Thursday, August 24, 2017

Aqidah Menyerupai Mulhid Atheis, Mereka Yang Mengatakan Bahwa Dzat Alloh Tidak Bertempat (Ada Tanpa Bertempat).

1
Konsekuensi Perkataan bahwa Allah Tidak Berada di Arah Manapun (Ustadz Dzulqarnain Muhammad Sunusi)

oleh abuhurairohjakarty

بسم الله الرحمن الرحيم

BANTAHAN POKOK SUBHAT MEREKA YANG MENGATAKAN BAHWA DZAT ALLOH TIDAK BERTEMPAT
BAB : bahwa ALLOH azza wa jalla di  langit
dari Mu’awiyah bin Al-Hakam radhiyallahu ‘anhu, suatu saat Mu’awiyah mengadukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal dirinya yang memukul budak wanitanya karena marah. Mu’awiyah menceritakan perihalnya:
وَكَانَتْ لِى جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِى قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَّةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ فَإِذَا الذِّيبُ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِى آدَمَ آسَفُ كَمَا يَأْسَفُونَ لَكِنِّى صَكَكْتُهَا صَكَّةً فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَىَّ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ أُعْتِقُهَا قَالَ « ائْتِنِى بِهَا ». فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَقَالَ لَهَا « أَيْنَ اللَّهُ ». قَالَتْ فِى السَّمَاءِ. قَالَ « مَنْ أَنَا ». قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ. قَالَ « أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ »
“Dulu saya memiliki budak perempuan yang menggembala kambingku di arah Gunung Uhud dan Jawâniyyah. Dia pun pergi pada suatu hari, ternyata ada serigala yang membawa domba dari kambingnya. Dan, saya adalah seorang dari Bani Adam, saya pernah merasa menyesal sebagaimana mereka juga menyesal. Akan tetapi, saya pun memukulnya sekali. Aku pun mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun menganggap besar hal ini atasku. Aku pun mengatakan, ‘wahai Rasulullah, apakah saya harus membebaskannya?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, ‘Hadapkanlah dia kepadaku.’ Aku pun mendatangkannya di hadapan Rasulullah. Beliau pun bersabda, ‘Di mana Allah?’ Budak itu mengatakan, ‘Di langit.’ Beliau bertanya kembali, ‘Siapa saya?’ Dia menjawab, ‘Anda utusan Allah.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, ‘Bebaskanlah dia karena dia adalah seorang wanita mukmin.’” [H.R. Muslim, Abu Dawud, An-Nasa`i, Ahmad dan lainnya].

BAB : ALLOH subhana wa ta’ala bersemayam di atas arsy



Dalil Sifat Istiwa’

Sifat istiwa’ adalah salah satu sifat Allah yang telah Allah Ta’ala tetapkan untuk diriNya dalam tujuh ayat Al-Quran, yaitu Surat Al-A’raf: 54, Yunus: 3, Ar-Ra’d: 2, Al-Furqan: 59, As-Sajdah: 4 dan Al-Hadid: 4, semuanya dengan lafazh:
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
Artinya:
“Kemudian Dia berada di atas ‘Arsy (singgasana).”
Dan dalam Surat Thaha 5 dengan lafazh:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Artinya:
“Yang Maha Penyayang di atas ‘Arsy (singgasana) berada.”
Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam juga telah menetapkan sifat ini untuk Allah dalam beberapa hadits, diantaranya:
1. Hadits Abu Hurairah rodiallahu’anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:
لَمَّا قَضَى اللَّهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابِهِ -فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ- إِنَّ رَحْمَتِي غَلَبَتْ غَضَبِي
“Ketika Allah menciptakan makhluk (maksudnya menciptakan jenis makhluk), Dia menuliskan di kitab-Nya (Al-Lauh Al-Mahfuzh) – dan kitab itu bersama-Nya di atas ‘Arsy (singgasana) – : “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
2. Hadits Abu Hurairah rodiallahu’anhu bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam memegang tangannya (Abu Hurairah) dan berkata:
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، إِنَّ اللهَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرَضِيْنَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ، ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya Allah menciptakan langit dan bumi serta apa-apa yang ada diantara keduanya dalam enam hari, kemudian Dia berada di atas ‘Arsy (singgasana).” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra, dishahihkan Al-Albani dalam Mukhtasharul ‘Uluw)
3. Hadits Qatadah bin An-Nu’man rodiallahu’anhu bahwa ia berkata: Aku mendengar Rasulullahshollallahu’alaihiwasallam bersabda:
لَمَّا فَرَغَ اللهُ مِنْ خَلْقِهِ اسْتَوَى عَلَى عَرْشِهِ.
“Ketika Allah selesai mencipta, Dia berada di atas ‘Arsy singgasana-Nya.” (Diriwayatkan oleh Al-Khallal dalam As-Sunnah, dishahihkan oleh Ibnul Qayyim dan Adz-Dzahabi berkata: Para perawinya tsiqah)
Arti Istiwa’
Lafazh istawa ‘ala (اِسْتَوَى عَلَى) dalam bahasa Arab – yang dengannya Allah menurunkan wahyu – berarti (عَلاَ وَارْتَفَعَ), yaitu berada di atas (tinggi/di ketinggian). Hal ini adalah kesepakatan salaf dan ahli bahasa. Tidak ada yang memahaminya dengan arti lain di kalangan salaf dan ahli bahasa.
Adapun ‘Arsy, secara bahasa artinya Singgasana kekuasaan. ‘Arsy adalah makhluk tertinggi. Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ وَفَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ
“Maka jika kalian meminta kepada Allah, mintalah Al-Firdaus, karena sungguh ia adalah surga yang paling tengah dan paling tinggi. Di atasnya singgasana Sang Maha Pengasih, dan darinya sungai-sungai surga mengalir.” (HR. Al-Bukhari)
‘Arsy juga termasuk makhluk paling besar. Allah menyifatinya dengan ‘adhim (besar) dalam Surat An-Nahl: 26. Ibnu Abbas rodiallahu’anhu berkata:
الْكُرْسِيُّ مَوْضِعُ الْقَدَمَيْنِ ، وَالْعَرْشُ لاَ يَقْدِرُ قَدْرَهُ إِلاَّ اللهُ تعالى.
“Kursi adalah tempat kedua kaki (Allah), dan ‘Arsy (singgasana) tidak ada yang mengetahui ukurannya selain Allah Ta’ala.” (Hadits mauquf riwayat Al-Hakim dan dishahihkan Adz-Dzahabi dan Al-Albani)
Allah juga menyifatinya dengan Karim (mulia) dalam Surat Al-Mukminun: 116 dan Majid (agung) dalam Surat Al-Buruj: 15.
Dalam suatu hadits shahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim dijelaskan bahwa ‘Arsy memiliki kaki, dan dalam surat Ghafir: 7 dan Al-Haaqqah: 17 disebutkan bahwa ‘Arsy dibawa oleh malaikat-malaikat Allah.
Ayat dan hadits yang menjelaskan tentang istiwa’ di atas ‘Arsy menunjukkan hal-hal berikut:
  1. Penetapan sifat istiwa di atas ‘Arsy bagi Allah, sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya.
  2. Bahwa Dzat Allah berada di atas.
Beberapa Peringatan Penting
Pertama:
Istiwa’ adalah hakikat dan bukan majas. Kita bisa memahaminya dengan bahasa Arab yang dengannya wahyu diturunkan. Yang tidak kita ketahui adalah kaifiyyah (cara/bentuk) istiwa’ Allah, karena Dia tidak menjelaskannya. Ketika ditanya tentang ayat 5 Surat Thaha (الرحمن على العرش استوى), Rabi’ah bin Abdurrahman dan Malik bin Anas mengatakan:
الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ، وَاْلكَيْفُ مَجْهُوْلٌ، وَالإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ.
“Istiwa’ itu diketahui, kaifiyyahnya tidak diketahui, dan mengimaninya wajib.” (Al-Iqtishad fil I’tiqad, Al-Ghazali)
Kedua:
Wajib mengimani dan menetapkan sifat istiwa’ tanpa merubah (ta’wil/tahrif) pengertiannya, juga tanpa menyerupakan (tasybih/tamtsil) sifat ini dengan sifat istiwa’ makhluk.
Ketiga:
Menafsirkan istawa (اِسْتَوَى) dengan istawla (اِسْتَوْلَى) yang artinya menguasai adalah salah satu bentuk ta’wil yang bathil. Penafsiran ini tidak dikenal di kalangan generasi awal umat Islam, tidak juga di kalangan ahli bahasa Arab. Abul Hasan Al-Asy’ari menyebutkan bahwa penafsiran ini pertama kali dimunculkan oleh orang-orang Jahmiyyah dan Mu’tazilah. Mereka ingin menafikan sifat keberadaan Allah di atas langit dengan penafsiran ini. Kita tidak menafikan sifat kekuasaan bagi Allah, tapi bukan itu arti istiwa’.
Keempat:
Penerjemahan kata istawa (اِسْتَوَى) dengan “bersemayam” perlu di tinjau ulang, karena dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa bersemayam berarti duduk, tinggal, berkediaman. Padahal arti istawa bukanlah ini, sebagaimana telah dijelaskan.
Kelima:
Istiwa’ Allah di atas ‘Arsy tidak berarti bahwa Allah membutuhkannya, tapi justru ‘arsy yang membutuhkan Allah seperti makhluk-makhluk yang lain. Dengan hikmah-Nya Allah menciptakan ‘Arsy untuk istiwa’ diatasnya, dan Allah Maha Kaya dan tidak membutuhkan apapun. Wallahu a’lam.
D. Faedah Mempelajari Asma dan Sifat Allah
Semoga Allah merahmati Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi yang berkata: “……Ilmu ushuluddin (pokok-pokok agama) adalah ilmu paling mulia, karena kemulian suatu ilmu tergantung pada apa yang dipelajarinya. Ia adalah Fiqih Akbar dibandingkan dengan Ilmu Fiqih furu’ (cabang-cabang agama). Karenanya Imam Abu Hanifah menamakan apa yang telah beliau ucapkan dan beliau kumpulkan dalam lembaran-lembaran berisi pokok-pokok agama sebagai “Al-Fiqhul Akbar“. Kebutuhan para hamba kepadanya melebihi semua kebutuhan, dan keterdesakan mereka kepadanya di atas semua keterdesakan, karena tiada kehidupan untuk hati, juga tidak ada kesenangan dan ketenangan, kecuali dengan mengenal Rabbnya, Sesembahan dan Penciptanya, dengan Asma’, Sifat dan Af’al (perbuatan)-Nya, dan seiring dengan itu mencintaiNya lebih dari yang lain, dan berusaha mendekatkan diri kepadaNya tanpa yang lain……”
***
Referensi:
  1. Al-Mausu’ah Asy-Syamilah, dikeluarkan oleh Divisi Rekaman Masjid Nabawi.
  2. Syarah ‘Aqidah Thahawiyyah, Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi.
  3. Mudzakkirah Tauhid, Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.

1

Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: “Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?” Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” [ surah / surat : Al-An’am Ayat : 50 ]


Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.[ surah / surat : An-Naml Ayat : 65 ]

dalil di atas memberi penjelasan bahwa setiap kabar dari langit adalah

termasuk ghoib hanya ALLOH subhana wa ta’ala saja yang mengetahui-Nya

rosululloh shalallohu alaihi wa salam pada asalnya tidak mengetahui tentang keadaan di langit hingga wahyu datang kepadanya berserta ILMU pengatahuan ini menunjukkan tidak ada yang mengetahui kehendak ALLOH azza wa jalla yang mengatur alam semesta dan makluq2-Nya baik rosululloh shalallohu alaihi wa salam dan para malaikat malaikat-Nya
lihatlah mereka kaum ASWAJA berkata di bawah ini
Dia tidak membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas Arsy
bantahan subhat  pertama :
bagaimana mereka aswaja bisa mengetahui tentang perkara ini,sedangkan perkara ini adalah perkara ghoib tidak di ketahui oleh seluruh mahkluq baik manusia atau para malaikat jangankan apa yang ALLOH azza wa jalla pikirkan sedangkan pikiran sesama manusia tidak di ketahui karena bagian kasyaf yaitu alam pikiran termasuk ghoib ?
apakah mereka aswaja mendapatkan wahyu hingga mereka mengetahui apa apa yang ALLOH azza wa jalla pikirkan ?
Allah ada tanpa bertempat
bantahan subhat kedua :
kalimat bahasa indonesia seperti ini ” ALLAH ADA TANPA BERTEMPAT ” secara bahasa indonesia ini termasuk hakekat sebenarnya adalah ” ALLAH TIDAK ADA KARENA TIDAK DI KETAHUI KEBERADAAn-Nya ”
mereka berkata tentang ISTAWA :
Sedangkan makna tersirat atau makna majaz (makna kiasan) dari bersemayam adalah terkait dengan hati, terpendam dalam hati, tersimpan (kata kiasan); Sudah lama pendam itu bersemayam di hatinya atau cinta bersemayam di hatinya.
Termasuk bid’ah menjelaskan tentang istawa-Nya
para ulama umat dan tokoh tokoh imam dan kalangan salaf rohimahumulloh tak pernah berselisih pendapat,bahwa ALLOH azza wa jalla di atas arsy-Nya,dan sesungguhnya Arsy-Nya itu di atas tujuh lapis langit.karena itu,mereka menetapkan segala di tetapkan oleh alloh,mengimaninya,dan membenarkan alloh azza wa jalla dalam setiap berita-Nya.mereka mengemukakan apa yang di kemukakan alloh mengenai semayam-Nya alloh di atas arsy-Nya.mereka membiarkan pengertian ayat itu sebagai makna dzahirnya.sementara mereka menyerahkan hakikat yang sesungguhnya kepada allah azza wa jalla.mereka berkata :
surah / surat : Ali Imran Ayat : 7
inilah s7. Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat [183], itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat [184]. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
sebagaimana alloh ungkapkan berkenaan dengan orang orang yang mendalami ilmunya ” Ar-Rosikhuun ” bahwa mereka menyatakan seperti itu. Alloh pun meridhoinya dan menyanjung mereka atas perbuatan tersebut.
dari ummu salamah rodhiyallohu anha tentang firman-Nya :

surah / surat : Thaahaa Ayat : 5
(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Ars

beliau berkata : ” kata Al-istawa ” ( bersemayam ) bukanlah makna yang asing,hakikatnya tak usah di pikirkan mengakui hal itu adalah keimanan,mengingkari bearti kekufuran. [ di keluarkan Al-laalika’i seperti fathul bari ( XIII ; 406 ) Dari jalan yang sama di sebut oleh azd-Dzahabi Dalam Al-Uluww ( hal.65.). di keluarkan juga oleh ibnu qudamah Al-maqdisi dalam kitabnya Al-uluww ( 87 )
jafar bin abdillah ia berkata : ada seseorang lelaki datang menemui imam malik bin anas, bertanya tentang firman Alloh azza wa jalla ” surat : Thaahaa Ayat : 5 Alloh  bersemayam di atas ‘Arsy,bagaimana Istiwa Alloh ? ” maka ( perawi ) berkata : belom pernah aku melihat beliau [ imam malik ] marah sedemikian rupa marahnya beliau terhadap orang itu.tubuhnya berkeringat,orang orangpun terdiam.mereka terus menantikan apa yang akan terjadi.kemudian setelah keadaan imam malik kembali normal,beliau berucap : hakikatnya tidak mungkin di ketahui ” tapi apa kata Istiwa ” bukanlah asing,mengimaninya adalah kewajiban,menyoal hakikatnya adalah kebid’ahan,dan aku khawatir kamu berada dalam kesesatan kemudian beliau memerintahkan orang tersebut untuk di keluarkan [ saya katakan : mahdi bin ja’far adalah orang jujur,namun memiliki banyak kekeliruan penukilan sebagaimana di jelaskan dalam ” At-taqrieb ” di keluarkan abu nuaim ( VI : 325 – 326 ),juga dari Al- qadhi Abu umayyah Al-Ghallaabi ,dari salamah bin syabib dengan pengertian yang sama,namun berbunyi lafazhnya berbeda,terkadang dalam beberapa jalur riwayat di sebutkan secara ringkas ]
Telah masyhur riwayat Al-Imam Maalik bin Anas rahimahullah sebagai berikut :
ذكره علي بن الربيع التميمي المقري قال ثنا عبد الله ابن أبي داود قال ثنا سلمة بن شبيب قال ثنا مهدي بن جعفر عن جعفر بن عبد الله قال جاء رجل إلى مالك بن أنس فقال يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف استوى قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه الرحضاء يعني العرق قال واطرق القوم وجعلوا ينتظرون ما يأتي منه فيه قال فسرى عن مالك فقال الكيف غير معقول والاستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة فإني أخاف أن تكون ضالا وامر به فأخرج
Telah menyebutkan kepadanya ‘Aliy bin Ar-Rabii’ At-Tamimiy Al-Muqri’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Abi Dawud, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Salamah bin Syabiib, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Mahdiy bin Ja’far, dari Ja’far bin ‘Abdillah, ia berkata : Datang seorang laki-laki kepada Malik bin Anas. Ia berkata : “Wahai Abu ‘Abdillah, ‘Ar-Rahman yang beristiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy’; bagaimana Allah beristiwaa’ ?”. Perawi berkata : “Belum pernah aku melihat beliau (Malik) marah sedemikian rupa seperti marahnya beliau kepada orang itu. Tubuhnya berkeringat, orang-orang pun terdiam. Mereka terus menantikan apa yang akan terjadi. Maka keadaan Al-Imam Malik kembali normal, beliau berkata : “Kaifiyah-nya tidaklah dapat dinalar, istiwaa’ sendiri bukan sesuatu yang majhul, beriman kepadanya adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Dan sesungguhnya aku khawatir kamu berada dalam kesesatan”. Kemudian beliau memerintahkan orang tersebut untuk dikeluarkan dari majelisnya. [Syarh Ushuulil-I’tiqad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah, hal. 398, tahqiq : Ahmad bin Mas’ud bin Hamdaan; desertasi S3].
Makna “istiwaa’ itu bukan sesuatu yang majhuul” adalah bahwa istiwaa’ itu diketahui maknanya secara hakiki sebagaimana dhahir bahasa Arab yang jelas.
Talbis ASWAJA merancukan antara langit dan arsy membuat bingung orang awam
bantahan subhat ketiga :
tidaklah perkataan LANGIT bertentangan dengan ARSY di atas langit ketujuh sebagaimana dalil dalil di bawah ini

surah / surat : Yunus Ayat : 3
Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Rabb kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?
surah / surat : Ar-Ra’d Ayat : 2
Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Rabbmu.

