140 Ulama Saudi Ajak Umat Waspadai Makar Syiah Iran Di
Negeri-Negeri Kaum Muslimin ( VS 10 Poin Deklarasi Jakarta Dimotori Super
Cendekiawan Syiah/Sepilis Yang Mengajak Berasyik-Masyuk Dengan Syiah )
Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Rafidhah (Syiah)
adalah kelompok yang tidak memiliki andil apa pun selain menghancurkan
Islam, memutuskan ikatannya, dan merusak kaidah-kaidahnya.” (Minhajus
Sunnah an-Nabawiyyah)
Sejarah telah mencatat bahwa kelompok Syiah begitu fanatik
kepada Persia yang memusuhi bangsa Arab. Oleh karena itu, sangat
besar kebencian mereka kepada sahabat Umar Ibnu Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Sebab, di
masa kekhalifahannya negara Persia itu ditaklukkan. Bahkan, hingga hari
ini Syiah selalu merayakan hari-hari besar yang merupakan budaya
Persia, seperti Norouz atau Nowruz.
Kelompok Syiah telah banyak merugikan Islam. Mereka benci luar
biasa kepada Ahlus Sunnah. Cukuplah menjadi bukti dan diketahui bahwa
tiga ratus ribu jiwa dari kalangan Ahlus Sunnah yang ada di
Teheran, ibukota Iran, tidak memiliki satu pun masjid.
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya penyebab
utama fitnah (kejelekan) dan bencana itu adalah Syiah dan yang
bergabung bersamanya. Mayoritas pedang yang terhunus di dalam (sejarah)
Islam adalah dari arah mereka. Kezindiqan (kemunafikan) telah
menyelimuti mereka. Kelompok Syiah memberikan loyalitas kepada musuh
agama ini—musuh agama yang diketahui oleh setiap orang—yaitu
Yahudi, Nasrani, dan musyrikin. Mereka malah memusuhi wali-wali Allah Ta’ala, orang-orang pilihan yang menganut agama
ini dan orang-orang yang bertakwa….
Selain itu, kelompok Syiah mempunyai andil
besar ketika dahulu orang-orang Nasrani menguasai Baitul Maqdis, hingga
akhirnya kaum muslimin dapat meraihnya kembali.” (Minhajus Sunnah)
Demi menguatkan eksistensinya di tengah-tengah kaum muslimin, dan
agar dianggap sebagai salah satu mazhab yang diterima di dalam Islam,
Syiah melakukan berbagai makar dan tipu daya. Salah satunya adalah
dengan membuka kesempatan bagi para pemuda untuk melanjutkan studinya ke
Qum, Iran. Bahkan, Pemerintah Iran
menyediakan beasiswa untuk pelajar Indonesia.
Pada 15 April 2005, website nuonline.com memberitakan bahwa
Pemerintah Iran menawarkan beasiswa kepada NU. Bahkan, telah ada MoU
ilegal yang ditandatangani oleh oknum petinggi NU. Namun, alhamdulillah,
pada 2011 Dewan Syuriah PBNU membatalkan MoU itu dengan alasan tidak ada
izin dari Dewan Syuriah terlebih dahulu.
Selain pemberian beasiswa, ada beberapa trik
dan strategi yang dijalankan dalam dakwah Syiah di Indonesia, antara lain:
1. Mengedepankan tema persatuan atau
ukhuwah Islamiah.
Dalam kajian-kajian, taklim, buku-buku, dan orasi, Syiah selalu
tidak meninggalkan tema ini.
Haidar Bagir misalnya, salah seorang pentolan Syiah,
pendiri penerbitan buku Syiah (Mizan), menulis tanggapan terhadap
orang-orang yang mengkritik Syiah di Indonesia, “Orang-orang yang
pandangannya didengar oleh para pengikut Syiah di negeri ini, hendaknya
mereka meyakinkan para pengikutnya untuk dapat membawa diri dengan sebaik-baiknya
serta mengutamakan persaudaraan dan toleransi terhadap saudara-saudaranya
yang merupakan mayoritas di negeri ini.”
(http://insistnet.com/menagih-janji-kaum-Syiah/, diakses
pada tanggal 03 Maret 2014)
Agar perkembangan Syiah berjalan mulus, Husein
al-Habsyi juga ikut mengampanyekan kerukunan umat. Ketika ditanya oleh
seorang mahasiswa di Yogyakarta, Husein pernah mengatakan, “Menjawab
pertanyaan saudara ini, saya kira mengafirkan sesama muslim, bukan saja
tidak dibenarkan oleh syariat Nabi Muhammad n tetapi juga tidak pantas dan
tidak menguntungkan, baik di pihak Syi’ah maupun Ahlus Sunnah, bahkan
bisa melemahkan keduanya. Siapa di antara kita kaum muslimin—apalagi saudara
mahasiswa ini—yang belum mendengar tentang kristenisasi yang galak dan
dahsyat seperti sekarang ini. Mereka sebelum ini sudah
bersatu dan segala aliran; Katolik, Protestan, Advent, ditambah
dengan kaum musyrikin, Zionis dan Yahudi, mereka semua sudah
bersatu, sedangkan kaum Nasrani bergabung dan satu dewan gereja….”
Husein juga mengatakan, “Sedangkan
kita—maaf—secara tidak sadar membantu mereka mengeluarkan saudara-saudara
dan generasi kita yang sekarang ini dari umat dan agama Islam. Jadi,
mereka akan mudah mengkristenkan kita, sedangkan kita mengkafirkan saudara
kita sendiri. Adakah fanatisme yang lebih berat daripada ini? Kita
sekarang ini tidak perlu Syiah atau Sunnah menjadi bahan gaduh di antara
kita, kaum muslimin. Kita perlu Islam yang bersumberkan al-Qur’an dan
al-Hadits diterapkan pada diri kita. Kita memerlukan ukhuwah,
memerlukan pengumpulan dana, serta seluruh masyarakat dan organinasi Islam
untuk menebus jutaan pemuda muslim yang sekarang di ambang pintu
Nasrani untuk dikristenkan.”
2. Menampilkan pustaka atau tokoh
Syiah dengan wajah Sunni.
Prof. Dr. Muhammad Baharun menulis, kitab-kitab seperti Muruj al-Dzahabi oleh
Ali bin Husein al-Masoudi, Kifayat al-Thalib fi Manaqib Ali bin Abi Thalib,
dan al-Bayan fi al-Akhbar Shaib
al-Zaman oleh Abu Abdillah Fakhruddin Muhammad
bin Yusuf al-Kanji, Syarh Nahj al-Balaghah oleh
Ibnu Abi al-Hadid, Syawahid al-Tanziloleh al-Hakim al-Kaskani,
dan Yanabi’ al-Mawaddah oleh Sulaiman bin Ibrahim al-Qanduzi, adalah
buku-buku Syiah. Pengarangnya mengaku Sunni agar bukunya dapat diakses
oleh pengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Kerap kali dijumpai, pengikut Syiah menolak mengaku sebagai
Syi’i. Akan tetapi, terkadang mereka lebih suka disebut pengikut mazhab
Ahlu Bait daripada pengikut Syiah. Beberapa acara publik terkadang menampilkan
tokoh yang tidak memiliki kapasitas, namun diminta untuk berbicara tentang
ukhuwah Sunnah-Syiah. Hal ini adalah taktik pengelabuan untuk menutupi
wajah Syiah yang sesungguhnya.
3. Memberikan imej netral dan melakukan pendekatan.
Hal ini dilakukan di antaranya melalui pendekatan akhlak, memberi
jasa bantuan dana, serta janji-janji kerjasama apabila umat
bersedia bergabung ke dalam institusi tertentu. Kini Syiah menggerakkan
dunia pendidikan, menyediakan dan menyelenggarakan training-training metode pendidikan.
Dengan dukungan aktivis liberal, digulirkan wacana Syiah dan Ahlus Sunnah
sama-sama, tidak boleh menyalahkan Syiah. Wacana yang dikedepankan adalah
Syiah itu sama-sama muslim. Perbedaan antara Syiah dan Ahlus Sunnah sebatas
perbedaan ijtihad politik.
Ketika muncul pro-kontra terkait berdirinya Majelis
Ukhuwah Sunni-Syiah Indonesia pada 17 Juli 2011, Jalaluddin
Rakhmat mengatakan, “Masalah ajaran itu masing-masing. Lakum dinukum wa liya din, bagimu agamamu bagiku
agamaku. Ingat menjalin ukhuwah Islamiah adalah perintah Allah l dalam
al-Qur’an.”
Dalam kesempatan lain, ia mengatakan, “Bila ada yang pro,
syukurilah. Kalau ada yang kontra, jangan jawab dengan permusuhan, namun
dengan amal shalih.” (http://news.detik.com/read/2011/07/17/172951/1682998/486/1/majelis-sunni-Syiah-dideklarasikan-di-jawa-barat)
4. Mengampanyekan keterbukaan pemikiran.
Suatu hari, Jalaluddin Rakhmat pernah ditanya tentang filosofi
di balik berdirinya Yayasan Muthahhari, yayasan yang menaungi SMU
Plus Muthahhari, Bandung.
Waktu itu ia menjawab, “Yayasan Muthahhari
tidak didirikan untuk menyebarkan Syiah dan sampai sekarang lembaga ini tidak
menyebarkan Syiah. Di situ ada SMU. Mereka belajar fikih empat mazhab
(Syafi’i, Hambali, Maliki, Hanafi). Mereka tidak mempelajari fikih Syiah
secara khusus. Dari Muthahhari juga keluar jurnal al-Hikmah, yang banyak menerjemahkan
pikiran-pikiran Syi’ah. Tetapi, sekali lagi hanya bersifat pemikiran saja,
fikihnya tidak ada. Belakangan al-Hikmah sedikit menampilkan pemikiran
Syiah. Malah lebih banyak menampilkan pemikiran-pemikiran kalangan
orientalis. Sehingga Yayasan Muthahhari, dengan melihat isi al-Hikmahseperti itu, layaklah disebut
sebagai ‘agen zionisme Barat’. Jadi, mungkin lebih layak Muthahhari
ketimbang Paramadina atau Ulumul Qur’an. Jadi, itu yang pertama:
Muthahhari tidak didirikan untuk menjadi markas Syi’ah. Lalu, kalau
begitu, mengapa diambil nama Muthahhari? Itu karena tiga pertimbangan.
