Saturday, August 26, 2017

Firqah Sesat, Al-Firqatun An-Najiyyah (Golongan Yang Selamat) Dan Kapan Keluar Dari Ahlus-Sunnah ?

Hasil gambar untuk firqah sesat

Firqah Sesat

Oleh Abu Al-Jauzaa'
Dalam sebuah hadits disebutkan:

وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي

“Akan berpecah umatku ini menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu (yang masuk surga)”. Mereka (para shahabat) bertanya : “Siapakah ia wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Apa-apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2641, Al-Haakim 1/218-219, Ibnu Wadldlah dalam Al-Bida’ hal. 85, Al-Ajurriy dalam Asy-Syarii’ah 1/127-128 no. 23-24, dan yang lainnya].
 
Dalam hadits di atas disebutkan tentang keberadaan 72 golongan/kelompok sesat lagi celaka sebagai opposite golongan yang selamat (al-firqatun-najiyyah). Banyak ulama menjelaskan tentang 72 golongan ini. Diantaranya Asy-Syaathibiy rahimahullah yang berkata:

وهي مسألة - كما قال الطرطوشي - طاشت فيها أحلام الخلق ، فكثير ممن تقدم وتأخر من العلماء عينوها، لكن في الطوائف التي خالفت في مسائل العقائد فمنهم من عد أصولها ثمانية ، فقال : كبار الفرق الإسلامية ثمانية : ( 1 ) المعتزلة و ( 2 ) الشيعة ، و ( 3 ) الخوارج ، و ( 4 ) المرجئة ، و ( 5 ) النجارية ، و ( 6 ) الجبرية و ( 7 ) المشبهة ، و ( 8 ) الناجية .

“Sebagaimana dikatakan Ath-Thurthuusyiy, hal itu adalah permasalahan yang banyak orang keliru padanya. Banyak ulama dahulu maupun sekarang yang telah menentukan golongan/kelompok tersebut, akan tetapi sebatas kelompok-kelompok yang menyimpang dalam permasalahan-permasalahan ‘aqidah. Diantara mereka ada yang menghitung pokok golongan/kelompok tersebut berjumlah delapan. Ia katakan : ‘Gembong kelompok-kelompok Islam (yang menyimpang) berjumlah delapan, yaitu Mu’tazilah, Syii’ah, Khawaarij, Murji’ah, Najjaariyyah, Jabriyyah, Musyabbihah, dan Naajiyyah” [Al-I’tishaam, 3/185].
Yuusuf bin Asbath rahimahullah berkata:

أُصُولُ الْبِدَعِ أَرْبَعٌ: الرَّوَافِضُ، وَالْخَوَارِجُ، وَالْقَدَرِيَّةُ، وَالْمُرْجِئَةُ، ثُمَّ تَتَشَعَّبُ كُلُّ فِرْقَةٍ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ طَائِفَةً، فَتِلْكَ اثْنَتَانِ وَسَبْعُونَ فِرْقَةً، وَالثَّالِثَةُ وَالسَّبْعُونَ الْجَمَاعَةُ الَّتِي قَالَ النَّبِيُّ : إِنَّهَا النَّاجِيَةُ

“Pokok-pokok kebid’ahan ada 4 (empat), yaitu Raafidlah, Khawaarij, Qadariyyah, dan Murji’ah. Kemudian masing-masing firqah tersebut bercabang-cabang lagi menjadi 18 golongan sehingga totalnya menjadi 72 firqah. Dan yang ke-73 adalah Al-Jamaa’ah yang disabdakan Nabi : ‘Inilah firqah/kelompok yang selamat” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah no. 17].
Senada dengan hal di atas adalah penjelasan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:

الْبِدْعَةُ الَّتِي يُعَدُّ بِهَا الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْأَهْوَاءِ مَا اشْتَهَرَ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالسُّنَّةِ مُخَالَفَتُهَا لِلْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ: كَبِدْعَةِ الْخَوَارِجِ، وَالرَّوَافِضِ، وَالْقَدَرِيَّةِ، وَالْمُرْجِئَةِ

"Bid'ah yang menyebabkan pelakunya terhitung sebagai pengikut hawa nafsu adalah bid'ah yang terkenal di kalangan ulama Ahlus-Sunnah yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah (secara jelas), seperti bid'ah Khawaarij, Rafidlah, Qadariyyah, dan Murji'ah" [Majmuu' Al-Fataawaa, 35/414].
Kembali Asy-Syaathibiy rahimahullah menjelaskan:

هذه الفرق إنما تصير فرقا بخلافها للفرقة الناجية في معنى كلي في الدين وقاعدة من قواعد الشريعة ، لا في جزئي من الجزئيات ، إذ الجزئي والفرع الشاذ لا ينشأ عنه مخالفة يقع بسببها التفرق شيعا ، وإنما ينشأ التفرق عند وقوع المخالفة في الأمور الكلية ، لأن الكليات تقتضي عددا من الجزئيات غير قليل

“Kelompok-kelompok ini hanyalah menjadi kelompok (yang sesat) dengan sebab penyelisihannya terhadap al-firqatun-naajiyyah dalam makna yang kulliy dalam (pokok-pokok) agama dan kaedah-kaedah syari’at. Bukan dalam permasalahan yang juz’iy (parsial). Karena permasalahan juz’iy dan cabang yang menyimpang tidaklah menimbulkan penyimpangan yang menyebabkan perpecahan. Perpecahan hanya timbul akibat terjadinya menyimpangan dalam perkara-perkara kulliyyah (pokok), karena perkara kulliyyah mengharuskan adanya perkara-perkara juz’iyyah yang tidak sedikit” [Al-I’tishaam, 3/177].
Tujuhpuluh dua golongan/kelompok yang gagal beragama dengan benar (alias sesat) ini adalah kelompok yang menyimpang dalam perkara pokok dan/atau masuk dalam ranah ‘aqiidah[1]. Oleh karena itu jika kita membaca kitab-kitab para ulama terdahulu yang membahas manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jamaa’ah, maka yang mereka tetapkan adalah perkara ushuuluddiin (pokok-pokok agama) dan ‘aqiidah kesepakatan umat. Diantaranya:
1.Abu Haatim Ar-Raaziy dan Abu Zur’ah Ar-Raaziy, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim rahimahumullah:

سَأَلْتُ أَبِي وَأَبَا زُرْعَةَ عَنْ مَذَاهِبِ أَهْلِ السُّنَّةِ فِي أُصُولِ الدِّينِ، وَمَا أَدْرَكَا عَلَيْهِ الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ، وَمَا يَعْتَقِدَانِ مِنْ ذَلِكَ، فَقَالا: أَدْرَكْنَا الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ حِجَازًا وَعِرَاقًا وَشَامًا وَيَمَنًا فَكَانَ مِنْ مَذْهَبِهِمُ.....

