Monday, May 23, 2016

Kenapa Ibadah Terasa Hambar? Keshalehan Bathin, Tinggalkan Yang Haram Sekalipun Dalam Keadaan Terdesak Dan Riya’ Mengancam Kita


Setiap dosa-dosa yang kita lakukan sebenarnya hanya akan memberi kesan kepada hati  kita. Hati akan berpenyakit dan dipenuhi oleh selaput hitam yang menutup pintu-pintu hidayah dan kebenaran. Untuk menghilangkan selaput hitam tersebut perlu kepada bertaubat dan beristighfar kepada Allah s.w.t dan sentiasa mengingati mati dan banyak membaca al-Qur'an. Firman Allah s.w.t maksudnya: “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, nescaya Kami hapuskan kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (Syurga).” (Surah An-Nisa’ ayat 31)


Kenapa kebanyakan dari kita sangat tidak mudah untuk merasakan kenikmatan keimanan, lezatnya ketaatan, khusyuknya keperibadahan dan manisnya amal kebajikan? Pada umumnya kita masih menjalani sebuah ibadah itu dengan setengah-tengah atau mungkin lebih rendah lagi.
Mayoritas masyarakat pada umumnya memiliki level masih berada di tataran seremoni (semangat peringatan-peringatan), atau formalitas saja. Padahal keimanan dan keislaman sejati itu seharusnya benar-benar bisa merasuk ke hati, menyatu dengan jiwa dan mewujud dalam rasa cinta dan ridha yang nyata.
Agar mampu merasakan nikmatnya amal saleh dan khusyuknya ibadah diharuskan beragama itu secara total. Syarat mutlaknya adalah hawa nafsu harus mampu ditundukkan dan dikendalikan. Karena selama masih ada hawa nafsu tertentu yang secara utuh atau hampir utuh selalu diperturutkan, maka selama itu pula sikap ogah-oagahan akan senantiasa menyertai dalam pelaksanaan setiap amal saleh dan penunaian ibadah. Karena pada umunya ketaatan itu harus disikapi sebagai beban berat yang harus ditanggung dan dilepaskan dan belum dirasakan sebagai kebutuhan hidup yang dirindukan rasa nikmatnya dan buah lezatnya.
Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan (secara total), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu.” Q.S Al-Baqarah: 208
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tak sempurna iman seseorang dari kalian sampai hawa nafsunya tunduk mengikuti ajaran yang aku bawa”. (Hadist Riwayat Imam An-Nawawi, hadits hasan shahih yang kami riwayatkan dalam kitab Al-Hujjah dengan sanad yang shahih).
Dalam hadits lain Rasulullah juga bersabda:
“Telah bisa merasakan nikmat/lezatnya iman, orang yang telah ridha terhadap Allah sebagai Tuhan(nya), ridha terhadap Islam sebagai agama(nya) dan ridha terhadap Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) sebagai rasul(nya).” Hadits Riwayat Muslim dari Al-Abbas radhiyallahu ‘anhu.
Riwayat yang lain lagi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Ada tiga hal di mana jika ketiganya ada dalam diri seseorang, maka ia bisa merasakan manisnya iman, yaitu: 1). Jika Allah dan Rasul-Nya telah ia cintai melebihi kecintaannya terhadap selain keduanya; 2). Jika ia mencintai seseorang benar-benar hanya karena Allah; dan 3). Jika ia benci untuk kembali kepada kekufuran seperti kebenciannya andai ia dilemparkan ke dalam api.” (Hadits Riwayat. Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu).
Jadi rumusnya adalah: Tidak memperturutkan hawa nafsu/menundukkan dan mengendalikannya -> tidak mengikuti langkah-langkah syetan -> beriman dengan sepenuh rasa cinta hati dan ridha jiwa -> berislam secara total -> manisnya beriman, nikmatnya berislam dan lezatnya berketaatan.
Sedangkan rumus sebaliknya adalah: Memperturutkan hawa nafsu -> mengikuti langkah-langkah syetan -> beriman sebatas teori logika, tidak turun dari hati dan tidak sampai menjiwai -> berislam secara setengah-setengah -> beriman sebagai beban, beribadah terasa hambar dan berketaatan terpaksa dan menjenuhkan.