Pertama, Muthahhari itu seorang pemikir Syiah
yang sangat non-sectarian, yang sangat terbuka. Ia sangat apresiatif
terhadap pemikiran Sunni. Ia tidak pernah menyerang Sunni. Ia lebih
banyak belajar dari Sunni. Karena itu, kita ambil tokoh Muthahhari
sebagai tokoh yang bersikap non-sectarian, terbuka terhadap
berbagai pemikiran, bukan karena Syi’ahnya.
Kedua, Muthahhari itu orang yang dibesarkan dalam sistem
pendidikan Islam tradisional, tetapi setidak-tidaknya cukup well informed
tentang khazanah pemikiran Barat. Ia menjembatani dikotomi antara
intelektual dan ulama. Kita pilih ia, antara lain karena pertimbangan itu,
bukan karena Syi’ah. Karena misi Yayasan Muthahhari yang kedua adalah menjembatani
antara intelektual dan ulama. Di Indonesia ini banyak cendekiawan yang
menulis tentang Islam, tetapi tidak punya dasar dan tradisi Islam
tradisional, sebagaimana juga banyak ulama Islam tradisional yang tidak
mempunyai wawasan kemodernan. Muthahhari mencerminkan keduanya.”
5.Mendekati
NU dan Muhammadiyah sebagai backing.
Di Bandung, dua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia itu menolak MUI mengeluarkan fatwa sesat Syiah.
Sebuah website Syiah pernah memuat berita
berikut, “Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Muthi, menolak
adanya fatwa sesat terhadap Syiah dari lembaga keagamaan mana pun di
Indonesia, termasuk Majelis Ulama Indonesia. Menurut dia, fatwa sesat dari
MUI di sejumlah daerah, seperti Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, terbukti
menjadi alat melegitimasikan kekerasan terhadap pengikut Syiah dan memicu
konflik horizontal antar umat Islam. ‘Fatwa dari mana pun harus tidak
untuk mengkafirkan dan menyesatkan,’ ujar Muthi kepada Tempo, Kamis,
19 Desember 2013.
Muthi menanggapi desakan sebagian pihak yang
mendesak MUI DIY mengeluarkan fatwa sesat terhadap aliran Syiah di
Yogyakarta. Pihak tersebut mengklaim telah mencatat 10 organisasi
berhaluan Syiah di DIY.
Menurut Muthi, fatwa sesat itu berpotensi
besar menimbulkan persoalan kebangsaan serius di Indonesia. Lembaga
seperti MUI di
daerah mana pun sebaiknya tidak lagi mengeluarkan fatwa
penyesatan, khususnya untuk Syiah. Alasannya, hal itu memperbesar konflik
antar umat Islam. ‘Umat Islam sudah mengalami banyak situasi sulit
dan persoalan, jangan ditambah dengan masalah-masalah seperti ini,’
ujar dia. Dia menyarankan MUI Pusat maupun daerah menghindari fatwa
semacam pengadil kebenaran atau kesesatan akidah dan keyakinan setiap
kelompok umat Islam mana pun.
Sebaliknya, dia menambahkan, MUI mengambil posisi tegas
untuk memediasi perbedaan dan pertentangan pendapat antarorganisasi Islam
di Indonesia. ‘MUI harus berperan sebagai pemersatu umat Islam,’
kata Muthi. Muthi tidak sepakat dengan pendapat pihak tersebut
mengenai salah satu alasan desakannya, yakni buku terbitan MUI Pusat
yang berjudul Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia. Menurut
dia, buku itu keluar justru sebagai pernyataan sikap MUI Pusat untuk
menolak memberikan fatwa penyesatan ke Syiah Indonesia. ‘Umat Islam harus
bisa memberikan sumbangan konstruktif untuk Indonesia,’ kata dia.
Sikap serupa muncul dari Pengurus Wilayah NU
Daerah Istimewa Yogyakarta. Rois Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama
(NU) Daerah Istimewa Yogyakarta, KH. Asyhari Abta, menyatakan MUI DIY tidak
perlu menggubris permintaan pihak tersebut. Kiai dari Pesantren Yayasan
Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta ini menganggap fatwa sesat malah
bisa memicu konflik antarkelompok berbeda paham agama. “Bisa
memperuncing perbedaan dan memicu tabrakan antarkelompok,” ujar dia.
Asyhari mengatakan, sekalipun MUI DIY menemukan ada
indikasi penyimpangan upaya maksimal hanya perlu dilakukan dengan dialog
dan nasihat. Penyesatan pada ajaran malah bisa mendorong tudingan sesat
ke kelompok-kelompok lain. “Sesat atau tidak sesat itu keputusannya
di Allah Subhanahu Wataala,” ujar dia.
Segala trik, makar, dan tipudaya Syiah ini
tentu tidak lepas dari keyakinan para penganut Syiah tentang taqiyyah. Mereka meyakini bahwa sembilan puluh
persen persoalan agama ini ada dalam taqiyyah. Tidak ada agama bagi siapa yang tidak
ber-taqiyyah. Taqiyyah itu dalam segala sesuatu
kecuali yang berhubungan dengan minuman anggur dan mengusap dua khuf.
Al-Kulaini dalam Ushulul Kafi—sebuah kitab hadits milik
Syiah—mengutip riwayat dari Abu Abdillah, ia berkata, “Jagalah agama
kalian dan halangi diri kalian dengan taqiyyah, karena tidak ada keimanan bagi yang
tidak bertaqiyyah.”
(Ushul al-Kafi,
hlm. 482—483)
Taqiyyah sendiri
bermakna mengatakan atau mengerjakan sesuatu yang berbeda dengan apa yang diyakini
dengan tujuan menjaga bahaya yang mengancam diri dan harta atau demi
menjaga kemuliaan. (asy-Syi’ah fi al-Mizan,
hlm. 47)
Bahkan, Syiah mengaku bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam melakukan taqiyyah ketika meninggalnya
Abdullah bin Ubay bin Salul, seorang tokoh munafikin. Syiah mengklaim
bahwa Rasul Shallallahu ‘alahi wa Sallam datang
menyalati jenazahnya, lalu Umar berkata, “Bukankah AllahTa’ala telah melarangmu untuk berdiri di
kuburan orang munafik ini?”
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam menjawab,
“Celaka kau, Umar, apa kamu tahu apa yang aku ucapkan? Sesungguhnya aku
katakan, ‘Ya Allah, nyalakanlah api di bagian perutnya, penuhilah
kuburannya dengan api dan bagian dinding-dindingnya dengan api’.” (Furu’ al-Kafi, Kitabul Jana’iz, hlm. 188)
Lihatlah, bagaimana lancangnya dan beraninya Syiah melakukan
kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam. Intinya, Syiah menganggap
bahwataqiyyah adalah
kewajiban, ajaran Syiah tidak akan tegak kecuali dengannya. Mereka menjadikan
taqiyyah sebagai fondasinya, baik secara sembunyi-sembunyi maupun
terang-terangan. Mereka mengamalkantaqiyyah terkhusus ketika melalui
situasi-situasi yang sulit. Maka dari itu, waspadalah selalu dari kelompok
Syiah, wahai kaum muslimin!
Bagaimana pun besarnya makar dan tipu daya Syiah terhadap Islam,
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
tetap menjaganya. Oleh karena itu, hal ini jangan menjadikan kaum muslimin
ragu terhadap agamanya. Yakinlah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghancurkan,
membongkar, dan membalas makar mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
{وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِيُثْبِتُوكَ أَوْ
يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ
الْمَاكِرِينَ (30)} [الأنفال: 30]
“Dan (ingatlah), ketika
orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu (Muhammad)
untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau
mengusirmu. Mereka membuat tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu.
Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya itu.” (al-Anfal:
30)
{وَكَانَ
فِي الْمَدِينَةِ تِسْعَةُ رَهْطٍ يُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ وَلَا يُصْلِحُونَ
(48) قَالُوا تَقَاسَمُوا بِاللَّهِ لَنُبَيِّتَنَّهُ وَأَهْلَهُ ثُمَّ
لَنَقُولَنَّ لِوَلِيِّهِ مَا شَهِدْنَا مَهْلِكَ أَهْلِهِ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ
(49) وَمَكَرُوا مَكْرًا وَمَكَرْنَا مَكْرًا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ (50)
فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ مَكْرِهِمْ أَنَّا دَمَّرْنَاهُمْ وَقَوْمَهُمْ
أَجْمَعِينَ (51) فَتِلْكَ بُيُوتُهُمْ خَاوِيَةً بِمَا ظَلَمُوا إِنَّ فِي ذَلِكَ
لَآيَةً لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (52)} [النمل: 48 – 52]
Dan di kota itu ada sembilan
orang laki-laki yang berbuat kerusakan di bumi, mereka tidak melakukan
perbaikan. Mereka berkata, “Bersumpahlah kamu dengan (nama) Allah, bahwa
kita pasti akan menyerang dia bersama keluarganya pada malam hari,
kemudian kita akan mengatakan kepada ahli warisnya (bahwa) kita tidak
menyaksikan kebinasaan keluarganya itu, dan sungguh, kita orang yang
benar.” Dan mereka membuat tipu daya, dan Kami pun menyusun tipu daya,
sedang mereka tidak menyadari. Maka perhatikanlah bagaimana akibat dari
tipu daya mereka, bahwa Kami membinasakan mereka dan kaum mereka semuanya.
Maka itulah rumah-rumah mereka yang runtuh karena kezaliman mereka.
Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan
Allah) bagi orang-orang yang mengetahui.” (an-Naml:
48—52)
(Majalah Asy Syariah edisi 102
hlm 22–27)
Cendekiawan,
Wahabi dan Kekerasan Kata-kata
Oleh: A. Kholis
“Kalmul-lisan
anka min kalmis-sinan”
(dilukai lidah lebih pedih daripada dilukai
gigi)
–pepatah Arab–
ADA cibiran
yang pernah dilontarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk kalangan aktivis
Islam. Bunyinya, “Blek
ketekuk-tekuk, guru tabligh ambune penguk.” (kaleng
terlipat-lipat, guru mengaji baunya tak sedap). Kalimat itu seolah
dijadikan jingle sebagai
pencitraan tak sedap kalangan PKI terhadap kaum Muslim.