surah / surat : Al-Mulk Ayat : 16
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?,
Alloh azza wa jalla memberitakan tentang fir’aun,yang terlaknat.Bahwasanya ia pernah berkata kepada ( pembantunya ) Haman :
surah / surat : Al-Mu’min Ayat : 36
Dan berkatalah Fir’aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu,

surah / surat : Al-Mu’min Ayat : 37
(yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta”. Demikianlah dijadikan Fir’aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir’aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.
dari dalil di atas ini menjelaskan bahwa fir’aun mengetahui bahwa Alloh azza wa jalla adalah ILA nabi musa alaihi wa salam berada di langit lalu di ingkari oleh fir’aun memutar balikkan dengan tuduhan dusta
hadits hadits dan ucapan ucapan para imam salaf tentang langit dan arsy di bawah ini
Dari Abu Razin berkata: Saya pernah bertanya: “Ya Rasulullah, dimana Allah sebelum menciptakan makhlukNya?” Nabi menjawab: “Dia berada di atas awan, tidak ada udara di bawahnya maupun di atasnya, tidak makhluk di sana, dan ArsyNya di atas air”. [HR. Tirmidzi (2108), Ibnu Majah (182), Ibnu Hibban (39 -Al-Mawarid), Ibnu Abi Ashim (1/271/612), Ahmad (4/11,12) dan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (7/137). Lihat As-Shahihah 6/469)].
Abu Bakar ash Shidiq radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barang siapa yang menyembah Allah maka Allah berada di langit, ia hidup dan tidak mati.” [Riwayat Imam ad Darimiy dalam Ar Radd ‘Alal Jahmiyah].
Dari Zaid bin Aslam, dia berkata,
مر ابن عمر براع فقال هل من جزرة فقال ليس هاهنا ربها قال ابن عمر تقول له أكلها الذئب  قال فرفع رأسه إلى السماء وقال فأين الله فقال ابن عمر أنا والله أحق أن أقول أين الله واشترى الراعي والغنم فأعتقه وأعطاه الغنم
“(Suatu saat) Ibnu ‘Umar melewati seorang pengembala. Lalu beliau berkata,  “Adakah hewan yang bisa disembelih?” Pengembala tadi mengatakan, “Pemiliknya tidak ada di sini.” Ibnu Umar mengatakan, “Katakan saja pada pemiliknya bahwa ada serigala yang telah memakannya.” Kemudian pengembala tersebut menghadapkan kepalanya ke langit. Lantas mengajukan pertanyaan pada Ibnu Umar, ”Lalu di manakah Allah?” Ibnu ‘Umar malah mengatakan, “Demi Allah, seharusnya aku yang berhak menanyakan padamu ‘Di mana Allah?’.”
Kemudian setelah Ibnu Umar melihat keimanan pengembala ini, dia lantas membelinya, juga dengan hewan gembalaannya (dari Tuannya). Kemudian Ibnu Umar membebaskan pengembala tadi dan memberikan hewan gembalaan tadi pada pengembara tersebut. [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 311. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad riwayat ini jayyid sebagaimana dalam Mukhtashor Al ‘Uluw no. 95, hal. 127].
Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata:
والعرش على الماء والله عز وجل على العرش يعلم ما أنتم عليه
“Arsy berada di atas air, dan Allah ‘azza wa jalla berada di atas ‘Arsy, yang mengetahui apa-apa yang kalian lakukan” [HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir; shahih].
Ibnu Abbas menemui ‘Aisyah ketika ia baru saja wafat. Ibnu Abbas berkata padanya,
كنت أحب نساء رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم يكن يحب إلا طيبا وأنزل الله براءتك من فوق سبع سموات
“Engkau adalah wanita yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah engkau dicintai melainkan kebaikan (yang ada padamu). Allah pun menurunkan perihal kesucianmu dari atas langit yang tujuh.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 335].
Dari Ka’ab Al Ahbar [meninggal pada tahun 32 atau 33 H] berkata bahwa Allah ‘azza wa jalla dalam taurat berfirman,
أنا الله فوق عبادي وعرشي فوق جميع خلقي وأنا على عرشي أدبر أمور عبادي ولا يخفى علي شيء في السماء ولا في الأرض
“Sesungguhnya Aku adalah Allah. Aku berada di atas seluruh hamba-Ku. ‘Arsy-Ku berada di atas seluruh makhluk-Ku. Aku berada di atas ‘Arsyku. Aku-lah pengatur seluruh urusan hamba-Ku. Segala sesuatu di langit maupun di bumi tidaklah samar bagi-Ku. ” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 315. Adz Dzahabi mengatakan  bahwa sanadnya shahih. Begitu pula Ibnul Qayyim dalam Ijtima’ul Juyusy Al Islamiyah mengatakan bahwa riwayat ini shahih].
Penjelasan Al-Imam Mujahid rahimahullah [dilahirkan pada tahun 21 Hijrah dan meninggal pada tahun 103 Hijrah] – murid Ibnu ‘Abbas – mengenai  firman Allah istawaa ‘alal-‘Arsy :
علا على العرش
“Ia berada tinggi di atas ‘Arsy.” [HR. Al-Bukhari].
 Imam Adh-Dhahhaak [wafat th. 102 H].
Ahmad (bin Hanbal) meriwayatkan dengan sanadnya sampai Adh-Dhahhaak tentang ayat (yang artinya) : ‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya’ (QS. Al-Mujaadalah : 7); maka Adh-Dhahhaak berkata :
هو على العرش وعلمه معهم
“Allah berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya bersama mereka”.  [As-Sunnah oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal hal. 80 – melalui perantaraan Al-Masaail war-Rasaail Al-Marwiyyatu ‘anil-Imam Ahmad bin Hanbal fil-‘Aqiidah oleh ‘Abdullah bin Sulaimaan Al-Ahmadiy, 1/319; Daaruth-Thayyibah, Cet. 1/1412].
Harun bin Ma’ruf mengatakan, Dhomroh mengatakan pada kami dari Shodaqoh, dia berkata bahwa dia mendengar Sulaiman At Taimiy berkata,
لو سئلت أين الله لقلت في السماء
“Seandainya aku ditanyakan di manakah Allah, maka aku menjawab (Allah berada) di atas langit.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 357. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa periwayat riwayat ini tsiqoh/terpercaya. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 133].
Ayyub As Sikhtiyani [wafat th. 131 H].
Hamad bin Zaid mengatakan bahwa ia mendengar Ayyub As Sikhtiyani berbicara mengenai Mu’tazilah,
إنما مدار القوم على أن يقولوا ليس في السماء شيء
“Mu’tazilah adalah asal muasal kaum yang mengatakan bahwa di atas langit tidak ada sesuatu apa pun.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 354].
Robi’ah bin Abi ‘Abdirrahman [Wafat tahun 136 H ].
Sufyan Ats Tsauriy mengatakan bahwa ia pernah suatu saat berada di sisi Robi’ah bin Abi ‘Abdirrahman kemudian ada seseorang yang bertanya pada beliau,
الرحمن على العرش استوى كيف استوى
“Ar Rahman (yaitu Allah) beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy, lalu bagaimana Allah beristiwa’?” Robi’ah menjawab,
الإستواء غير مجهول والكيف غير معقول ومن الله الرسالة وعلى الرسول البلاغ وعلينا التصديق
“Istiwa’ itu sudah jelas maknanya. Sedangkan hakikat dari istiwa’ tidak bisa digambarkan. Risalah (wahyu) dari Allah, tugas Rasul hanya menyampaikan, sedangkan kita wajib membenarkan (wahyu tersebut).” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 352. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 132].
Imam Abu Hanifah (tahun 80-150 H) mengatakan dalam Fiqhul Akbar,
من انكر ان الله تعالى في السماء فقد كفر
“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.” [Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, hal. 116-117, Darus Salafiyah, Kuwait, cetakan pertama, 1406 H. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 137, Al Maktab Al Islamiy].
Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar-, beliau berkata,
سألت أبا حنيفة عمن يقول لا أعرف ربي في السماء أو في الأرض فقال قد كفر لأن الله تعالى يقول الرحمن على العرش استوى وعرشه فوق سمواته  فقلت إنه يقول أقول على العرش استوى ولكن قال لا يدري العرش في السماء أو في الأرض  قال إذا أنكر أنه في السماء فقد كفر رواها صاحب الفاروق بإسناد عن أبي بكر بن نصير بن يحيى عن الحكم
Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”. [QS. Thaha: 5] Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.” Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, Adz Dzahabi, hal. 135-136, Maktab Adhwaus Salaf, Riyadh, cetakan pertama, 1995].
Imam Malik bin Anas (tahun 93-179 H),
Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah : Telah menceritakan ayahku, kemudian ia menyebutkan sanadnya dari ‘Abdullah bin Naafi’, ia berkata : Telah berkata Malik bin Anas :
الله في السماء، وعلمه في كل مكان، لا يخلو منه شيء.
“Allah berada di atas langit, dan ilmu-Nya berada di setiap tempat. Tidak ada terlepas dari-Nya sesuatu”.  [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah dalam As-Sunnah hal. 5, Abu Dawud dalam Al-Masaail hal. 263, Al-Aajuriiy hal. 289, dan Al-Laalikaa’iy 1/92/2 dengan sanad shahih – dinukil melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 140 no. 130].
Tanbih untuk aswaja di bawah ini
1. menolak keberadaan dzat ALLOH

2. menolak nash nash al quran dan hadits hadits shohih tentang istawa di atas arsy

3. meselewengkan makna istawa kepada makna yang tidak di kenal para salaf baik segi lughoh atau kebiasaan orang arab yaitu para sahabat nabi

4. aswaja keluarga dari lingkup agama islam lebih kafir daripada fir’aun karena fir’aun tahu rabb nabi musa di atas langit sedangkan ASWAJA tidak mengetahui dan mengingkari keberadaan ALLOH azza wa jalla

BAHKAN KAMI KATAKAN ASWAJA LEBIH KAFIR DARIPADA IBLIS SECARA DZOHIR KARENA IBLIS PERNAH MENJADI PENGHUNI SURGA KARENA IBLIS MENGETAHUI DIMANA ALLOH WALAUPUN YANG SEBENARNYA HAKEKATNYA IBLIS ADALAH MAHKLUQ ALLOH YANG PALING KAFIR DI ALAM SEMESTA INI !!!
selesai alhamdulillah
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبد ه ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وصحبه أجمعين أما بعد :
amma ba’du
Segala pujian yang sempurna bagi Alloh Yang telah berfirman:
}وما أمروا إلا ليعبدوا اللَّه مخلصين له الدين حنفاء ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة وذلك الدين القيمة{


Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali agar mereka beribadah kepada Alloh dalam keadaan memurnikan ketaatan kepada-Nya dan condong dari kesyirikan kepada tauhid, dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat, dan itulah agama yang lurus.” (QS Al Bayyinah 5)
” Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satupun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit.”[QS Al Imron 5]
(Yusuf berkata): “Yang demikian itu agar dia (Al Aziz) mengetahui bahwa sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya di belakangnya, dan bahwasanya Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat.[QS Yusuf: 52.]
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, mengapa kamu menyakitiku, sedangkan kamu mengetahui bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu?” Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.”[QS Ash Shof : 5]
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, mengapa kamu menyakitiku, sedangkan kamu mengetahui bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu?” Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.”[QS Ash Shof : 5]
” Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan Dusta terhadap Allah sedang Dia diajak kepada Islam? dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.”[QS Ash Shof 7]
“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil haram kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta bejihad di jalan Allah? mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.”[At Taubah 19]
“Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat Dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan ?” Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orangorang yang zalim.”[ Al-An’am 144]
“Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keteranganpun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim.”[Al Imron 86]
” Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang-yang membuat kerusakan.”[Yunus 81]
BAB : KABAR PERPECAHAN UMAT DAN SIAPAKAH AHLU SUNNAH ?
Pengenalan akan siapa sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah ditekankan sejak jauh-jauh hari oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya ketika beliau berkata kepada mereka :  
افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh (golongan) dan telah terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqoh semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ah ”. Hadits shohih dishohihkan oleh oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalil Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain –rahimahumullahu
Syaikh Sh oleh bin Fauzan Al-Fauzan –hafidzahullahu- menjelaskan hikmah terjadinya perpecahan dan perselisihan tersebut dalam kitab Lumhatun ‘Anil Firaq cet. D arus Salaf hal.23-24 beliau berkata : “(Perpecahan dan perselisihan-ed.) merupakan hikmah dari Allah Subhaanahu wa Ta’aala guna menguji hamba-hambaNya hingga nampaklah siapa yang mencari kebenaran dan siapa yang lebih mementingkan hawa nafsu dan sikap fanatisme.
Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman :
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (begitu saja) mengatakan : “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sungguh Allah Maha Mengetahui orang-orang yang benar dan sungguh Dia Maha Mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-‘Ankab ut : 29 / 1-3).
Dan Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman :
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan : “Sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya ” . (QS. H ud : 10 / 118-119)
 Dan kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil”. (QS. Al-‘An’ am : 6 / 35).”
Dan Allah ’Azza wa Jalla Maha Bijaksana dan Maha Merahmati hambaNya. Jalan kebenaran telah dijelaskan dengan sejelas-jelasnya sebagaimana dalam sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam :
قَدْْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْمَحَجَّةِ الْبَيْضَاءِ لَيْلِهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ
“Sungguh saya telah meninggalkan kalian di atas petunjuk yang sangat terang malamnya seperti waktu siangnya tidaklah menyimpang darinya setelahku kecuali orang yang binasa”. Hadits Shohih dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalul Jannah.
Dan dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu :
خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيْلُ اللهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيْلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ ثُمَّ تَلاَ ] وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ [
“Pada suatu hari Rasulullah  menggaris di depan kami satu garisan lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan Allah”. Kemudian beliau menggaris beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan-jalan, yang di atas setiap jalan ada syaithon menyeru kepadanya”. Kemudian beliau membaca (ayat) : “Dan sesungguhnya ini adalah jalanKu maka ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) maka kalian akan terpecah dari jalanNya”. (QS. Al ‘An’am : 6 / 153 )” .
Diriwayatkan oleh : Abu Daud Ath-Thoy alisy dalam Musnadnya no. 244, Ath-Thobary dalam Tafsirnya 8/88, Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dalam As-Sunnah no.11, Sa’id bin Manshur dalam Tafsirnya 5/113 no 935, Ahmad 1/435, Ad Darimy 1/78 no 202, An-Nasai dalam Al-Kubro 5/94 no.8364 dan 6/343 no.11174, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 1/180-181 no.6-7 dan dalam Al-Mawarid no 1741, Al-Hakim dalamMustadraknya 2/348, Asy-Syasyi dalam Musnadya 2/48-51 no.535-537, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/263 dan Al-Lalaka’i dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/80-81. Dan hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain.
Adapun penamaan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ini akan diuraikan dari beberapa sisi :
Pertama : Definisi Sunnah.
Sunnah secara lughoh (bahasa) : berarti jalan, baik maupun jelek, lurus maupun sesat, demikianlah dijelaskan oleh Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab 17/89 dan Ibnu An-Nahhas.