Aku pernah bertanya kepada ayahku (Abu Haatim Ar-Raaziy) dan Abu Zur’ah tentang madzhab Ahlus-Sunnah dalam Ushuuluddiin (pokok-pokok agama), serta apa yang mereka dapatkan dari para ulama yang mereka jumpai di berbagai kota dan apa yang mereka yakini tentang hal tersebut. Mereka berdua berkata : “Kami telah berjumpa dengan para ulama di seluruh kota baik di Hijaaz, ‘Iraaq, Syam, dan Yaman, maka diantara madzhab yang mereka anut adalah …… (lalu disebutkan permasalahan ushuuludiin yang dimaksud)” [Syarh Ushuuli I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah, 1/176-180 no. 321-322].
2.Al-Muzanniy rahimahullah (w. 264 H) setelah memaparkan ‘aqidah Ahlus-Sunnah berkata:

هذه مقالات وأفعال اجتمع عليها الماضون الأولون من أئمة الهدى، وبتوفيق الله اعتصم بها التابعون قدوة ورضى، وجانبوا التكلف فيما كفوا، فَسُدِّدوا بعون الله وَوُفِّقوا، ولم يرغبوا عن الاتباع فيقصروا، ولم يتجاوزوه تزّيداً فيعتدوا، فنحن بالله واثقون، وعليه متوكلون، وإليه في اتباع آثارهم راغبون

“Perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan ini merupakan kesepakatan para ulama generasi awal dulu, dan – dengan taufiq Allah - yang dipegang oleh orang-orang setelahnya yang menjadi teladan dan diridlai. Mereka meninggalkan sikap takalluf (memperberat diri) terhadap perkara yang tidak dilakukan (salaf), sehingga mereka dikokohkan dan diberikan taufiq dengan pertolongan Allah. Mereka juga tidak membenci sikap ittibaa’ hingga mereka mengurang-ngurangi (apa yang seharusnya) dan menambah-nambahi. Hanya kepada Allah kami percaya dan bertawakkal, dan hanya kepada Allah kami berharap untuk dapat mengikuti jejak mereka (salaf)” [Syarhus-Sunnah, hal. 88].
3.Harb bin Ismaa’iil Al-Kirmaaniy rahimahumallah (w. 280 H) berkata ketika memaparkan madzhab/‘aqidah para imam Ahlus-Sunnah:

هذا مذهب أئمة العلم وأصحاب الأثر وأهل السنة المعروفين بها المقتدى بهم فيها: وأدركت من أدركت من علماء أهل العراق والحجاز والشام وغيرهم عليها، فمن خالف شيئا من هذه المذاهب، أو طعن فيها، أو عاب قائلها، فهو مبتدع، خارج عن الجماعة، زائل عن منهج السنة وسبيل الحق

“Ini adalah madzhab para imam, ashhaabul-atsar, dan ahlus-sunnah yang dikenal dan diteladani. Dan aku telah bertemu dengan para ulama penduduk ‘Iraaq, Hijaaz, Syaam, dan yang lainnya yang mereka itu semua berada di atas (madzhab itu). Barangsiapa yang menyelisihinya dari madzhab ini atau menghujatnya atau mencela orang yang mengatakannya; maka ia adalah mubtadi’ keluar dari jama’ah, serta menyimpang dari manhaj sunnah dan jalan yang benar” [As-Sunnah, hal. 34].
4.Dan yang lainnya.
Benar, ada beberapa perkara ‘amaliyyah yang dapat dikatakan sebagai ciri Ahlus-Sunnah, seperti misal mengusap dua khuff.
Sahl bin ‘Abdillah At-Tustariy rahimahullah pernah ditanya tentang kapan seseorang mengetahui dirinya di atas (manhaj) Ahlus-Sunnah wal-Jamaa’ah, maka ia menjawab:

إِذَا عَرَفَ مِنْ نَفْسِهِ عَشْرَ خِصَالٍ: لا يَتْرُكُ الْجَمَاعَةَ، وَلا يَسُبُّ أَصْحَابَ النَّبِيِّ وَلا يَخْرُجُ عَلَى هَذِهِ الأُمَّةِ بِالسَّيْفِ، وَلا يُكَذِّبُ بِالْقَدَرِ، وَلا يَشُكُّ فِي الإِيمَانِ، وَلا يُمَارِي فِي الدِّينِ، وَلا يَتْرُكُ الصَّلاةَ عَلَى مَنْ يَمُوتُ مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِالذَّنْبِ، وَلا يَتْرُكُ الْمَسْحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ، وَلا يَتْرُكُ الْجَمَاعَةَ خَلْفَ كُلِّ وَالٍ جَارَ أَوْ عَدَلَ

“Apabila ia mengenal dirinya 10 perkara/karakteristik, yaitu tidak meninggalkan jama’ah, tidak mencaci shahabat Nabi , tidak melakukan pemberontakan terhadap umat ini dengan senjata/pedang, tidak mendustakan takdir, tidak ragu dalam keimanan, tidak berdebat dalam masalah agama, tidak meninggalkan shalat terhadap seorang muslim yang mati dengan dosa (besar yang dilakukannya), tidak meninggalkan mengusap dua khuff, serta tidak meninggalkan (shalat) jama’ah di belakang pemimpin yang jahat maupun adil” [Syarh Ushuulil-I’tiqaad, 1/182 no. 324].
Begitu juga dalam kitab-kitab ‘aqiidah yang lain (termasuk kitab aqidah yang tersebut sebelumnya). Mengapa ? Dijelaskan oleh Asy-Syaikh Ahmad bin Yahyaa An-Najmiy rahimahullah:

وقد أدخل المسح على الخفين في العقائد ، لأنَّ بعض المبتدعين أنكره ، وهم الخوارج ، والشيعة بحجة أنه لم يرد في القرآن ، وهو ثابتٌ عن النبي من رواية جماعةٍ من الصحابة ، وصار إنكاره علماً على أهل البدع ، وأهل السنَّة والجماعة يثبتونه لوجود الأدلة به

"Permasalahan mengusap dua khuff beliau (Al-Barbahaariy rahimahullah) masukkan dalam 'aqaaid karena sebagian ahli bid'ah/mubtadi' mengingkarinya seperti Khawaarij dan Syii'ah dengan hujjah bahwa masalah itu tidak ada dalam Al-Qur'an. Padahal permasalahan itu shahih dari Nabi dari riwayat sekelompok shahabat, sehingga pengingkaran akan hal itu sebagai satu pertanda atas ahli bid'ah. Adapun Ahlus-Sunnah wal-Jamaa'ah menetapkannya dikarenakan keberadan dalil-dalil yang medasarinya" [selesai - Irsyaadus-Saariy ilaa Taudliih Syarhis-Sunnah lil-Barbahaariy].
Jadi, (sebagian) perkara ‘amaliyyah memang ada yang masuk dalam katagori ushuul Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dikarenakan Ahlul-Bid’ah masyhur dengan perkara kebalikannya.
Dr. Ahmad An-Najjaar hafidhahullah menjelaskan korelasi hal ini dengan yang dibahas sebelumnya:

المسائل الاعتقادية أو العملية الجليلة التي اشتهرت عند أهل العلم بالسنة موافقتها للكتاب والسنةوالإجماع، وهي تعرف (بالأصول).
فمن خالف أصلاً من الأصول التي اشتهرت موافقتها للكتاب والسنة والإجماع؛ فقد خرج عن هدي السلف الصالح ونسب إلى غيرهم.

“Permasalahan-permasalahan ‘aqidah atau amaliyyah yang agung lagi terkenal menurut ulama Ahlus-Sunnah yang berkesesuaian dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’; maka itulah yang dikenal dengan pokok (ushuul).
Barangsiapa yang menyelisihi suatu pokok (ushuul) dari pokok-pokok (agama) yang dikenal berkesesuaian dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’, maka dirinya keluar dari petunjuk as-salafush-shaalih dan dinisbatkan kepada selainnya (kelompok sesat)” [Tabshiirul-Khalaf bi-Dlaabithil-Ushuuli allatii Man Khalafaa Kharaja ‘an Manhajis-Salaf, hal. 28].[2]
Dari sini kita mengetahui mengapa (sebagian) perkara ‘amaliyyah yang agung dimasukkan para ulama dalam bab ‘aqiidah dan ushuul.
Berdasarkan keterangan tersebut, apakah jika ada orang yang melafadhkan niat ketika shalat, dapat kita hukumi kesalahan (bid’ah)-nya itu sebagai sebab masuk dalam kelompok sesat gagal beragama (dengan benar) di luar al-firqatun-naajiyyah ?. Tentu jawabannya tidak. Apakah jika ada orang yang melakukan bid’ah berjabat tangan setelah shalat dapat kita hukumi kesalahan (bid’ah)-nya itu sebagai sebab keluar dari lingkaran Ahlus-Sunnah ?. Tentu jawabannya tidak. Mengapa ?. Karena hal itu bukan bagian dari pokok-pokok Ahlus-Sunnah. Juga bid’ah ‘amaliyyah lain (menurut sebagian ulama) seperti qunut shubuh, zakat profesi, biji tasbih, yasinan, dan yang lainnya.
Kemudian…..
Ketika Syaikhul-Islaam membahas permasalahan mana yang lebih utama antara ‘Utsmaan dan ‘Aliy[3], beliau rahimahullah berkata:

