Thursday, January 21, 2016

Su'per Cendekiawan Muslim Sunni Abu-Abu Didikan Orientalis Terpedaya Syiah, Pendengki Salafi “ Wahabi ”

Hasil gambar untuk cendekiawan muslim pro syiah

140 Ulama Saudi Ajak Umat Waspadai Makar Syiah Iran Di Negeri-Negeri Kaum Muslimin ( VS 10 Poin Deklarasi Jakarta Dimotori Super Cendekiawan Syiah/Sepilis Yang Mengajak Berasyik-Masyuk Dengan Syiah )

TRIK DAN TIPU DAYA SYIAH INDONESIA

Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Rafidhah (Syiah) adalah kelompok yang tidak memiliki andil apa pun selain menghancurkan Islam, memutuskan ikatannya, dan merusak kaidah-kaidahnya.” (Minhajus Sunnah an-Nabawiyyah)

Sejarah telah mencatat bahwa kelompok Syiah begitu fanatik kepada Persia yang memusuhi bangsa Arab. Oleh karena itu, sangat besar kebencian mereka kepada sahabat Umar Ibnu Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Sebab, di masa kekhalifahannya negara Persia itu ditaklukkan. Bahkan, hingga hari ini Syiah selalu merayakan hari-hari besar yang merupakan budaya Persia, seperti Norouz atau Nowruz.

Kelompok Syiah telah banyak merugikan Islam. Mereka benci luar biasa kepada Ahlus Sunnah. Cukuplah menjadi bukti dan diketahui bahwa tiga ratus ribu jiwa dari kalangan Ahlus Sunnah yang ada di Teheran, ibukota Iran, tidak memiliki satu pun masjid.

Syaikh Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya penyebab utama fitnah (kejelekan) dan bencana itu adalah Syiah dan yang bergabung bersamanya. Mayoritas pedang yang terhunus di dalam (sejarah) Islam adalah dari arah mereka. Kezindiqan (kemunafikan) telah menyelimuti mereka. Kelompok Syiah memberikan loyalitas kepada musuh agama ini—musuh agama yang diketahui oleh setiap orang—yaitu Yahudi, Nasrani, dan musyrikin. Mereka malah memusuhi wali-wali Allah Ta’ala, orang-orang pilihan yang menganut agama ini dan orang-orang yang bertakwa….

Selain itu, kelompok Syiah mempunyai andil besar ketika dahulu orang-orang Nasrani menguasai Baitul Maqdis, hingga akhirnya kaum muslimin dapat meraihnya kembali.” (Minhajus Sunnah)

Demi menguatkan eksistensinya di tengah-tengah kaum muslimin, dan agar dianggap sebagai salah satu mazhab yang diterima di dalam Islam, Syiah melakukan berbagai makar dan tipu daya. Salah satunya adalah dengan membuka kesempatan bagi para pemuda untuk melanjutkan studinya ke Qum, Iran. Bahkan, Pemerintah Iran menyediakan beasiswa untuk pelajar Indonesia.

Pada 15 April 2005, website nuonline.com memberitakan bahwa Pemerintah Iran menawarkan beasiswa kepada NU. Bahkan, telah ada MoU ilegal yang ditandatangani oleh oknum petinggi NU. Namun, alhamdulillah, pada 2011 Dewan Syuriah PBNU membatalkan MoU itu dengan alasan tidak ada izin dari Dewan Syuriah terlebih dahulu.

Selain pemberian beasiswa, ada beberapa trik dan strategi yang dijalankan dalam dakwah Syiah di Indonesia, antara lain:

1. Mengedepankan tema persatuan atau ukhuwah Islamiah.

Dalam kajian-kajian, taklim, buku-buku, dan orasi, Syiah selalu tidak meninggalkan tema ini.

Haidar Bagir misalnya, salah seorang pentolan Syiah, pendiri penerbitan buku Syiah (Mizan), menulis tanggapan terhadap orang-orang yang mengkritik Syiah di Indonesia, “Orang-orang yang pandangannya didengar oleh para pengikut Syiah di negeri ini, hendaknya mereka meyakinkan para pengikutnya untuk dapat membawa diri dengan sebaik-baiknya serta mengutamakan persaudaraan dan toleransi terhadap saudara-saudaranya yang merupakan mayoritas di negeri ini.”

(http://insistnet.com/menagih-janji-kaum-Syiah/, diakses pada tanggal 03 Maret 2014)

Agar perkembangan Syiah berjalan mulus, Husein al-Habsyi juga ikut mengampanyekan kerukunan umat. Ketika ditanya oleh seorang mahasiswa di Yogyakarta, Husein pernah mengatakan, “Menjawab pertanyaan saudara ini, saya kira mengafirkan sesama muslim, bukan saja tidak dibenarkan oleh syariat Nabi Muhammad n tetapi juga tidak pantas dan tidak menguntungkan, baik di pihak Syi’ah maupun Ahlus Sunnah, bahkan bisa melemahkan keduanya. Siapa di antara kita kaum muslimin—apalagi saudara mahasiswa ini—yang belum mendengar tentang kristenisasi yang galak dan dahsyat seperti sekarang ini. Mereka sebelum ini sudah

bersatu dan segala aliran; Katolik, Protestan, Advent, ditambah dengan kaum musyrikin, Zionis dan Yahudi, mereka semua sudah bersatu, sedangkan kaum Nasrani bergabung dan satu dewan gereja….”

Husein juga mengatakan, “Sedangkan kita—maaf—secara tidak sadar membantu mereka mengeluarkan saudara-saudara dan generasi kita yang sekarang ini dari umat dan agama Islam. Jadi, mereka akan mudah mengkristenkan kita, sedangkan kita mengkafirkan saudara kita sendiri. Adakah fanatisme yang lebih berat daripada ini? Kita sekarang ini tidak perlu Syiah atau Sunnah menjadi bahan gaduh di antara kita, kaum muslimin. Kita perlu Islam yang bersumberkan al-Qur’an dan al-Hadits diterapkan pada diri kita. Kita memerlukan ukhuwah, memerlukan pengumpulan dana, serta seluruh masyarakat dan organinasi Islam untuk menebus jutaan pemuda muslim yang sekarang di ambang pintu Nasrani untuk dikristenkan.”

2. Menampilkan pustaka atau tokoh Syiah dengan wajah Sunni.

Prof. Dr. Muhammad Baharun menulis, kitab-kitab seperti Muruj al-Dzahabi oleh Ali bin Husein al-Masoudi, Kifayat al-Thalib fi  Manaqib Ali bin Abi Thalib, dan al-Bayan fi al-Akhbar Shaib al-Zaman oleh Abu Abdillah Fakhruddin Muhammad bin Yusuf al-Kanji, Syarh Nahj al-Balaghah oleh Ibnu Abi al-Hadid, Syawahid al-Tanziloleh al-Hakim al-Kaskani, dan Yanabi’ al-Mawaddah oleh Sulaiman bin Ibrahim al-Qanduzi, adalah buku-buku Syiah. Pengarangnya mengaku Sunni agar bukunya dapat diakses oleh pengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Kerap kali dijumpai, pengikut Syiah menolak mengaku sebagai Syi’i. Akan tetapi, terkadang mereka lebih suka disebut pengikut mazhab Ahlu Bait daripada pengikut Syiah. Beberapa acara publik terkadang menampilkan tokoh yang tidak memiliki kapasitas, namun diminta untuk berbicara tentang ukhuwah Sunnah-Syiah. Hal ini adalah taktik pengelabuan untuk menutupi wajah Syiah yang sesungguhnya.

3. Memberikan imej netral dan melakukan pendekatan.

Hal ini dilakukan di antaranya melalui pendekatan akhlak, memberi jasa bantuan dana, serta janji-janji kerjasama apabila umat bersedia bergabung ke dalam institusi tertentu. Kini Syiah menggerakkan dunia pendidikan, menyediakan dan menyelenggarakan training-training metode pendidikan. Dengan dukungan aktivis liberal, digulirkan wacana Syiah dan Ahlus Sunnah sama-sama, tidak boleh menyalahkan Syiah. Wacana yang dikedepankan adalah Syiah itu sama-sama muslim. Perbedaan antara Syiah dan Ahlus Sunnah sebatas perbedaan ijtihad politik.

Ketika muncul pro-kontra terkait berdirinya Majelis Ukhuwah Sunni-Syiah Indonesia pada 17 Juli 2011, Jalaluddin Rakhmat mengatakan, “Masalah ajaran itu masing-masing. Lakum dinukum wa liya din, bagimu agamamu bagiku agamaku. Ingat menjalin ukhuwah Islamiah adalah perintah Allah l dalam al-Qur’an.”

Dalam kesempatan lain, ia mengatakan, “Bila ada yang pro, syukurilah. Kalau ada yang kontra, jangan jawab dengan permusuhan, namun dengan amal shalih.” (http://news.detik.com/read/2011/07/17/172951/1682998/486/1/majelis-sunni-Syiah-dideklarasikan-di-jawa-barat)


4. Mengampanyekan keterbukaan pemikiran.

Suatu hari, Jalaluddin Rakhmat pernah ditanya tentang filosofi di balik berdirinya Yayasan Muthahhari, yayasan yang menaungi SMU Plus Muthahhari, Bandung.