Makna secara lughoh itu terlihat dalam hadits Jarir bin ‘Abdullah. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ سْنَّ فِي الإِْ سْلاَمِ سُنُّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ وَمَنْ سَنَّ فِي الإِْ سْلاَمِ سُنُّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ
“Siapa yang membuat sunnah yang baik maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya setelahnya dan siapa yang membuat sunnah yang jelek maka atasnya dosanya dan dosa orang yang melakukannya setelahnya”. Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shohih nya no.1017.
Lihat Mauqif Ahlis Sunnah Min Ahlil Bid’ah Wal Ahwa`i 1/29-33 dan Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jam a’ah Wa Manhajul Asya’irah Fi Tauhidillah I/19.
Adapun secara istilah : Sunnah mempunyai makna khusus dan makna umum. Dan yang diinginkan di sini tentunya adalah makna umum.
Adapun makna sunnah secara khusus yaitu makna menurut istilah para ulama dalam suatu bidang ilmu yang mereka tekuni :
  • Para ulama ahli hadits mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam baik itu perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan-pen.) maupun sifat lahir dan akhlak.
  • Para ulama ahli ushul fiqh mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang datang dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam selain dari Al-Qur’an, sehingga meliputi perkataan beliau, pekerjaan, taqrir, surat, isyarat, kehendak beliau melakukan sesuatu atau apa-apa yang beliau tinggalkan.
  • Para ulama fiqh memberikan definisi sunnah sebagai hukum yang datang dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam di bawah hukum wajib.
Adapun makna umum sunnah adalah Islam itu sendiri secara sempurna yang meliputi aqidah, hukum, ibadah dan seluruh bagian syariat.
Berkata Imam Al-Barbahary : “Ketahuilah sesungguhnya Islam itu adalah sunnah dan sunnah adalah Islam dan tidaklah tegak salah satu dari keduanya kecuali dengan yang lainnya” (lihat : Syarh As-Sunnah hal.65 point 1).
Berkata Imam Asy-Sy athiby dalam Al-Muwafaq ot 4/4 : “(Kata sunnah) digunakan sebagai kebalikan/lawan dari bid’ah maka dikatakan : “Si fulan di atas sunnah” apabila ia beramal sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam yang sebelumnya hal tersebut mempunyai nash dari Al-Qur’an, dan dikatakan “Si Fulan di atas bid’ah” apabila ia beramal menyelisihi hal tersebut (sunnah)”.
Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fat aw a 4/180 menukil dari Imam Abul Hasan Muhammad bin ‘Abdul Malik Al-Karkhy beliau berkata : “Ketahuilah… bahwa sunnah adalah jalan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan mengupayakan untuk menempuh jalannya dan ia (sunnah) ada 3 bagian : perkataan, perbuatan dan aqidah”.
Berkata Imam Ibnu Rajab –rahimahullahu ta’ala– dalam Jami’ Al-‘Ulum Wal Hikam hal. 249 : “Sunnah adalah jalan yang ditempuh, maka hal itu akan meliputi berpegang teguh terhadap apa-apa yang beliau r berada di atasnya dan para khalifahnya yang mendapat petunjuk berupa keyakinan, amalan dan perkataan. Dan inilah sunnah yang sempurna, karena itulah para ulama salaf dahulu tidak menggunakan kalimat sunnah kecuali apa-apa yang meliputi seluruh hal yang tersebut di atas”. Hal ini diriwayatkan dari Hasan, Al-Auza’iy dan Fudhail bin ‘Iyadh”.
Demikianlah makna sunnah secara umum dalam istilah para ‘ulama –rahimahumullah– dan hal itu adalah jelas bagi siapa yang melihat karya-karya para ulama yang menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah dimana akan terlihat bahwa mereka menginginkan makna sunnah secara umum seperti :
  • Kitab As-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim.
  • Kitab As-Sunnah karya Imam Ahmad.
  • Kitab As-Sunnah karya Ibnu Nashr Al-Marwazy.
  • Kitab As-Sunnah karya Al-Khallal.
  • Kitab As-Sunnah karya Abu Ja’far At-Thobary.
  • Kitab Syarh As-Sunnah karya Imam Al-Barbahary.
  • Kitab Syarh As-Sunnah karya Al-Baghawy.
  • dan lain-lainnya.
Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah 1/29-35, Haqiqatul Bid’ah 1/63-66 dan Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Wa Manhajul Asya’irah 1/19-23.
Kedua : Makna Ahlus Sunnah.
Penjelasan makna sunnah di atas secara umum akan memberikan gambaran tentang makna Ahlus Sunnah (pengikut sunnah-ed.).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa jilid 3 hal.375ketika memberikan defenisi tentang Ahlus Sunnah : “Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan apa-apa yang disepakati oleh orang-orang terdahulu yang pertama dari kalangan sahabat Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”.
Berkata Ibnu Hazm dalam Al-Fishal jilid 2 hal. 281 : “Dan Ahlus Sunnah -yang kami sebutkan- adalah ahlul haq (pengikut kebenaran) dan selain mereka adalah ahlul bid’ah (pengikut perkara-perkara baru dalam agama), maka mereka (ahlus sunnah) adalah para sahabat –radhiyallahu ‘anhum– dan siapa saja yang menempuh jalan mereka dari orang-orang pilihan di kalangan tabi’in kemudian Ashhabul Hadits dan siapa yang mengikuti mereka dari para ahli fiqh zaman demi zaman sampai hari kita ini dan orang-orang yang mengikuti mereka dari orang awam di Timur maupun di Barat bumi –rahmatullahi ’alaihim– ”.
Dan Ibnul Jauzy berkata dalam Talb is Iblis hal.21 : “Tidak ada keraguan bahwa ahli riwayat dan hadits yang mengikuti jejak Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan jejak para sahabatnya mereka itulah Ahlus Sunnah karena mereka di atas jalan yang belum terjadi perkara baru padanya. Perkara baru dan bid’ah hanyalah terjadi setelah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya”.
Berkata Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fataw a 3/157 :” Termasuk jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mengikuti jejak-jejak Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam secara zhohir dan batin dan mengikuti jalan orang-orang terdahulu yang pertama dari para (sahabat) Muhajirin dan Anshar dan mengikuti wasiat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam tatkala berkata : “Berpeganglah kalian pada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk dan hidayah setelahku berpeganglah kalian dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian dan berhati-hatilah kalian dari perkara yang baru karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’.”
Dan beliau berkata dalam Majmu’ Fataw a 3/375 ketika memberikan defenisi tentang Ahlus Sunnah : “Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan kitab Allah dan sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan apa-apa yang disepakati oleh generasi dahulu yang pertama dari kaum Muhajirin dan Anshar dan yang mengikuti mereka dengan baik”.
Dan di dalam Majmu’ Fatawa 3/346 beliau berkata : “Siapa yang berkata dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Ijma’ maka ia termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah“.
Berkata Abu Nashr As-Sijzy : “Ahlus Sunnah adalah mereka yang kokoh di atas keyakinan yang dinukil kepada mereka olah para ulama Salafus Sholeh –mudah-mudahan Allah Subhaanahu wa Ta’aala merahmati mereka – dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam atau dari para sahabatnya –radhiyallahu ‘anhum– pada apa-apa yang tidak ada nash dari Al-Qur’an dan dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam , karena mereka itu –radhiyallahu ‘anhum– para Imam dan kita telah diperintahkan mengikuti jejak-jejak mereka dan sunnah mereka, dan ini sangat jelas sehingga tidak butuh ditegakkannya keterangan tentangnya”.
(Lihat : Ar-Raddu ‘ Ala Man Ankaral Harf hal.99)
Maka jelaslah dari keterangan-keterangan di atas dari para Imam tentang makna penamaan Ahlus Sunnah bahwa Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang menerapkan Islam secara keseluruhan sesuai dengan petunjuk Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya berdasarkan pemahaman para ulama salaf dari kalangan para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik .
Dan tentunya merupakan suatu hal yang sangat jelas bagi orang yang memperhatikan hadits-hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam akan disyariatkannya penamaan Ahlus Sunnah terhadap orang-orang yang memenuhi kriteria-kriteria di atas.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menyatakan dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah –radhiyallahu ’anhu– :
 صَلَّى لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ وَذَرِفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا قَالَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُ مُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Rasulullah sholat bersama kami sholat Shubuh, kemudian beliau menghadap kepada kami kemudian menasehati kami dengan suatu nasehat yang hati bergetar karenanya dan air mata bercucuran, maka kami berkata : “Yaa Rasulullah seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan maka berwasiatlah kepada kami”. Maka beliau bersabda : “Saya wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah dan mendengar serta taat walaupun yang menjadi pemimpin atas kalian seorang budak dari Habasyah (sekarang Ethopia) karena sesungguhnya siapa yang hidup di antara kalian maka ia akan melihat perselisihan yang sangat banyak maka berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan kepada sunnah para Khalifah Ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah ia dengan gigi geraham dan hati-hatilah kalian dengan perkara yang baru, karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah .”. Hadits shohih dari seluruh jalan-jalannya.
Dan masih banyak lagi dalil yang menunjukkan hal di atas. Wallahu a’lam.
Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/36-37, 47-49, Haqiqatul Bid’ah 1/63-66, 268-269 dan Manhaj Ahlus Sunnah 1/19-20, 24-27.
Ketiga : Definisi Jama’ah.
Jama’ah secara lughoh : Dari kata Al-Jama’ bermakna menyatukan sesuatu yang terpecah, maka jama’ah adalah lawan kata dari perpecahan.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 2/157 : “Dan mereka dinamakan Ahlul Jama’ah karena Al-Jama’ah adalah persatuan dan lawannya adalah perpecahan.”
Adapun secara istilah para ulama berbeda penafsiran tentang makna jama’ah yang tersebut di dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam , di antara hadits-hadits itu adalah :
Satu : Hadits perpecahan ummat yang telah disebutkan di atas
Dua : Wasiat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Hudzaifah dalam hadits riwayat Bukhory-Muslim , beliau berkata :
تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ
“Engkau komitmen dengan jama’ah kaum muslimin dan Imamnya .”
Tiga : Hadits Ibnu ‘Abbas riwayat Bukhory-Muslim Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
 فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شَيْئًا فَمَاتَ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Karena sesungguhnya siapa yang berpisah dengan Al-Jama’ah sedikitpun kemudian ia mati maka matinya adalah mati jahiliyah” .
Empat : Hadits Ibnu ‘Abbas Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
 يَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ
“Tangan Allah di atas Al-Jama’ah” .
Dari hadits-hadits di atas dan yang semisalnya para ulama berbeda di dalam menafsirkan kalimat Al-Jama’ah yang terdapat di dalam hadits-hadits tersebut sehingga ditemukan ada enam penafsiran :
Pertama : Jama’ah adalah Assawadul A’zhom (kelompok yang paling besar dari umat Islam). Ini adalah pendapat Abu Mas’ud Al-Anshory, ‘Abdullah bin Mas’ud dan Abu Ghalib.
Kedua : Al-Jama’ah adalah jama’ah ulama ahli ijtihad atau para ulama hadits, dikatakan bahwa mereka ini adalah jama’ah karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala menjadikan mereka hujjah terhadap makhluk dan manusia ikut pada mereka pada perkara agama.
Berkata Imam Al-Bukhory menafsirkan jama’ah : ”Mereka adalah ahlul ‘ilmi (para ulama)”.
Dan Imam Ahmad berkata tentang jama’ah : ”Apabila mereka bukan Ashhabul Hadits (ulama hadits) maka saya tidak tahu lagi siapa mereka”.
Dan Imam Tirmidzi berkata : ”Dan penafsiran jama’ah di kalangan para ulama bahwa mereka adalah ahli fiqh, (ahli) ilmu dan (ahli) hadits”.
Dan ini merupakan pendapat ‘Abdullah bin Mubarak, Ishaq bin Rahaway, ‘Ali bin Al-Madiny, ‘Amr bin Qais dan sekelompok dari para ulama salaf dan juga merupakan pendapat ulama ushul fiqh.
Ketiga : Al-Jama’ah adalah para sahabat. Hal ini berdasarkan hadits perpecahan umat yang di sebahagian jalannya disebutkan bahwa yang selamat adalah Al-Jama’ah dan dalam riwayat yang lain : “Apa-apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya”. Dan ini adalah pendapat “Umar bin ‘Abdil ‘Aziz dan Imam Al-Barbahary.
Keempat : Al-Jama’ah adalah jama’ah umat Islam apabila mereka bersepakat atas satu perkara dari perkara-perkara agama. Pendapat ini disebutkan oleh Imam Asy-Syathiby.
Kelima : Al-Jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin apabila mereka bersepakat di bawah seorang pemimpin. Ini adalah pendapat Imam Ibnu Jarir Ath-Thobary dan Ibnul Atsir.
Keenam : Al-Jama’ah adalah jama’ah kebenaran dan pengikutnya. Ini adalah pendapat Imam Al Barbahary dan Ibnu Katsir.
Demikianlah penafsiran-penafsiran para ulama tentang makna Al-Jama’ah, yang semuanya itu akan membawa kepada kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
  • Penafsiran-penafsiran tersebut walaupun saling berbeda lafadz dan konteksnya akan tetapi tidak saling bertentangan bahkan saling melengkapi makna maupun kriteria Al-Jama’ah.
  • Maka jelaslah bahwa makna Al-Jama’ah yang dikatakan sebagai golongan yang selamat dan pengikut kebenaran adalah Islam yang hakiki yang belum dihinggapi oleh noda yang mengotorinya.
  • Mungkin bisa disimpulkan dari penafsiran-penafsiran Al-Jama’ah di atas bahwa makna Al-Jama’ah kembali kepada dua perkara :
Satu : Jama’ah yang berarti bersatu di bawah kepemimpinan seorang pemerintah sesuai dengan ketentuan syariat maka wajib untuk komitmen terhadap jama’ah ini dan diharamkan untuk keluar darinya dan mengadakan kudeta terhadap pemimpinnya .
Dua : Jama’ah yang berarti mengikuti kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam kemudian diikuti oleh para sahabatnya, para ulama ahli ijtihad dan ahlul hadits yang mereka itulah Assawadul A’zhom dan pengikut kebenaran.
Berkata ‘Abdullah bin Mas’ud tentang Al-Jama’ah :
الْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَك
 “Al-Jama’ah adalah apa yang mencocoki kebenaran walaupun engkau sendiri”.
Berkata Abu Sy amah dalam Al-Ba’its hal.22 : “Dan apabila datang perintah untuk komitmen terhadap Al-Jama’ah, maka yang diinginkan adalah komitmen terhadap kebenaran dan pengikut kebenaran tersebut walaupun yang komitmen terhadapnya sedikit dan yang menyelisihinya banyak orang. Karena kebenaran adalah apa-apa yang jama’ah pertama r dan para sahabatnya berada di atasnya dan tidaklah dilihat kepada banyaknya ahlul bathil setelah mereka.”
Lihat : Al-I’tishom  2/767-776 tahqiq Salim Al-Hilaly, Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Wa Manhaj Al-Asy’ariyah Fi Tauhidillah 1/20-23, Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/49-54, Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asy’ariyah 1/26-32.
BAB : MENGAKU AHLU SUNNAH ( ASWAJA ) LEBIH MUDAH DARIPADA PEMBUKTIAN HAKEKATNYA
begitu mudahnya kaum aswaja mengaku bahwa mereka adalah ahlu sunnah wal jama’ah ???
penyair mengatakan :

