Jama'ah Tabligh Termasuk Ahlul Bid'ah
Dari Firqah Shufiyyah. Keanehan-Keanehan Kitab Tablighi Nishab (Fadhailul
‘Amal). Kebencian Dan Kedengkian Mereka Yang Sangat Dalam Kepada Imam-Imam
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim,
Muhammad Bin Abdul Wahhab Dan Lain-Lain.
Kitab Fadha`il Al-A’mal dalam Timbangan
As-Sunnah
Penulis : Al-Ustadz Abu Karimah Askari
bin Jamal Al-Bugisi
Bagi yang mengenal Jamaah Tabligh,
kelompok yang ‘berdakwah’ keliling dari masjid ke masjid, besar kemungkinan
akan mengetahui Kitab Fadha`il Al-A’mal, buku wajib yang dipegangi dan
dijadikan rujukan kelompok tersebut dalam ‘berdakwah’. Bagi para ‘pendakwah’
mereka ataupun orang-orang yang ‘berlatih dakwah’ bersamanya, kedudukan kitab
itu di sisi mereka setara dengan Kitab Shahih (Al-Bukhari Muslim).
Membicarakan Fadha`il Al-A’mal, kitab
yang ditulis Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi, tentu tidak bisa dilepaskan dari
pembahasan sebuah kelompok shufiyyah yang para pengikutnya kini semakin
menjamur di berbagai negara, termasuk Indonesia. Kelompok inilah yang dikenal
dengan nama Jamaah Tabligh. Adanya hubungan yang erat di antara keduanya karena
Jamaah Tabligh menjadikan kitab ini sebagai salah satu sandaran dalam
mengamalkan rutinitas harian mereka, baik dibaca di beberapa waktu sehabis
shalat fardhu atau menjadikannya sebagai ta’lim akhir malam sebelum tidur,
tergantung kesempatan yang diberikan masjid setempat. Atau tergantung waktu
yang memungkinkan bagi mereka untuk melakukannya secara rutin. Hal ini
menunjukkan demikian pentingnya peranan kitab ini dalam membentuk fikrah dan
akidah seorang tablighi (pengikut Jamaah Tabligh –red). Sebab, apa yang mereka
dengarkan tentunya akan diupayakan untuk diwujudkan menjadi suatu amalan dalam
berislam.
Sehingga kami memandang perlu untuk
menjelaskan kepada umat tentang kedudukan kitab ini berdasarkan timbangan
As-Sunnah dan memperingatkan mereka dari berbagai kesalahan dan penyimpangan
yang terdapat dalam pembahasannya.
Secara umum, kitab ini banyak memuat
hadits-hadits Rasulullah n yang lemah, palsu, bahkan tidak ada asalnya, dan
banyak penukilan perkataan kaum shufi yang jika seseorang meyakini hal
tersebut, dapat menjerumuskannya kepada kesesatan dan penyimpangan. Wal ‘iyadzu
billah.
Asy-Syaikh Hamud bin Abdullah
At-Tuwaijiri rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Qaulul Baligh Fit Tahdzir
Min Jama’ah At-Tabligh (hal. 11-12):
“Kitab terpenting bagi orang yang menjadi
tablighiyyin adalah kitab Tablighi Nishab (Fadha`il Al-A’mal), yang ditulis
salah seorang pemimpin mereka bernama Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi. Dan
mereka memiliki perhatian demikian besar terhadap kitab ini dan mengagungkannya
sebagaimana Ahlus Sunnah mengagungkan kitab Shahih (Al-Bukhari dan Muslim), dan
kitab-kitab hadits lainnya. Para tablighiyyin telah menjadikan kitab kecil ini
sebagai sandaran dan referensi baik bagi orang India, maupun bangsa ‘ajam (non
Arab) lainnya yang mengikuti ajaran mereka. Dalam kitab ini termuat berbagai
kesyirikan, bid’ah khurafat, serta banyak sekali hadits-hadits palsu dan lemah.
