Sunday, March 20, 2016

Adakah Dampak KTT OKI Untuk Kemerdekaan Palestina? Solusi 2 Negara, Tepatkah?

Hasil gambar untuk palestina merdeka

Adakah Dampak KTT OKI untuk Kemerdekaan Palestina?

Jumat 8 Jamadilakhir 1437 / 18 Maret 2016 17:30
Oleh: Dian Hermawati, Muslimah Tinggal di Bandung
SEJAK awal berdirinya 47 tahun silam hingga saat ini OKI telah gagal mewujudkan tujuan pendiriannya. OKI didirikan dengan latarbelakang reaksi para pemimpin Dunia Islam terhadap penyerobotan Israel atas mesjid al-Aqsha. Namun sejak saat itu pula umat Islam bisa menyaksikan betapa minimnya keterlibatan OKI membela kepentingan Muslim Palestina.
Bentuk kepedulian OKI hanya sebatas pemberian donasi dan bantuan medis kepada penduduk Palestina. Sementara mereka tak melakukan apa-apa terhadap Israel yang menjajah sekaligus mengusir dan membunuhi warga muslim Palestina. OKI lebih banyak mendorong apa yang dikatakan sebagai ‘dialog perdamaian’ Palestina dengan Israel. Padahal akar konflik Palestina-Israel adalah penjajahan Zionis Israel atas tanah Palestina, bukan masalah perdamaian.
Keseriusan OKI untuk menyelesaikan konflik Palestina dan Israel, juga keberpihakan mereka kepada rakyat Palestina dan pembebasan al aqsha semakin dipertanyakan. Beberapa anggota OKI menjalin persahabatan dengan Israel. Yordania,Turki,dan mesir adalah sebagian anggota OKI yang telah menjalin kerjasama dengan Israel.
Presiden Mesir, Abdul Fatah as-Sisi, september 2015 malah menyerukan negara-negara Arab untuk bekerjasama dengan Israel dengan dalih untuk memerangi ancaman terorisme. Selain sudah terbukti gagal menyelesaikan problem di dunia Islam, termasuk isu Palestina, al-Quds, al-aqsha, OKI juga hanya membebek pada solusi dan keinginan Barat. Pasalnya, anggota-anggota OKI tak bisa lepas dari dominasi politik dan militer negara-negara Barat, khususnya Amerika dan Inggris.
Kehadiran kuartet negosiasi Palestina-Israel (Amerika,Rusia,PBB, dan Uni Eropa) dan wakil lima negara anggota tetap DK PBB di KTT LB ke-5 OKI di Jakarta adalah bukti bahwa OKI dan para pemimpin Dunia Islam tidak mandiri dalam memutuskan nasib umat. Begitu pula dengan solusi dua negara untuk Palestina-Israel adalah solusi yang dirancang oleh AS dan Barat.
Persoalan Palestina bukan persoalan perbatasan (huduud), tetapi persoalan keberadaan Israel di Tanah Palestina. Persoalan Palestina hanya bisa diselesaikan dengan menghapus entitas Yahudi di Tanah Palestina. Ini karena keberadaan mereka ilegal dan haram. 

