Thursday, June 16, 2016

Mengenal Muhammad Bin Al-Hanafiyyah, Putra Ali Bin Abi Tholib

Hasil gambar untuk padang pasir dan unta

Kamis, 14 Jan 2016 17:10
Tentunya anda dan juga banyak orang selain anda mengenal dua putra dari Ali bin Abi Tholib, yaitu Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhum. Kemasyhuran kedua putra Ali ini selain karena keturunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, juga karena ketinggian ilmu dan akhlak mereka.
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri mensifati kedua cucunya tersebut sebagai para pemuka di surga nanti. Dalam sebuah hadits disebutkan :
اَلْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ سَيدا شَبَابِ أَهْلِ الجنةِ
“Hasan dan Husain adalah pemuka para pemuda di surga” (HR Turmudzi)
Namun tahukah anda bahwa selain Hasan dan Husain, Ali bin Abu Tholib memiliki putra lain yang juga mempunyai keutamaan dan ketinggian derajat. Siapakah dia?
Nama dan Nasab
Namanya adalah Muhammad bin Ali bin Abi Tholib. Beliau merupakan anak dari Ali bin Abi Tholib dengan seorang perempuan bernama Khaulah binti Ja’far bin Qais Al-Hanafiyyah. Pernikahan Ali dengan Khaulah sendiri dilaksanakan setelah wafatnya istri beliau yang pertama, Fathimah binti Muhammad.
Penamaan anak Ali bin Abi Tholib dengan nama Muhammad ini telah mendapatkan restu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Suatu ketika, Ali bin Abi Thalib duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, seandainya saya punya anak lagi setelah Anda tiada, bolehkah saya memberi nama anak tersebut dengan nama anda dan saya berikan kun-yah (nama julukan) dengan kun-yah Anda (yakni Abu al-Qasim)?”Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam kemudian menjawab, “Boleh.”
Jadilah ketika anak Ali ini lahir diberi nama Muhammad dan diberi julukan Abu al-Qasim sesuai dengan restu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya.
Namun demikian orang-orang biasa memanggilnya dengan nama Muhammad bin Ali Al-Hanafiyyah untuk membedakannya dari kedua saudaranya, Hasan dan Husein. Ibu Hasan dan Husain adalah Fathimah az-Zahra, sementara ibu Muhammad bin Ali merupakan wanita dari al-Hanafiyah. Kemudian nama itulah yang banyak dikenal oleh sejarah.
Muhammad Al-Hanafiyyah lahir di akhir masa khalifah Abu Bakar ash-Shidiqradhiyallahu ‘anhu. Beliau tumbuh dan dibesarkan di bawah bimbingan ayahandanya, Ali bin Abi Thalib. Dari ayahnya itu, Muhammad Al-Hanafiyah mewarisi ketekunan ibadahnya, sifat zuhud, keberanian dan kekuatannya di samping kefasihan lidahnya.
Siang hari, beliau menjadi pahlawan di medan perang dan menjadi tokoh dalam jajaran para ulama. Di malam hari beliau adalah rahib di saat mata manusia tidur terlelap.
Ayah beliau radhiyallahu ‘anhu telah menggemblengnya di tengah kancah peperangan yang diikutinya. Dipikulkan kepadanya beban-beban berat yang tidak pernah dipikulkan kepada kedua saduaranya, Hasan dan Husein. Dengan demikian dia tak pernah malas atau lemah semangatnya.
Beliau pernah ditanya, “Mengapa Anda selalu diterjunkan di medan-medan yang berbahaya dan memikul beban melebihi kedua kakakmu, Hasan dan Husein?” Dengan tawadhu beliau, “Sebab, kedua kakakku ibarat kedua mata ayahku, sedangkan kedudukanku adalah ibarat kedua tangannya. Maka ayah menjaga kedua matanya dengan kedua tangannya.”
Berada di tengah fitnah dan ujian
