Apakah Cerita Karomah Kesaktian Syech
Abdul Qadir Jaelani Itu Benar - Ustadz Firanda
Syeikh Abdul Qadir Jailani Dan Syiah
Siapakah Abdul Qadir Al-Jailani?
Tahukah anda siapa itu Syaikh Abdul Qadir
Al-Jailani?
Ya, semua orang tahu siapa itu Abdul Qadir Jailani. Mulai dari anak-anak kecil
sampai orang-orang tua pun tahu tentang Abdul Qadir Jailani, sampai para tukang
becak pun tahu akan siapa tokoh ini. Sampai-sampai jika ada orang yang bernama
Abdul Qadir, maka orang akan mudah menghafal namanya disebabkan namanya ada
kesamaan dengan nama Abdul Qadir Jailani. Yang jelas, selama orangnya muslim,
pasti tahu siapa itu Abdul Qadir Jailany. Ya minimal namanya.
Jika nama Abdul Qadir disebut atau didengarkan oleh sebagian orang, niscaya
akan terbayang suatu hal berupa kesholehan, dan segala karomah, serta keajaiban
yang dimiliki oleh beliau menurut mereka.Orang-orang tersebut akan membayangkan
Abdul Qadir Jailani itu bisa terbang di atas udara, berjalan di atas laut tanpa
menggunakan seseuatu apapun, mengatur cuaca, mengembalikan ruh ke jasad orang,
mengeluarkan uang di balik jubahnya, menolong perahu yang akan tenggelam,
menghidupkan orang mati dan lain sebagainya.
Apakah semua itu betul, ataukah semua itu hanyalah karangan dan kedustaan dari
para qashshash (pendongeng) yang bodoh?
Berikut sedikit keterangan mengenai siapakah Abdul Qadir Al-Jailani.
(Nama lengkap beliau)
Seorang ahli sejarah Islam, Ibnul Imad menyebutkan tentang nama dan masa hidup
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany: “Pada tahun 561 H hiduplah Asy-Syaikh Abdul Qadir bin Abi
Sholeh bin Janaky Dausat bin Abi Abdillah Abdullah bin Yahya bin Muhammad bin
Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa Al-Huzy bin Abdullah Al-Himsh bin Al-Hasan
bin Al-Mutsanna bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Tholib Al-Jailany”. (Lihat
Syadzarat Adz-Dzahab (4/198) oleh Ibnul Imad Al-Hanbaly).
(Tempat kelahiran beliau)
Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany adalah salah seorang ulama ahlusunnah yang
berasal dari negeri Jailan. Kepada negeri inilah beliau dinasabkan sehingga
disebut “Al-Jailany”, artinya seorang yang berasal dari negeri Jailan.Jailan
merupakan nama bagi beberapa daerah yang terletak di belakang Negeri
Thobaristan. Tidak ada satu kota pun terdapat di negeri Jailan kecuali ia hanya
merupakan bentuk perkampungan yang terletak pada daerah tropis di sekitar
pegunungan. (Lihat Mu’jam Al-Buldan (4/13-16) Oleh Abu Abdillah Yaqut bin
Abdillah Al-Hamawy)
(Komentar para ulama tentang beliau)
Para ulama memberikan pujian kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany. Ibnu Rajab
rahimahullah berkata, “Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany termasuk orang yang
berpegang-teguh dengan sunnah dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan
sifat-sifat Allah, Qodar, dan semisalnya, bersungguh-sungguh dalam membantah
orang yang menyelisihi perkara tersebut. Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany berkata
dalam kitabnya Al-Ghun-yah yang masyhur: [Allah berada di bagian atas langit,
bersemayam di atas Arsy, menguasai kerajaan, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu,
kepada-Nya lah naik kata-kata yang baik dan amalan sholeh diangkatnya. Dia
mengatur segala urusan dari langit ke bumi, lalu urusan itu naik kepada-Nya
dalam satu hari yang sama dengan seribu tahun menurut perhitungan kalian.Tidak
boleh Allah disifatkan bahwa Dia ada di segala tempat. Bahkan Dia di atas
langit, di atas Arsy sebagaimana Allah berfirman, “Ar-Rahman (Allah) tinggi di
atas Arsy”.
Kitab Al-Ghun-yah di atas, judul
lengkapnya adalah: “Ghun-yah Ath-Tholibin” sebagaimana yang disebutkan oleh
Al-Azhim Abadi dalam Aunul Ma’bud (3/300), dan Al-Mubarakfury dalam Tuhfah
Al-Ahwadzi (7/430) Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah berkata, “Kami
masuk Baghdad tahun 561 H. Ternyata Syaikh Abdul Qadir termasuk orang yang
mencapai puncak kepemimpinan dalam ilmu , harta, fatwa dan amal disana.
Penuntut ilmu tidak perlu lagi menuju kepada yang lainnya karena banyaknya
ilmu, kesabaran terhadap penuntut ilmu, dan kelapangan dada pada diri beliau.
Orangnya berpandangan jauh. Beliau telah mengumpulkan sifat-sifat yang bagus,
dan keadaan yang agung. Saya tak melihat ada orang yang seperti beliau
setelahnya.” (Lihat Dzail Thobaqot Hanabilah (1/293) karya Ibnu Rajab.)
Kehebatan-kehebatan yang dinisbatkan
kepada beliau Adapun khurafat yang biasa dinisbahkan kepada beliau
sebagaimana yang telah kami sebutkan contohnya di atas, maka Al-Hafizh Ibnu
Rajab Rahimahullah berkata: “Akan tetapi Al-Muqri’ Abul Hasan Asy-Syanthufi
Al-Mishri telah mengumpulkan berita-berita, dan keistimewaan Syaikh Abdul Qadir
Al-Jailany sebanyak tiga jilid. Ia telah menulis di dalamnya suatu musibah, dan
cukuplah seseorang itu dikatakan berdusta jika ia menceritakan segala yang ia
dengar. …. Di dalamnya terdapat keanehan, malapetaka, pengakuan dusta, dan
ucapan batil, yang tak bisa lagi dihitung. Semua itu tak bisa dinisbahkan
kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany rahimahullah. Kemudian saya mendapatkan
Al-Kamal Ja’far Al-Adfawy telah menyebutkan bahwa Asy-Syanthufi sendiri
tertuduh dusta dalam berita yang ia riwayatkan dalam kitab ini.” (Lihat Dzail
Thobaqot Hanabilah (1/293) karya Ibnu Rajab) Ibnu Katsir Rahimahullah
berkata: “Mereka telah menyebutkan dari beliau (Abdul Qadir Al-Jailany)
ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, pengungkapan urusan gaib, yang
kebanyakannya adalah ghuluw (sikap berlebih-lebihan). Beliau orangnya sholeh
dan wara’. Beliau telah menulis kitab Al-Ghun-yah, dan Futuh Al-Ghaib. Dalam
kedua kitab ini terdapat beberapa perkara yang baik, dan ia juga menyebutkan di
dalamnya hadits-hadits dha’if, dan palsu. Secara global, ia termasuk di antara
pemimpin para masyayikh (orang-orang yang berilmu)”. (Lihat Al-Bidayah wa
An-Nihayah (12/252) oleh Ibnu Katsir)
Kesimpulannya: Asy-Syaikh Abdul
Qadir Al-Jailani adalah seorang ulama ahlussunnah wal jamaah, salafi. Mempunyai
karya-karya ilmiah di antaranya kitab Al-Ghun-yah dalam masalah tauhid Al-Asma`
wa Ash-Shifat, yang di dalamnya beliau menjelaskan tentang akidah ahlussunnah.
Sebagian ulama belakangan menyebutkan bahwa memang beliau mempunyai beberapa
karamah, hanya saja sebagian orang-orang jahil lagi ghulum kepada beliau
terlalu memperbesar-besar kejadiannya dan banyak menambah kisah-kisah palsu
lagi dusta lalu menyandarkannya kepada beliau -rahimahullah-. Wallahu
a’lam bishshawab
Ringkasan dari muqaddimah tulisan
Al-Ustadz Abu Faizah Abdul Qadir yang berjudul Biografi Abdul Qadir Al-Jailani
Sebuah sosok yang dikultuskan ahli tasawwuf
Siapa Abdul Qadir Al-Jailani?
Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc
Mengenal Abdul Qadir Al-Jailani
Siapa yang tidak pernah mendengar nama
Abdul Qodir al-Jailani?
Hampir semua muslim pernah mendengar
namanya.
Dari anak SD hingga manusia usia senja,
mengenal namanya.
Ketika namanya disebut, yang terbayang
keshalehan dengan segudang karomah.
Lalu siapakah sebenarnya Abdul Qodir
al-Jailani itu?
Nama dan Nasab
Seorang ahli sejarah Islam, Ibnul Imad
menyebutkan tentang nama dan masa hidup Abdul Qadir Al-Jailani,
“Pada tahun 561 H hiduplah Asy-Syaikh Abdul
Qadir bin Abi Sholeh bin Janaky Dausat bin Abi Abdillah Abdullah bin Yahya bin
Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa Al-Huzy bin Abdullah Al-Himsh
bin Al-Hasan bin Al-Mutsanna bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Tholib Al-Jailani.”
(Syadzarat Adz-Dzahab, Ibnul Imad
Al-Hanbali, 4/198)
Tempat Kelahiran
Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany adalah
salah seorang ulama ahlusunnah yang berasal dari negeri Jailan. Dari nama
negerinya ini, beliau dinasabkan sehingga disebut “al-Jailani”, artinya seorang
yang berasal dari negeri Jailan.
Jailan sendiri merupakan nama bagi
beberapa daerah yang terletak di belakang Negeri Thobristan.
Kota yang ada di negeri Jailan, hanyalah
perkampungan yang terletak pada daerah tropis di sekitar pegunungan.
(Mu’jam Al-Buldan, 4/13-16)
Madzhab Fiqh Syaikh Abdul Qadir
Beliau termasuk salah satu ulama dan
tokoh dalam madzhab Hambali. Ad-Dzahabi ketika membawakan biografinya
menyatakan,
الجِيْلِيُّ الحَنْبَلِيُّ، شَيْخُ بَغْدَادَ
Beliau dari Jailani, bermadzhab hambali,
tokoh di Baghdad.
Kemudian ad-Dzahabi menyebutkan beberapa
guru beliau, diantaranya, Abu Ghalib al-Baqillani, Ahmad bin Mudzaffar, Abu
Qasim bin Bayan.
Sementara murid beliau, sederet ulama
madzhab hambali, diataranya, as-Sam’ani, al-Hafidz Abdul Ghani – penulis
Umdatul Ahkam –, dan al-Muwaffaq Ibnu Qudamah, penulis kitab al-Mughni .
(Siyar A’lam an-Nubala, 20/439)
Aqidah Syaikh Abdul Qadir
Bagian ini sagat penting untuk kita
pahami, menyusul banyaknya keyakinan tentang beliau yang banyak bercampur
khurafat dan takhayul. Salah satunya, dikatakan bahwa Syaikh Abdul Qadir mampu
mengambil kembali ruh yang sudah dicabut oleh malaikat. Kemudian dikembalikan
kepada orang yang baru meninggal.
Ini kisah sangat jelas kedustaannya.
Siapapun manusia, bahkan seorang Nabi-pun, tidak mampu melakukan semacam ini.
