Melihat Syeikh Abdul Qadir al-Jailani,
sebaiknya umat Islam tak hanya fokus pada sisi kesufian saja, juga kegigihan
beliau melawan/memberantas aliran menyimpang
SYEIKH Abdul Qadir al-Jailâni atau
al-Kailâni (470-561 H / 1077-1166 M), yang di Indonesia lebih dikenal dengan
kewaliannya atau karamahnya, memiliki sisi lain yang jarang diketahui –atau
kurang diperhatikan- kebanyakan orang. Dalam lembaran sejarah, bersama gerakan
Qadiriyahnya, beliau memiliki kontribusi cukup besar dalam mempertahankan
akidah Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Pada masa hidupnya, memang sedang terjadi
konflik antara Islam dan Kristen; konflik Syiah (diwakili Daulah Fathimiyah)
dan Sunni (diwakili Daulah Abbasiyah), percekcokan madzhab fikih; demikian juga
aliran-aliran menyimpang tumbuh subur (M. Shallâbi, Syeikh Abdul Qâdir
al-Jailâni, 22). Kondisi sosial yang penuh konflik tersebut, tentu saja turut
berpengaruh dalam menentukan pilihan peran strategisnya.
Salah satu bentuk konkret kontribusi
ulama bermadzhab Hanbali ini, adalah menanggulangi secara aktif aliran-aliran
menyimpang, contohnya: Syi’ah. Dalam bukunya yang berjudul “al-Ghunyah li
Thâlibi Thârîq al-Haqqi Azza wa Jalla” (1417: 179-184), beliau membahas
tentang bagian-bagian Syi’ah serta beberapa penyimpangannya.
Menariknya, Syeikh Abdul Qadir al-Jailâni
dalam membantah ajaran-ajaran sesat Syi’ah, atau aliran menyimpang lainnya,
tidak mengedepankan emosi, tapi argumentasi. Dr. Mâjid Ersan al-Kailâni dalam
buku “Hâkadza Dhahara Jîlu Shalâhuddîn wa Hâkadza Âdat al-Quds” (1995: 236-238)
menyebutkan bahwa Syeikh Pendiri Madrasah Qadiriyah ini melawan aliran-aliran
menyimpang pada zamannya melalui diskusi atau dialog.
Diskusi yang dilakukan beliau
–sebagaimana catatan Muhammad al-Shallâbi dalam “Ashru al-Daulah al-Zankiyah”-
memiliki dua keistimewaan: Pertama, menggugurkan argumentasi lawan-lawan
dialognya bukan dengan ideologi Sunni yang diyakininya, tapi justru menggunakan
ideologi menyimpang mereka. Artinya, beliau menjatuhkan mereka, dengan senjata
yang mereka sendiri. Kedua, luasnya pengetahuannya mengenai aliran-aliran
menyimpang. Tak mengherankan jika beliau sangat berani berdiskusi dengan
aliran-aliran menyimpang (2017: 406-407)
Ketika membahas Syi’ah, Syeikh Abdul
Qadir mengulas sejarah serta akidah mereka sembari menjelaskan dengan lugas
perbedaan antara kelompok-kelompok yang moderat dengan kelompok yang
bersembunyi dengan baju Syi’ah. Beliau menandaskan bahwa kelompok yang
bersembunyi ini memiliki akar (ideologi) Yahudi (yaitu kelompok Rafidhah).
Sebagai contoh, berikut adalah catatan
beliau: “Orang Yahudi berkata: tidak ada jihad di jalan Allah sampai keluarnya
Masih Dajjal serta turun dengan sebab dari langit. Kelompok Rafidhah juga
berkata: tidak ada jihad fî sabîlillah hingga keluarnya Imam Mahdi dan ada
panggilan dari langit. Orang Yahudi mengakhirkan shalat Maghrib. Demikian
juga kelompok Rafidhah juga mengakhirkannya. Orang Yahudi benci pada Jibril
‘alahis salam dan mengatakan bahwa ia adalah musuh kita dari kalangan malaikat.
Kelompok Rafhidah juga membeo bahwa Jibril ‘alaihis salam salah menyampaikan
wahyu kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam padahal sebenarnya wahyu itu
diturunkan kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.” (Abdul Qadir
Jailani, al-Ghunyah, 184)
Syeikh Abdul Qadir al-Jailâni ini juga
mengingkari kaum konservatif Syiah yang menyatakan bahwa ketiga khalifah
rasyidin (Abu Bakar, Umar dan Utsman) tidak sah. Beliau menetapkan bahwa
khilafah ketiganya berdasarkan mandat nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wassallam dan Ali sendiri juga membaiat mereka.
