Saudara pembaca semoga Allah ta’ala senantiasa merahmati
kita semua, pepatah di atas nampaknya sangat tepat untuk menggambarkan kesamaan
dan keserupaan dua Mujadid Islam, al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullahu dan al-Imam
Muhammad bin Abdul Wahab at-Tamimi an-Najdi rahimahullahu.
Mungkin ada yang bertanya:
Apakah kedua Imam yang mulia ini bersaudara
(baca: Saudara Kembar), sehingga memiliki keserupaan dan kesamaan?
Maka Jawabannya:
“Tentu tidak.”
Karena antara keduanya terpaut jarak waktu yang sangat
jauh, al-Imam asy-Syafi’irahimahullahu meninggal
pada tahun 204 Hijriyyah (820 Masehi), sedangkan al-Imam Muhammad bin Abdul
Wahabrahimahullahu wafat pada
tahun 1206 Hijriyyah (1792 Masehi), rentang waktu antara keduanya adalah 1002
tahun (jika berdasarkan tahun Hijriyyah) atau 972 tahun (jika dihitung
berdasarkan Masehi), atau sekitar 10 Abad (1 abad = 100 tahun).
Lalu jika ada yang bertanya:
“Lantas dari sisi manakah kemiripan atau
keserupaan dua Mujadid yang mulia ini?”
Maka jawabannya:
“Dari sisi pemahaman mereka terhadap Agama
Islam, baik dari segi akidah, manhaj, muamalah, dan sisi-sisi lainnya.”
Insya Allah dalam
artikel berikut ini kita akan mendapati jawabannya.
BIOGRAFI
RINGKAS DUA IMAM BESAR AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu
Beliau adalah:
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-Abbas
bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hisyam bin
al-Muthalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Luay bin Ghalib
bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin
Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin Adnan.
Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abdu
Manaf bin Qushay.
Lahir pada tahun 150 H (766 M), bertepatan dengan
meninggalnya al-Imam Abu Hanifah rahimahullahu, yang juga
meninggal pada tahun tersebut. Lahir di desa Gaza, kota Asqalan, sekarang
termasuk wilayah negeri Palestina.
Dalam usia belia 7 tahun beliau rahimahullahu telah
berhasil menghafal al-Qur’an, waktu mudanya dihabiskan guna menuntut ilmu
syar’i, belajar dari seorang ulama kepada ulama lainnya, berkelana dari sebuah
negeri ke negeri lainnya, hingga dalam usia yang masih sangat muda (dua puluh
sekian tahun) beliau telah layak berfatwa dan menjadi Imam dalam agama ini.
Beliau rahimahullahu meninggal
dunia pada malam Jum’at 29 Rajab tahun 204 H (19 Januari 820 M), di Mesir dalam
usia 54 tahun. (Manaqib asy Syafi’i lil Baihaqi, Siyar A’lamin Nubala’ lidzh
Dzahabi, Tahdzibul Asma’ wa Lughat lin Nawawi, al-Bidayah wan Nihayah li Ibni
Katsir, dan Taqribut Tahdzib li Ibni Hajar)
Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu
Beliau adalah:
Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali
bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin Barid bin Musyrif
at-Tamimi an-Najdi rahimahullahu.
Beliau rahimahullahu dari bani
Tamim, yang Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda tentang kemuliaan bani ini:
“Mereka (bani Tamim) adalah sekelompok kaum dari
umatku yang paling keras (penentangan/perlawanannya) terhadap ad-Dajjal”. (HR.
al-Bukhari No.2543 dan Muslim No.2525, dari Shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Lahir pada tahun 1115 H (1703 M), di Uyainah, Negeri
Najd, utara kota Riyadh, ibukota Saudi Arabia sekarang.
Dalam usia belia belum mencapai umur 10 tahun beliau rahimahullahu telah
berhasil menghafal al-Qur’an, waktu mudanya dihabiskan guna menuntut ilmu
syar’i, belajar dari seorang ulama kepada ulama lainnya, berkelana dari sebuah
negeri ke negeri lainnya, hingga beliau menjadi Imam dalam agama ini.