Waktu itu ia menjawab, “Yayasan Muthahhari tidak didirikan untuk menyebarkan Syiah dan sampai sekarang lembaga ini tidak menyebarkan Syiah. Di situ ada SMU. Mereka belajar fikih empat mazhab (Syafi’i, Hambali, Maliki, Hanafi). Mereka tidak mempelajari fikih Syiah secara khusus. Dari Muthahhari juga keluar jurnal al-Hikmah, yang banyak menerjemahkan pikiran-pikiran Syi’ah. Tetapi, sekali lagi hanya bersifat pemikiran saja, fikihnya tidak ada. Belakangan al-Hikmah sedikit menampilkan pemikiran Syiah. Malah lebih banyak menampilkan pemikiran-pemikiran kalangan orientalis. Sehingga Yayasan Muthahhari, dengan melihat isi al-Hikmahseperti itu, layaklah disebut sebagai ‘agen zionisme Barat’. Jadi, mungkin lebih layak Muthahhari ketimbang Paramadina atau Ulumul Qur’an. Jadi, itu yang pertama: Muthahhari tidak didirikan untuk menjadi markas Syi’ah. Lalu, kalau begitu, mengapa diambil nama Muthahhari? Itu karena tiga pertimbangan.
Pertama, Muthahhari itu seorang pemikir Syiah yang sangat non-sectarian, yang sangat terbuka. Ia sangat apresiatif terhadap pemikiran Sunni. Ia tidak pernah menyerang Sunni. Ia lebih banyak belajar dari Sunni. Karena itu, kita ambil tokoh Muthahhari sebagai tokoh yang bersikap non-sectarian, terbuka terhadap berbagai pemikiran, bukan karena Syi’ahnya.

Kedua, Muthahhari itu orang yang dibesarkan dalam sistem pendidikan Islam tradisional, tetapi setidak-tidaknya cukup well informed tentang khazanah pemikiran Barat. Ia menjembatani dikotomi antara intelektual dan ulama. Kita pilih ia, antara lain karena pertimbangan itu, bukan karena Syi’ah. Karena misi Yayasan Muthahhari yang kedua adalah menjembatani antara intelektual dan ulama. Di Indonesia ini banyak cendekiawan yang menulis tentang Islam, tetapi tidak punya dasar dan tradisi Islam tradisional, sebagaimana juga banyak ulama Islam tradisional yang tidak mempunyai wawasan kemodernan. Muthahhari mencerminkan keduanya.”

5.Mendekati NU dan Muhammadiyah sebagai  backing.

Di Bandung, dua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia itu menolak MUI  mengeluarkan fatwa sesat Syiah. 
Sebuah website Syiah pernah memuat berita berikut, “Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Muthi, menolak adanya fatwa sesat terhadap Syiah dari lembaga keagamaan mana pun di Indonesia, termasuk Majelis Ulama Indonesia. Menurut dia, fatwa sesat dari MUI di sejumlah daerah, seperti Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, terbukti menjadi alat melegitimasikan kekerasan terhadap pengikut Syiah dan memicu konflik horizontal antar umat Islam. ‘Fatwa dari mana pun harus tidak untuk mengkafirkan dan menyesatkan,’ ujar Muthi kepada Tempo, Kamis, 19 Desember 2013.
Muthi menanggapi desakan sebagian pihak yang mendesak MUI DIY mengeluarkan fatwa sesat terhadap aliran Syiah di Yogyakarta. Pihak tersebut mengklaim telah mencatat 10 organisasi berhaluan Syiah di DIY.
Menurut Muthi, fatwa sesat itu berpotensi besar menimbulkan persoalan kebangsaan serius di Indonesia. Lembaga seperti MUI di

daerah mana pun sebaiknya tidak lagi mengeluarkan fatwa penyesatan, khususnya untuk Syiah. Alasannya, hal itu memperbesar konflik antar umat Islam. ‘Umat Islam sudah mengalami banyak situasi sulit dan persoalan, jangan ditambah dengan masalah-masalah seperti ini,’ ujar dia. Dia menyarankan MUI Pusat maupun daerah menghindari fatwa semacam pengadil kebenaran atau kesesatan akidah dan keyakinan setiap kelompok umat Islam mana pun.

Sebaliknya, dia menambahkan, MUI mengambil posisi tegas untuk memediasi perbedaan dan pertentangan pendapat antarorganisasi Islam di Indonesia. ‘MUI harus berperan sebagai pemersatu umat Islam,’ kata Muthi. Muthi tidak sepakat dengan pendapat pihak tersebut mengenai salah satu alasan desakannya, yakni buku terbitan MUI Pusat yang berjudul Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia. Menurut dia, buku itu keluar justru sebagai pernyataan sikap MUI Pusat untuk menolak memberikan fatwa penyesatan ke Syiah Indonesia. ‘Umat Islam harus bisa memberikan sumbangan konstruktif untuk Indonesia,’ kata dia.

Sikap serupa muncul dari Pengurus Wilayah NU Daerah Istimewa Yogyakarta. Rois Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Daerah Istimewa Yogyakarta, KH. Asyhari Abta, menyatakan MUI DIY tidak perlu menggubris permintaan pihak tersebut. Kiai dari Pesantren Yayasan Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta ini menganggap fatwa sesat malah bisa memicu konflik antarkelompok berbeda paham agama. “Bisa memperuncing perbedaan dan memicu tabrakan antarkelompok,” ujar dia.

Asyhari mengatakan, sekalipun MUI DIY menemukan ada indikasi penyimpangan upaya maksimal hanya perlu dilakukan dengan dialog dan nasihat. Penyesatan pada ajaran malah bisa mendorong tudingan sesat ke kelompok-kelompok lain. “Sesat atau tidak sesat itu keputusannya di Allah Subhanahu Wataala,” ujar dia.

Segala trik, makar, dan tipudaya Syiah ini tentu tidak lepas dari keyakinan para penganut Syiah tentang taqiyyah. Mereka meyakini bahwa sembilan puluh persen persoalan agama ini ada dalam taqiyyah. Tidak ada agama bagi siapa yang tidak ber-taqiyyah. Taqiyyah itu dalam segala sesuatu kecuali yang berhubungan dengan minuman anggur dan mengusap dua khuf.
Al-Kulaini dalam Ushulul Kafi—sebuah kitab hadits milik Syiah—mengutip riwayat dari Abu Abdillah, ia berkata, “Jagalah agama kalian dan halangi diri kalian dengan taqiyyah, karena tidak ada keimanan bagi yang tidak bertaqiyyah.” (Ushul al-Kafi, hlm. 482—483)

Taqiyyah sendiri bermakna mengatakan atau mengerjakan sesuatu yang berbeda dengan apa yang diyakini dengan tujuan menjaga bahaya yang mengancam diri dan harta atau demi menjaga kemuliaan. (asy-Syi’ah fi al-Mizan, hlm. 47)

Bahkan, Syiah mengaku bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam  melakukan taqiyyah ketika meninggalnya Abdullah bin Ubay bin Salul, seorang tokoh munafikin. Syiah mengklaim bahwa Rasul Shallallahu ‘alahi wa Sallam datang menyalati jenazahnya, lalu Umar berkata, “Bukankah AllahTa’ala  telah melarangmu untuk berdiri di kuburan orang munafik ini?”

Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam menjawab, “Celaka kau, Umar, apa kamu tahu apa yang aku ucapkan? Sesungguhnya aku katakan, ‘Ya Allah, nyalakanlah api di bagian perutnya, penuhilah kuburannya dengan api dan bagian dinding-dindingnya dengan api’.” (Furu’ al-Kafi, Kitabul Jana’iz, hlm. 188)

Lihatlah, bagaimana lancangnya dan beraninya Syiah melakukan kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam. Intinya, Syiah menganggap bahwataqiyyah adalah kewajiban, ajaran Syiah tidak akan tegak kecuali dengannya. Mereka menjadikan taqiyyah sebagai fondasinya, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Mereka mengamalkantaqiyyah terkhusus ketika melalui situasi-situasi yang sulit. Maka dari itu, waspadalah selalu dari kelompok Syiah, wahai kaum muslimin!

Bagaimana pun besarnya makar dan tipu daya Syiah terhadap Islam, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan tetap menjaganya. Oleh karena itu, hal ini jangan menjadikan kaum muslimin ragu terhadap agamanya. Yakinlah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghancurkan, membongkar, dan membalas makar mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

{وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ (30)} [الأنفال: 30]
“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu (Muhammad) untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka membuat tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Allah adalah  sebaik-baik pembalas tipu daya itu.” (al-Anfal: 30)
{وَكَانَ فِي الْمَدِينَةِ تِسْعَةُ رَهْطٍ يُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ وَلَا يُصْلِحُونَ (48) قَالُوا تَقَاسَمُوا بِاللَّهِ لَنُبَيِّتَنَّهُ وَأَهْلَهُ ثُمَّ لَنَقُولَنَّ لِوَلِيِّهِ مَا شَهِدْنَا مَهْلِكَ أَهْلِهِ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ (49) وَمَكَرُوا مَكْرًا وَمَكَرْنَا مَكْرًا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ (50) فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ مَكْرِهِمْ أَنَّا دَمَّرْنَاهُمْ وَقَوْمَهُمْ أَجْمَعِينَ (51) فَتِلْكَ بُيُوتُهُمْ خَاوِيَةً بِمَا ظَلَمُوا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (52)} [النمل: 48 – 52]
Dan di kota itu ada sembilan orang laki-laki yang berbuat kerusakan di bumi, mereka tidak melakukan perbaikan. Mereka berkata, “Bersumpahlah kamu dengan (nama) Allah, bahwa kita pasti akan menyerang dia bersama keluarganya pada malam hari, kemudian kita akan mengatakan kepada ahli warisnya (bahwa) kita tidak menyaksikan kebinasaan keluarganya itu, dan sungguh, kita orang yang benar.” Dan mereka membuat tipu daya, dan Kami pun menyusun tipu daya, sedang mereka tidak menyadari. Maka perhatikanlah bagaimana akibat dari tipu daya mereka, bahwa Kami membinasakan mereka dan kaum mereka semuanya. Maka itulah rumah-rumah mereka yang runtuh karena kezaliman mereka. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mengetahui.” (an-Naml: 48—52)
 (Majalah Asy Syariah edisi 102 hlm 22–27)

Cendekiawan, Wahabi dan Kekerasan Kata-kata

Oleh: A. Kholis
“Kalmul-lisan anka min kalmis-sinan”
(dilukai lidah lebih pedih daripada dilukai gigi)