Maka hakekatnya, ini merupakan kitab jahat, sesat, dan fitnah. Kaum
tablighiyyin telah menjadikannya sebagai referensi untuk menyebarkan bid’ah dan
kesesatannya, melariskan serta menghiasinya di hadapan kaum muslimin awam,
sehingga mereka lebih sesat jalannya dari hewan ternak.”[1]
Adapun secara rinci, maka pembahasan kami
bagi menjadi beberapa sub bahasan:
Pertama: Al-Kandahlawi dan Takhrij
Haditsnya
Sebagaimana yang telah kita sebutkan
bahwa kitab ini banyak memuat hadits-hadits lemah, mungkar, palsu, bahkan tidak
ada asalnya. Terkadang sebagian riwayat tersebut diketahui penulisnya. Namun
sangat disayangkan, takhrij hadits itu tidak diterjemahkan ke dalam bahasanya,
di mana kitab ini ditulis dalam bahasa Urdu (salah satu bahasa resmi di Asia
Selatan, red.), kemudian dibaca mayoritas kaum muslimin yang tidak mengerti
bahasa Arab. Mereka pun menganggap baik kitab ini dan menyangka bahwa semuanya
boleh dijadi-kan sebagai hujjah. Selanjutnya mereka membaca lalu menjadikannya
sebagai keyakinan. Maka terjerumuslah mereka dalam penyimpangan dan kesesatan.
Demikian pula ketika kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan
Malaysia, tidak diterjemahkan takhrij haditsnya. Ini menyebabkan para tablighi
dan simpatisannya membaca kitab tersebut tanpa membedakan antara hadits-hadits
yang bisa diterima dan yang tertolak. Berikut ini akan kami sebutkan beberapa
contoh tentang apa yang kami sebutkan:
1. Disebutkan dalam kitab Fadha`il
Al-A’mal, bab Fadhilah Adz-Dzikr[2] hadits dari ‘Umar bin Al-Khaththab
radhiyallahu’anhu berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
لَمَّا أَذْنَبَ آدَمُ الذَّنْبَ الَّذِي
أَذْنَبَهُ، رَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَ: أَسْأَلُكَ بِحَقِّ
مُحَمَّدٍ. فَقَالَ: تَبَارَكَ اسْمُكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي رَفَعْتُ رَأْسِي إِلَى
عَرْشِكَ فَإِذَا فِيْهِ مَكْتُوبٌ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ
اللهِ، فَعَلِمْتُ أَنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ أَعْظَمَ عِنْدَكَ قَدْرًا عَمَّنْ
جَعَلْتَ اسْمَهُ مَعَ اسْمِكَ. فَأَوْحَى اللهُ إِلَيْهِ: يَا آدَمُ إِنَّهُ
آخِرُ النَّبِيِّيْنَ مِنْ ذُرِّيَّتِكَ وَلَوْ لاَ هُوَ مَا خَلَقْتُكَ(3)
Ketika Adam telah berbuat dosa, ia pun
mengangkat kepalanya ke atas langit kemudian berdoa: “Aku meminta kepada-Mu
berkat wasilah Muhammad, ampunilah dosaku.” Maka Allah berfirman kepadanya:
“Siapakah Muhammad (yang engkau maksud)?” Maka Adam menjawab: “Maha berkah
nama-Mu ketika engkau menciptakan aku, akupun mengangkat kepalaku melihat
Arsy-Mu, dan ternyata di situ tertulis: Laa ilaaha illallah Muhammadun
Rasulullah. Maka akupun mengetahui bahwa tidak seorang pun yang lebih agung
kedudukannya di sisi-Mu dari orang yang telah engkau jadikan namanya bersama
dengan nama-Mu.” Maka Allah berfirman kepadanya: “Wahai Adam, sesungguhnya dia
adalah Nabi terakhir dari keturunanmu, kalaulah bukan karena dia, niscaya Aku
tidak akan menciptakanmu.”
Hadits ini diterjemahkan begitu saja
tanpa menerjemahkan takhrij hadits yang disebutkan Al-Kandahlawi. Dia berkata
setelah itu: “Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Ash-Shaghir, Al-Hakim, Abu
Nu’aim, Al-Baihaqi yang keduanya dalam kitab Ad-Dala`il, Ibnu ‘Asakir dalam
Ad-Durr, dan dalam Majma’ Az-Zawa`id (disebutkan): Diriwayatkan Ath-Thabrani
dalam Al-Ausath dan Ash-Shaghir, dan dalam (sanad)-nya ada yang tidak aku kenal.
Aku berkata: Dan dikuatkan yang lainnya berupa hadits yang masyhur: “Kalau
bukan karena engkau, aku tidak menciptakan jagad raya ini”, Al-Qari berkata
dalam Al-Maudhu’at: “Hadits ini palsu.”