Beliau rahimahullahu meninggal
dunia pada Dzulqa’dah tahun 1206 H (1792 M), di Dir’iyah dalam usia 91
tahun. (Mukhtashar Zadul Ma’ad, asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab
‘Aqidatuhu as-Salafiyyah wa Da’watuhu al-Ishlahiyyah, Hayatu asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab wa Haqiqatu Da’watuhu, Hayatu asy Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahab wa Atsaruhu al-Ilmiyyah)
BAGAI PINANG DIBELAH DUA
Berikut keserupaan dan kesamaan antara
keduanya, yang menunjukkan bahwa akidah keduanya memiliki keterkaitan yang
erat, karena memang sumbernya sama, dari al-Qur’an dan as-Sunnah as-Shahihah,
di atas pemahaman yang benar, akidah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) sejati.
PENJELASAN TENTANG AL-IMAN
– Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu
Al-Iman menurut al-Imam asy-Syafi’i
rahimahullahu mencakup ucapan, perbuatan, dan niat (keyakinan). Ia bisa
bertambah dengan ketaatan dan bisa berkurang dengan kemaksiatan. (Manhaj
al-Imam asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah 2/516, al-Intiqa’ hal.81)
– Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab
rahimahullahu berkata:
“Keyakinanku tentang al-Iman: Diucapkan
dengan lisan, diamalkan dengan rukun-rukunnya, meyakininya dengan hati,
bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan, terdiri dari 73
cabang, yang tertinggi Syahadat Lailahailallah, dan terendah menyingkirkan duri
dari jalan.” (Risalatu Syaikh ila Ahlil Qasim, ar-Rasail as-Syakhshiyah hal.11,
Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah lil Utsaimin hal.6-7)
BERIMAN KEPADA ASMA’ DAN SIFAT-SIFAT
ALLAH TA’ALA
– Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu
berkata:
“Kami menetapkan sifat-sifat Allah ta’ala
sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, kami meniadakan tasybih (menyerupakan Allah ta’ala dengan makhluk
Nya -pent).
Sebagaimana Allah ta’ala juga meniadakan
tasybih tersebut dalam firman Nya :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ
شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ ﴿١١﴾
“Tidak ada sesuatupun
yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Maha Melihat”.
(asy-Syura: 11)
(Siyar A’lamin
Nubala’ lidzh Dzahabi 20/341)
Al-Imam asy-Syafi’i
rahimahullahu juga berkata:
“Allah ta’ala
memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang disebutkan dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah, yang siapapun dari umatnya tidak boleh menyimpang dari ketentuan
itu, setelah dia memperoleh hujjah (dalil-dalil), namun apabila dia menyimpang
dari ketentuan tersebut setelah mendapat hujjah, maka dia menjadi kafir”.
(al-I’tiqad lil Imam asy-Syafi’i, riwayat Abu Thalib al-Isy’ari, al-Bidayah wan
Nihayah li Ibni Katsir 10/265)
– Al-Imam Muhammad
bin Abdul Wahab rahimahullahu berkata:
“Di antara keimanan
kepada Allah ta’ala adalah: Beriman kepada apa-apa yang telah Dia sifatkan bagi
Diri-Nya ‘azza wa jalla di dalam kitab-Nya (al-Qur’an), atau melalui lisan
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam (as-Sunnah), dengan tanpa tahrif
(memalingkan maknanya kepada yang tidak diinginkan oleh Allah ta’ala dan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), tanpa ta’thil (menolak maknanya),
Bahkan saya meyakini tidak ada yang serupa dengan Allah ta’ala, dan Dia Maha
Mendengar dan Maha Melihat”. (Risalatu Syaikh ila Ahlil Qasim, ar-Rasail
as-Syakhshiyah hal.8, Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah lil Utsaimin hal.6-7)
MELIHAT ALLAH TA’ALA
DI HARI KIAMAT
– Al-Imam asy-Syafi’i
rahimahullahu berkata:
“Demi Allah ta’ala,
jika Muhammad bin Idris tidak meyakini akan dilihatnya Allah ta’ala di hari
kiamat, niscaya dia (al Imam asy-Syafi’i sendiri -pent) tidak akan beribadah
kepada-Nya (kepada Allah ta’ala) di dunia”. (Manaqib asy Syafi’i 1/419)
– Al-Imam Muhammad
bin Abdul Wahab rahimahullahu berkata:
“Saya mengimani bahwa
al-Jannah dan an-Nar adalah dua makhluk
(Allah ta’ala), yang keduanya telah ada sekarang, dan keduanya tidak akan
binasa (dengan izin Allah ta’ala-pent), dan saya mengimani bahwa kaum mukminin