Kala
itu, jangankan menyemarakkan dakwah seperti sekarang, untuk menunjukkan
identitas Islam saja kaum Muslimin ketakutan. Citra Islam benar-benar hancur.
Islam identik dengan miskin, kotor, tidak punya masa depan cerah dalam
pekerjaan kecuali menjadi guru mengaji.
Citra
seperti ini terus berlanjut meski Orde Lama berganti Orde Baru. Sampai-sampai,
di pertengahan 80-90-an, umat Islam malu menunjukkan identitas, apalagi
berjilbab.
Pelan-pelan
citra itu berkurang tatkala lahir Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di
akhir tahun 90-an. Harian Kompas-yang lahir dari institusi gereja–menyindirnya
dengan tulisan berjudul “Ijo
Loyo-loyo”.
Tampilnya
BJ Habibie, sejumlah pejabat negara, dan jenderal Muslim seperti Faisal Tanjung
dan R Hartono (yang terang-terangan menggunakan simbol-simbol Islam) punya
andil mengubah citra baru Islam di Indonesia. Sementara kelompok harakah Islam
yang muncul pasca 1999, seperti tarbiyah (digambarkan dengan PKS), Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan sejumlah harakah
lain masih “di bawah tanah”.
Sekitar
tahun 80-90-an, tidak ada perusahaan, institusi pemerintah, atau lingkungan
militer yang menerima karyawati atau pegawai berjilbab. Sekarang, itu tidak
terjadi lagi. Bahkan istri dan anak Jenderal (purn) Wiranto pun terang-terangan
memakai jilbab. Jika itu terjadi di zaman LB Moerdani, bisa jadi Wiranto sudah
“masuk kotak” dan tak akan mampu meraih pangkat jenderal.
Kekerasan Kata dan Simbol
Sepintas
cibiran yang dilakukan PKI dan Kompas di atas kelihatan sepele. Namun sebenarnya
ada pencitraan negatif terhadap Islam dalam kata-kata itu. Jika kriminolog asal
Norwegia, Johann Galtung, pernah menggambarkan ada kekerasan struktural yang
biasa digunakan penguasa, maka ini adalah “kekerasan kata-kata” (verbalistic violence).
Meminjam istilah Pramono dalam Bahasa dan Sastra Indonesia, Menuju Peran
Transformasi Sosial Budaya Abad XXI (Yogyakarta, 2002), verbalistic violence adalah
bentuk kekerasan dalam kata-kata atau berbahasa. Bahasa tak hanya digunakan
sebagai alat komunikasi, namun juga untuk melakukan kekerasan yang kemudian
dikenal dengan istilah kekerasan verbal.
Ada lagi istilah symbolic
violence (kekerasan simbolik). Biasanya, kekerasan seperti ini
targetnya selalu berkaitan dengan politik. Menurut Michel Foucault, biasanya kekerasan
seperti itu difasilitasi media massa, terutama televisi. Menurut ilmuwan
pengidap homoseksual itu, kekejaman seperti itu lahir dan langgeng karena
memakai sistem kekuatan kata-kata, juga citra, yang sangat halus (soft domination), yang kehadirannya
sering tak disadari.
Kekerasan verbal, terutama simbolik, beroperasi melalui ungkapan-ungkapan, baik
visual atau kata-kata. Entah itu dalam film, sinetron, games, dan produk visual
lain, atau dengan sebutan-sebutan yang kurang mengenakkan. Dan biasanya,
kekerasan kata itu lebih menusuk hati dibanding kekerasan fisik.
Ingat, penyebutan “Islam modern”, “Islam tradisional”, “Islam Kota” dan “Islam
Sarungan” di sekitar tahun 70-an, diakui atau tidak melukai perasaan kaum
Nadhiyyin hingga memicu ketegangan dengan warga Muhammadiyah (ibaratnya) sampai
tujuh turunan. Kalangan Nahdlatul Ulama kurang nyaman disebut “Islam
tradisional” yang konotasinya kurang/tidak maju.
Cendekiawan dan Propaganda Kekerasan
Yang perlu dicermati, jika kekerasan verbal seperti itu dilakukan oleh
orang-orang di luar Islam, seperti contoh PKI atau Kompas tadi, barangkali
lebih jelas dengan siapa kaum Muslimin berhadapan. Masalahnya, seiring
dibukanya kran kebebasan pers dan reformasi, produk kekerasan kata dan simbol
itu justu datang dari kalangan yang disebut-sebut cendekiawan Muslim.
Beberapa tahun lalu, muncul istilah “preman
berjubah”. Istilah ini dipopulerkan oleh sekelompok orang yang
menyebut dirinya Aliansi Masyarakat Anti Kekerasan, yang dimotori antara lain
oleh artis Rieke Dyah Pitaloka dan Badriyah (anggota DPR Fraksi Partai
Kebangkitan Bangsa).
Istilah
itu tidak muncul dari kalangan non-Muslim. Bahkan ternyata pencetusnya adalah
Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah (kala itu), Prof Dr Ahmad Syafi’i
Ma’arif, yang menulis dalam rubrik Resonansi
harian Republika (9 Agustus 2005). Istilah ini kemudian
dipakai oleh sekelompok orang yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal
(JIL) untuk melabeli aktivis Islam semisal dari HTI, Front Pembela Islam (FPI),
MMI, PKS, atau elemen masyarakat yang ingin menegakkan syariat Islam.
Kekerasan
itu kadang dikeluarkan sembarangan untuk mencari rasa aman atau enaknya
sendiri. Misalnya, sebagian kalangan seenaknya membuat katagorisasi dengan
menyebut dirinya “Islam modernis” dan demokratis, lalu menggolongkan pihak lain
sebagai “Islam radikal”, “militan”, atau “fundamentalis” hanya karena tidak
setuju Barat, tidak mau tunduk Barat atau anti paham demokrasi. Bahkan takut
disebut “teroris”, orang-orang itu ramai-ramai berebut menyebut diri “Islam
moderat”.
Atas hak
siapa orang boleh atau tidak menyebut yang lain modern dan sebagian yang lain
radikal? Apakah karena ada orang yang taat beribadah dan meyakini al-Qur`an
paling benar lantas begitu saja disebut radikal atau tekstualis? Kalau boleh
seenaknya melakukan katagorisasi seperti itu, mengapa yang lain tak boleh
menyebut kelompok liberal sebagai Islam STMJ (shalat terus maksiat jalan) atau
“Islam Karaoke” (kanan-kiri oke)?
Karena itu, bisa dipahami bila Ketua PP Muhammadiyah sekarang, Din Syamsuddin,
menyebut kekerasan kata-kata lebih melukai daripada kekerasan fisik. Din
mengatakan hal itu ketika menanggapi obrolan (alm) Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
yang dilansir situs JIL, yang menyebut al-Qur`an sebagai kitab suci paling
porno di dunia.
Salah
satu bentuk kekerasan verbalistik adalah penyebutan ‘wahabisme’. Istilah
“wahabisme” juga dipopulerkan lagi oleh kalangan liberal untuk menyebut
kelompok-kelompok yang berseberangan dengan mereka seperti Muhamadiyah, FPI,
MMI, PKS, MUI, dan pihak-pihak lain. Awalnya, istilah ini dimunculkan oleh
dedengkot JIL, Ulil Abshar Abdalla. Ternyata kurang laku, dan kemudian
dikeluarkan lagi oleh liberalis lain, Abdul Moqsid Ghozali.
Sebutan itu muncul sesaat setelah berlangsung aksi sejuta umat Islam di bawah
koordinasi MUI mendukung RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi. Harap hati-hati,
penyebutan “wahabisme” itu bisa dimaksudkan untuk memecah dukungan NU dan
Muhammadiyah yang sudah solid menolak pornografi. Tahun 1999, istilah itu
menjadi momok kalangan NU ketika Gus Dur dijatuhkan oleh “poros tengah” dari
kursi presiden.
Saat ini
berbeda, istilah ‘wahabi’, seolah digunakan kalangan NU untuk ‘menyerang’
komunitas lain di luar NU. Seolah-olah semua di luar NU pasti Wahabi. Gerakan
ini, belakangan ‘ditunggangi’ kalangan Syiah yang menumpang karena
kepentingannya terganggu. Dengan menggunakan istilah ‘wahabi’, kaum Syiah di
mana-mana melontarkan kesan seolah-oleh hanya ‘wahabi’ lah yang mengancam
kepentingan Syiah. Padahal, NU dikenal paling keras melawan ideologi Syiah.
Jadi di mana bedanya NU dengan Syiah jika masih terus menggunakan istilah ini?
[baca wawancara Dr Anis Malik Thoha: Barat
Diuntungkan atas Stigma Wahabi]
Menurut
Ingris Bengis, ada lima format kekerasan kata-kata. Yaitu berwujud gosip dari
rasa dengki (malicious gossip),
kekerasan pasif (passive-aggression),
sikap tidak konsisten (inconsistency),
ketidaksopanan, dan amarah. Semua itu melahirkan kekerasan kata-kata.
Dalam terminologi psikologis, kekerasan kata-kata masuk dalam katagori agresi
berupa perilaku bullying.
Bullyingsecara verbal antara lain menuduh atau menyalahkan,
mengritik dengan tajam dan menyakitkan, menjuluki, melecehkan, memfitnah,
menyebarkan gosip, membentak-bentak, mengecilkan, menghina atau mendiamkan.
Secara psikologis, bullying termasuk
merendahkan, kasar, tidak sopan, mempermalukan di depan umum, dan mengucilkan.
Biasanya, pelaku bullying adalah
orang-orang yang agresif, impulsif, dan kurang memiliki empati. Mereka umumnya
juga memiliki kekuatan secara fisik dan emosional (Andrew Mellor). Dengan kata
lain, memiliki kelainan psikologis alias kejiwaan.
Boleh jadi, luka akibat lidah justru melahirkan kekerasan baru-termasuk
fisik–yang tak pernah henti. Oleh karena itu, sangat tidak layak seorang
cendekiawan–apalagi mengaku Muslim-melontarkan istilah-istilah yang membuat
pihak lain dan saudara-sauda Muslim lain terlukai. Kecuali seperti pendapat
Mellor, bahwa pelakunya memiliki gangguan kejiwaan.*
Penulis pemerhati masakah gerakan Islam di
Surabaya
http://www.hidayatullah.com/artikel/ghazwul-fikr/read/2013/03/21/5459/cendekiawan-wahabi-dan-kekerasan-kata-kata.html
Wajah Islam
di Indonesia
*Sebuah Catatan Untuk Para Cendekiawan Islam sebagai sebuah
agama tidak mungkin dipisahkan dari realita hidup bermasyarakat. Mengapa
demikian? Tentu saja jelas alasannya; karena Islam itu sendiri hadir di …
Islam
sebagai sebuah agama tidak mungkin dipisahkan dari realita hidup bermasyarakat.
