Pandangan Ignaz Goldziher Tentang Syiah
“. . . Paham Syi’ah ibarat tanah yang
sangat subur untuk kemustahilan-kemustahilan, baik untuk merongrong maupun
untuk benar-benar menghancurkan doktrin Islam tentang Allah.
“Bentuk keimanan Syi’ah memberikan kepada
‘Ali dan keturunannya sifat-sifat adimanusiawi. Dengan demikian mereka
dimungkinkan berlaku sebagai wahana untuk sisa-sisa tradisi mitologis yang
sudah merana itu. Dongeng tentang tokoh-tokoh yang manusiawi sekaligus Ilahi –
yang hidup di dalam cerita-cerita tutur rakyak yang telah diislamkan, tetapi
yang telah kehilangan pegangannya pada agama-agama tua mereka yang telah
tumbang itu – dengan gampang bisa berlindung di tengah-tengah para tokoh
keturunan ‘Ali, dan dengan penafsiran baru bisa terus bertahan hidup. Para
anggota keluarga ‘Ali menerima sifat-sifat para tokoh mitologi ini, dan tanpa
kesukaran sifat-sifat ini bisa disesuaikan dengan dunia ide-ide Syi’ah. Tidak
banyak timbul tantangan jika tokoh-tokoh muktabar itu diangkat melambung di
atas bumi duniawi, dan diberi pula daya kekuatan yang adimanusiawi.
“Sehubungan dengan ini, sejauh mana
pandangan paham Syi’ah, bahkan yang moderat pun, sudah pernah kita kenal, yaitu
bahwa substansi ‘Ali dan keluarganya yang gilang-gemilang itu telah terukir
pada arasy Allah. Menurut sebuah dongeng, Hasan dan Husain memakai jimat yang
berisi bulu dari sayap malaikat Jibril. Dalam suasana demikian, karenanya,
ciri-ciri mitologis itu dengan mudah dapat menyatu pada tokoh-tokoh keluarga
’Ali. Misalnya, ’Ali menjadi dewa halilintar; ’Ali muncul di awan, dan
menimbulkan halilintar dan petir; petir ialah tongkat wasiat yang
diacungkannya. Sama seperti dalam mitologi Yunani, warna merah yang menyapu
langit senja ialah darah Adonis yang dibunuh oleh babi hutan, maka pada dongeng
Syi’ah itulah darah Husain yang terbunuh. Sebelum ia mati, cahaya merah senja
itu belum pernah ada. Ahli ilmu falak Qazwini (m. 682/1283) bercerita tentang
Bagraj, suatu bangsa di Turki, yang diperintah oleh dinasti yang berasal
keturunan dari keluarga ’Ali, Yahya ibn Zaid. Mereka menyimpan sebuah kitab
bersepuh emas. Pada sisi luar kitab ini tertera seuntai syair ratapan tentang
kematian Zaid. Mereka memandang kitab ini dengan rasa keimanan yang khusyuk.
Mereka menyebut Zaid sebagai ‘Raja bangsa-bangsa Arab’, ’Ali sebagai ‘Allah bangsa-bangsa
Arab’. . . .
“Unsur-unsur Neoplatonisme dan
Gnostikisme itulah khususnya yang oleh sekte Isma’ili telah dilapiskan di atas
keimanan Islam, memungkinkan bagi beberapa bentuk Islam Syi’ah berfungsi
sebagai perlindungan untuk pelestarian sisa-sisa agama penyembahan berhala dari
zaman silam. Jika tokoh-tokoh dari keluarga suci itu dibawa naik ke dunia
Ilahi, maka mereka pun dengan mudah bisa menyediakan substansi-substansi bagi
dewa-dewa lama itu, tersembunyi di balik nomenklatur dengan nada keislaman.
“Dengan jalan demikianlah, di
lembah-lembah Libanon, antara Tripoli dan Antokia, paganisme Siria kuno tetap
hidup dalam bentuk seolah-olah Islam Syi’ah, yaitu pada sekte Nusairi. Dalam
kultus mereka terhadap Imam Dua Belas konsepsi-konsepsi paganisme itu jelas
sangant menonjol. Di daerah-daerah dimana sekte Syi’ah ini memainkan
peranannya, penyembahan berhala dari masa silam itu masih hidup dengan segarnya
tak lama sebelum penetrasi Islam dan juga Kristen, yang juga sangat lambat
sebelum berhasil mendapatkan tempat pijakannya . . . . Dalam campuran yang
dihasilkannya dari paganisme, gnostikisme, dan Islam itu, komponen keislam tak
lebih dari sekadar memberikan suatu bentuk yang berbeda kepada sifat pemujaan
yang paganistis itu, atau sekadar sebutan bagi ide-ide kepercayaan yang
paganistis. Seperti dikatakan dalam doa mereka, ’Ali adalah ‘kekal di dalam
sifat Ilahinya; dalam realitas batinnya ia adalah Allah kita, walaupu lahiriah
ia adalah Imam kita’. . . .
“. . . Bahkan, pada taraf yang masih
rendah pun hukum Islam diakui tidak lebih dari sekadar pengertian simbolis –
seperti di kalangan Isma’ili yang, sambil lalu perlu dikemukakan, dihadapi
dengan sikap bermusuhan oleh kaum Nusairi. Bagi yang sudah ahli seluruh Islam
itu sendiri sama sekali telah menguap. Quran pun berada pada tempat yang lebih
rendah dari kitab suci lainnya . . . .
“Penyamaran-penyamaran paganisme Asia ini
hanya namanya saja Islam. Selama dalam masa perkembangannya, beberapa unsur
Kristen juga masuk ke dalamnya, misalnya: penahbisan roti dan anggur, sejenis
komuni, dan peringatan hari-hari raya yang lazim bagi agama Kristen. Sejarah
agama sering menunjukkan bahwa sekte-sekte dengan keimanan yang merana seperti
itu sangat mudah condong ke sinkretisme.”
Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic
Theology and Law , terj. Hersri Setiawan,
Pengantar Teologi dan Hukum Islam
(Jakarta: INIS, 1991), 181, 220-223.