, termasuk mundurnya Dr. Yusuf al-Qaradhawi dari
upaya yang telah beliau rintis melalui al-ittihād a-ālami li al-ulamā’
al-muslimīn.
Namun di
sisi lain, sulit pula mengingkari realita bahwa bahwa tidak seluruh penggagas
rekonsiliasi bermotif taqiyyah, karena
realitanya, sebagian di antara mereka yang merupakan pelopor dari gerakan ini
(terutama yang termasuk dalam gerakan koreksi), sebagaimana disebutkan oleh Dr.
Basmah, dianggap telah keluar dari mainstream Syiah Dua Belas Imam oleh mayoritas
ulama’ Syiah yang masih berhaluan tradisionalis (al-ikhbari), yang terkadang berujung pada pentakfiran,
hal yang kemudian menimbulkan reaksi sebanding dari kalangan Ahlu Sunnah yang
terkadang juga jauh dari sikap moderat.
Menurut
Najf Ali Mirza`i, munculnya problematika rekonsiliasi ini diakibatkan oleh
adanya tumpang-tindih antara tujuan pengetahuan dan kultural budaya serta
kepentingan politik.[16] Asumsi
ini diperkuat oleh argumentasi-argumentasi Mu’taz al-Khotib yang telah kita
sebutkan di muka.
Meskipun
sangat rumit dan sulit, namun pilihan rekonsiliasi merupakan pilihan yang
nampaknya harus diambil oleh kedua kelompok, untuk menghindari alternatif lain
yang lebih buruk yaitu konflik dan peperangan. Maka, perlu dirumuskan formulasi
dan kerangka rekonsiliasi tersebut untuk menghindari akibat-akibat buruk bagi
kehidupan kedua pengikut umat Islam ini.
Untuk
maksud tersebut perlu kiranya dirumuskan langkah-langkah strategis yang patut
diambil dalam rangka merealisasikan rekonsiliasi ini dalam skala global, dengan
syarat bahwa kedua belah pihak secara jujur dan tulus sepakat untuk
merealisasikan tujuan rekonsiliasi ini, serta secara serius ingin
merealisasikannya dalam realita. Rumusan yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
Mereorientasi
kembali tujuan rekonsiliasi yang diinginkan yaitu: Mewujudkan perdamaian,
suasana saling menghormati, dan menghindari konflik yang berakhir dengan
pertikaian dan pertumpahan darah.
Menata
ulang kode etik penyebaran madzhab. Di antara yang bisa diusulkan adalah
selayaknya masing-masing kelompok fokus pada pembinaan anggotanya, tidak
berambisi untuk menebarkan atau mendakwahkan pahamnya di kalangan umat Islam
yang mayoritas telah memilih corak pemahaman, madzhab tertentu atau kelompok
tertentu. Dengan demikian, kedutaan-kedutaan yang ada tidak difungsikan sebagai
basis penyebaran madzhab. Fungsi kedutaan hendaknya hanya difokuskan pada
pembinaan hubungan diplomatik antar-negara (dalam masalah politik dan
ekonomi-sosial seperti kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi,
olah raga, seni, serta lain-lainnya).
Sasaran penyebaran paham (madzhab) tersebut bisa diarahkan ke
daerah-daerah minus yang belum memeluk Islam (musyrik), Non-Muslim, atheis,
daerah pedalaman yang belum memiliki agama, penganut sosialis, materialis, dan
lain-lain), agar tidak menimbulkan gesekan dan perebutan pengaruh yang biasanya
disertai dengan usaha saling menafikan, mengeliminasi, dan bahkan membinasakan.
Di negara
(daerah) di mana kedua kelompok telah eksis dan berada dalam kurun waktu yang
lama, hendaknya ada pengakuan terhadap eksistensi masing-masing kelompok
(seperti Iraq, Lebanon, Suriah, Yaman, dan seterusnya).