–pepatah Arab–

ADA cibiran yang pernah dilontarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk kalangan aktivis Islam. Bunyinya, “Blek ketekuk-tekuk, guru tabligh ambune penguk.” (kaleng terlipat-lipat, guru mengaji baunya tak sedap). Kalimat itu seolah dijadikan jingle sebagai pencitraan tak sedap kalangan PKI terhadap kaum Muslim.
Kala itu, jangankan menyemarakkan dakwah seperti sekarang, untuk menunjukkan identitas Islam saja kaum Muslimin ketakutan. Citra Islam benar-benar hancur. Islam identik dengan miskin, kotor, tidak punya masa depan cerah dalam pekerjaan kecuali menjadi guru mengaji.
Citra seperti ini terus berlanjut meski Orde Lama berganti Orde Baru. Sampai-sampai, di pertengahan 80-90-an, umat Islam malu menunjukkan identitas, apalagi berjilbab.
Pelan-pelan citra itu berkurang tatkala lahir Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di akhir tahun 90-an. Harian Kompas-yang lahir dari institusi gereja–menyindirnya dengan tulisan berjudul “Ijo Loyo-loyo”.
Tampilnya BJ Habibie, sejumlah pejabat negara, dan jenderal Muslim seperti Faisal Tanjung dan R Hartono (yang terang-terangan menggunakan simbol-simbol Islam) punya andil mengubah citra baru Islam di Indonesia. Sementara kelompok harakah Islam yang muncul pasca 1999, seperti tarbiyah (digambarkan dengan PKS), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan sejumlah harakah lain masih “di bawah tanah”.
Sekitar tahun 80-90-an, tidak ada perusahaan, institusi pemerintah, atau lingkungan militer yang menerima karyawati atau pegawai berjilbab. Sekarang, itu tidak terjadi lagi. Bahkan istri dan anak Jenderal (purn) Wiranto pun terang-terangan memakai jilbab. Jika itu terjadi di zaman LB Moerdani, bisa jadi Wiranto sudah “masuk kotak” dan tak akan mampu meraih pangkat jenderal.
Kekerasan Kata dan Simbol
Sepintas cibiran yang dilakukan PKI dan Kompas di atas kelihatan sepele. Namun sebenarnya ada pencitraan negatif terhadap Islam dalam kata-kata itu. Jika kriminolog asal Norwegia, Johann Galtung, pernah menggambarkan ada kekerasan struktural yang biasa digunakan penguasa, maka ini adalah “kekerasan kata-kata” (verbalistic violence).


Meminjam istilah Pramono dalam Bahasa dan Sastra Indonesia, Menuju Peran Transformasi Sosial Budaya Abad XXI (Yogyakarta, 2002), verbalistic violence adalah bentuk kekerasan dalam kata-kata atau berbahasa. Bahasa tak hanya digunakan sebagai alat komunikasi, namun juga untuk melakukan kekerasan yang kemudian dikenal dengan istilah kekerasan verbal.

Ada lagi istilah symbolic violence (kekerasan simbolik). Biasanya, kekerasan seperti ini targetnya selalu berkaitan dengan politik. Menurut Michel Foucault, biasanya kekerasan seperti itu difasilitasi media massa, terutama televisi. Menurut ilmuwan pengidap homoseksual itu, kekejaman seperti itu lahir dan langgeng karena memakai sistem kekuatan kata-kata, juga citra, yang sangat halus (soft domination), yang kehadirannya sering tak disadari.
Kekerasan verbal, terutama simbolik, beroperasi melalui ungkapan-ungkapan, baik visual atau kata-kata. Entah itu dalam film, sinetron, games, dan produk visual lain, atau dengan sebutan-sebutan yang kurang mengenakkan. Dan biasanya, kekerasan kata itu lebih menusuk hati dibanding kekerasan fisik.
Ingat, penyebutan “Islam modern”, “Islam tradisional”, “Islam Kota” dan “Islam Sarungan” di sekitar tahun 70-an, diakui atau tidak melukai perasaan kaum Nadhiyyin hingga memicu ketegangan dengan warga Muhammadiyah (ibaratnya) sampai tujuh turunan. Kalangan Nahdlatul Ulama kurang nyaman disebut “Islam tradisional” yang konotasinya kurang/tidak maju.
Cendekiawan dan Propaganda Kekerasan
Yang perlu dicermati, jika kekerasan verbal seperti itu dilakukan oleh orang-orang di luar Islam, seperti contoh PKI atau Kompas tadi, barangkali lebih jelas dengan siapa kaum Muslimin berhadapan. Masalahnya, seiring dibukanya kran kebebasan pers dan reformasi, produk kekerasan kata dan simbol itu justu datang dari kalangan yang disebut-sebut cendekiawan Muslim.
Beberapa tahun lalu, muncul istilah “preman berjubah”. Istilah ini dipopulerkan oleh sekelompok orang yang menyebut dirinya Aliansi Masyarakat Anti Kekerasan, yang dimotori antara lain oleh artis Rieke Dyah Pitaloka dan Badriyah (anggota DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa).

Istilah itu tidak muncul dari kalangan non-Muslim. Bahkan ternyata pencetusnya adalah Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah (kala itu), Prof Dr Ahmad Syafi’i Ma’arif, yang menulis dalam rubrik Resonansi harian Republika (9 Agustus 2005). Istilah ini kemudian dipakai oleh sekelompok orang yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal (JIL) untuk melabeli aktivis Islam semisal dari HTI, Front Pembela Islam (FPI), MMI, PKS, atau elemen masyarakat yang ingin menegakkan syariat Islam.
Kekerasan itu kadang dikeluarkan sembarangan untuk mencari rasa aman atau enaknya sendiri. Misalnya, sebagian kalangan seenaknya membuat katagorisasi dengan menyebut dirinya “Islam modernis” dan demokratis, lalu menggolongkan pihak lain sebagai “Islam radikal”, “militan”, atau “fundamentalis” hanya karena tidak setuju Barat, tidak mau tunduk Barat atau anti paham demokrasi. Bahkan takut disebut “teroris”, orang-orang itu ramai-ramai berebut menyebut diri “Islam moderat”.
Atas hak siapa orang boleh atau tidak menyebut yang lain modern dan sebagian yang lain radikal? Apakah karena ada orang yang taat beribadah dan meyakini al-Qur`an paling benar lantas begitu saja disebut radikal atau tekstualis? Kalau boleh seenaknya melakukan katagorisasi seperti itu, mengapa yang lain tak boleh menyebut kelompok liberal sebagai Islam STMJ (shalat terus maksiat jalan) atau “Islam Karaoke” (kanan-kiri oke)?


Karena itu, bisa dipahami bila Ketua PP Muhammadiyah sekarang, Din Syamsuddin, menyebut kekerasan kata-kata lebih melukai daripada kekerasan fisik. Din mengatakan hal itu ketika menanggapi obrolan (alm) Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dilansir situs JIL, yang menyebut al-Qur`an sebagai kitab suci paling porno di dunia.

Salah satu bentuk kekerasan verbalistik adalah penyebutan ‘wahabisme’. Istilah “wahabisme” juga dipopulerkan lagi oleh kalangan liberal untuk menyebut kelompok-kelompok yang berseberangan dengan mereka seperti Muhamadiyah, FPI, MMI, PKS, MUI, dan pihak-pihak lain. Awalnya, istilah ini dimunculkan oleh dedengkot JIL, Ulil Abshar Abdalla. Ternyata kurang laku, dan kemudian dikeluarkan lagi oleh liberalis lain, Abdul Moqsid Ghozali.


Sebutan itu muncul sesaat setelah berlangsung aksi sejuta umat Islam di bawah koordinasi MUI mendukung RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi. Harap hati-hati, penyebutan “wahabisme” itu bisa dimaksudkan untuk memecah dukungan NU dan Muhammadiyah yang sudah solid menolak pornografi. Tahun 1999, istilah itu menjadi momok kalangan NU ketika Gus Dur dijatuhkan oleh “poros tengah” dari kursi presiden.

Saat ini berbeda, istilah ‘wahabi’, seolah digunakan kalangan NU untuk ‘menyerang’ komunitas lain di luar NU. Seolah-olah semua di luar NU pasti Wahabi. Gerakan ini, belakangan ‘ditunggangi’ kalangan Syiah yang menumpang karena kepentingannya terganggu. Dengan menggunakan istilah ‘wahabi’, kaum Syiah di mana-mana melontarkan kesan seolah-oleh hanya ‘wahabi’ lah yang mengancam kepentingan Syiah. Padahal, NU dikenal paling keras melawan ideologi Syiah. Jadi di mana bedanya NU dengan Syiah jika masih terus menggunakan istilah ini? [baca wawancara Dr Anis Malik Thoha: Barat Diuntungkan atas Stigma Wahabi]
Menurut Ingris Bengis, ada lima format kekerasan kata-kata. Yaitu berwujud gosip dari rasa dengki (malicious gossip), kekerasan pasif (passive-aggression), sikap tidak konsisten (inconsistency), ketidaksopanan, dan amarah. Semua itu melahirkan kekerasan kata-kata.


Dalam terminologi psikologis, kekerasan kata-kata masuk dalam katagori agresi berupa perilaku bullying. Bullyingsecara verbal antara lain menuduh atau menyalahkan, mengritik dengan tajam dan menyakitkan, menjuluki, melecehkan, memfitnah, menyebarkan gosip, membentak-bentak, mengecilkan, menghina atau mendiamkan. Secara psikologis, bullying termasuk merendahkan, kasar, tidak sopan, mempermalukan di depan umum, dan mengucilkan.