هذه المسألة - مسألة عثمان وعلي - ليست من الأصول التي يضلل المخالف فيها عند جمهور أهل السنة لكن التي يضلل فيها مسألة الخلافة

"Permasalahan ini – yaitu permasalahan ‘Utsmaan dan ‘Aliy - bukanlah permasalahan pokok (ushuul) dimana orang yang menyelisihinya boleh untuk disesatkan menurut jumhur ulama. Akan tetapi yang disesatkan padanya adalah permasalahan khilaafah" [Majmuu' Al-Fatawaa, 3/153].
Orang yang mengutamakan 'Aliy dibandingkan 'Utsmaan radliyallaahu ‘anhumaa adalah keliru. Namun dalam masalah ini tidak boleh dikatakan sesat, karena bukan termasuk pokok (ushuul) agama yang membolehkan seseorang menyesatkan oposannya dan keluar dari lingkaran Ahlus-Sunnah. Perkara kemudian masalah ini diboncengi masalah khilaafah – dan biasanya ini sepaket dilakukan oleh orang Syi’ah – , lain perkara. Jika tafdliil tersebut diikuti dengan pembatalan kekhalifahan ‘Utsmaan, maka orang tersebut lebih sesat daripada keledai peliharaannya. Namun jika murni masalah tafdliil saja, tidak boleh saling menyesatkan dan mengandangkan dalam 72 golongan.
Kasus lain tentang perayaan maulid Nabi . Ini adalah bid’ah amaliyyah menurut jumhur ulama. Bid’ah ini tidak mengeluarkan pelakunya dari Ahlus-Sunnah – meski kita katakan dia salah dan berdosa atas bid’ah yang dilakukannya. Pelakunya tidak kita sebut sebagai Ahli Bid'ah. Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan Al-Jibriin rahimahullah berkata:

وأما البدع العملية فإنه لا يقال لصاحبها مبتدع علي الإطلاق. ولكن يقال: فيه بدعة كالذين يحيون ليلة المعراج أو المولد أو ليلة النصف من شعبان أو يصلون صلاة الرغائب و ما أشبهها من البدع العملية.
فهناك فرق بين البدع الاعتقادية فيقال لصاحبها مبتدع و البدع العملية و يقال لصاحبها فيه بدعة ولا يصدق عليه أنه مبتدع بدعة كلية. هذا هو المتبادر. والله أعلم.

“Sedangkan bid’ah dalam masalah ibadah, pelakunya sama sekali tidak bisa disebut sebagai ahli bid’ah. Akan tetapi pelakunya kita katakan bahwa pada dirinya ada kebid’ahan. Semisal orang-orang yang memperingati malam Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi, beribadah pada malam Nishfu Sya’ban, melakukan shalat Raghaib, dan bid’ah-bid’ah yang lain dalam masalah ibadah.
Jadi ada perbedaan antara bid’ah dalam masalah akidah- itulah bid’ah yang pelakunya disebut sebagai ahli bid’ah- dengan bid’ah dalam masalah ibadah. Pelaku bid’ah dalam masalah ibadah mendapat sebutan ‘ada bid’ah pada dirinya’. Pelaku bid’ah semacam ini tidak tepat jika disebut sebagai ahli bid’ah. Demikian jawaban instan yang bisa diberikan. Wallahu a’lam” [Ijabah al Sa-il ‘an Ahammi al Masa-il Ajwibah al ‘Allamah al Jibrin ‘ala As-ilah al Imarat, hal 13-14 – dikutip dari website ustadzaris.com].
Apakah maulid termasuk bagian dari pokok ushuul dalam agama ? Termasuk syi’ar-syi’ar yang membedakan antara Ahlus-Sunnah dan Ahlul-Bid’ah yang tercantum dalam kitab para ulama dulu ?. Jawabnya : Tidak.[4]
Bukankah banyak orang yang merayakan maulid disertai dengan banyak kemunkaran seperti istighatsah, doa kepada Nabi, ikhtilaath, dan perbuatan ghulluw lainnya ?.
Kalau begitu, ini namanya perayaan maulid plus. Kalau sudah plus-plus, hukumnya lain. Sama seperti kasus tafdliil sebelumnya.
Lajnah Daaimah ketika membahas rincian kemunkaran maulid, tetap membedakan antara hanya sekedar merayakannya saja dan yang merayakan plus ibadah yang lain yang isinya kesyirikan. Saya highlight khusus kalimat/perkataan yang ini:

إذا كان مجرد احتفال ، على الأكل والشرب ، والقهوة والشاي ، وليس فيه دعاء ولا استغاثة بالنبي ، فهذه بدعة منكرة

"Apabila hanya sekedar perayaan saja dengan makan, minum, ngopi dan ngeteh; namun tidak ada padanya doa dan istighatsah kepada Nabi; maka ini bid'ah munkarah (saja, bukan syirik)" [alifta.net].
Maka, penghukuman maulid pun harus hati-hati dan dirinci, antara sekedar perayaannya saja (sebagaimana perkataan fuqahaa yang membolehkan) atau yang paket plus-plus. Paket plus-plus dapat menyebabkan seseorang keluar dari lingkup al-firqatun-naajiyyah. Bukan karena maulidnya, tapi karena plus-plusnya.
Terakhir, kalaupun ada bantahan, silakan. Tak perlu kasih judul bombastis “Ultraman Membantah Upin dan Ipin”. Nanti dikira cari perhatian dan malah bikin gaduh. Saya tahu ada perkataan ulama kontemporer yang berbeda dengan hal di atas. No problemo.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya. Silakan baca juga artikel : Kapan Keluar dari Ahlus-Sunnah.
[abul-jauzaa’ – one thousand km from home – 30 Dzulqa’dah 1438 H].
[1] Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah menjelaskan hal serupa:
[2]Buku ini diberikan taqdiim oleh Asy-Syaikh Dr. Shaalih bin Sa’d As-Suhaimiy dan Asy-Syaikh Dr. Sulaimaan Ar-Ruhailiy hafidhahumallah. Sangat direkomendasikan untuk dibaca dalam masalah keluar-masuk pintu Ahlus-Sunnah.
[3]Jumhur ulama berpendapat bahwa ‘Utsmaan lebih utama daripada ‘Aliy radliyallaahu ‘anhumaa.
[4]Diantara ulama madzhab yang membolehkan maulid adalah Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy, Ibnul-Jazariy, Ibnu Hajar Al-Haitamiy, Ibnush-Shalah, Abu Syammaah Al-Maqdisiy, Ibnul-Hajj Al-Malikiy, As-Suyuuthiy, dan yang lainnya rahimahumullah.
Mereka membolehkan maulid dengan melakukan amal-amal kebaikan, menampakkan kegembiraan, bershadaqah, bersyukur, dan yang lainnya di hari itu.
(-) : Ente kok malah nyebutin khilaf ulama segala. Khilaf itu bukan dalil !! Dalil itu adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’ !!!
(+) : Saya sepakat dengan Anda bahwa maulid itu bid’ah yang terlarang dalam agama. Clear bagi saya. Di sini saya hanya ingin mendudukkan realitas saja, apakah maulid itu merupakan perkara ijmaa' atau bukan ijmaa', pokok ataukah cabang, perkara kulliy ataukah juz’iy, sehingga kita dapat menghukuminya dengan akurat.

