Adakah Dampak KTT OKI untuk
Kemerdekaan Palestina?
Jumat 8 Jamadilakhir 1437 / 18 Maret 2016 17:30
Oleh: Dian Hermawati, Muslimah Tinggal di
Bandung
SEJAK awal berdirinya 47 tahun silam hingga saat ini
OKI telah gagal mewujudkan tujuan pendiriannya. OKI didirikan dengan
latarbelakang reaksi para pemimpin Dunia Islam terhadap penyerobotan Israel
atas mesjid al-Aqsha. Namun sejak saat itu pula umat Islam bisa menyaksikan
betapa minimnya keterlibatan OKI membela kepentingan Muslim Palestina.
Bentuk kepedulian OKI hanya sebatas pemberian donasi
dan bantuan medis kepada penduduk Palestina. Sementara mereka tak melakukan
apa-apa terhadap Israel yang menjajah sekaligus mengusir dan membunuhi warga
muslim Palestina. OKI lebih banyak mendorong apa yang dikatakan sebagai ‘dialog
perdamaian’ Palestina dengan Israel. Padahal akar konflik Palestina-Israel
adalah penjajahan Zionis Israel atas tanah Palestina, bukan masalah perdamaian.
Keseriusan OKI untuk menyelesaikan konflik Palestina
dan Israel, juga keberpihakan mereka kepada rakyat Palestina dan pembebasan al
aqsha semakin dipertanyakan. Beberapa anggota OKI menjalin persahabatan dengan
Israel. Yordania,Turki,dan mesir adalah sebagian anggota OKI yang telah
menjalin kerjasama dengan Israel.
Presiden Mesir, Abdul Fatah as-Sisi, september 2015
malah menyerukan negara-negara Arab untuk bekerjasama dengan Israel dengan
dalih untuk memerangi ancaman terorisme. Selain sudah terbukti gagal
menyelesaikan problem di dunia Islam, termasuk isu Palestina, al-Quds,
al-aqsha, OKI juga hanya membebek pada solusi dan keinginan Barat. Pasalnya,
anggota-anggota OKI tak bisa lepas dari dominasi politik dan militer
negara-negara Barat, khususnya Amerika dan Inggris.
Kehadiran kuartet negosiasi Palestina-Israel
(Amerika,Rusia,PBB, dan Uni Eropa) dan wakil lima negara anggota tetap DK PBB
di KTT LB ke-5 OKI di Jakarta adalah bukti bahwa OKI dan para pemimpin Dunia
Islam tidak mandiri dalam memutuskan nasib umat. Begitu pula dengan solusi dua
negara untuk Palestina-Israel adalah solusi yang dirancang oleh AS dan Barat.
Persoalan
Palestina bukan persoalan perbatasan (huduud), tetapi persoalan keberadaan
Israel di Tanah Palestina. Persoalan Palestina hanya bisa diselesaikan dengan
menghapus entitas Yahudi di Tanah Palestina. Ini karena keberadaan mereka
ilegal dan haram.
Antara OKI dan Palestina
Ahad
26 Jamadilawal 1437 / 6 Maret 2016 06:56
Oleh : Lilis Holisah, Pemerhati Sosial, lilis.holisah@gmail.com
KONFERENSI Tingkat Tinggi Luar Biasa (KTT LB)
Organisasi Konferensi Islam (OKI) diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 6-7
Maret 2016. KTT ini dikuti oleh 56 kepala negara dan pemerintahan, empat
pengamat, antara lain Amerika Serikat, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Uni
Eropa.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menambahkan, KTT
tersebut dilatarbelakangi situasi dunia terkait masalah Palestina. KTT itu,
menurut Menlu Retno, merupakan bentuk komitmen Indonesia dalam perdamaian
dunia.
KTT ini diharapkan akan mampu membantu OKI dalam
menyelesaikan krisis Palestina dan mencoba membuat terobosan perdamaian di
Timur Tengah. Hasil yang diharapkan dalam pertemuan itu adalah adanya dukungan
politik penyelesaian masalah Palestina.
Organisasi Konferensi Islam (OKI) dibentuk di Maroko
pada 25 September 1969. Salah satu tujuan dibentuknya OKI adalah membantu
perjuangan pembebasan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat.