Meski demikian, kritik-kritik yang
dilontarkan beliau tidak sampai mengakibatkan permusuhan (fisik) seperti
konflik yang terjadi di antara madhzab-madzhab yang lain. Beliau tetap komitmen
dengan metode obyektif dan akhlak ulama, ini karena –sebagaimana riwayat
At-Tadafi- bahwa ulama-ulama Syi’ah pernah mendatangi majelis Syeih Abdul
Qadir, dan beliau berdialog mengenai akidah mereka.
Walau begitu, akibat sikap kritisnya ini,
beliau sangat dibenci kalangan Syi’ah Rafidhah Bhatiniyah baik secara politik
dan pemikiran. Pada tahun 914 H/1508 M misalnya, Syah Isma’il As-Shafawi saat
menduduki (menaklukkan) Baghdad, dedengkot Syi’ah ini menghancurkan Madrasah
Qadiriyah, kuburan beliau, serta menyakiti keluarga Kailani sehingga membuat
mereka berpencar-pencar ke berbagai negeri. Kehebatan madrasah ini baru bisa
dikembalikan di era Sultan Sulaiman al-Qanuni dari Daulah Utsmaniyah (Majid
al-Kailâni, Nasy’ah al-Qadiriyah, 129)
Lebih dari itu, pada tahun 80-an seorang
“muhaqqiq” (pemeriksa atau pengoreksi) yang dikenal sebagai seorang shufi
terkenal di Iraq, ketika meneliti kitab “al-Gunyah” karya Syeikh Abdul Qadir,
dengan sengaja menghapus bagian tentang pembahasan tercelanya Syi’ah (Arsyîf
Multaqa Ahli al-Hadîts, III/8: 231) Bisa jadi, seorang “muhaqqiq” shufi itu
adalah orang Syi’ah yang berusaha menghilangkan kritik Syeikh Abdul Qadir
tentang Syi’ah, atau kemungkinan lain ia telah bersekongkol dengan orang Syi’ah
untuk menghapus jejak tulisan beliau mengenai Syi’ah. Wallahu a’lam.
Terlepas dari itu semua, peran besar yang
dimainkan oleh Syeikh Abdul Qadir (sebagaimana yang ditandaskan oleh Majid dan
Shallabi) yaitu kontribusi efektifnya dalam melawan pemikiran (aliran)
menyimpang, seperti: Syi’ah Konservatif Bahtiniyah dan lainnya; di samping itu
mempunyai andil besar –meski tidak secara langsung- dalam meruntuhkan Daulah
Fathimiyah Ubaidiyah di Mesir dan yang tak kalah penting adalah sebagai
pelapang jalan bagi masuknya Shalahuddin (1138-1193 M) dalam ekspedisi
pembebasan Mesir dari hegemoni Daulah Syiah Fathimiyah.
Oleh karena itu, jika mau mengambil
pelajaran dari sisi lain sosok Abdul Qadir al-Jailani, maka umat Islam jangan
hanya fokus pada sisi ke-shufi-an saja (yang belum tentu benar semuanya), tapi
juga pada kegigihan beliau dalam melawan (memberantas) aliran menyimpang
melalui dialog, pendirian madrasah, bahkan sampai ke tingkat negara dengan cara
mendukung kebijakan pemerintah untuk mengatasi aliran menyimpang. Wallâhu
a’lam.*/Mahmud Budi Setiawan
Abdul
Qadir Jailani: Antara Akidah dan Karamahnya
Sikap terbaik dalam masalah Syeikh Abd
Qodier adalah sikap ketiga. Seimbang dalam menilai Syeikh Abdul Qadir Jailani.
Tidak ekstrim kanan, dan tidak ekstrim kiri
Oleh: Luqman Hakim
SIAPA tak kenal Syeikh Abdul Qadir
Jailani? Di Indonesia, nama ini bukanlah nama yang asing. Hampir semua muslim
Indonesia mengenalnya. Bahkan tidak hanya di Indonesia, ia dikenal baik di
seluruh belahan dunia muslim. Namun sayang, tidak sedikit orang yang telah
salah kaprah dalam menilai sosoknya. Dalam bahasa lain, mereka mengkultuskannya
di atas manusia pada umumnya, hingga nyaris mensejajarkannya dengan nabi,
bahkan lebih tinggi dari beliau (Nabi).