COMMENTS

Harris mengatakan...
Syukron penjelasannya Ustadz..semoga antum dan kita semua diberi keteguhan dalam beragama sesuai tuntunan Rasul sallahualahiwassalam
24 Agustus 2017 06.14
Anonim mengatakan...
Bagaimana dengan asyairoh ustadz -yang katanya banyak dianut di negeri kita tercinta ini- apakah penyelisihan mereka dalam masalah sifat dan alquran mengeluarkan mereka dari ahlussunnah atau mereka masih ahlussunnah? syukron
24 Agustus 2017 07.07
Anonim mengatakan...
Semoga Allah membalas kebaikan antum ya ustadz
24 Agustus 2017 07.37
Anonim mengatakan...
Jazaakallah khair, penjelasan yg lugas dan mudah dicerna... Semoga awam yg lain spt ana bisa tercerahkan... Krn ana dulu sempat menduga duga, apabila qunut subuh termasuk bid'ah dan pelakunya disebut ahlul bid'ah mutlak, apa iya imam nawawi rahimahullah yg membolehkan qunut subuh adalah ahlul bid'ah? Padahal kitab beliau banyak dikaji di majlis taklim sunnah...
Semakin memahami sekarang, hanya Allah ta'aala yg memberi petunjuk dan bergantungnya semua makhluk..
24 Agustus 2017 07.39
Anonim mengatakan...
Jazaakallah khoiro
24 Agustus 2017 08.40
ryudhi mengatakan...
mau bid'ah aqidah, bid'ah amaliah semua tetaplah bid'ah..dan setiap bid'ah adl sesasat.. dan setiap kesesatan tempatnya di neraka..!
24 Agustus 2017 10.27
Atrian Rahadi mengatakan...
Bagaimana dengan ini ustadz??
FATWA SYAIKH AL-'UTSAIMIN -rahimahullaah- TENTANG: SIAPA YANG DISEBUT MUBTADI'?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah- berkata:
“Setiap orang yang beribadah kepada Allah dengan ‘aqidah, atau perkataan, atau PERBUATAN yang bukan termasuk syari’at Allah; maka dia adalah MUBTADI’.
(1)- Setiap orang yang beribadah dengan ‘aqidah; (seperti:) Jahmiyyah yang beribdah dengan ‘aqidah mereka; maka mereka meyaikini bahwa mereka mensucikan Allah, dan bahwa (‘aqidah mereka) adalah pengagungan dan Tauhid. Mu’tazilah juga demikian, Asy’ariyyah juga demikian; mereka beribadah kepada Allah dengan ‘aqidah mereka.
(2)- Kemudian, orang-orang yang membuat-buat dzikir-dzikir tertentu: seratus, atau dua ratus, atau seribu; apakah mereka beribadah dengan hal itu atau tidak? Ya, mereka beribadah kepada Allah dengan itu, mereka meyakini bahwa mereka diberi pahala atas hal ini.
(3)- Kemudian, orang-oang yang membuat-buat perbuatan yang mereka beribadah kepada Allah dengannya; (seperti orang yang shalat) seribu raka’at dan lainnya; maka mereka juga beribadah kepada Allah dengan perbuatan-perbuatan tersebut.
Tiga golongan ini -yang berbuat BID'AH dalam ‘aqidah, perkataan, atau perbuatan-; setiap bid’ah dari bida’h-bid’ah mereka; maka SESAT.”
24 Agustus 2017 13.35
Aco Pancoco mengatakan...
Kapan rodja tv live maulidan??
24 Agustus 2017 22.17
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumus-salaam warahmatulaahi wabakatuh
@Anonim 24 Agustus 2017 07.07,..... Asyaa'irah termasuk bid'ah dalam 'aqiidah dan merupakan derivat dari Mu'tazilah. Namun dibandingkan Mu'tazilah atau Jahmiyyah, Asyaa'irah lebih dekat kepada Ahlus-Sunnah.
@Ryudhi dan @Atrian Rahadi,.... setiap bid'ah memang sesat. Haditsnya kan memang berbunyi seperti itu. Bukan hanya bid'ah, namun menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya pun juga termasuk kesesatan sebagaimana firman Allah ta'ala:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata" [QS. Al-Ahzaab : 36].
Mengikuti hawa nafsu juga sesat sebagaimana firman Allah ta'ala:

فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ

"Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun" [QS. Al-Qashshaash : 50].
Berbuat maksiat juga sesat sebagaimana firman Allah ta'ala:

قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ قَتَلُوا أَوْلادَهُمْ سَفَهًا بِغَيْرِ عِلْمٍ وَحَرَّمُوا مَا رَزَقَهُمُ اللَّهُ افْتِرَاءً عَلَى اللَّهِ قَدْ ضَلُّوا وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ

"Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan lagi tidak mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah rezekikan kepada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk" [QS. Al-An'aam : 140].
25 Agustus 2017 07.11
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Permasalahannya adalah, siapakah orang yang dimutlakkan padanya sebagai orang yang tersesat ?. Apakah satu per satu orang yang melakukan perbuatan dosa kita cap orang yang sesat ?. Siapakah nanti yang tersisa jika begitu ?. Antum sendiri mungkin tak selamat darinya.
Perkataan syaikh "Setiap orang yang beribadah kepada Allah dengan ‘aqidah, atau perkataan, atau PERBUATAN yang bukan termasuk syari’at Allah; maka dia adalah MUBTADI" adalah umum. Barangsiapa yang membuat-buat syari'at Allah, maka mubtadi'.
Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah berkata:

أقول المبتدع هو أولا الذي من عادته الابتداع في الدين وليس الذي يبتدع بدعة واحدة ولو كان هو فعلا ليس عن اجتهاد وإنما عن هوى مع ذلك هذا لا يسمى مبتدعا وأوضح مثال لتقريب هذا المثال أن الحاكم الظالم قد يعدل في بعض أحكامه فلا يقال فيه عادل كما أن العادل قد يظلم في بعض أحكامه فلا يقال فيه ظالم وهذا يؤكد القاعدة الإسلامية الفقهية أن الإنسان بما يغلب عليه من خير أو شر إذا عرفنا هذه الحقيقة عرفنا من هو المبتدع فيشترط إذًا في المبتدع شرطان الأول ألا يكون مجتهدًا وإنما يكون متبعًا للهوى الثانية أو الثاني يكون ذلك من عادته ومن ديدنه

"Aku katakan bahwa mubtadi' adalah - pertama - orang yang biasa mengada-adakan perkara dalam agama. (Mubtadi') bukan orang yang (hanya) mengadakan satu bid'ah, meskipun yang ia lakukan bukan berasal dari ijtihad, namun hanya dari hawa nafsu semata. Dirinya tidak dinamakan mubtadi. Akan aku jelaskan satu permisalan yang mirip dengan permisalan ini. Seorang hakim yang dhalim kadang berlaku adil dalam sebagian hukum-hukumnya, maka dirinya tidak dikatakan seorang yang adil. Sebagaimana orang yang adil kadang berlaku dhalim dalam sebagian hukum-hukumnya, maka dirinya juga tidak dapat disebut seorang yang dhalim. Ini memperkuat sebuah kaedah islamiyyah fiqhiyyah bahwasannya seseorang dihukumi dengan kebaikan atau keburukan yang mendominasi pada dirinya. Apabila kita mengenal hakekat ini, maka kita akan mengenal siapa itu mubtadi'. Oleh karena itu, dipersyaratkan pada diri seorang mubtadi' dua persyaratan : (1) dirinya bukan seorang mujtahid, namun hanyalah seorang yang mengikuti hawa nafsu; (2) perkara (bid'ah) itu sudah menjadi kebiasaannya dan masuk dalam bagian agamanya" [http://www.alalbany.me/play.php?catsmktba=16733].
Ini ditinjau dari pelakunya. Kemudian ditinjau dari jenis bid'ahnya. Apakah setiap jenis bid'ah menyebabkan pelakunya disebut mubtadi'/ahlul-bid'ah ?. Kalau Anda jawab iya, maka di sini saya harus mengecap semua orang yang qunut Shubuh sebagai mubtadi'/ahlul-bid'ah. Atau, saya harus mengecap semua orang yang mengucapkan niat ketika akan shalat sebagai Ahlul-Bid'ah. Saya kain, Anda tidak setuju. Maka, jenis bid'ah yang menyebabkan pelakunya disebut Ahli Bid'ah dan mengeluarkan pelakunya dari Al-Fiqatun-Naajiyyah menuju 72 firqah yang sesat adalah sebagaimana dikatakan dalam artikel di atas. Bid'ah dalam perkara ushuul, baik dalam 'aqiidah maupun amaliyyah/perbuatan.
wallaahu a'lam bish-shawwaab.
@Aco Pancoco,..... nanti kalau Anda jadi produsernya, harap saya dikasih tahu ya.
25 Agustus 2017 07.11

Al-Firqatun An-Najiyyah (Golongan Yang Selamat)

Oleh Abu Al-Jauzaa'
Rasulullah bersabda :

 إفترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة. وافترقت النصارى على اثنين وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة. وستفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة. وفي رواية : على ثلاث وسبعين ملة. قالو : ومن هي يارسول الله؟ قال : هي الجماعة. يد الله مع الجماعة. وفي رواية : قال : ما أنا عليه وأصحابي.