Apa yang terjadi di Palestina ataupun di negeri
muslim lainnya yang sedang bergejolak merupakan masalah kaum muslimin
seluruhnya, karena kaum muslim itu laksana satu tubuh, jika bagian tubuh lain
mengalami sakit, maka anggota tubuh yang lain akan merasakan sakitnya.
Sejatinya persoalan Palestina adalah persoalan yang
membutuhkan solusi komprehensif, bukan parsial. Penyelenggaraan KTT LB OKI yang
berharap dukungan politik dari negeri muslim lainnya tidak akan menyelesaikan
persoalan Palestina. Kenapa? Karena sesungguhnya akar persoalan masalah
Palestina adalah adanya penjajahan di negeri tersebut. Selama masih ada
penjajah di Palestina, dan tidak ada upaya untuk mengusir penjajah dari
Palestina, maka persoalan Palestina tidak akan pernah selesai.
Berbagai konferensi diselenggarakan pun tanpa ada
upaya real mengusir penjajah dari Palestina, palestina selamanya akan tetap
menjadi bulan-bulanan Israel. Selama Israel tidak diusir dari tanah palestina,
Palestina tidak akan bisa keluar dari konflik yang berkepanjangan dengan
Israel. Maka, KTT OKI menjadi sebuah ilusi bagi penyelesaian konflik Palestina.
Satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa untuk
membantu Palestina juga bukan dengan mengakui kemerdekaan palestina sebagai
sebuah negara bangsa. Justru persoalan Palestina salah satunya adalah ketika
berbagai bangsa di dunia menginginkan kemerdekaan sebagai sebuah negara bangsa
yang merdeka sesuai kultur wilayah nya masing-masing.
Sekat negara bangsa (nasionalisme) merupakan salah
satu akar masalah krisis Palestina. Karena nasionalisme lah, kaum muslim di
negeri lainnya merasa tidak berkewajiban mengusir Israel dari tanah Palestina.
Palestina adalah persoalan kaum Muslimin yang harus
menjadi prioritas utama yang harus diselesaikan. Krisis Palestina adalah
pesoalan bangsa yang terusir yang harus dikembalikan ke tanah mereka.
Palestina adalah persoalan tanah Islam yang telah
dirampas. Faktanya tidak jauh berbeda dengan persoalan Andalusia, Macedonia,
Yugoslavia, Tashkent, Afganistan, Khasmir, Ethiopia, Cyprus, Sicilia, India,
Libanon, atau Albania. Keseluruhannya adalah tanah Islam yang dirampas dan
mulai dilupakan.
Sebuah solusi
hingga disebut sebagai solusi yang Islami, tidak sekedar dikeluarkan oleh
seorang Muslim atau kelompok Islam. Secara syar’i tanah palestina merupakan
tanah milik umat Islam yang dirampas, yang oleh karena itu tidak ada istilah
solusi alternatif selain solusi Islam, dan solusi yang Islami yaitu
“Membebaskan seluruh bumi Palestina dan tanah umat islam lainnya dengan jihad
fisabilillah”.
Untuk menegakkan jihad ini secara sempurna
membutuhkan sebuah institusi negara yang akan melaksanakan kewajiban agung
tersebut. Jihad adalah puncak keagungan Islam. Khilafah yang nanti akan
menyatakan peperangan terhadap negara-negara kufur. Hanya Khilafah Islamiyah
lah yang dapat menyelesaikan masalah Palestina ini dan juga masalah kaum Muslim
lainnya sampai ke akar-akarnya.
Untuk saat ini, langkah praktis yang harus ditempuh
jelas tidak akan terlaksana kecuali oleh negara, karena negaralah yang memiliki
pasukan dan perlengkapan militer yang memadai. Selain pengiriman bantuan
kesehatan dan makanan.
Kaum Muslim di seluruh dunia harus mendorong dan
mendesak para penguasa Muslim, untuk bersama-sama mengirimkan tentaranya ke
Palestina dalam rangka mengusir Israel.
Kaum Muslim harus terus berupaya mewujudkan negara
Khilafah dan mengangkat seorang khalifah di tengah – tengah kaum Muslim.
Khalifah lah yang akan mampu menyatukan gerak dan langkah seluruh kaum Muslim
dalam menyelesaikan krisis Palestina dan berbagai krisis lain yang menimpa kaum
Muslim.