Cobalah pembaca perhatikan. Hadits ini
pada hakekatnya telah diketahui oleh penulisnya sebagai hadits yang tidak bisa
dijadikan sebagai hujjah, bahkan tidak dikuatkan dengan adanya jalan (sanad)
lain. Namun ucapan ini tidak diterjemahkan, sehingga para pembaca kitab ini
menyangka bahwa hadits ini termasuk hadits yang bisa diamalkan. Rincian
kedudukan hadits ini bisa dilihat dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah
(1/25) dan kitab At-Tawassul mulai hal. 105, dst. Kedua kitab tersebut karya
Al-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, di mana beliau
menghukumi hadits tersebut sebagai hadits palsu.
2. Disebutkan pula dalam kitab tersebut,
pada bab yang sama[4], hadits dari Anas radhiyallahu’anhu bahwa Abu Bakar
Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu menemui Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam
keadaan bersedih. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bertanya kepadanya,
“Mengapa aku melihatmu bersedih?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, semalam aku
berada di sisi anak pamanku, si fulan yang telah meninggal dunia.” Maka Rasul
bertanya, “Apakah engkau mentalqinnya dengan Laa ilaaha illallah?” Ia menjawab,
“Telah kulakukan, wahai Rasulullah.” Beliau bertanya, “Ia mengucapkannya?” Ia
menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Telah wajib baginya surga.” Abu Bakar
bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika orang yang masih hidup
mengucapkan kalimat itu?” Beliau bersabda, “Kalimat itu merontokkan dosa-dosa
mereka. Kalimat itu merontokkan dosa-dosa mereka.”
Hadits ini pun disebutkan tanpa
diterjemahkan takhrijnya, padahal Al-Kandahlawi mengomentari hadits tersebut
dengan mengatakan: “Diriwayatkan Abu Ya’la, dalam sanadnya terdapat Za`idah bin
Abi Raqqad, ditsiqahkan (dianggap terpercaya, red.) oleh Al-Qawariri, namun
dilemahkan Al-Imam Al-Bukhari dan yang lainnya[5]. Demikian yang terdapat dalam
Majma’ Az-Zawa`id[6].”
Perkataan ini tertulis dalam bahasa Arab,
sehingga tidak pernah dibaca para pembacanya.
3. Disebutkan pula pada bab yang sama[7]
hadits Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu’anhu, dia berkata: Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa mengucapkan:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ
لَهُ أَحَدًا صَمَدًا لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا
أَحَدٌ
Maka Allah akan menuliskan baginya
2.000.000 kebaikan.”
Hadits ini diterjemahkan pula maknanya
tanpa menerjemahkan komentarnya yang mengatakan: “Diriwayatkan At-Thabrani,
demikian dalam At-Targhib dan Majma’ Az-Zawa`id. Dalam sanadnya terdapat
seorang rawi bernama Faid Abul Warqa, ia ditinggalkan haditsnya (matruk).”
Dan hal yang seperti ini sangat banyak
kita dapatkan dalam kitab ini.
Kedua: Hadits Lemah, Palsu dan bahkan
Tidak Ada Asalnya
Di samping poin pertama yang kami
sebutkan, di dalam kitab ini pun banyak sekali termuat hadits-hadits yang
lemah, palsu, bahkan tidak ada asalnya dalam kitab-kitab sunnah, tanpa ada
komentar sedikit pun. Padahal Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah
melarang umatnya untuk meriwayatkan satu ucapan kemudian menisbahkannya kepada
beliau tanpa ada penelitian tentang kebenaran riwayat tersebut, atau menukilkan
pendapat para ulama yang dijadikan sebagai sandaran dalam menghukumi suatu
riwayat. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berdusta atas namaku dengan
sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dalam neraka.” (HR.
Al-Bukhari, Muslim dan lainnya, diriwayatkan lebih dari seratus shahabat)
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ
بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang dianggap berdusta
dengan mengatakan segala yang didengarnya.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah
Shahih-nya)
Disebutkan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi
Al-Wadi’i rahimahullah ketika beliau menyebutkan beberapa hal yang menjadi
kritikan atas Jamaah Tabligh: “Membacakan hadits-hadits yang lemah, palsu, dan
tidak ada asalnya. Padahal Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
‘Hindarilah banyak memberitakan hadits dariku. Maka barangsiapa yang
menisbahkan kepadaku, maka hendaklah mengucapkan kebenaran atau kejujuran.