Biasanya, pelaku bullying adalah orang-orang yang agresif, impulsif, dan kurang memiliki empati. Mereka umumnya juga memiliki kekuatan secara fisik dan emosional (Andrew Mellor). Dengan kata lain, memiliki kelainan psikologis alias kejiwaan.
Boleh jadi, luka akibat lidah justru melahirkan kekerasan baru-termasuk fisik–yang tak pernah henti. Oleh karena itu, sangat tidak layak seorang cendekiawan–apalagi mengaku Muslim-melontarkan istilah-istilah yang membuat pihak lain dan saudara-sauda Muslim lain terlukai. Kecuali seperti pendapat Mellor, bahwa pelakunya memiliki gangguan kejiwaan.*

Wajah Islam di Indonesia

*Sebuah Catatan Untuk Para Cendekiawan Islam sebagai sebuah agama tidak mungkin dipisahkan dari realita hidup bermasyarakat. Mengapa demikian? Tentu saja jelas alasannya; karena Islam itu sendiri hadir di …
Islam sebagai sebuah agama tidak mungkin dipisahkan dari realita hidup bermasyarakat. Mengapa demikian? Tentu saja jelas alasannya; karena Islam itu sendiri hadir di atas muka bumi ini semenjak dulu kala. Dan Islam itulah yang mempersatukan umat manusia sebelum mereka berselisih dan menyempal ke dalam berbagai jalan yang menyimpang.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Manusia itu (dahulunya ) satu umat. Lalu Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberikan keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan…” (QS. al-Baqarah: 213)
Dalam sebuah riwayat dengan sanad sahih dari Ibnu Abbas yang dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim dan yang lainnya, ketika menjelaskan makna ayat “Manusia itu (dahulunya ) satu umat.” Ibnu Abbas berkata, “Mereka semuanya dahulu berada di atas Islam.”Demikian juga al-Bazzar dan yang lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Rentang waktu antara Adam dan Nuh adalah sepuluh kurun/abad. Mereka semuanya berada di atas syari’at yang benar, kemudian mereka pun berselisih. Setelah itu Allah pun mengutus nabi-nabi.” (lihat Nashihah ila Jama’ah al-Ikhwan al-Musliminoleh Syaikh Abdullah al-Ubailan, hal. 1)
Itulah wajah Islam di awal mula sejarah umat manusia di atas muka bumi ini beribu-ribu tahun yang silam. Demikian pula halnya seluruh para nabi yang Allah utus, mereka sepakat dalam asas ajaran Islam yaitu tauhid; mengesakan Allah dalam beribadah. Meskipun dalam tataran syari’at bisa jadi berlainan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus sebelum kamu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya; bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Aku (Allah), oleh sebab itu sembahlah Aku (saja).” (QS. al-Anbiya’: 25).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bagi masing-masing umat Kami jadikan syari’at dan jalan.” (QS. al-Ma’idah: 48). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Kami segenap para nabi adalah anak-anak sebapak -dengan ibu yang berbeda-, sedangkan agama kami ini adalah sama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ini menunjukkan bahwa dakwah seluruh nabi adalah sama yaitu tauhid, meskipun syari’atnya berlainan (lihat Nashihah ila Jama’ah al-Ikhwan al-Muslimin, hal. 2)
Orang-orang musyrik pun memahami bahwa maksud dari dakwah para rasul itu adalah supaya masyarakat mengesakan Allah dalam beribadah. Yaitu tidak boleh menujukan ibadah kepada selain Allah, atau mempersekutukan selain-Nya dalam hal ibadah. Allahta’ala menceritakan tanggapan mereka (yang artinya), “Apakah dia -Muhammad-  hendak menjadikan sesembahan-sesembahan itu menjadi satu sesembahan saja?!”(QS. Shaad: 5). Demikian pula reaksi kaum ‘Aad terhadap dakwah Nabi Hud ‘alaihis salam. Mereka berkata (yang artinya), “Apakah kamu datang kepada kami agar kami menyembah Allah semata dan meninggalkan apa-apa yang disembah -secara turun temurun- oleh nenek moyang kami?!” (QS. al-A’raaf: 70)
Ayat-ayat di atas menggambarkan kepada kita dengan jelas bahwa reaksi masyarakat yang menentang dakwah para rasul adalah realita di dalam sejarah internasional. Di antara alasan yang kerapkali dibawakan adalah demi mempertahankan warisan budaya nenek moyang [!]. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah’. Mereka menjawab, ‘(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).’ Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun, dan tidak mendapat petunjuk.”(QS. al-Baqarah: 170)
Pertanyaan selanjutnya yang menggelitik pikiran kita adalah; lalu bagaimana dengan konteks Indonesia? Apakah realita semacam ini juga yang terjadi? Supaya ruang lingkup pembicaraan ini tidak melebar kemana-mana maka marilah kita fokuskan dalam masalah tauhid saja; yang kita semua mengetahui bahwa ini merupakan asas ajaran agama kita.
Adalah sebuah fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri bahwa kebudayaan berhala telah berkembang di negeri ini semenjak dahulu kala. Tidak terhitung tempat-tempat yang dianggap keramat, dijadikan sebagai tempat sesaji, demikian pula patung-patung dan candi-candi yang menandai gaya hidup paganisme yang telah mengakar di sebagian masyarakat. Tidak sedikit sosok mistis yang diagung-agungkan dan dianggap memiliki pengaruh terhadap kehidupan. Benda-benda ‘sakti’ dan pusaka pun dikeramatkan. Berbagai ritual persembahan pun dilakukan. Entah yang berlokasi di atas gunung, di tengah kota, di pedesaan, sampai pun di pesisir pantai. Tradisi yang erat dengan keyakinan nenek moyang, yang terwarnai oleh kesyirikan (silahkan baca sebuah buku menarik berjudul Bahaya..!!! Tradisi Kemusyrikan Di Sekitar Kita tulisan H. Willyuddin A.R. Dhani, S.Pd)
Sayangnya, sebagian kalangan yang disebut-sebut sebagai intelektual muslim -sadar ataupun tidak- ‘menutup-nutupi’ realita pahit ini dengan kedok menjaga kebhinekaan bangsa [?!] Dengan cara-cara yang halus dan samar mereka menolak arus pemurnian yang diserukan oleh para da’i -di antaranya dipelopori oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan, Tuanku Imam Bonjol, dan tokoh yang lainnya- untuk membersihkan kehidupan masyarakat dari berbagai bentuk takhayul, bid’ah dan churafat (TBC). Yang dalam bahasa kita sekarang bisa diungkapkan dengan slogan ‘Memurnikan Aqidah dan Menebarkan Sunnah’… Seolah-olah perjuangan yang dilakukan oleh para kyai dan da’i tersebut adalah gerakan ekstrem yang agresif, beringas, intoleran, dan penuh kebencian (lihat tuduhan ini dalam kata pengantar KH. Abdurrahman Wahid; Ilusi Negara Islam, hal. 20)
Tidak berhenti di situ saja, mereka -kaum liberal- pun menuduh gerakan dakwah tauhid sebagai proyek Wahabisasi global. Yang kita bicarakan di sini, bukanlah gerakan tarbiyah yang diusung oleh kader-kader salah satu partai politik di negeri ini (tidak perlu kami sebutkan karena sudah sangat populer). Bukan pula gerakan politik ala kelompok dakwah yang senantiasa mendengung-dengungkan khilafah sebagai solusi atas segala problematika umat. Bukan pula sekelompok rakyat sipil yang gemar melakukan penggrebekan tempat-tempat maksiat dengan dalih amar ma’ruf nahi mungkar. Bukan itu yang kita maksudkan. Pembicaraan mengenai ketiga kelompok itu ada tempatnya tersendiri.
Sesungguhnya yang menjadi sasaran utama serangan propaganda ini adalah dakwah tauhid yang mereka gelari dengan sebutan Wahabi. Orang awam tentu akan merasa ngeri dengan istilah-istilah menakutkan yang dimunculkan oleh para pengusung pemikiran liberal ini. Di antara istilah yang sering dipakai adalah istilah kelompok garis keras. Gus Dur berkata, “…Kami berpedoman pada paham Ahlussunnah wal Jama’ah, sementara mereka -kelompok garis keras- mewarisi kebiasaan ekstrem Khawarij yang gemar mengkafirkan dan memurtadkan siapa pun yang berbeda dari mereka, kebiasaan buruk yang dipelihara oleh Wahabi dan kaki tangannya.” (Ilusi Negara Islam, hal. 21-22). Di bagian lain dari buku ini pun mereka mengamini penyebutan Wahabi sebagai reinkarnasi Khawarij (lihat Ilusi Negara Islam, hal. 100)
Bukan itu saja tuduhan yang mereka lemparkan. Dengan begitu berapi-apinya mereka menjauhkan umat dari dakwah tauhid ini dengan dalih menyelamatkan umat dari cengkeraman Wahabisasi Global dan dalam rangka mengembalikan kemuliaan dan kehormatan Islam yang telah ternodai. Gus Dur kembali melemparkan fitnahnya, “… Arus dana Wahabi yang tidak hanya membiayai terorisme tetapi juga penyebaran ideologi dalam usaha wahabisasi global juga nyaris luput dari perhatian publik. Selama ini, arus dana Wahabi ke Indonesia tidak mendapat perhatian publik secara serius, padahal dari sinilah fenomena infiltrasi -penyusupan- paham garis keras memperoleh dukungan dan dorongan yang luar biasa kuat sehingga menjadi bisnis yang menguntungkan banyak agennya.” (Ilusi Negara Islam, hal. 36)
Di dalam catatan kaki buku tersebut pun disebutkan sebuah ‘berita’ yang terkesan sangat mengerikan dan mengancam umat Islam di berbagai belahan penjuru dunia. Dalam hal ini mereka telah berterus terang bahwa yang mereka maksud dengan Wahabi itu adalah Arab Saudi. Mereka berkata, “Aktivitas Saudi di Indonesia hanya merupakan bagian kecil dari kampanye senilai US $ 70.000.000.000,- selama kurun waktu antara 1979-2003 untuk menyebarkan sekte fundamentalis Wahabi di seluruh dunia. Usaha-usaha dakwah Wahabi yang terus meningkat ini merupakan “kampanye propaganda terbesar di seluruh dunia yang pernah dilakukan -anggaran propaganda Soviet pada puncak Perang Dingin menjadi sangat kecil dibandingkan belanja propaganda Wahabi ini.” (lihat Ilusi Negara Islam, hal. 39). Tidak aneh jika mereka terkesan menyejajarkan ‘bahaya’ Wahabi ini dengan bahaya laten Komunis! Gus Dur menyebut Wahabisasi sebagai gerakan yang merusak Islam Indonesia yang spiritual, toleran, dan santun, dan mengubah Indonesia sesuai dengan ilusi mereka tentang negara Islam yang di Timur Tengah pun tidak ada [?] (Ilusi Negara Islam, hal. 39).