akan melihat Rabb mereka ta’ala dengan penglihatan hakiki pada hari kiamat,
sebagaimana mereka melihat bulan pada malam purnama, mereka tidak saling
berdesakan dan tidak saling menyakiti satu dengan yang lainnya”. (Risalatu
Syaikh ila Ahlil Qasim, ar-Rasail as-Syakhshiyah 1/10)
MEYAKINI ALLAH TA’ALA
ISTIWA’ DI ATAS ARSY
– Al-Imam asy-Syafi’i
rahimahullahu berkata:
“Saya bersaksi bahwa
Allah ta’ala di atas ‘Arsy di langit.” (Ijtima’ al-Juyusy)
– Al-Imam Muhammad
bin Abdul Wahab rahimahullahu berkata:
“Saya meyakini
ayat-ayat (yang terkait) sifat dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdasarkan Dzhahirnya (lahiriah), dan menyerahkan ilmunya kepada Allah
ta’ala dengan tetap meyakini kebenarannya secara hakiki, sungguh al-Imam Malik
rahimahullahu dari ulama salaf yang mulia, ketika ditanya tentang al-Istiwa’
dalam firman Nya:
الرَّحْمَـٰنُ عَلَى
الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ ﴿٥﴾
“(yaitu) Rabb yang
Maha Pemurah yang ber-Istiwa’ di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)
Beliau (Imam Malik
rahimahullahu) berkata al-Istiwa’ difahami maknanya, tata caranya tidak
diketahui, beriman tentangnya adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah
bid’ah.” (Hayatu asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wa Haqiqatu Da’watuhu
hal.92, asy-Syaikh al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab wa Manhajuhu fi Mabahits
al-‘Aqidah hal.116)
Keyakinan beliau
rahimahullahu ini juga bisa dilihat dalam muqadimah (pembukaan) khutbah-khutbah
beliau, yang beliau rahimahullahu senantiasa mengulangnya. (al-Khuthab
al-Minbariyyah hal.5, 11, 19 dan 47).
AL-QUR’AN KALAMULLAH BUKAN MAKHLUK
– Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu
berkata:
“Barang siapa mengatakan bahwa al-Qur’an
itu makhluk, maka dia telah kafir.”
(Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah 1/252)
– Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullahu berkata:
“Saya meyakini bahwa al-Qur’an
kalamullah, yang diturunkan (dari Allah ta’ala) bukan makhluk, dari-Nya ta’ala
berasal dan akan kembali kepada-Nya, sungguh Allah ta’ala telah berbicara
dengannya secara hakiki, yang diturunkan kepada hamba dan Rasul-Nya (Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
(Risalatu Syaikh ila Ahlil Qasim, ar-Rasail as-Syakhshiyah hal.9)
IMAN KEPADA PERKARA-PERKARA GHAIB SETELAH
KEMATIAN
- Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu
berkata:
“Sungguh adzab kubur benar adanya,
pertanyaan malaikat kepada penghuni kubur benar adanya, hari kebangkitan benar
adanya, penghitungan amal di hari kiamat benar adanya, al-Jannah (surga) dan
an-Nar (neraka) benar adanya, dan hal lainnya yang disebutkan dalam sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta disampaikan melalui lisan para
ulama di segenap negeri kaum muslimin (benar pula adanya).” (Manaqib
asy-Syafi’i 1/415)
– Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullahu berkata:
“Saya meyakini dan beriman kepada semua
yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari perkara-perkara
(ghaib) setelah kematian: Saya beriman kepada adanya fitnah dan nikmat kubur,
dikembalikannya arwah-arwah kepada jasad-jasad mereka, maka manusia berdiri
menghadap kepada Rabb semesta alam, tanpa beralas kaki, tanpa busana, dan belum
dikhitan, didekatkan kepada mereka matahari, ditegakkan timbangan dan
ditimbanglah dengannya amalan hamba.
Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam
surat al-Mukminun ayat 102-103:
فَمَن ثَقُلَتْ
مَوَازِينُهُ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿١٠٢﴾ وَمَنْ خَفَّتْ
مَوَازِينُهُ فَأُولَـٰئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ
خَالِدُونَ ﴿١٠٣﴾
“Barang siapa yang
berat timbangan (kebaikan) nya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Dan barang siapa yang ringan timbangan (kebaikan) nya, maka mereka itulah
orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka
Jahannam.” (al-Mukminun: 102-103)
Dibagikannya buku
catatan amalan, maka ada yang diberikan dari kanannya, dan ada yang diberikan
dari kirinya.
