Monday, August 7, 2017

Pandangan Ignaz Goldziher Tentang Syiah

Gambar terkait

Pandangan Ignaz Goldziher Tentang Syiah
“. . . Paham Syi’ah ibarat tanah yang sangat subur untuk kemustahilan-kemustahilan, baik untuk merongrong maupun untuk benar-benar menghancurkan doktrin Islam tentang Allah.
“Bentuk keimanan Syi’ah memberikan kepada ‘Ali dan keturunannya sifat-sifat adimanusiawi. Dengan demikian mereka dimungkinkan berlaku sebagai wahana untuk sisa-sisa tradisi mitologis yang sudah merana itu. Dongeng tentang tokoh-tokoh yang manusiawi sekaligus Ilahi – yang hidup di dalam cerita-cerita tutur rakyak yang telah diislamkan, tetapi yang telah kehilangan pegangannya pada agama-agama tua mereka yang telah tumbang itu – dengan gampang bisa berlindung di tengah-tengah para tokoh keturunan ‘Ali, dan dengan penafsiran baru bisa terus bertahan hidup. Para anggota keluarga ‘Ali menerima sifat-sifat para tokoh mitologi ini, dan tanpa kesukaran sifat-sifat ini bisa disesuaikan dengan dunia ide-ide Syi’ah. Tidak banyak timbul tantangan jika tokoh-tokoh muktabar itu diangkat melambung di atas bumi duniawi, dan diberi pula daya kekuatan yang adimanusiawi.
“Sehubungan dengan ini, sejauh mana pandangan paham Syi’ah, bahkan yang moderat pun, sudah pernah kita kenal, yaitu bahwa substansi ‘Ali dan keluarganya yang gilang-gemilang itu telah terukir pada arasy Allah. Menurut sebuah dongeng, Hasan dan Husain memakai jimat yang berisi bulu dari sayap malaikat Jibril. Dalam suasana demikian, karenanya, ciri-ciri mitologis itu dengan mudah dapat menyatu pada tokoh-tokoh keluarga ’Ali. Misalnya, ’Ali menjadi dewa halilintar; ’Ali muncul di awan, dan menimbulkan halilintar dan petir; petir ialah tongkat wasiat yang diacungkannya. Sama seperti dalam mitologi Yunani, warna merah yang menyapu langit senja ialah darah Adonis yang dibunuh oleh babi hutan, maka pada dongeng Syi’ah itulah darah Husain yang terbunuh. Sebelum ia mati, cahaya merah senja itu belum pernah ada. Ahli ilmu falak Qazwini (m. 682/1283) bercerita tentang Bagraj, suatu bangsa di Turki, yang diperintah oleh dinasti yang berasal keturunan dari keluarga ’Ali, Yahya ibn Zaid. Mereka menyimpan sebuah kitab bersepuh emas. Pada sisi luar kitab ini tertera seuntai syair ratapan tentang kematian Zaid. Mereka memandang kitab ini dengan rasa keimanan yang khusyuk. Mereka menyebut Zaid sebagai ‘Raja bangsa-bangsa Arab’, ’Ali sebagai ‘Allah bangsa-bangsa Arab’. . . .
“Unsur-unsur Neoplatonisme dan Gnostikisme itulah khususnya yang oleh sekte Isma’ili telah dilapiskan di atas keimanan Islam, memungkinkan bagi beberapa bentuk Islam Syi’ah berfungsi sebagai perlindungan untuk pelestarian sisa-sisa agama penyembahan berhala dari zaman silam. Jika tokoh-tokoh dari keluarga suci itu dibawa naik ke dunia Ilahi, maka mereka pun dengan mudah bisa menyediakan substansi-substansi bagi dewa-dewa lama itu, tersembunyi di balik nomenklatur dengan nada keislaman.
“Dengan jalan demikianlah, di lembah-lembah Libanon, antara Tripoli dan Antokia, paganisme Siria kuno tetap hidup dalam bentuk seolah-olah Islam Syi’ah, yaitu pada sekte Nusairi. Dalam kultus mereka terhadap Imam Dua Belas konsepsi-konsepsi paganisme itu jelas sangant menonjol. Di daerah-daerah dimana sekte Syi’ah ini memainkan peranannya, penyembahan berhala dari masa silam itu masih hidup dengan segarnya tak lama sebelum penetrasi Islam dan juga Kristen, yang juga sangat lambat sebelum berhasil mendapatkan tempat pijakannya . . . . Dalam campuran yang dihasilkannya dari paganisme, gnostikisme, dan Islam itu, komponen keislam tak lebih dari sekadar memberikan suatu bentuk yang berbeda kepada sifat pemujaan yang paganistis itu, atau sekadar sebutan bagi ide-ide kepercayaan yang paganistis. Seperti dikatakan dalam doa mereka, ’Ali adalah ‘kekal di dalam sifat Ilahinya; dalam realitas batinnya ia adalah Allah kita, walaupu lahiriah ia adalah Imam kita’. . . .
“. . . Bahkan, pada taraf yang masih rendah pun hukum Islam diakui tidak lebih dari sekadar pengertian simbolis – seperti di kalangan Isma’ili yang, sambil lalu perlu dikemukakan, dihadapi dengan sikap bermusuhan oleh kaum Nusairi. Bagi yang sudah ahli seluruh Islam itu sendiri sama sekali telah menguap. Quran pun berada pada tempat yang lebih rendah dari kitab suci lainnya . . . .
“Penyamaran-penyamaran paganisme Asia ini hanya namanya saja Islam. Selama dalam masa perkembangannya, beberapa unsur Kristen juga masuk ke dalamnya, misalnya: penahbisan roti dan anggur, sejenis komuni, dan peringatan hari-hari raya yang lazim bagi agama Kristen. Sejarah agama sering menunjukkan bahwa sekte-sekte dengan keimanan yang merana seperti itu sangat mudah condong ke sinkretisme.”

Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law , terj. Hersri Setiawan,
Pengantar Teologi dan Hukum Islam (Jakarta: INIS, 1991), 181, 220-223.