Antara OKI dan Palestina

Ahad 26 Jamadilawal 1437 / 6 Maret 2016 06:56
Oleh : Lilis Holisah, Pemerhati Sosial, lilis.holisah@gmail.com
KONFERENSI Tingkat Tinggi Luar Biasa (KTT LB) Organisasi Konferensi Islam (OKI) diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 6-7 Maret 2016. KTT ini dikuti oleh 56 kepala negara dan pemerintahan, empat pengamat, antara lain Amerika Serikat, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Uni Eropa.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menambahkan, KTT tersebut dilatarbelakangi situasi dunia terkait masalah Palestina. KTT itu, menurut Menlu Retno, merupakan bentuk komitmen Indonesia dalam perdamaian dunia.
KTT ini diharapkan akan mampu membantu OKI dalam menyelesaikan krisis Palestina dan mencoba membuat terobosan perdamaian di Timur Tengah. Hasil yang diharapkan dalam pertemuan itu adalah adanya dukungan politik penyelesaian masalah Palestina.
Organisasi Konferensi Islam (OKI) dibentuk di Maroko pada 25 September 1969. Salah satu tujuan dibentuknya OKI adalah membantu perjuangan pembebasan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat.
Apa yang terjadi di Palestina ataupun di negeri muslim lainnya yang sedang bergejolak merupakan masalah kaum muslimin seluruhnya, karena kaum muslim itu laksana satu tubuh, jika bagian tubuh lain mengalami sakit, maka anggota tubuh yang lain akan merasakan sakitnya.
Sejatinya persoalan Palestina adalah persoalan yang membutuhkan solusi komprehensif, bukan parsial. Penyelenggaraan KTT LB OKI yang berharap dukungan politik dari negeri muslim lainnya tidak akan menyelesaikan persoalan Palestina. Kenapa? Karena sesungguhnya akar persoalan masalah Palestina adalah adanya penjajahan di negeri tersebut. Selama masih ada penjajah di Palestina, dan tidak ada upaya untuk mengusir penjajah dari Palestina, maka persoalan Palestina tidak akan pernah selesai.
Berbagai konferensi diselenggarakan pun tanpa ada upaya real mengusir penjajah dari Palestina, palestina selamanya akan tetap menjadi bulan-bulanan Israel. Selama Israel tidak diusir dari tanah palestina, Palestina tidak akan bisa keluar dari konflik yang berkepanjangan dengan Israel. Maka, KTT OKI menjadi sebuah ilusi bagi penyelesaian konflik Palestina.
Satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa untuk membantu Palestina juga bukan dengan mengakui kemerdekaan palestina sebagai sebuah negara bangsa. Justru persoalan Palestina salah satunya adalah ketika berbagai bangsa di dunia menginginkan kemerdekaan sebagai sebuah negara bangsa yang merdeka sesuai kultur wilayah nya masing-masing.
Sekat negara bangsa (nasionalisme) merupakan salah satu akar masalah krisis Palestina. Karena nasionalisme lah, kaum muslim di negeri lainnya merasa tidak berkewajiban mengusir Israel dari tanah Palestina.
Palestina adalah persoalan kaum Muslimin yang harus menjadi prioritas utama yang harus diselesaikan. Krisis Palestina adalah pesoalan bangsa yang terusir yang harus dikembalikan ke tanah mereka.
Palestina adalah persoalan tanah Islam yang telah dirampas. Faktanya tidak jauh berbeda dengan persoalan Andalusia, Macedonia, Yugoslavia, Tashkent, Afganistan, Khasmir, Ethiopia, Cyprus, Sicilia, India, Libanon, atau Albania. Keseluruhannya adalah tanah Islam yang dirampas dan mulai dilupakan.
Sebuah solusi hingga disebut sebagai solusi yang Islami, tidak sekedar dikeluarkan oleh seorang Muslim atau kelompok Islam. Secara syar’i tanah palestina merupakan tanah milik umat Islam yang dirampas, yang oleh karena itu tidak ada istilah solusi alternatif selain solusi Islam, dan solusi yang Islami yaitu “Membebaskan seluruh bumi Palestina dan tanah umat islam lainnya dengan jihad fisabilillah”.
Untuk menegakkan jihad ini secara sempurna membutuhkan sebuah institusi negara yang akan melaksanakan kewajiban agung tersebut. Jihad adalah puncak keagungan Islam. Khilafah yang nanti akan menyatakan peperangan terhadap negara-negara kufur. Hanya Khilafah Islamiyah lah yang dapat menyelesaikan masalah Palestina ini dan juga masalah kaum Muslim lainnya sampai ke akar-akarnya.
Untuk saat ini, langkah praktis yang harus ditempuh jelas tidak akan terlaksana kecuali oleh negara, karena negaralah yang memiliki pasukan dan perlengkapan militer yang memadai. Selain pengiriman bantuan kesehatan dan makanan.
Kaum Muslim di seluruh dunia harus mendorong dan mendesak para penguasa Muslim, untuk bersama-sama mengirimkan tentaranya ke Palestina dalam rangka mengusir Israel.
Kaum Muslim harus terus berupaya mewujudkan negara Khilafah dan mengangkat seorang khalifah di tengah – tengah kaum Muslim. Khalifah lah yang akan mampu menyatukan gerak dan langkah seluruh kaum Muslim dalam menyelesaikan krisis Palestina dan berbagai krisis lain yang menimpa kaum Muslim.
Khilafah akan menghidupkan jihad yang saat ini dimatikan. Jihad akan dilakukan untuk membebaskan seluruh tanah umat Islam termasuk palestina, dan juga menyelesaikan masalah-masalah umat islam lainnya.
Lebih dari setengah abad, persoalan Palestina telah menyibukkan masyarakat, menguras pikiran, keringat dan air mata kaum muslim. Perbincangan tentang Palestina menjadi perbincangan para Khatib, pemikir, umat Islam, harakah-harakah, berbagai negara, pasukan militer, muktamar dan media massa. Seandainya energi umat yang terkuras habis membahas masalah Palestina digunakan seluruhnya untuk membahas kekhilafahan dan memperjuangkan tegaknya Khilafah, maka insya Allah Khilafah akan segera tegak. Wa Allahu ‘alam.