”Orang-orang Yahudi telah terpecah menjadi 71 firqah semuanya masuk neraka kecuali satu. Orang-orang Nashara terpecah menjadi 72 firqah semuanya masuk neraka kecuali satu. Dan umat ini akan terpecah menjadi 73 firqah semuanya masuk neraka kecuali satu.” Dalam satu riwayat : ”Menjadi 73 millah”.  Para shahabat bertanya : “Siapakah dia yang selamat itu ya Rasulullah ?. Maka Rasulullah menjawab : ”Meraka adalah Al-Jama’ah. Tangan Allah di atas jama’ah”.

Dalam riwayat lain beliau bersabda : ”Yaitu apa yang aku dan shahabatku berada di atasnya”.
[Ibnu Taimiyyah berkata : Hadits ini Shahih Masyhur di dalam kitab-kitab Sunan dan Masaanid, seperti Sunan Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’I, dan yang lain. Lihat Majmu’ Fatawaa Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah juz 3 halaman 345].
Menurut Syaikh Al-Albani, hadits masalah perpecahan umat ini derajatnya ada yang shahih dan ada pula yang hasan.
Berdasarkan hadits di atas jelas bahwa umat ini akan terpecah menjadi 73 firqah; 72 di antaranya di neraka dan satu di surga, yang berarti ada satu firqah yang selamat.
Adapun tentang istilah-istilah Al-Firqatun-Najiyyah (Golongan yang Selamat), maka ada beberapa penyebutan :
1.Terkadap di sebut Al-Jama’ah. Sebagaimana diterangkan hadits di atas.
Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu berkata :
الجماعة : ما وافق الحق وإن كنت وحدك
“Jama’ah adalah apa-apa yang sesuai dengan kebenaran walaupun sendirian”

Dalam lafadh lain :

إنما الجماعة : ما وافق طاعة الله وإن كنت وحدك

”Jama’ah adalah apa-apa yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah sekalipun sendirian” (Lihat Kitab Ahlus-Sunnah, Ma’alim Al-Inthilaqatil-Kubra, halaman 49).
2.      Terkadang diistilahkan pula Ahlur-Rahmah (orang yang mendapat rahmat dari Rabb-Nya).
Allah ta’ala berfirman :

وَلَوْ شَآءَ رَبّكَ لَجَعَلَ النّاسَ أُمّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ *  إِلاّ مَن رّحِمَ رَبّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ

”Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Rabb-mu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka” (QS. Huud : 118-119).
Qatadah berkata : “Maksud orang yang mendapat rahmat adalah Al-Jama’ah, sekalipun masing-masing terpisah rumah/negeri dan badannya. Sedangkan  orang yang maksiat adalah Al-Firqah sekalipun satu rumah/negeri dan satu badan”. (Ma’alimul-Inthilaaqatil-Kubra halaman 28).
3.      Terkadang disebut pula Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (sebagaimana dalam hadits).
 أهل السنة = ما أنا عليه  = Jalannya Rasul.
 والجماعة = وأصحابي = Jalannya Shahabat.
Dalam hadits lain :
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين
”Wajib bagimu berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafaur-Rasyidin (Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali radliyallaahu ‘anhum)” (Ma’alamul-Inthilaaqatil-Kubra halaman 46).
4.      Sering pula dinamakan Ath-Thaifah Al-Manshurah (Kelompok yang Ditolong – oleh Allah)
Rasulullah bersabda :

لا تزال من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خذلهم حتى يأتي أمر الله

”Tidak pernah berhenti sekelompok dari umatku yang selalu membela kebenaran. Tidak membahayakan mereka orang-orang yang menghinakan mereka hingga datang keputusan Allah” (HR. Muslim).
5.      Juga kadang dinamakan Ahlul-Hadits; sebagaimana perkataan Imam Ahmad :

إن لم تكن هذه الطائفة المنصورة أصحاب الحديث فلا أدري من هم ؟

“Seandainya Thaifah Manshurah ini bukan Ahlul-Hadits, maka aku tidak tahu lagi siapa mereka itu” (Minhaj Al-Firqatun-Najiyyah oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu halaman 16).
Ibnu Taimiyyah memberikan komentar tentang Ahli Hadits : “Yang kami maksud dengan ahli hadits bukan terbatas hanya pada orang yang menekuni untuk mendengar atau menulis atau meriwayatkannya saja, tetapi mencakup siapa saja yang berhak untuk menghafal, mengetahui, dan memahaminya secara lahir maupun dan bathin, serta kemudian mengikutinya baik secara lahir maupun bathin. Begitu pula Ahli Qur’an”.
Peringkat paling sederhana dari pekerjaan Ahli Hadits adalah mencintai Al-Qur’an dan Al-Hadits, membahas makna-makna keduanya, dan mengamalkan apa-apa yang telah mereka pahami dari tuntutan keduanya. (Ma’alimul-Inthilaaqatil-Kubra halaman 50).
Di jaman sekarang banyak orang yang disebut-sebut sebagai Ahli Hadits ( baca : Doktor Jurusan Hadits), tetapi sayangnya ia tidak termasuk Ahlus-Sunnah. Disebabkan ia belajar hadits hanya untuk ilmu, bukan untuk diamalkan.
6.      Disebut pula As-Salafush-Shalih
Syaikh Abdulaziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah ketika ditanya tentang Al-Firqatun-Najiyah, beliau menjawab : “Mereka adalah orang-orang salaf dan orang-orang yang mengikuti jalannya As-Salafush-Shalih (Rasul dan para shahabatnya radliyallaahu ‘anhum) (Minhaj Al-Firqatun-Najiyyah oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu halaman 15).
Jadi tentang nama-nama tersebut di atas adalah nama yang syar’iy (tidak bid’ah).
Al-Firqatun-Najiyyah dan Ath-Thaifah Al-Manshurah mungkin bisa terjadi dimana hanya dilakukan oleh sekelompok kecil manusia, bahkan bisa perorangan; yang menurut nash telah jelas yaitu bahwa bumi ini tidak akan pernah kosong dari Thaifah Manshurah ini, kecuali menjelang hari kiamat.
Sifat-Sifat Golongan Yang Selamat
Adapun sifat-sifat Golongan yang Selamat (Al-Firqatun-Najiyyah) adalah sebagai berikut :
1.Selalu istiqamah dalam berpegang teguh dengan al-haq., yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahihah sebagaimana yang dipahami oleh As-Salafush-Shalih. Allah ‘azza wa jalla berfirman :

وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرّقُواْ

”Dan berpegangteguhlah kamu sekalian kepada tali (agama) Alah secara keseluruhan, dan janganlah kamu bercerai-berai” (QS. Aali Imarn : 103).
Rasulullah telah bersabda :

عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين. تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ

“Wajib bagimu berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah Khulafaur-Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpeganglah dengannya dan gigitlah dengan gigi gerahammu kuat-kuat” (HR. At-Tirmidzi; hasan-shahih).
Allah ta’ala berfirman :