Yang sebenarnya fenomena ini tidak hanya
terjadi sekarang, tapi sudah ada di masa silam. Dan para ulama ahlus sunah
berusaha meluruskannya. Kita simak keterangan Al-Hafidz Ibnu Katsir,
ولأتباعه وأصحابه فيه مقالات ، ويذكرون عنه
أقوالا وأفعالا ومكاشفات أكثرها مغالاة ، وقد كان صالحاً ورِعاً ، وقد صنَّف كتاب
” الغُنية ” و ” فتوح الغيب ” ، وفيهما أشياء حسنة ، وذكر فيهما أحاديث ضعيفة
وموضوعة ، وبالجملة كان من سادات المشايخ
“Mereka telah menyebutkan dari beliau (Abdul
Qadir Al-Jailany) ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, pengungkapan urusan gaib,
yang kebanyakannya adalah ghuluw (sikap berlebih-lebihan). Beliau orangnya
sholeh dan wara’. Beliau telah menulis kitab Al-Ghun-yah, dan Futuh Al-Ghaib.
Dalam kedua kitab ini terdapat beberapa perkara yang baik, dan ia juga
menyebutkan di dalamnya hadits-hadits dha’if, dan palsu. Secara global, ia
termasuk di antara pemimpin para masyayikh (orang-orang yang berilmu)”.
(al-Bidayah wa an-Nihayah, 12/252)
Karena itu, bagian penting yang perlu
kita perhatikan ketika kita mengkaji sejarah tokoh adalah memahami bagaimana
aqidahnya, bukan kesaktiannya atau karomahnya. Karena yang kita tiru amal dan
aqidahnya, bukan ilmu kanuragannya. Terlebih lagi, beliau sama sekali tidak
pernah mempelajari ilmu kanuragan, apalagi memilikinya.
Memang beliau memiliki banyak karomah.
Namun karomah yang beliau miliki bukan karena beliau mempelajarinya, tapi murni
pemberian dari Allah, sebagai bentuk pertolongan dari Allah untuk hamba-Nya
yang sholeh. Sehingga sekali lagi, yang perlu kita tiru adalah keshalehannya
bukan karamahnya.
Diantara cara untuk memahami aqidah
beliau adalah dengan melihat karya tulis beliau.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memiliki
kitab al-Ghunyah. Dalam salah satu biografi beliau yang disebutkan oleh Ibnu
Rajab, di kitab Dzail Thabaqat Hanabilah dinyatakan,
وللشيخ عبد القادر رحمه الله تعالى كلام حسن في
التوحيد، والصفات والقدر، وفي علوم المعرفة موافق للسنة. وله كتاب ” الغنية لطالبي
طريق الحق ” وهو معروف، وله كتاب ” فتوح الغيب ” وجمع أصحابه من مجالسه في الوعظ
كثيرًا. وكان متمسكًا في مسائل الصفات، والقدر، ونحوهما بالسنة، بالغًا في الرد
على من خالفها
“Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany memiliki
keterangan yang bagus tentang Tauhid, penjelasan sifat Allah, dan taqdir. Dalam
ilmu ma’rifat, ilmu beliau sesuai kaidah ahlus sunah wal jamaah.
Beliau memiliki buku berjudul:
“al-Ghunyah li Thalibi Thariqil Haqq.”
Kitab yang terkenal. Beliau juga punya
kitab judulnya:
Futuh al-Ghaib.
Sahabat beliau yang ikut kajian tentang
nasehat sangat banyak sekali. Beliau berpegang dengan sunnah (ajaran Nabi)
dalam masalah sifat Allah dan taqdir atau aqidah lainnya. Beliau sangat jeli
dalam membantah.
(al-Ghuntah, hlm. 151)
Ibnu Qudamah menuturkan pengalaman dengan
gurunya,
دخلنا بغداد سنة إحدى وستين وخمسمائة فإذا الشيخ
عبد القادر ممن انتهت إليه الرئاسة بها علمًا وعملاً ومالاً واستفتاء. وكان يكفي
طالب العلم عن قصد غيره من كثرة ما اجتمع فيه من العلوم، والصبر على المشتغلين،
وسعة الصدر
“Kami masuk Baghdad tahun 561 H. Ternyata
Syaikh Abdul Qadir termasuk orang yang mencapai puncak kepemimpinan dalam ilmu
, harta, fatwa dan amal disana. Penuntut ilmu tidak perlu lagi menuju kepada
yang lainnya karena banyaknya ilmu, kesabaran terhadap penuntut ilmu, dan
kelapangan dada pada diri beliau. Orangnya berpandangan jauh. Beliau telah
mengumpulkan sifat-sifat yang bagus, dan keadaan yang agung. Saya tak melihat
ada orang yang seperti beliau setelahnya.”
(Dzail Thobaqot Hanabilah, 1/293)
Pernyataan Syaikh Abdul Qadir tentang
Aqidah
Pertama, Allah ber-istiwa di atas Arsy,
Beliau mengatakan,
وهو بجهة العلو مستو ، على العرش محتو على الملك
محيط علمه بالأشياء
Dia beristiwa di atas. Dia di atas Arsy,
Dia menguasai semua kerajaan, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. (al-Ghunyah,
1/71)
Kedua, beliau membantah semua sekte
selain ahlus sunnah,
وينبغي إطلاق صفة الاستواء من غير تأويل ، وأنه
استواء الذات على العرش لا على معنى القعود والمماسة كما قالت المجسمة والكرامية ،
ولا على معنى العلو والرفعة كما قالت الأشعرية ، ولا معنى الاستيلاء والغلبة كما
قالت المعتزلة ، لأن الشرع لم يرد بذلك ولا نقل عن أحد من الصحابة والتابعين من
السلف الصالح من أصحاب الحديث ذلك
Selayaknya memahami istiwa Allah sesuai
makna tekstualnya, tanpa ditakwil. Dia bersemayam secara dzat di atas ‘Arsy,
tidak kita maknai duduk dan menempel di Arsy, sebagaimana perkataan Mujassimah
dan Karramiyah, tidak pula dimaknai berada di atas, sebagaimana perkataan
Asy’ariyah. Tidak boleh dimaknai menguasai, sebagaimana aqidah Mu’tazilah.
Karena syariat tidak menyebutkan semua makna itu, dan tidak dinukil satupun
keterangan dari sahabat, maupun tabi’in di kalangan Salaf, para pembawa hadis.
(al-Ghunyah, 1/74)
Pernyataan ini membuktikan, bahwa beliau
adalah pengikut salaf, pembawa hadis, ahlus sunah, bukan Asy’ariyah, apaagi
Mu’tazilah.
Mengapa lebih banyak disinggung aqidah
masalah Allah beristiwa di atas?
Karena ini titik sengketa antara ahlus
sunnah dengan ahlul bid’ah dalam masalah aqidah, seperti Asy’ariyah dan
Mu’tazilah.
Mengingat pentingnya meluruskan sejarah
beliau, hingga Dr. Said bin Musfir menulis disertasi doktoral dengan judul, [الشيخ
عبدالقادر الجيلاني وآراؤه الاعتقادية والصوفية] “Syaikh Abdul Qadir
Jailani: Pemikiran Aqidah dan Sufiyah”
Dalam disertasi ini beliau benyak
membantah orang-orang sufi yang menyalah gunakan nama beliau untuk mendukung
aqidah sufinya.
Buku ini telah diterjemahkan dalam edisi
Indonesia dengan judul:
Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Termasuk yang perlu dibersihkan adalah
tersebarnya gambar beliau, yang ini bisa kita pastikan dusta. Karena beliau
memusuhi gambar bernyawa dengan wajah.
Allahu a’lam
●●●
Sumber: Fb Hadis Shahih
Dishare Ustadz Badru Salam, Lc
-hafizhahullah- tgl 19 Shafar 1437 / 1 Desember 2015
Akidah
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Di sini akan disebutkan dengan ringkas apa yang menjadi akidah Syaikh 'Abdul
Qadir al-Jailani, berdasarkan keterangan yang terdapat di dalam kitab beliau
al-Ghunyah dan yang lainnya.
Syaikh Jailani Mengikuti 'Akidah Salaf
Syaikh 'Abdul Qadir al-Jailani seringkali menyatakan:
"Akidah (keyakinan) kami adalah 'akidah (kaum) Salafush Soleh dan akidah
para Sahabat." (Siyar A 'lamin Nubala', XX/442)
Imam Az-Zahabi berkata: "Tidak ada seorangpun para ulama terkemuka yang
riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syaikh Abdul
Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar
bahkan ada yang mustahil terjadi". (Siyar A'lamin Nubala XX/451).
Syaikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil,
hal.136:
"Aku telah mengenal pasti akidah beliau (Syaikh Abdul Qadir Al Jailani) di
dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94). Maka
aku mengetahui bahawa dia sebagai seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama
dan sifat-sifat Allah dan akidah-akidah lainnya di atas manhaj Salaf. Beliau
juga membantah kelompok-kelompok Syiah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah,
Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf." (At Tashawwuf Fii
Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As
Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Zulkaidah 1415 H/ 8 April 1995 M.)
Beliau juga berkata dalam kitabnya Fat-hur Rabbani hal. 35 (majlis ke-10):
"Hendaklah kamu berittiba' dan janganlah kamu berbuat bid'ah, dan
hendaklah kamu juga mengikuti mazhab Salafush Soleh, berjalanlah kamu di jalan
yang lurus." (Syaikh 'Abdul Qadir al-Jailani, hal. 76.)
Mengikuti Ahlus Sunnah wal Jama'ah
Dalam kitabnya al-Ghunyah (1/80), beliau mengatakan:
"Wajib bagi setiap orang yang beriman untuk mengikuti (Ahlus) Sunnah wal
Jamaah, yang dimaksud dengan Sunnah adalah Sunnah Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam, sedangkan yang dimaksud dengan Jamaah adalah kesepakatan
para Sahabat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pada masa Khulafaa-ur
Rasyidin yang empat (Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali radhiyallaahu 'annum)
-mudah-mudahan Allah merahmati mereka semua-."
Kewajiban mengikuti akidah yang benar -yakni akidah Salafush Soleh-
Syaikh mengatakan di dalam kitabnya al Ghunyah hal. 455:
"Perkara yang diwajibkan atas setiap para pemula yang baru mengikuti
tarekat (al-Qadiriyah) ini untuk memiliki akidah yang shahih. Dan hal itu
merupakan dasar (yang harus dimiliki), dan akidah yang shahih itu adalah akidah
Salafush Soleh. (Syeikh 'Abdul Qadir al-Jailani, hal. 637.)
Tentang Iman
Beliau juga telah mengatakan di dalam kitab al-Ghunyah hal. 80:
"Kami meyakini bahawasanya iman itu adalah ucapan dengan lisan, meyakini
dengan hati, dan amal perbuatan anggota badan, dan iman itu dapat bertambah
dengan ketaatan serta dapat berkurang dengan perbuatan dosa dan maksiat, dan
iman itu juga dapat menjadi kuat dengan ilmu, dan juga dapat melemah dengan
kebodohan, dan hanya dengan taufik dari Allah Ta'ala iman itu akan
terwujud."
Untuk itulah maka kemudian Syaikh membawakan sebuah hadits sebagai dalil dalam
masalah ini:
"Iman itu memiliki 70 cabang/tingkatan lebih, yang tertinggi dari
cabang-cabang keimanan itu adalah dengan mengucapkan "laa ilaaha
illallaah" (tidak ada ilah yang berhak untuk disembah dengan benar kecuali
Allah) dan cabang/tingkatan terendahnya adalah menyingkirkan gangguan dari
jalan."
Syaikh Jailani membedakan antara Iman dan Islam
Beliau juga membedakan antara Iman dan Islam, di mana beliau menyatakan di
dalam al-Ghunyah hal. 81:
"Adapun Islam, maka masuk ke dalam pengertian Iman, oleh kerana itu,
setiap Iman itu pasti Islam, akan tetapi (tidak sebaliknya; yakni) tidak setiap
Islam itu Iman."