Aku beriman dengan
al-Haudh (telaga) Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari
kiamat, airnya lebih putih dari susu, lebih manis dari madu, cangkirnya
sebanyak bintang di langit, barang siapa minum seteguk darinya maka tidak akan
haus selamanya.
Dan aku beriman
dengan ash-Shirath (jembatan) yang dibentangkan di dua tepi jahannam, maka
manusia melewatinya sesuai dengan kadar amalan mereka (ketika di dunia).”
(Risalatu Syaikh ila Ahlil Qasim, ar-Rasail as-Syakhshiyah hal.9-10)
IMAN KEPADA
SYAFAAT
– Al-Imam asy-Syafi’i
rahimahullahu berkata:
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
شَفَاعَتِي لِأَهْلِ
الْكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِي
”Syafaatku adalah
untuk pelaku dosa-dosa besar dari kalangan umatku”. (HR. Abu Dawud no.4739, dan
at-Tirmidzi no.2435 dan 2436, Shahih dari Shahabat Anas dan Jabir radhiallahu
‘anhuma)
Maka syafaat ini
untuk orang-orang yang bertauhid (kepada Allah ta’ala) yang mereka terjatuh
pada dosa-dosa besar, maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan
syafaat untuk mereka agar terhapus dosa-dosa mereka, dan agar bertambah
kebaikan bagi orang-orang yang mentauhidkan al-Khaliq (Sang Pencipta) mereka,
Wallahu A’lam” (az-Zahir fi Gharib Alfadzh asy-Syafi’i 1/93, Manazil al-A’imah
al-Arba’ah hal.123-124)
– Al-Imam Muhammad
bin Abdul Wahhab rahimahullahu berkata:
“Saya meyakini
Syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah orang pertama yang memberikan syafaat, dan manusia pertama yang
diberi syafaat, tidaklah mengingkari syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
kecuali Ahlul Bid’ah (pelaku bid’ah) dan
Ahludh Dhalal (pelaku kesesatan)”.
(Risalatu Syaikh ila Ahlil Qasim hal.9-10, Risalatuhu ila Ahlil Maghrib
hal.112-113, ar-Rasail as-Syakhshiyah)
IMAN KEPADA QADHA DAN
QADAR
– Al-Imam asy-Syafi’i
rahimahullahu berkata:
“Sesungguhnya
kehendak para hamba tergantung kehendak Allah ta’ala, tidaklah mereka
berkehendak kecuali atas kehendak Allah Rabb semesta alam. Manusia tidaklah
menciptakan amal perbuatannya sendiri, amal perbuatan mereka adalah ciptaan
Allah ta’ala. Sesungguhnya takdir baik dan buruk semuanya dari Allah ta’ala.”
(Manaqib asy-Syafi’i lil Baihaqi 1/415, Syarh Ushul I’tiqad Ahlussunnah wal
Jama’ah 2/702)
– Al-Imam Muhammad
bin Abdul Wahhab rahimahullahu berkata:
“Saya beriman bahwa
Allah ta’ala melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya, tidaklah terjadi
sesuatupun kecuali dengan iradah (kehendak)-Nya, tidak ada yang keluar
sedikitpun dari masyi’ah-Nya, tidak ada sesuatupun (kejadian) dalam alam yang
keluar dari takdir-Nya, dan tidak akan terjadi kecuali atas pengaturan-Nya.
Tidak ada sesuatupun yang bisa menghindar dari takdir yang telah
ditetapkan-Nya, dan tidak akan bisa melampaui apa-apa yang telah dituliskan-Nya
pada al-Lauh al-Masthur (al-Lauh
Mahfudz).” (Risalatu Syaikh ila Ahlil Qasim, ar-Rasail as-Syakhshiyah hal.9)
KEYAKINAN MEREKA
TENTANG SHAHABAT RADHIALLAHU ‘ANHUM
Ternyata keyakinan
dua Imam Besar Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) sejati ini, bertolak belakang
dan bertentangan dengan akidah penganut agama Syi’ah yang mencela bahkan
mengkafirkan para Shahabat Nabi shalallallahu ‘alaihi wa sallam.