وَأَنّ هَـَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتّبِعُوهُ وَلاَ تَتّبِعُواْ السّبُلَ

”Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain)” (QS. Al-An’am : 153).
Jalan lurus yang dimaksud adalah jalannya Rasulullah dan para shahabatnya radliyallaahu ‘anhum ajma’in.
2.Mengikuti jejak Rasulullah , para shahabat, dan para imam ahlul-hadits dalam segala hal. Seperti dalam beraqidah, beribadah, berhukum, bermuwalah, dan sebagainya.
Al-Firqatun-Najiyyah dalam Beraqidah
1.Sumber aqidah hanya Kitabullah dan Sunnah Rasulullah yang shahihah.
2.Semua khabar yang shahih dari Rasulullah diimani dan dibenarkan. Orang salaf tidak membedakan antara khabar mutawatir dan khabar ahad yang shahih.
3.Dalam memahami nash-nash selalu mengambil penjelasan dari nash-nash itu sendiri, kemudian qaul As-Salafush-Shalih (para shahabat), kemudian imam yang berjalan sesuai dengan manhaj mereka. Baru setelah itu kembali kepada kaidah bahasa Arab yang shahihah.
4.Menyerah pada wahyu (dalil naqli) dan tidak menentangnya baik dengan akal, perasaan, atau pendapat imam. Akal bisa dipakai sesuai dengan sesuai dengan fungsinya, tidak dipakai untuk memikirkan hal-hal yang bukan wilayahnya, seperti shifat-shifat Allah, masalah ghaib, surga, nereka, dan lain-lain.
5.Menggunakan istilah-istilah syar’i, tidak menggunakan istilah-istilah bid’ah.
6.Akal sehat tidak bertentangan dengan nash yang shahih. Akan tetapi jika seolah-olah bertentangan, maka nash wajib didahulukan.
(Diambil dari kitab-kitab : Al-‘Aqidah Fillah oleh Al-Asyqar; Wujud Luzuumil-Jama’ah  oleh Jamal bin Ahmad bin Basyirbadi; Mujmal Ushul Aqidah Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah] oleh Dr. Nashir bin Abdilkarim Al-‘Aql).
Keistimewaan ‘Aqidah Al-Firqatun-Najiyyah
Yaitu, memelihara kemurnian tauhid.
Dalam hal ini ada dua macam :
1.Tauhidullah
Meliputi : Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah, dan Tauhid Asma’ wa Shifat. Mengapa ulama salaf setelah membahas Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah, kemudian membahas Tauhid Asma’ wa Shifat secara khusus ?
Jawaban : Karena masalah shifat-shifat Allah ini merupakan masalah ghaibiyyah, seperti : Allah punya tangan, mata, berbicara, turun, bersemayam, dan sebagainya. Dalam hal ini, Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah mengimani semua shifat-shifat yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, baik dalam menetapkan atau menafikkannya. Jadi tidak terbatas 13 atau 20 shifat sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Abul-Hasan Al-Asy’ary (yang alhamdulillah beliau rujuk kepada aqidah shahihah menjelang akhir hayatnya). Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah mengimani semua shifat-shifat yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan tidak merubah artinya, tidak menolak, tidak pula menanyakan kaifiyyahnya. Ahlus-Sunnah mengimani sebagaimana dhahir nash dengan berlandaskan firman Allah :

 لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السّمِيعُ الْبَصِيرُ

”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia – dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. Asy-Syuuraa : 11).
Jadi, shifat-shifat Allah itu tidak sama dengan shifat makhluk-Nya sedikitpun. Memang, para ulama salaf mempunyai cara tersendiri dalam meluruskan akal. Salah satunya dengan memahamkan Tauhid Asma’ wa Shifat. Kalau seorang muslim sudah bisa menerima tauhid ini sesuai dengan pemahaman salaf – dengan tidak melakukan ta’wil - , misalnya dengan mengimani bahwa Allah mempunyai mata, kaki, dan lain-lain. InsyaAllah dalam menghadapi atau memahami ayat-ayat lain seperti Nabi ‘Isa turun, atau berita-berita ghaib lainnya, ia akan mengimaninya tanpa perlu berpikir-pikir lagi (jika memang dilandasi oleh nash Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah yang jelas/sharih).
Inilah pentingnya Tauhid Asma’ wa Shifat dalam meluruskan akal yang sok ilmiah (dengan permainan logika/mantiq).
2.Tauhid Ittiba’
Tauhidullah dan Tauhid Mutaba’ah (tauhid hanya mengikuti petunjuk Nabi dalam agama) adalah dua rukun dan dua asas yang hakiki dalam Islam. Keduanya itulah hakikat dua kalimat syahadat, sehingga dengannya suatu amal bisa diterima.
Imam Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafy berkata : “Tidaklah seseorang itu selamat dari ‘adzab, kecuali jika telah merealisasikan dua tauhid tersebut”.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Secara global arti dua kalimat tauhid tersebut adalah  Pertama, tidaklah kita beribadah kecuali hanya kepada Allah; Kedua, tidaklah kita beribadah kecuali kecuali dengan apa yang telah disyari’atkan (oleh Rasulullah ). Kita tidak boleh beribadah dengan cara bid’ah”.
Ibnul-Qayyim berkata : “Tidaklah seseorang dikatakan telah merealisasikan ayat { إِيّاكَ نَعْبُدُ} “Hanya kepada-Mu kami menyembah”, kecuali jika orang tersebut telah merealisasikan dua masalah besar, yaitu :
a.Tauhid Ittiba’; yaitu mutaba’ah kepada Ar-Rasul .
b.Tauhidullah.
(Lihat : Wujuub Luzuumil-Jama’ah oleh Jamal bin Ahmad bin Basyirbadi halaman 311).
Abu Bakar Ash-Shiddiq radliyallaahu ‘anhu mengatakan : “Sesungguhnya kami adalah orang yang mutbi’ (mengikuti), bukan mubtadi’ (membuat bid’ah). Jika kami dalam keadaan lurus maka maka ikutilah; dan jika bengkok/menyimpang, maka luruskanlah”.
Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu berkata :

إتبعوا ولا تبتدعوا فقد كفيتم

”Ikutilah dan jangan membuat hal-hal yang baru (bid’ah), karena sesungguhnya hal itu telah cukup bagimu” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani).
Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma berkata :