Gus Dur juga berkata, “Dengan balutan jubah dan jenggot Arab yang ditampilkan, yang oleh beberapa pihak telah dipandang lebih tampak seperti preman berjubah, mereka ingin menunjukkan seolah-olah pandangan ekstrem yang mereka teriakkan dan paksakan memang benar-benar merupakan pesan Islam yang harus diperjuangkan. Padahal, mereka merusak agama Islam dan bertanggung jawab atas banyaknya kekerasan yang mereka lakukan atas nama Islam di Indonesia dan seluruh dunia. Dan kita sebagai umat Islam harus menanggung malu atas perbuatan mereka.” (Ilusi Negara Islam, hal. 39). Semakin lengkap sudah gelaran buruk yang disematkan oleh mereka kepada Wahabi agar umat benar-benar menjauhi dakwah mereka…
Para peneliti yang menulis buku tersebut ingin menjelaskan kepada kita apa sesungguhnya yang mereka maksud dengan istilah Wahabi. Coba kita simak propaganda mereka! Dengan fasihnya mereka berkata, “Wahabi adalah sebuah sekte keras dan kaku pengikut Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab.” (Ilusi Negara Islam, hal. 62). Di bagian lain buku ini, mereka semakin mempertegas bahwa yang mereka maksud dengan Wahabi tidak lain adalah Salafi (lihat Ilusi Negara Islam, hal. 95). Apa yang tertanam dalam pikiran orang yang membaca definisi di atas? Ya… Wahabi itu keras dan kaku… Betapa keji tuduhan yang mereka lemparkan! Mereka juga mengatakan,“Islam yang sangat apresiatif dan penuh perasaan dalam merespon permasalahan umat, di tangan Ibn ‘Abdul Wahhab berubah menjadi tak peduli, keras, dan tak berperasaan.” (Ilusi Negara Islam, hal. 63)
Demikianlah, kedustaan seolah-olah telah menjadi sedemikian murah-meriah bagi para pengusung pemikiran liberal ini. Dengan entengnya mereka mengatakan tentang Wahabi, “Setiap Muslim yang tidak mempunyai pemahaman dan praktik ajaran Islam yang persis seperti Wahabi dianggap murtad, karenanya perang dibolehkan, atau bahkan diwajibkan, terhadap mereka…” (lihat Ilusi Negara Islam, hal. 67). Maha suci Allah, sungguh ini adalah kedustaan yang sangat besar!
Sudah banyak bantahan ilmiah dan santun untuk tuduhan-tuduhan ‘emosional’ semacam ini. Padahal, dakwah salafiyah beserta para ulamanya -yang dijuluki ‘Wahabi’ dalam rangka membuat orang lari darinya- berlepas diri dari segala tuduhan keji tersebut. Salafiyah itu sendiri adalah ajaran yang diwariskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sebuah ajaran yang menebarkan rahmat bagi semesta alam. Ajaran yang memberikan bimbingan bagi umat manusia dalam segala sudut kehidupan. Ajaran yang sempurna, yang diturunkan oleh Rabb penguasa alam semesta.
Erat kaitannya dengan tema awal tulisan ini, yaitu menyoroti dakwah tauhid sebagai seruan yang mendapatkan penentangan dari umat para rasul, dan apakah fenomena serupa juga terjadi di Indonesia. Maka, perkenankanlah kami untuk menunjukkan kepada segenap pembaca sebuah penafsiran aneh bin ajaib yang dilakukan oleh para penyusun buku Ilusi yang telah berulang kali kita singgung dalam tulisan ini. Sebuah penafsiran yang lebih tepat disebut sebagai pemerkosaan terhadap dalil agama yang suci dan suatu kekeliruan fatal dalam memahami maksud firman Allah dan sabda Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Satu bukti ini saja sudah cukup membuktikan kepada kita seperti apa sebenarnya pemahaman mereka tentang aqidah Islam. Allahul musta’aan
Mereka -dengan tanpa rasa malu- memberikan penjelasan sebagai berikut: “Dalam hubungannya dengan agama-agama lain, dengan indah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen– menuturkan, “Nahnu abna’u ‘allat, abuna wahid wa ummuna syatta” (Kami [para rasul] adalah anak-anak para istri dari seorang laki-laki, ayah kami satu namun ibu kami banyak). Dalam keluarga umat manusia, para rasul mempunyai ayah (agama) yang sama yakni Islam (dalam arti berserah diri kepada Tuhan), namun mempunyai ibu (syi’rah wa minhaj) yang banyak/berbeda-beda.” Kemudian mereka menyimpulkan hadits itu dengan licik, “Ini adalah pengakuan atas pluralisme, dan inilah yang ditolak oleh kelompok garis keras.” (lihat Ilusi Negara Islam, hal. 102-103)
Penjelasan di atas mengandung banyak kontradiksi dan kerancuan, di antaranya:
Kerancuan Pertama:
Mereka membawakan hadits tersebut dalam konteks hubungan Islam dengan agama-agama lain. Padahal, sebagaimana bisa kita saksikan bersama bahwa sesungguhnya hadits tersebut tidak membicarakan hubungan antara Islam dengan agama-agama lain. Karena sebagaimana disebutkan dalam hadits ini -mungkin mereka enggan untuk menampilkannya secara tegas dan lengkap- bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama kami -para rasul- adalah satu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dari sini kita mengetahui bahwa hadits ini berbicara mengenai agama para nabi itu adalah Islam, walaupun syari’atnya berlainan, namun pokoknya adalah sama yaitu tauhid (silahkan baca juga QS. an-Nahl: 36). Jadi, hadits ini bukan berbicara tentang agama selain Islam.
Kerancuan Kedua:
Penyelewengan penafsiran di atas tidak lain muncul dari kerancuan mereka dalam memahami makna Islam. Oleh sebab itu mereka memberikan penjelasan di dalam tanda kurung tentang Islam yang menjadi agama para rasul itu, dalam pandangan mereka. Islam, dalam arti berserah diri kepada Tuhan, demikian penafsiran mereka. Inilah kebiasaan buruk para pemuja pemikiran liberal! Mereka menuduh orang lain kaku dan tekstualis dalam menafsirkan dalil. Sementara dalam kasus-kasus tertentu, mereka justru lebih tekstualis dan lebih kaku dalam memahami dalil.
Lihatlah, dalam memaknai Islam di sini mereka mencukupkan diri dengan makna bahasanya saja. Yaitu Islam dengan pengertian berserah diri kepada Tuhan, sebuah penafsiran yang teramat sempit dan bahkan tidak jelas. Konsekuensi dari penafsiran mereka ini adalah pemeluk agama apa pun adalah muslim, selama mereka berserah diri kepada Tuhan. Padahal, kalau kita mau sedikit saja membuka cakrawala, menelaah ayat-ayat dan hadits-hadits lain, atau kalau sempat ya membaca tafsir para ulama kita terdahulu, akan tampak dengan jelas bagi kita bahwa yang dimaksud dengan Islam di sini bukan sekedar berserah diri kepada Tuhan!
Dalam al-Qur’an, ayat semacam itu banyak kita temukan. Di antaranya sudah kami sebutkan di depan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus sebelum kamu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya; bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Aku (Allah), oleh sebab itu sembahlah Aku (saja).”(QS. al-Anbiya’: 25). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat, seorang rasul -yang mengajak-; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut/sesembahan selain Allah.” (QS. an-Nahl: 36). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima, dan dia di akhirat akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran: 85)
Demikian pula di dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan kita temukan penjelasan-penjelasan yang gamblang tentang apa hakikat dari Islam yang sekarang ini diwajibkan -bukan dipaksakan- oleh Allah ta’ala kepada umat manusia. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidaklah seorang pun di antara umat ini yang mendengar kenabianku, entah dia beragama Yahudi atau Nasrani, kemudian dia meninggal dalam keadaan tidak mengimani ajaran [Islam] yang aku bawa, kecuali dia pasti termasuk penghuni Neraka.” (HR. Muslim). Demikian pula ketika Jibril datang kepada Nabi kemudian menanyakan tentang makna Islam, Iman, dan Ihsan. Semuanya telah diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan gamblang. Sudah selayaknya para cendekiawan itu kembali merenungi perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan lebih mempercayainya daripada ucapan kaum Orientalis dan para pakar filsafat yang senantiasa dirundung oleh keragu-raguan.
Demikian pula di dalam tafsir para ulama tentang Shirathal Mustaqim (jalan yang lurus). Akan kita dapati bahwa hakikat jalan yang lurus itu -pada zaman kita sekarang ini- hanya ada pada agama Islam yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara penafsiran Shirathul Mustaqim yang disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir adalah: [1] Mengikuti Allah dan Rasul, [2] Ibnu Abbas menjelaskan bahwa jalan yang lurus itu adalah Kitabullah (al-Qur’an), [3] Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan para sahabat yang lain mengatakan bahwa maksudnya adalah agama Islam, [4] Mujahid menafsirkan jalan yang lurus itu dengan kebenaran, [5] Menurut Abul ‘Aliyah, maksudnya adalah jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua sahabatnya -Abu Bakar dan Umar-. Semua penafsiran ini adalah benar dan tidak bertentangan. Bahkan, di dalam hadits yang sahih telah ditegaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Yahudi sebagai golongan yang dimurkai/al-maghdhubi ‘alaihim, sedangkan Nasrani sebagai golongan yang sesat/adh-dhallin (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/36-39])
Kerancuan Ketiga:
Mereka -setelah terjatuh dalam berbagai kerancuan- akhirnya menarik sebuah kesimpulan yang merupakan komplikasi akibat kerancuan-kerancuan yang mengendap sebelumnya, bahwa hadits tersebut -para nabi itu saudara seayah dan berbeda ibu- menjadi sebuah pengakuan (pembenaran) atas pluralisme yang mereka gembar-gemborkan dengan segala pengorbanan. Sungguh memalukan, sekaligus realita yang teramat pahit dan memilukan! Lalu siapakah sebenarnya orang yang rela menjual agamanya kalau demikian kenyataannya?
Sebagai penutup, ada sedikit pesan untuk para pemuda yang begitu bersemangat membela Islam dan bertekad untuk menerapkannya di segala lini kehidupan namun tidak mengikuti manhaj Salafus Shalih dalam dakwahnya. Ketahuilah, bahwa kesan negatif yang muncul mengenai dakwah Islam itu -berupa kekerasan dan sikap-sikap yang tidak bijak- adalah realita yang tidak bisa kita pungkiri muncul dari sebagian kaum muslimin yang tidak paham terhadap ajaran agamanya. Padahal, jika kita tulus dan serius mengikuti jalan tauhid ini niscaya kita akan menemukan wajah Islam yang sesungguhnya. Wajah yang mulia dan membuat bangga pemeluknya. Allahul musta’aan