Sifat Istiwa' (bersemayam di atas 'Arsy)
Syaikh mengatakan di dalam al Ghunyah hal. 73:
"Wajib hukumnya untuk memutlakkan Sifat Istiwa' (bersemayamnya Allah di
atas 'Arsy) bagi Allah, tanpa takwil, dengan meyakini bahawa Zat Allah
bersemayam di atas 'Arsy, dan bukan dengan makna duduk dan mumarasah
(kebiasaan), sebagaimana yang telah diucapkan oleh kaum Mujassimah (mereka yang
telah mensifati Allah dengan jism/tubuh.) dan Karamiyah, dan juga bukan dengan
makna ketinggian Martabat ('uluw war rifah) sebagaimana yang difahami oleh kaum
Asyariah, dan juga bukan dengan makna istila' (penguasaan) dan ghalabah (mengalahkan
yang lain), sebagaimana yang dikatakan oleh kaum Muktazilah, kerana tidak ada
dalil yang menunjukkan kepada semua arti tersebut. Dan juga tidak pernah
dinukil dari keterangan para Sahabat dan Tabi'in dari kalangan Salafush Soleh,
dari para ulama Ash-habul Hadits, bahkan sebaliknya bahwa yang telah dinukil
keterangannya dari Salafush Soleh dan para ulama Hadits itu adalah bahawa
mereka memahami ayat-ayat dan hadits-hadits Sifat secara mutlak (apa adanya,
tanpa takwil dan ta'thil)."
Kemudian pada hal. 73, beliau berkata:
Keterangan yang menyebutkan bahawa Allah bersemayam di atas Arsy-Nya itu juga
telah disebutkan di dalam setiap Kitab yang pernah Allah Turunkan kepada setiap
Nabi yang pernah diutus (ke muka bumi ini), tanpa disebutkan tentang kaifiah
(hakikat bentuk)nya, kerana Allah akan tetap memiliki Sifat ketinggian ('uluw)
dan kemampuan (qudrah), dan Allah juga memiliki Sifat menguasai dan mengalahkan
(ghalabah) atas setiap hamba-hamba-Nya, seperti: Arsy dan yang lainnya dari
makhluk ciptaan Allah. Akan tetapi Sifat istiwa' itu tidak boleh untuk
diartikan dengan menguasai (istaiilaf) dan mengalahkan (ghalabah), kerana Sifat
istiwa' (bersemayamnya) Allah di atas 'Arsy itu merupakan Sifat Zatiah (Yang
dimaksud dengan "Sifat Zatiyah" adalah sifat yang selalu ada dan akan
terus ada pada Allah, dan tidak mungkin berpisah dari-Nya.) bagi Allah,
sebagaimana Allah telah mengkhabarkan sendiri tentang hal itu (di dalam
Al-Qur'an) kemudian Allah memperjelas lagi hal ini di dalam 7 ayat yang
terdapat di dalam Al-Qur-an. (Tujuh tempat tersebut dalam Al-Qur-an adalah
al-A'raaf: 54, Yunus: 3, ar-Ra'd: 2, Thaha: 5, al-Furqaan: 59, as-Sajadah: 4,
dan al-Hadid: 4) begitu juga (telah diterangkan oleh Rasul-Nya) di dalam Sunnah
beliau yang datang dari beliau shallallaahu 'alailu wa sallam, dan Sifat ini
adalah Sifat yang terus-menerus ada dan sesuai bagi Allah 'Azza wa Jalla,
seperti halnya dengan Sifat Tangan, Wajah, Mata, Pendengaran, Penglihatan,
Hidup dan al-Qudrah (Kemampuan)."
Sifat Ketinggian (al 'Uluw)
Syaikh mengatakan di dalam al Ghunyah hal. 71:
"Allah berada di atas, bersemayam di atas 'Arsy, menjaga dan memelihara
kerajaan, Yang Ilmu Allah itu meliputi segala sesuatu, (dimana Allah Ta'ala
telah berfirman:) "Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan
amal yang saleh dinaikkan-Nya" [Fathir (35): 10], (dan Allah 'Azza wa
Jalla juga telah berfirman:) "Dia mengatur urusan dari langit ke bumi,
kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya)
adalah seribu tahun menurut perhitunganmu."[QS. As-Sajadah (32): 5]."
Beliau juga mengatakan di dalam al Ghunyah hal. 72:
"Arsy Allah Yang Maha rahman berada di atas air, dan Allah Ta'ala berada
(bersemayam) di atas 'Arsy."
Beliau juga mengatakan di dalam al Ghunyah hal. 106:
"Kecuali apa yang telah kami sebutkan bahawasanya (Allah Bersemayam) di
atas 'Arsy."
Beliau juga mengatakan di dalam kitabnya Tuhfatul Muttaqin wa Subulul 'Arifin:
"Dan Dzat Allah bersemayam di atas 'Arsy, sedangkan Ilmu-Nya mengawasi di
setiap tempat." (Lihat Ijtima'ul Juyusyal-lslamiyyah hal. 79, karya
Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-jauziyyah.)
Syaikh melarang kita menyatakan bahwa Allah berada di mana-mana
Di dalam kitabnya al Ghunyah hal. 72, beliau mengatakan:
"Allah (bersemayam di atas 'Arsy-Nya) terpisah dari Hamba-hamba-Nya, akan
tetapi Ilmu Allah itu meliputi setiap tempat, dan tidak diperbolehkan (sama
sekali) mensifati Allah bahwa Dia berada di setiap tempat, akan tetapi wajib
untuk dikatakan bahawa Allah berada di atas langit (bersemayam) di atas 'Arsy-Nya,
sebagaimana Allah telah berfirman: "Rabb Yang Maha Pemurah, Yang
bersemayam di atas 'Arsy." [Thaha (20): 5]."
Kursi Allah
Syaikh mengatakan di dalam al Ghunyah hal. 72:
"Kursi Allah itu berada di sisi 'Arsy-Nya, (yang mana Kursi Allah itu
diumpamakan) seperti sebuah gelang yang dilempar di tengah tanah lapang yang
luas."
Sifat Jari-jemari Allah
Syaikh mengatakan di dalam al Ghunyah hal. 72:
"Hati-hati manusia itu berada di antara genggaman kedua jari dari
jari-jemari Allah, yang mana Allah membolak-balikkan hati-hati itu ke mana saja
Dia Kehendaki."
[Sumber: Kutipan dari kajian Ustadz Rasul Dahri tentang "Akidah Syaikh
Bdul Qadir Jailani"]
faisalchoir.blogspot.com
faisalchoir.blogspot.com
Mengoreksi Manaqib Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Oleh : Ustadz
Anwar
(disertai penyempurnaan tulisan dari
admin)
Banyak kita jumpai orang yang sangat
mengagung-agungkan “ibadah” bacaan manaqib bahkan melebihi ibadah sunnah.
Mereka berkeyakinan agar “wasilahnya” cepat sampai dan terkabul. Misalnya,
membuat ayam ungkep utuh (ingkung-Jawa), yang dimasak oleh wanita suci dari
hadast, lalu yang boleh menyembelih harus orang sudah berijazah dari gurunya
(telah mengkhatamkan bacaan manaqib sebanyak 40 kali). Di saat pembacaan
manaqib, sudah menjadi keyakinan bagi para jamaahnya untuk membawa botol berisi
air yang diletakkan di depan Imam atau gurunya, konon air tersebut dipercaya
membawa berbagai macam berkah.
Khasiat lainnya yakni apabila seseorang
mempunyai keinginan tertentu (usaha dan rejeki lancar, pandai, atau nadhar
lainnya), mereka membaca bersama-sama pada hari yang ditentukan, misalnya tiap
Rabu Kliwon, Pon, bahkan ada yang disertai dengan pembakaran kemenyan atau
parfum wewangian agar ruh sang tokoh hadir ikut mendoakannya, karena “konon”
ada pendapat bahwa Syaikh Abdul Qodir Jaelani pernah berkata, “Dimana saja
dibacakan manaqib-ku aku hadir padanya”
Para pelaku manaqib tersebut
berkeyakinan, bahwa bacaan itu adalah suatu amalan agung yang di ajakan
guru-gurunya meskipun tidak jelas sumber asalnya. Namun jika kita kaji lebih
dalam, kata manaqib berasal dari “manqobah” berarti kisah tentang kesolehan,
dan amal seseorang. Jadi membaca manaqib, sama saja dengan membaca biografi
atau cerita kebaikan seseorang Namun sayang, manaqib disini banyak mengisahkan
cerita-cerita bohong, dan tidak masuk akal. Ironisnya lagi, dengan dalih
sebagai bukti kecintaannya kepada waliyullah, mereka selalu membaca, mengingat,
bahkan memanggil dan memohon roh wali yang sudah mati (Abdul Qodir Jailani-red)
untuk perantara. Jika sudah seperti ini yang di dapat adalah…..kesyirikan.
Karena menghadirkan roh orang yang sudah mati adalah mustahil, yang datang
adalah jin yang berubah rupa atas bantuan tukang sihir bangsa jin.
Sedangkan berbagai cara dan persyaratan
ritual manaqib sangat mirip sekali dengan cara-cara zaman jahiliyah dan budaya
orang-orang musyrik dalam berinteraksi dengan para dewanya (bangsa jin).
Bedanya sekarang mereka beralasan tidak menyembah roh tapi sebagai bentuk
taqarruban (mendekatkan diri) dan wasilah (perantara) kepada Allah. Padahal
Allah sendiri telah memperingatkan dengan keras dan tegas dalam firman-Nya:
“Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada
mendengar seruanmu; dan kalaupun mereka mendengar, mereka tidak dapat
memperkenankan permintaanmu. Dan pada hari kiamat mereka akan mengingkari
kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang
diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (QS. Faathir: 14)
Cerita-cerita bohong dan sesat didalam bacaan manaqib antara lain :
Syaikh Abdul Qadir Jailani pernah duduk
selama 30 tahun dengan tidak bergeser dari tempatnya karena ketaatannya kepada
nabi Khidir.Pada waktu pertama kali masuk Irak, Syaikh Abdul Qadir Jailani
ditemani Khidir, dan Syaikh belum pernah mengenalnya sebelum itu. Kemudian
Khidir memberikan isyarat kepadanya agar ia tidak disalahi dan kalau sampai hal
itu terjadi maka akan menjadi sebab perpisahan antara keduanya. Maka berkatalah
Khidir kepadanya : Duduklah di sini ! Maka beliaupun duduk ditempat yang
ditunjuk oleh Khidir itu selama tiga tahun, yang selalu dikunjunginya setiap
setahun sekali dan katanya lagi: Janganlah engkau bergeser dari tempat itu sampai
aku datang [Lubabul Ma’ani hal. 20]
Bantahan :
Cerita ini terlalu mengada-ada. Duduk
selama 3 tahun tanpa beranjak/bergeser dari tempat duduknya adalah mustahil.
Bagaimana Syaikh Abdul Qadir Jailani mengambil air wudhu, Shalat Jum’at dan
Shalat ‘Id ?
Diceritakan juga bahwa Syaikh Abdul Qadir
Jailani pernah bermimpi junub sebanyak 40 kali dalam waktu semalam.[Lubabul
ma’ani, hal. 20-21]
Bantahan :
Kebohongan yang luar biasa, cukupkah
waktu untuk 40 kali tidur, 40 kali bermimpi bersetubuh dan 40 kali mandi
janabat ?
100 ulama merobek-robek baju sendiri
[Lubabul Ma’ani, hal. 23-24]
Bantahan :
Sungguh tidak masuk akal dan tidak pernah
terbayang dalam angan-angan orang yang normal akalnya bahwa seorang yang saleh
dan ulama yang ikhlas seperti Syaikh Abdul Qadir Jailani sampai hati melihat
para ‘aimmah merobek-robek pakainnya dan bertingkah polah seperti orang yang
tidak waras.