Kehidupan kaum muslimin di penghujung zaman dan pasca meninggalnya kholifah Utsman bin Affan diliputi dengan banyak fitnah dan ujian. Begitu pula dengan kehidupan Muhammad bin Ali Al-Hanafiyyah banyak mendapatkan ujian dari Alloh.
Salah satunya adalah ketika terjadi perang Shiffin yang meletus antara kelompok Ali Abi Thalib dengan kelompok Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Pada peristiwa itu, Muhammad Al-Hanafiyyah memegang panji-panji ayahnya.
Tatkala perang berkobar, korban berjatuhan dari kedua pihak. Terjadilah suatu peristiwa yang kemudian diceritakan sendiri oleh Muhammad Al-Hanafiyyah. Beliau menuturkan kejadiannya: “Ketika berada di Shiffin kami bertempur melawan sahabat sendiri, Muawiyah. Kami saling beradu, hingga kami menduga tidak akan ada lagi yang tersisa dari kami ataupun mereka. Aku menjadi sedih dan gelisah karenanya.
Tiba-tiba aku mendengar suara teriakan dari belakangku: “Wahai saudara-saudara muslimin… ingatlah Allah… Allah… Wahai saudara-saudara muslimin.. Allah… Allah, sisakan orang-orang kalian, wahai saudara-saudara muslimin..! Siapakah yang akan (melindungi) para wanita dan anak-anak?Siapakah yang akan menjaga agama dan kehormatan?Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami?
Seketika itu aku tersadar dan berjanji tidak akan mengangkat dan menghunus senjata lagi melawan seorang muslim pun sejak hari itu.”
Pada akhirnya Ali bin Abi Tholib meninggal karena ulah orang-orang yang dzolim. Kekholifahan kemudian dipegang oleh Hasan bin Ali selama kurang lebih enam bulan dan kemudian menyerahkannya kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Kekuasaan pun berpindah kepada Muawiyah bin Abi Sufyan. Ketika itu, Muhammad Al-Hanafiyyah ikut serta membaiat Mu’awiyah bin Abi Sufyan untuk selalu taat dan patuh dalam keadaan suka maupun duka. Hal itu tidak lepas dari keinginan Muhammad Al-Hanafiyah untuk menyatukan suara kaum muslimin dan mengumpulkan kekuatan serta untuk menggapai kemuliaan bagi Islam dan Muslimin.
Kemudian setelah meninggalnya kholifah Mu’awiyah, kaum muslimin dihadapkan pada fitnah yang lain dimana terjadi perselisihan antara Abdul Malik bin Marwan dan Abdullah bin Zubair. Abdul Malik bin Marwan dibaiat oleh para penduduk Syam sementara penduduk Hijaz dan Irak lebih memilih untuk membaiat Abdullah bin Zubair.
Disinilah keteguhan Muhammad bin Al-Hanafiyah diuji ketika diminta untuk membaiat salah satu dari keduanya. Ketika Abdullah bin Zubair meminta Muhammad Al-Hanafiyah untuk membaiatnya, beliau berkata : “Engkau tahu benar bahwa aku tidak ingin melakukan hal itu. Kedudukanku hanyalah sebagai seorang muslim. Bila seluruh muslimin telah bersepakat atas salah satu dari kalian, maka aku tidak keberatan untuk berbai’at kepada engkau maupun dia. Untuk sementara aku belum ingin berbai’at baik kepadamu maupun kepadanya.”
Penutup
Demikianlah, fitnah dan ujian semakin meneguhkan hati putra Ali bin Abi Tholib ini. Setelah Abdullah bin Zubair meninggal, semua orang akhirnya berbaiat kepada Abdul Malik bin Marwan. Barulah setelah kaum muslimin semuanya bersatu dalam baiat, Muhammad bin Ali Al-Hanafiyah ikut berbaiat kepada Abdul malik bin Marwan.
Tak lama kemudian, Muhammad al-Hanafiyyah meninggal dunia. Semoga Alloh merahmati Muhammad bin Ali Al-Hanafiyah yang tidak menginginkan perpecahan umat terjadi di muka bumi dan tidak pula gila jabatan dan kehormatan. [Disadur dari kitab Shuwar min Hayati Tabiin]
Red : Aziz Rachman