Khilafah akan menghidupkan jihad yang saat ini
dimatikan. Jihad akan dilakukan untuk membebaskan seluruh tanah umat Islam
termasuk palestina, dan juga menyelesaikan masalah-masalah umat islam lainnya.
Lebih dari setengah abad, persoalan Palestina telah
menyibukkan masyarakat, menguras pikiran, keringat dan air mata kaum muslim.
Perbincangan tentang Palestina menjadi perbincangan para Khatib, pemikir, umat
Islam, harakah-harakah, berbagai negara, pasukan militer, muktamar dan media
massa. Seandainya energi umat yang terkuras habis membahas masalah Palestina
digunakan seluruhnya untuk membahas kekhilafahan dan memperjuangkan tegaknya
Khilafah, maka insya Allah Khilafah akan segera tegak. Wa Allahu ‘alam.
Solusi 2 Negara, Tepatkah?
Rabu
29 Jamadilawal 1437 / 9 Maret 2016 17:45
Oleh : Lilis Holisah, Pemerhati
Sosial, lilis.holisah@gmail.com
PALESTINA adalah negeri para Nabi, disinilah kiblat
pertama kaum muslimin. Namun sejak keruntuhan negara Khilafah pada 3 Maret 1924
yang lalu, Palestina tidak memiliki pelindung, penjaga.
Konflik Palestina – Israel terus berulang, tak
menemukan solusi. Permasalahan Palestina bermula ketika Zionis Yahudi eksodus
besar-besaran dari berbagai negara ke tanah Palestina dan mendirikan negara
Israel. Upaya yang dimotori oleh keluarga Bankir Rothchilds dan pion-nya
Theodore Hertzl tersebut didukung penuh oleh Inggris, yang pada 2 November 1917
pemerintah Inggris secara resmi menyetujui pendirian negara Israel melalui
Deklarasi Balfour.
Pada Desember 1922, Liga Bangsa Bangsa (League of
Nations) yang menjadi cikal bakal PBB (United Nations), memberikan landasan
hukum yang lebih kuat bagi Inggris dengan memberikan mandat pengaturan wilayah
Palestina. Setelah itu, sedikitnya 1,3 juta kaum yahudi bermigrasi dari seluruh
dunia ke tanah Palestina. Sejak saat itu, kaum muslimin di Palestina diusir dan
dibunuh tanpa ada pembelaan dari siapapun. Hal tersebut bisa terjadi karena
insitusi penjaga umat Islam, yakni Khilafah Islam pada saat itu sudah sangat
melemah dan akhirnya runtuh pada 3 Maret 1924.
Konflik Palestina mendapat perhatian dunia, khususnya
negeri-negeri muslim yang tergabung dalam OKI. Pada 6-7 Maret 2016 yang lalu,
telah dilangsungkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja
Sama Islam (OKI) ke-5 tentang Palestina dan Al-Quds di Jakarta.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan dalam pidato
pembukaan KTT OKI di JCC, Jakarta, Senin (7/3) bahwa Indonesia konsisten dalam
mendukung kemerdekaan Palestina. Ia mengatakan selama bangsa Palestina belum
merdeka, selama itu juga Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.
Presiden Jokowi di hari pertama kegiatan KTT OKI
mengadakan pertemuan bilateral dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Dalam
pertemuan itu, Presiden menyampaikan terima kasih atas persetujuan Palestina
membuka Konsul Kehormatan RI di Ramallah, pertengahan Maret ini.
Selain itu, Presiden Jokowi juga menyerukan kepada
PBB untuk mendukung dunia Islam sesuai peran dan tanggung jawabnya sebagai
wadah masyarakat internasional untuk mewujudkan kemerdekaan Palestina melalui
solusi dua negara atau two state solution.
Apa yang ditegaskan oleh Jokowi mendapat sorotan dari
pengamat Hubungan Internasional Budi Mulyana. Menurut Budi Mulyana yang juga
seorang Dosen Hubungan Internasional Unikom Bandung ini, solusi yang ditawarkan
Jokowi tidak menyentuh akar persoalan. Solusi dua negara yang digagas Jokowi
melupakan persoalan mendasar krisis Palestina.
