Saturday, May 7, 2016

Bagai Pinang Dibelah Dua Al-Imam Muhammad Bin Idris Asy-Syafi’i Rahimahullahu Dan Al-Imam Muhammad Bin Abdul Wahab At-Tamimi An-Najdi Rahimahullahu.

Bagai Pinang Dibelah Dua (2)

Saudara pembaca semoga Allah ta’ala senantiasa merahmati kita semua, pepatah di atas nampaknya sangat tepat untuk menggambarkan kesamaan dan keserupaan dua Mujadid  Islam, al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullahu dan al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab at-Tamimi an-Najdi rahimahullahu.

Mungkin ada yang bertanya:
Apakah kedua Imam yang mulia ini bersaudara (baca: Saudara Kembar), sehingga memiliki keserupaan dan kesamaan?
Maka Jawabannya:
“Tentu tidak.”
Karena antara keduanya terpaut jarak waktu yang sangat jauh, al-Imam asy-Syafi’irahimahullahu meninggal pada tahun 204 Hijriyyah (820 Masehi), sedangkan al-Imam Muhammad bin Abdul Wahabrahimahullahu wafat pada tahun 1206 Hijriyyah (1792 Masehi), rentang waktu antara keduanya adalah 1002 tahun (jika berdasarkan tahun Hijriyyah) atau 972 tahun (jika dihitung berdasarkan Masehi), atau sekitar 10 Abad (1 abad = 100 tahun).
Lalu jika ada yang bertanya:
“Lantas dari sisi manakah kemiripan atau keserupaan dua Mujadid yang mulia ini?”
Maka jawabannya:
“Dari sisi pemahaman mereka terhadap Agama Islam, baik dari segi akidah, manhaj, muamalah, dan sisi-sisi lainnya.”
Insya Allah dalam artikel berikut ini kita akan mendapati jawabannya.
BIOGRAFI RINGKAS DUA IMAM BESAR AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu
Beliau adalah:
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hisyam bin al-Muthalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin Adnan.
Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abdu Manaf bin Qushay.
Lahir pada tahun 150 H (766 M), bertepatan dengan meninggalnya al-Imam Abu Hanifah rahimahullahu, yang juga meninggal pada tahun tersebut. Lahir di desa Gaza, kota Asqalan, sekarang termasuk wilayah negeri Palestina.
Dalam usia belia 7 tahun beliau rahimahullahu telah berhasil menghafal al-Qur’an, waktu mudanya dihabiskan guna menuntut ilmu syar’i, belajar dari seorang ulama kepada ulama lainnya, berkelana dari sebuah negeri ke negeri lainnya, hingga dalam usia yang masih sangat muda (dua puluh sekian tahun) beliau telah layak berfatwa dan menjadi Imam dalam agama ini.
Beliau rahimahullahu meninggal dunia pada malam Jum’at 29 Rajab tahun 204 H (19 Januari 820 M), di Mesir dalam usia 54 tahun. (Manaqib asy Syafi’i lil Baihaqi, Siyar A’lamin Nubala’ lidzh Dzahabi, Tahdzibul Asma’ wa Lughat lin Nawawi, al-Bidayah wan Nihayah li Ibni Katsir, dan Taqribut Tahdzib li Ibni Hajar)
Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu
Beliau adalah:
Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali  bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin Barid bin Musyrif at-Tamimi an-Najdi rahimahullahu.
Beliau rahimahullahu dari bani Tamim, yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang kemuliaan bani ini:
“Mereka (bani Tamim) adalah sekelompok kaum dari umatku yang paling keras (penentangan/perlawanannya) terhadap ad-Dajjal”. (HR. al-Bukhari No.2543 dan Muslim No.2525, dari Shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Lahir pada tahun 1115 H (1703 M), di Uyainah, Negeri Najd, utara kota Riyadh, ibukota Saudi Arabia sekarang.
Dalam usia belia belum mencapai umur 10 tahun beliau rahimahullahu telah berhasil menghafal al-Qur’an, waktu mudanya dihabiskan guna menuntut ilmu syar’i, belajar dari seorang ulama kepada ulama lainnya, berkelana dari sebuah negeri ke negeri lainnya, hingga beliau menjadi Imam dalam agama ini.
Beliau rahimahullahu meninggal dunia pada Dzulqa’dah tahun 1206 H (1792 M), di Dir’iyah dalam usia 91 tahun.  (Mukhtashar Zadul Ma’ad, asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab ‘Aqidatuhu as-Salafiyyah wa Da’watuhu al-Ishlahiyyah, Hayatu asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab wa Haqiqatu Da’watuhu, Hayatu asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab wa Atsaruhu al-Ilmiyyah)