Mengapa demikian? Tentu saja jelas alasannya; karena Islam itu sendiri hadir di
atas muka bumi ini semenjak dulu kala. Dan Islam itulah yang mempersatukan umat
manusia sebelum mereka berselisih dan menyempal ke dalam berbagai jalan yang
menyimpang.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Manusia itu (dahulunya )
satu umat. Lalu Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan
peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran,
untuk memberikan keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka
perselisihkan…” (QS. al-Baqarah: 213)
Dalam
sebuah riwayat dengan sanad sahih dari Ibnu Abbas yang dibawakan oleh Ibnu Abi
Hatim dan yang lainnya, ketika menjelaskan makna ayat “Manusia itu (dahulunya )
satu umat.” Ibnu
Abbas berkata, “Mereka semuanya dahulu berada di atas Islam.”Demikian
juga al-Bazzar dan yang lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Rentang waktu antara Adam
dan Nuh adalah sepuluh kurun/abad. Mereka semuanya berada di atas syari’at yang
benar, kemudian mereka pun berselisih. Setelah itu Allah pun mengutus nabi-nabi.” (lihat Nashihah ila Jama’ah
al-Ikhwan al-Musliminoleh Syaikh Abdullah al-Ubailan, hal. 1)
Itulah
wajah Islam di awal mula sejarah umat manusia di atas muka bumi ini beribu-ribu
tahun yang silam. Demikian pula halnya seluruh para nabi yang Allah utus,
mereka sepakat dalam asas ajaran Islam yaitu tauhid; mengesakan Allah dalam
beribadah. Meskipun dalam tataran syari’at bisa jadi berlainan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus
sebelum kamu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya; bahwa tidak
ada sesembahan -yang benar- selain Aku (Allah), oleh sebab itu sembahlah Aku
(saja).” (QS. al-Anbiya’: 25).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bagi masing-masing umat Kami
jadikan syari’at dan jalan.” (QS. al-Ma’idah: 48). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Kami segenap para nabi
adalah anak-anak sebapak -dengan ibu yang berbeda-, sedangkan agama kami ini
adalah sama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ini menunjukkan bahwa
dakwah seluruh nabi adalah sama yaitu tauhid, meskipun syari’atnya berlainan
(lihat Nashihah ila Jama’ah
al-Ikhwan al-Muslimin, hal. 2)
Orang-orang
musyrik pun memahami bahwa maksud dari dakwah para rasul itu adalah supaya
masyarakat mengesakan Allah dalam beribadah. Yaitu tidak boleh menujukan ibadah
kepada selain Allah, atau mempersekutukan selain-Nya dalam hal ibadah. Allahta’ala menceritakan
tanggapan mereka (yang artinya), “Apakah dia -Muhammad- hendak menjadikan
sesembahan-sesembahan itu menjadi satu sesembahan saja?!”(QS. Shaad: 5). Demikian pula reaksi kaum ‘Aad
terhadap dakwah Nabi Hud ‘alaihis salam. Mereka berkata
(yang artinya), “Apakah kamu datang kepada kami agar kami menyembah Allah semata
dan meninggalkan apa-apa yang disembah -secara turun temurun- oleh nenek moyang
kami?!” (QS. al-A’raaf: 70)
Ayat-ayat
di atas menggambarkan kepada kita dengan jelas bahwa reaksi masyarakat yang
menentang dakwah para rasul adalah realita di dalam sejarah internasional. Di
antara alasan yang kerapkali dibawakan adalah demi mempertahankan warisan
budaya nenek moyang [!]. Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah’. Mereka menjawab, ‘(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami
dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).’ Padahal, nenek moyang mereka itu
tidak mengetahui apa pun, dan tidak mendapat petunjuk.”(QS. al-Baqarah: 170)
Pertanyaan
selanjutnya yang menggelitik pikiran kita adalah; lalu bagaimana dengan konteks
Indonesia? Apakah realita semacam ini juga yang terjadi? Supaya ruang lingkup
pembicaraan ini tidak melebar kemana-mana maka marilah kita fokuskan dalam
masalah tauhid saja; yang kita semua mengetahui bahwa ini merupakan asas ajaran
agama kita.
Adalah
sebuah fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri bahwa kebudayaan berhala telah
berkembang di negeri ini semenjak dahulu kala. Tidak terhitung tempat-tempat
yang dianggap keramat, dijadikan sebagai tempat sesaji, demikian pula
patung-patung dan candi-candi yang menandai gaya hidup paganisme yang telah
mengakar di sebagian masyarakat. Tidak sedikit sosok mistis yang
diagung-agungkan dan dianggap memiliki pengaruh terhadap kehidupan. Benda-benda
‘sakti’ dan pusaka pun dikeramatkan. Berbagai ritual persembahan pun dilakukan.
Entah yang berlokasi di atas gunung, di tengah kota, di pedesaan, sampai pun di
pesisir pantai. Tradisi yang erat dengan keyakinan nenek moyang, yang terwarnai
oleh kesyirikan (silahkan baca sebuah buku menarik berjudul Bahaya..!!! Tradisi
Kemusyrikan Di Sekitar Kita tulisan
H. Willyuddin A.R. Dhani, S.Pd)
Sayangnya,
sebagian kalangan yang disebut-sebut sebagai intelektual muslim -sadar ataupun
tidak- ‘menutup-nutupi’ realita pahit ini dengan kedok menjaga kebhinekaan
bangsa [?!] Dengan cara-cara yang halus dan samar mereka menolak arus pemurnian
yang diserukan oleh para da’i -di antaranya dipelopori oleh Kyai Haji Ahmad
Dahlan, Tuanku Imam Bonjol, dan tokoh yang lainnya- untuk membersihkan
kehidupan masyarakat dari berbagai bentuk takhayul, bid’ah dan churafat (TBC).
Yang dalam bahasa kita sekarang bisa diungkapkan dengan slogan ‘Memurnikan Aqidah dan
Menebarkan Sunnah’… Seolah-olah perjuangan yang dilakukan oleh para
kyai dan da’i tersebut adalah gerakan ekstrem yang agresif, beringas, intoleran,
dan penuh kebencian (lihat
tuduhan ini dalam kata pengantar KH. Abdurrahman Wahid; Ilusi Negara Islam,
hal. 20)
Tidak
berhenti di situ saja, mereka -kaum liberal- pun menuduh gerakan dakwah tauhid
sebagai proyek Wahabisasi global. Yang kita bicarakan di sini, bukanlah gerakan
tarbiyah yang diusung oleh kader-kader salah satu partai politik di negeri ini
(tidak perlu kami sebutkan karena sudah sangat populer). Bukan pula gerakan
politik ala kelompok dakwah yang senantiasa mendengung-dengungkan khilafah
sebagai solusi atas segala problematika umat. Bukan pula sekelompok rakyat
sipil yang gemar melakukan penggrebekan tempat-tempat maksiat dengan dalih amar
ma’ruf nahi mungkar. Bukan itu yang kita maksudkan. Pembicaraan mengenai ketiga
kelompok itu ada tempatnya tersendiri.
Sesungguhnya
yang menjadi sasaran utama serangan propaganda ini adalah dakwah tauhid yang
mereka gelari dengan sebutan Wahabi. Orang awam tentu akan merasa ngeri dengan
istilah-istilah menakutkan yang dimunculkan oleh para pengusung pemikiran
liberal ini. Di antara istilah yang sering dipakai adalah istilah kelompok garis keras.
Gus Dur berkata, “…Kami berpedoman pada paham Ahlussunnah wal Jama’ah, sementara
mereka -kelompok garis keras- mewarisi kebiasaan ekstrem Khawarij yang gemar
mengkafirkan dan memurtadkan siapa pun yang berbeda dari mereka, kebiasaan
buruk yang dipelihara oleh Wahabi dan kaki tangannya.” (Ilusi Negara Islam,
hal. 21-22). Di bagian lain dari buku ini pun mereka mengamini penyebutan
Wahabi sebagai reinkarnasi Khawarij (lihat Ilusi Negara Islam,
hal. 100)
Bukan itu
saja tuduhan yang mereka lemparkan. Dengan begitu berapi-apinya mereka
menjauhkan umat dari dakwah tauhid ini dengan dalih menyelamatkan umat dari
cengkeraman Wahabisasi Global dan
dalam rangka mengembalikan kemuliaan dan kehormatan Islam yang telah ternodai.
Gus Dur kembali melemparkan fitnahnya, “… Arus dana Wahabi yang tidak hanya membiayai terorisme tetapi
juga penyebaran ideologi dalam usaha wahabisasi global juga nyaris luput dari
perhatian publik. Selama ini, arus dana Wahabi ke Indonesia tidak mendapat
perhatian publik secara serius, padahal dari sinilah fenomena infiltrasi
-penyusupan- paham garis keras memperoleh dukungan dan dorongan yang luar biasa
kuat sehingga menjadi bisnis yang menguntungkan banyak agennya.” (Ilusi Negara Islam,
hal. 36)
Di dalam
catatan kaki buku tersebut pun disebutkan sebuah ‘berita’ yang terkesan sangat
mengerikan dan mengancam umat Islam di berbagai belahan penjuru dunia. Dalam
hal ini mereka telah berterus terang bahwa yang mereka maksud dengan Wahabi itu
adalah Arab Saudi. Mereka berkata, “Aktivitas Saudi di Indonesia hanya merupakan bagian kecil dari
kampanye senilai US $ 70.000.000.000,- selama kurun waktu antara 1979-2003
untuk menyebarkan sekte fundamentalis Wahabi di seluruh dunia. Usaha-usaha
dakwah Wahabi yang terus meningkat ini merupakan “kampanye propaganda terbesar
di seluruh dunia yang pernah dilakukan -anggaran propaganda Soviet pada puncak
Perang Dingin menjadi sangat kecil dibandingkan belanja propaganda Wahabi ini.” (lihat Ilusi Negara Islam,
hal. 39). Tidak aneh jika mereka terkesan menyejajarkan ‘bahaya’ Wahabi ini
dengan bahaya laten Komunis! Gus Dur menyebut Wahabisasi sebagai gerakan yang
merusak Islam Indonesia yang spiritual, toleran, dan santun, dan mengubah
Indonesia sesuai dengan ilusi mereka tentang negara Islam yang di Timur Tengah
pun tidak ada [?] (Ilusi Negara Islam, hal. 39).