Barangsiapa mengada-ada sesuatu atasku yang aku tidak ucapkan, maka hendaklah
dia persiapkan tempat duduknya dalam neraka’. (HR. Al-Imam Ahmad, dari hadits
Abu Qatadah)[8]
Dan berikut ini akan kami sebutkan pula
beberapa contoh tentang hal ini:
1. Disebutkan dalam bab Fadhilah Shalat,
hal. 288, hadits yang berbunyi:
“Shalat akan membuat mulut setan menjadi
hitam dan akan mematahkan punggungnya.” (Jami’us Shaghir)
Dalam kitab Al-Jami’ush Shagir berbunyi
demikian, yang artinya: “Shalat itu menghitamkan wajah setan, dan sedekah itu
akan mematahkan punggungnya.” Hadits ini merupakan hadits yang sangat lemah.
Karena dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama Abdullah bin Muhammad bin
Wahb Al-Hafizh. Ad-Daruquthni berkata tentangnya: “Matruk (ditinggalkan
haditsnya).” Dan ada perawi lain bernama Zafir bin Sulaiman. Adz-Dzahabi
berkata tentang dia: “Lemah sekali.” Dan hadits ini sangat dilemahkan oleh
Al-Albani dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shagir, no. 3560.
2. Disebutkan dalam bab Fadhilah Adz-Dzikr
hal. 432, ia berkata: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah bersabda: “Berpikir sesaat lebih
baik daripada beribadah enam puluh tahun.”
Padahal hadits ini adalah hadits palsu,
sebagaimana telah diterangkan Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah,
1/173. Adapun riwayat yang shahih, dengan lafadz:
لَقِيَامُ رَجُلٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ سَاعَةً
أَفْضَلُ مِنْ عِبَادَةٍ سِتِّيْنَ سَنَةً
“Berdirinya seseorang di jalan Allah
sesaat lebih afdhal dari beribadah selama enam puluh tahun.” Hadits ini
dishahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 4/1901.
3. Demikian pula yang disebutkan dalam
bab Fadhilah Al-Qur`an, hal. 644, bahwa barangsiapa mengkhatamkan Al-Qur`an di
siang hari, maka malaikat akan mendoakannya hingga malam hari, dan barangsiapa
yang menamatkannya di awal malam, maka para malaikat mendoakan-nya hingga pagi
hari.
Padahal hadits inipun lemah, sebagaimana
telah diterangkan Al-’Allamah Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah,
10/4591.
Ketiga: Membawa Pemahaman Kaum Shufiyyah
Kitab ini banyak sekali menukil afkar
(pemikiran) kaum Shufiyyah yang dapat menjerumuskan kaum muslimin ke dalam
berbagai penyimpangan yakni kerusakan aqidah, sikap ekstrim dalam beribadah,
dan semisalnya. Oleh karenanya, sangatlah wajar jika kitab ini menjadi buku
pegangan seorang tablighi, dikarenakan Jamaah Tabligh merupakan kelompok yang
dibangun di atas empat tarekat shufiyyah: Naqsyabandiyyah, Jusytiyyah,
Sahrawardiyyah, dan Qadiriyyah.[9]
Berikut ini, akan kami nukilkan pula
beberapa perkataan yang dinukilkan dari kaum Shufiyyah:
Disebutkan pada bab Fadhilah Shalat, hal.
316-317, Al-Kandahlawi berkata: Asy-Syaikh Abdul Wahid rah. a[10], seorang sufi
yang masyhur, mengatakan bahwa pada suatu hari beliau didatangi rasa kantuk
yang luar biasa, sehingga beliau tertidur sebelum menyelesaikan dzikir malam
itu. Di dalam mimpinya beliau melihat seorang gadis berpakaian sutera hijau
yang amat cantik sementara seluruh tubuh hingga kakinya sibuk berdzikir. Gadis
tersebut bertanya kepada beliau, adakah keinginan beliau untuk memilikinya? Dia
mencintai beliau, kemudian dibacanya beberapa bait syair. Setelah bangun dari
tidurnya, beliau bersumpah bahwa beliau tidak akan tidur pada malam hari.
Diriwayatkan bahwa selama 40 tahun beliau shalat shubuh dengan wudhu shalat
‘Isya.
Dalam kisah ini, ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan:
Pertama: Bahwa Allah Ta’ala telah
melarang kita untuk berbuat ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beribadah, dan
memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya sesuai dengan kemampuan.