Sementara di negara (daerah) yang salah satu kelompok menjadi mayoritas dan
telah menentukan corak madzhab secara resmi (seperti Iran dengan Syiah
Imamamiyah-Ja’fariyah, Maroko dengan Asy’ari-Maliki, Saudi Arabia dengan
Salaf-Hambali, Mesir dengan Syafi’i/Hanafi), diusulkan agar menjamin
keleluasaan minoritas (dalam Undang-undang) untuk melaksanakan ajaran dan
ritual paham dalam lingkungan mereka, dengan syarat tidak berambisi untuk
menebarkan pahamnya di luar lingkungan mereka sampai dalam batas menciptakan
keresahan di kalangan masyarakat mayoritas –seperti yang akan disebutkan
dalam poin berikut.
Lontaran ini muncul karena baik Syiah maupun Sunnah telah memiliki negara
masing-masing. Pelarangan satu kelompok terhadap yang lain akan mengakibatkan
terjadinya konflik abadi. Misalnya, minoritas pada masing-masing negara akan
menjadi korban dari kebijakan ini.
Memberikan
hak kepada setiap kelompok untuk menjelaskan kebenaran kelompok yang dianutnya,
serta mengkritik penyelewengan yang terjadi pada kelompok lain, dengan
menggunakan argumentasi-argumentasi yang kuat dan benar berasaskan Al-Quran
(sebagai sumber yang disepakati bersama) serta logika yang benar, tanpa harus
mencela pengusung ide. Kritik tersebut diarahkan kepada ide yang dianggap
sebagai obyek kritiknya. Semua itu dilakukan dengan menjunjung tinggi adab
al-ikhtilāf atau kode
etik dalam berselisih dan berbeda.
Dengan poin ini, maka kegiatan dialog, munādzarah (debat terbuka), polemik (melewati
tulisan), seminar, diskusi dan lain-lain, sedapat mungkin dan sebanyak mungkin
bisa dilaksanakan. Sebab, program semacam ini akan membuka pikiran para pengikut
fanatik yang mengikuti madzhab tertentu hanya karena keturunan atau pergaulan,
bukan karena argumentasi dan alasan logis yang dapat diterima secara logis.
Hendaknya
kedua belah pihak melakukan telaah ulang terhadap ajaran-ajaran yang oleh
masing-masing dianggap telah mapan namun tidak berdasar, dengan tujuan:
Pertama: Mengeluarkan ajaran-ajaran yang sejatinya merupakan infiltrasi dari
luar yang terbentuk melalui perjalanan sejarah yang panjang, seperti: Perayaan
hari-hari raya selain Idul Fitri dan Idul Adha, ajaran ziarah kubur yang
berlebihan, ajaran menyakiti diri pada peringatan hari tertentu, meragukan
keotentikan Al-Quran, konsep Imamah melalui nash wa al-washiyyah,
menganggap Imamah dan Imam sebanding dengan kenabian dan Nabi, menjadikan Imam
sebagai sumber hukum selain Rasul serta pemilik tunggal dan mutlak penafsiran batini terhadap (Al-Quran dan Sunnah),
Kedua: Mengeluarkan ajaran-ajaran yang isinya menimbulkan kebencian dan
permusuhan terhadap kelompok lain seperti: Pentakfiran, penfasikan, pembid’ahan
yang dilakukan secara serampangan termasuk di dalamnya pendiskreditan dan
pentakfiran terhadap para Sahabat, fatwa pengharaman beribadah di belakang
kelompok lain, atau fatwa penghalalan darah dan harta kelompok lain.