Gus Dur
juga berkata, “Dengan balutan jubah dan jenggot Arab yang ditampilkan, yang oleh
beberapa pihak telah dipandang lebih tampak seperti preman berjubah, mereka ingin
menunjukkan seolah-olah pandangan ekstrem yang mereka teriakkan dan paksakan
memang benar-benar merupakan pesan Islam yang harus diperjuangkan. Padahal,
mereka merusak agama Islam dan bertanggung jawab atas banyaknya kekerasan yang
mereka lakukan atas nama Islam di Indonesia dan seluruh dunia. Dan kita sebagai
umat Islam harus menanggung malu atas perbuatan mereka.” (Ilusi Negara Islam,
hal. 39). Semakin lengkap sudah gelaran buruk yang disematkan oleh mereka
kepada Wahabi agar umat benar-benar menjauhi dakwah mereka…
Para
peneliti yang menulis buku tersebut ingin menjelaskan kepada kita apa
sesungguhnya yang mereka maksud dengan istilah Wahabi. Coba kita simak
propaganda mereka! Dengan fasihnya mereka berkata, “Wahabi adalah sebuah sekte
keras dan kaku pengikut Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab.” (Ilusi Negara Islam,
hal. 62). Di bagian lain buku ini, mereka semakin mempertegas bahwa yang mereka
maksud dengan Wahabi tidak lain adalah Salafi (lihat Ilusi Negara Islam,
hal. 95). Apa yang tertanam dalam pikiran orang yang membaca definisi di atas?
Ya… Wahabi itu keras dan kaku… Betapa keji tuduhan yang mereka lemparkan!
Mereka juga mengatakan,“Islam yang sangat apresiatif dan penuh
perasaan dalam merespon permasalahan umat, di tangan Ibn ‘Abdul Wahhab berubah
menjadi tak peduli, keras, dan tak berperasaan.” (Ilusi Negara Islam,
hal. 63)
Demikianlah,
kedustaan seolah-olah telah menjadi sedemikian murah-meriah bagi para pengusung
pemikiran liberal ini. Dengan entengnya mereka mengatakan tentang Wahabi, “Setiap Muslim yang tidak
mempunyai pemahaman dan praktik ajaran Islam yang persis seperti Wahabi
dianggap murtad, karenanya perang dibolehkan, atau bahkan diwajibkan, terhadap
mereka…” (lihat Ilusi Negara Islam,
hal. 67). Maha suci Allah, sungguh ini
adalah kedustaan yang sangat besar!
Sudah
banyak bantahan ilmiah dan santun untuk tuduhan-tuduhan ‘emosional’ semacam
ini. Padahal, dakwah salafiyah beserta para ulamanya -yang dijuluki ‘Wahabi’
dalam rangka membuat orang lari darinya- berlepas diri dari segala tuduhan keji
tersebut. Salafiyah itu sendiri adalah ajaran yang diwariskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sebuah ajaran
yang menebarkan rahmat bagi semesta alam. Ajaran yang memberikan bimbingan bagi
umat manusia dalam segala sudut kehidupan. Ajaran yang sempurna, yang
diturunkan oleh Rabb penguasa alam semesta.
Erat
kaitannya dengan tema awal tulisan ini, yaitu menyoroti dakwah tauhid sebagai
seruan yang mendapatkan penentangan dari umat para rasul, dan apakah fenomena
serupa juga terjadi di Indonesia. Maka, perkenankanlah kami untuk menunjukkan
kepada segenap pembaca sebuah penafsiran aneh bin ajaib yang dilakukan oleh
para penyusun buku Ilusi yang
telah berulang kali kita singgung dalam tulisan ini. Sebuah penafsiran yang
lebih tepat disebut sebagai pemerkosaan terhadap dalil agama yang suci dan
suatu kekeliruan fatal dalam memahami maksud firman Allah dan sabda Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Satu bukti ini saja sudah cukup membuktikan kepada kita seperti apa sebenarnya
pemahaman mereka tentang aqidah Islam. Allahul musta’aan…
Mereka
-dengan tanpa rasa malu- memberikan penjelasan sebagai berikut: “Dalam
hubungannya dengan agama-agama lain, dengan indah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam,
pen– menuturkan, “Nahnu abna’u ‘allat, abuna wahid wa ummuna syatta” (Kami [para rasul] adalah anak-anak
para istri dari seorang laki-laki, ayah kami satu namun ibu kami banyak). Dalam
keluarga umat manusia, para rasul mempunyai ayah (agama) yang sama yakni Islam
(dalam arti berserah diri kepada Tuhan), namun mempunyai ibu (syi’rah wa minhaj) yang banyak/berbeda-beda.” Kemudian
mereka menyimpulkan hadits itu dengan licik, “Ini adalah pengakuan atas pluralisme, dan inilah yang ditolak oleh
kelompok garis keras.” (lihat Ilusi Negara Islam,
hal. 102-103)
Penjelasan
di atas mengandung banyak kontradiksi dan kerancuan, di antaranya:
Kerancuan Pertama:
Mereka
membawakan hadits tersebut dalam konteks hubungan Islam dengan agama-agama
lain. Padahal, sebagaimana bisa kita saksikan bersama bahwa sesungguhnya hadits
tersebut tidak membicarakan hubungan antara Islam dengan agama-agama lain.
Karena sebagaimana disebutkan dalam hadits ini -mungkin mereka enggan untuk
menampilkannya secara tegas dan lengkap- bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama kami -para rasul-
adalah satu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dari sini kita mengetahui
bahwa hadits ini berbicara mengenai agama para nabi itu adalah Islam, walaupun
syari’atnya berlainan, namun pokoknya adalah sama yaitu tauhid (silahkan baca
juga QS. an-Nahl: 36).
Jadi, hadits ini bukan berbicara tentang agama selain Islam.
Kerancuan Kedua:
Penyelewengan
penafsiran di atas tidak lain muncul dari kerancuan mereka dalam memahami makna
Islam. Oleh sebab itu mereka memberikan penjelasan di dalam tanda kurung
tentang Islam yang menjadi agama para rasul itu, dalam pandangan mereka. Islam,
dalam arti berserah diri kepada Tuhan, demikian penafsiran
mereka. Inilah kebiasaan buruk para pemuja pemikiran liberal! Mereka menuduh
orang lain kaku dan tekstualis dalam menafsirkan dalil. Sementara dalam
kasus-kasus tertentu, mereka justru lebih tekstualis dan lebih kaku dalam
memahami dalil.
Lihatlah,
dalam memaknai Islam di sini mereka mencukupkan diri dengan makna bahasanya
saja. Yaitu Islam dengan pengertian berserah diri kepada Tuhan, sebuah
penafsiran yang teramat sempit dan bahkan tidak jelas. Konsekuensi dari
penafsiran mereka ini adalah pemeluk agama apa pun adalah muslim, selama mereka
berserah diri kepada Tuhan. Padahal, kalau kita mau sedikit saja membuka
cakrawala, menelaah ayat-ayat dan hadits-hadits lain, atau kalau sempat ya membaca tafsir para ulama kita
terdahulu, akan tampak dengan jelas bagi kita bahwa yang dimaksud dengan Islam
di sini bukan sekedar berserah diri kepada Tuhan!
Dalam
al-Qur’an, ayat semacam itu banyak kita temukan. Di antaranya sudah kami
sebutkan di depan. Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus sebelum kamu seorang rasul pun melainkan
Kami wahyukan kepadanya; bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Aku
(Allah), oleh sebab itu sembahlah Aku (saja).”(QS. al-Anbiya’: 25). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sungguh, Kami telah mengutus
kepada setiap umat, seorang rasul -yang mengajak-; Sembahlah Allah dan jauhilah
thaghut/sesembahan selain Allah.” (QS. an-Nahl: 36). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari
agama selain Islam, maka tidak akan diterima, dan dia di akhirat akan termasuk
orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran: 85)
Demikian
pula di dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan kita temukan
penjelasan-penjelasan yang gamblang tentang apa hakikat dari Islam yang
sekarang ini diwajibkan -bukan dipaksakan- oleh Allah ta’ala kepada umat manusia. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Tuhan yang jiwa
Muhammad berada di tangan-Nya. Tidaklah seorang pun di antara umat ini yang
mendengar kenabianku, entah dia beragama Yahudi atau Nasrani, kemudian dia
meninggal dalam keadaan tidak mengimani ajaran [Islam] yang aku bawa, kecuali
dia pasti termasuk penghuni Neraka.” (HR. Muslim).
Demikian pula ketika Jibril datang kepada Nabi kemudian menanyakan tentang
makna Islam, Iman, dan Ihsan. Semuanya telah diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan gamblang. Sudah selayaknya para
cendekiawan itu kembali merenungi perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan lebih mempercayainya daripada
ucapan kaum Orientalis dan para pakar filsafat yang senantiasa dirundung oleh
keragu-raguan.
Demikian
pula di dalam tafsir para ulama tentang Shirathal Mustaqim (jalan
yang lurus). Akan kita dapati bahwa hakikat jalan yang lurus itu -pada zaman
kita sekarang ini- hanya ada pada agama Islam yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara penafsiran Shirathul Mustaqim yang
disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir adalah: [1] Mengikuti Allah dan Rasul, [2]
Ibnu Abbas menjelaskan bahwa jalan yang lurus itu adalah Kitabullah
(al-Qur’an), [3] Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan para sahabat yang lain mengatakan
bahwa maksudnya adalah agama Islam, [4] Mujahid menafsirkan jalan yang lurus
itu dengan kebenaran, [5] Menurut Abul ‘Aliyah, maksudnya adalah jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua sahabatnya -Abu Bakar dan
Umar-. Semua penafsiran ini adalah benar dan tidak bertentangan. Bahkan, di
dalam hadits yang sahih telah ditegaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Yahudi sebagai golongan yang
dimurkai/al-maghdhubi ‘alaihim, sedangkan
Nasrani sebagai golongan yang sesat/adh-dhallin (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/36-39])
Kerancuan Ketiga:
Mereka
-setelah terjatuh dalam berbagai kerancuan- akhirnya menarik sebuah kesimpulan
yang merupakan komplikasi akibat kerancuan-kerancuan yang mengendap sebelumnya,
bahwa hadits tersebut -para nabi itu saudara seayah dan berbeda ibu- menjadi
sebuah pengakuan (pembenaran) atas pluralisme yang mereka gembar-gemborkan
dengan segala pengorbanan. Sungguh memalukan, sekaligus realita yang teramat
pahit dan memilukan! Lalu siapakah sebenarnya orang yang rela menjual agamanya
kalau demikian kenyataannya?