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

”Semua bid’ah adalah sesat sekalipun manusia melihat hal itu baik” (Diriwayatkan oleh Al-Laalika’i]).
{Lihat Tanbih Ulil-Abshar karya Syaikh Dr. Shalih bin Sa’ad As-Suhaimy halaman 66}.
Imam Ahmad rahimahullah berkata : “Pokok-pokok Ahlus-Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh pada apa yang ada pada shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan mengikutinya, serta meninggalkan bid’ah. Karena semua bid’ah adalah sesat” (Ushulus-Sunnah karya Imam Ahmad bin Hanbal).
Imam Syafi’i dan Al-Laits bin Sa’ad berkata : “Ahlul-Ahwa’ itu sekalipun bisa berjalan di atas udara, tidak akan kami terima”.
{Lihat : Tanbih Ulil-Abshar karya Syaikh Dr. Shalih bin Sa’ad As-Suhaimy halaman 70}
Dalam rangka merealisasikan Tauhid Ittiba’ ini, maka Tauhid ini harus didasari cinta pada Rasulullah melebihi cintanya pada bapak, anak, maupun dirinya sendiri.
Dari Abdullah bin Hisyam radliyallaahu ‘anhuma berkata : “Kami beserta Nabi . Disampingnya terdapat Umar bin Khaththab. Maka ‘Umar berkata pada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Sungguh aku mencintai engkau di atas segalanya kecuali diriku”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata : “Tidak! Demi Dzat yang diriku ada di Tangan-Nya. Bahkan sampai engkau menjadikan aku yang paling engkau cintai daripada dirimu”. Maka berkata ‘Umar kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Sungguh sekarang, demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri”. Maka Rasulullah berkata,”Demikianlah ya ‘Umar….” (HR. Bukhari).
Berkata Syaikh Sulaiman bin Abdullah Aali Syaikh : “Syarat mahabbah (cinta) adalah harus sesuai dengan yang dicintai, mencintai apa yang dicintai, dan membenci apa yang dibenci” (Taisirul-Azizil-Hamid Syarhu Kitaabit-Tauhid halaman 472).
Berkata Ibnu Taimiyyah : “Salah satu dari konsekuensi mahabbah (cinta) pada Rasulullah ialah harus menjunjung tinggi sunnah dan melaksanakannya, serta tidak menolaknya disebabkan bertentangan dengan pendapat dan akalnya, atau qiyas atau perkataan orang, dan lain-lain” (Majmu’ Fataawaa 17/443-445).
Termasuk konsekuensi cinta ialah memperbanyak membaca shalawat dan salam kepada Rasulullah dengan tidak berlebihan seperti yang dilakukan oleh ahlul-bida’; kemudian mencintai shahabat dan keluarganya radliyallaahu ‘anhum ajma’in. Juga memberikan wala’ (loyalitas) serta keridlaan pada mereka dan diam dalam mensikapi fitnah yang menimpa para shahabat, serta membenci orang-orang yang membenci shahabat.
{Lihat : Wujub Luzuumil-Jama’ah karya Syaikh Jamal bin Ahmad bin Basyirbadi halaman 322}.
Dalil-Dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
Allah ta’ala telah berfirman :

وَمَن يُشَاقِقِ الرّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيّنَ لَهُ الْهُدَىَ وَيَتّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلّهِ مَا تَوَلّىَ وَنُصْلِهِ جَهَنّمَ وَسَآءَتْ مَصِيراً

”Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An-Nisaa’ : 115).
Rasulullah bersabda :

كل أمتي يدخلون الجنة إلا من أبى.  قالوا : يا رسول الله ومن يأبى؟.  قال : من أطاعني دخل الجنة ومن عصاني فقد أبى.

”Setiap umatku akan masuk surga kecuali yang enggan”. Para shahabat bertanya : “Siapa yang enggan itu yan Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Barangsiapa yang taat kepadaku, maka ia masuk surga. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka itulah orang-orang yang enggan (masuk surga)” (HR. Bukhari).

من أطاعني فقد أطاع الله ومن عصاني فقد عصا الله

”Barangsiapa yang taat kepadaku berarti dia taat kepada Allah. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku maka berarti ia bermaksiat kepada Allah” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Dalam melaksanakan sunnah/syari’at Islam, hendaknya kita sandarkan sebagaimana yang dilakukan para shahabat, karena para shahabat dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam hanya bersumber pada dua perkataan, yaitu perkataan Allah dan perkataan Rasulullah (Ma’alimul-Inthilaaqatil-Kubra oleh Muhammad Abdil-Hadi Al-Mishri, halaman 31).
Bagaimana dengan ketentuan hukum yang disimpulkan menurut ahli Ushul-Fiqh ? Kita tidak menolak hukum-hukum kaidah ushul-fiqh. Karena yang menciptakan qaidah ushul fiqh adalah para imam yang mu’tabar (sudah memenuhi kriteria sebagai mujtahid; seperti Imam Syafi’i, Malik, Ahmad, dan Abu Hanifah). Akan tetapi dalam pengamalan, kita harus mengambil sikap sebagaimana yang dilakukan para salaf kita, yaitu berdasarkan nash-nash shahih dari Rasulullah beserta para shahabatnya. Baik dari masalah kecil maupun yang besar, asalkan dengan niat ikhlash dan ittiba’. Terlepas hukumnya sunnah atau wajib. Dalam meninggalkan maksiat pun harus seperti itu, terlepas hukumnya haram atau makruh. Inilah amalan-amalan yang dilakukan oleh As-Salafaush-Shalih.
Mudah-mudahan kita termasuk golongan pengikut As-Salafush-Shalih.
===Abu Al-Jauzaa’ 1427 in Rain City=======
[nemu tulisan di laptop 11 tahun yang lalu saat masih aktif di MyQuran]

Kapan Keluar dari Ahlus-Sunnah ?

Oleh Abu Al-Jauzaa'
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

ومما ينبغي أن يعرف أن الطوائف المنتسبة إلى متبوعين في أصول الدين والكلام على درجات، منهم من يكون قد خالف السنة في أصول عظيمة ومنهم من يكون إنما خالف السنة في أمور دقيقة

"Dan termasuk diantara hal yang perlu diketahui bahwasannya golongan-golongan yang berafiliasi pada tokoh-tokoh tertentu dalam perkara pokok-pokok agama dan ilmu kalam itu bertingkat-tingkat. Diantara mereka ada yang menyelisihi sunnah dalam pokok-pokok yang agung, dan diantara mereka ada yang hanya menyelisihi sunnah dalam perkara-perkara kecil" [Majmuu' Al-Fataawaa, 3/348-349].

الْبِدْعَةُ الَّتِي يُعَدُّ بِهَا الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْأَهْوَاءِ مَا اشْتَهَرَ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالسُّنَّةِ مُخَالَفَتُهَا لِلْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ: كَبِدْعَةِ الْخَوَارِجِ، وَالرَّوَافِضِ، وَالْقَدَرِيَّةِ، وَالْمُرْجِئَةِ

"Bid'ah yang menyebabkan pelakunya terhitung sebagai pengikut hawa nafsu adalah bid'ah yang terkenal di kalangan ulama Ahlus-Sunnah yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah (secara jelas), seperti bid'ah Khawaarij, Rafidlah, Qadariyyah, dan Murji'ah" [idem, 35/414].
Asy-Syaikh Rabii' Al-Madkhaliy hafidhahullah pernah ditanya : "Bid'ah apakah yang terhitung dapat mengeluarkan seseorang dari wilayah Ahlus-Sunnah wal-Jamaa'ah ?". Beliau menjawab:

مثل بدعة القدر وبدعة الإرجاء وبدعة الرفض وبدعة الخروج والبدع الصوفية مثل الموالد الشركية وغيرها وشدّ الرحال إلى القبور والأشياء هذه بارك الله فيكم ؛من هذا النوع.
تولّي أهل البدع يُصيِّر الإنسان منهم ومناصرتهم والذبّ عنهم ؛فإنّ أحمد ابن حنبل رحمه الله قيل له : إنّ بعض الناس يجلس إلى أهل البدع فقال : انصحه ,قال : نصحته فأبى ,قال : ألحقه بهم.
فالذي يجالس أهل البدع ويُعاشرهم يُستدلّ عليه أنّه مريض وأنّه يُوافق هؤلاء وهذا فيه أدلّة ؛( الأرواح جنودٌ مجندة ما تعارف منها ائتلف وما تناكر منها اختلف ) ,فهذا يأتلف مع أهل البدع دليل أن هناك توافق وتشابه بين الأمرين والشخصين أو الجماعتين.
وعلى كلّ حال ما ذكرناه هو الذي يُخرج عن دائرة أهل السنّة والجماعة