Solusi 2 Negara, Tepatkah?

Rabu 29 Jamadilawal 1437 / 9 Maret 2016 17:45
Oleh : Lilis Holisah, Pemerhati Sosial, lilis.holisah@gmail.com
PALESTINA adalah negeri para Nabi, disinilah kiblat pertama kaum muslimin. Namun sejak keruntuhan negara Khilafah pada 3 Maret 1924 yang lalu, Palestina tidak memiliki pelindung, penjaga.
Konflik Palestina – Israel terus berulang, tak menemukan solusi. Permasalahan Palestina bermula ketika Zionis Yahudi eksodus besar-besaran dari berbagai negara ke tanah Palestina dan mendirikan negara Israel. Upaya yang dimotori oleh keluarga Bankir Rothchilds dan pion-nya Theodore Hertzl tersebut didukung penuh oleh Inggris, yang pada 2 November 1917 pemerintah Inggris secara resmi menyetujui pendirian negara Israel melalui Deklarasi Balfour.
Pada Desember 1922, Liga Bangsa Bangsa (League of Nations) yang menjadi cikal bakal PBB (United Nations), memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi Inggris dengan memberikan mandat pengaturan wilayah Palestina. Setelah itu, sedikitnya 1,3 juta kaum yahudi bermigrasi dari seluruh dunia ke tanah Palestina. Sejak saat itu, kaum muslimin di Palestina diusir dan dibunuh tanpa ada pembelaan dari siapapun. Hal tersebut bisa terjadi karena insitusi penjaga umat Islam, yakni Khilafah Islam pada saat itu sudah sangat melemah dan akhirnya runtuh pada 3 Maret 1924.
Konflik Palestina mendapat perhatian dunia, khususnya negeri-negeri muslim yang tergabung dalam OKI. Pada 6-7 Maret 2016 yang lalu, telah dilangsungkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) ke-5 tentang Palestina dan Al-Quds di Jakarta.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan dalam pidato pembukaan KTT OKI di JCC, Jakarta, Senin (7/3) bahwa Indonesia konsisten dalam mendukung kemerdekaan Palestina. Ia mengatakan selama bangsa Palestina belum merdeka, selama itu juga Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.
Presiden Jokowi di hari pertama kegiatan KTT OKI mengadakan pertemuan bilateral dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Dalam pertemuan itu, Presiden menyampaikan terima kasih atas persetujuan Palestina membuka Konsul Kehormatan RI di Ramallah, pertengahan Maret ini.
Selain itu, Presiden Jokowi juga menyerukan kepada PBB untuk mendukung dunia Islam sesuai peran dan tanggung jawabnya sebagai wadah masyarakat internasional untuk mewujudkan kemerdekaan Palestina melalui solusi dua negara atau two state solution.
Apa yang ditegaskan oleh Jokowi mendapat sorotan dari pengamat Hubungan Internasional Budi Mulyana. Menurut Budi Mulyana yang juga seorang Dosen Hubungan Internasional Unikom Bandung ini, solusi yang ditawarkan Jokowi tidak menyentuh akar persoalan. Solusi dua negara yang digagas Jokowi melupakan persoalan mendasar krisis Palestina.
Persoalan mendasar konflik Palestina adalah penjajahan oleh entitas zionis Yahudi. Penjajahan inilah yang semestinya harus dienyahkan, bukan dengan menyodorkan solusi dua negara. Hanya saja, dalam pertemuan tersebut tidak ada pembahasan untuk mengenyahkan Israel dari tanah Palestina.