Sebagai contoh, dalam karya Dr. Sa’id bin
Musfir Al-Qahthani, As-Syeikh Abdul Al-Jailani wa Arauhu Al-I’tiqadiyah wa
Ash-Shufiyah, diceritakan bahwa guru penulis (Al-Qahthani) pernah masuk ke kota
Baghdad, Iraq. Ia masuk sekolah Al-Qadariyah. Di dinding qubahnya ditulis
sebagian bait-bait syair dengan bahasa Persi. Adapun terjemahannya adalah:
Penguasa dua dunia
Syeikh Abdul Qadir Jailani
Pemimpin keturunan anak Adam
Syeikh Abdul Qadir Jailani
Matahari, bulan,
Arsy, Kursi dan Pena
Berada di bawah Syeikh Abdul Qadir Jailani
Lantas, siapa Abdul Qadir Jailani
sebenarnya? Bagaimana pemahamannya dalam masalah akidah? Lantas, bagaimana
dengan berbagai karamah yang dinisbatkan kepadanya sehingga ia dikultuskan?
Dipuji Ibnu Taimiyah
Ia adalah Abdul Qadir bin Abu Shalih Musa
Janki Dausat bin Abu Abdullah bin Yahya Az-Zahid bin muhammad bin Dawud bin
Musa bin Abdullah bin Musa Al-Jun bin Abdullah Al-Mahadh. Adapun nama “Jailani”
yang disematkan di akhir namanya karena ia berasal dari negeri Jailan, yaitu
negeri yang terpencil di belakang Thabrastan, yang dikenal dengan Kail atau
Kailan.
Blahir pada tahun 471 Hijriah, di mana
pada zaman tersebut juga lahir ulama-ulama besar seperti Imam Al-Jauzi, Syeikh
Abdullah bin Ahmad bin Qadamah, Syeikh Abu Umar bin Shalah, Syeikh Al-Mundziri,
dan Syeikh Abu Samah. Maka tidak mengherankan jika Abdul Qadir Jailani kecil
tumeliau buh menjadi ulama besar di zamannya dan memiliki pengaruh yang luas.
Bukti bahwa ia ulama besar adalah
banyaknya ulama yang memberikan pujian kepadanya, kitab-kitabnya yang masih
dipelajari sampai sekarang, serta banyaknya murid-muridnya yang menjadi ulama.
Sebagai contoh, di antara ulama yang
memberikan pujian kepadanya adalah Ibnu Taimiyah.
Dalam Fatawa Ibnu Taimiyah, beliau
berkata, “Syeikh Abdul Qadir Jailani dan semisalnya merupakan Syeikh terbesar
di masa mereka dalam hal berpegang kepada syariat, menyuruh kepada yang baik,
mencegah dari yang mungkar, mendahulukannya daripada rasa dan takdir, serta
termasuk Syeikh terbesar untuk meninggalkan dorongan hawa nafsu”.
Akidah Ahlus Sunnah
Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa
tidak sedikit orang yang mengkultuskannya hingga nyaris mensejajarkan bahkan lebih
tinggi dari nabi. Maka dari itu, penting kiranya kita mengenal manhajnya dalam
menjelaskan dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya, khusunya masalah
akidah.
Dari buku-buku yang dikarangnya, dapat
diketahui bahwa ketika Syeikh Abdul Qadir Jailani berbicara tentang akidah,
maka dia tidak pernah keluar dari madlul (apa yang ditunjukkan) oleh Al-Quran
dan hadits nabi. Hal ini ditunjukkan oleh perkatannya ketika menetapkan
nama-nama dan sifat Allah Subhanahu Wata’ala. “Kami tidak keluar dari Al-Kitab
dan As-Sunnah, kami baca ayat dan hadits, dan kami beriman kepada keduanya.
Kami serahkan kepada Allah tentang bagaimana sifat itu kepada ilmu Allah”. Ia
juga berkata, “Kami berlindung kepada Allah Subhanahu Wata’ala dari mengatakan
tentang-Nya dan tentang sifat-sifat-Nya dengan perkataan yang tidak diberitakan
Allah Subhanahu Wata’ala atau Rasul-Nya kepada kita” (Al-Ghinyah Lithalib
al-haq Azza wa Jalla, hal. 56). Dari sini dapat kita pahami bahwa metode yang
ditempuhnya adalah metode yang ditempuh adalah manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Pun, ketika menjelaskan tentang keimanan,
tauhid, kenabian, hari akhir, dan bid’ah misalnya; ia tidak berbeda dengan
akidah Ahlus Sunnah wal jama’ah.