Sebagai
penutup, ada sedikit pesan untuk para pemuda yang begitu bersemangat membela
Islam dan bertekad untuk menerapkannya di segala lini kehidupan namun tidak
mengikuti manhaj Salafus Shalih dalam dakwahnya. Ketahuilah, bahwa kesan
negatif yang muncul mengenai dakwah Islam itu -berupa kekerasan dan sikap-sikap
yang tidak bijak- adalah realita yang tidak bisa kita pungkiri muncul dari
sebagian kaum muslimin yang tidak paham terhadap ajaran agamanya. Padahal, jika
kita tulus dan serius mengikuti jalan tauhid ini niscaya kita akan menemukan
wajah Islam yang sesungguhnya. Wajah yang mulia dan membuat bangga pemeluknya. Allahul musta’aan
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Diabolisme Intelektual
Diábolos
adalah 'iblis. Sebagaimana kita ketahui, ia dikutuk dan dihalau
karena menolak perintah Tuhan dan bersujud kepada Adam. Tapi dia bukan atheist
atau ragu pada Tuhan
Oleh Dr. Syamsuddin Arif,MA *
Diábolos
adalah Iblis dalam bahasa Yunani kuno, menurut A. Jeffery dalam bukunya the Foreign Vocabulary of the Qur'an,
cetakan Baroda 1938, hlm. 48. Maka istilah "diabolisme"berarti
pemikiran, watak dan perilaku ala Iblis ataupun pengabdian padanya. Dalam kitab suci al-Qur'an dinyatakan bahwa Iblis termasuk
bangsa jin (18:50), yang diciptakan dari api (15:27). Sebagaimana kita ketahui,
ia dikutuk dan dihalau karena menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada
Adam. Apakah Iblis atheist? Tidak. Apakah
ia agnostik?Tidak. Iblis tidak mengingkari adanya Tuhan. Iblis tidak
meragukan wujud maupun ketunggalan-Nya. Iblis bukan tidak kenal Tuhan. Ia tahu
dan percaya seratus persen. Lalu mengapa ia dilaknat dan disebut 'kafir'? Di
sinilah letak persoalannya.
Kenal
dan tahu saja, tidak cukup. Percaya
dan mengakui saja, tidak cukup. Mereka yang kafir dari kalangan Ahli Kitab pun kenal dan tahu
persis siapa dan bagaimana terpercayanya Rasulullah SAW, sebagaimana orangtua
mengenali anak kandungnya sendiri (ya'rifunahu kama ya'rifuna abna'ahum).
Namun tetap saja mereka enggan masuk Islam.
Jelaslah
bahwa pengetahuan, kepercayaan, dan pernyataan harus disertai dengan kepatuhan
dan ketundukan, harus diikuti dengan kesediaan dan kemauan untuk merendah,
menurut dan melaksanakan perintah. "Knowledge and recognition should be
followed by acknowledgement and submission, " tegas Profesor Naquib
al-Attas.
Kesalahan Iblis bukan karena ia tak tahu atau tak berilmu. Kesalahannya karena ia membangkang (aba, QS 2:34, 15:31, 20:116), menganggap dirinya hebat (istakbara, QS 2:34, 38:73, 38:75), dan
melawan perintah Tuhan (fasaqa ?an amri rabbihi, QS 18:50). Dalam hal ini,
Iblis tidak sendirian. Sudah banyak orang yang berhasil direkrut sebagai staf
dan kroninya, berpikiran dan berprilaku seperti yang dicontohkannya.
Iblis
adalah 'prototype'
intelektual 'keblinger'.
Sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur'an, sejurus setelah ia divonis, Iblis mohon
agar ajalnya ditangguhkan. Dikabulkan dan dibebaskan untuk sementara waktu, ia
pun bersumpah untuk menyeret orang lain ke jalannya, dengan segala cara.
"Hasutlah
siapa saja yang kau bisa dari kalangan mereka dengan seruanmu. Kerahkan seluruh
pasukanmu, kavalri maupun infantri. Menyusuplah dalam urusan keuangan dan
keluarga mereka. Janjikan mereka [kenikmatan dan keselamatan]!" Demikian
difirmankan kepada Iblis (QS 17:64).
Maka
Iblis pun bertekad: "Sungguh
akan kuhalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Akan kudatangi mereka dari arah
depan dan belakang, dari sebelah kanan dan kiri mereka!" (QS 7:16-17). Maksudnya, menurut Ibnu ?Abbas ra, Iblis bertekad untuk menyesatkan orang dengan
menebar keraguan, membuat orang ragu dan lupa pada akhirat, alergi dan anti
terhadap kebaikan dan kebenaran, gandrung dan tergila-gila pada dunia, hobi dan
cuek berbuat dosa, ragu dan bingung soal agama (Lihat: Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-?Az?im, cetakan
Beirut, al-Maktabah al-?As?riyyah, 1995, vol. 2, hlm. 190).
Tidak sulit untuk mengidentifikasi cendekiawan bermental Iblis. Sebab, ciri-cirinya telah cukup
diterangkan dalam al-Qur'an sebagai berikut. Pertama, selalu
membangkang dan membantah (6:121). Meskipun ia kenal, tahu dan
faham, namun tidak akan pernah mau menerima kebenaran. Seperti ingkarnya
Fir'aun berikut hulu-balangnya, zulman wa 'uluwwan, meskipun dan
padahal hati kecilnya mengakui dan meyakini (wa istayqanat-ha anfusuhum).
Maka
selalu dicarinya argumen untuk menyanggah dan menolak kebenaran demi
mempertahankan opininya. Sebab,
yang penting baginya bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran. Jadi, bukan karena ia tak tahu mana yang
benar, tetapi karena ia memang tidak mau mengikuti dan tunduk pada kebenaran
itu. Jadi jangan heran bila selalu saja ada cendekiawan yang meskipun nota bene
Muslim, namun sifatnya seperti itu. Ideologi dan opini pemikirannya yang liar
lebih ia pentingkan dan ia pertahankan ketimbang kebenaran dan aqidah Islamnya.
Dalam
tradisi keilmuan Islam, sikap membangkang semacam ini disebut juga al-'inadiyyah (Lihat: Abu Hafs Najmuddin Umar ibn Muhammad
an-Nasafi (w. 537 H/1142 M), al-'Aqa'id, dalam Majmu? min Muhimmat
al-Mutun, Kairo: al-Matba'ah al-Khayriyyah, 1306 H, hlm. 19).
Kedua, intelektual
diabolik bersikap takabbur (sombong, angkuh, congkak, arrogans). Pengertian
takabbur ini dijelaskan dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
(no.147): "Sombong ialah menolak yang haq dan meremehkan orang lain (al-kibru
batarul-haqq wa ghamtu n-nas)".
Akibatnya,
orang yang mengikuti kebenaran sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur'an atau
hadis Nabi SAW dianggapnya dogmatis, literalis, logosentris, fundamentalis,
konservatif dan lain sebagainya.
Sebaliknya,
orang yang berpikiran liberal, berpandangan relativistik dan skeptis, menghujat
al-Qur'an maupun Hadis, meragukan dan menolak kebenarannya, justru disanjung sebagai intelektual kritis,
reformis dan sebagainya, meskipun terbukti zindiq, heretik dan
bermental Iblis.
Mereka bermuka dua, menggunakan standar ganda (2:14). Mereka menganggap orang beriman
itu bodoh, padahal merekalah yang bodoh dan dungu (sufaha'). Intelektual
semacam inilah yang diancam Allah dalam al-Qur'an : "Akan Aku palingkan
mereka yang arogan tanpa kebenaran itu dari ayat-ayat-Ku. Sehingga, meskipun
menyaksikan setiap ayat, tetap saja mereka tidak akan mempercayainya. Dan
kalaupun melihat jalan kebenaran, mereka tidak akan mau menempuhnya. Namun jika
melihat jalan kesesatan, mereka justru menelusurinya" (7:146).
Ciri yang ketiga ialah mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran (talbis wa kitman
al-haqq). Cendekiawan diabolik bukan tidak tahu mana yang benar dan mana
yang salah. Namun ia sengaja memutarbalikkan data dan fakta. Yang batil dipoles dan dikemas sedemikian rupa
sehingga nampak seolah-olah haq.
Sebaliknya,
yang haq digunting dan di'preteli' sehingga kelihatan seperti batil. Ataupun dicampur-aduk dua-duanya sehingga
tidak jelas lagi beda antara yang benar dan yang salah. Strategi semacam ini
memang sangat efektif untuk membuat orang lain bingung dan terkecoh.
Contohnya
seperti yang dilakukan oleh para pengasong gagasan inklusivisme dan pluralisme
agama. Mereka mengutip ayat-ayat al-Qur'an (2:62 dan 5:69) untuk menjustifikasi
pemikiran liarnya, untuk mengatakan semua agama adalah sama, tanpa mempedulikan
konteks siyaq, sibaq dan lihaq maupun tafsir bi
l-ma'tsur dari ayat-ayat tersebut.
Sama
halnya yang dilakukan oleh para orientalis Barat dalam kajian mereka terhadap
al-Qur'an dan Hadis. Mereka
mempersoalkan dan membesar-besarkan perkara-perkara kecil, mengutak-atik yang
sudah jelas dan tuntas, sambil mendistorsi dan memanipulasi (tahrif)
sumber-sumber yang ada. Hal ini tidak terlalu mengejutkan, mengingat kebanyakan
mereka adalah Yahudi dan Nasrani yang
karakternya telah dijelaskan dalam al-Qur'an 3:71, "Ya ahla l-kitab
lima talbisuna l-haqq bi l-batil wa taktumu l-haqq wa antum ta'lamun?"