” Semua orang mengaku telah menggapai si Laila

Akan tetapi si Laila tidak mengakuinya “
maka perlunya mengoreksi amalan amalan ibadah mereka yang perlu di perhatikan segala ucapan mereka dan amalan ibadah mereka sesuaikah dengan pengakuan mereka ?
kami sebutkan penyimpangan penyimpangan pemahaman aswaja terhadap sunnah sunnah rosul dan penyelisihian penyelisihan syariat islam
kesesatan pertama : ASWAJA MENYAKINI BAHWA DZAT ALLOH ADA

TIDAK BERTEMPAT MENYELISIHI PARA SALAF

101 PERKATAAN ULAMA SALAF TENTANG ALLAH DI ATAS ARSY (SERI ALLAH DI ATAS ARSY)

Dari Abu Razin berkata: Saya pernah bertanya: “Ya Rasulullah, dimana Allah sebelum menciptakan makhlukNya?” Nabi menjawab: “Dia berada di atas awan, tidak ada udara di bawahnya maupun di atasnya, tidak makhluk di sana, dan ArsyNya di atas air”. [HR. Tirmidzi (2108), Ibnu Majah (182), Ibnu Hibban (39 -Al-Mawarid), Ibnu Abi Ashim (1/271/612), Ahmad (4/11,12) dan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (7/137). Lihat As-Shahihah 6/469)].
Sudah banyak pembahasan mengenai aqidah tentang ‘Allah di Atas ‘Arsy’ yang ditulis oleh para ulama, baik dikupas dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur’an maupun Hadits-hadits shahih yang jumlahnya mencapai puluhan dalil. Namun untuk pembahasan kali ini hanya mengupas tentang perkataan-perkataan yang keluar dari para ulama Salaf mengenai Allah di atas ‘Arsy.  Saya hanya mengumpulkan sedikit dari perkataan-perkataan mereka yaitu hanya berjumlah 101 perkataan, padahal jika kita merujuk kepada kitab-kitab ulama Salaf terdahulu, maka akan terkumpul banyak sekali perkataan mereka mengenai Allah diatas ‘Arsy yang jumlahnya bisa mencapai ratusan bahkan ribuan, Wallahu a’lam. Berikut perkataan-perkataan mereka:
01.   Abu Bakar ash Shidiq radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barang siapa yang menyembah Allah maka Allah berada di langit, ia hidup dan tidak mati.” [Riwayat Imam ad Darimiy dalam Ar Radd ‘Alal Jahmiyah].
02.  Dari Zaid bin Aslam, dia berkata,
مر ابن عمر براع فقال هل من جزرة فقال ليس هاهنا ربها قال ابن عمر تقول له أكلها الذئب  قال فرفع رأسه إلى السماء وقال فأين الله فقال ابن عمر أنا والله أحق أن أقول أين الله واشترى الراعي والغنم فأعتقه وأعطاه الغنم
“(Suatu saat) Ibnu ‘Umar melewati seorang pengembala. Lalu beliau berkata,  “Adakah hewan yang bisa disembelih?” Pengembala tadi mengatakan, “Pemiliknya tidak ada di sini.” Ibnu Umar mengatakan, “Katakan saja pada pemiliknya bahwa ada serigala yang telah memakannya.” Kemudian pengembala tersebut menghadapkan kepalanya ke langit. Lantas mengajukan pertanyaan pada Ibnu Umar, ”Lalu di manakah Allah?” Ibnu ‘Umar malah mengatakan, “Demi Allah, seharusnya aku yang berhak menanyakan padamu ‘Di mana Allah?’.”
Kemudian setelah Ibnu Umar melihat keimanan pengembala ini, dia lantas membelinya, juga dengan hewan gembalaannya (dari Tuannya). Kemudian Ibnu Umar membebaskan pengembala tadi dan memberikan hewan gembalaan tadi pada pengembara tersebut. [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 311. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad riwayat ini jayyid sebagaimana dalam Mukhtashor Al ‘Uluw no. 95, hal. 127].
03.  Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata:
والعرش على الماء والله عز وجل على العرش يعلم ما أنتم عليه
“Arsy berada di atas air, dan Allah ‘azza wa jalla berada di atas ‘Arsy, yang mengetahui apa-apa yang kalian lakukan” [HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir; shahih].
04.  Ibnu Abbas menemui ‘Aisyah ketika ia baru saja wafat. Ibnu Abbas berkata padanya,
كنت أحب نساء رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم يكن يحب إلا طيبا وأنزل الله براءتك من فوق سبع سموات
“Engkau adalah wanita yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah engkau dicintai melainkan kebaikan (yang ada padamu). Allah pun menurunkan perihal kesucianmu dari atas langit yang tujuh.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 335].
05.  Dari Ibnul Mubarok, dari Sulaiman At Taimi, dari Nadhroh, Ibnu ‘Abbasradhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
ينادي مناد بين يدي الساعة أتتكم الساعة – فيسمعه الأحياء والأموات – ثم ينزل الله إلى السماء الدنيا
“Ketika hari kiamat ada yang menyeru, “Apakah datang pada kalian hari kiamat?” Orang yang hidup dan mati pun mendengar hal tersebut, kemudian Allah pun turun ke langit dunia.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 296. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad riwayat ini shahih sesuai syarat Muslim sebagaimana dalam Mukhtashor Al ‘Uluw no. 94, hal. 126].
Dalam riwayat lainnya, Ibnu ‘Abbas mengatakan,
إذا نزل الوحي سمعت الملائكة صوتا كصوت الحديد
“Jika wahyu turun, aku mendengar malaikat bersuara seperti suara besi.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 295. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa periwayat hadits ini tsiqoh (terpercaya) sebagaimana dalam Mukhtashor Al ‘Uluw no. 93, hal. 126].
Jika dikatakan bahwa wahyu itu turun dan wahyu itu dari Allah, ini menunjukkan bahwa Allah berada di atas karena sesuatu yang turun pasti dari atas ke bawah.
06.  Dari Ka’ab Al Ahbar [meninggal pada tahun 32 atau 33 H] berkata bahwa Allah ‘azza wa jalla dalam taurat berfirman,
أنا الله فوق عبادي وعرشي فوق جميع خلقي وأنا على عرشي أدبر أمور عبادي ولا يخفى علي شيء في السماء ولا في الأرض
“Sesungguhnya Aku adalah Allah. Aku berada di atas seluruh hamba-Ku. ‘Arsy-Ku berada di atas seluruh makhluk-Ku. Aku berada di atas ‘Arsyku. Aku-lah pengatur seluruh urusan hamba-Ku. Segala sesuatu di langit maupun di bumi tidaklah samar bagi-Ku. ” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 315. Adz Dzahabi mengatakan  bahwa sanadnya shahih. Begitu pula Ibnul Qayyim dalam Ijtima’ul Juyusy Al Islamiyah mengatakan bahwa riwayat ini shahih].
07.  Masruq rahimahullah [wafat tahun 63 H] menceritakan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
حدثتني الصديقة بنت الصديق حبيبة حبيب الله، المبرأة من فوق سبع سموات.
“’Aisyah -wanita yang shidiq anak dari orang yang shidiq (Abu Bakar), kekasih di antara kekasih Allah, yang disucikan oleh Allah yang berada  di atas langit yang tujuh.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 317. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shohih berdasarkan syarat Bukhari Muslim dan sanadnya sampai pada Abu Shofwan itu shahih. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 128].
08.  ‘Ubaid bin ‘Umair rahimahullah mengatakan,
ينزل الرب عزوجل شطر الليل إلى السماء الدنيا فيقول من يسألني فأعطيه من يستغفرني فأغفر له حتى إذا كان الفجر صعد الرب عزوجل أخرجه عبد الله بن الإمام أحمد في كتاب الرد على الجهمية تصنيفه
“Allah ‘azza wa jalla turun ke langit dunia pada separuh malam. Lalu Allah berkata, “Siapa saja yang memohon kepada-Ku, maka akan Kuberi. Siapa saja yang meminta ampun kepada-Ku, maka akan Kuampuni.” Jika fajar telah terbit, Allah pun naik.”
Dikeluarkan oleh ‘Abdullah bin Imam Ahmad dalam kitab karyanya yang berisi bantahan terhadap Jahmiyah. [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 320].
09.  Penjelasan Al-Imam Mujahid rahimahullah [dilahirkan pada tahun 21 Hijrah dan meninggal pada tahun 103 Hijrah] – murid Ibnu ‘Abbas – mengenai  firman Allah istawaa ‘alal-‘Arsy :
علا على العرش
“Ia berada tinggi di atas ‘Arsy.” [HR. Al-Bukhari].
10.  Imam Adh-Dhahhaak [wafat th. 102 H].
Ahmad (bin Hanbal) meriwayatkan dengan sanadnya sampai Adh-Dhahhaak tentang ayat (yang artinya) : ‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya’ (QS. Al-Mujaadalah : 7); maka Adh-Dhahhaak berkata :
هو على العرش وعلمه معهم
“Allah berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya bersama mereka”.  [As-Sunnah oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal hal. 80 – melalui perantaraan Al-Masaail war-Rasaail Al-Marwiyyatu ‘anil-Imam Ahmad bin Hanbal fil-‘Aqiidah oleh ‘Abdullah bin Sulaimaan Al-Ahmadiy, 1/319; Daaruth-Thayyibah, Cet. 1/1412].
11.  Qotadah rahimahullah [wafat tahun 118 H] mengatakan bahwa Bani Israil berkata,
يا رب أنت في السماء ونحن في الأرض فكيف لنا أن نعرف رضاك وغضبك قال إذا رضيت استعملت عنكم عليكم خياركم وإذا غضبت إستعلمت عليكم شراركم هذا ثابت عن قتادة أحد الحفاظ الكبار
“Wahai Rabb, Engkau di atas langit dan kami di bumi, bagaimana kami bisa tahu jika Engkau ridho dan Engkau murka?” Allah Ta’ala berfirman, “Jika Aku ridho, maka Aku akan memberikan kebaikan pada kalian. Dan jika Aku murka, maka Aku akan menimpakan kejelekan pada kalian.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 336. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad riwayat ini hasan. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 131].
12.  Dari Malik bin Dinar [wafat pada tahun 130 H], beliau berkata,
خذوا فيقرأ ثم يقول : إسمعوا إلى قول الصادق من فوق عرشه
“Ambillah (Al Qur’an) ini. Lalu beliau membacanya, kemudian beliau mengatakan, ‘Hendaklah kalian mendengar perkataan Ash Shodiq (Yang Maha Jujur yaitu Allah) dari atas ‘Arsy-Nya’.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 348. Adz Dzahabi mengatakan diriwayatkan dalam Al Hilyah dengan sanad yang shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa mengatakan riwayat ini hasan saja termasuk murah hati. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 131].
13.  Harun bin Ma’ruf mengatakan, Dhomroh mengatakan pada kami dari Shodaqoh, dia berkata bahwa dia mendengar Sulaiman At Taimiy berkata,
لو سئلت أين الله لقلت في السماء
“Seandainya aku ditanyakan di manakah Allah, maka aku menjawab (Allah berada) di atas langit.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 357. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa periwayat riwayat ini tsiqoh/terpercaya. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 133].
14.  Ayyub As Sikhtiyani [wafat th. 131 H].
Hamad bin Zaid mengatakan bahwa ia mendengar Ayyub As Sikhtiyani berbicara mengenai Mu’tazilah,
إنما مدار القوم على أن يقولوا ليس في السماء شيء
“Mu’tazilah adalah asal muasal kaum yang mengatakan bahwa di atas langit tidak ada sesuatu apa pun.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 354].
15.  Robi’ah bin Abi ‘Abdirrahman [Wafat tahun 136 H ].
Sufyan Ats Tsauriy mengatakan bahwa ia pernah suatu saat berada di sisi Robi’ah bin Abi ‘Abdirrahman kemudian ada seseorang yang bertanya pada beliau,
الرحمن على العرش استوى كيف استوى
“Ar Rahman (yaitu Allah) beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy, lalu bagaimana Allah beristiwa’?” Robi’ah menjawab,
الإستواء غير مجهول والكيف غير معقول ومن الله الرسالة وعلى الرسول البلاغ وعلينا التصديق
“Istiwa’ itu sudah jelas maknanya. Sedangkan hakikat dari istiwa’ tidak bisa digambarkan. Risalah (wahyu) dari Allah, tugas Rasul hanya menyampaikan, sedangkan kita wajib membenarkan (wahyu tersebut).” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 352. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 132].
16.   Imam Abu Hanifah (tahun 80-150 H) mengatakan dalam Fiqhul Akbar,
من انكر ان الله تعالى في السماء فقد كفر
“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.” [Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, hal. 116-117, Darus Salafiyah, Kuwait, cetakan pertama, 1406 H. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 137, Al Maktab Al Islamiy].
17.  Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar-, beliau berkata,
سألت أبا حنيفة عمن يقول لا أعرف ربي في السماء أو في الأرض فقال قد كفر لأن الله تعالى يقول الرحمن على العرش استوى وعرشه فوق سمواته  فقلت إنه يقول أقول على العرش استوى ولكن قال لا يدري العرش في السماء أو في الأرض  قال إذا أنكر أنه في السماء فقد كفر رواها صاحب الفاروق بإسناد عن أبي بكر بن نصير بن يحيى عن الحكم
Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”. [QS. Thaha: 5] Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.” Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, Adz Dzahabi, hal. 135-136, Maktab Adhwaus Salaf, Riyadh, cetakan pertama, 1995].
18.  Imam Malik bin Anas (tahun 93-179 H),
Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah : Telah menceritakan ayahku, kemudian ia menyebutkan sanadnya dari ‘Abdullah bin Naafi’, ia berkata : Telah berkata Malik bin Anas :
الله في السماء، وعلمه في كل مكان، لا يخلو منه شيء.
“Allah berada di atas langit, dan ilmu-Nya berada di setiap tempat. Tidak ada terlepas dari-Nya sesuatu”.  [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah dalam As-Sunnah hal. 5, Abu Dawud dalam Al-Masaail hal. 263, Al-Aajuriiy hal. 289, dan Al-Laalikaa’iy 1/92/2 dengan sanad shahih – dinukil melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 140 no. 130].
19.  Telah masyhur riwayat Al-Imam Maalik bin Anas rahimahullah sebagai berikut :
ذكره علي بن الربيع التميمي المقري قال ثنا عبد الله ابن أبي داود قال ثنا سلمة بن شبيب قال ثنا مهدي بن جعفر عن جعفر بن عبد الله قال جاء رجل إلى مالك بن أنس فقال يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف استوى قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه الرحضاء يعني العرق قال واطرق القوم وجعلوا ينتظرون ما يأتي منه فيه قال فسرى عن مالك فقال الكيف غير معقول والاستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة فإني أخاف أن تكون ضالا وامر به فأخرج
Telah menyebutkan kepadanya ‘Aliy bin Ar-Rabii’ At-Tamimiy Al-Muqri’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Abi Dawud, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Salamah bin Syabiib, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Mahdiy bin Ja’far, dari Ja’far bin ‘Abdillah, ia berkata : Datang seorang laki-laki kepada Malik bin Anas. Ia berkata : “Wahai Abu ‘Abdillah, ‘Ar-Rahman yang beristiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy’; bagaimana Allah beristiwaa’ ?”. Perawi berkata : “Belum pernah aku melihat beliau (Malik) marah sedemikian rupa seperti marahnya beliau kepada orang itu. Tubuhnya berkeringat, orang-orang pun terdiam. Mereka terus menantikan apa yang akan terjadi. Maka keadaan Al-Imam Malik kembali normal, beliau berkata : “Kaifiyah-nya tidaklah dapat dinalar, istiwaa’ sendiri bukan sesuatu yang majhul, beriman kepadanya adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Dan sesungguhnya aku khawatir kamu berada dalam kesesatan”. Kemudian beliau memerintahkan orang tersebut untuk dikeluarkan dari majelisnya. [Syarh Ushuulil-I’tiqad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah, hal. 398, tahqiq : Ahmad bin Mas’ud bin Hamdaan; desertasi S3].
Makna “istiwaa’ itu bukan sesuatu yang majhuul” adalah bahwa istiwaa’ itu diketahui maknanya secara hakiki sebagaimana dhahir bahasa Arab yang jelas.
20.  Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (yang terkenal dengan Imam Syafi’I, tahun 150-204 H).
Syaikhul Islam berkata bahwa telah mengabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Kholil bin Abdullah Al Hafizh, beliau berkata bahwa telah memberitahukan kepada kami Abul Qosim bin ‘Alqomah Al Abhariy, beliau berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Roziyah telah memberitahukan pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, beliau berkata,
القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وان الله تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر الاعتقاد
“Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya.  [Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, hal. 123-124. Disebutkan pula dalam Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal.165]
21.  Imam Ahmad bin Hambal (tahun 164-241 H).
Beliau pernah ditanya,
ما معنى قوله وهو معكم أينما كنتم و ما يكون من نجوى ثلاثه الا هو رابعهم قال علمه عالم الغيب والشهاده علمه محيط بكل شيء شاهد علام الغيوب يعلم الغيب ربنا على العرش بلا حد ولا صفه وسع كرسيه السموات والأرض
“Apa makna firman Allah,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
“Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada.” [QS. Al Hadiid: 4]
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.” [ QS. Al Mujadilah: 7]
Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang ghoib dan yang nampak. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi. Namun Rabb kita tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan ruang, tanpa dibatasi dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun meliputi langit dan bumi.” [Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 116].
22.  Imam Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela sunnah, sabar menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga. Imam Ahmad mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya sifat ru’yah (Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw (ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya).” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 176. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 189]
23.  Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa Al Ghadadiy, beliau berkata,
قيل لأبي عبد الله احمد بن حنبل الله عز و جل فوق السمآء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه بكل مكان قال نعم على العرش و لايخلو منه مكان
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.” [ Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 116].
24.  Al Auza’i Abu ‘Amr ‘Abdurrahman bin ‘Amr [hidup sebelum tahun 157 H], Seorang Alim di Negeri Syam di Masanya Berbicara Mengenai Keyakinannya:
قال أبو عبد الله الحاكم أخبرني محمد بن علي الجوهري ببغداد قال حدثنا إبراهيم بن الهيثم البلدي قال حدثنا محمد بن كثير المصيصي قال سمعت الأوزاعي يقول كنا والتابعون متوافرون نقول إن الله عزوجل فوق عرشه ونؤمن بما وردت به السنة من صفاته
Abu ‘Abdillah Al Hakim mengatakan, Muhammad bin Ali Al Jauhari telah mengabarkan kepadaku di Bagdad. Ia mengatakan, Ibrahim bin Al Haitsam Al Baladi telah menceritakan pada kami.  Ia mengatakan, Muhammd bin Katsir Al Missisiy telah menceritakan pada kami. Ia berkata, aku mendengar Al Auza’i mengatakan, “Kami dan pengikut kami mengatakan bahwa Allah ‘azza wa jalla berada di atas ‘Arsy-Nya. Kami beriman terhadap sifat-Nya yang ditunjukkan oleh As Sunnah.” [Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Kitab Al Asma’ wa Ash Shifat. Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 136. Ibnu Taimiyah sebagaimana dalam Al Aqidah Al Hamawiyah menyatakan bahwa sanadnya shahih, sebagaimana pula hal ini diikuti oleh muridnya (Ibnul Qayyim) dalam Al Juyusy Al Islamiyah].
25.  Diriwayatkan dari Abu Ishaq Ats Tsa’labi –seorang pakar tafsir, ia berkata, “Al Auza’i pernah ditanya mengenai firman Allah Ta’ala,
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Kemudian Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya”. Al Auza’iy mengatakan, “Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang Dia sifati bagi Diri-Nya.” [ Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137].
26.  Muqaatil bin Hayyaan (semasa dengan Imam Al Auza’i, beliau hidup sebelum tahun 150 H).
Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad, dari ayahnya, dari Nuuh bin Maimuun, dari Bukair bin Ma’ruuf, dari Muqaatil bin Hayyaan tentang firman Allah ta’ala : ‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya’ (QS. Al-Mujaadalah : 7), ia berkata :
هو على عرشه، وعلمه معهم.
“Allah berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya bersama mereka”. [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah hal. 71, Abu Dawud dalam Al-Masaail hal. 263, dan yang lainnya dengan sanad hasan  melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 138 no. 124].
27.  Diriwayatkan dari Al Baihaqi dengan sanad darinya, dari Muqotil bin Hayyan. Ia berkata, “Allah-lah yang lebih memahami firman-Nya:
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآَخِرُ
Huwal awwalu wal akhiru … (Allah adalah Al Awwal dan Al Akhir …) (QS. Al Hadiid: 3). Makna Al Awwalu adalah sebelum segala sesuatu. Al Akhir adalah setelah segala sesuatu. Azh Zhohir adalah di atas segala sesuatu. Al Bathin adalah lebih dekat dari segala sesuatu. Kedekatan Allah adalah dengan ilmu-Nya. Sedangkan Allah sendiri berada di atas ‘Arsy-Nya.”
Adz Dzahabi mengatakan, “Muqotil adalah ulama yang tsiqoh dan dia adalah imam besar yang semasa dengan Al Auza’i.” [ Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa dalam sanad yang disebutkan oleh Al Baihaqi (hal. 430-431) terdapat Ismail bin Qutaibah. Ibnu Abi Hatim tidak memberikan penilaian positif (ta’dil) atau negatif (jarh) terhadapnya. Telah diriwayatkan pula oleh Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Musa Al Ka’bi, rowi dari atsar ini darinya. Beliau merupakan guru dari Al Hakim. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 138].
28.  Sufyan Ats Tsauri [hidup pada tahun 97-161 H].
روى غير واحد عن معدان الذي يقول فيه ابن المبارك هو أحد الأبدال قال سألت سفيان الثوري عن قوله عزوجل وهو معكم أينما كنتم قال علمه
Diriwayatkan lebih dari satu orang dari Mi’dan, yang Ibnul Mubarok juga mengatakan hal ini. Ia mengatakan bahwa ia bertanya pada Sufyan Ats Tsauri mengenai firman Allah ‘azza wa jalla,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
“Dia (Allah) bersama kalian di mana saja kalian berada.” (QS. Al Hadid: 4). Sufyan Ats Tsauri menyatakan bahwa yang dimaksudkan adalah ilmu Allah (yang berada bersama kalian, bukan dzat Allah, pen). [ Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137-138].
29.  Abdullah bin Al Mubarok [Seorang Alim Besar Negeri Khurosan tahun 118 – 181 H], Menyatakan Allah Berada di Atas Langit Ketujuh,
صح عن علي بن الحسن بن شقيق قال قلت لعبد الله بن المبارك كيف نعرف ربنا عزوجل قال في السماء السابعة على عرشه ولا نقول كما تقول الجهمية إنه هاهنا في الأرض  فقيل هذا لأحمد بن حنبل فقال هكذا هو عندنا
Telah shahih dari ‘Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, dia berkata, “Aku berkata kepada Abdullah bin Al Mubarok, bagaimana kita mengenal Rabb kita ‘azza wa jalla. Ibnul Mubarok menjawab, “Rabb kita berada di atas langit ketujuh dan di atasnya adalah ‘Arsy. Tidak boleh kita mengatakan sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah berada di sini yaitu di muka bumi.” Kemudian ada yang menanyakan tentang pendapat Imam Ahmad bin Hambal mengenai hal ini. Ibnul Mubarok menjawab, “Begitulah Imam Ahmad sependapat dengan kami.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 149. Riwayat ini dishahihkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al Hamawiyah dan Ibnul Qayyim dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 152].
30.  Abu Bakr Al Atsrom mengatakan bahwa Muhammad bin Ibrahim Al Qoisi mengabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarok ketika ada yang bertanya padanya,
كيف نعرف ربنا
“Bagaimana kami bisa mengetahui Rabb kami?” Ibnul Mubarok menjawab,
في السماء السابعة على عرشه
“Allah di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan,
هكذا هو عندنا
“Begitu juga keyakinan kami.” [ Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 118].
31.  Diriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad ketika membantah pendapat Jahmiyah dan beliau membawakan sanadnya dari Ibnul Mubarok. Ia ceritakan bahwa ada seseorang yang mengatakan pada Ibnul Mubarok, “Wahai Abu ‘Abdirrahman (Ibnul Mubarok), sungguh pengenalan tentang Allah menjadi samar karena pemikiran-pemikiran yang diklaim oleh Jahmiyah.” Ibnul Mubarok lantas menjawab, “Tidak usah khawatir. Mereka mengklaim bahwa Allah sebagai sesembahanmu yang sebenarnya berada di atas langit sana, namun mereka katakan Allah tidak di atas langit.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 150. Syaikh Al Albani mengatakan dikeluarkan dalam As Sunnah (hal. 7) dari Ahmad bin Nashr, dari Malik, telah mengabarkan kepadaku seseorang dari Ibnul Mubarok. Seluruh periwayatnya tsiqoh (terpercaya) kecuali yang tidak disebutkan namanya. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 152].
32.  ‘Abbad bin Al ‘Awwam [ hidup sekitar tahun 185 H], Muhaddits (Pakar Hadits) dari Daerah Wasith.
قال عباد بن العوام كلمت بشرا المريسي وأصحابه فرأيت آخر كلامهم ينتهي إلى أن يقولوا ليس في السماء شيء  أرى أن لا يناكحوا ولا يوارثوا
‘Abbad bin Al ‘Awwam mengatakan, “Aku pernah berkata Basyr Al Murosi dan pengikutnya, aku pun melihat bahwa mereka mengatakan, “Di atas langit tidak ada sesuatu pun. Aku menilai bahwa orang semacam ini tidak boleh dinikahi dan diwarisi.” [ Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 151].
33.  ‘Abdurrahman bin Mahdi [hidup pada tahun 125-198 H], Seorang Imam Besar.
ابن مهدي قال إن الجهمية أرادوا أن ينفوا أن يكون الله كلم موسى وأن يكون على العرش أرى أن يستتابوا فإن تابوا وإلا ضربت أعناقهم
‘Abdurrahman bin Mahdi mengatakan bahwa Jahmiyah menginginkan agar dinafikannya pembicaraan Allah dengan Musa, dinafikannya keberedaan Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy. Orang seperti ini mesti dimintai taubat. Jika tidak, maka lehernya pantas dipenggal.  [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 159. Dikeluarkan pula oleh Abdullah (hal. 10-11) dari jalannya, disebutkan secara ringkas. Ibnul Qayyim menshahihkan riwayat ini dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 170].
34.  Syaikhul Islam Yazid bin Harun [hidup sebelum tahun 206 H],
قال الحافظ أبو عبد الرحمن بن الإمام أحمد في كتاب الرد على الجهمية حدثني عباس العنبري أخبرنا شاذ بن يحيى سمعت يزيد بن هارون وقيل له من الجهمية قال من زعم أن الرحمن على العرش استوى على خلاف ما يقر في قلوب العامة فهو جهمي
Al Hafizh Abu ‘Abdirrahman bin Al Imam Ahmad dalam kitab bantahan terhadap Jahmiyah, ia mengatakan, ‘Abbas Al Ambari telah menceritakan padaku, ia mengatakan, Syadz bin Yahya telah menceritakan pada kami bahwa ia mendengar Yazid bin Harun ditanya tentang Jahmiyah. Yazid mengatakan, “Siapa yang mengklaim bahwa Allah Yang Maha Pengasih menetap tinggi di atas ‘Arsy namun menyelisih apa yang diyakini oleh hati mayoritas manusia, maka ia adalah Jahmi.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 157. Abdullah bin Ahmad mengeluarkan dalam As Sunnah (hal. 11-12) dari jalannya. Namun Adz Dzahabi menyebutkan dari selain kitab itu yaitu dalam kitab Ar Rodd ‘alal Jahmiyah (bantahan terhadap Jahmiyah), Abdullah berkata, Abbas bin Al ‘Azhim Al Ambari telah mengabarkan pada kamim Syadz bin Yahya telah menceritakan pada kami. Juga riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Masail (hal. 268), ia berkata, Ahmad bin Sinan telah menceritakan pada kami, ia berkata: Aku mendengar Syadz bin Yahya. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 168].
35.  Sa’id bin ‘Amir Adh Dhuba’i [hidup pada tahun 122-208 H], Ulama Bashroh.
قال عبد الرحمن بن أبي حاتم حدثنا أبي قال حدثت عن سعيد ابن عامر الضبعي أنه ذكر الجهمية فقال هم شر قولا من اليهود والنصارى  قد إجتمع اليهود والنصارى وأهل الأديان مع المسلمين على أن الله عزوجل على العرش وقالوا هم ليس على شيء
‘Abdurrahman bin Abi Hatim berkata, ayahku menceritakan kepada kami, ia berkata aku diceritakan dari Sa’id bin ‘Amir Adh Dhuba’I bahwa ia berbicara mengenai Jahmiyah. Beliau berkata, “Jahmiyah lebih jelek dari Yahudi dan Nashrani. Telah diketahui bahwa Yahudi dan Nashrani serta agama lainnya bersama kaum muslimin bersepakat bahwa Allah ‘azza wa jalla menetap tinggi di atas ‘Arsy. Sedangkan Jahmiyah, mereka katakan bahwa Allah tidak di atas sesuatu pun.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 157 dan Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 168].
36.  Wahb bin Jarir [meninggal tahun 206 H], Ulama Besar Bashroh,
محمد بن حماد قال سمعت وهب بن جرير يقول إياكم ورأي جهم فإنهم يحاولون أنه ليس شيء في السماء وما هو إلا من وحي إبليس ما هو إلا الكفر
Muhammad bin Hammad mengatakan bahwa ia mendengar Wahb bin Jarir berkata, “Waspadalah dengan pemikiran Jahmiyam. Sesungguhnya mereka memalingkan makna bahwa di atas langit sesuatu pun (berarti Allah tidak di atas langit, pen). Sesungguhnya pemikiran semacam ini hanyalah wahyu dari Iblis. Perkataan semacam tidak lain hanyalah perkataan kekufuran.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 159. Atsar ini dishahihkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 170].
37.  Al Qo’nabi [meninggal tahun 221 H], Ulama Besar di Masanya,
قال بنان بن أحمد كنا عند القعنبي رحمه الله فسمع رجلا من الجهمية يقول الرحمن على العرش استوى فقال القعنبي من لا يوقن أن الرحمن على العرش استوى كما يقر في قلوب العامة فهو جهمي أخرجهما عبد العزيز القحيطي في تصانيفه والمراد بالعامة عامة أهل العلم كما بيناه في ترجمة يزيد بن هارون إمام أهل واسط ولقد كان القعنبي من أئمة الهدى حتى لقد تغالى فيه بعض الحفاظ وفضله على مالك الإمام
Bunan bin Ahmad mengatakan, “Aku pernah berada di sisi Al Qo’nabi, ia mendengar seorang yang berpahaman Jahmiyah menyebutkan firman Allah,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.” [ QS. Thoha: 5], Al Qo’nabi lantas mengatakan, “Siapa yang tidak meyakini Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy sebagaimana diyakini oleh para ulama, maka ia adalah Jahmi.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 166. Bunan bin Ahmad tidak mengapa, sejarah hidupnya disebutkan di Tarikh Bagdad. Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 178].
38.  Abdullah bin Az Zubair Al Qurosyi Al Asadi Al Humaidi[meninggal tahun 219 H, Ulama Besar Makkah, Murid dari Sufyan bin ‘Uyainah, Guru dari Imam Al Bukhari], mengatakan:
أصول السنة عندنا فذكر أشياء ثم قال وما نطق به القرآن والحديث مثل وقالت اليهود يد الله مغلولة غلت أيديهم ومثل قوله والسموات مطويات بيمينه وما أشبه هذا من القرآن والحديث لا نزيد فيه ولا نفسره ونقف على ما وقف عليه القرآن والسنة ونقول الرحمن على العرش استوى ومن زعم غير هذا فهو مبطل جهم
Aqidah yang paling pokok yang kami yakini (lalu beliau menyebutkan beberapa hal): Ayat atau hadits yang menyebutkan (misalnya tangan Allah, pen),
وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ
“Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu” [ QS. Al Maidah: 64].
Semisal pula firman Allah,
وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ
“Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya” [ QS. Az Zumar: 67], dan juga ayat dan hadits yang semisal itu, kami tidak akan menambah dan kami tidak akan menafsirkan (bagaimanakah hakekat sifat tersebut). Kami cukup berdiam diri sebagaimana yang dituntunkan Al Quran dan Hadits Nabawi (yang tidak menyebutkan hakekatnya). Kami pun meyakini,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.” [ QS. Thoha: 5]. Barangsiapa yang tidak meyakini seperti ini, maka dialah Jahmiyah yang penuh kebatilan. [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 168. Ibnu Taimiyah telah menshahihkan atsar ini dari Al Humaidi dalam Kitabnya “Mufashol Al I’tiqod”. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 180].
39.  Al-Imam Al-Humaidiy rahimahullah juga berkata :
وما أشبه هذا من القرآن والحديث، لا نزيد فيه ولا نفسره. نقف على ما وقف عليه القرآن والسنة. ونقول : (الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى)، ومن زعم غير هذا فهو معطل جهمي.
“Dan ayat-ayat serta hadits-hadits yang serupa dengan ini (tentang Asma dan Shifat Allah), maka kami tidak menambah-nambahi dan tidak pula menafsirkannya (menta’wilkannya). Kami berhenti atas apa-apa yang Al-Qur’an dan As-Sunah berhenti padanya. Dan kami berkata : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). Barangsiapa yang berpendapat selain itu, maka ia seorang Mu’aththil Jahmiy” [Ushuulus-Sunnah oleh Al-Humaidiy, hal. 42, tahqiq : Misy’aal Muhammad Al-Haddaadiy; Daar Ibn Al-Atsiir, Cet. 1/1418].
40.  Hisyam bin ‘Ubaidillah Ar Rozi [meninggal tahun 221 H], Ulama Hanafiyah, murid dari Muhammad bin Al Hasan.
قال ابن أبي حاتم حدثنا علي بن الحسن بن يزيد السلمي سمعت أبي يقول سمعت هشام بن عبيد الله الرازي وحبس رجلا في التجهم فجيء به إليه ليمتحنه فقال له أتشهد أن الله على عرشه بائن من خلقه فقال لا أدري ما بائن من خلقه فقال ردوه فإنه لم يتب بعد
Ibnu Abi Hatim mengatakan, ‘Ali bin Al Hasan bin Yazid As Sulami telah menceritakan kepada kami, ia berkata, ayahku berkata, “Aku pernah mendengar Hisyam bin ‘Ubaidillah Ar Rozi –ketika itu beliau menahan seseorang yang berpemikiran Jahmiyah, orang itu didatangkan pada beliau, lantas beliau pun mengujinya-. Hisyam bertanya padanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya.” Orang itu pun menjawab, “Aku tidak mengetahui apa itu terpisah dari makhluk-Nya.” Hisyam kemudian berkata, “Kembalikanlah ia karena ia masih belum bertaubat.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 169. Riwayat ini juga dikeluarkan oleh Al Haruwi dalam “Dzammul Kalam” (1/120). Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 181].
41.  Basyr Al Haafi [hidup pada tahun 151-227 H], Ulama yang Begitu Zuhud di Masanya
Disebutkan oleh Adz Dzahabi,
له عقيدة رواها ابن بطة في كتاب الإبانة وغيره فمما فيها والإيمان بأن الله على عرشه استوى كما شاء وأنه عالم بكل مكان
Basyr Al Haafi memilki pemahaman aqidah yang disebutkan oleh Ibnu Battoh dalam Al Ibanah dan selainnya, di antara perkataan beliau adalah: “Beriman bahwa Allah menetap tinggi (beristiwa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang Allah kehendaki. Namun meski begitu, ilmu Allah di setiap tempat.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 172. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 185].
42.  Ahmad bin Nashr Al Khuza’i [meninggal tahun 231 H].
قال إبراهيم الحربي فيما صح عنه قال أحمد بن نصر وسئل عن علم الله فقال علم الله معنا وهو على عرشه
Ibrahim Al Harbi berkata mengenai perkataan shahih darinya, yaitu Ahmad bin Nashr berkata ketika ditanya mengenai ilmu Allah, “Ilmu Allah selalu bersama kita, sedangkan Dzat-Nya tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 173. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 186-187].
43.  Abu Ma’mar Al Qutai’iy  [meninggal tahun 236 H, Guru dari Imam Bukhari dan Imam Muslim].
نقل ابن أبي حاتم في تأليفه عن يحيى بن زكرياء عن عيسى عن أبي شعيب صالح الهروي عن أبي معمر إسماعيل بن إبراهيم أنه قال آخر كلام الجهمية أنه ليس في السماء إله
Dinukil dari Ibnu Abi Hatim dalam karyanya, dari Yahya bin Zakariya, dari ‘Isa, dari Abu Syu’aib Sholih Al Harowiy, dari Abu Ma’mar Isma’il bin Ibrohim, beliau berkata, “Akhir dari perkataan Jahmiyah: Di atas langit (atau di ketinggian) tidak ada Allah yang disembah.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 174-175. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 188].
44.  ‘Ali bin Al Madini [meninggal tahun 234 H, Imam Para Pakar Hadits].
قال شيخ الإسلام أبو إسماعيل الهروي أنبأنا محمد بن محمد بن عبد الله حدثنا أحمد بن عبد الله سمعت محمد بن إبراهيم بن نافع حدثنا الحسن بن محمد بن الحارث قال سئل علي بن المديني وأنا أسمع ما قول أهل الجماعة قال يؤمنون بالرؤية وبالكلام وأن الله عزوجل فوق السموات على عرشه استوى
Syaikhul Islam Abu Isma’il Al Harowi mengatakan, Muhammad bin Muhammad bin ‘Abdillah menceritakan kepada kami, Ahmad bin Abdillah menceritakan kepada kami, aku mendengar Muhammad bin Ibrahim bin Naafi’ mengatakan, Al Hasan bin Muhammad bin Al Harits menceritakan kepada kami, ia berkata, ‘Ali bin Al Madini ditanya dan aku pun mendengarnya, “Apa perkataan dari Ahlul Jama’ah (Ahlus Sunnah)?” ‘Ali bin Al Madini mengatakan, “Mereka (Ahlus Sunnah) beriman pada ru’yah (Allah akan dilihat), mereka beriman bahwa Allah berbicara dan Allah berada di atas langit, menetap tinggi (beristiwa’) di atas ‘Arsy-Nya.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 175. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 188-189].
45.  Ishaq bin Rohuwyah [hidup antara tahun 166-238 H, Ulama Besar Khurosan.
قال أبو بكر الخلال أنبأنا المروذي حدثنا محمد بن الصباح النيسابوري حدثنا أبو داود الخفاف سليمان بن داود قال قال إسحاق بن راهويه قال الله تعالى الرحمن على العرش استوى إجماع أهل العلم أنه فوق العرش استوى ويعلم كل شيء في أسفل الأرض السابعة
Abu Bakr Al Khollal mengatakan, telah mengabarkan kepada kami Al Maruzi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Muhammad bin Shobah An Naisaburi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Abu Daud Al Khonaf Sulaiman bin Daud. Beliau katakan, Ishaq bin Rohuwyah berkata, “Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy” [ QS. Thaha: 5]. Para ulama sepakat (berijma’) bahwa Allah berada di atas ‘Arsy dan beristiwa’ (menetap tinggi) di atas-Nya. Namun Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang terjadi di bawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi yang ketujuh.  [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 179. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 194].
46.  Ishaq bin Rohuwyah,
قال حرب بن إسماعيل الكرماني قلت لإسحاق بن راهويه قوله تعالى ما يكون من نجوى ثلاثة إلا هو رابعهم كيف تقول فيه قال حيث ما كنت فهو أقرب إليك من حبل الوريد وهو بائن من خلقه
ثم ذكر عن ابن المبارك قوله هو على عرشه بائن من خلقه
ثم قال أعلى شيء في ذلك وأبينه قوله تعالى الرحمن على العرش استوى رواها الخلال في السنة عن حرب
Harb bin Isma’il Al Karmani, ia berkata bahwa ia berkata pada Ishaq bin Rohuwyah mengenai firman Allah,
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.” (QS. Al Mujadilah: 7). Bagaimanakah pendapatmu mengenai ayat tersebut?”
Ishaq bin Rohuwyah menjawab, “Dia itu lebih dekat (dengan ilmu-Nya) dari urat lehermu. Namun Dzat-Nya terpisah dari makhluk. Kemudian beliau menyebutkan perkataan Ibnul Mubarok, “Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya.”
Lalu Ishaq bin Rohuwyah mengatakan, “Ayat yang paling gamblang dan paling jelas menjelaskan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.” [ QS. Thoha: 5]
Al Khollal meriwayatkannya dalam As Sunnah dari Harb. [ Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 177. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 191].
47.  Qutaibah bin Sa’id [hidup tahun 150-240 H], Ulama Besar Khurosan.
قال أبو أحمد الحاكم وأبو بكر النقاش المفسر واللفظ له حدثنا أبو العباس السراج قال سمعت قتيبة بن سعيد يقول هذا قول الأئمة في الإسلام والسنة والجماعة نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه كما قال جل جلاله الرحمن على العرش استوى وكذا نقل موسى بن هارون عن قتيبة أنه قال نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه
Abu Ahmad Al Hakim dan Abu Bakr An Naqosy Al Mufassir (dan ini lafazh dari Abu Bakr), ia berkata, Abul ‘Abbas As Siroj telah menceritakan pada kami, ia berkata, aku mendengar Qutaibah bin Sa’id berkata, “Ini adalah perkataan para ulama besar Islam, Ahlus Sunnah wal Jama’ah:  Kami meyakini bahwa Rabb kami berada di atas langit ketujuh di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.” [QS. Thoha: 5]. [ Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 174. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 187].
48.  Begitu pula dinukil dari Musa bin Harun dari Qutaibah, ia berkata,
نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه
“Kami meyakini bahwa Rabb kami berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 174. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 187].
49.  Al Imam Al ‘Alam Abu Muhammad ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Ad Dainuri [hidup pada tahun 213-276 H]–penulis kitab yang terkenal yaitu Mukhtalaf Al Hadits- berkata,
قال وفي الإنجيل أن المسيح عليه السلام قال للحواريين إن أنتم غفرتم للناس فإن أباكم الذي في السماء يغفر لكم ظلمكم أنظروا إلى الطير فإنهن لا يزرعن ولا يحصدن وأبوكم الذي في السماء هو يرزقهن ومثل هذا في الشواهد كثير قلت قوله أبوكم كانت هذه الكلمة مستعملة في عبارة عيسى والحواريين وفي المائدة وقالت اليهود والنصارى نحن أبناء الله وأحباؤه
“Disebutkan dalam Injil bahwa Al Masih (‘Isa bin Maryam) ‘alaihis salam berkata kepada (murid-muridnya yang setia) Al Hawariyyun, “Jika kalian memaafkan orang lain, sungguh Rabb kalian yang berada di atas langit akan mengampuni kezholiman kalian. Lihatlah pada burung-burung, mereka tidak menanam makanan, Rabb mereka-lah yang berada di langit yang memberi rizki pada mereka.” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 196 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 216-217. Catatan: Istilah “abukum” (ayah kalian) untuk menyebut Allah yang digunakan di masa Isa dan sudah tidak berlaku lagi untuk umat Islam. Demikian dijelaskan oleh Adz Dzahabi].
50.  Qutaibah berkata dalam kitabnya Takwiil Mukhtalaf al-Hadiits (tahqiq Muhammad Muhyiiddin Al-Ashfar, cetakan keduan dari Al-Maktab Al-Islaami) :
“Seluruh umat –baik arab maupun non arab- mereka berkata bahwasanya Allah di langit selama mereka dibiarkan di atas fitroh mereka dan tidak dipindahkan dari fitroh mereka tersebut dengan pengajaran.”  [Takwiil Mukhtalafil Hadiits 395].
Adz Dzahabi setelah membawakan perkataan Qutaibah, beliau mengatakan, “Inilah Qutaibah sudah dikenal kebesarannya dalam ilmu dan kejujurannya, beliau menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) mengenai keyakinan Allah di atas langit”. [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 174. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 187].
51.  Muhammad bin Aslam Ath Thusi [meninggal dunia tahun 242 H].
قال الحاكم في ترجمته حدثنا يحيى العنبري حدثنا أحمد بن سلمة حدثنا محمد بن أسلم قال قال لي عبد الله بن طاهر بلغني أنك لا ترفع رأسك إلى السماء فقلت ولم وهل أرجو الخير إلا ممن هو في السماء
Al Hakim dalam biografinya mengatakan, Yahya Al ‘Anbari menceritakan pada kami, Ahmad bin Salamah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Aslam menceritakan kepada kami, beliau berkata, “’Abdullah bin Thohir berkata padaku, “Telah sampai padaku berita bahwa engkau enggan mengangkat kepalamu ke arah langit.” Muhammad bin Aslam menjawab, “Tidak demikian. Bukankah aku selalu mengharap kebaikan dari Rabb yang berada di atas langit?” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 191 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 208-209].
52.  ‘Abdul Wahhab Al Warroq [meninggal dunia tahun 250 H].
حدث عبد الوهاب بن عبد الحكيم الوراق بقول ابن عباس ما بين السماء السابعة إلى كرسيه سبعة آلاف نور وهو فوق ذلك  ثم قال عبد الوهاب من زعم أن الله ههنا فهو جهمي خبيث إن الله عزوجل فوق العرش وعلمه محيط بالدنيا والآخرة
‘Abdul Wahhab bin ‘Abdil Hakim Al Warroq menceritakan perkataan Ibnu ‘Abbas, “Di antara langit yang tujuh dan kursi-Nya terdapat 7000 cahaya. Sedangkan Allah berada di atas itu semua.” Kemudian ‘Abdul Wahhab berkata, “Barangsiapa yang mengklaim bahwa Allah itu di sini (di muka bumi ini), maka Dialah Jahmiyah yang begitu jelek. Allah ‘azza wa jalla  berada di atas ‘Arsy, sedangkan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu di dunia dan akhirat.”
Adz Dzahabi menceritakan, bahwa pernah ditanya pada Imam Ahmad bin Hambal, “Alim mana lagi yang jadi tempat bertanya setelah engkau?” Lantas Imam Ahmad menjawab, “Bertanyalah pada ‘Abdul Wahhab bin Al Warroq”. Beliau pun banyak memujinya. [Lihat Al ‘Uluw, hal. 193 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 212].
53.  Abu Muhammad Ad Darimi, penulis kitab Sunan Ad Darimi [hidup pada tahun 181-255 H].
Adz Dzahabi mengatakan,
وممن لا يتأول ويؤمن بالصفات وبالعلو في ذلك الوقت الحافظ أبو محمد عبد الله بن عبد الرحمن السمرقندي الدارمي وكتابه ينبيء بذلك
“Di antara ulama yang tidak mentakwil (memalingkan makna) dan benar-benar beriman dengan sifat Allah al ‘Uluw (yaitu Allah berada di ketinggian) saat ini adalah Al Hafizh Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman As Samarqindi Ad Darimi. Dalam kitab beliau menjelaskan hal ini.” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 195 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 214].
54.  Harb Al Karmaniy [meninggal dunia pada tahun 270-an H],
قال عبد الرحمن بن محمد الحنظلي الحافظ أخبرني حرب بن إسماعيل الكرماني فيما كتب إلي أن الجهمية أعداء الله وهم الذين يزعمون أن القرآن مخلوق وأن الله لم يكلم موسى ولا يرى في الآخرة ولا يعرف لله مكان وليس على عرش ولا كرسي وهم كفار فأحذرهم
‘Abdurrahman bin Muhammad Al Hanzholi Al Hafizh berkata, Harb bin Isma’il Al Karmani menceritakan padaku terhadap apa yang ia tulis padaku, “Sesungguhnya Jahmiyah benar-benar musuh Allah. Mereka mengklaim bahwa Al Qur’an itu makhluk. Allah tidak berbicara dengan Musa dan juga tidak dilihat di akhirat. Mereka sungguh tidak  tahu tempat Allah di mana, bukan di atas ‘Arsy, bukan pula di atas kursi-Nya. Mereka sungguh orang kafir. Waspadalah terhadap pemikiran sesat mereka.”
Adz Dzahabi mengatakan bahwa Harb Al Karmani adalah seorang ulama besar di daerah Karman di zamannya. Ia mengambil ilmu dari Ahmad dan Ishaq. [Lihat Al ‘Uluw, hal. 194 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 213].
55.  Al Muzanni [meninggal dunia pada tahun 264 H dalam usia 80-an tahun].
أنبأنا ابن سلامة عن أبي جعفر الطرطوسي عن يحيى بن منده حدثنا أحمد بن الفضل أنبأ الياطرقاني سمعت أبا عمر السلمي سمعت أبا حفص الرفاعي سمعت عمرو بن تميم المكي قال سمعت محمد بن إسماعيل الترمذي سمعت المزني يقول لا يصح لأحد توحيد حتى يعلم أن الله على العرش بصفاته  قلت مثل أي شيء قال سميع بصير عليم قدير أخرجها ابن منده في تاريخه
Ibnu Salamah telah menceritakan pada kami, dari Abu Ja’far Ath Thurthusi, dari Yahya bin Mandah, Ahmad bin Al Fadhl telah menceritakan kepada kami, Al Yathuqorni telah menceritakan, aku mendengar ‘Umar As Sulami, aku mendengar Abu Hafsh Ar Rifa’i, aku mendengar ‘Amr bin Tamim Al Makki, ia berkata, aku mendengar Muhammad bin Isma’il At Tirmidzi, aku mendengar Al Muzanni berkata,
لا يصح لأحد توحيد حتى يعلم أن الله على العرش بصفاته
“Ketauhidan seseorang tidaklah sah sampai ia mengetahui bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-nya dengan sifat-sifat-Nya.” Aku pun berkata, “Sifat-sifat yang dimaksud semisal apa?” Ia berkata, “Sifat mendengar, melihat, mengetahui dan berkuasa atas segala sesuatu.” Ibnu Mandah mengeluarkan riwayat ini dalam kitab tarikhnya. [Syaikh Al Albani mengatakan, “Dari jalur yang dibawakan oleh penulis (Adz Dzahabi) dengan sanadnya terdapat perowi yang tidak aku kenal semisal ‘Amr bin Tamim Al Makki.” (Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 201)].
56.  Muhammad bin Yahya Adz Dzuhliy [meninggal dunia pada tahun 258 H].
قال الحاكم قرأت بخط أبي عمرو المستملي سئل محمد بن يحيى عن حديث عبد الله بن معاوية عن النبي ليعلم العبد أن الله معه حيث كان فقال يريد أن الله علمه محيط بكل ما كان والله على العرش
Al Hakim berkata, “Aku membacakan dengan tulisan pada Abu ‘Amr Al Mustahli, Muhammad bin Yahya ditanya mengenai hadits ‘Abdullah bin Mu’awiyah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ليعلم العبد أن الله معه حيث كان
“Supaya hamba mengetahui bahwa Allah bersama dirinya di mana saja ia berada.”
Lantas Adz Dzuhliy mengatakan,
أن الله علمه محيط بكل ما كان والله على العرش
“Ketahuilah ilmu Allah itu meliputi segala sesuatu, namun Allah tetap di atas ‘Arsy-Nya.” [Syaikh Al Albani mengatakan, “Riwayat ini dibawakan oleh penulis dari Muhammad bin Nu’aim, aku sendiri tidak mengenalnya.”  (Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 202)].
57.  Muhammad bin Isma’il Al Bukhari [hidup dari tahun 194-256 H].
قال الإمام أبو عبد الله محمد بن إسماعيل في آخر الجامع الصحيح في كتاب الرد على الجهمية باب قوله تعالى وكان عرشه على الماء قال أبو العالية استوى إلى السماء إرتفع  وقال مجاهد في استوى علا على العرش  وقالت زينب أم المؤمنين رضي الله عنها زوجني الله من فوق سبع سموات
Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il Al Bukhari berkata dalam akhir Al Jaami’ Ash Shohih dalam kitab bantahan kepada Jahmiyah, beliau membawakan Bab firman Allah Ta’ala,
وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
“Dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air.” (QS. Hud : 7).
Abul ‘Aliyah mengatakan bahwa maksud dari ‘istiwa’ di atas langit’ adalah naik. Mujahid mengatakan bahwa istiwa’ adalah menetap tinggi di atas ‘Arsy. Zainab Ummul Mukminin mengatakan, “Allah yang berada di atas langit ketujuh yang telah menikahkanku.” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 186 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 202].
58.  Abu Zur’ah Ar Rozi [meninggal tahun 264 H].
قال أبو إسماعيل الأنصاري مصنف ذم الكلام وأهله أنبا أبو يعقوب القراب أنبأنا جدي سمعت أبا الفضل إسحاق حدثني محمد ابن إبراهيم الأصبهاني سمعت أبا زرعة الرازي وسئل عن تفسير الرحمن على العرش استوى فغضب وقال تفسيره كما تقرأ  هو على عرشه وعلمه في كل مكان من قال غير هذا فعليه لعنة الله
Abu Isma’il Al Anshori –penulis Dzammul Kalam wa Ahlih-, Abu Ya’qub Al Qurob menceritakan, kakekku menceritakan pada kami, aku mendengar Abul Fadhl Ishaq, Muhammad bin Ibrohim Al Ash-bahani telah menceritakan padaku, aku mendengar Abu Zur’ah Ar Rozi ditanya mengenai tafsir firman Allah,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah yang menetap tinggi di atas ‘Arsy .” (QS. Thoha : 5). Beliau lantas marah. Kemudian beliau pun berkata, “Tafsirnya sebagaimana yang engkau baca. Allah di atas ‘Arsy-Nya sedangkan ilmu Allah yang berada di mana-mana. Siapa yang mengatakan selain ini, maka dialah yang akan mendapat laknat Allah.” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 187-188 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 203].
59.  Ahmad bin Abul Khoir telah menceritakan kepada kami, dari Yahya bin Yunus, Abu Tholib menceritakan pada kami, Abu Ishaq Al Barmaki telah menceritakan pada kami, ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz telah menceritakan pada kami, ia berkata bahwa ‘Abdurrahman bin Abu Hatim telah menceritakan pada kami, bahwa dia bertanya pada ayahnya dan Abu Zur’ah mengenai aqidah Ahlus Sunnah dalam ushuluddin dan apa yang dipahami oleh keduanya mengenai perkataan para ulama di berbagai negeri dan apa saja keyakinan mereka.
Abu Hatim dan Abu Zur’ah berkata,
“Yang kami ketahui bahwa ulama di seluruh negeri di Hijaz, ‘Iraq, Mesir, Syam, Yaman; mereka semua meyakini bahwa Allah Tabaroka wa Ta’ala berada di atas ‘Arsy-nya, terpisah dari makhluk-Nya sebagaimana yang Allah sifati pada diri-Nya sendiri dan tanpa kita ketahui hakikatnya. Sedangkan ilmu Allah meliputi segala sesuatu.” [ Lihat Al ‘Uluw, hal. 188 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 204].
60.  Abu Hatim Ar Rozi [meninggal dunia tahun 277 H].
قال الحافظ أبو القاسم الطبري وجدت في كتاب أبي حاتم محمد بن إدريس بن المنذر الحنظلي مما سمع منه يقول مذهبنا وإختيارنا إتباع رسول الله وأصحابه والتابعين من بعدهم والتمسك بمذاهب أهل الأثر مثل الشافعي وأحمد وإسحاق وأبي عبيد رحمهم الله تعالى ولزوم الكتاب والسنة ونعتقد أن الله عزوجل على عرشه بائن من خلقه ليس كمثله شيء وهو السميع البصير
Al Hafizh Abul Qosim Ath Thobari mengatakan bahwa beliau mendapati dalam kitab Abu Hatim Muhammad bin Idris bin Al Mundzir Al Hanzholi, perkataan yang didengar darinya, Abu Hatim mengatakan,
“Pilihan kami adalah mengikuti Rasulullah, para sahabat, para tabi’in dan yang setelahnya. Kami pun berpegang dengan madzhab Ahlus Sunnah semacam Asy Syafi’i, Ahmad , Ishaq, Abu ‘Abdillah rahimahumullah. Kami pun konsekuen dengan Al Kitab dan As Sunnah. Kami meyakini bahwa Allah ‘azza wa jalla menetap tinggi di atas ‘Arsy, terpisah dari makhluk-Nya. Tidak ada yang semisal dengan-Nya, Dialah (Allah) yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Lantas Abu Hatim Ar Rozi menyebutkan perkataan,
وعلامة أهل البدع الوقيعة في أهل الأثر وعلامة الجهمية أن يسموا أهل السنة مشبهة
“Di antara tanda ahlul bid’ah adalah berbagai tuduhan keliru yang mereka sematkan pada Ahlus Sunnah. Tanda Jahmiyah adalah mereka menyebut Ahlus Sunnah dengan musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk).” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 189-190 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 206-207].
61.  Yahya bin Mu’adz Ar Rozi [meninggal dunia tahun 258 H].
قال أبو إسماعيل الأنصاري في الفاروق بإسناد إلى محمد بن محمود سمعت يحيى بن معاذ يقول إن الله على العرش بائن من خلقه أحاط بكل شيء علما لا يشذ عن هذه المقالة إلا جهمي يمزج الله بخلقه
Abu Isma’il Al Anshori berkata dalam Al Faruq dengan sanad sampai ke Muhammad bin Mahmud, aku mendengar Yahya bin Mu’adz berkata, “Sesungguhnya Allah di atas ‘Arsy, terpisah dari makhluk-Nya. Namun ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Tidak ada yang memiliki perkataan nyleneh selain Jahmiyah. Jahmiyah meyakini bahwa Allah bercampur dengan makhluk-Nya.” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 190 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 207-208].
62.  Imam ‘Utsman bin Sa’id Ad-Darimi [meninggal tahun 280 H] berkata :
قد اتفقت الكلمة من المسلمين أن الله فوق عرشه فوق سماواتة
“Sungguh kaum muslimin telah bersepakat terhadap satu kalimat bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, di atas langit-langit-Nya”.  [Al-Arba’iin fii Shifaati Rabbil-‘Aalamiin oleh Adz-Dzahabiy, tahqiq ‘Abdul-Qaadir Athaa, hal. 43 no. 17; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 1/1413].
63.  Imam ‘Utsman bin Sa’id ad-Darimi berkata:  “Hadits ini (tentang hadits nuzul) sangat pahit bagi kelompok Jahmiyah dan mematahkan faham mereka bahwa Allah tidak di atas arsy tetapi di bumi sebagaimana Dia juga di langit. Lantas bagaimanakah Allah turun ke bumi kalau memang Dia sendiri sudah di atas bumi? Sungguh lafazh hadits ini membantah faham mereka dan mematahkan argumen mereka”. [Naqdhu Utsman bin Sa’id ‘ala Al-Mirrisi Al-Jahmi Al-Anid hal. 285].
64.  Imam ‘Utsman ad-Darimi berkata: “Dalam hadits ini (tentang budak jariyah) terdapat dalil bahwa seorang apabila tidak mengetahui kalau Allah itu di atas langit bukan di bumi maka dia bukan seorang mukmin. Apakah anda tidak tahu bahwa Nabi menjadikan tanda keimanannya adalah pengetahuannya bahwa Allah di atas langit?!! Dan dalam pertanyaan Nabi ‘Di mana Allah?’ terdapat bantahan ucapan sebagian kalangan yang mengatakan bahwa Allah berada di setiap tempat, tidak disifati dengan ‘di mana?’, sebab sesuatu yang ada di mana-mana tidak mungkin disifati ‘dimana?’. Seandainya Allah ada dimana-mana sebagaimana anggapan para penyimpang, tentu Nabi akan mengingkari jawabannya.”. [Ar-Radd ala Jahmiyyah hal. 46-47].
65.  Imam Utsman ad-Darimi berkata:  “Dan telah sepakat perkataan kaum muslimin dan orang-orang kafir bahwasanya Allah berada di langit, dan mereka telah menjelaskan Allah dengan hal itu (yaitu bahwasanya Allah berada di atas langit -pent) kecuali Bisyr Al-Marrisi yang sesat dan para sahabatnya. Bahkan anak-anak yang belum dewasa merekapun mengetahui hal ini, jika seorang anak kecil tersusahkan dengan sesuatu perkara maka ia mengangkat kedua tangannya ke Robb-Nya berdoa kepadaNya di langit, dan tidak mengarahkan tangannya ke arah selain langit. Maka setiap orang lebih menetahui tentang Allah dan dimana Allah daripada Jahmiyah.” [Rod Ad-Darimi Utsmaan bin Sa’iid  alaa Bisyr Al-Mariisi Al-’Aniid Hal 25].
66.  Abu Ja’far Ibnu Abi Syaibah, Ulama Hadits di Negeri Kufah [meninggal tahun 297 H].
Al Hafizh Abu Ja’far Muhammad bin ‘Utsman bin Muhammad bin Abi Syaibah Al ‘Abasi, muhaddits Kufah di masanya, di mana beliau telah menulis tentang masalah ‘Arsy dalam seribu kitab, beliau berkata,
ذكروا أن الجهمية يقولون ليس بين الله وبين خلقه حجاب وأنكروا العرش وأن يكون الله فوقه وقالوا إنه في كل مكان ففسرت العلماء وهومعكم يعني علمه ثم تواترت الأخبار أن الله تعالى خلق العرش فاستوى عليه فهو فوق العرش متخلصا من خلقه بائنا منهم
Jahmiyah berkata bahwa antara Allah dan makhluk-Nya sama sekali tidak ada pembatas. Jahmiyah mengingkari ‘Arsy dan mengingkari keberadaan Allah di atas ‘Arsy. Jahmiyah katakan bahwa Allah berada di setiap tempat. Padahal para ulama menafsirkan ayat (وهومعكم), Allah bersama kalian, yang dimaksud adalah dengan ilmu Allah. Kemudian juga telah ada berbagai berita mutawatir (yang melalui jalan yang amat banyak) bahwa Allah menciptakan ‘Arsy, lalu beristiwa’ (menetap tinggi) di atasnya. Allah benar-benar di atas  ‘Arsy, namun Allah terpisah atau tidak menyatu dengan makhluk-Nya. [Lihat Al ‘Uluw, hal. 220 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 220-221].
67.  Zakariyaa As-Saaji (wafat tahun 307 H).
Beliau berkata :
القول في السنة التي رأيت عليها أصحابنا أهل الحديث الذين لقيناهم أن الله تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء”.
“Perkataan tentang sunnah yang aku lihat merupakan perkataan para sahabat kami –dari kalangan Ahlul Hadits yang kami jumpai- bahwasanya Allah ta’aala di atas ‘arsyNya di langit, Ia dekat dengan makhluknya sesuai dengan yang dikehendakiNya.”
(Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1203 no 482).
Adz-Dzahabi berkata : As-Saji adalah syaikh dan hafizhnya kota Al-Bashroh dan Abul Hasan Al-Asy’ari mengambil ilmu hadits dan aqidah Ahlus Sunnah darinya (Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1203 dan Ijtimaa’ Al-Juyuusy Al-Islaamiyah li Ibnil Qoyyim hal 185).
68.  Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (223 H-311 H).
Beliau berkata dalam kitabnya At-Tauhiid :
“Bab : Penyebutan penjelasan bahwasanya Allah Azza wa Jalla di langit:
Sebagaimana Allah kabarkan kepada kita dalam Al-Qur’an dan melalui lisan NabiNya –’alaihis salaam- dan sebagaimana hal ini dipahami pada fitroh kaum muslimin, dari kalangan para ulama mereka dan orang-orang jahilnya mereka, orang-orang merdeka dan budak-budak mereka, para lelaki dan para wanita, orang-orang dewasa dan anak-anak kecil mereka. Seluruh orang yang berdoa kepada Allah jalla wa ‘alaa hanyalah mengangkat kepalanya ke langit dan menjulurkan kedua tangannya kepada Allah, ke arah atas dan bukan kearah bawah” [At-Tauhiid 1/254].