Diabolisme Intelektual 

Diábolos adalah 'iblis. Sebagaimana kita ketahui, ia dikutuk dan dihalau karena menolak perintah Tuhan dan bersujud kepada Adam. Tapi dia bukan atheist atau ragu pada Tuhan
Oleh Dr. Syamsuddin Arif,MA *
Diábolos adalah Iblis dalam bahasa Yunani kuno, menurut A. Jeffery dalam bukunya the Foreign Vocabulary of the Qur'an, cetakan Baroda 1938, hlm. 48. Maka istilah "diabolisme"berarti pemikiran, watak dan perilaku ala Iblis ataupun pengabdian padanya. Dalam kitab suci al-Qur'an dinyatakan bahwa Iblis termasuk bangsa jin (18:50), yang diciptakan dari api (15:27). Sebagaimana kita ketahui, ia dikutuk dan dihalau karena menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam. Apakah Iblis atheist? Tidak. Apakah ia agnostik?Tidak. Iblis tidak mengingkari adanya Tuhan. Iblis tidak meragukan wujud maupun ketunggalan-Nya. Iblis bukan tidak kenal Tuhan. Ia tahu dan percaya seratus persen. Lalu mengapa ia dilaknat dan disebut 'kafir'? Di sinilah letak persoalannya.
Kenal dan tahu saja, tidak cukup. Percaya dan mengakui saja, tidak cukup. Mereka yang kafir dari kalangan Ahli Kitab pun kenal dan tahu persis siapa dan bagaimana terpercayanya Rasulullah SAW, sebagaimana orangtua mengenali anak kandungnya sendiri (ya'rifunahu kama ya'rifuna abna'ahum). Namun tetap saja mereka enggan masuk Islam.
Jelaslah bahwa pengetahuan, kepercayaan, dan pernyataan harus disertai dengan kepatuhan dan ketundukan, harus diikuti dengan kesediaan dan kemauan untuk merendah, menurut dan melaksanakan perintah. "Knowledge and recognition should be followed by acknowledgement and submission, " tegas Profesor Naquib al-Attas.
Kesalahan Iblis bukan karena ia tak tahu atau tak berilmu. Kesalahannya karena ia membangkang (aba, QS 2:34, 15:31, 20:116), menganggap dirinya hebat (istakbara, QS 2:34, 38:73, 38:75), dan melawan perintah Tuhan (fasaqa ?an amri rabbihi, QS 18:50). Dalam hal ini, Iblis tidak sendirian. Sudah banyak orang yang berhasil direkrut sebagai staf dan kroninya, berpikiran dan berprilaku seperti yang dicontohkannya.
Iblis adalah 'prototype' intelektual 'keblinger'. Sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur'an, sejurus setelah ia divonis, Iblis mohon agar ajalnya ditangguhkan. Dikabulkan dan dibebaskan untuk sementara waktu, ia pun bersumpah untuk menyeret orang lain ke jalannya, dengan segala cara.
"Hasutlah siapa saja yang kau bisa dari kalangan mereka dengan seruanmu. Kerahkan seluruh pasukanmu, kavalri maupun infantri. Menyusuplah dalam urusan keuangan dan keluarga mereka. Janjikan mereka [kenikmatan dan keselamatan]!" Demikian difirmankan kepada Iblis (QS 17:64).
Maka Iblis pun bertekad: "Sungguh akan kuhalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Akan kudatangi mereka dari arah depan dan belakang, dari sebelah kanan dan kiri mereka!" (QS 7:16-17). Maksudnya, menurut Ibnu ?Abbas ra, Iblis bertekad untuk menyesatkan orang dengan menebar keraguan, membuat orang ragu dan lupa pada akhirat, alergi dan anti terhadap kebaikan dan kebenaran, gandrung dan tergila-gila pada dunia, hobi dan cuek berbuat dosa, ragu dan bingung soal agama (Lihat: Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-?Az?im, cetakan Beirut, al-Maktabah al-?As?riyyah, 1995, vol. 2, hlm. 190).
Tidak sulit untuk mengidentifikasi cendekiawan bermental Iblis. Sebab, ciri-cirinya telah cukup diterangkan dalam al-Qur'an sebagai berikut. Pertama, selalu membangkang dan membantah (6:121). Meskipun ia kenal, tahu dan faham, namun tidak akan pernah mau menerima kebenaran. Seperti ingkarnya Fir'aun berikut hulu-balangnya, zulman wa 'uluwwan, meskipun dan padahal hati kecilnya mengakui dan meyakini (wa istayqanat-ha anfusuhum).
Maka selalu dicarinya argumen untuk menyanggah dan menolak kebenaran demi mempertahankan opininya. Sebab, yang penting baginya bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran. Jadi, bukan karena ia tak tahu mana yang benar, tetapi karena ia memang tidak mau mengikuti dan tunduk pada kebenaran itu. Jadi jangan heran bila selalu saja ada cendekiawan yang meskipun nota bene Muslim, namun sifatnya seperti itu. Ideologi dan opini pemikirannya yang liar lebih ia pentingkan dan ia pertahankan ketimbang kebenaran dan aqidah Islamnya.
Dalam tradisi keilmuan Islam, sikap membangkang semacam ini disebut juga al-'inadiyyah (Lihat: Abu Hafs Najmuddin Umar ibn Muhammad an-Nasafi (w. 537 H/1142 M), al-'Aqa'id, dalam Majmu? min Muhimmat al-Mutun, Kairo: al-Matba'ah al-Khayriyyah, 1306 H, hlm. 19).
Kedua, intelektual diabolik bersikap takabbur (sombong, angkuh, congkak, arrogans). Pengertian takabbur ini dijelaskan dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (no.147): "Sombong ialah menolak yang haq dan meremehkan orang lain (al-kibru batarul-haqq wa ghamtu n-nas)".
Akibatnya, orang yang mengikuti kebenaran sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur'an atau hadis Nabi SAW dianggapnya dogmatis, literalis, logosentris, fundamentalis, konservatif dan lain sebagainya.
Sebaliknya, orang yang berpikiran liberal, berpandangan relativistik dan skeptis, menghujat al-Qur'an maupun Hadis, meragukan dan menolak kebenarannya, justru disanjung sebagai intelektual kritis, reformis dan sebagainyameskipun terbukti zindiq, heretik dan bermental Iblis.
Mereka bermuka dua, menggunakan standar ganda (2:14). Mereka menganggap orang beriman itu bodoh, padahal merekalah yang bodoh dan dungu (sufaha'). Intelektual semacam inilah yang diancam Allah dalam al-Qur'an : "Akan Aku palingkan mereka yang arogan tanpa kebenaran itu dari ayat-ayat-Ku. Sehingga, meskipun menyaksikan setiap ayat, tetap saja mereka tidak akan mempercayainya. Dan kalaupun melihat jalan kebenaran, mereka tidak akan mau menempuhnya. Namun jika melihat jalan kesesatan, mereka justru menelusurinya" (7:146).
Ciri yang ketiga ialah mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran (talbis wa kitman al-haqq). Cendekiawan diabolik bukan tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Namun ia sengaja memutarbalikkan data dan fakta. Yang batil dipoles dan dikemas sedemikian rupa sehingga nampak seolah-olah haq.
Sebaliknya, yang haq digunting dan di'preteli' sehingga kelihatan seperti batil. Ataupun dicampur-aduk dua-duanya sehingga tidak jelas lagi beda antara yang benar dan yang salah. Strategi semacam ini memang sangat efektif untuk membuat orang lain bingung dan terkecoh.
Contohnya seperti yang dilakukan oleh para pengasong gagasan inklusivisme dan pluralisme agama. Mereka mengutip ayat-ayat al-Qur'an (2:62 dan 5:69) untuk menjustifikasi pemikiran liarnya, untuk mengatakan semua agama adalah sama, tanpa mempedulikan konteks siyaq, sibaq dan lihaq maupun tafsir bi l-ma'tsur dari ayat-ayat tersebut.
Sama halnya yang dilakukan oleh para orientalis Barat dalam kajian mereka terhadap al-Qur'an dan Hadis. Mereka mempersoalkan dan membesar-besarkan perkara-perkara kecil, mengutak-atik yang sudah jelas dan tuntas, sambil mendistorsi dan memanipulasi (tahrif) sumber-sumber yang ada. Hal ini tidak terlalu mengejutkan, mengingat kebanyakan mereka adalah Yahudi dan Nasrani yang karakternya telah dijelaskan dalam al-Qur'an 3:71, "Ya ahla l-kitab lima talbisuna l-haqq bi l-batil wa taktumu l-haqq wa antum ta'lamun?" Yang sangat mengherankan ialah ketika hal yang sama dilakukan oleh mereka yang zahirnya Muslim.             
Karena watak dan peran yang dilakoninya itu, Iblis disebut juga Setan (syaytan), kemungkinan dari bahasa Ibrani 'syatan', yang artinya lawan atau musuh (Lihat: W. Gesenius, Lexicon Manuale Hebraicum et Chaldaicum in Veteris Testamenti Libros). Dalam al-Qur'an memang ditegaskan bahwa setan adalah musuh nyata manusia (12:5, 17:53 dan 35:6). Selain pembangkang ('asiyy), setan berwatak jahat, liar, dan kurang ajar (marid dan marid). Untuk menggelincirkan (istazalla), menjerumuskan (yughwi) dan menyesatkan (yudillu) orang, setan juga memakai strategi. Caranya dengan menyusup dan mempengaruhi (yatakhabbat), merasuk dan merusak (yanzagh), menaklukkan (istahwa) dan menguasai (istah'wadza), menghalang-halangi (yasudd) dan menakut-nakuti (yukhawwif), merekomendasi (sawwala) dan menggiring (ta'uzz), menyeru (yad'u) dan menjebak (yaftin), menciptakan imej positif untuk kebatilan (zayyana lahum a'malahum), membisikkan hal-hal negatif ke dalam hati dan pikiran seseorang (yuwaswis), menjanjikan dan memberikan iming-iming (ya'iduhum wa yumannihim), memperdaya dengan tipu muslihat (dalla bi-ghurur), membuat orang lupa dan lalai (yunsi), menyulut konflik dan kebencian (yuqi'u l-'adawah wa l-baghda'), menganjurkan perbuatan maksiat dan amoral (ya'mur bi l-fahsya' wa l-munkar) serta menyuruh orang supaya kafir (qala li l-insani-kfur).
Nah, trik-trik inilah yang juga dipraktekan oleh antek-antek dan konco-konconya dari kalangan cendekiawan dan ilmuwan. Mereka disebut awliya' al-syaytan (4:76), ikhwan al-syaytan (3:175), hizb al-syaytan (58:19) dan junudu Iblis (26:94). Mereka menikam agama dan mempropagandakan pemikiran liar atas nama hak asasi manusia (HAM), kebebasan berekspresi, demokrasi, pembaharuan, pencerahan ataupun penyegaran.
Semua ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru atau pertama kali terjadi, seperti segera diketahui oleh setiap orang yang membaca sejarah pemikiran Islam. Semuanya merupakan repetisi dan reproduksi belaka. History repeats itself, kata pepatah bule. Hanya pelakonnya yang beda, namun karakter dan perannya sama saja. Ada Fir'aun dan ada Musa as. Muncul Suhrawardi al-Maqtul, tetapi ada Ibn Taymiyyah. Lalu lahir Hamzah Fansuri,  namun datang ar-Raniri, dan seterusnya.
Al-Qur'an pun telah mensinyalir: "Memang ada manusia-manusia yang kesukaannya berargumentasi, menghujat Allah tanpa ilmu, dan menjadi pengikut setan yang durhaka. Telah ditetapkan atasnya, bahwa siapa saja yang menjadikannya sebagai kawan, maka akan disesatkan olehnya dan dibimbingnya ke neraka" (22:3-4). Maka kaum beriman diingatkan agar senantiasa menyadari bahwa "sesungguhnya setan-setan itu mewahyukan kepada kroninya untuk menyeret kalian ke dalam pertengkaran. Jika dituruti, kalian akan menjadi orang-orang yang musyrik" (6:121). Ini tidak berarti kita dilarang berpikir atau berijtihad. Berpendapat boleh saja, asal dengan ilmu dan adab. Wallahu a'lam
*Penulis adalah peneliti INSISTS, kini menempuh program doktor keduanya di Universitas Frankfurt, Jerman