Keshalehan Bathin; Dia Selalu Mengawasiku

Di malam gelap gulita, Umar bin Khattab RA dan pembantunya bernama Aslam berjalan mengelilingi Madinah. Dari satu gang ke gang yang lain. Beliau lakukan untuk mengetahui langsung keadaan rakyatnya. Itulah salah satu kebiasaan Khalifah Umar al-Faruq.
Saat melewati sebuah rumah tua, terdengar percakapan di dalamnya. “Wahai putriku, campurkan air ke dalam susu itu,” terdengar suara seorang ibu memerintah. Mereka pedagang susu di Madinah. “Wahai bunda, tidakkah bunda tahu aturan yang ditetapkan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab?” Jawab sang putri. Dengan nada heran ibunya bertanya, “Aturan apakah itu?”.
Putrinya menjawab, “Amirul mukminin telah mengumumkan larangan mencampur susu dengan air.”  Sang ibu berkata, “Wahai putriku, campurkanlah susu dengan air. Umar dan pembantunya tidak akan mengetahui hal ini.” Dengan halus, sang putri menolak, “Wahai bunda, tidak pantas aku mentaati Amirul Mukminin dihadapannya, lalu aku mendurhakainya di belakangnya. Tidak. Tidak akan aku lakukan.”
Dalam versi lain disebutkan, sang gadis ini menolak permintaan ibunya seraya berkata, “Wahai bunda, jika Amirul Mukminin tidak melihat kita, maka Rabb-nya Amirul mukminin pasti menyaksikan ini semua.”
Dialog ini didengar seksama oleh Umar bin Khattab ra. Keesokan harinya, Umar meminta Aslam menyelidiki gadis tersebut; apa pekerjaannya, dan sudah bersuamikah dia. Beberapa saat kemudian, Aslam datang melapor, “Wahai Amirul Mukminin, dia seorang penjual susu, ia masih gadis, belum memiliki suami.”
Setelah mendengar laporan Aslam ini, Umar bin Khattab ra mengumpulkan seluruh putranya. Beliau berkata, “Wahai putra-putraku, aku menemukan seorang gadis, adakah diantara kalian yang ingin menikahinya? Sungguh andaikan aku masih berhasrat kepada wanita, tentu aku sendiri yang akan menikahi gadis ini.”
Abdullah berkata, “Saya telah memiliki istri, Ayahanda.” Abdurrahman pun menjawab sama. Adapun ‘Ashim, ia berkata, “Wahai Ayahanda, saya belum beristri, nikahkan gadis itu dengan saya.” Akhirnya ‘Ashim bin Umar menikahi gadis penjual susu tersebut. Lalu ia melahirkan seorang putri, dan di kemudian hari putri ini menjadi ibu Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Seorang khalifah yang sangat adil, bijak, shaleh dan tegas.
Luar biasa, keshalehan yang langka dari seorang gadis muslimah. Ia tidak sekedar berbusana muslimah. Tidak hanya tampak cantik berbalut busana muslimah yang rapi dan panjang, namun juga memiliki innerbeauty. Keshalehan bathin.
Muroqabah, Sumber Keshalehan Bathin
Kesadarannya akan pengawasan Allah swt sangat mendalam. Dia tidak hanya malu berbuat maksiat tatkala bersama manusia atau disaksikan oleh manusia, namun dalam kesendirian ia pun takut berbuat maksiat kepada Allah. Karena ia menyadari, Allah selalu mengawasinya.
Kesadarannya akan pengawasan Allah swt kepada dirinya menjadi tembok penghalang antara ia dan kemaksiatan. Dalam ilmu suluk kesadaran ini disebut muroqabah.  Imam Ibnul Qayyim rhm berkata, “Muroqabah adalah kesadaran dan keyakinan seorang hamba yang kontinyu bahwa Allah swt selalu mengawasi dan mengetahui keadaan lahir dan bathinnya.”
Muroqabah salah satu intisari ibadah hati. Bahkan muroqobah adalah ibadah yang memiliki puncak ketinggian yang luar biasa. Pelakunya telah akan menggapai derajat Ihsan. Sebagaimana jawaban Rasulullah saw saat ditanya oleh malaikat Jibril tentang Ihsan, “Yaitu engkau beribadah kepada Allah swt, seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak menyadari pengawasan-Nya, maka ketahuilah Allah swt selalu melihatmu.” Hadits shahih yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim ini menjelaskan, seseorang yang berhasil dalam muroqabah, berarti ia telah menggapai iman yang sangat tinggi, yaitu maqom ihsan.