Sehingga, agama ini menghendaki agar seorang muslim mengerjakan ibadah tersebut
dalam keadaan nasyath (giat), sehingga mampu mengerjakan ibadah tersebut dalam
keadaan khusyu’ dan sesempurna mungkin. Dan apabila ia dalam keadaan mengantuk,
maka dianjurkan baginya beristirahat hingga rasa kantuk tersebut hilang.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan
Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, dia berkata: Ketika Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam memasuki masjid, ternyata ada sebuah tali yang
terbentang di antara dua tiang, lalu beliau bertanya, “Tali apa ini?” Mereka
menjawab, “Tali ini milik Zainab[11], jika ia lesu (berdiri untuk shalat),
diapun bergantung dengannya.” Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Lepaskan (tali) itu. Hendaklah salah seorang kalian shalat di saat giatnya.
Jika ia lesu, maka hendaklah ia tidur.”
Demikian pula yang diriwayatkan dari
hadits Aisyah radhiyallahu’anha bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda:
إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي
فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى
وَهُوَ نَاعِسٌ لاَ يَدْرِي لَعَلَّهُ يَذْهَبُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ
“Jika salah seorang kalian dalam keadaan
mengantuk, sementara dia shalat. Maka hendaklah ia tidur sampai hilang rasa
kantuknya. Karena sesungguhnya jika salah seorang kalian shalat dalam keadaan
mengantuk, dia tidak mengetahui. Jangan sampai dia hendak beristighfar lalu
tanpa sadar ia mencerca dirinya sendiri.” (Muttafaq ‘Alaihi)
Kedua: Bahwa sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Dan di antara petunjuk
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam melaksanakan shalat malam adalah
apa yang beliau sebutkan dalam haditsnya, yang diriwayatkan dari Abdullah bin
‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu’anhuma bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam bersabda:
أَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ
وَكَانَ يَصُوْمُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا، وَأَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللهِ صَلاَةُ
دَاوُدَ كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُوْمُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ
“Puasa yang paling dicintai Allah adalah
puasa Dawud ‘alaihissalam. Beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari. Dan
shalat yang paling dicintai Allah adalah shalat Dawud ‘alaihissalam, beliau
tidur di pertengahan malam, bangun di sepertiga malam, dan tidur seperenam
malam.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Disebutkan pula dalam kitab ini, hal. 484
dari Syaikh Waliullah yang berkata dalam kitab Qaulul Jamil: “Ayah saya telah
berkata bahwa ketika saya baru belajar suluk, dalam satu nafas dianjurkan
supaya membaca Laa ilaaha illallah sebanyak dua ratus kali,” Syaikh Abu Yazid
Qurtubhi berkata: “Saya mendengar bahwa barang-siapa membaca kalimat Laa ilaaha
illallah sebanyak 70.000 kali, ia akan terbebas dari api neraka. Setelah
mendengar hal itu, saya membaca untuk istri saya sesuai dengan nishab[12]
tersebut. Tidak lupa, saya juga membaca untuk nishab diri saya sendiri. Di
dekat saya, tinggal seorang pemuda yang terkenal sebagai ahli kasyaf[13]. Dia
juga kasyaf tentang surga dan neraka. Namun saya agak meragukan kebenarannya.
Pada suatu ketika, pemuda tersebut ikut makan bersama kami. Tiba-tiba ia
berkata dan meminta kepada saya sambil berteriak, katanya: “Ibu saya masuk
neraka, dan telah saya saksikan keadaannya.” Karena melihat kegelisahan pemuda
tersebut, saya berpikir untuk membacakan baginya satu nishab bacaan saya untuk
menyelamatkan ibunya, di samping juga untuk mengetahui kebenaran mengenai
kasyaf-nya. Maka, saya membacanya sebanyak 70.000 kali sebagai nishab yang saya
baca untuk diri saya itu, guna saya hadiahkan kepada ibunya. Saya meyakini
dalam hati bahwa ibunya pasti selamat. Tidak ada yang mendengar niat saya ini
kecuali Allah Ta’ala. Setelah beberapa waktu, pemuda tersebut berteriak, “Wahai
paman, wahai paman, ibu saya telah bebas dari api neraka.” Dari pengalaman itu,
saya memperoleh dua manfaat: Pertama, saya menjadi yakin tentang keutamaan
membaca Laa ilaaha illallah sebanyak 70.000 kali, karena sudah terbukti
kebenarannya. Kedua, saya menjadi yakin bahwa pemuda tersebut benar-benar
seorang ahli kasyaf.”