Tragedi Adopsi Peradaban Barat

Adopsi peradaban dan kebudayaan Barat adalah sesuatu yang lumrah. Faktanya, ilmuwan banyak terkooptasi oleh peradaban Barat. Bahkan memaksakannya sebagai pandangan hidup  


Hamid Fahmy Zarkasyi, MA, Phil * 


Suatu hal lumrah jika kebudayaan yang mundur akan belajar dari kebudayaan yang maju. Dan adalah alami jika suatu kebudayaan yang terbelakang mengadopsi konsep-konsep kebudayaan yang lebih maju. Tidak ada kebudayaan di dunia ini yang berkembang tanpa proses interaksi dengan kebudayaan asing. Ketika peradaban Islam unggul dibanding peradaban Eropa, misalnya, mereka telah meminjam konsep-konsep penting dalam Islam. 

Akan tetapi, tidak berarti bahwa semua kebudayaan dapat mengambil semua konsep dari kebudayaan lain. Setiap kebudayaan memiliki identitas, nilai, konsep dan ideologinya sendiri-sendiri yang disebut dengan worldview (pandangan hidup). 

Suatu kebudayaan dapat meminjam konsep-konsep kebudayaan lain karena memiliki pandangan hidup. Namun suatu kebudayaan tidak dapat meminjam sepenuhnya (mengadopsi) konsep-konsep kebudayaan lain, sebab dengan begitu ia akan kehilangan identitasnya. 

Peminjaman konsep dari suatu kebudayaan mengharuskan adanya proses integrasi dan internalisasi konseptual. Namun dalam proses itu, unsur-unsur pokoknya berperan sebagai filter yang menentukan diterima tidaknya suatu konsep. Hal ini berlaku dalam sejarah pemikiran dan peradaban Islam, yaitu ketika Islam meminjam khazanah pemikiran Yunani, India, Persia, dan lain-lain. Pelajaran yang penting dicatat dalam hal ini bahwa ketika para ulama meminjam konsep-konsep asing, mereka berusaha mengintegrasikan konsep-konsep asing ke dalam pandangan hidup Islam dengan asas pandangan hidup Islam. Memang, proses ini tidak bisa berlangsung sekali jadi. Perlu proses koreksi-mengoreksi dan itu berlangsung dari generasi ke generasi. 

Di era modern dan post-modern sekarang ini, pemikiran dan kebudayaan Barat mengungguli kebudayaan-kebudayaan lain, termasuk peradaban Islam. Namun tradisi pinjam-meminjam yang terjadi telah bergeser menjadi proses “adopsi”, yakni mengambil penuh konsep-konsep asing, khususnya Barat, tanpa proses adaptasi atau integrasi. Apa yang dimaksud dengan konsep di sini bukan dalam kaitannya dengan sains dan teknologi yang bersifat eksak, tetapi lebih berkaitan dengan konsep keilmuan, kebudayaan, sosial, dan bahkan keagamaan. 

Dalam konteks pembangunan peradaban Islam sekarang ini, proses adaptasi pemikiran merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Namun sebelum melakukan hal itu diperlukan suatu kemampuan untuk menguasai pandangan hidup Islam dan sekaligus Barat, esensi peradaban Islam dan kebudayaan Barat. Dengan demikian, seorang cendekiawan dapat berlaku adil terhadap keduanya. 

Adil, artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya atau dalam hal ini didahului dengan mengambil sesuatu dari tempat asalnya. Jika ini didasarkan pada asumsi bahwa konsep-konsep dalam peradaban asing (baca: Barat) adalah hikmah Islam yang hilang, maka seseorang pemikir Muslim harus terlebih dahulu mempelajari tempat asal hikmah tersebut dan tempat dimana hikmah itu hilang, sebelum mengambilnya kembali. 

Esensi Kebudayaan Barat 

Kebudayaan Barat (Western Civilization) berkembang mewarisi unsur-unsur kebudayaan Yunani Kuno, Romawi, dan unsur-unsur lain dari budaya bangsa-bangsa Eropa, khususnya Jerman, Inggris, dan Prancis. Sebagian penulis, seperti Samuel Huntington, memasukkan agama (religion)--dalam hal ini Kristen--sebagai unsur penting yang membentuk kebudayaan Barat. Demikian ditulis dalam buku populernya The Clash of Civilizations and Remaking of World Order (1996). 

Mungkin itulah di antara sebabnya mengapa Huntington yang dalam bukunya itu lebih banyak menguraikan soal kebudayaan dalam dimensi politis, mencoba menyeret konflik antara Islam dengan Kristen. Namun, kesimpulan Huntington itu patut diragukan. Kristen di Barat, faktanya, lebih banyak terkooptasi oleh peradaban Barat (westernized). Berbagai konsep teologi dan upacara ritual Kristen bahkan sudah menjadi “Barat”. Pusat agama ini pun bukan lagi di tempat kelahirannya (Palestina), tetapi sudah berpindah ke Barat. Di Barat sendiri kalangan agamawan Kristen juga suka dengan asumsi “Barat itu Kristen”. 

Barat dengan filsafat dan kebudayaannya memiliki karakternya tersendiri. Menurut Profesor Naquib al-Attas, peradaban Barat memiliki sejumlah ciri. Pertama, berdasarkan filsafat dan bukan agama. Kedua, filsafat itu menjelma menjadi humanisme yang meneriakkan dengan lantang prinsip dikotomi sebagai nilai dan kebenaran. Ketiga, berdasarkan pandangan hidup yang tragis. Artinya, manusia adalah tokoh dalam drama kehidupan di dunia. Pahlawannya adalah tokoh-tokoh yang bernasib tragis. 

Prinsip tragedi ini disebabkan oleh kekosongan kepercayaan (iman) dan karenanya mereka memandang kehidupan secara dikotomis. Konsep ini berujung pada keresahan jiwa, selalu mencari sesuatu yang tiada akhir, mencari suatu kebenaran tanpa asas kebenaran atau prinsip kebenaran mutlak. (al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, ISTAC, 2001). 

Itulah Barat yang filsafat, sainstek, dan ekonominya sedang merajai pentas sejarah dunia. Budayanya menyebar bagai gelombang melalui berbagai gerakan kultural; filsafatnya dipahami secara luas melalui pendidikan dan pembangunan sumber daya manusia; sains dan teknologinya dikagumi dan ditiru bagi pembangunan sarana dan prasarana kehidupan manusia. 