Allah menegaskan bahwa Ia swt selalu mengawasi hamba-Nya,
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ
“Ketahuilah, sesungguhnya Allah swt mengetahui apa yang ada pada diri kalian. Maka berhati-hatilah.” (al-Baqarah: 235)
Para ulama salaf seringkali saling berwasiat untuk meningkatkan kualitas muroqabah kepada Allah swt. Suatu ketika Abdullah bin Mubarok rhm berwasiat kepada salah seorang muridnya, “Hadirkan selalu rasa muroqabah kepada Allah swt.” Muridnya bertanya, “Apa maksud muroqabah, wahai syaikh?” Ibnu Mubarok berkata, “Sadarilah, bahwa Allah selalu mengawasimu selama-lamanya. Dimana dan kapanpun kamu berada.”
Tidak Sesaleh Lahirnya
Suatu hari, terjadi percakapan hangat –kalo tidak boleh dikatakan mesra- antar dua orang muda-mudi aktifis atau mungkin alumni salah satu pondok pesantren: “Dimana acaranya akhi?” Tanya seorang akhwat di seberang telepon sana. “Di tempat A, ukhti?” Jawab seorang anak muda aktifis kampus, memberitahukan tempat kajian berlangsung. “Pembicaranya, ustadz siapa saja, akhi?” Tanya akhwat itu lagi. “Ustadz Fulan ukhti.” Dengan sergap sang ikhwan menjawab, “Alumni unifersitas B dan murid Syaikh Fulan.” Ia melengkapi keterangannya. “Jazakallah khairan atas infonya. InsyaAllah ana datang.” Kata akhwat memastikan kehadirannya. “Amin waiyyak. Ana juga hadir InsyaAllah.” Balas ikhwan itu mengkonfirmasikan kehadirannya juga.
Bisa jadi kisah di atas dianggap fiksi. Namun dalam dunia pergaulan remaja-remaji Islam, atau lebih umumnya interaksi ikhwan-akhwat, baik yang sudah zawaj, apalagi yang masih ‘azib –bujang-, tamtsil dalam cerita di atas acap kali terjadi.
Ada banyak modus yang dipakai. Bisa kajian, sms nasehat atau hanya sekedar bertanya, ‘kaifa haluk’. Bisa via telepon, sms, BB, WhatsApp, Facebook dan sejenisnya. Semua aktifis sepakat, bahwa gejala ini tidak dibenarkan dalam Islam.
Kalaupun masih ragu-ragu, apakah ini termasuk dosa apa bukan, sebenarnya standar penilaian dalam Islam cukup sederhana. Rasulullah saw bersabda,
اَلإِثْمُ مَا حَاكَ فِيْ نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
“Dosa adalah sesuatu yang membuat jiwamu tidak tenang (ragu-ragu) dan -jika kamu melakukannya-, kamu tidak suka diketahui orang lain.” (HR. Muslim)
Standar dosa atau tidaknya sebuah amalan yang masih samar-samar itu ada dua; (1) Jiwa tidak tentram saat melakukannya, atau (2) tidak suka diketahui oleh orang lain, terutama orang shaleh. Sangat simple.
Hanya saja, sebab utama pelanggaran terhadap syari’at Islam, terutama oleh para aktifis, bukan karena ia bodoh terhadap dalil, atau terbawa lingkungan, tapi berawal dari lemahnya muroqabah. Atau sama sekali kehilangan muroqabah.
Dzun Nuun, berkata, “Tanda adanya muroqabah –pada seseorang- adalah dia lebih mengedepankan apa yang diwahyukan oleh Allah, dia mengagungkan apa yang diagungkan Allah swt dan menganggap rendah apa yang direndahkan oleh Allah swt.”
Muroqabah adalah ibadah hati. Karena ia terkait dengan keyakinan dan kesadaran. Kebaikan dzahir, adalah bukti kebaikan bathin. Oleh karena itu, memohon kepada Allah swt agar senantiasa memperbaiki hati kita, agar dimudahkan bertaqarrub kepada Allah swt adalah sebuah keniscayaan. Nas’aullah al-‘afwa.* (Mas’ud Izzul Mujahid
Reporter : Anwar
Sumber : Dikutip dari majalah An-Najah, Edisi 89 rubrik Oase Imani.