BAGAI PINANG DIBELAH DUA

Berikut keserupaan dan kesamaan antara keduanya, yang menunjukkan bahwa akidah keduanya memiliki keterkaitan yang erat, karena memang sumbernya sama, dari al-Qur’an dan as-Sunnah as-Shahihah, di atas pemahaman yang benar, akidah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) sejati.

PENJELASAN TENTANG AL-IMAN

– Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu

Al-Iman menurut al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu mencakup ucapan, perbuatan, dan niat (keyakinan). Ia bisa bertambah dengan ketaatan dan bisa berkurang dengan kemaksiatan. (Manhaj al-Imam asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah 2/516, al-Intiqa’ hal.81)

– Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu berkata:

“Keyakinanku tentang al-Iman: Diucapkan dengan lisan, diamalkan dengan rukun-rukunnya, meyakininya dengan hati, bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan, terdiri dari 73 cabang, yang tertinggi Syahadat Lailahailallah, dan terendah menyingkirkan duri dari jalan.” (Risalatu Syaikh ila Ahlil Qasim, ar-Rasail as-Syakhshiyah hal.11, Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah lil Utsaimin hal.6-7)

BERIMAN KEPADA ASMA’ DAN SIFAT-SIFAT ALLAH TA’ALA

– Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu berkata:

“Kami menetapkan sifat-sifat Allah ta’ala sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami meniadakan tasybih (menyerupakan Allah ta’ala dengan makhluk Nya -pent).

Sebagaimana Allah ta’ala juga meniadakan tasybih tersebut dalam firman Nya :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ ﴿١١﴾

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Maha Melihat”. (asy-Syura: 11)

(Siyar A’lamin Nubala’ lidzh Dzahabi 20/341)

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu juga berkata:

“Allah ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, yang siapapun dari umatnya tidak boleh menyimpang dari ketentuan itu, setelah dia memperoleh hujjah (dalil-dalil), namun apabila dia menyimpang dari ketentuan tersebut setelah mendapat hujjah, maka dia menjadi kafir”. (al-I’tiqad lil Imam asy-Syafi’i, riwayat Abu Thalib al-Isy’ari, al-Bidayah wan Nihayah li Ibni Katsir 10/265)

– Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu berkata:

“Di antara keimanan kepada Allah ta’ala adalah: Beriman kepada apa-apa yang telah Dia sifatkan bagi Diri-Nya ‘azza wa jalla di dalam kitab-Nya (al-Qur’an), atau melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam (as-Sunnah), dengan tanpa tahrif (memalingkan maknanya kepada yang tidak diinginkan oleh Allah ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), tanpa ta’thil (menolak maknanya), Bahkan saya meyakini tidak ada yang serupa dengan Allah ta’ala, dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat”. (Risalatu Syaikh ila Ahlil Qasim, ar-Rasail as-Syakhshiyah hal.8, Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah lil Utsaimin hal.6-7)

MELIHAT ALLAH TA’ALA DI HARI KIAMAT

– Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu berkata:

