Kamis, 14 Jan 2016 17:10
Tentunya anda dan juga banyak orang selain anda mengenal dua
putra dari Ali bin Abi Tholib, yaitu Hasan dan Husain radhiyallahu
‘anhum. Kemasyhuran kedua putra Ali ini selain karena keturunan
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, juga
karena ketinggian ilmu dan akhlak mereka.
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri mensifati kedua cucunya
tersebut sebagai para pemuka di surga nanti. Dalam sebuah hadits disebutkan :
اَلْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ
سَيدا شَبَابِ أَهْلِ الجنةِ
“Hasan dan Husain
adalah pemuka para pemuda di surga” (HR Turmudzi)
Namun
tahukah anda bahwa selain Hasan dan Husain, Ali bin Abu Tholib memiliki putra
lain yang juga mempunyai keutamaan dan ketinggian derajat. Siapakah dia?
Nama dan Nasab
Namanya
adalah Muhammad bin Ali bin Abi Tholib. Beliau merupakan anak dari Ali bin Abi
Tholib dengan seorang perempuan bernama Khaulah binti Ja’far bin Qais
Al-Hanafiyyah. Pernikahan Ali dengan Khaulah sendiri dilaksanakan setelah
wafatnya istri beliau yang pertama, Fathimah binti Muhammad.
Penamaan
anak Ali bin Abi Tholib dengan nama Muhammad ini telah mendapatkan restu dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Suatu
ketika, Ali bin Abi Thalib duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan
berkata: “Wahai Rasulullah, seandainya saya punya anak lagi setelah Anda tiada,
bolehkah saya memberi nama anak tersebut dengan nama anda dan saya berikan
kun-yah (nama julukan) dengan kun-yah Anda (yakni Abu al-Qasim)?”Nabi Muhammad shollallohu
‘alaihi wa sallam kemudian
menjawab, “Boleh.”
Jadilah
ketika anak Ali ini lahir diberi nama Muhammad dan diberi julukan Abu al-Qasim
sesuai dengan restu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya.
Namun
demikian orang-orang biasa memanggilnya dengan nama Muhammad bin Ali
Al-Hanafiyyah untuk membedakannya dari kedua saudaranya, Hasan dan Husein. Ibu
Hasan dan Husain adalah Fathimah az-Zahra, sementara ibu Muhammad bin Ali
merupakan wanita dari al-Hanafiyah. Kemudian nama itulah yang banyak dikenal oleh
sejarah.
Muhammad
Al-Hanafiyyah lahir di akhir masa khalifah Abu Bakar ash-Shidiqradhiyallahu ‘anhu. Beliau tumbuh
dan dibesarkan di bawah bimbingan ayahandanya, Ali bin Abi Thalib. Dari ayahnya
itu, Muhammad Al-Hanafiyah mewarisi ketekunan ibadahnya, sifat zuhud,
keberanian dan kekuatannya di samping kefasihan lidahnya.
Siang
hari, beliau menjadi pahlawan di medan perang dan menjadi tokoh dalam jajaran
para ulama. Di malam hari beliau adalah rahib di saat mata manusia tidur
terlelap.
Ayah
beliau radhiyallahu ‘anhu telah menggemblengnya di tengah kancah
peperangan yang diikutinya. Dipikulkan kepadanya beban-beban berat yang tidak
pernah dipikulkan kepada kedua saduaranya, Hasan dan Husein. Dengan demikian
dia tak pernah malas atau lemah semangatnya.
Beliau
pernah ditanya, “Mengapa Anda selalu diterjunkan di medan-medan yang berbahaya
dan memikul beban melebihi kedua kakakmu, Hasan dan Husein?” Dengan tawadhu
beliau, “Sebab, kedua kakakku ibarat kedua mata ayahku, sedangkan kedudukanku
adalah ibarat kedua tangannya. Maka ayah menjaga kedua matanya dengan kedua
tangannya.”
Berada di tengah fitnah dan ujian
Kehidupan
kaum muslimin di penghujung zaman dan pasca meninggalnya kholifah Utsman bin
Affan diliputi dengan banyak fitnah dan ujian. Begitu pula dengan kehidupan
Muhammad bin Ali Al-Hanafiyyah banyak mendapatkan ujian dari Alloh.