69.  Berkata Muhammad bin Ishaq ibnu Khuzaimah: “Barangsiapa yang tidak mengatakan bahwa Allah Azza wa Jalla di atas ‘Arsy-Nya, tinggi di atas tujuh lapis langit, maka dia kafir kepada Rabb-nya; halal darahnya, diminta taubat kalau mau bertaubat; kalau tidak mau bertaubat, maka dipenggal lehernya, dibuang jasadnya ke tempat-tempat pembuangan sampah agar tidak mengganggu kaum muslimin dan para mu’ahad dengan busuknya bau bangkai mereka. Hartanya menjadi fa’i (rampasan perang untuk baitul maal). Tidak boleh mewarisinya seorang pun dari kaum muslimin, karena seorang muslim tidak mewarisi dari seorang kafir sebagaimana ucapan Nabi yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid :
“Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim”. (HR. Bukhari Muslim). [Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 47].
70.  Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Ath Thahawirahimahullah [wafat tahun 321 H].
Beliau berkata:  “Allah tidak membutuhkan ‘Arsy dan apa yang ada dibawahnya. Allah menguasai segala sesuatu dan apa yang ada diatasnya. Dan Dia tidak memberi kemampuan kepada makhluk-Nya untuk mengetahui segala sesuatu.” Beliau menjelaskan bahwa Allah menciptakan ‘Arsy dan bersemayam di atasnya, bukanlah karena Allah membutuhkan ‘Arsy tetapi Allah memiliki hikmah tersendiri tentang hal itu. Bahkan sebaliknya, sekalian makhluk termasuk ‘Arsy bergantung kepada Allah Jalla wa ‘Ala.” [Lihat Imam al-Qadhi ‘Ali bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdil ‘Izz ad-Dimasyqi dalam Syarh ‘Aqidah at-Thahâwiyah, (hal. 372)].
71.  Imam Abul Hasan Al-’Asy’ari rahimahullah [lahir tahun 260 H dan wafat pada tahun 324 H].
Beliau berkata dalam kitabnya Risaalah ila Ahli Ats-Tsagr:
Ijmak kesembilan :
Dan mereka (para salaf) berkonsensus (ijmak) … bahwasanya Allah ta’aala di atas langit, diatas arsyNya bukan di bumi. Hal ini telah ditunjukan oleh firman Allah,
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu (QS Al-Mulk : 16).
Dan Allah berfirman
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (QS Faathir : 10).
Dan Allah berfirman
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى‏
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa di atas Arasy.” (QS. Thâhâ;5).
Dan bukanlah istiwaa’nya di atas arsy maknanya istiilaa’ (menguasai) sebagaimana yang dikatakan oleh qodariah (Mu’tazilah-pent), karena Allah Azza wa Jalla selalu menguasai segala sesuatu. Dan Allah mengetahui yang tersembunyi dan yang lebih samar dari yang tersembunyi, tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi yang tersembunyi bagi Allah, hingga seakan-akan Allah senantiasa hadir bersama segala sesuatu. Hal ini telah ditunjukan oleh Allah Azza wa Jalla dengan firmanNya,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
Dia bersama kamu dimana saja kamu berada (QS Al-Hadiid : 4).
Para ahlul ilmi menafsirkan hal ini dengan ta’wil yaitu bahwasanya ilmu Allah meliputi mereka di mana saja mereka berada” [Risaalah ilaa Ahli Ats-Tsagr 231-234].
72.  Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy malah bersaksi bahwa ciri ahlussunnah adalah sebagai berikut:  “Berkata Ahlussunnah dan Ashhab al-Hadits: “Dia bukan jisim, tidak menyerupai apapun, Dia ada di atas Arsy seperti yang Dia kabarkan (Thaha: 5). Kita tidak melancangi Allah dalam ucapan, tetapi kita katakan: istawa tanpa kaif. Dia adalah Nur (pemberi cahaya) sebagaimana firmann-Nya (an-Nur: 35), Dia memiliki wajah sebagaimana firman-Nya (al-Rahman: 27), Dia memiliki Yadain (dua tangan) sebagaimana firman-Nya (Shad: 75), dia memiliki dua ‘ain (mata) sebagaimana firmanNya (al-Qamar: 14), Dia akan datang pada hari kiamat Dia dan para malaikat-Nya sebagaiman firman-Nya (al-Fajr: 22), dia turun ke langit terendah sebagaimana dalam hadits. Mereka tidak mengatakan apapun kecuali apa yang mereka dapatkan dalam al-Qur`an atau yang datang keterangannya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.” [Al Maqalat: 136].
73.  Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkomentar tentang ‘aqidah Jahmiyyah yang satu ini dengan perkataannya :
وقد قال قائلون من المعتزلة والجهمية والحرورية : إن معنى استوى إستولى وملك وقهر، وأنه تعالى في كل مكان، وجحدوا أن يكون على عرشه، كما قال أهل الحق، وذهبوا في الإستواء إلى القدرة، فلو كان كما قالوا كان لا فرق بين العرش وبين الأرض السابعة لأنه قادر على كل شيء، والأرض شيء، فالله قادر عليها وعلى الحشوش.
وكذا لو كان مستويا على العرش بمعنى الإستيلاء، لجاز أن يقال : هو مستو على الأشياء كلها ولم يجز عند أحد من المسلمين أن يقول : إن الله مستو على الأخلية والحشوش، فبطل أن يكون الإستواء [على العرش] : الإستيلاء.
“Dan telah berkata orang-orang dari kalangan Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah (Khawarij) : ‘Sesungguhnya makna istiwaa’ adalah menguasai (istilaa’), memiliki, dan mengalahkan. Allah ta’ala berada di setiap tempat’. Mereka mengingkari keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul-Haq (Ahlus-Sunnah). Mereka (Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah) memalingkan (mena’wilkan) makna istiwaa’ kepada kekuasaan/kemampuan (al-qudrah). Jika saja hal itu seperti yang mereka katakan, maka tidak akan ada bedanya antara ‘Arsy dan bumi yang tujuh, karena Allah berkuasa atas segala sesuatu. Bumi adalah sesuatu, dimana Allah berkuasa atasnya dan atas rerumputan.
Begitu juga apabila istiwaa’ di atas ‘Arsy itu bermakna menguasai (istilaa’), maka akan berkonsekuensi untuk membolehkan perkataan : ‘Allah ber-istiwaa’ di atas segala sesuatu’. Namun tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang membolehkan untuk berkata : ‘Sesungguhnya Allah ber-istiwaa’ di tanah-tanah kosong dan rerumputan’. Oleh karena itu, terbuktilah kebathilan perkataan bahwa makna istiwaa’ (di atas ‘Arsy) adalah istilaa’ (menguasai)” [selengkapnya, silakan lihat Al-Ibaanah, hal. 34-37 – melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabiy oleh Al-Albaaniy, hal. 239; Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 1/1401 H].
74.  Al Imam Abul Hasan Al-Asy’ari berkata dalam Al-Ibanah fi Ushul Diyanah hal. 69-76 : “Dan kita melihat seluruh kaum muslimin apabila mereka berdoa, mereka mengangkat tangannya ke arah langit, karena memang Allah tinggi di atas arsy dan arsy di atas langit. Seandainya Allah tidak berada di atas arsy, tentu mereka tidak akan mengangkat tangannya ke arah arsy.”
75.  Al-Qaadhiy Abu Bakr Al-Baqillaniy (beliau adalah seorang ulama madzhab Asy’ariyyah generasi awal yang terkemuka dan banyak dipuji, wafat pada tahun 403 H di Baghdad).
Beliau berkata dalam kitabnya Al-Ibaanah :
“Jika dikatakan : Apakah kalian mengatakan bahwa Allah berada dimana-mana?, dikatakan : Kita berlindung kepada Allah (dari perkataan ini-pent). Akan tetapi Allah beristiwa di atas ‘arsy-Nya sebagaimana Allah kabarkan dalam kitabNya “ArRahman  di atas ‘arsy beristiwaa”, dan Allah berfirman “Kepada-Nyalah naik perkatan-perkataan yang baik”, dan Allah berfirman “Apakah kalian merasa aman dari Allah yang berada di atas?”
Beliau berkata, “Kalau seandainya Allah di mana-mana maka Allah akan berada di perut manusia, di mulutnya, …”
[Sebagaimana dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-’Uluw 2/1298 (Mukhtsor Al-’Uluw 258)].
76.  Al-Qaadhiy Abu Bakr Al-Baqillaniy berkata :
Bab : Apabila ada seseorang yang bertanya : “Dimanakah Allah ?”. Dikatakan kepadanya : “Pertanyaan ‘dimana’ adalah pertanyaan yang menyangkut tempat, dan Dia tidak boleh dilingkupi oleh satu tempat. Tidak pula satu tempat bisa meliputi-Nya. Namun, kita hanya boleh mengatakan (atas pertanyaan itu) : ‘Dia berada di atas ‘Arsy-Nya’, dimana hal itu tidak berkonsekuensi makna wujud badan (jism) yang bersentuhan dan berbatasan/berdekatan. Maha Tinggi (Allah) dari atas semua itu dengan setinggi-tinggi dan seagung-agung-Nya !” [At-Tamhiid, hal. 300-301].
77.  Ibnu Kullab [241 H] sendiri mengatakan:  “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, yang dia itu adalah orang pilihan Allah, dan yang terbaik, paling alim secara keseluruhan membolehkan untuk bertanya dengan “Dimana Allah”, dan mengatakannya serta membenarkan ucapan orang yang mengatakan: Di langit, dan pada saat itu bersaksi bahwa orang itu mukmin. Sedangkan Jahm ibn Abi Shafwan dan pengikutnya tidak membolehkan pertanyaan “Dimana“, mereka melarang mengucapkan itu. seandainya salah tentu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam lebih berhak untuk mengingkari. Seharusnya beliau mengatakan kepada jariyah itu: jangan berkata begitu nanti kamu mengesankan bahwa Allah itu dibatasi, atau di satu tempat tidak di tempat lain, tetapi ucapkanlah ada di setiap tempat, karena itu yang benar, bukan yang tadi kamu katakan. Tidak, sekali kali tidak. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah membolehkannya dengan segenap pengetahuan beliau tentang kandungannya, dan dia adalah ucapan yang paling benar, sesuatu yang wajib adanya iman bagi pengucapnya, karena itu rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menyaksikan keimanannya saat ia mengucapkannya. Lalu bagaimana kebenaran ada pada selainnya, sementara al-Qur`an mengatakan itu dan bersaksi untuk itu.” [Dar` at-Ta’arud: 6/193-194; Mawqif ibn taimiah minal asyairah, Dr. Abdurrahman al-Mahmud: 1/443].
78.  Al-Imam Ibnu Baththoh (304 H-387 H).
Beliau berkata dalam kitabnya Al-Ibaanah ‘an Syarii’at Al-Firqoh An-Naajiyah :
“باب الإيمان بأن الله على عرشه بائن من خلقه وعلمه محيط بخلقه”
أجمع المسلمون من الصحابة والتابعين وجميع أهل العلم من المؤمنين أن الله تبارك وتعالى على عرشه فوق سمواته بائن من خلقه وعلمه محيط بجميع خلقه
ولا يأبى ذلك ولا ينكره إلا من انتحل مذاهب الحلولية وهم قوم زاغت قلوبهم واستهوتهم الشياطين فمرقوا من الدين وقالوا : إن الله ذاته لا يخلو منه مكان”. انتهى
“Bab Beriman Bahwa Allah di atas ‘Arsy, ‘Arsy adalah makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi Makhluk-Nya”
Kaum muslimin dari para sahabat, tabiin dan seluruh ulama kaum mukminin telah bersepakat bahwa Allah -tabaraka wa ta’ala- di atas ‘arsy-Nya di atas langit-langit-Nya yang mana ‘arsy merupakan Makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi seluruh makhluknya. Tidaklah menolak dan mengingkari hal ini kecuali penganut aliran hululiyah, mereka itu adalah kaum yang hatinya telah melenceng dan setan telah menarik mereka sehingga mereka keluar dari agama, mereka mengatakan, “Sesungguhnya Dzat Allah Berada dimana-mana.” (al-Ibaanah 3/136).
Adz Dzahabi berkata, “Ibnu Baththoh termasuk Pembesarnya Para Imam, Seorang yang Zuhud, Faqih, pengikut sunnah.” (Al-’uluw li Adz-Dzahabi 2/1284).
79.   Imam Abu Umar At-Tholamanki Al Andalusi (339-429H).
Beliau berkata di dalam kitabnya: Al Wushul ila Ma’rifatil Ushul,
” أجمع المسلمون من أهل السنة على أن معنى قوله : “وهو معكم أينما كنتم” . ونحو ذلك من القرآن : أنه علمه ، وأن الله تعالى فوق السموات بذاتـه مستو على عرشه كيف شاء”
وقال: قال أهل السنة في قوله :الرحمن على العرش استوى:إن الاستواء من الله على عرشه على الحقيقة لا على المجاز.”.
“Kaum Muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah telah bersepakat (ijmak) bahwa makna firman-Nya: “Dan Dia bersama kalian di manapun kalian berada” (QS. Al Hadid 4) dan ayat-ayat Al Qur’an yg semisal itu adalah Ilmu-Nya. Allah ta’ala di atas langit dengan Dzat-Nya, ber-istiwa di atas ‘arsy-Nya sesuai kehendak-Nya”
80.  Imam Abu Umar At-Tholamanki Al Andalusi juga mengatakan, “Ahlussunah berkata tentang firman Allah, “Tuhan yang Maha Pemurah, yang ber-istiwa di atas ‘Arsy” (QS Thoohaa : 5), bahwasanya ber-istiwa-nya Allah di atas Arsy adalah benar adanya bukan majaz.” (Sebagaimana dinukil oleh Ad-Dzahabi dalam Al-’Uluw 2/1315).
Imam Adz Dzahabi berkata, “At-Tholamanki termasuk pembesar para Huffazh dan  para imam dari para qurroo` di Andalusia” (Al-’Uluw 2/1315).
81.  Syaikhul Islam Abu Utsman Ash Shabuni (372 – 449H).
Beliau berkata, “Para Ahli Hadits berkeyakinan dan bersaksi bahwa Allah di atas langit yang tujuh di atas ‘arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Al Kitab(Al Qur’an)….
Para ulama dan pemuka umat dari generasi salaf tidak berselisih bahwasanya Allah di atas ‘arsy-Nya dan ‘arsy-Nya berada di atas langit-Nya.” (Aqidatus Salaf wa Ashaabil hadiits hal 44).
Adz Dzahabi berkata, “Syaikhul Islam Ash Shabuni adalah seorang yang faqih, ahli hadits, dan sufi pemberi wejangan. Beliau adalah Syaikhnya kota Naisaburi di zamannya” (Al-’Uluw 2/1317).
82.  Imam Abu Nashr As-Sijzi  (meninggal pada tahun 444 H).
Berkata Adz-Dzahabi (Siyar A’laam An-Nubalaa’ 17/656) : Berkata Abu Nashr As-Sijzi di kitab al-Ibaanah, “Adapun para imam kita seperti Sufyan Ats Tsauri, Malik, Sufyan Ibnu Uyainah, Hammaad bin Salamah, Hammaad bin Zaid, Abdullah bin Mubaarak, Fudhoil Ibnu ‘Iyyaadh, Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Ibrahim al Handzoli bersepakat (ijmak) bahwa Allah -Yang Maha Suci- dengan Dzat-Nya berada di atas ‘Arsy dan ilmu-Nya meliputi setiap ruang, dan Dia di atas  ‘arsy kelak akan dilihat pada hari kiamat oleh pandangan, Dia akan turun ke langit dunia, Dia murka dan ridho dan berbicara sesuai dengan kehendak-Nya”. Adz-Dzahabi juga menukil perkataan ini dalam Al-’Uluw 2/1321.
83.  Imam Abu Nu’aim -Pengarang Kitab al Hilyah-(336-430 H).
Beliau berkata di kitabnya al I’tiqod :
“Jalan kami adalah jalannya para salaf yaitu pengikut al Kitab dan As Sunnah serta ijmak ummat. Di antara hal-hal yang menjadi keyakinan mereka adalah Allah senantiasa  Maha Sempurna dengan seluruh sifat-Nya yang qodiimah…
dan mereka menyatakan dan menetapkan hadits-hadits yang telah valid (yang menyebutkan) tentang ‘arsy dan istiwa`nya Allah diatasnya tanpa melakukan takyif (membagaimanakan) dan tamtsil (memisalkan Allah dengan makhluk), Allah terpisah dengan makhluk-Nya dan para makhluk terpisah dari-Nya, Allah tidak menempati mereka serta tidak bercampur dengan mereka dan Dia ber-istiwa di atas ‘arsy-Nya di langit bukan di bumi.” (Al-’Uluw karya Adz-Dzahabi 2/1305 atau mukhtashor Al-’Uluw 261).
Adz Dzahabi berkata, “Beliau (Imam Abu Nu’aim) telah menukil adanya ijmak tentang perkataan ini -dan segala puji hanya bagi Allah-, beliau adalah hafizhnya orang-orang ‘ajam (non Arab) di zamannya tanpa ada perselisihan. Beliau telah mengumpulkan antara ilmu riwayat dan ilmu diroyah. Ibnu Asaakir al Haafizh menyebutkan bahwa dia termasuk sahabat dari Abu Hasan al Asy’ari.” (Al-’Uluw 2/1306).
84.  Imam Ibnu Abdil Barr (meninggal tahun 463H).
Beliau  berkata: “Dalam hadits ini (tentang hadits nuzul) terdapat dalil bahwasanya Allah berada di atas langit, di atas arsy sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Hadits ini termasuk salah satu hujjah Ahli Sunnah terhadap kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyah yang berpendapat bahwa Allah ada dimana-mana, bukan di atas arsy”. [At-Tamhid 3/338. Lihat pula Kitab At-Tauhid hal. 126 oleh Imam Ibnu Khuzaimah, Dar’u Ta’arudzil Aqli wa Naqli 7/7 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah].
85.  Imam Ibnu Abdil Barr juga berkata :
“Dan kaum muslimin di setiap masa masih senantiasa mengangkat wajah mereka dan tangan mereka ke langit jika mereka ditimpa kesempitan, berharap agar Allah menghilangkan kesempitan tersebut.” [Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/47].
86.  Al-Imam Juwaini (ayahnya Imam Al-Haramain rahimahumallah, penulis kitab Al-Jauharah, tahun 438 H) berkata:
استوى على عرشه فبان من خلفه لا يخفى عليه منهم خافية علمه بهم محيط وبصره بهم نافذ وهو في ذاته وصفاته لا يشبهه شيء من مخلوقاته ولا يمثل بشيء من جوارح مبتدعاته . هي صفات لائقة بجلاله وعظمته لا تتخيل كيفيتها الظنون ولا ترها في الدنيا العيون . بل نؤمن بحقائقها وثبوتها واتصاف الرب تعالى بها وننفي عنها تأويل المتأولين وتعطيل الجاحدين وتمثيل المشبهين تبارك الله أحسن الخالقين فبهذا الرب نؤمن وإياه نعبد وله نصلي ونسجد . فمن قصد بعبادته إلى إله ليست له هذه الصفات فإنما يعبد غير الله وليس معبوده ذلك بإله
“Dia (Allah) bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dengan makhluk-Nya, tidak ada yang tersembunyi dari-Nya, ilmu-Nya melingkupi mereka, dan penglihatan terhadap mereka terbukti. Dalam Dzat dan sifat-Nya, Dia tidak menyerupai makhluk-Nya. Tidak juga dimisalkan dengan sesuatu dari anggota-anggota badan makhluk-Nya. Ini adalah sifat-sifat yang sesuai dengan keagungan dan keluhuran-Nya. Bagaimananya tidak bisa dibayangkan, dan tidak ada mata yang dapat melihat-Nya di dunia. Tapi kita harus meyakini kebenaran dan ketetapannya, serta menyifati Tuhan dengan sifat-sifat tersebut. Kita (harus) menafikkan penakwilan dari orang-orang muta’awwiliin, penolakan dari orang-orang yang ingkar, dan permisalan dari orang-orang musyabbihiin. Maha Suci Allah dan Ia adalah sebaik-baik pencipta. Kepada Tuhan ini kita beriman, menyembah, shalat, dan bersujud. Oleh karena itu, orang yang sengaja beribadah kepada Tuhan yang tidak memiliki sifat-sifat ini, maka sesungguhnya ia menyembah kepada selain Allah, karena yang disembahnya itu bukanlah Tuhan.” [Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 56-57].
87.  Imam ‘Abdul Malik al Juwaini [Imam Al-Haramain, tahun 478 H].
Pernah dikisahkan bahwa suatu hari Imam ‘Abdul Malik al Juwaini mengatakan dalam majelisnya, “Allah tidak dimana-mana, sekarang Ia berada di mana pun Dia berada.” Lantas bangkitlah seorang yang bernama Abu Ja’far al Hamdhani seraya berkata, “Wahai ustadz! Kabarkanlah kepada kami tentang ketinggian Allah yang sudah mengakar di hati kami ini, bagaimana kami menghilangkannya?” Abdul Malik al Juwaini berteriak dan menampar kepalanya seraya mengatakan, “Al Hamdhani telah membuat diriku bingung, al Hamdhani telah membuat diriku bingung.” [Lihat Siyar A’lamin Nubala 18/475, al ‘Uluw hal. 276-277 oleh Adz Dzahabi].
Akhirnya Imam Juwaini pun mendapat hidayah Allah dan kembali ke jalan yang benar. Semoga saudara-saudara kita yang tersesat bisa mengikuti jejak beliau. Amiin.
88.  Imam Isma’il bin Muhammad at Taimi berkata, “Kaum muslimin bersepakat bahwa Allah tinggi sebagaimana ditegaskan dalam Al Qur’an.” [Ijtima’ Juyusy Islamiyyah hal. 182].
89.  Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni berkata:
قَالَ بَعْضُ أَكَابِرِ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ : فِي الْقُرْآنِ ” أَلْفُ دَلِيلٍ ” أَوْ أَزْيَدُ : تَدُلُّ عَلَى أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى عَالٍ عَلَى الْخَلْقِ وَأَنَّهُ فَوْقَ عِبَادِهِ . وَقَالَ غَيْرُهُ : فِيهِ ” ثَلَاثُمِائَةِ ” دَلِيلٍ تَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ
“Sebagian ulama besar Syafi’iyah mengatakan bahwa dalam Al Qur’an ada 1000 dalil atau lebih yang menunjukkan Allah itu berada di ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya. Dan sebagian mereka lagi mengatakan ada 300 dalil yang menunjukkan hal ini.” [Lihat Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 5/121, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H. Lihat pula Bayanu Talbisil Jahmiyah, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 1/555, Mathba’atul Hukumah, cetakan pertama, tahun 1392 H].
90.  Imam Al-Baihaqi (wafat 458 H).
Beliau berkata dalam kitabnya Al-I’tiqood wal Hidaayah ilaa Sabiil Ar-Rosyaad : “Dan maksud Allah adalah Allah di atas langit, sebagaimana firman-Nya, “Dan sungguh aku akan menyalib kalian di pangkal korma”, yaitu di atas pangkal korma. Dan Allah berfirman “Berjalanlah kalian di bumi”, maksudnya adalah di atas muka bumi. Dan setiap yang di atas maka dia adalah samaa’. Dan ‘Arsy adalah yang tertinggi dari benda-benda yang di atas. Maka makna ayat –wallahu a’lam- adalah “Apakah kalian merasa aman dari Dzat yang berada di atas ‘arsy?” [Al-I’tiqood wal Hidaayah ilaa Sabiil Ar-Rosyaad, tahqiq : Abul ‘Ainain, Daar Al-Fadhiilah, cetakan pertama  bab Al-Qoul fi Al-Istiwaaa’ (hal 116)].
91.  Syaikh Abdul Qadir Jailani [470 H].
Beliau berkata: “Allah, menggenggam, membuka tangan, mencintai, senang, tidak suka, membenci, ridha, marah, dan murka. Dia memiliki dua tangan, dan kedua tangan itu kanan, dan bahwa hati para hamba berada di antara dua jari dari jemari-Nya. Dia berada di atas, beristiwa’ di atas Arsy, meliputi segala kerajaan-Nya. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah menyaksikan keIslâman budak wanita ketika beliau bertanya kepadanya: “Di mana Allah?” Maka dia menunjuk ke atas. Dan bahwasanya Arsy Allah itu di atas air. Allah beristiwa’ di atasnya, sebelumnya (di bawahnya) adalah 70.000 hijab dari cahaya dan kegelapan. Dan bahwa arsy itu memiliki batasan yang diketahui oleh Allah.”
Beliau juga berkata:  “Seyogyanya menyebutkan sifat istiwa’ tanpa ta`wil. Bahwasanya ia adalah istiwa’nya Dzat di atas Arsy, bukan bermakna duduk dan bersentuhan sebagaimana yang dikatakan oleh kelompok Mujassimah Karromiyah; juga dalam arti ketinggian (kedudukan) seperti yang dikatakan oleh Asy’arîyyah, juga bukan beristila’ (menguasai) sebagaimana ucapan Mu’tazilah.”
“Allah juga turun ke langit terendah dengan cara yang Dia kehendaki, bukan bermakna turun rahmat-Nya atau pahala-Nya sebagaimana yang dikatakan oleh Mu’tazilah dan Asya’irah.” [‘Abdul Qadir al-Jailani, al-Ghunyah Li Thalibi `l-Haq, 56-57].
92.  Al Imam Ibnu Qudamah [wafat pada tahun 629 H].
Beliau mengatakan, “Amma ba’du: Sesungguhnya Allah mensifati diri-Nya bahwa Dia tinggi diatas langit, demikian juga Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam –penutup para Nabi- mensifati Allah dengan ketinggian juga, dan hal itu disepakati oleh seluruh para ulama dari kalangan shahabat yang bertaqwa dan para imam yang mendalam ilmunya, hadits-hadits tentangnya juga mutawatir sehingga mencapai derajat yakin, demikian pula Allah menyatukan semua hati kaum muslimin dan menjadikannya sebagai fithrah semua makhluk.” [Itsbat Shifatul Uluw hal. 12].
93.  Al Imam Al Qurthubi [Abu ‘Abdillah, Muhammad bin Ahmad bin Farh al-Anshariy al-Khazrajiy al-Andalusiy al-Qurthubiy. Wafat tahun 671 H].
Beliau berkata dalam tafsirnya, “Tiada satupun dari kalangan Salafush Shalih yang ingkar bahwa Allah istiwa di atas ‘Arsy secara hakiki.” [Tafsir Qurthubi 7219].
94.  Al Imam an-Nawawi rahimahullah [al-Imam al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mury bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i . Lahir tahun 631 H, wafat tahun 676 H].
Beliau mengatakan dalam kitabnya “Juz Fi Dzikri I’tiqod Salaf fil Huruf wal Ashwath” :  “Kami mengimani bahwa Allah berada di atas Arsy-Nya, sebagaimana telah diberitakan di dalam Kitab-Nya yang mulia. Kami tidak mengatakan bahwa Dia berada di setiap tempat. Akan tetapi Dia berada di atas langit, sedangkan ilmu-Nya di setiap tempat. Tidak ada satu tempat pun yang lutput dari ilmu-Nya. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), ‘Apakah kalian merasa aman dari hukuman Tuhan yang berada di atas langit?’ (Qs. al-Mulk: 16)…” [ad-Dala’il al-Wafiyah fi Tahqiq ‘Aqidati an-Nawawi a Salafiyah am Khalafiyah, transkrip ceramah Syaikh Masyhur Hasan Salman, hal. 42-43].
Imam Nawawi juga menegaskan ketinggian Allah dalam kitabnya Thobaqot Fuqoha Syafi’iyyah 1/470 dan Roudhoh Tholibin 10/85, dan beliau juga menulis kitab Al-Ibanah karya Abul Hasan al-Asya’ari sebagaimana dalam Majmu Fatawa 3/224 yang di dalamnya terdapat ketegasan tentang ketinggian Allah.
95.  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu [wafat tahun 728 H].
Beliau berkata: “Dan termasuk dalam hal yang kami sebutkan dari iman kepada Allah,yaitu beriman kepada apa yang Allah beritakan dalam kitabNya dan dengan apa yang telah diriwayatkan dari RasulNya secara mutawatir serta disepakati oleh Salafus Sholih,bahwa Allah itu berada diatas langit diatas Arsy-Nya. Allah Maha Tinggi diatas mahlukNya dan Allah Subhanahu wa ta’ala bersama mereka dimana saja mereka berada dan Allah mengetahui apa yang mereka kerjakan. “ [Syarh Aqidah Al Wasithiyyah].
96.  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu juga berkata: “Masalah ini luas sekali, karena orang-orang yang menukil  ijma’ Ahlis Sunnah atau ijma’ Shahabat dan Tabi’in bahwa Allah di atas ‘Arsy, berpisah dari makhluk-Nya tidak bisa dihitung jumlahnya kecuali hanya Allah saja yang mampu…” [Bayanu Talbis Jahmiyyah 3/531].
97.  Al Imam Adz Dzahabi rahimahullah [Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz bin Abdullah adz-Dzahabi al-Fariqi. Tahun 673 H – 748 H].
Beliau berkata mengomentari hadits budak jariyah,
“Demikianlah kita melihat setiap orang yang ditanya: Dimana Allah? Niscaya dia akan menjawab dengan fitrahnya: Allah diatas langit. Dalam hadits ini terdapat dua masalah:
Pertama, disyariatkannya pertanyaan kepada seorang muslim: Dimana Allah?
Kedua, jawaban orang yang ditanya pertanyaan tersebut: Di atas langit. Barangsiapa yang mengingkari dua masalah ini, maka berarti dia mengingkari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Azhim, (Mukhtasar al ‘Uluw, Albani, hal. 81)].
98.  Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah [Imad ad-Dien, Abu al-Fida`, Isma’il bin ‘Umar bin Katsir ad-Dimasyqiy asy-Syafi’iy, seorang Imam, Hafizh dan juga sejarawan.Wafat tahun 774 H].
Beliau berkata dalam menafsirkan surat Al Hadiid: 4,
“…Dia bersama kamu…” ialah ilmu-Nya, pengawasan-Nya, penjagaan-Nya bersama kamu, sedang Dzat Allah di atas arsy di langit.” [Lihat Tafsir Qur`anil Azhim: 4/317].
99.  Al Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah [wafat 751 H].
Beliau juga berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya:  ‘Di mana Allah?’ Lalu dijawab oleh yang ditanya bahwa Allah berada di atas langit. Nabi pun kemudian ridha akan jawabannya dan mengetahui bahwa itulah hakekat iman kepada Allah dan beliau juga tidak mengingkari pertanyaan ini atasnya. Adapun kelompok Jahmiyyah, mereka menganggap bahwa pertanyaan ‘Dimana Allah?’ seperti halnya pertanyaan: Apa warnanya, apa rasanya, apa jenisnya dan apa asalnya dan lain sebagainnya dari pertanyaan yang mustahil dan batil!?”.  [I’lamul Muwaqqi’in (3/521)].
100.  Al-Hafizh Ibnu Abil Izzi al-Hanafi [wafat tahun 792 H].
Beliau mengatakan: “Dalam hadits Mi’raj ini terdapat dalil tentag ketinggian Allah ditinjau dari beberapa segi bagi orang yang menceramatinya”. [Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah 1/277].
101.  Al-Hafizh Ibnu Abil Izzi al-Hanafi juga mengatakan, “Dalil-dalil yang muhkam (yang begitu jelas) menunjukkan ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya. Dalil-dalil ini hampir mendekati 20 macam dalil”. [Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 2/437].
kesesatan kedua : ASWAJA mengakui adanya bid’ah hasanah dan mereka mengaku AHLU BID’AH HASANAH
para aswaja meyakini adanya bid’ah hasanah sebagaimana mereka mengakui bermadzab syafii dengan berdasarkan ucapan imam syafii di bawah ini
Harmalah bin Yahya meriwayatkan :
سمعت الإمام الشافعي – رحمه الله – يقول : ( البدعة بدعتان : بدعة محمود وبدعة مذمومة ، فما وافق السنة فهو محمود ، وما خالف السنة فهو مذموم )
”Aku mendengar Imam Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata : ’Bid’ah itu ada dua macam : (1) Bid’ah yang terpuji, dan (2) Bid’ah yang tercela. Apa-apa yang sesuai dengan Sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) terpuji. Sedangkan yang menyelisihi sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) tercela
[Hilyatul-Auliyaa’ oleh Abu Nu’aim 9/113, Daarul-Kutub Al-’Ilmiyyah, Cet. 1/1409 H]
perlu di ketahui : derajat ucapan beliau tidak di ketahui perlunya di koreksi tahqiq terdapat perawi majhul ” dhoif ” karena bertentangan dengan ucapan beliau.
Al-‘Allamah Abu Syammah Al-Maqdisi Asy-Syafi’iy (seorang pembesar ulama Syafi’iyyah) berkata :
فالواجب على العالم فيما يَرِدُ عليه من الوقائع وما يُسألُ عنهُ من الشرائعِ : الرجوعُ إلى ما دلَّ عليهِ كتابُ اللهِ المنزَّلُ، وما صحَّ عن نبيّه الصادق المُرْسَل، وما كان عليه أصحابهُ ومَن بعدَهم مِن الصدر الأول، فما وافق ذلك؛ أذِنَ فيه وأَمَرَ، وما خالفه؛ نهى عنه وزَجَرَ، فيكون بذلك قد آمَنَ واتَّبَعَ، ولا يستَحْسِنُ؛ فإنَّ (مَن استحسن فقد شَرَعَ).
“Maka wajib atas seorang ulama terhadap peristiwa yang terjadi dan pertanyaan yang disampaikan kepadanya tentang syari’at adalah kembali kepada Al-Qur’an, riwayat shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan atsar para shahabat serta orang-orang setelah mereka dalam abad pertama. Apa yang sesuai dengan rujukan-rujukan tersebut dia mengijinkan dan memerintahkan, dan apa yang tidak sesuai dengannya dia mencegah dan melarangnya. Maka dengan itu dia beriman dan mengikuti. Dan janganlah dia menyatakan baik menurut pendapatnya. Sebab : ‘Barangsiapa yang menganggap baik menurut pendapatnya (istihsan), maka sesungguhnya dia telah membuat syari’at” [Al-Ba’its ‘alaa Inkaaril-Bida’ wal-Hawadits oleh Abu Syaammah, hal. 50].
Sedangkan yang menyelisihi sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) tercela
ucapan beliau di atas entah mereka buang di singkirkan di ganti dengan lafadz penuh hawa nafsu kepada perubahan yang menyimpang.
secara singkat tentang bid’ah hasanah menurut sisi pandang Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah. Namun sebelumnya, perlu kiranya saya tuliskan sedikit dalil dan riwayat atau atsar yang menyinggung tentang tercelanya bid’ah dan bahayanya.
Allah ta’ala berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu” [QS. Al-Maaidah : 3].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ (مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ)
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus Allah kepada suatu umat sebelumku melainkan dari umatnya itu terdapat orang-orang yang menjadi pengikut (hawariyyun) dan shahabatnya yang mereka mengambil sunnahnya dan mentaati perintahnya. Kemudian setelah itu terjadi kebusukan/perselisihan dimana mereka mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan tangannya, maka ia seorang mukmin. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan lisannya maka ia seorang mukmin. Dan barangsiapa yang memerangi mereka dengan hatinya, ia juga seorang mukmin. Selain itu, maka tidak ada keimanan sebesar biji sawipun”  [HR. Muslim no. 50 dan Ahmad 1/458 no. 4379, 1/461 no. 4402].
Berkata Bakr bin Al-’Alaa’ :
فَقَالَ مُعَاذُ بْنِ جَبَلٍِ يَوْمًَا : إِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ فِتَنًا، يَكْثُرُ فِيْهَا الْمَالُ، وَيُفْتَحُ فِيْهَا الْقُرْانُ، حَتَّى يَأْخُذَهُ الْمُؤْمِنُ وَالْمُنَافِقُ، وَالرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ، وَالصَّغِيْرُ وَالْكَبِيْرُ، وَالْعَبْدُ وَالْحُرُّ، فَيُوْشِكُ قَائِلٌُ أَنْ يَقُوْلَ : مَا لِلنَّاسِ لاَ يَتَّبِعُوْنِي، وَقَدْ قَرَأْتُ الْقُرْانَ ؟ مَا هُمْ بِمُتَّبِعِيَّ حَتَّى أَبْتَدَعَ لَهُمْ غَيْرَهُ ! فَإِيَّكُمْ وَمَا ابْتُدِعَ، فَإِنَّ مَا ابْتُدِعَ ضَلاَلَةٌُ، وَأُحَذُِّرُكُمْ زَيْغَةَ الْحَكِيْمِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَقُوْلُ كَلِمَةَ الضَّلاَلَةِ عَلَى لِسَانِ الْحَكِيْمِ، وَقَدْ يَقُوْلُ الْمُنَافِقُ كَلِمَةَ الْحَقِّ.
Mu’adz bin Jabal berkata pada suatu hari : ”Sesungguhnya di belakang kalian nanti akan terdapat fitnah, dimana pada waktu itu harta berlimpah ruah dan Al-Qur’an dalam keadaan terbuka hingga semua orang baik mukmin, munafiq, laki-laki, perempuan, anak kecil, orang dewasa, hamba sahaya, atau orang merdeka pun membacanya. Pada saat itu akan ada seseorang yang berkata : ’Mengapa orang-orang itu tidak mengikutiku padahal aku telah membaca Al-Qur’an ? Mereka itu tidak akan mengikutiku hingga aku membuat-buat sesuatu bagi mereka dari selain Al-Qur’an !’. Maka hendaklah kamu hati-hati/waspada dari apa-apa yang dibuat-buat (oleh manusia), karena sesungguhnya apa-apa yang dibuat-buat (bid’ah) itu adalah kesesatan. Dan aku peringatkan kalian akan penyimpangan yang dilakukan oleh seorang hakim ! Karena seringkali syaithan itu mengatakan kalimat kesesatan melalui lisan seorang hakim, dan seringkali seorang munafiq itu berkata tentang kebenaran” [HR. Abu Dawud no. 4611; shahih – Shahih Sunan Abi Dawud 3/120].
عَنْ عَبْدِ اللهِ (بْنِ مَسْعُوْد) قَالَ : الْقَصْدُ فِي السُّنَّةِ خَيْرٌ مِنْ الاجْتِهَادِ فِي الْبِدْعَةِ
Dari ’Abdullah (bin Mas’ud) radliyallaahu ’anhu ia berkata : ”Sederhana dalam sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah” [Diriwayatkan oleh Ad-Darimi no. 223, Al-Laalikaiy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 14, 114, Al-Haakim 1/103, dan yang lainnya; sanad riwayat ini jayyid].
عَنِ ابْنِ الْعَبَاس – رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا – أَنَهُ قَالَ : مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ ، إِلّا أَحْدَثُوْا فِيْهِ بِدْعَةً ، وَأَمَاتُوْا فِيْهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَا الْبِدَعِ وَتَمُوْتُ السُّنَنُ.
Dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma bahwasannya ia berkata : Tidaklah datang kepada manusia satu tahun kecuali mereka membuat-buat bid’ah dan mematikan sunnah di dalamnya. Hingga hiduplah bid’ah dan matilah sunnah” [Al-Haitsami berkata dalamMajma’uz-Zawaaid, 1/188, Bab Fil-Bida’i wal-Ahwaa’ : ”Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir, dan rijalnya adalah terpercaya”. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Wadldlaah dalam Kitaabul-Bida’ hal. 39].
Mereka tidak pernah mengecualikan bid’ah dengan kata hasanah (baik), karena seluruh bid’ah menurut mereka adalah dlalalah(sesat). Barangsiapa yang mengklaim ada bid’ah yang tergolong hasanah, maka pada hakekatnya ia telah menuduh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menyampaikan semua risalah. Baik baginya untuk memperhatikanlah perkataan Ummul-Mukminin ’Aisyahradliyallaahu ’anhaa :
وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَمَ شَيْئًَا مِمَّا أَنْزَلَ اللهُ عَلَيْهِ، فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَيْهِ الْفِرْيَةًَ، واللهُ يَقُوْلُ : (يَا أَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَه)
“Dan barangsiapa yang menyangka Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallammenyembunyikan sesuatu dari apa-apa yang diturunkan Allah, sungguh ia telah membuat kedustaan yang sangat besar terhadap Allah. Padahal Allah telah berfirman : ”Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.”(QS. Al-Maidah : 67) [HR. Al-Bukhari no. 7380 dan Muslim no. 177].
Juga hendaknya ia memperhatikan perkataan ’Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma :
كُلُّ بِدْعَةٍِ ضَلاَلَةٌُ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةًَ
”Setiap bid’ah itu adalah sesat walaupun manusia memandangnya sebagai satu kebaikan” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikai dalam Syarh Ushulil-I’tiqad no. 205 dan Ibnu Baththah dalamAl-Ibaanah no. 205 dengan sanad shahih].
Jika kita kaitkan dengan perbuatan salafunash-shaalih di bawah, maka perkataan di atas akan lebih jelas maksudnya.
عن نافع أن رجلا عطس إلى جنب بن عمر فقال الحمد لله والسلام على رسول الله قال بن عمر وأنا أقول الحمد لله والسلام على رسول الله وليس هكذا علمنا رسول الله صلى الله عليه وسلم علمنا أن نقول الحمد لله على كل حال
Dari Nafi’ : Bahwasannya ada seseorang bersin di samping Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, lalu dia berkata : “Alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasulihi (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi Rasul-Nya)”. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Dan saya mengatakan,alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan tetapi tidak demikian Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami. Akan tetapi beliau mengajarikami untuk mengatakan : “Alhamdulillah ‘alaa kulli haal” (Alhamdulillah dalam segala kondisi) [HR. At-Tirmidzi no. 2738, Hakim  4/265-266, dan yang lainnya dengan sanad hasan].
Oleh karena itu, Al-Imam Malik rahimahullah – pemimpin ulama Madinah di jamannya – sangat mengingkari bid’ah hasanah. Ibnul-Majisyun mengatakan :
سمعت مالكا يقول : “من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة ، فقد زعم أن محمدا – صلى الله عليه وسلم- خان الرسالة ، لأن الله يقول :{اليوم أكملت لكم دينكم}، فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا”
”Aku mendengar Imam Malik berkata : ”Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu’alaihi wasallam mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”. Maka apa saja yang pada hari itu (yaitu hari dimana Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam beserta para shahabatnya masih hidup) bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama” [Al-I’tisham oleh Asy-Syathibi, 1/49].
Kembali pada pembahasan Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah. Kita tidak pernah berpandangan bahwa beliau menyelisihi pendahulunya dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in. Tidak pula ia menyelisihi gurunya, Al-Imam Malik bin Anas rahimahullahsebagaimana di atas. Beliau (Al-Imam Asy-Syafi’iy) pernah berkata :
مَن اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barangsiapa yang menganggap baik sesuatu (menurut pendapatnya), sesungguhnya ia telah membuat syari’at” [Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal. 374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya].
Asy-Syaukani menukil perkataan Ar-Ruyani ketika menjelaskan perkataan Asy-Syafi’iy di atas :
معناه أنه ينصب من جهة نفسه شرعًا غير الشرع
“Maknanya adalah orang yang menetapkan hukum syar’iy atas dirinya dan tidak berdasarkan dalil-dalil syar’iy” [Irsyaadul-Fuhuul, hal. 240].
Dalam Ar-Risalah, Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah mengatakan :
إِنَّمَا الاستحسانُ تلذُّنٌ
“Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu” [Ar-Risalah, hal. 507].
Dan juga dalam kitab Al-Umm (7/293-304) terdapat pasal yang indah berjudul : Pembatal Istihsaan/Menganggap Baik Menurut Akal (Ibthaalul-Istihsaan).