Gelombang kebudayaan Barat yang disebut dengan modernisme itu pada mulanya mencerminkan gaya hidup elitis, tapi kini disebut dengan postmodernisme yang bersifat populis. Secara konseptual dampaknya dahsyat. Ia tidak saja mampu mengubah konsep sejarah secara agressif, tapi juga mengubah sikap orang terhadap agama menjadi skeptis. Agama dan kitabnya diposisikan hanya sebagai suatu bentuk “narasi besar” (grand narrative) yang kering, profan, dan dapat dipermainkan melalui bahasa dan imajinasi liar yang mencampuradukkan realitas dan fantasi. Postmodernisme sebenarnya tidak lain dari sekularisme yang tampil dengan wajah baru yang “pusat gravitasinya” adalah pandangan hidup Barat(Western worldview).* 

Cengkeraman Orientalis 

Dalam bidang pemikiran Islam, pengaruh p andangan hidup Barat dapat ditelusuri melalui sejarah panjang orientalisme yang sebenarnya tidak lepas dari misi kolonialisme dankristenisasi. Bahkan awalnya dapat ditelusuri dari proses transmisi khazanah pemikiran Islam ke Barat melalui penerjemahan karya-karya filosof Muslim pada abad ke-8 dan 9 ke dalam bahasa Latin. Tokoh-tokohnya adalah para teolog Kristen seperti Charles Bernet, Peter Pivortim, Robert Charter, Bruno, dan lain-lain. 

Itu pula yang terjadi dalam penerjemahan Al-Qur`an ke dalam bahasa Latin. Ini dimulai pada tahun 1143 M oleh Robertus Retasensis atas arahan Peter the Venerable, Kepala Gereja Clugny. Pekerjaan ini segera diikuti oleh penerjemahan dan penulisan buku-buku Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan sains. Khazanah ilmu pengetahuan Islam ini ditransfer ke dalam alam pikiran Barat dan tanpa menyebut sumbernya. 

Bahkan Thomas Aquinas jelas-jelas terbukti menjiplak beberapa fragmen pemikiran Al-Farabi hanya dengan mengedit beberapa kata. David Hume memodifikasi doktrin kausalitas Al-Ghazzali menjadi bersifat atheistik. 

Terjadilah proses westernisasi (pem-Barat-an) besar-besaran, persis seperti ketika ulama-ulama Islam mentransfer beberapa pemikiran Yunani dengan proses Islamisasinya. Ini berarti bahwa orang-orang Barat-Kristen itu memahami Islam berdasarkan pandangan hidup mereka. Usaha pembaratan itu meliputi konsep-konsep dan istilah penting dan bahkan pembaratan nama-nama Islam. Nama Ibn Sina diubah menjadi Avicenna, Ibn Rushd menjadi Averroes, Al-Ghazzali menjadi Algazel, Al-Jabr menjadi Algebra, dan banyak lagi. 

Hal di atas hanyalah sedikit contoh betapa Islam yang ditransfer ke Barat telah diubah atau dipahami secara berbeda dari aslinya. Tidak mengherankan jika dari karya-karya mereka itu Islam digambarkan dengan sangat negatif. Dan ciri-ciri itu masih tetap melekat pada karya-karya para orientalis di zaman modern ini. Lihat saja karya-karya seperti Approach to the History of the Interpretation of the Qur'an oleh Andrew Rippin, Qur'anic Studies: Sources and Methods of Interpretation oleh John Wansbrough, The Origin of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht; Islamic Creed oleh MW Watt, dan lain-lain. 

Sebagai contoh adalah buku Islamic Fundamentalism and Modernity tulisan Watt. Ia menyatakan bahwa agar terbebas dari kesalahan dan kepalsuan, dan untuk memposisikan secara benar Islam di tengah dunia kontemporer, maka rekonstruksi intelektual pandangan hidup Islam adalah suatu keharusan. Rekonstruksi pandangan hidup Islam adalah pernyataan berunsur pembaharuan dan boleh jadi menarik minat cendekiawan Muslim. Namun sejatinya ia penuh bias. 

Lebih jauh Watt mengatakan, “… dan untuk itu hal-hal yang tidak penting dan sekunder dalam masalah keimanan harus dibuang.” Ternyata , apa yang bagi Watt tidak penting itu adalah pengingkaran Al-Qur`an tentang penyaliban dan kematian di tiang salib, dianggap kesalahan sejarah dan tidak penting. 

Richard Bell, penulis Introduction to the Qur`an, membuat susunan Al-Qur`an sesuai dengan turunnya ayat-ayat itu dan kemudian mengkritik bahwa Al-Qur`an adalah karangan Nabi Muhammad. Alasannya, susunan yang sekarang ini atas perintah Muhammad, bukan berdasarkan pada kronologi diwahyukannya. 

Sekarang ini, framework (cara pandang) orientalis terhadap Islam yang seperti itu sangat dominan dalam program kajian Islam di beberapa universitas Barat. 

Padahal di situlah banyak calon sarjana Muslim belajar. Pemikiran para orientalis dengan framework seperti itu kemudian dijadikan referensi yang sederajat dengan ulama-ulama dalam tradisi Islam. 

Demikianlah selanjutnya, bola salju cengkeraman cara pandang ini terus bergulir bersama angin westernisasi, sekularisasi, dan liberalisasi dalam bidang-bidang lain. Warna orientalis itu nampak pada beberapa cendekiawan Muslim alumni lembaga pendidikan Barat atau murid alumni Barat. Pendekatan kajian Islam yang bersifat dikotomis memisahkan antara yang historis dan normatif, antara tekstual dan kontekstual, subjektif-objektif, ideal-real adalah asli cara pandang Barat. 

Kondisi di aras berengaruh pada tataran konsep berupa timbulnya tumpang tindih antara konsep Islam dan Barat yang bermuara pada kebingungan intelektual (intellectual confusion). Sebagai contoh, demokrasi dianggap sama dengan syura, al-din disamakan dengan religi, masyarakat madani dianggap sama dengan civil society, insan kamil disamakan dengan warga negara yang baik, tajdid dianggap sama dengan modernisasi/rasionalisasi, dan sebagainya. 

Tidak cukup hanya sebatas pengacauan konsep, kini Barat maju beberapa langkah lagi dengan memperkenalkan ide pluralisme agama (religious pluralism), kesatuan transendental agama-agama (transcendent unity of religions), yang didukung oleh konsep global ethic dan dipacu oleh dialog antar-agama, gender, feminisme, dan lain-lain. 

Framework Islam 

Contoh di atas hanyalah simplifikasi persoalan dan dapat dijelaskan lebih komprehensif. Memang masalahnya tidak sederhana, karena orientalisme itu telah mentradisi dan kebanyakan tulisan mereka memenuhi standard kersarjanaan modern yang diakui. 

Tugas kaum Muslim sekarang di samping merespon mereka secara akademis dengan sikap kritis, juga mengembangkan cara pandang kita sendiri. Meski tetap harus bersikap apresiatif dan bahkan dapat memanfaatkan hasil-hasil riset para orientalis itu yang positif. Lebih-lebih dalam men-takhrij suatu makhtutat (manuskrip) yang kini masih sangat jarang dilakukan sarjana-sarjana Muslim, padahal jumlah makhtutat itu ada ratusan ribu. Yang penting di sini adalah perlunya kesadaran dalam diri kita bahwa ummat Islam dengan pandangan hidupnya memiliki cara pandang yang berbeda dari para orientalis. 

Mengkaji Islam dengan cara pandang Islam sendiri tidak cukup dengan artikel-artikel atau wacana-wacana lepas dan dialog serta seminar di media massa yang hanya bersifat gagasan awal yang belum siap secara konseptual. 

Ia memerlukan suatu kerja ilmiah yang serius dalam suatu lembaga kajian yang profesional-akademis, yang di dalamnya dikaji esensi pandangan hidup Islam, tradisi-tradisi intelektualnya yang telah berkembang puluhan abad lamanya, dan konsep-konsep pemikiran ulama dalam berbagai bidang yang telah berhasil membentuk bangunan peradaban yang kokoh itu. Dari situ dengan sikap kreatif dan progesif dapat dikembangkan cara pandang pemikiran Islam yang sarat dengan konsep-konsep baru dalam berbagai bidang yang dihajatkan oleh ummat saat ini. 

Perlu pula dikaji esensi dan karakter kebudayaan Barat yang kini menjadi fenomena yang persuasif dalam cara berpikir ummat Islam. Esensi kebudayaan Barat yang berasaskan pada filsafat itu perlu dibedakan dengan peradaban Islam yang berlandaskan pada wahyu. 

Perbedaan dan pembedaan Islam dan Barat perlu dilakukan secara konsisten, agar dapat mengenali asal-usul suatu konsep dan pemikiran, untuk kemudian mengetahui proses ilmiah selanjutnya, apakah harus diadopsi atau ditolak. Inilah yang disebut dengan proses Islamisasi yang sesungguhnya. 

Islamisasi pada level epistemologis berarti pengislaman cara berpikir kita dalam memahami objek ilmu (al-ma'lum) dengan meletakkan realitas dan kebenaran dalam suatu kesatuan tauhidi. Pada level kultural dapat berbentuk adaptasi pemikiran luar dengan cara pandang hidup Islam. Jika ini dikembangkan di kalangan cendekiawan Muslim, maka kita tidak perlu lagi bersikap anti pemikiran Barat pada dataran emosi, tapi cenderung kritis pada level intelektual. 

* Penulis adalah Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) dan Pemimpin Redaksi Jurnal Islamia. Makalah disampaikan dalam Diskusi dan Tasyakuran Dr Syamsuddin Arif di Hotel Sofyan Cikini, Jakarta, tanggal 31 Juli 2004.
http://pustaka.islamnet.web.id/Bahtsul_Masaail/Artikel/JIL/www.nojil.8m.net/tragedi.html