Salah
satunya adalah ketika terjadi perang Shiffin yang meletus antara kelompok Ali
Abi Thalib dengan kelompok Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Pada peristiwa itu,
Muhammad Al-Hanafiyyah memegang panji-panji ayahnya.
Tatkala
perang berkobar, korban berjatuhan dari kedua pihak. Terjadilah suatu peristiwa
yang kemudian diceritakan sendiri oleh Muhammad Al-Hanafiyyah. Beliau
menuturkan kejadiannya: “Ketika berada di Shiffin kami bertempur melawan
sahabat sendiri, Muawiyah. Kami saling beradu, hingga kami menduga tidak akan
ada lagi yang tersisa dari kami ataupun mereka. Aku menjadi sedih dan gelisah
karenanya.
Tiba-tiba
aku mendengar suara teriakan dari belakangku: “Wahai saudara-saudara muslimin…
ingatlah Allah… Allah… Wahai saudara-saudara muslimin.. Allah… Allah, sisakan
orang-orang kalian, wahai saudara-saudara muslimin..! Siapakah yang akan
(melindungi) para wanita dan anak-anak?Siapakah yang akan menjaga agama dan
kehormatan?Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami?
Seketika
itu aku tersadar dan berjanji tidak akan mengangkat dan menghunus senjata lagi
melawan seorang muslim pun sejak hari itu.”
Pada
akhirnya Ali bin Abi Tholib meninggal karena ulah orang-orang yang dzolim.
Kekholifahan kemudian dipegang oleh Hasan bin Ali selama kurang lebih enam
bulan dan kemudian menyerahkannya kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Kekuasaan
pun berpindah kepada Muawiyah bin Abi Sufyan. Ketika itu, Muhammad
Al-Hanafiyyah ikut serta membaiat Mu’awiyah bin Abi Sufyan untuk selalu taat
dan patuh dalam keadaan suka maupun duka. Hal itu tidak lepas dari keinginan
Muhammad Al-Hanafiyah untuk menyatukan suara kaum muslimin dan mengumpulkan
kekuatan serta untuk menggapai kemuliaan bagi Islam dan Muslimin.
Kemudian
setelah meninggalnya kholifah Mu’awiyah, kaum muslimin dihadapkan pada fitnah
yang lain dimana terjadi perselisihan antara Abdul Malik bin Marwan dan
Abdullah bin Zubair. Abdul Malik bin Marwan dibaiat oleh para penduduk Syam
sementara penduduk Hijaz dan Irak lebih memilih untuk membaiat Abdullah bin
Zubair.
Disinilah
keteguhan Muhammad bin Al-Hanafiyah diuji ketika diminta untuk membaiat salah
satu dari keduanya. Ketika Abdullah bin Zubair meminta Muhammad Al-Hanafiyah
untuk membaiatnya, beliau berkata : “Engkau tahu benar bahwa aku tidak ingin
melakukan hal itu. Kedudukanku hanyalah sebagai seorang muslim. Bila seluruh
muslimin telah bersepakat atas salah satu dari kalian, maka aku tidak keberatan
untuk berbai’at kepada engkau maupun dia. Untuk sementara aku belum ingin
berbai’at baik kepadamu maupun kepadanya.”
Penutup
Demikianlah,
fitnah dan ujian semakin meneguhkan hati putra Ali bin Abi Tholib ini. Setelah
Abdullah bin Zubair meninggal, semua orang akhirnya berbaiat kepada Abdul Malik
bin Marwan. Barulah setelah kaum muslimin semuanya bersatu dalam baiat,
Muhammad bin Ali Al-Hanafiyah ikut berbaiat kepada Abdul malik bin Marwan.
Tak
lama kemudian, Muhammad al-Hanafiyyah meninggal dunia. Semoga Alloh merahmati
Muhammad bin Ali Al-Hanafiyah yang tidak menginginkan perpecahan umat terjadi
di muka bumi dan tidak pula gila jabatan dan kehormatan. [Disadur dari kitab
Shuwar min Hayati Tabiin]
Red : Aziz Rachman