Cobalah perhatikan kisah ini. Jika
seorang muslim membaca dan meyakini cerita khurafat ini, maka dia akan terjatuh
ke dalam berbagai penyimpangan, di antaranya:
- Menetapkan wirid tertentu dengan
bilangan yang telah ditetapkan, lalu menyebutkan keutamaannya, yang semuanya
tidak bersumber dari pembawa syariat: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Dan ini jelas merupakan bid’ah yang jahat dan menyesatkan. (silahkan baca
kembali Majalah Asy-Syari’ah Vol. I/No. 07/1425 H/2004, Bid’ahnya Dzikir
Berjamaah)
- Apa yang disebut sebagai ahli kasyaf
adalah dusta belaka. Karena tidak seorang pun yang dapat mengetahui nasib
seseorang di akhirat, apakah dia pasti masuk ke dalam surga ataukah neraka,
kecuali yang dikabarkan Allah Subhanahu wa ta'ala kepada hamba yang
dikehendaki-Nya dari kalangan para rasul-Nya. Firman-Nya:
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلىَ غَيْبِهِ
أَحَدًا. إِلاَّ مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُوْلٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ
يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
“(Dialah) Yang Mengetahui yang ghaib,
maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali
kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan
penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (Al-Jin: 26-27)
Dan penukilan-penukilan yang seperti ini
banyak sekali terdapat dalam kitab Fadha`il Al-A’mal, karya Muhammad Zakaria
tersebut. Sehingga, hendaklah kaum muslimin berhati-hati dari kitab ini, dan
mencari kitab-kitab yang jauh lebih selamat, yang bisa mengantarkan seseorang
untuk mengamalkan Sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, seperti kitab
Shahih Al-Bukhari pada kitab Ar-Raqa‘iq, Al-Adab, dan yang semisalnya. Demikian
pula Shahih Muslim pada kitab Ad-Dzikr dan Al-Bir Wash-Shilah Wal-Adab, dan
kitab-kitab sunnah yang lainnya. Atau seperti Riyadhus Shalihin, karya Al-Imam
An-Nawawi, Al-Kalim Ath-Thayyib, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah[14], dan
masih banyak lagi kitab-kitab sunnah yang jauh lebih baik dan selamat dari
berbagai penyimpangan.
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki:
[1] Al-Qaulul Baligh, hal. 11-12
[2] Hal. 497, versi Bahasa Indonesia,
terbitan Ash-Shaff, Yogyakarta, Sya’ban tahun 1421 H.
[3] Dalam cetakan tersebut terdapat
kekurangan dalam penukilan lafadz Arabnya, maka disempurnakan oleh penulis dari
referensi lainnya.
[4] Hadits no. 32, hal. 503
[5] Al-Imam Al-Bukhari tidak hanya
melemahkannya, bahkan menghukuminya: munkarul hadits. Dan bila Al-Imam
Al-Bukhari menghukumi seorang rawi dengan hukum ini, maka maksudnya adalah
tidak dihalalkan mengambil riwayat dari perawi tersebut, sebagaimana yang telah
diriwayatkan Ibnul Qaththan bahwa Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Semua yang aku
tetapkan sebagai munkarul hadits maka tidak halal mengambil riwayat darinya.”
(Mizanul I’tidal, 1/119, tarjamah Aban bin Jabalah Al-Kufi)
[6] Fadhilah Dzikr, hal 504.
[7] Hal. 507, hadits ke-35
[8] Al-Makhraj minal Fitnah, hal. 96
[9] Al-Qaulul Baligh Fit Tahdzir min
Jama’ah At-Tabligh, Hamud At-Tuwaijiri, hal. 11
[10] Demikian tertulis, maksudnya
radhiallahu anhu.
[11] Terjadi silang pendapat tentang
Zaenab yang dimaksud dalam hadits ini. Ada yang mengatakan Zaenab bintu Jahsy,
salah seorang Ummul Mukminin. Ada pula yang mengatakan Hamnah bintu Jahsy, yang
memiliki nama lain Zaenab. Karena semua anak perempuan Jahsy dipanggil dengan
nama Zainab. (Dalil Al-Falihin, 1/287)
[12] Nishab artinya bahagian.
[13] Ahli kasyaf adalah seseorang yang
mampu melihat segala hal ghaib, karena hijab telah diangkat darinya. Begitulah
anggapan mereka, namun hakekatnya semua itu adalah bohong belaka.
[14] Yang keduanya telah ditakhrij dan
ditahqiq hadits-haditsnya oleh Al-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani
rahimahullah
Sumber: asysyariah.com