Di antara kekeramatan Syaikh Abdul Qadir
Jailani, bahwa seekor burung Elang yang terbang di atas majlis syaikh, dimohon
kepada angin agar dipenggal leher burung tersebut, maka putuslah leher burung
Elang tersebut.[Lubabul Ma’ani, hal. 59]
Bantahan :
Burung adalah binatang yang tidak
dibekali akal seperti manusia dan tidak dibebani tata tertib hidup serta tidak
terikat dengan berbagai aturan sesamanya. Ia terbang mengikuti naluri hayawani
tanpa memperdulikan apakah ada makhluk lain yang terganggu olehnya. Maka
alangkah teganya hati Syaikh Abdul Qadir Jailani untuk membunuh burung Elang
tersebut.
Dan apakah mereka tidak memperhatikan
burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak
ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha
Melihat segala sesuatu. (QS. Al Mulk : 19)
Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah:
kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan
mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan
tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.
(QS. An Nur : 41)
Diantara kekeramatan lainnya. Matinya seorang
pelayan karena sorotan mata Syaikh Abdul Qadir Jailani karena kesalahannya
tidak sudi meletakkan kendi kearah kiblat.[Lubabul ma’ani, hal. 58-59]
Bantahan :
Peristiwa kesalahan yang tidak patal
sehingga membuat Syaikh Abdul Qadir Jailani untuk membunuh, apakah mungkin
dilakukan bagi seorang syaikh yang berakhlaq mulia ?
Syaikh Abdul Qadir Jailani menjamin para
muridnya masuk surga [Lubabul Ma’ani, hal. 80-81]
Bantahan :
Tak mungkin lebih hebat daripada
Rasulullah yang sama sekali tidak bisa menjamin umatnya masuk surga
Syaikh Abdul Qadir Jailani mengejar
Malaikat Maut untuk membatalkan kematian salah seorang muridnya, sehingga
Malaikat Maut mengembalikan lagi ruh yang sudah dicabut tadi. [Dikutip dari
Tafsir al manar, Rasyid Juz XI hal. 423, oleh HAS. Al Hamdani dalam bukunya
Sorotan terhadap Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani]
Bantahan :
Ajal seseorang Allah yang menentukan dan
tidak bisa dimajukan atau dimundurkan, bagaiman mungkin syaikh dapat menunda
ketentuan yang sudah Allah tetapkan, Sedang Allah Ta’ala berfirman:
“Tiap-tiap umat itu mempunyai batas
(timing ) ajal; maka jika telah datang ajalnya mereka tidak dapat mengundurkan
barang sesaatpun dan tidak dapat pula memajukannya.” (QS. Al A’raf:34).
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Allah sekali-kali tidak akan
menangguhkan kematian seseorang apabila datang waktu ajalnya. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Munafiqun:11).
Beberapa nasehat Beliau;
“Janganlah berbuat bid’ah dan sesuatu
yang baru dalam agama Allah. Ikutilah para saksi yang adil berdasarkan Al
Qur’an dan Sunnah karena keduanya akan mengantarkanmu kepada Tuhanmu ‘Azza wa
Jalla. Jika kamu berbuat bid’ah, saksimu adalah akal dan hawa nafsumu sendiri.
Keduanya akan mengantarkanmu kepada neraka dan mempertautkanmu dengan Fir’aun,
Haman, beserta bala tentaranya. Jangan engkau berhujah dengan qadr, karena itu
tidak akan diterima darimu. Engkau harus masuk Darul Ilmi dan belajar, beramal,
lalu ikhlas”. (Syaikh Abdul Qadir Jailani dlm Al Fath Ar Rabbani, al Majlis 47)
“Ber-ittiba’lah dan jangan berbuat
bid’ah. Patuhilah dan janganlah membangkang. Bersabarlah dan jangan khawatir.
Tunggulah dan jangan berputus asa”. (Al Sya’rani, al Thabaqat al Kubra hal.
129)
“Hendaklah kalian ber-ittiba’ dan tidak
berbuat bid’ah. Hendaklah kalian bermazhab kepada Salafus Shalih. Berjalanlah
pada jalan yang lurus”. (Syaikh Abdul Qadir Jailani dlm Al Fath Ar Rabbani, al
Majlis 4)
“Ikutilah sunnah Rasul dengan penuh
keimanan, jangan membuat bid’ah, patuhlah selalu kepada Allah dan Rasul-Nya, jangan
melanggar, junjung tinggi tauhid dan jangan menyekutukan Dia”. (Syaikh Abdul
Qadir Jailani dlm FUTUH GHAIB risalah 2).
Syaikh Abdul Qadir Jailani berkata; Nabi
bersabda : “Barangsiapa berbuat sesutu yang tidak kami perintahkan, maka
perbuatnnya tertolak. Hal ini meliputi kehidupan, kata dan perilaku. Hanya
Nabilah yang dapat kita ikuti, dan hanya berdasarkan al Qur’anlah kita berbuat.
Maka jangan menyimpang dari keduanya ini, agar engkau tidak binasa, dan agar
hawa nafsu serta setan tidak menyesatkanmu”. (Syaikh Abdul Qadir Jailani dlm
FUTUH GHAIB risalah 36)
Syaikh Abdul Qadir al Jailani merupakan tokoh sufi paling masyhur di Indonesia.
Tokoh yang diyakini sebagai cikal bakal berdirinya Tarekat Qadiriyah ini lebih
dikenal masyarakat lewat cerita-cerita karamahnya dibandingkan ajaran
spiritualnya. Terlepas dari pro dan kontra atas kebenaran karamahnya, Biografi
(manaqib) tentangnya sering dibacakan dalam majelis yang dikenal di masyarakat
dengan sebutan manaqiban. Seharusnya bagi pencari kebenaran dan penuntut
ilmu adalah "wajib" membaca buku-buku yang beliau tulis
sendiri, disamping membaca manaqib yang ditulis oleh orang lain.
Buku-buku yang beliau tulis antara lain:
Al Ghunyah Li thalibi Al Haq Azza wa
Jalla.
Futuh Al Ghaib.
Al Fath Ar Rabbani wa Al Faidh ar-Rahman.
Kitab-kitab Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani yang banyak beredar di
Indonesia, pada umumnya disusun oleh penulis-penulis Indonesia yang maraji’nya
(sumber pengambilan) dari kitab-kitab berbahasa Arab yang antara lain, seperti
Tafrijul Khathir, Muzkin Nufus, Lujainid-Dani.
Buku-buku tentang BARJANZI versi Indonesia antara lain:
Madarij Al-Su’ud ila Iktisah Al-Burud -
Muhammad Nawawi Bin Umar Al-Jawi Al Bantani. Berbagai Terbitan.
Sabil Al-Munji (berbahasa Jawa)- Abu
Ahmad Abd Al-Hamid Al-Qandali (Kendal)
Nur Al-Lail Al-Duji wa Miftah Bab
Al-Yasar (berbahasa Jawa) – Hasan Al-Attas- Pekalongan.
Munyah Al-Martaji fi Tarjamah Maulid Al
Barjanzi (berbahasa Jawa) – Asrari Ahmad- Wonosari Tempuran.
Al Qaul Al-Munji Ala Ma’ani Al Barjanzi
(berbahasa Jawa) – Sa’ad Bin Nashir bin Nabhan. Surabaya
Badr Al-Daji Fi Tarjamah Maulid
Al-Barjanzi (berbahasa Indonesia) –M. Mizan Asrari Zain Muhammad (Sidawaya,
Rembang).
Di bawah ini buku-buku Manaqib Syaikh
Abdul Qadir Jailani (asal terjemahan dari- Lujjain Al-Dani. Penulis, Ja’far Ibn
Hasan Ibn ‘Abd Al-Karim Ibn Muhammmad (1690-1764) beliau juga menulis buku
Al-Iqd Al Jawahir (al-Barjanzi) dan Qishshah Al-Mi’raj); di terbitkan di
Indonesia dengan berbagai versi:
Jauhar Al-Asnani ‘Ala Al-Lujjain Al-Dani
Fi Manaqib Abd Al Qadir - Abu Ahmad Abd Al Hamid Al-Qandali (Kendal) : Semarang
, Al Munawwir.
Al-Nur Al Burhani Fi Tarjamah Al Lujjain
Al-Dani - Muslih Bin Abd Al Rahman Al Maraqi (Mranggen) : Semarang, Toha Putra.
Lubab Al Ma’ani Fi Tarjamah Lujjain
Al-Dani –Abu Muhammad Salih Mustamir Al Hajaini (Kajen) : Kudus, Menara.
Al Nur Al-Amani Fi Tarjamah Al Lujjain
Al-Dani – M.Mizan Asrari Zain Muhammad (Sidawaya Rembang) ; Terbitan sendiri.
Khulashah Al Manaqib Li- Al-Syaikh ‘Abd
Al-Qadir ‘Abd Al Qadir Al-Jilani - Asrari Ahmad (Wonosari, Tempuran) Surabaya,
‘ Istiqomah.
Wawacan Kangjeng Syaikh ‘Abd Al-Qadir
Jilani R.A (berbahasa Sunda) Bandung, Sindangdjaja.
Manaqib Syeikh Abdulqadir Jailani
Radhiyallahu Anhu (berbahasa Arab dan Indonesia) –Abdallah Shonhaji. Semarang,
Al-Munawir.
Lubabul Ma’ani - Abi Shaleh Mustamir
(Juana, Jawa Tengah)
Miftahul Babil Amani -Moh. Hambali.
(Semarang, Jawa Tengah)
An Nurul Burhani – A. Lutfi Hakim dkk
(Semarang, Jawa Tengah)
Nailul Amani – A.Subhi Masyhadi.
(Pekalongan, Jawa Tengah)
Koreksi Terhadap Kitab Manaqib Syaikh
Abdul Qadir Jailani
Dalam kitab Manaqib tersebut tertulis:
- Syaikh Abdul Qadir Jailani pernah duduk selama 30 tahun dengan tidak bergeser
dari tempatnya karena ketaatannya kepada nabi Khidir.
Pada waktu pertama kali masuk Irak, Syaikh Abdul Qadir Jailani ditemani Khidir,
dan Syaikh belum pernah mengenalnya sebelum itu. Kemudian Khidir memberikan
isyarat kepadanya agar ia tidak disalahi dan kalau sampai hal itu terjadi maka
akan menjadi sebab perpisahan antara keduanya. Maka berkatalah Khidir kepadanya
: Duduklah di sini ! Maka beliaupun duduk ditempat yang ditunjuk oleh Khidir
itu selama tiga tahun, yang selalu dikunjunginya setiap setahun sekali dan
katanya lagi: Janganlah engkau bergeser dari tempat itu sampai aku datang [Lubabul
Ma'ani hal. 20]
Bantahan :
Cerita ini terlalu mengada-ada. Duduk selama 3 tahun tanpa beranjak / bergeser
dari tempat duduknya adalah mustahil. Bagaimana Syaikh Abdul Qadir Jailani
mengambil air wudhu, Shalat Jum'at dan Shalat 'Id?
- Diceritakan juga bahwa Syaikh Abdul Qadir Jailani pernah bermimpi junub
sebanyak 40 kali dalam waktu semalam. [Lubabul ma'ani, hal. 20-21]
Bantahan :
Kebohongan yang luar biasa, cukupkah waktu untuk 40 kali tidur, 40 kali
bermimpi bersetubuh dan 40 kali mandi janabat?
- 100 ulama merobek-robek baju sendiri [Lubabul Ma'ani, hal. 23-24]
Bantahan :
Sungguh tidak masuk akal dan tidak pernah terbayang dalam angan-angan orang
yang normal akalnya bahwa seorang yang saleh dan ulama yang ikhlas seperti
Syaikh Abdul Qadir Jailani sampai hati melihat para 'aimmah merobek-robek
pakainnya dan bertingkah polah seperti orang yang tidak waras.