Yang sangat mengherankan ialah ketika hal yang sama dilakukan oleh mereka yang
zahirnya
Muslim.
Karena
watak dan peran yang dilakoninya itu, Iblis disebut juga Setan (syaytan), kemungkinan dari bahasa Ibrani 'syatan',
yang artinya lawan atau musuh (Lihat: W. Gesenius, Lexicon Manuale
Hebraicum et Chaldaicum in Veteris Testamenti Libros). Dalam al-Qur'an
memang ditegaskan bahwa setan
adalah musuh nyata manusia (12:5,
17:53 dan 35:6). Selain
pembangkang ('asiyy),
setan berwatak jahat, liar, dan kurang ajar (marid dan marid). Untuk
menggelincirkan (istazalla),
menjerumuskan (yughwi)
dan menyesatkan (yudillu)
orang, setan juga memakai strategi. Caranya dengan menyusup dan mempengaruhi (yatakhabbat), merasuk dan merusak (yanzagh), menaklukkan (istahwa)
dan menguasai (istah'wadza),
menghalang-halangi (yasudd)
dan menakut-nakuti (yukhawwif),
merekomendasi (sawwala)
dan menggiring (ta'uzz),
menyeru (yad'u) dan
menjebak (yaftin),
menciptakan imej positif untuk kebatilan (zayyana lahum a'malahum),
membisikkan hal-hal negatif ke dalam hati dan pikiran seseorang (yuwaswis), menjanjikan dan
memberikan iming-iming (ya'iduhum wa
yumannihim), memperdaya dengan tipu muslihat (dalla bi-ghurur), membuat orang lupa dan lalai (yunsi), menyulut konflik dan
kebencian (yuqi'u l-'adawah wa
l-baghda'), menganjurkan
perbuatan maksiat dan amoral (ya'mur bi l-fahsya' wa
l-munkar) serta menyuruh orang supaya kafir (qala li l-insani-kfur).
Nah,
trik-trik inilah yang juga dipraktekan oleh antek-antek dan konco-konconya dari
kalangan cendekiawan dan ilmuwan. Mereka
disebut awliya' al-syaytan (4:76), ikhwan al-syaytan (3:175), hizb al-syaytan (58:19) dan
junudu Iblis (26:94). Mereka menikam
agama dan mempropagandakan pemikiran liar atas nama hak asasi manusia (HAM),
kebebasan berekspresi, demokrasi, pembaharuan, pencerahan ataupun penyegaran.
Semua ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru atau pertama kali
terjadi, seperti segera diketahui oleh setiap orang yang membaca sejarah
pemikiran Islam.
Semuanya merupakan repetisi dan reproduksi belaka. History repeats
itself, kata pepatah bule. Hanya pelakonnya yang beda, namun karakter dan perannya sama saja. Ada
Fir'aun dan ada Musa as. Muncul Suhrawardi al-Maqtul, tetapi ada Ibn Taymiyyah.
Lalu lahir Hamzah Fansuri, namun datang ar-Raniri, dan seterusnya.
Al-Qur'an
pun telah mensinyalir: "Memang ada manusia-manusia yang kesukaannya
berargumentasi, menghujat Allah tanpa ilmu, dan menjadi pengikut setan yang
durhaka. Telah ditetapkan atasnya, bahwa siapa saja yang menjadikannya sebagai
kawan, maka akan disesatkan olehnya dan dibimbingnya ke neraka" (22:3-4).
Maka kaum beriman diingatkan agar senantiasa menyadari bahwa "sesungguhnya
setan-setan itu mewahyukan kepada kroninya untuk menyeret kalian ke dalam
pertengkaran. Jika dituruti, kalian akan menjadi orang-orang yang musyrik"
(6:121). Ini tidak berarti kita dilarang berpikir atau berijtihad. Berpendapat
boleh saja, asal dengan ilmu dan adab. Wallahu a'lam.
*Penulis
adalah peneliti INSISTS, kini menempuh program doktor keduanya di
Universitas Frankfurt, Jerman
Tragedi Adopsi Peradaban Barat
Adopsi
peradaban dan kebudayaan Barat adalah sesuatu yang lumrah. Faktanya, ilmuwan
banyak terkooptasi oleh peradaban Barat. Bahkan memaksakannya sebagai pandangan
hidup
Hamid
Fahmy Zarkasyi, MA, Phil *
Suatu hal lumrah jika kebudayaan yang mundur akan belajar dari kebudayaan yang
maju. Dan adalah alami jika suatu kebudayaan yang terbelakang mengadopsi
konsep-konsep kebudayaan yang lebih maju. Tidak ada kebudayaan di dunia ini
yang berkembang tanpa proses interaksi dengan kebudayaan asing. Ketika peradaban
Islam unggul dibanding peradaban Eropa, misalnya, mereka telah meminjam
konsep-konsep penting dalam Islam.
Akan tetapi, tidak berarti bahwa semua kebudayaan dapat
mengambil semua konsep dari kebudayaan lain. Setiap kebudayaan memiliki identitas, nilai,
konsep dan ideologinya sendiri-sendiri yang disebut dengan worldview (pandangan hidup).
Suatu kebudayaan dapat meminjam konsep-konsep kebudayaan lain karena memiliki
pandangan hidup. Namun suatu kebudayaan tidak dapat meminjam sepenuhnya
(mengadopsi) konsep-konsep kebudayaan lain, sebab dengan begitu ia akan
kehilangan identitasnya.
Peminjaman konsep dari suatu kebudayaan mengharuskan adanya proses integrasi
dan internalisasi konseptual. Namun dalam proses itu, unsur-unsur pokoknya
berperan sebagai filter yang menentukan diterima tidaknya suatu konsep. Hal ini
berlaku dalam sejarah pemikiran dan peradaban Islam, yaitu ketika Islam
meminjam khazanah pemikiran Yunani, India, Persia, dan lain-lain. Pelajaran
yang penting dicatat dalam hal ini bahwa ketika para ulama meminjam
konsep-konsep asing, mereka berusaha mengintegrasikan konsep-konsep asing ke
dalam pandangan hidup Islam dengan asas pandangan hidup Islam. Memang, proses
ini tidak bisa berlangsung sekali jadi. Perlu proses koreksi-mengoreksi dan itu
berlangsung dari generasi ke generasi.
Di era modern dan post-modern sekarang ini, pemikiran dan kebudayaan Barat
mengungguli kebudayaan-kebudayaan lain, termasuk peradaban Islam. Namun tradisi
pinjam-meminjam yang terjadi telah bergeser menjadi proses “adopsi”, yakni mengambil penuh konsep-konsep asing,
khususnya Barat, tanpa proses adaptasi atau integrasi. Apa yang dimaksud dengan
konsep di sini bukan dalam kaitannya dengan sains dan teknologi yang bersifat
eksak, tetapi lebih berkaitan dengan konsep keilmuan, kebudayaan, sosial, dan
bahkan keagamaan.
Dalam konteks pembangunan peradaban Islam sekarang ini, proses adaptasi
pemikiran merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Namun sebelum melakukan
hal itu diperlukan suatu kemampuan untuk menguasai pandangan hidup Islam dan
sekaligus Barat, esensi peradaban Islam dan kebudayaan Barat. Dengan demikian,
seorang cendekiawan dapat berlaku adil terhadap keduanya.
Adil, artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya atau dalam hal ini didahului
dengan mengambil sesuatu dari tempat asalnya. Jika ini didasarkan pada asumsi
bahwa konsep-konsep dalam peradaban asing (baca: Barat) adalah hikmah Islam
yang hilang, maka seseorang pemikir Muslim harus terlebih
dahulu mempelajari tempat asal hikmah tersebut dan tempat dimana hikmah itu
hilang, sebelum mengambilnya kembali.
Esensi Kebudayaan Barat
Kebudayaan Barat (Western Civilization) berkembang mewarisi unsur-unsur
kebudayaan Yunani Kuno, Romawi, dan unsur-unsur lain dari budaya bangsa-bangsa
Eropa, khususnya Jerman, Inggris, dan Prancis. Sebagian penulis, seperti Samuel
Huntington, memasukkan agama (religion)--dalam hal ini Kristen--sebagai unsur
penting yang
membentuk kebudayaan Barat. Demikian ditulis dalam buku populernya The Clash of Civilizations and Remaking
of World Order (1996).
Mungkin itulah di antara sebabnya mengapa Huntington yang dalam bukunya itu
lebih banyak menguraikan soal kebudayaan dalam dimensi politis, mencoba
menyeret konflik antara Islam dengan Kristen. Namun, kesimpulan Huntington itu
patut diragukan. Kristen di Barat, faktanya, lebih banyak terkooptasi oleh
peradaban Barat (westernized). Berbagai konsep teologi dan upacara ritual
Kristen bahkan sudah menjadi “Barat”. Pusat agama ini pun bukan lagi di tempat
kelahirannya (Palestina), tetapi sudah berpindah ke Barat. Di Barat sendiri
kalangan agamawan Kristen juga suka dengan asumsi “Barat itu Kristen”.
Barat dengan filsafat dan kebudayaannya memiliki karakternya tersendiri.
Menurut Profesor Naquib al-Attas, peradaban Barat memiliki sejumlah ciri. Pertama, berdasarkan
filsafat dan bukan agama. Kedua, filsafat
itu menjelma menjadi humanisme yang meneriakkan dengan lantang prinsip dikotomi
sebagai nilai dan kebenaran. Ketiga,
berdasarkan pandangan hidup yang tragis. Artinya, manusia adalah tokoh dalam
drama kehidupan di dunia. Pahlawannya adalah tokoh-tokoh yang bernasib tragis.
Prinsip tragedi ini disebabkan oleh kekosongan kepercayaan (iman) dan karenanya
mereka memandang kehidupan secara dikotomis. Konsep ini berujung pada keresahan
jiwa, selalu mencari sesuatu yang tiada akhir, mencari suatu kebenaran tanpa
asas kebenaran atau prinsip kebenaran mutlak. (al-Attas, Risalah untuk Kaum
Muslimin, ISTAC, 2001).
Itulah Barat yang filsafat, sainstek, dan ekonominya sedang merajai pentas sejarah
dunia. Budayanya menyebar bagai gelombang melalui berbagai gerakan kultural;
filsafatnya dipahami secara luas melalui pendidikan dan pembangunan sumber daya
manusia; sains dan teknologinya dikagumi dan ditiru bagi pembangunan sarana dan
prasarana kehidupan manusia.