“Demi Allah ta’ala, jika Muhammad bin Idris tidak meyakini akan dilihatnya Allah ta’ala di hari kiamat, niscaya dia (al Imam asy-Syafi’i sendiri -pent) tidak akan beribadah kepada-Nya (kepada Allah ta’ala) di dunia”. (Manaqib asy Syafi’i 1/419)

– Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu berkata:

“Saya mengimani bahwa al-Jannah  dan an-Nar adalah dua makhluk (Allah ta’ala), yang keduanya telah ada sekarang, dan keduanya tidak akan binasa (dengan izin Allah ta’ala-pent), dan saya mengimani bahwa kaum mukminin akan melihat Rabb mereka ta’ala dengan penglihatan hakiki pada hari kiamat, sebagaimana mereka melihat bulan pada malam purnama, mereka tidak saling berdesakan dan tidak saling menyakiti satu dengan yang lainnya”. (Risalatu Syaikh ila Ahlil Qasim, ar-Rasail as-Syakhshiyah 1/10)

MEYAKINI ALLAH TA’ALA ISTIWA’ DI ATAS ARSY

– Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu berkata:

“Saya bersaksi bahwa Allah ta’ala di atas ‘Arsy di langit.” (Ijtima’ al-Juyusy)

– Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu berkata:

“Saya meyakini ayat-ayat (yang terkait) sifat dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan Dzhahirnya (lahiriah), dan menyerahkan ilmunya kepada Allah ta’ala dengan tetap meyakini kebenarannya secara hakiki, sungguh al-Imam Malik rahimahullahu dari ulama salaf yang mulia, ketika ditanya tentang al-Istiwa’ dalam firman Nya:

الرَّحْمَـٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ ﴿٥﴾

“(yaitu) Rabb yang Maha Pemurah yang ber-Istiwa’ di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)

Beliau (Imam Malik rahimahullahu) berkata al-Istiwa’ difahami maknanya, tata caranya tidak diketahui, beriman tentangnya adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah.” (Hayatu asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wa Haqiqatu Da’watuhu hal.92, asy-Syaikh al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab wa Manhajuhu fi Mabahits al-‘Aqidah hal.116)

Keyakinan beliau rahimahullahu ini juga bisa dilihat dalam muqadimah (pembukaan) khutbah-khutbah beliau, yang beliau rahimahullahu senantiasa mengulangnya. (al-Khuthab al-Minbariyyah hal.5, 11, 19 dan 47).

AL-QUR’AN KALAMULLAH BUKAN MAKHLUK

– Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu berkata:

“Barang siapa mengatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk, maka dia telah kafir.”  (Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah 1/252)

– Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu berkata:

“Saya meyakini bahwa al-Qur’an kalamullah, yang diturunkan (dari Allah ta’ala) bukan makhluk, dari-Nya ta’ala berasal dan akan kembali kepada-Nya, sungguh Allah ta’ala telah berbicara dengannya secara hakiki, yang diturunkan kepada hamba dan Rasul-Nya (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam).”  (Risalatu Syaikh ila Ahlil Qasim, ar-Rasail as-Syakhshiyah hal.9)

IMAN KEPADA PERKARA-PERKARA GHAIB SETELAH KEMATIAN 

- Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu berkata:

“Sungguh adzab kubur benar adanya, pertanyaan malaikat kepada penghuni kubur benar adanya, hari kebangkitan benar adanya, penghitungan amal di hari kiamat benar adanya, al-Jannah (surga) dan an-Nar (neraka) benar adanya, dan hal lainnya yang disebutkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta disampaikan melalui lisan para ulama di segenap negeri kaum muslimin (benar pula adanya).” (Manaqib asy-Syafi’i 1/415)

– Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu berkata:

“Saya meyakini dan beriman kepada semua yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari perkara-perkara (ghaib) setelah kematian: Saya beriman kepada adanya fitnah dan nikmat kubur, dikembalikannya arwah-arwah kepada jasad-jasad mereka, maka manusia berdiri menghadap kepada Rabb semesta alam, tanpa beralas kaki, tanpa busana, dan belum dikhitan, didekatkan kepada mereka matahari, ditegakkan timbangan dan ditimbanglah dengannya amalan hamba.

Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al-Mukminun ayat 102-103:

فَمَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿١٠٢﴾ وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَـٰئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ ﴿١٠٣﴾

“Barang siapa yang berat timbangan (kebaikan) nya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa yang ringan timbangan (kebaikan) nya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahannam.” (al-Mukminun: 102-103)

Dibagikannya buku catatan amalan, maka ada yang diberikan dari kanannya, dan ada yang diberikan dari kirinya.

Aku beriman dengan al-Haudh (telaga) Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat, airnya lebih putih dari susu, lebih manis dari madu, cangkirnya sebanyak bintang di langit, barang siapa minum seteguk darinya maka tidak akan haus selamanya.

Dan aku beriman dengan ash-Shirath (jembatan) yang dibentangkan di dua tepi jahannam, maka manusia melewatinya sesuai dengan kadar amalan mereka (ketika di dunia).” (Risalatu Syaikh ila Ahlil Qasim, ar-Rasail as-Syakhshiyah hal.9-10)

IMAN KEPADA SYAFAAT  

– Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu berkata:

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

شَفَاعَتِي لِأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِي

”Syafaatku adalah untuk pelaku dosa-dosa besar dari kalangan umatku”. (HR. Abu Dawud no.4739, dan at-Tirmidzi no.2435 dan 2436, Shahih dari Shahabat Anas dan Jabir radhiallahu ‘anhuma)

Maka syafaat ini untuk orang-orang yang bertauhid (kepada Allah ta’ala) yang mereka terjatuh pada dosa-dosa besar, maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan syafaat untuk mereka agar terhapus dosa-dosa mereka, dan agar bertambah kebaikan bagi orang-orang yang mentauhidkan al-Khaliq (Sang Pencipta) mereka, Wallahu A’lam” (az-Zahir fi Gharib Alfadzh asy-Syafi’i 1/93, Manazil al-A’imah al-Arba’ah hal.123-124)

– Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab  rahimahullahu berkata:

“Saya meyakini Syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang pertama yang memberikan syafaat, dan manusia pertama yang diberi syafaat, tidaklah mengingkari syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali Ahlul Bid’ah  (pelaku bid’ah) dan Ahludh Dhalal  (pelaku kesesatan)”. (Risalatu Syaikh ila Ahlil Qasim hal.9-10, Risalatuhu ila Ahlil Maghrib hal.112-113, ar-Rasail as-Syakhshiyah)

IMAN KEPADA QADHA DAN QADAR

– Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu berkata:

“Sesungguhnya kehendak para hamba tergantung kehendak Allah ta’ala, tidaklah mereka berkehendak kecuali atas kehendak Allah Rabb semesta alam. Manusia tidaklah menciptakan amal perbuatannya sendiri, amal perbuatan mereka adalah ciptaan Allah ta’ala. Sesungguhnya takdir baik dan buruk semuanya dari Allah ta’ala.” (Manaqib asy-Syafi’i lil Baihaqi 1/415, Syarh Ushul I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah 2/702)

– Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu berkata:

“Saya beriman bahwa Allah ta’ala melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya, tidaklah terjadi sesuatupun kecuali dengan iradah (kehendak)-Nya, tidak ada yang keluar sedikitpun dari masyi’ah-Nya, tidak ada sesuatupun (kejadian) dalam alam yang keluar dari takdir-Nya, dan tidak akan terjadi kecuali atas pengaturan-Nya. Tidak ada sesuatupun yang bisa menghindar dari takdir yang telah ditetapkan-Nya, dan tidak akan bisa melampaui apa-apa yang telah dituliskan-Nya pada al-Lauh al-Masthur  (al-Lauh Mahfudz).” (Risalatu Syaikh ila Ahlil Qasim, ar-Rasail as-Syakhshiyah hal.9)

KEYAKINAN MEREKA TENTANG SHAHABAT RADHIALLAHU ‘ANHUM

Ternyata keyakinan dua Imam Besar Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) sejati ini, bertolak belakang dan bertentangan dengan akidah penganut agama Syi’ah yang mencela bahkan mengkafirkan para Shahabat Nabi shalallallahu ‘alaihi wa sallam.