- Di antara kekeramatan Syaikh Abdul Qadir Jailani, bahwa seekor burung Elang
yang terbang di atas majlis syaikh, dimohon kepada angin agar dipenggal leher
burung tersebut, maka putuslah leher burung Elang tersebut. [Lubabul Ma'ani,
hal. 59]
Bantahan :
Burung adalah binatang yang tidak dibekali akal seperti manusia dan tidak
dibebani tata tertib hidup serta tidak terikat dengan berbagai aturan
sesamanya. Ia terbang mengikuti naluri hayawani tanpa memperdulikan apakah ada
makhluk lain yang terganggu olehnya. Maka alangkah teganya hati Syaikh Abdul
Qadir Jailani untuk membunuh burung Elang tersebut.
Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan
mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara)
selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu. (QS. Al
Mulk : 19)
Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit
dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing
telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa
yang mereka kerjakan. (QS. An Nur : 41)
- Diantara kekeramatan lainnya. Matinya seorang pelayan karena sorotan mata
Syaikh Abdul Qadir Jailani karena kesalahannya tidak sudi meletakkan kendi
kearah kiblat. [Lubabul ma'ani, hal. 58-59]
Bantahan :
Peristiwa kesalahan yang tidak patal sehingga membuat Syaikh Abdul Qadir
Jailani untuk membunuh, apakah mungkin dilakukan bagi seorang syaikh yang
berakhlaq mulia?
- Syaikh Abdul Qadir Jailani meramal nasib [Lubabul Ma'ani, hal. 59-64]
Bantahan :
Mirip Mama Lauren aja.
- Syaikh Abdul Qadir Jailani menjamin para muridnya masuk surga [Lubabul
Ma'ani, hal. 80-81]
Bantahan :
Lebih hebat daripada Rasulullah
- Syaikh Abdul Qadir Jailani mengejar Malaikat Maut untuk membatalkan kematian
salah seorang muridnya, sehingga Malaikat Maut mengembalikan lagi ruh yang
sudah dicabut tadi. [Dikutip dari Tafsir al manar, Rasyid Juz XI hal. 423, oleh
HAS. Al Hamdani dalam bukunya Sorotan terhadap Manaqib Syaikh Abdul Qadir
Jailani]
Bantahan : ????
- Syaikh Abdul Qadir Jailani mendapat sepucuk surat dari Allah. [Lubabul
ma'ani, hal. 89]
Bantahan : ??? Sungguh dusta dinisbatkan kepada beliau, kalimat-kalimat
kekufuran!!
Catatan : Mohon diperhatikan agar tidak salah menanggapi artikel ini,
bahwa keterangan-keterangan seperti tersebut di atas tidak dijumpai dalam
kitab-kitab yang ditulis oleh Syaikh Abdul Qadir Jailani sendiri. Beliau
orang yang sangat mulia, rendah hati dan mempunyai aqidah yang bersih dan lurus
insyAllah. Untuk lebih jelasnya silahkan membaca "Buku Putih Syaikh Abdul
Qadir Al Jailani" oleh Dr. Said bin Musfir Al Qahthani, Penerbit Darul
Falah.
[Sumber: Hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com]
[Sumber: Hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com]
Begini Ketegasan Syekh Abdul Qadir
Jailani Terhadap Perkara Bid’ah
Adalah Syekh Abdul Qadir Jailani, siapa
yang tidak tahu dengan sosok ulama tersohor ini? Di Indonesia, nama ini
bukanlah nama yang asing. Hampir semua muslim Indonesia mengenalnya. Bahkan
tidak hanya di Indonesia, ia dikenal baik di seluruh belahan dunia muslim.
Namun sayang, tidak sedikit orang yang telah salah kaprah dalam menilai
sosoknya. Sehingga banyak yang terjerumus dalam perbuatan bid’ah dengan
mengatasnamakan beliau.
Padahal dalam banyak kajiannya, beliau
adalah sosok yang tegas terhadap perkara bid’ah dalam agama. Beliau senantiasa
menasehati muridnya agar mengikuti sunah. Beliau menghubungkan nasihat-nasihatnya
itu dengan tauhid dan pentingnya menjauhi kesyirikan. Beliau
berkata, “Ikutilah sunah dan jangan berbuat bid’ah. Taatilah Allah dan
jangan melanggar larangan-larangan-Nya. Beribadahlah hanya kepada Allah dan
jangan berbuat syirik.” (Futuh Al-Ghaib, Al-Jailani, makalah ke-2, hal:
10)
Dalam kesempatan lain beliau
berujar “Ikutilah sunah dan jangan berbuat bid’ah. Beribadahlah sesuai
sunah dan jangan menyelisihinya. Taatilah dan jangan menentang, Beribadahlah
hanya kepada Allah dan jangan berbuat syirik.” (Al-Fath Ar-Rabbani,
Al-Jailani, nasihat ke-47, hal: 151)
Syaikh abdul Qadir juga menjabarkan bahwa
asas-asas kebaikan adalah hanya dengan mengikuti sunah Nabi SAW. Beliau
mengatakan, “Asas-asas kebaikan hanyalah dengan mengikuti sunah Nabi n, baik
perkataannya maupun perbuatannya.” (Al-Ghaniyyah, Al-Jailani, 1/79)
Selanjutnya, beliau menerangkan bahwa
sesuatu yang paling utama bagi seorang mukmin yang berakal adalah mengikuti
sunah. Beliau menuturkan, “Hal terpenting bagi seorang mukmin yang berakal lagi
cerdas ialah agar mengikuti sunah dan tidak berbuat bid’ah; tidak mempersempit,
mempersulit, apalagi memberat-beratkan diri, karena hal itu akan membuatnya
tersesat, hancur, dan binasa.”
Ahlussunnah wal Jamaah mencela perbuatan
bid’ah dan menentangnya. Mereka berhujah dengan banyak dalil, baik dari
AL-Qur’an maupun As-Sunnah. Allah Ta’ala berfirman,
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ
أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“
…Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa
cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63)
Rasulullah SAW
bersabda, “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya
dari kami, maka ia tertolak.” (HR. Muslim)
Syekh Abdul Qadir Jailani juga menuturkan, “Wajib
bagi seorang mukmin untuk mengikuti sunah dan jamaah. Sunah adalah apa-apa yang
ditetapkan oleh Rasulullah n, sedangkan jamaah adalah apa saja yang disepakati
oleh para shahabat pada masa Khulafa’ Ar-Rasyidin.”
Kemudian, setelah beliau menyampaikan
definisi Ahlussunnah wal Jamaah, beliau mengingatkan berkenaan dengan ahli
bid’ah, beliau menuturkan, “Janganlah kalian bergaul dengan ahli bid’ah, jangan
mendekati mereka, dan jangan memberi salam kepada mereka. Sebab, Imam Ahmad
telah mengatakan, ‘Barangsiapa mengucapkan salam kepada ahli bid’ah, maka
sungguh ia telah mencintainya, karena Nabi SAW bersabda, ‘Sebarkanlah salam di
antara kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.’ (Al-Ghaniyyah, 1/80;
Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, hal: 431)
Beliau mengatakan, “Ketahuilah, bahwa
ahli bid’ah memilki ciri-ciri yang mereka dikenali melalui ciri-ciri tersebut.
Ciri-ciri mereka adalah sebutan-sebutan mereka terhadap ahlul atsar (Ahlus
Sunnah). Kaum Zindik menamai ahlul atsar dengan sebutan Al-Hasyusyiyah; kaum
Qadariyah menyebut ahlul atsar dengan Mujbirah(Jabbariyah);
kaum Jahmiyah menjuluki Ahlus Sunnah dengan Musyabbihah; dan
kaum Rafidhah menyebut ahlul atsar dengan Nashibah. Semua itu hanyalah
fanatisme dan kebencian mereka kepada Ahlus Sunnah.
Tidak ada panggilan bagi Ahlus Sunnah
kecuali hanya satu panggilan, yaitu Ashhabul Hadits. Tidak akan melekat
terhadap Ahlus Sunnah apa pun yang digelarkan oleh ahli bid’ah atas mereka,
sebagaimana tidak melekatnya terhadap Nabi SAW apa-apa yang disematkan oleh
kaum kafir Mekah berupa penyihir, penyair, orang gila, pembuat fitnah, dan
dukun. Tidak ada julukan bagi Rasulullah SAW di sisi Allah, para malaikat,
manusia, jin, dan seluruh makhluk melainkan hanya satu nama, yaitu Nabi dan
Rasul yang terlepas dari celaan-celaan itu seluruhnya.” (Asy-Syaikh Abdul Qadir
Al-Jailani, hal: 477)
Fakhruddin
Sumber: Buku “Biografi Imam Al-Ghazali
Dan Syekh Abdul Qadir Jailani” Karya Ali Muhammad Ash-Shallabi, Penerbit :
Beirut Publishing, Jakarta
https://www.kiblat.net/2018/06/22/begini-ketegasan-syekh-abdul-qadir-jailani-terhadap-perkara-bidah/
Meluruskan Sejarah Biografi Syaikh Abdul Qadir
Jailani
Siapakah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Nama beliau adalah Ja'far bin Tsa'lab bin Ja'far bin Ali bin Muthahhar bin
Naufal Al Adfawi. Seoarang 'ulama bermadzhab Syafi'i yang tinggal di Baghdad.
Kelahiran dan wafatnya beliau :
Dilahirkan pada pertengahan bulan Sya'ban tahun 685 H. Wafat tahun 748 H di
Kairo. Biografi beliau dimuat oleh Al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah,
biografi nomor 1452.
Imam Ibnu Rajab menyatakan bahwa Syeikh
Abdul Qadir Al Jailani lahir pada tahun 490/471 H di kota Jailan atau disebut
juga dengan Kailan. Sehingga diakhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani
atau Al Kailani atau juga Al Jiliy. (Biaografi beliau dimuat dalam Kitab Adz
Dzail 'Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab Al
Hambali. Buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia).
Beliau wafat pada hari Sabtu malam,
setelah maghrib, pada tanggal 9 Rabi'ul Akhir tahun 561 H di daerah Babul Azaj.
Masa muda beliau :
Beliau meninggalkan tanah kelahiran, dan
merantau ke Baghdad pada saat beliau masih muda. Di Baghdad belajar kepada
beberapa orang ulama' seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein Al Farra'
dan juga Abu Sa'ad Al Muharrimi. Beliau belajar sehingga mampu menguasai
ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama'. Suatu ketika
Abu Sa'ad Al Mukharrimi membangun sekolah kecil-kecilan di daerah yang bernama
Babul Azaj. Pengelolaan sekolah ini diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Abdul
Qadir Al Jailani. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim
disana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang yang ada tersebut. Banyak
sudah orang yang bertaubat demi mendengar nasehat beliau. Banyak orang yang
bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau. Sehingga sekolah itu
tidak kuat menampungnya. Maka, diadakan perluasan.
Murid-murid beliau :
Murid-murid beliau banyak yang menjadi
ulama' terkenal. Seperti Al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul
Ahkam Fi Kalami Khairil Anam. Juga Syeikh Qudamah penyusun kitab figh terkenal
Al Mughni.
Perkataan ulama tentang beliau :
Syeikh Ibnu Qudamah rahimahullah ketika
ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir, beliau menjawab, " kami sempat
berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Beliau menempatkan kami di
sekolahnya. Beliau sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra
beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Beliau senantiasa
menjadi imam dalam shalat fardhu." Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal
bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk
belajar kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sampai beliau meninggal dunia.
(Siyar A'lamin Nubala XX/442).