Namun
demikian, langkah selanjutnya adalah memberikan hak untuk melakukan penindakan
terhadap kelompok lain kepada masing-masing kelompok, jika memang telah
terbukti –berdasarkan kajian ilmiah yang serius-, bahwa kelompok yang dimaksud
benar-benar telah meresahkan masyarakat, atau bahkan menyebabkan kondisi
masyarakat (keamanan maupun sosial) mengalami chaos. Dalam
kondisi semacan ini, proses penindakan itu tidak bisa dianggap sebagai upaya
fanatisme dan diskriminasi kelompok tertentu, namun masuk dalam kategori
memelihara dan menjaga eksistensi masyarakat dari kondisi chaos,
dengan syarat semuanya itu dilakukan sesuai prosedur hukum yang berlaku di
masyarakat tersebut.
Sebaliknya, memberikan hak pembelaan diri kepada minoritas yang terbukti telah
dirampas hak-hak asasinya untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan madzhabnya,
atau diperlakukan secara diskriminatif di dalam masyarakat.
Dalam
tataran nasional kesepakatan ini diupayakan oleh salah satu lembaga negara yang
menangani masalah-masalah agama. Sementara dalam tataran internasional ditangani
oleh lembaga Islam Internasional, yang sekaligus lembaga-lembaga bersangkutan
menjadi mediator dengan meletakkan butir-butir kesepakatan kedua belah pihak
serta mengawasi jalannya proses tersebut, termasuk di dalamnya menindak tegas
pihak yang melanggar kesepakatan yang telah digariskan.
Bagaimana di Indonesia?
Dari
hasil konsensus rakyat Indonesia semenjak masuknya Islam, Indonesia menjadi
Negara tempat berlabuhnya madzhab Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah secara akidah dan
madzhab-madzhab fikih yang empat terutama Syafi’i secara fikih. Sebagaimana
Iran menjadi tempat berlabuhnya madzhab Syiah Dua Belas Imam secara akidah, dan Ja’fari secara fikih. Bedanya, di Iran
madzhab Ja’fari Itsna Asyari termaktub dalam Undang-undang Dasar. Sementara, di
Indonesia tidak.
Merupakan
hak masyarakat untuk merawat dan menjaga akidah dan madzhab masing-masing.
Untuk itu merupakan hak masyarakat Indonesia yang mayoritas bermadzhab Ahlu
Sunnah untuk merawat dan menjaga akidah ini lewat berbagai sarana seperti:
Lembaga (swasta maupun negara), sekolah, media, organisasi, Undang-Undang Dasar
maupun Undang-Undang, dan tuntutan untuk dijadikan madzhab resmi Negara. Hak
serupa telah didapat oleh mayoritas masyarakat Syiah di Iran.
Penjelasan
tentang kebenaran akidah Ahlu Sunnah tidak mungkin dipisahkan dari penjelasan
tentang kebatilan dan penyimpangan madzhab-madzhab lainnya, karena dalam
menyikapi dua hal yang kontradiktif seseorang dituntut untuk percaya kepada
“sesuatu yang dianggap benar” dan mengingkari “sesuatu yang dianggap batil’
dalam satu waktu. Meyakini keduanya benar, itu tidak mungkin. Demikian pula
meyakini kebatilan pada keduanya, juga tidak mungkin. Inilah tugas para Ulama’,
akademisi di bidang akidah, lembaga penelitian pada organisasi-organisasi
keislaman, terlebih tugas Lembaga seperti Majelis Ulama’ Indonesia.
Namun
demikian, di tengah-tengah kondisi umat Islam yang masih dilanda perpecahan dan
konflik internal yang seringkali berakhir dengan pertumpahan darah, nampaknya
penjelasan tentang penyimpangan dan kesesatan Syiah seyogyanya tidak
mengantarkan kepada pentakfiran. Dari tiga pendapat yang berkembang di kalangan
Ahlu Sunnah berkenaan dengan sikap terhadap Syiah, sebagaimana disebutkan oleh
Dr. Yusuf al-Qaradhawi, nampaknya sikap moderat ini (menjelaskan penyimpangan
dan kesesatan Syiah tanpa mentakfirkan) merupakan pilihan yang lebih utama.