Persoalan mendasar konflik Palestina adalah
penjajahan oleh entitas zionis Yahudi. Penjajahan inilah yang semestinya harus
dienyahkan, bukan dengan menyodorkan solusi dua negara. Hanya saja, dalam
pertemuan tersebut tidak ada pembahasan untuk mengenyahkan Israel dari tanah
Palestina.
Ide untuk menjalankan sistem satu tanah untuk dua
negara atau two-state solution sebagai jawaban dari konflik Israel-Palestina
telah muncul sejak 1974. Ini dipertegas dalam Perjanjian Oslo tahun 1993.
Tawaran solusi ini sebenarnya berasal dari resolusi PBB 181 yang ingin membagi
Tanah Palestina menjadi dua bagian: satu untuk Palestina dan satu untuk Israel
(two state solution). Dengan solusi ini diharapkan Israel dan Palestina menjadi
dua negara yang hidup berdampingan secara damai.
Tawaran solusi ini adalah tawaran yang aneh. Solusi
dua negara sama saja artinya dengan mengakui keberadaan negara Israel di tanah
wakaf milik kaum Muslim. Sesungguhnya status Tanah Palestina adalah milik kaum
Muslim sampai hari kiamat berdasarkan Perjanjian ‘Illiya.
Sikap penguasa negeri kaum Muslim yang turut
menyetujui usulan solusi dua negara tersebut hakikatnya merupakan sebuah sikap
pengkhianatan terhadap kaum Muslim sendiri.
Sesungguhnya ada
kegelisahan dari negara-negara anggota OKI terhadap permasalahan Palestina yang
sudah puluhan tahun belum juga menemui solusi menyeluruh. Persoalannya
negara-negara anggota OKI tidak menyadari akar masalah konflik Palestina.
Sehingga sudah berkali-kali konferensi semisal tersebut diadakan, tetapi
hasilnya nihil.
Menurut OKI, realitas keberadaan Israel di tanah
Palestina tidak bisa diubah, sehingga solusi dua negara menjadi solusi yang
tepat untuk saat ini. Yang artinya adalah kedua negara tersebut diakui sebagai
sebuah entitas, baik Yahudi Israel maupun Palestina. Oleh karena itu,
kemerdekaan Palestina menjadi urgent.
Bila ditelisik lebih dalam, KTT OKI ini hanya
membahas persoalan teknis, terlihat dari isu yang diangkat dalam KTT ini, yakni
perbatasan, pengungsi, status kota Jerusalem, pemukiman ilegal, keamanan dan
air. Semua itu hanyalah persoalan teknis bukan persoalan mendasar krisis
Palestina. Sementara akar masalah krisis Palestina yaitu bercokolnya entitas
Yahudi Israel di tanah Palestina tetap dibiarkan, tiada upaya untuk mengusir
mereka dari Palestina.
Hasil yang diharapkan dari KTT LB OKI ini adalah
dukungan politik penyelesaian masalah Palestina. Hanya dukungan politik dari
negara-negara anggota OKI, bukan menyelesaikan dan mengusir penjajah Israel di bumi
Palestina.
Sesungguhnya Islam datang dengan seperangkat aturan
yang lengkap tentang kehidupan. Islam memiliki metode untuk menyelesaikan
konflik Palestina. Metode syar’i untuk menghilangkan segala bentuk invasi dan
penjajahan Israel adalah dengan jihad, bukan dengan metode yang lain. Caranya
adalah dengan mengirimkan tentara-tentara dari negeri-negeri kaum Muslim untuk
melakukan jihad fi sabilillah.
Jihad merupakan puncak keagungan Islam. Jihad
dibebankan kepada kaum muslimin. Di sinilah relevansi dan sekaligus pentingnya
negara Khilafah. Khilafah adalah institusi pemersatu umat Islam di seluruh
dunia. Dengan semangat jihad fi sabilillah, negeri-negeri kaum Muslim kemudian
mengerahkan tentaranya untuk mengusir entitas Yahudi dari Tanah Palestina.
Bersatunya tentara-tentara dari negeri kaum Muslim
tersebut akan membuat gentar entitas Zionis Israel yang hanya berpenduduk
sekitar 7,7 juta jiwa tersebut. Tanpa Khilafah, umat Islam akan tetap
tercerai-berai, tersekat atas nama nation state (negara bangsa). Akibatnya,
mereka sulit untuk bersatu-padu mengusir Israel. A Allahu ‘alam.