Beliau adalah seorang 'alim. Beraqidah
Ahlu Sunnah, mengikuti jalan Salafush Shalih. Dikenal banyak memiliki
karamah-karamah. Tetapi banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas
nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan,
ajaran-ajaran, "thariqah" yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para
sahabatnya, dan lainnya. Diantaranya dapat diketahui dari perkataan Imam Ibnu
Rajab, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada
masanya. Diagungkan oleh banyak para syeikh, baik 'ulama dan para ahli zuhud.
Beliau banyak memiliki keutamaan dan karamah.
Tetapi ada seorang yang bernama Al Muqri'
Abul Hasan Asy Syathnufi Al Mishri (Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin
Jarir Al Lakh-mi Asy Syath-Nufi. Lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun
713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir Al
Jailani) mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir Al
Jailani dalam tiga jilid kitab. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan
besar (kebohongannya ). Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan
yang dia dengar”. Imam Ibnu Rajab bekata : ” Aku telah melihat sebagian kitab
ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak
meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah mansyhur
dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari
orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh (dari
agama dan akal ), kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil
tidak berbatas. (Seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah
mati, dan sebagainya.) semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul
Qadir Al Jailani rahimahullah. Kemudian aku dapatkan bahwa Al Kamal Ja'far Al
Adfwi (Nama lengkapnya ialah Ja'far bin Tsa'lab bin Ja'far bin Ali bin
Muthahhar bin Naufal Al Adfawi. Seoarang 'ulama bermadzhab Syafi'i. Dilahirkan
pada pertengahan bulan Sya'ban tahun 685 H. Wafat tahun 748 H di Kairo.
Biografi beliau dimuat oleh Al Hafidz di dalam kitan Ad Durarul Kaminah,
biografi nomor 1452.) telah menyebutkan, bahwa Asy Syath-nufi sendiri tertuduh
berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini."(Dinukil
dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh
Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah
1415 H / 8 April 1995 M.). Imam Ibnu Rajab juga berkata, " Syeikh Abdul
Qadir Al Jailani rahimahullah memiliki yang bagus dalam masalah tauhid,
sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma'rifat yang sesuai dengan sunnah.
Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal.
Beliau juga mempunyai kitab Futuhul
Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang berkaitan dengan
nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan
lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Beliau membantah dengan keras terhadap
orang-orang yang menyelisihi sunnah ." Syeikh Abdul Qadir Al Jailani
menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, " Dia ( Allah ) di arah atas,
berada diatas 'arsyNya, meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala
sesuatu." Kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadist-hadist, lalu
berkata " Sepantasnya menetapkan sifat istiwa' ( Allah berada diatas
'arsyNya ) tanpa takwil ( menyimpangkan kepada makna lain ).
Dan hal itu merupakan istiwa' dzat Allah
diatas arsys." (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 515). Ali
bin Idris pernah bertanya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, " Wahai
tuanku, apakah Allah memiliki wali (kekasih) yang tidak berada di atas aqidah (
Imam ) Ahmad bin Hambal?" Maka beliau menjawab, " Tidak pernah ada
dan tidak akan ada."( At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal.
516).
Perkataan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani
tersebut juga dinukilkan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al
Istiqamah I/86. Semua itu menunjukkan kelurusan aqidahnya dan penghormatan
beliau terhadap manhaj Salaf.
Sam'ani berkata, " Syeikh Abdul
Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Beliau seorang Imam bermadzhab
Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau." Imam Adz
Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A'lamin
Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,"Lebih dari lima
ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah
bertaubat."
Imam Adz Dzahabi menukilkan
perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh
sehingga memberikan kesan seakan-akan bekiau mengetahui hal-hal yang ghaib.
Kemudian mengakhiri perkataan, "Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan
yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya
dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun
sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau."( Siyar XX/451
).
Imam Adz Dzahabi juga berkata, "
Tidak ada seorangpun para kibar masyasyeikh yang riwayat hidup dan karamahnya
lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak
diantara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi
".
Syeikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali berkata
dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136, " Aku telah mendapatkan aqidah
beliau ( Syeikh Abdul Qadir Al Jailani ) didalam kitabnya yang bernama Al
Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai
seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan
aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Beliau juga membantah
kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan
kelompok lainnya dengan manhaj Salaf." (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi
Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi,
Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.).
Inilah tentang beliau secara ringkas.
Seorang 'alim Salafi, Sunni, tetapi banyak orang yang menyanjung dan membuat
kedustaan atas nama beliau. Sedangkan beliau berlepas diri dari semua
kebohongan itu. Wallahu a'lam bishshawwab.
Kesimpulannya beliau adalah seorang
'ulama besar. Apabila sekarang ini banyak kaum muslimin menyanjung-nyanjungnya
dan mencintainya, maka suatu kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi
kalau meninggi-ninggikan derajat beliau di atas Rasulullah shollallahu'alaihi
wasalam, maka hal ini merupakan kekeliruan. Karena Rasulullah shollallahu
'alaihi wasalam adalah rasul yang paling mulia diantara para nabi dan rasul.
Derajatnya tidak akan terkalahkan disisi Allah oleh manusia manapun.
Adapun sebagian kaum muslimin yang
menjadikan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai wasilah ( erantara ) dalam
do'a mereka. Berkeyakinan bahwa do'a seseorang tidak akan dikabulkan oleh
Allah, kecuali dengan perantaranya. Ini juga merupakan kesesatan. Menjadikan
orang yang meningal sebagai perantara, maka tidak ada syari'atnya dan ini
diharamkan. Apalagi kalau ada orang yang berdo'a kepada beliau. Ini adalah
sebuah kesyirikan besar. Sebab do'a merupakan salah satu bentuk ibadah yang
tidak diberikan kepada selain Allah. Allah melarang mahluknya berdo'a kepada
selain Allah,
Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah
kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya
disamping ( menyembah ) Allah. ( QS. Al-Jin : 18 )
Jadi sudah menjadi keharusan bagi setiap
muslim untuk memperlakukan para 'ulama dengan sebaik mungkin, namun tetap dalam
batas-batas yang telah ditetapkan syari'ah.
Akhirnya mudah-mudahan Allah senantiasa
memberikan petunjuk kepada kita sehingga tidak tersesat dalam kehidupan yang
penuh dengan fitnah ini.
Wallahu a'lam bishshawab
[Sumber : Majalah Assunnah Edisi 07/Tahun
VI/1423H/2002M]
Kesabaran Syaikh Abdul Qaidr Al-Jailani dalam
Menuntut Ilmu
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
rahimahullah Mengais Sisa-sisa Makanan Karena Lapar
Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali
rahimahullah berkata dalam kitabnya Dzailu Thabaqatil Hanabilah,I:298,
tentang biografi Imam Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani rahimahullah (wafat
tahun 561 H.), “Syaikh Abdul Qadir berkata, “Aku memunguti selada, sisa-sisa
sayuran dan daun carob dari tepi kali dan sungai. Kesulitan yang menimpaku
karena melambungnya harga yang terjadi di Baghdad membuatku tidak makan selama
berhari-hari. Aku hanya bisa memunguti sisa-sisa makanan yang terbuang untukku
makan.
Suatu hari, karena saking laparnya, aku
pergi ke sungai dengan harapan mendapatkan daun carob, sayuran, atau selainnya
yang bisa ku makan. Tidaklah aku mendatangi suatu tempat melainkan ada orang
lain yang telah mendahuluinya. Ketika aku mendapatkannya, maka aku melihat orang-orang
miskin itu memperebutkannya. Maka, aku pun membiarkannya, karena mereka lebih
membutuhkan.
Aku pulang dan berjalan di tengah kota.
Tidaklah aku melihat sisa makanan yang terbuang, melainkan ada yang
mendahuluiku mengambilnya. Hingga, aku tiba di Masjid Yasin di pasar minyak
wangi di Baghdad. Aku benar-benar kelelahan dan tidak mampu menahan tubuhku.
Aku masuk masjid dan duduk di salah satu sudut masjid. Hampir saja aku menemui
kematian. Tib-tiba ada seorang pemuda non Arab masuk ke masjid. Ia membawa roti
dan daging panggang. Ia duduk untuk makan. Setiap kali ia mengangkat tangannya
untuk menyuapkan makanan ke mulutnya, maka mulutku ikut terbuka, karena aku
benar-benar lapar. Sampai-sampai, aku mengingkari hal itu atas diriku. Aku
bergumam, “Apa ini?” aku kembali bergumam, “Disini hanya ada Allah atau
kematian yang telah Dia tetapkan.”
Tiba-tiba pemuda itu menoleh kepadaku,
seraya berkata, “Bismillah, makanlah wahai saudaraku.” Aku menolak. Ia
bersumpah untuk memberikannya kepadaku. Namun, jiwaku segera berbisik untuk
tidak menurutinya. Pemuda itu bersumpah lagi. Akhirnya, akupun mengiyakannya. Aku
makan dengan tidak nyaman. Ia mulai bertanya kepadaku, “Apa pekerjaanmu? Dari
mana kamu berasal? Apa julukanmu?” Aku menjawab, “Aku orang yang tengah
mempelajari fiqih yang berasal dari Jailan bernama Abdul Qadir. Ia dikenal
sebagai cucu Abdillah Ash-Shauma ‘I Az-Zahid?” Aku berkata, “Akulah orangnya.”
Pemuda itu gemetar dan wajahnya sontak
berubah. Ia berkata, “Demi Allah, aku tiba di Baghdad, sedangkan aku hanya
membawa nafkah yang tersisa milikku. Aku bertanya tentang dirimu, tetapi tidak
ada yang menunjukkanku kepadamu. Bekalku habis. Selama tiga hari ini aku tidak
mempunyai uang untuk makan, selain uang milikmu yang ada padaku. Bangkai telah
halal bagiku (karena darurat). Maka, aku mengambil barang titipanmu, berupa
roti dan daging panggang ini. Sekarang, makanlah dengan tenang. Karena, ia
adalah milikmu. Aku sekarang adalah tamumu, yang sebelumnya kamu adalah
tamuku.”
Aku berkata kepadanya, “Bagaimana
ceritanya?” Ia menjawab, “Ibumu telah menitipkan kepadaku uang 8 dinar untukmu.
Aku menggunakannya karena terpaksa. Aku meminta maaf kepadamu.” Aku menenangkan
dan menenteramkan hatinya. Aku memberikan sisa makanan dan sedikit uang sebagai
bekal. Ia menerima dan pergi.”
[Dahsyatnya Kesabaran Para Ulama, Syaikh
Abdul Fatah, Zam-Zam Mata Air Ilmu, 2008. Judul asli: Shafahat min
Shabril ‘Ulama’, Syaikh Abdul Fatah, Maktab Al-Mathbu’at Al-Islamiyyah cet.
1394 H./1974 M.] Sumber: www.KisahMuslim.com
Wasiat Emas Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Rahimahullah, (bernama lengkap Muhyi al Din Abu Muhammad Abdul Qadir
ibn Abi Shalih Al-Jailani). Lahir di Jailan atau Kailan tahun
470 H/1077 M kota Baghdad sehingga di akhir nama beliau ditambahkan
kata al Jailani atau al Kailani. Biografi beliau dimuat dalam Kitab Adz
Dzail ‘Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab
al Hambali.