Laknat Allah ta’ala
atas kaum zindiq tersebut!
– Al-Imam asy-Syafi’i
rahimahullahu berkata:
“Allah ta’ala telah
memuji para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam al-Qur’an, Taurat
dan Injil. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah memuji kemuliaan
mereka, sementara untuk selain mereka tidak disebutkan, maka semoga Allah
ta’ala merahmati mereka, dan menyambut mereka dengan memberikan kedudukan yang
paling tinggi sebagai Shidiqqin, Syuhada’ dan Shalihin.
Mereka telah
menyampaikan sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita,
menyaksikan turunnya wahyu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, oleh
karena itu mereka mengetahui apa yang dimaksudkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, baik yang bersifat umum, maupun khusus, berupa kewajiban ataupun
anjuran.” (Manaqib asy-Syafi’i lil Baihaqi 1/442)
- Al-Imam asy-Syafi’i
rahimahullahu berkata:
“Manusia yang paling
mulia setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakr, kemudian Umar
ibnul Khatthab, kemudian Utsman bin Affan, kemudian Ali bin Abi Thalib
radhiallahu ‘anhum.” (Manaqib asy-Syafi’i lil Baihaqi 1/433)
– Al-Imam Muhammad
bin Abdul Wahhab rahimahullahu berkata:
“Saya menetapkan
keutamaan Shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyebutkan
kebaikan-kebaikan mereka, ridha kepada mereka, mendo’akan mereka, menahan diri
dari membicarakan keburukan mereka, diam dari perselisihan yang terjadi antara
mereka, dan saya juga meyakini keutamaan amalan mereka, berdasarkan firman
Allah ta’ala:
وَالَّذِينَ جَاءُوا
مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ
سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا
رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ ﴿١٠﴾
Dan orang-orang yang
datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami,
beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari
kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi
Maha Penyayang.” (al-Hasyr: 10)
Dan saya ridha kepada
Ummahatul Mukminin (Para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -pent)
yang suci dari semua keburukan (kejelekan).” (Risalatu Syaikh ila Ahlil Qasim,
ar-Rasail as-Syakhshiyah hal.10)
Al-Imam Muhammad bin
Abdul Wahhab rahimahullahu berkata:
“Yang paling mulia
dari umatnya shallallahu ‘alaihi wa sallam: Abu Bakr ash-Shiddiq, kemudian Umar al-Faruq, kemudian Utsman Dzunnurain,
kemudian Ali al-Murtadha radhiallahu ‘anhum.”
(Risalatu Syaikh ila Ahlil Qasim, ar-Rasail as-Syakhshiyah hal.10)
Saudara pembaca,
semoga Allah ta’ala merahmati kita semua…
Berdasarkan
fakta-fakta di atas dapatlah kita ambil kesimpulan akidah al-Imam Muhammad bin
Abdul Wahhab rahimahullahu adalah akidah al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu,
demikian sebaliknya.
Ternyata akidah dua
imam besar tersebut sama. Akidah al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu adalah Ahlussunnah
wal Jama’ah (Aswaja) sejati, demikian pula Akidah al-Imam Muhammad bin Abdul
Wahhab rahimahullahu juga Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) sejati. Bukan
berakidah Qadari, Asy’ari, Maturidi, Mu’tazili, Khariji, Jahmi, atau Syi’i.
Dari pemaparan di atas,
tampak nyata bahwa akidah Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu
bersambung, bersanad bahkan sama persis dengan akidah al-Imam asy-Syafi’i
rahimahullahu.
Ini berbeda dengan
klaim ormas NU yang selalu mengklaim pengikut al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu,
ternyata akidah mereka terputus, tidak bersambung, bahkan menyelisihi akidah al-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu.
Maka sepantasnya
menjadi bahan renungan dan evaluasi kaum muslimin, terkhusus warga NU agar
membenahi akidah mereka yang ternyata berbeda dengan akidah Ahlussunnah wal
Jama’ah…
Adapun akidah
(keyakinan) dan manhaj (metode beragama) dua Imam Besar Ahlussunnah wal Jam’ah,
al-Imam asy-Syafi’i dan al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumallahu sama
persis, tiada beda, bahkan satu.
Sebagaimana kata
pepatah:
“Bagai pinang dibelah
dua.”
Wallahu A’lam bish
Shawwab