Tinggalkan yang haram

Hikmah Harian 7 Mei 2016
Seperti diceritakan DR. Khalid Basalamah dlm satu sesi kajiannya, dikisahkan pernah ada seorang pemuda miskin meminta izin kpd seorang ulama dizaman tabi'in utk tinggal dan menetap bersamanya di sebuah masjid. Sang ulama menjadi imam dan mengajar disana. Permintaan tsb dipenuhi.

Rupanya sang ulama ini sangat zuhud. Makan bila ada dan berpuasa bila tidak ada makanan. Setelah 3 bulan, sang pemuda merasa bimbang. Sdh 3 hari mereka berpuasa dengan menu berbuka dan sahur air putih dan sebutir kurma.

Jika duduk saat majelis ilmu, ia harus sampai menundukkan pundaknya utk menekan perut agar rasa lapar tidak terlalu menyiksa. Untuk meminta-minta...gurunya pasti tidak mengizinkan.

Di tengah kebimbangan, setan datang. " Dihalalkan bagimu mencuri, untuk menghilangkan rasa laparmu...". Karena tidak tahan, ia laksanakan juga desakan hatinya.

Singkat cerita, di rumah kedua yg ia datangi, ia mencium bau masakan. Ia masuk dan melihat ada panci di atas tungku. Setelah dibuka, ada terong dalam kondisi hangat. Dan si pemudapun melaksanakan hajat. Saat gigitan pertama, ia teringat akan Allah, seketika is urungkan niat, ia muntahkan lagi terong hangat itu ke lantai, bergegas kembali ke masjid dan bertaubat.

Saat kajian selesai, ia bersandar. Lalu datanglah seorang wanita bercadar dan terlihat berbicara dengan gurunya. Tidak berapa lama, sang guru memanggilnya.

"Apakah engkau sdh menikah ?"

"Belum.." Jawabnya.
"Apakah engkau hendak menikah..?"
Si pemuda tidak menjawab hingga pertanyaan ketiga.... "Bagaimana aku hendak menikah. Sdh tiga hari kita puasa, kalau aku menikah, dengan apa aku memberi makan anak istriku...?"
Sang guru masuk ke dalam rumah dan mengambil sebuah  benda yg kmdn dijadikan mahar. Dipanggil wali dan saksi wanita tsb dan kndn dalam hitungan menit, menikahkan murid dengan wanita tadi. Rupanya wanita bercadar datang dan mengadukan bahwa dirinya sdh siap dan ingin menikah.
"Sekarang, pulanglah engkau ke rumah isterimu...". Maka pulangkah mereka berdua sbg seorang suami istri. Rupanya rumah sang istri adl rmh yg tadi didatangi oleh si pemuda krn bau masakan terong.
" Aku lapar..." Katanya.
Lalu si Istri pergi ke dapur dan terkejut krn masakan terongnya sudah tergigit Dan sebagian ada di lantai...
"Siapa yang memakan terongku..." Pekiknya.
"Kemarilah istriku..."
Lalu berceritalah pemuda tadi kronologis dari awal seperti cerita yg sdh anda baca.
Ucapan wanita dibagian akhir cerita ini, adl inti dari keaeluruhan kisah ini. Catat baik-baik.
"Engkau telah meninggalkan yang haram Karena Allah. Maka Allah ganti dengan yg lebih baik, dengan yg halal. Bukan hanya terong itu yg sekarang jadi milikmu, tapi panci, rumah, berikut pemilik rumah kini juga jadi milikmu..!!!"
-------
Aku mengajak diriku dan dirimu,
Mari tinggalkan yg haram, dan berbahagialah dengan yg halal.