Gelombang kebudayaan Barat yang disebut dengan modernisme itu pada mulanya
mencerminkan gaya hidup elitis, tapi kini disebut dengan postmodernisme yang
bersifat populis. Secara konseptual dampaknya dahsyat. Ia tidak saja mampu
mengubah konsep sejarah secara agressif, tapi juga mengubah sikap orang
terhadap agama menjadi skeptis. Agama dan kitabnya diposisikan hanya sebagai
suatu bentuk “narasi besar” (grand narrative) yang kering, profan, dan
dapat dipermainkan melalui bahasa dan imajinasi liar yang mencampuradukkan
realitas dan fantasi. Postmodernisme sebenarnya tidak lain dari
sekularisme yang tampil dengan wajah baru yang “pusat gravitasinya” adalah
pandangan hidup Barat(Western
worldview).*
Cengkeraman Orientalis
Dalam bidang pemikiran Islam, pengaruh p andangan hidup Barat dapat ditelusuri
melalui sejarah panjang orientalisme yang sebenarnya tidak lepas dari misi kolonialisme dankristenisasi. Bahkan awalnya dapat ditelusuri dari
proses transmisi khazanah pemikiran Islam ke Barat melalui penerjemahan
karya-karya filosof Muslim pada abad ke-8 dan 9 ke dalam bahasa Latin.
Tokoh-tokohnya adalah para teolog Kristen seperti Charles Bernet, Peter
Pivortim, Robert Charter, Bruno, dan lain-lain.
Itu pula yang terjadi dalam penerjemahan Al-Qur`an ke dalam bahasa Latin. Ini
dimulai pada tahun 1143 M oleh Robertus Retasensis atas arahan Peter the
Venerable, Kepala Gereja Clugny. Pekerjaan ini segera diikuti oleh penerjemahan
dan penulisan buku-buku Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan sains. Khazanah
ilmu pengetahuan Islam ini ditransfer ke dalam alam pikiran Barat dan tanpa menyebut sumbernya.
Bahkan Thomas Aquinas jelas-jelas terbukti menjiplak beberapa fragmen pemikiran Al-Farabi hanya
dengan mengedit beberapa kata. David Hume memodifikasi doktrin kausalitas
Al-Ghazzali menjadi bersifat atheistik.
Terjadilah proses westernisasi (pem-Barat-an) besar-besaran, persis seperti
ketika ulama-ulama Islam mentransfer beberapa pemikiran Yunani dengan proses
Islamisasinya. Ini berarti bahwa orang-orang Barat-Kristen
itu memahami Islam berdasarkan pandangan hidup mereka. Usaha pembaratan itu meliputi
konsep-konsep dan istilah penting dan bahkan pembaratan nama-nama Islam. Nama
Ibn Sina diubah menjadi Avicenna, Ibn Rushd menjadi Averroes, Al-Ghazzali menjadi
Algazel, Al-Jabr menjadi Algebra, dan banyak lagi.
Hal di atas hanyalah sedikit contoh betapa Islam
yang ditransfer ke Barat telah diubah atau dipahami secara berbeda dari aslinya. Tidak
mengherankan jika dari karya-karya mereka itu Islam digambarkan dengan sangat
negatif. Dan
ciri-ciri itu masih tetap melekat pada karya-karya para orientalis di zaman
modern ini. Lihat saja karya-karya seperti Approach
to the History of the Interpretation of the Qur'an oleh Andrew Rippin, Qur'anic Studies: Sources
and Methods of Interpretation oleh
John Wansbrough, The Origin of
Muhammadan Jurisprudence Joseph
Schacht; Islamic Creed oleh MW Watt, dan lain-lain.
Sebagai contoh adalah buku Islamic
Fundamentalism and Modernity tulisan
Watt. Ia menyatakan bahwa agar terbebas dari kesalahan dan kepalsuan, dan untuk
memposisikan secara benar Islam di tengah dunia kontemporer, maka rekonstruksi
intelektual pandangan hidup Islam adalah suatu keharusan. Rekonstruksi
pandangan hidup Islam adalah pernyataan berunsur pembaharuan dan boleh jadi
menarik minat cendekiawan Muslim. Namun sejatinya ia penuh bias.
Lebih jauh Watt mengatakan, “… dan untuk itu hal-hal yang tidak penting dan
sekunder dalam masalah keimanan harus dibuang.” Ternyata , apa yang bagi Watt
tidak penting itu adalah pengingkaran Al-Qur`an tentang penyaliban dan kematian
di tiang salib, dianggap kesalahan sejarah dan tidak penting.
Richard Bell, penulis Introduction to the Qur`an, membuat susunan Al-Qur`an
sesuai dengan turunnya ayat-ayat itu dan kemudian mengkritik bahwa Al-Qur`an
adalah karangan Nabi Muhammad. Alasannya, susunan yang sekarang ini atas
perintah Muhammad, bukan berdasarkan pada kronologi diwahyukannya.
Sekarang ini, framework (cara pandang) orientalis terhadap Islam yang seperti itu sangat dominan dalam
program kajian Islam di beberapa universitas Barat.
Padahal di situlah banyak calon sarjana Muslim belajar. Pemikiran para
orientalis dengan framework seperti itu kemudian dijadikan
referensi yang sederajat dengan ulama-ulama dalam tradisi Islam.
Demikianlah selanjutnya, bola salju cengkeraman cara pandang ini terus bergulir
bersama angin westernisasi, sekularisasi, dan liberalisasi dalam bidang-bidang
lain. Warna orientalis itu nampak pada beberapa cendekiawan Muslim alumni
lembaga pendidikan Barat atau murid alumni Barat. Pendekatan kajian Islam yang
bersifat dikotomis memisahkan antara yang historis dan
normatif, antara tekstual dan kontekstual, subjektif-objektif, ideal-real
adalah asli cara pandang Barat.
Kondisi di aras berengaruh pada tataran konsep berupa timbulnya tumpang tindih
antara konsep Islam dan Barat yang bermuara pada kebingungan intelektual (intellectual
confusion). Sebagai contoh, demokrasi dianggap sama dengan syura, al-din
disamakan dengan religi, masyarakat madani dianggap sama dengan civil society, insan kamil
disamakan dengan warga negara yang baik, tajdid dianggap sama dengan
modernisasi/rasionalisasi, dan sebagainya.
Tidak cukup hanya sebatas pengacauan konsep, kini Barat maju beberapa langkah
lagi dengan memperkenalkan ide pluralisme agama (religious pluralism),
kesatuan transendental agama-agama (transcendent unity of religions),
yang didukung oleh konsep global ethic dan dipacu oleh dialog antar-agama,
gender, feminisme, dan lain-lain.
Framework Islam
Contoh di atas hanyalah simplifikasi persoalan dan dapat dijelaskan lebih
komprehensif. Memang masalahnya tidak sederhana, karena orientalisme itu telah
mentradisi dan kebanyakan tulisan mereka memenuhi standard kersarjanaan modern
yang diakui.
Tugas kaum Muslim sekarang di samping merespon mereka secara akademis dengan
sikap kritis, juga mengembangkan cara pandang kita sendiri. Meski tetap harus
bersikap apresiatif dan bahkan dapat memanfaatkan hasil-hasil riset para
orientalis itu yang positif. Lebih-lebih dalam men-takhrij suatu makhtutat (manuskrip) yang kini masih sangat
jarang dilakukan sarjana-sarjana Muslim, padahal jumlah makhtutat itu ada
ratusan ribu. Yang penting di sini adalah perlunya kesadaran dalam diri kita
bahwa ummat
Islam dengan pandangan hidupnya memiliki cara pandang yang berbeda dari para
orientalis.
Mengkaji Islam dengan cara pandang Islam sendiri tidak cukup dengan
artikel-artikel atau wacana-wacana lepas dan dialog serta seminar di media
massa yang hanya bersifat gagasan awal yang belum siap secara konseptual.
Ia memerlukan suatu kerja ilmiah yang serius dalam suatu lembaga kajian yang
profesional-akademis, yang di dalamnya dikaji esensi pandangan hidup Islam,
tradisi-tradisi intelektualnya yang telah berkembang puluhan abad lamanya, dan
konsep-konsep pemikiran ulama dalam berbagai bidang yang telah berhasil
membentuk bangunan peradaban yang kokoh itu. Dari situ dengan sikap kreatif dan
progesif dapat dikembangkan cara pandang pemikiran Islam yang sarat dengan
konsep-konsep baru dalam berbagai bidang yang dihajatkan oleh ummat saat ini.
Perlu pula dikaji esensi dan karakter kebudayaan Barat yang kini menjadi
fenomena yang persuasif dalam cara berpikir ummat Islam. Esensi kebudayaan
Barat yang berasaskan pada filsafat itu perlu dibedakan dengan peradaban Islam
yang berlandaskan pada wahyu.
Perbedaan dan pembedaan Islam dan Barat perlu dilakukan secara konsisten, agar
dapat mengenali asal-usul suatu konsep dan pemikiran, untuk kemudian mengetahui
proses ilmiah selanjutnya, apakah harus diadopsi atau ditolak. Inilah yang
disebut dengan proses Islamisasi yang sesungguhnya.
Islamisasi pada level epistemologis berarti pengislaman cara berpikir kita
dalam memahami objek ilmu (al-ma'lum) dengan meletakkan realitas dan
kebenaran dalam suatu kesatuan tauhidi. Pada level kultural dapat berbentuk
adaptasi pemikiran luar dengan cara pandang hidup Islam. Jika ini dikembangkan
di kalangan cendekiawan Muslim, maka kita tidak perlu lagi bersikap anti
pemikiran Barat pada dataran emosi, tapi cenderung kritis pada level
intelektual.
* Penulis adalah Direktur
Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) dan Pemimpin Redaksi Jurnal
Islamia. Makalah disampaikan dalam Diskusi dan Tasyakuran Dr Syamsuddin Arif di
Hotel Sofyan Cikini, Jakarta, tanggal 31 Juli 2004.
http://pustaka.islamnet.web.id/Bahtsul_Masaail/Artikel/JIL/www.nojil.8m.net/tragedi.html
http://pustaka.islamnet.web.id/Bahtsul_Masaail/Artikel/JIL/www.nojil.8m.net/tragedi.html