Beberapa Nasehat Beliau untuk Ittiba'
Kepada Sunnah dan Menjauhi Bid'ah
"Janganlah
berbuat bid'ah dan sesuatu yang baru dalam agama Allah. Ikutilah para
saksi yang adil berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah karena keduanya akan
mengantarkanmu kepada Tuhanmu 'Azza wa Jalla. Jika kamu berbuat bid'ah, saksimu
adalah akal dan hawa nafsumu sendiri. Keduanya akan mengantarkanmu kepada neraka
dan mempertautkanmu dengan Fir'aun, Haman, beserta bala tentaranya. Jangan
engkau berhujah dengan qadr, karena itu tidak akan diterima darimu. Engkau
harus masuk Darul Ilmi dan belajar, beramal, lalu ikhlas". (Syaikh Abdul
Qadir Jailani dalam Al Fath Ar Rabbani, al Majlis 47)
"Ber-ittiba'lah dan jangan
berbuat bid'ah. Patuhilah dan janganlah membangkang. Bersabarlah dan
jangan khawatir. Tunggulah dan jangan berputus asa". (Al Sya'rani, al
Thabaqat al Kubra hal. 129)
"Hendaklah kalian ber-ittiba' dan
tidak berbuat bid'ah. Hendaklah kalian bermazhab kepada Salafus Shalih.
Berjalanlah pada jalan yang lurus". (Syaikh Abdul Qadir Jailani dalam Al
Fath Ar Rabbani, al Majlis 4)
"Ikutilah sunnah Rasul dengan penuh
keimanan, jangan membuat bid'ah, patuhlah selalu kepada Allah dan
Rasul-Nya, jangan melanggar, junjung tinggi tauhid dan jangan menyekutukan
Dia". (Syaikh Abdul Qadir Jailani dalam FUTUH GHAIB risalah 2).
Syaikh Abdul Qadir Jailani berkata; Nabi
Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda : "Barangsiapa berbuat sesuatu
yang tidak kami perintahkan, maka perbuatnnya tertolak. Hal ini
meliputi kehidupan, kata dan perilaku. Hanya Nabilah yang dapat kita ikuti, dan
hanya berdasarkan al Qur'anlah kita berbuat. Maka jangan menyimpang dari keduanya
ini, agar engkau tidak binasa, dan agar hawa nafsu serta setan tidak
menyesatkanmu". (Syaikh Abdul Qadir Jailani dalam FUTUH GHAIB risalah 36).
Nasehat Syaikh Abdul Qadir al Jailani
Dimana Syukurmu?
Syaikh Abdul Qodir al Jailani
rahimahullah berkata: Tidak baik bagimu jika engkau kagum dengan amal-amalmu,
engkau bangga dengan dirimu sendiri, dan meminta imbalan dari setiap amal yang
engkau lakukan. Padahal.. Engkau bisa beramal karena taufik dari Allah,
pertolongan, kekuatan, kehendak dan karunia-Nya. Jika engkau bisa menjauh dari
maksiat, maka itupun terjadi karena perlindungan, penjagaan dan pengayoman-Nya.
Dimana dirimu dari sikap bersyukur, mengapa engkau tidak mengakui nikmat-nikmat
yang diguyurkan kepadamu? [Lihat kitab Futuhul Ghaib]
[Dikutip dari buku ‘Nasehat Syaikh Abdul
Qadir Jailani, Oleh: Syaikh Shalih Ahmad Syami]
Gambaran Tawadhu’
Syaikh Abdul Qodir al Jailani
rahimahullah menggambarkan tentang TAWADHU’:
Yaitu seseorang tidak berjumpa dengan
yang lain kecuali ia berpandangan bahwa orang itu memiliki kebaikan atas
dirinya, dan ia berkata: “Semoga ia lebih baik di sisi Allah dariku dan
menganugerahkan kepadanya derajat yang tinggi.”
Jika ia lebih muda darinya, ia berkata:
“Ia belum bermaksiat kepada Allah, sementara aku sudah banyak bermaksiat, tidak
diragukan lagi ia lebih baik dariku.”
Jika ia lebih tua darinya, ia berkata:
“Ia telah lebih dulu beribadah kepada Allah dariku.”
Jika ia lebih berilmu darinya, ia
berkata: “Ia telah diberikan apa yang aku belum sampai kepadanya, ia telah
memperoleh apa yang belum aku peroleh, ia seorang alim tapi aku seorang yang
jahil, ia beramal dengan ilmunya.”
Jika ia lebih jahil darinya, ia berkata:
“Ia bermaksiat kepada Allah karena kejahilannya, sementara aku bermaksiat
kepada Allah padahal aku berilmu, aku tidak tahu pasti dengan cara
bagaimana Allah menutup hidupku. Serta dengan cara bagaimana Allah menutup
hidupnya.”
Bila ia seorang hamba, ia berdoa: “Semoga
Allah menghindarkan dirinya dari kesesatan.” [Lihat kitab Futuhul Ghaib]
[Dikutip dari buku ‘Nasehat Syaikh Abdul
Qadir Jailani, Oleh: Syaikh Shalih Ahmad Syami]
Obat Kekerasan Hati
Syaikh Abdul Qodir al Jailani
rahimahullah berkata:
Rendahkanlah hatimu dengan berdzikir.
Ingatlah Dia ketika datangnya Hari
Kebangkitan.
Pikirkanlah nasibmu di alam kubur.
Pikirkanlah bagaimana Allah ‘Azza wa
Jalla menghimpun manusia di padang Mahsyar, dan mereka berdiri di hadapan-Nya.
Jika engkau memikirkan hal ini maka kekerasan hatimu akan hilang, ia akan
menjadi lembut dan suci.
[al Fathu Rabbani wal Faidhu Rahmani]
[Dikutip dari buku ‘Nasehat Syaikh Abdul
Qadir Jailani, Oleh: Syaikh Shalih Ahmad Syami]
Menjalani Sebab
Syaikh Abdul Qodir al Jailani berkata:
“Rasakanlah pahitnya obat, dan berdirilah
di depan pintu pekerjaan untuk memasukinya, sehingga engkau dapat
bersungguh-sungguh dengannya.
Jangan sekali-kali hanya duduk di atas
tempat pembaringan, atau tidur di balik selimut, atau bersembunyi di balik
pintu kemudian engkau meminta pekerjaan. Itu suatu hal yang mustahil. [al Fathu
Rabbani wal Faidhu Rahmani]
[Dikutip dari buku ‘Nasehat Syaikh Abdul
Qadir Jailani, Oleh: Syaikh Shalih Ahmad Syami]
Berempatilah Kepada Kaum Fakir
Syaikh Abdul Qadir al Jailani
rahimahullah berkata:
Berempatilah dengan kaum fakir dengan
harta yang kalian miliki, jangan sekali-kali menolak dengan terang-terangan
seorang yang sangat membutuhkan padahal kalian sanggup memberi, baik sedikit
maupun banyak.
Perhatikanlah dengan seksama bahwa Allah
‘Azza wa Jalla adalah Dzat yang senang memberi.
Bersyukurlah, karena Allah telah
menganugerahkan kepada kalian untuk memberi dan berempati.
Celaka engkau, orang-orang butuh yang
mengharapkan empatimu adalah hadiah Allah kepada, bagaimana mungkin engkau
menolak hadiah itu, sementara engkau sanggup memberi sesuatu kepadanya.[*]
Dihadapanku engkau mendengar petuahku
lalu menangis. Tapi, jika seorang fakir datang mengharapkan bantuanmu, hatimu
tiba-tiba menjadi keras, itu artinya pendengaran dan tangisanmu belum bisa dikatakan
ikhlas dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla. [al Fathu Rabbani wal Faidhu Rahmani]
______
[*] Zainal Abidin apabila seorang
peminta-minta datang kepadanya, beliau berkata kepadanya, “Selamat datang wahai
saudaraku, engkau telah datang membawa bekal untuk akhirat kami.
[Dikutip dari buku Nasehat Syaikh Abdul
Qadir al Jailani, Syaikh Shalih Ahmad Syami, Penerbit Tazkia]
Tanda-Tanda Ikhlas
Syaikh Abdul Qodir al Jailani
rahimahullah berkata:
“Tanda-tanda keikhlasanmu adalah engkau
tidak peduli dengan sanjungan makhluk dan tidak menoleh kepada cacian mereka,
engkau tidak berambisi memperoleh apa yang berada di tangan mereka.” [al Fathu
Rabbani wal Faidhu Rahmani]
[Dikutip dari buku Nasehat Syaikh Abdul
Qadir al Jailani, Syaikh Shalih Ahmad Syami, Penerbit Tazkia]
Dengarkan Nasihat
Biasakanlah mendengarkan nasihat
kebaikan, karena sesungguhnya hati jika terlampau lama tidak mendengar nasihat,
ia akan menjadi berkarat dan buta.
Jangan memandang enteng ungkapan penuh
hikmah yang keluar dari mulut para ulama, karena ia merupakan intisari dan buah
dari wahyu Allah ‘Azza wa Jalla. [al Fathu Rabbani wal Faidhu Rahmani]
[Dikutip dari buku ‘Nasehat Syaikh Abdul
Qadir Jailani, Oleh: Syaikh Shalih Ahmad Syami]
Berserah Diri Kepada Allah ‘Azza wa Jalla
Syaikh Abdul Qadir al Jailani
Rahimahullah berkata:
“Berpaling dari Allah pada saat
ketetapan-Nya turun adalah kematian agama, kematian tauhid, kematian tawakkal,
dan kematian keikhlasan. Hati seorang Mukmin tidak mengenal kata, ‘Mengapa’
atau ‘Bagaimana’. [al Fathu Rabbani wal Faidhu Rahmani]
[Dikutip dari buku ‘Nasehat Syaikh Abdul
Qadir Jailani, Oleh: Syaikh Shalih Ahmad Syami] Sumber: Kisahislam.net
143615:
Sekilas Tentang Abdul Qodir al Jaelani dan Mu’inuddin al Jasyti dan Akidah
Keduanya
Apakah anda bisa menjelaskan sejarah dari
Syeikh Abdul Qodir al Jaelani dan al Khowajah Mu’inuddin al Jasyti ?; karena
pengikut mereka banyak tersebar di dunia, oleh karena itu saya ingin mengetahui
sejauh mana kebenaran yang mereka bawa.
Published Date: 2016-04-15
Alhamdulillah
Pertama:
1. Abdul
Qodir al Jaelani, nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdul Qodir bin Abu
Shaleh Abdullah bin Janki Duusat al Jaili al Hambali.
2. Syeikh
Abdul Qodir dilahirkan di Jaelan, daerah di belakang Thabaristan pada tahun 471
H. dan meninggal dunia pada tahun 561 H.
3. Dia
belajar dari Abu Ghalib Al Baqelani, Ahmad bin Mudzaffar dan Abu Qasim bin
Bayan. Dan yang meriwayatkan darinya adalah As Sam’ani, al Hafidz Abdul
Ghoniy, dan Syeikh Muwaffiqud Diin Ibnu Qudamah.
4. Imam
Dzahabi –rahimahullah- menyatakan tentangnya: “Dia adalah seorang syeikh, imam,
ulama, orang yang zuhud, pandai, menjadi teladan, syeikh Islam, mengetahui para
wali.
(Siyar A’laam Nubala’: 20/439)
Imam As Sam’ani –rahimahullah- berkata:
“Abdul Qodir termasuk penduduk Jaelan,
imam dari madzhab Hambali, menjadi guru mereka pada masanya, ahli fikih,
sholeh, agamawan, baik, banyak berdzikir, selalu berfikir, mudah menangis”.