Hal yang
juga perlu ditekankan kembali adalah bahwa penjelasan tentang penyimpangan
Syiah selayaknya tidak disampaikan secara provokatif sehingga tidak memicu
terjadinya kekerasan. Di samping itu perlu disosialisakan kepada masyarakat
bahwa perbedaan tidak harus menyebabkan adanya kebencian, sehingga menyebabkan
perpecahan (al-khilāfu la yufsidu al-wudda
qadhiyyah).
Pengikut Syiah di Indonesia selayaknya dimasukkan dalam kategori “Ummah Mad’uwwah” (umat yang didakwahi atau obyek dakwah) dan bukan “Ummah Muhārabah” (umat yang harus diperangi dan dibinasakan). Maka sebagai
madzhab yang bertanggung jawab untuk menjaga kebenaran, serta membentengi
pengikutnya dari ajaran-ajaran yang menyeleweng, Ahlu Sunnah dituntut untuk
menyusun strategi dakwah yang efektif, strategis, cerdas dan elegan sesuai
dengan petunjuk dan tuntunan Al-Quran, serta berkiblat kepada metode Nabi dan
para Salaf as-Shaleh. Usaha semisal dapat dipastikan telah dipraktikkan dan
diwujudkan dalam realita oleh Pemerintah Iran sebagai Negara Syiah.
Di sisi
lain, agar terjadi harmonisasi yang sesungguhnya, kelompok Syiah di Indonesia
perlu menyadari bahwa sebagai minoritas perlu memperhatikan dan menghormati
perasaan mayoritas, dengan cara di antaranya:
Tidak
berambisi untuk menyebarkan madzhab Syiah di tengah-tengah komunitas yang
jelas-jelas bermadzhab Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah. Ambisi yang berlebihan untuk
mensyiahkan penganut Ahlu Sunnah di Indonesia akan berakibat buruk bagi
hubungan sosial-kultural masyarakat Indonesia.
Penganut
Syiah di Indonesia juga dituntut memiliki keberanian untuk melakukan koreksi
terhadap ekstremitas doktrin
yang selama ini dianut mayoritas penganut Syiah, utamanya: Penghinaan dan
pengkafiran terhadap Sahabat dan yang tidak meyakini kebenaran Imamah,
keyakinan terhadap kemaksuman Imam, dan keyakinan tentang terjadinya perubahan
di dalam Al-Quran. Keberanian untuk melakukan koreksi terhadap ajaran-ajaran
dan doktrin-doktrin Syiah ini tidak dilakukan dalam rangka taqiyyah,
tapi dalam konteks keinginan yang tulus untuk melakukan rekonsiliasi menuju
harmonisasi yang diharapkan bersama.
Penganut
Syiah juga dituntut untuk tidak mengadakan perayaan hari raya Syiah secara
terbuka. Hal ini agar tidak memicu kecurigaan, kesalahpahaman dan mengundang kebencian
di kalangan Ahlu Sunnah.
Hal yang
sama perlu diperhatikan oleh minoritas pengikut Ahlu Sunnah yang berada di
tengah mayoritas kelompok lain termasuk Syiah.
Dengan
poin-poin di atas, diharapkan Sunnah dan Syiah dan demikian pula umat dari
berbagai madzhab serta aliran lembaga, partai politik dan organisasi tidak
terjebak dalam konflik dan pertikaian yang tidak saja akan menguras tenaga dan
energi tapi juga membinasakan wujudnya secara perlahan. Jika demikian, bisa
dipastikan semua pihak tidak akan mampu mengembangkan diri, terlebih menghadapi
berbagai tantangan yang datang dari luar.
Jika
kedua belah pihak, atau salah satunya tidak mengindahkan hal-hal di atas karena
ego kelompok atau karena kebodohan, maka sejatinya mereka sedang
menyiapkan bom waktu yang sewaktu-waktu akan meledak dan memporak-porandakan
sendi-sendi bangunan peradaban Umat di Indonesia.
ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di
darat dan di laut, akibat apa yang diperbuat oleh manusia. Yang demikian itu
agar mereka merasakan sebagian apa yang mereka perbuat, mudah-mudahan mereka
segera kembali” (QS Ar-Rum: 41).
Wallahu a’laa wa a’lam.
Catatan Kaki:
Catatan Kaki:
[1] Muhammad Abu Zahrah, Al-Imām As-Shādiq, (Beirut: Dar Fikr al-Arabi), hlm. 464
[2] Mahmud Basyuni Muhammad Faudah, Al-Thabarsi
Mufassiran, (Disertasi Doctoral belum dipublikasikan di Fakultas
Ushuluddin Univ. Al-Azhar Kairo), hlm. 10
[3] Nashir Abdullah bin Ali al-Qaffari, Masalah
Taqrīb Baina Ahli As-Sunnah wa As-Syī’ah, (Riyadh:
Dar Thiba, Cet 6, t.t), hlm. 2/149.
[4] Ibnu Katsir, Bidāyah
Wa an-nihāyah: hlm. 11/221
[5] Ibnu Katsir, Bidāyah Wa an-nihāyah:
hlm. 12/54-56
[6] Al-Qaffari, Masalah Taqrīb Baina Ahli
As-Sunnah wa As-Syī’ah, hlm. 2/151
[7] Ibid, hlm. 2/149
[8] Kisah muktamar ini terekam dalam catatan
seorang ulama’ Iraq, Abdullah bin Husain bin Mar’i bin Nashiruddin al-Dauri
al-Suweidi (1104-1174 H) (al-Nafhah al-maskiah ti rihlah al-makkiah), dan buku
anaknya: Abdurrahman bin Abdullah al-Suwedi (Hadāiq
al-zauro’ fī sirāth al-wuzarā’ atau
sering disebut dengan “Tārikh
Baghdād”), oleh Ustadz Muhibbuddin Khotib diterbitkan dengan judul
“Muktamar Najf” yang
sebelumnya ia ulas dalam majalah “al-Fath” dengan judul yang sangat bombastis:
“A’dham muktamar fī tārikh
al-muslimin littafāhum baina al-Syī’ah wa Ahlu Sunnah al-Muhammadiyyah”.
[9] Tentang kehebatan Suweidi ini Mahmud Syukri al-Alusi menulis:
“Sosok
yang satu ini memang mempunyai kelebihan yang tak terbatas, entah betapa tinggi
perannya dalam mempertahankan kebenaran ajaran Ahli Sunnah, terutama saat Nadir
Syah datang ke Iraq dengan membonceng orang-orang luar (yang terkenal dengan
ahli nifaq dan pengadu domba). Saat itu para utusan Syah berdebat hebat dengan
Ahmad Basya, Gubernur Baghdad. Demikian perdebatan itu terus berlanjut melewati
utusan-utusan yang terus bergantian, sampai akhirnya Syah turun tangan dengan
mengeluarkan keputusan untuk menetapkan madzhab
Syī’ah Imamiyah Itsnā Asyariah sebagai
madzhab resmi serta menolak madzhab Sunnah. Mendengar
ini gubernur Baghdad -Ahmad Basya- mengutus Abdullah Suweidi untuk berdebat
dengan para ulama’ Syi’ah. Dengan kepiawaiannya ia bisa menundukkan lawan
debatnya serta meluruskan kesesatan-kesesatan mereka, sehingga akhirnya Nadir
Syah beralih halauan dari Syi’i menjadi Sunni, di samping secara otomatis ia
berhasil menyelamatkan ratusan nyawa akibat fanatisme kelompok ini” (al-Maslak al-adzfar, Mahmud Syukri al-alusi, dikutip dari “Masalatu al-Taqrīb baina
ahli al-sunnah wa al-Syi’ah”, Nashiruddin al-Qofari, Dar Tibah li
annasyr wa al-tauzi’, Riyadh 1420 H , hlm. 104-106).