Hindari yang Allah larang, sekalipun dalam keadaan terdesak 
Ustd Khalid Basalamah

=========================================
Riya’ Mengancam Kita

Penyakit hati yang satu ini sangat mengancam setiap orang yang sedang berbuat baik.Bisa saja seseorang selamat dari kemaksiatan, namun jangan merasa dirinya selamat dari bahaya ketika sanggup berbuat baik.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam sangat khawatir penyakit ini menimpa umat beliau, melebihi kekhawatiran beliau dari fitnah (kejelekan) al-Masih ad-Dajjal.Beliau bersabda (artinya) : “Maukah aku beritakan kepada kalian tentang sesuatu yang lebih aku khawatirkan menimpa kalian dibanding al-Masih ad-Dajjal ?”Maka kami (para sahabat) menjawab : “Tentu”.Maka beliau berkata : “Syirik yang samar : Seseorang berdiri menunaikan shalat lalu membaguskan shalatnya tatkala merasa ada pandangan seseorang (mengarah kepadanya)”.(HR.Ibnu Majah dan dihasankan oleh al-Albani)
Beliau lebih mengkhawatirkan hal ini dibanding kejelekan al-Masih ad-Dajjal karena riya’ datang menghampiri seseorang saat beribadah kapan dan di mana saja ia berada.Adapun al-Masih ad-Dajjal tidaklah datang kecuali di akhir zaman.Apalagi riya’ amatlah samar, lebih samar dari merayapnya semut, sedangkan ad-Dajjal sangat tampak kelak di hadapan mata.
Melalui sabda yang lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallammemberitakan 3 golongan manusia yang pertama kali dilemparkan ke neraka jahanam.Mereka bukanlah para pelaku kejahatan, bahkan mereka adalah pelaku kebaikan.Orang pertama adalah ahli membaca Al Qur’an, orang kedua adalah pejuang yang terbunuh di medan jihad dan orang ketiga adalah penderma harta.Namun amat disayangkan, penyakit riya’ atau sum’ah telah membinasakan mereka.Bahkan Nabi menegaskan bahwa mereka adalah golongan yang pertama kali merasakan api neraka.Nas’alullaha as-Salamah.
Apa Itu Riya’ ?
Riya’ adalah menampakkan ibadah di hadapan manusia agar mereka memuji pelakunya.Namun jika seseorang menampakkan ibadahnya di hadapan manusia agar mereka mengikutinya dengan baik, maka ini bukanlah riya’.Bahkan ini adalah perkara yang baik dan dapat menjadi sebab ia mendapatkan 2 pahala : Pahala ia beribadah dan pahala orang yang mengikutinya.
Ada Berapa Macam Riya’ ?  
Riya’ dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
1) Riya’-nya kaum munafiqin, yaitu menampakkan setiap amalannya di hadapan manusia agar mendapatkan penghormatan dari mereka, dapat hidup di tengah muslimin, terjaga darah dan hartanya, sama sekali bukan karena Allah.Ini adalah riya’ yang merupakan syirik besar dan membatalkan keimanan.
2) Riya’-nya kaum muslimin, yaitu menjadikan sebagian amalannya karena Allah sekaligus selain-Nya.Ini adalah syirik kecil, syirik yang samar (asy-syirk al-khafi) atau (asy-syirk as-Sara’ir).Syirik seperti ini membatalkan kesempurnaan iman.Namun riya’ pada poin ke-2 ini ada beberapa keadaan :
a) Jika riya’-nya muncul sejak awal ibadah hingga akhir tanpa ada perlawanan hati, maka ibadah tersebut gugur pahalanya dan tidak diterima oleh Allah.
b) Jika riya’-nya muncul di tengah ibadah yang awalnya karena Allah, maka dilihat :
Bila ibadah tersebut bukan merupakan satu rangkaian (dari awal hingga akhir), seperti : sedekah, maka bagian yang tidak tercampuri oleh riya’ tidaklah gugur.Adapun yang tercampuri riya’ pahalanya gugur.
Namun bila ibadahnya merupakan satu rangkaian, seperti : shalat, maka dirinci : Apabila hatinya berusaha menghilangkan riya’ dengan gigih, maka ibadahnya tidak rusak.Namun apabila tidak ada usaha mengusir riya’ tadi, maka satu rangkaian ibadahnya gugur pahalanya.
Sebuah Pintu Riya’ Yang Sangat Samar !

Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata : “Nah di sini ada semacam titik yang samar, yaitu : Bahwa seseorang kadang mencela dirinya di tengah manusia.Dirinya berharap manusia menganggapnya sebagai orang yang bertawadhu’ hingga ia terangkat (kedudukannya) di sisi manusia dan dipuji.Ini termasuk pintu riya’ dan para as-Salaf ash-Shalih telah mengingatkan akan hal itu”.
Beliau lalu membawakan ucapan Mutharrif bin Abdillah asy-Syikhkhir :“Cukuplah suatu jiwa itu dikatakan mencari sanjungan tatkala engkau mencela jiwamu di hadapan khalayak manusia, lalu seakan-akan engkau berharap dari celaan tersebut perhiasan.Itu di sisi Allah adalah sebuah kedunguan”.(Lihat Dzammu al-Maal Wa al-Jaah, dinukil dari www.sahab.net)

Betapa Beratnya Menghadapi Riya’ !

Yusuf bin al-Husain ar-Razi rahimahullah berkata : “Sesuatu yang paling berat di dunia ini adalah menjaga keikhlasan.Betapa seringnya aku berusaha mengalahkan riya’ pada hatiku, namun seakan-akan riya’ itu muncul pada hatiku dengan warna lain”.(Jami’ al-‘Ulum Wa al-Hikam)

Bagaimana Mengobati Diri Dari Penyakit Riya’ ?

Seseorang dapat berusaha mengobati dirinya dari penyakit riya’ dengan beberapa cara, yaitu :
1) Mengenal keagungan Allah Ta’ala, pahala-Nya yang besar bagi orang yang ikhlas dalam ibadah dan siksa-Nya yang pedih bagi orang yang riya’ dalam ibadah.
2) Benar-benar mengakui bahwa setiap ketaatan yang berhasil dia lakukan semata-mata kemudahan dari Allah, bukan karena kekuatan badan atau kecerdasan dirinya.
3) Rendahnya dunia dan kemewahan padanya di sisi Allah.
4) Mengingat kematian dan peristiwa-peristiwa yang menakutkan di alam kubur.
5) Memperbanyak beberapa ibadah untuk dilakukan secara diam-diam, seperti : shalat malam atau sedekah diam-diam.
6) Berdoa memohon keikhlasan kepada Allah,seperti doa :
اللهمَّ إنّا نَعوذُ بك من أنْ نُشركَ بك شيئاً نَعلمُه، ونستغفرُكَ لما لا نعلمُه
“Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari berbuat syirik kepada-Mu dengan sesuatu yang kami ketahui dan kami memohon ampun kepada-Mu dari kesyirikan yang tidak kami ketahui”

7) Membaca biografi ibadah orang-orang shalih terkhusus para sahabat Nabi hingga kita bertanya pada diri kita masing-masing : “Apa yang pantas untuk kita riya’-kan dari ibadah-ibadah kita ?! Seluruh ibadah kita tidak layak dibandingkan dengan ibadahnya para sahabat Nabi !”
8) Bergaul dengan orang-orang shalih.

Jangan Tinggalkan Amalan Karena Godaan Riya’ !

Al-Hafizh Ibnu Muflih rahimahullah mengatakan bahwa diantara yang terjadi pada diri seseorang, jika ia ingin berbuat ketaatan tiba-tiba muncul sesuatu yang mendorongnya untuk mengurungkan ketaatan tersebut karena takut riya’.Maka yang seharusnya bagi dirinya adalah tidak menengok dorongan tadi.Seseorang hendaknya tetap mengerjakan apa yang telah diperintahkan Allah, meminta tolong dan bertawakal kepada-Nya dalam mengerjakan perintah sesuai syariat (Lihat al-Adab asy-Syar’iyah, Maktabah Syamilah)
Demikian pula jika kekhawatiran terhadap riya’ ini dijadikan alasan untuk meninggalkan amalan, maka betapa banyak amalan yang akan hilang di tengah muslimin dan ini merupakan bahaya yang sangat besar.
Beberapa Hal Yang Bukan Merupakan Riya’