Ide untuk menjalankan sistem satu tanah untuk dua negara atau two-state solution sebagai jawaban dari konflik Israel-Palestina telah muncul sejak 1974. Ini dipertegas dalam Perjanjian Oslo tahun 1993. Tawaran solusi ini sebenarnya berasal dari resolusi PBB 181 yang ingin membagi Tanah Palestina menjadi dua bagian: satu untuk Palestina dan satu untuk Israel (two state solution). Dengan solusi ini diharapkan Israel dan Palestina menjadi dua negara yang hidup berdampingan secara damai.
Tawaran solusi ini adalah tawaran yang aneh. Solusi dua negara sama saja artinya dengan mengakui keberadaan negara Israel di tanah wakaf milik kaum Muslim. Sesungguhnya status Tanah Palestina adalah milik kaum Muslim sampai hari kiamat berdasarkan Perjanjian ‘Illiya.
Sikap penguasa negeri kaum Muslim yang turut menyetujui usulan solusi dua negara tersebut hakikatnya merupakan sebuah sikap pengkhianatan terhadap kaum Muslim sendiri.
Sesungguhnya ada kegelisahan dari negara-negara anggota OKI terhadap permasalahan Palestina yang sudah puluhan tahun belum juga menemui solusi menyeluruh. Persoalannya negara-negara anggota OKI tidak menyadari akar masalah konflik Palestina. Sehingga sudah berkali-kali konferensi semisal tersebut diadakan, tetapi hasilnya nihil.
Menurut OKI, realitas keberadaan Israel di tanah Palestina tidak bisa diubah, sehingga solusi dua negara menjadi solusi yang tepat untuk saat ini. Yang artinya adalah kedua negara tersebut diakui sebagai sebuah entitas, baik Yahudi Israel maupun Palestina. Oleh karena itu, kemerdekaan Palestina menjadi urgent.
Bila ditelisik lebih dalam, KTT OKI ini hanya membahas persoalan teknis, terlihat dari isu yang diangkat dalam KTT ini, yakni perbatasan, pengungsi, status kota Jerusalem, pemukiman ilegal, keamanan dan air. Semua itu hanyalah persoalan teknis bukan persoalan mendasar krisis Palestina. Sementara akar masalah krisis Palestina yaitu bercokolnya entitas Yahudi Israel di tanah Palestina tetap dibiarkan, tiada upaya untuk mengusir mereka dari Palestina.
Hasil yang diharapkan dari KTT LB OKI ini adalah dukungan politik penyelesaian masalah Palestina. Hanya dukungan politik dari negara-negara anggota OKI, bukan menyelesaikan dan mengusir penjajah Israel di bumi Palestina.
Sesungguhnya Islam datang dengan seperangkat aturan yang lengkap tentang kehidupan. Islam memiliki metode untuk menyelesaikan konflik Palestina. Metode syar’i untuk menghilangkan segala bentuk invasi dan penjajahan Israel adalah dengan jihad, bukan dengan metode yang lain. Caranya adalah dengan mengirimkan tentara-tentara dari negeri-negeri kaum Muslim untuk melakukan jihad fi sabilillah.
Jihad merupakan puncak keagungan Islam. Jihad dibebankan kepada kaum muslimin. Di sinilah relevansi dan sekaligus pentingnya negara Khilafah. Khilafah adalah institusi pemersatu umat Islam di seluruh dunia. Dengan semangat jihad fi sabilillah, negeri-negeri kaum Muslim kemudian mengerahkan tentaranya untuk mengusir entitas Yahudi dari Tanah Palestina.
Bersatunya tentara-tentara dari negeri kaum Muslim tersebut akan membuat gentar entitas Zionis Israel yang hanya berpenduduk sekitar 7,7 juta jiwa tersebut. Tanpa Khilafah, umat Islam akan tetap tercerai-berai, tersekat atas nama nation state (negara bangsa). Akibatnya, mereka sulit untuk bersatu-padu mengusir Israel. A Allahu ‘alam.