"Semisal bid'ah qadar (Qadariyyah), bid'ah irjaa', bid'ah Raafidlah, bid'ah Khawaarij, bid'ah Shuufiyyah seperti (perayaan) maulid yang syirik dan yang lainnya, syaddur-rihaal[1] ke kuburan, dan yang lainnya semisal ini, baarakallaahu fiikum, termasuk jenis bid'ah yang mengeluarkan dari Ahlus-Sunnah.
(Juga) memberikan loyalitas kepada ahlul-bid'ah dengan menjadikan seseorang dari kalangan mereka (ahlul-bid'ah) sebagai penolongnya; serta membela mereka (ahlul-bid'ah). Pernah dikatakan kepada Ahmad bin Hanbal rahimahullah : 'Sesungguhnya sebagian manusia bermajelis dengan Ahlul-Bid'ah'. Maka ia (Ahmad bin Hanbal) berkata : 'Nasihatilah ia!'. Dijawab : 'Aku sudah menasihatinya, namun ia menolak'. Ahmad berkata : 'Masukkanlah ia ke dalam golongan mereka (ahlul-bid'ah)'.
Orang yang bermajelis dengan ahlul-bid'ah dan bergaul dengan mereka, maka ini sebagai dalil bahwa dirinya 'sakit' dan dirinya menyepakati mereka. Dan dalam hal ini terdapat dalil : 'Ruh-ruh itu berkelompok-kelompok yang banyak. Yang cocok di antara mereka akan saling berkumpul, dan yang tidak cocok akan saling menjauh'. Dan berkumpulkan orang dengan ahlul-bid'ah sebagai tanda bahwa di sana terdapat kecocokan dan kesamaan antara dua perkara, dua orang, atau dua jama'ah.
Apapun itu, apa yang kami sebutkan adalah perkara yang mengeluarkan seseorang dari wilayah Ahlus-Sunnah" [https://goo.gl/ze5qBZ].
Begitu juga Asy-Syaikh Ahmad bin Yahyaa An-Najmiy pernah ditanya hal serupa, maka beliau rahimahullah menjawab:

من خرج عن السنة بأخذه ببدعة من البدع؛ سواءً كانت بدعة الخروج كالخوارج أو بدعة تعطيل الصفات كالجهمية والمعتزلة, أو تأويلها كالأشاعرة, أو بأن يقول بأنَّ الإسلام لا يضر معه ذنبٌ كالمرجئة, أو غير ذلك من البدع، فإذا كنت قد عرفت عنه بدعة، فنصح عنها، ولكنَّه أصرَّ على البقاء عليها فهو يعتبر قد خرج عن السنة، وأخذ بالبدعة، وقد روى مسلمٌ في مقدمة كتابه أنَّ أبا عبد الرحمن السلمي نصح بعض طلاب العلم في ذلك الزمن ألاَّ يسمعوا إلى قول شقيق، وكان شقيق غير شقيق بن سلمة، وكان يرى رأي الخوارج، فقال ألاَّ يسمعوا كلامه، ولاتأتوا إليه، وظاهر هذا أنَّ من استقر أمره على الأخذ ببدعةٍ، واشتهرت عنه تلك البدعة فإنَّه ينبغي أن ينصح طلاب العلم منه، وأن يحذروا منه؛ لأنَّه يعتبر قد خرج عن منهج أهل السنة بذلك؛ أمَّا إذا حصلت المخالفة في أمورٍ فرعية اجتهادية، فهذا لا يعتبر خلافًا ممنوعًا ولا موجبًا للعتب على المخالف كمن يقول: "إنَّ الزنا لا يثبت إلاَّ بالاعتراف أربع مرات، ومن يقول: أنَّه يثبت بالاعتراف مرة"، وبالله التوفيق

"Barangsiapa yang keluar dari sunnah dengan mengambil satu bid'ah, baik itu bid'ah khuruuj/pemberontakan seperti Khawaarij, atau bid'ah peniadaan sifat seperti (bid'ah) Jahmiyyah dan Mu'tazilah, atau (bid'ah) ta'wiil seperti Asyaa'irah, atau mengatakan tidak memudlaratkan Islam dengan sebab dosa seperti (bid'ah) Murji'ah, atau bid'ah-bid'ah yang lainnya. Apabila engkau mengetahui darinya satu bid'ah, lalu engkau nasihati, namun ia tetap dalam bid'ahnya, maka dirinya dianggap keluar dari Ahlus-Sunnah dan beralih kepada bid'ah (Ahlul-Bid’ah). Muslim meriwayatkan dalam muqaddimah kitabnya bahwa Abu 'Abdirrahmaan As-Sulamiy pernah menasihati sebagian penuntut ilmu pada waktu itu agar tidak mendengar (riwayat) dari Syaqiiq. Syaqiiq yang dimaksud bukan Syaqiiq bin Salamah. Syaqiiq ini memiliki pemikiran Khawaarij. Ia (Abu 'Abdirrahmaan As-Sulamiy) berkata : 'Janganlah dengar perkataannya dan jangan pula mendatanginya’. Yang nampak di sini, bahwasannya barangsiapa yang tetap pada diri seseorang memegang satu bid'ah dan terkenal darinya bid'ah tersebut, maka sudah seharusnya untuk menasihati para penuntut ilmu darinya dan memperingatkan (mentahdzir) darinya, karena ia dianggap keluar dari manhaj Ahlus-Sunnah dengan sebab tersebut. Adapun jika penyelisihan yang terjadi pada perkara-perkara furuu'iyyah ijtihadiyyah, maka ini tidak dianggap sebagai penyelisihan yang terlarang dan tidak mengkonsekuensikan celaan terhadap orang yang menyelisihi tersebut. Seperti orang yang berkata : 'Sesungguhnya (hukuman) zina tidak tetap kecuali dengan pengakuan sebanyak 4 kali', dan orang yang mengatakan : '(Hukuman) zina itu tetap dengan pengakuan sekali saja'. Wabillaahit-taufiiq" [https://goo.gl/ze5qBZ].
Asy-Syaikh 'Ubaid Al-Jaabiriy hafidhahullah pernah ditanya kapankah seseorang keluar dari manhaj salafiy dan ia dihukumi bukan salafiy ?. Beliau menjawab:

هذا بيّنه أهل العلم ، وضمنته كتبهم ونصائحهم وهو ضمن منهجهم وذلك أن الرجل يخرج من السلفية إذا خالف أصلا من أصول أهل السنة ، وقامت الحجة عليه بذلك وأبى الرجوع ، هذا يخرج من السلفية ، كذلك قالوا حتى في الفروع إذا خالف فرعا من فروع الدين فأصبح يوالي ويعادي في ذلك فإنه يخرج من السلفية نعم.

"Permasalahan ini telah dijelaskan ulama serta dimasukkan dalam kitab-kitab dan berbagai nasihat mereka. Dan hal itu merupakan bagian dari manhaj mereka. Seseorang keluar dari salafiyyah apabila menyelisihi pokok-pokok Ahlus-Sunnah dan telah tegak hujjah atas mereka namun enggan untuk rujuk. Orang ini keluar dari salafiyyah. Begitu juga mereka (ulama) berkata : 'Bahkan dalam masalah furuu' (cabang)'. Yaitu apabila ia menyelisihi cabang agama dan kemudian dirinya mengikat loyalitas dan bermusuhan berdasarkan atas hal tersebut, maka ia keluar dari salafiyyah. Na'am" [Kaset Jinaayatut-Tamyi' 'alal-Manhajis-Salafiy].
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang keluar dari lingkup Ahlus-Sunnah (Salafiyyah) apabila:
1.    menyelisihi prinsip-prinsip pokok dalam agama serta tegak padanya hujjah namun enggan untuk rujuk;
2.    menyelisihi perkara cabang dalam agama dan ia membangun al-walaa' wal-baraa' atas hal itu.
NB : Di sini didapatkan satu faedah tambahan bahwa dikeluarkannya seseorang dari Ahlus-Sunnah dalam penyelisihan masalah furuu' itu bukan semata-mata karena penyelisihannya tersebut, namun karena al-walaa' wal-baraa' yang ia bangun atas hal tersebut.
3.    bergaul dan bermajelis dengan Ahlul-Bid’ah (tanpa alasan yang dibenarkan), serta ber-walaa’ wa baraa’ di atasnya.
Penyelisihan dalam perkara khilafiyyah ijtihadiyyah yang mu’tabar di kalangan ulama, bukan menjadi sebab untuk mengeluarkan seseorang dari lingkup Ahlus-Sunnah.
Wallaahu a'lam.
Semoga ada manfaatnya.
Baca juga artikel terkait : Firqah Sesat.
[1]    Silakan baca artikel :