Ada beberapa hal yang bukan merupakan riya’, diantaranya :
1) Rasa senang yang muncul pada seseorang usai beribadah karena ada manusia yang mengetahui ibadahnya.Ini bukanlah riya’ karena dari awal hingga akhir ibadahnya, ia tetap menjaga keikhlasannya, tanpa peduli apakah ketika ia beribadah manusia melihatnya ataukah tidak.
2) Rasa senang yang muncul pada dirinya karena dapat beribadah.Bahkan itu merupakan tanda keimanannya.Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallambersabda (artinya) : “…Barangsiapa yang kebaikan itu menyenangkan dirinya dan kejelekan itu meresahkan dirinya, maka itulah seorang mukmin”.(HR.at-Tirmidzi)
3) Bersemangat dalam beribadah tatkala bersama orang lain.
Penampilan Seseorang Yang Islami Secara Lahir Tidak Mesti Menunjukkan Orang Tersebut Riya’

Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata : “Sesungguhnya beberapa manusia dahulu dihukumi dengan turunnya wahyu di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.Sesungguhnya (kini) turunnya wahyu telah usai.Kami hanya menghukumi kalian sekarang dengan apa yang tampak dari amalan kalian.Barangsiapa yang menampakkan kebaikan di hadapan kami, maka kami mempercayai dan mendekatinya.Tidak ada jalan sedikit pun bagi kami untuk menghukumi hatinya.Allah-lah yang akan memperhitungkan isi hatinya.Barangsiapa menampakkan kejelekan di hadapan kami, maka kami tidak mempercayai dan membenarkan dirinya, sekalipun dikatakan bahwa isi hatinya baik”.(Shahih al-Bukhari)
Tidak boleh serta merta kita berburuk sangka terhadap seseorang yang berpenampilan islami bahwa orang tersebut riya’. Maka kita menilai seseorang sesuai penampilan lahiriah dia sampai tampak darinya sesuatu yang sebenarnya dia sembunyikan.Bahkan serta merta menuduh bahwa orang yang seperti tidak ikhlas, mencari perhatian manusia untuk disanjung merupakan perangai orang-orang munafiq.Dari ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, berkata : “Tatkala turun ayat tentang sedekah, maka kami memikul harta (di atas punggung) kami.Lantas datanglah seseorang dan menyedekahkan harta yang banyak.Maka mereka (orang-orang munafiq) berkata : “Orang ini riya’ “.Kemudian datang orang lain dan bersedekah satu sha’.Ternyata mereka berkata : “Sesungguhnya Allah tidak butuh terhadap satu sha’ ini !”Maka setelah itu turunlah ayat (artinya) : “(Yaitu) orang-orang yang mengejek kaum mukminin yang bersedekah dengan sukarela dan mengejek (kaum mukminin) yang tidaklah mendapati sesuatu untuk sedekah selain apa yang mereka sanggupi”.(HR.al-Bukhari.Lihat Muslim)
Wallahu a’lamu bish-Shawab

Related Articles

Nasehat Yang Berharga
Zuhud
Al-Muflis ( Bangkrut )
2 Dosa Besar Yang Kerap Membuat Seorang Ustadz/Kyai /Ulama Tergelincir Dari Qudwah ( 18 Dosa Besar Lainnya Mungkin Bisa Dipatuhi ) Yaitu Ghibah Dan Riba (Bagian I)
Apa dan Siapa disebut Zalim (ظلم). [ IT ]
Mengapa Amalnya Gugur ?
[ Out Of Topics ] Tidak Semua Muslim Layak Dijadikan Guru Atau Ustadz
Zuhud, Bayaran Dalam Dakwah, Dan Upah Khatib Jum’at
[ IT ] Bencana…!! Banyak Berilmu Namun Tanpa Amal
4 Tipe Ustadz Dalam Berdakwah. 4 Tipe Manusia Dalam Beramal