[10] Mohammad Emarah, Fitnat at-Takfir
baina as-Syī’ah, wa al-Wahhābiyyah, wa as-Shūfiyah, (Kairo: Darussalam, Cet. I, 2009),
hlm. 37-38
[11] Lihat secara terperinci di: http://www.ammanmessage.com/index.php?lang=ar.
[12] Mengapa Kita menolak Syiah; Kumpulan Makalah Seminar Nasional tentang
Syī’ah, di Aula Masjid Istiqlal Jakarta, 21 September 1997, (Jakarta, LPPI,
Cetakan 4, Desember 2000)
[13] Mu’taz al-Khotib (Editor), Mihnah at-Taqrīb baina
as-Sunnah wa as-Syī’ah, (Kairo: Islam Online.net dan Nahdhah
Mashr, Cet. I, 2009), hlm. 147-150
[14] ttp://www.alrashead.net/index.php?prevn&id=4573&typen=20
[15] Lihat pembahasan “Konsepsi Syī’ah tentang Sahabat”, hlm. 139
[16] Najf Ali Mirza`i, Al-Wihdah wa at-Taqrīb wa
isykāliyyat tadākhul as-siyasi wa al-ma’rifi, dalam “Fitnat
at-taqrīb baina as-sunnah wa as-syī’ah”, ibid. hlm. 109-113
Tentang Dr. M
Kholid Muslih, MA.
Dosen dan Ketua Program Studi Ilmu Aqidah Pascasarjana ISID
Gontor Jawa Timur.
Taqrib Sunni – Syiah
Gagasan Usang Yang Diulang. Pengakuan Syeikh Al-Qaradhawi: ‘Iran Menipu Saya’
http://lamurkha.blogspot.co.id/2015/11/taqrib-sunni-syiah-gagasan-usang-yang.html
http://lamurkha.blogspot.co.id/2015/11/taqrib-sunni-syiah-gagasan-usang-yang.html
Sikap
Al-Azhar Mesir tentang ‘Taqrib’ Sunni-Syiah
Berkedok
Risalah Amman Syiah Siap Membantai Muslim Indonesia
Muktamar
Persatuan Sunni-Syiah, Tapi Shalatnya Pisah-pisah
Masukan
Untuk Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin Terkait Risalah Amman
MUI: Akidah Sebagai Landasan Perbedaan Antara Sunni
Syiah
Sunni-Syiah, Minyak-Air
Ustadz Farid: " Syiah Ini Agama Karangan, Jelas
Berbeda Dengan Islam, Asyura Adalah Pendahuluan Untuk Revolusi Syiah”. Lakukan
Penyimpangan Terhadap Agama, Syiah Melanggar Hukum Dan Berantas Kesesatan Syiah
Lebih Efektif Dengan Kekuasaan
Al-Azhar
Adakan Lomba Ilmiah Bantah Syiah Untuk Mahasiswa Asing
Penodaan
Syiah Terhadap Mazhab Fikih Ja’fari
140 Ulama Saudi Ajak Umat Waspadai Makar Syiah Iran Di
Negeri-Negeri Kaum Muslimin ( VS 10 Poin Deklarasi Jakarta Dimotori Su'per
Cendekiawan Syiah/Sepilis Yang Mengajak Berasyik-Masyuk Dengan Syiah )
[ Peristiwa Lama Melawan Lupa ] Prof. Dr. Quraish
shihab, Umar Shihab, Azyumardi Azra, Amien Rais, dan Din Syamsuddin menyatakan
mazhab syi’ah tidak sesat
MEREKA MEMBELA SYIAH ( Para Profesor Su’per lokal )
PENDEKATAN SUNNI SYIAH DI INDONESIA ( 2012)
Taqrib ngawur dan nyeleneh oleh orang-orang keblinger
dengan paparan yang jauh dari ilmiyyah
http://www.manhajul-anbiya.net/pendekatan-sunni-syiah-di-indonesia/