(Siyar A’laam Nubala’: 20/441)
Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata:
“Dia mempunyai perangai yang baik,
pendiam, cepat melakukan amar ma’ruf dan mencegah yang mungkar, nampak sekali
kezuhudannya, dia mempunyai perangai yang sholeh dan penerawangan, pengikut dan
para sahabatnya banyak yang menuliskan tentangnya, mereka menyebutkan tentang
diri beliau dengan perbuatan, perkataan, penerawangan yang kebanyakan terlalu
berlebihan, dia termasuk orang sholeh dan wara’ (hati-hati dalam masalah yang
syubhat), dia telah mengarang buku “Al Ghunyah” dan “Futuh al Ghaib” di dalam
kedua buku tersebut ada banyak kebaikan, dia juga menyebutkan di dalam kedua
bukunya hadits-hadits dha’if dan maudhu’ (palsu), secara umum dia termasuk
pemuka dari para syeikh”. (Al Bidayah wan Nihayah: 12/768)
5. Sebagian
pelajar yang mencari tahu tentang akidah al Jaelani dan biografinya,
sebagaimana yang dilakukan oleh Sa’id bin Mufassir –semoga Alloh memberinya
taufik- dalam bukunya “Syeikh Abdul Qodir al Jaelani wa Aara’ahu al I’tiqadiyah
was Shufiyyah”,buku ini merupakan desertasi ilmiyah untuk mendapatkan gelar
Doktor dari Universitas Ummul Quro, dia telah menyebutkan pada kesimpulan
desertasinya:
a. Bahwa
Syiekh Abdul Qadir al Jaelani berakidah salaf, sesuai dengan manhaj ahlus
sunnah wal jama’ah dalam semua masalah akidah, seperti masalah iman, tauhid,
kenabian, hari akhir, dia juga menentukan akan kewajiban mentaati para wali
amri (pemimpin) dan tidak boleh keluar dari mereka.
b. Dia
termasuk tokoh orang-orang shufi pada generasi awalnya sesuai dengan pemahaman
shufi yang seimbang dan dekat dengan sunnah, yang kebanyakan bersandarkan
kepada al Qur’an dan sunnah disertai banyak perhatian pada masalah-masalah
hati.
c.
Bahwa beliau –rahimahullah- dilihat dari sisi mempelajari ilmu tasawuf dari
para tokohnya yang banyak membutuhkan ilmu yang berdasarkan kepada al Qur’an
dan sunnah, seperti syeikhnya ad Dabbas yang ummi (tidak bisa membaca dan
menulis), beliau –rahimahullah- telah melakukan beberapa syathahat
(tarikat-tarikat) dan beberapa bid’ah di dalam beribadah, tapi semua itu
tertutupi oleh lautan kebaikannya, karena terjaga dari dosa itu tidak terjadi
kecuali kepada para Nabi dan selain dari pada mereka berpeluang untuk melakukan
kesalahan, dan jika air itu melebihi dua kullah maka tidak akan terpengaruh
oleh kotoran.
d. Bahwa
hampir semua karamah yang dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qodir al Jaelani
terlalu berlebih-lebihan, sebagiannya tidak benar. Adapun yang bisa diterima,
bisa jadi karena firasat atau karena karamah yang ahlus sunnah wal jama’ah
meyakini masih bisa terjadi sesuai dengan koridor-koridor syar’i yang
dijelaskan di dalam risalahnya.
(Syeikh Abdul Qodir al Jaelani wa
Aaraauhu al I’tiqadiyyah was Shufiyyah: 660-661)
Kedua:
Sedangkan Mu’inuddin al Jasyti adalah:
1. Dia
adalah al Khowaja Mu’inuddin Hasan bin al Khowaja Ghiyatsuddin as Sajzi,
dikenal dengan “Gharib Nuwwaz” yaitu; penolong orang-orang fakir atau suka
memberi sesuatu kepada mereka.
2.
Dilahirkan di Sistan sebelah timur lautnya Iran pada tahun: 536 H. dan
meninggal dunia pada tahun: 627 H.
3. Dia
termasuk wali yang paling populer di kawasan Asia utara, kuburannya paling
banyak dikunjungi oleh para penganut shufi dan yang ahli khurafat, bahkan dia
juga dikunjungi oleh mereka yang beragama Hindu.
4.
Dikatakan tentang sebab dia menganut ajaran shufi adalah bahwa pada saat Al
Jasyti mengairi tanamannya di sawahnyam, dia dikunjungi oleh seorang laki-laki
shufi namanya Syeikh Ibrohim Kunduz, maka dia yang masih berjiwa muda pun
mendekati Syiekh tersebut, dia pun memberinya beberapa buah-buahan, sebagai
imbalannya Syeikh Ibrohim Kunduz pun bercerita tentang kisah jenggotnya dan
memintanya untuk memakannya, maka Mu’inuddin pun memakannya, tiba-tiba perutnya
bercahaya !, kemudian dia melihat dirinya sedang berada di alam lain yang asing
baginya. Setelah kejadian itulah dia meninggalkan kebun dan semua aset
pertaniannya, dia pun membagi semua hartanya kepada fakir miskin dan
meninggalkan urusan duniawi, lalu dia pergi ke Bukhoro untuk belajar.
5. Al
Jasyti banyak berkelana di berbagai tempat di dunia, kemudian dia menentukan
untuk pindah ke India karena dia pernah bermimpi bertemu dengan Nabi –shallallahu
‘alaihi wa sallam- dan beliau menyuruhnya untuk pindah. Maka dia pun pergi ke
India dan singgah di Lahor setelah beberapa lama dia singgah juga di Ijmir di
daerah Rajistan. Dia pun bertempat tinggal di sana sampai meninggal dunia.
6. Dialah
penyebar aliran shufi yang bid’ah dengan nama “al Jasytiyah” karena dinisbatkan
ke sebuah desa yang bernama “Jisyti” di Harah di sebelah barat laut dari
Afganistan di India.
7. Thariqat
Mu’inuddin tidak berbeda dengan thariqat shufi lainnya yang mengandung bid’ah,
bahkan sebagian thariqat tersebut mengandung aqidah yang kafir.
Dan pada thariqat ini mereka menyebutnya
dengan “Muraqabah al Jisytiyah” (pengawasan al Jisyti) yaitu menghabiskan
setengah jam setiap pekannya di salah satu kuburan, dengan menutup kepalanya
dan berdzikir dengan ungkapan: “Alloh Hadhiri” (Alloh sedang hadis
menyertaiku), “Alloh Nadziri” (Alloh sedang melihatku).
Tidak diragukan lagi bahwa perkara
tersebut merupakan bid’ah yang sesat, bahkan dihawatirkan akan menjadi pintu
masuk menuju syirik kepada Alloh –Ta’ala-, karena seorang penganut shufi akan
tunduk kepada orang yang di dalam kuburan, dan menjadikan persaksian,
pengawasan dan kehadirannya di hadapannya –anggapan mereka- merupakan syirik
besar.
Ketiga:
Ulama Lajnah Daimah pernah ditanya:
“Saya berharap dari anda yang terhormat
agar menuliskan untuk kami dengan ringkas tentang shufiyah dan pengikutnya,
apakah yang dimaksud shufiyah ?, apa saja akidah mereka ?, bagaimanakah
pendapat ahlus sunnah terhadap mereka ?, apa yang seharusnya dilakukan oleh
ahlus sunnah wal jama’ah kepada mereka ?, atau bagaimanakah sebaiknya bergaul
dengan mereka, jika mereka bersi keras pada akidah mereka ?, mereka meyakini
bahwa mereka berada di dalam kebenaran meskipun kebenaran telah nampak di hadapan
mata kepala mereka sendiri ?”.
Mereka menjawab:
“Kata “shufiyyah” dinisbatkan ke shuf
(bulu domba); karena menjadi ciri khas mereka dalam berpakaian, hal ini dekat
dengan maknanya secara bahasa dan sesuai dengan realita mereka. Adapun pendapat
yang mengatakan bahwa shufiyyah dinisbatkan ke “Shuffah” karena ada kesamaan
mereka dengan orang-orang fakir dari para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- yang
mereka bertempat tinggal di emperan masjid Nabawi, atau dinisbatkan kepada
“Shofwah” karena kejernihan hati dan amalan mereka, semua itu merupakan
kesalahan dan tidak benar; karena kalau dinisbatkan ke kata " صفّة " (Shuffah)
maka harusnya menjadi "صفّي " (Shuffi)
huruf fa’ dan ya’nya bertasydid, kalau dinisbatkan ke "صفوة" (Shofwah)
maka harusnya menjadi "صفويّ" (Shofwi) dan
kerena kedua makna tersebut tidak sesuai dengan sifat mereka, karena akidah
mereka banyak mengandung kerusakan dan bid’ah.
Semua thariqat shufi atau yang dinamakan
dengan tasawuf belakangan ini, kebanyakan mereka mengamalkan bid’ah yang mengandung
syirik dan atau amalan yang bisa membawanya kepada kesyirikan, akidah yang
rusak, menyimpang dari al Qur’an dan sunnah, seperti; meminta pertolongan
kepada orang yang sudah mati dan dari kalangan tokoh mereka dengan mengatakan:
“مدد يا سيدي” (Lapangkanlah wahai tuan
kami), “مدد يا سيدة زينب “ (Lapangkanlah
wahai siti Zainab), “ مدد يا بدوي “ (Lapangkanlah
wahai Badwi), atau “يا دسوقي “ (wahai
Dasuqi) dan lain-lain dari bentuk meminta pertolongan kepada para Syeikh dan
tokoh mereka. Mereka meyakini bahwa mereka sebagai mata-mata semua hati, mereka
mengetahui yang ghaib, mengetahui apa yang tersembunyi di dalam hati, mereka
juga yang melakukan di balik sebab-sebab yang biasa, seperti memberi nama
kepada Alloh dengan nama yang Dia sendiri tidak menamakannya, seperti; Huwa
Huwa dan Aah Aah Aah.
Orang-orang shufi mempunyai wirid-wirid
yang mengandung bid’ah dan doa-doa yang tidak disyari’atkan, mereka mengambil
janji kepada para murid (orang yang mengikuti thariqat mereka) agar
mereka berdzikir kepada Alloh sesuai dengan manasik dan ibadah mereka dengan
nama-nama tertentu dari nama-nama Alloh yang dilakukan dengan secara
berjama’ah, seperti; Alloh Yang Maha Hidup, Maha Berdiri Sendiri, yang
diulang-ulang setiap hari, dan tidak beralih kepada nama-nama Alloh yang lain
kecuali atas seizin para syeikh mereka, kalau tidak maka dianggap telah
bermaksiat dan takut dari khodam nama-nama tersebut, semua itu dilakukan dengan
memohon, ruku’, mengangkat kepala dari ruku’, tarian, nasyid, tepuk tangan dan
lain sebagainya yang tidak ada dasarnya dan tidak ada di dalam kitabullah dan
juga sunnah Rasul-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Maka menjadi kewajiban seorang muslim
agar tidak ikut duduk di dalam majelis mereka dan menjauh tidak berbaur dengan
mereka, agar tidak terpengaruh dengan akidah mereka yang rusak dan ikut
terjerumus bersama mereka kepada kesyirikan dan bid’ah, dan hendaknya
menasehati mereka dan menjelaskan kebenaran kepada mereka; mudah-mudahan Alloh
memberikan hidayah kepada mereka melalui dirinya, namun tetap mengakui
perbuatan mereka yang masih sesuai dengan al Qur’an dan sunnah, dan mengingkari
semua yang bertentangan dengan keduanya, tentunya dengan tetap berkomitmen
kepada manhaj ahlus sunnah wal jama’ah agar selamat dalam menjalankan agama.
Barang siapa yang ingin mengetahui keadaan orang-orang shufi dan keyakinan
mereka dengan rinci, maka hendaknya membaca kitab “Madarikus Salikin” karangan
Ibnu Qayyim al Jauziyah dan kitab “Hadzihi Hiya ash Shufiyah” karangan
Abdurrahman al Wakil.
(Syeikh Abdul Aziz, Syiekh Abdul Aziz Alu
syeikh, Syeikh Sholeh al Fauzan, Syeikh Bakr Abu Zaid)
Fatawa Lajnah Daimah / Jilid 2 :
(2/88-90)
Baca juga jawaban soal nomor: 20375 penjelasan tentang hukum bergabung kepada thariqat shufiyah.
Wallahu A’lam.