Laknat Allah ta’ala atas kaum zindiq tersebut!

– Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu berkata:

“Allah ta’ala telah memuji para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam al-Qur’an, Taurat dan Injil. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah memuji kemuliaan mereka, sementara untuk selain mereka tidak disebutkan, maka semoga Allah ta’ala merahmati mereka, dan menyambut mereka dengan memberikan kedudukan yang paling tinggi sebagai Shidiqqin, Syuhada’ dan Shalihin.

Mereka telah menyampaikan sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita, menyaksikan turunnya wahyu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, oleh karena itu mereka mengetahui apa yang dimaksudkan  oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik yang bersifat umum, maupun khusus, berupa kewajiban ataupun anjuran.” (Manaqib asy-Syafi’i lil Baihaqi 1/442)

- Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu berkata:

“Manusia yang paling mulia setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakr, kemudian Umar ibnul Khatthab, kemudian Utsman bin Affan, kemudian Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhum.” (Manaqib asy-Syafi’i lil Baihaqi 1/433)

– Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu berkata:

“Saya menetapkan keutamaan Shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka, ridha kepada mereka, mendo’akan mereka, menahan diri dari membicarakan keburukan mereka, diam dari perselisihan yang terjadi antara mereka, dan saya juga meyakini keutamaan amalan mereka, berdasarkan firman Allah ta’ala:

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ ﴿١٠﴾

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (al-Hasyr: 10)

Dan saya ridha kepada Ummahatul Mukminin (Para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -pent) yang suci dari semua keburukan (kejelekan).” (Risalatu Syaikh ila Ahlil Qasim, ar-Rasail as-Syakhshiyah hal.10)

Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu berkata:

“Yang paling mulia dari umatnya shallallahu ‘alaihi wa sallam: Abu Bakr ash-Shiddiq, kemudian  Umar al-Faruq, kemudian Utsman Dzunnurain, kemudian Ali al-Murtadha radhiallahu ‘anhum.”  (Risalatu Syaikh ila Ahlil Qasim, ar-Rasail as-Syakhshiyah hal.10)

Saudara pembaca, semoga Allah ta’ala merahmati kita semua…

Berdasarkan fakta-fakta di atas dapatlah kita ambil kesimpulan akidah al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu adalah akidah al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu, demikian sebaliknya.

Ternyata akidah dua imam besar tersebut sama. Akidah al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu adalah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) sejati, demikian pula Akidah al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu juga Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) sejati. Bukan berakidah Qadari, Asy’ari, Maturidi, Mu’tazili, Khariji, Jahmi, atau Syi’i.

Dari pemaparan di atas, tampak nyata bahwa akidah Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu bersambung, bersanad bahkan sama persis dengan akidah al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu.

Ini berbeda dengan klaim ormas NU yang selalu mengklaim pengikut al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu, ternyata akidah mereka terputus, tidak bersambung, bahkan menyelisihi  akidah al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu.

Maka sepantasnya menjadi bahan renungan dan evaluasi kaum muslimin, terkhusus warga NU agar membenahi akidah mereka yang ternyata berbeda dengan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah…

Adapun akidah (keyakinan) dan manhaj (metode beragama) dua Imam Besar Ahlussunnah wal Jam’ah, al-Imam asy-Syafi’i dan al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumallahu sama persis, tiada beda, bahkan satu.
Sebagaimana kata pepatah:
“Bagai pinang dibelah dua.”
Wallahu A’lam bish Shawwab