Dalam hal keimanan, misalnya, Syeikh
Abdul Qadir Jailani sepakat dengan ahussunnah wal jama’ah yang memberi makna
iman sebagai perkataan dan perbuatan, yaitu perkataan dengan lisan dan
perbuatan dengan hati dan anggota badan. Ia berkata, “Kami yakin bahwa iman
adalah pernyataan dengan lisan, pengetahuan dengan hati dan perbuatan dengan
anggota badan” (Al-Ghinyah, I, 62). Begitu pula dengan hal-hal lain seperti
berkurang dan bertambahnya iman, Islam dan iman itu berbeda, serta tidak
kafirnya orang yang melakukan dosa besar, melainkan fasik.
Terkait yang disebut terakhir, Syeikh Abdul
Qadir Jailani berkata,”Kami yakin bahwa orang yang oleh Allah Subhanahu
Wata’ala dimasukkan ke dalam neraka karena dosa besarnya, tidak abadi di
dalamnya, tetapi dia akan dikeluarkan darinya karena baginya neraka hanya
seperti penjara di dunia, yang dijalaninya berdasarkan dosa dan kesalahannya.
Ia juga berkata, “Walaupun mempunyai banyak dosa, baik dosa besar ataupun
kecil, ia tidak kafir karenanya” (Al-Ghinayah, I, 65). Tentu hal ini jauh
berbeda dengan kelompok selain Ahlus Sunnah seperti Khawarij, Mu’tazilah, dan
Murji’ah.
Maka tidak mengherankan jika Syeikh Rabi’
bin Hadi Al Madkhali menegaskan bahwa akidah Syeikh Abdul Qadir Jailani selaras
dengan akidah Ahlus Sunnah dan penentang kelompok-kelompok yang menyimpang. Ia
berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136, “Aku telah mempelajari
akidah Syeikh Abdul Qadir Al Jailani di dalam kitabnya, Al-Ghunyah. Ia
menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan akidah-akidah lainnya di atas
manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyyah,
Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.”
Selain itu, sebagaimana ulamaahussunnah
lainnya, Syeikh Abdul Qadir jailani adalah ulama yang sangat tegas dalam
masalah tauhid dan mewanti-wanti para muridnya agar bertauhid dan tidak berbuat
syirik. Ia berkata, “Bertauhidlah dan janganlah berbuat syirik” (Futuh
Al-Ghaib, hal. 10). Ia juga berkata, “Berbuat ikhlaslah, janganlah kalian
berbuat syirik, esakanlah Allah subhaanahu wata’alaa, dan janganlah menyelinap
dari pintu-Nya. Mintalah kepada-Nya dan jangan meminta kepada selain-Nya.
Mintalah pertolongan kepada-Nya dan jangan meminta kepada selain-Nya.
Bertawakkallah kepada-Nya dan janganlah bertawakkal kepada selain-Nya”.
(Al-Fath Ar-Rabbani). Ketika menyikapi kasus Al-Hallaj pun, dia sangat tegas.
Ia berkata, “Barangsiapa yang berkeyakinan seperti keyakinan Al-Hallaj dengan
perkataan-perkataan yang karenanya Al-Hallaj dibunuh (dieksekusi), maka dia
adalah kafir murtad menurut kesepakatan kaum Muslimin. Orang-orang Islam mengeksekusinya
karena dia berkeyakinan tentang hulul, wihdatul wujud, perkataan-perkatan yang
zindik dan keyakinan-keyakinan yang kafir lainnya”.
Tentang Karamahnya
Syeikh Abdul Qadir Jailani dikenal
memiliki banyak keutamaan dan karamah. Hal itu bisa diketahui dari kitab-kitab
yang membahas profilnya. Beberapa ulama seperti Imam Adz-Dzahabi, Ibnu Rajab,
Ibnu Ma’ad, dan lain-lain mengakui hal itu. Imam Adz-Dzahabi, misalnya, berkata
dalam Siyar A’laam An-Nubala’, “Ia (Abdul Qadir Jailani) memiliki banyak karamah
yang jelas”. Ibnu Rajab juga berkata, Ia adalah guru di masanya, teladan
orang-orang yang ma’rifat, pemimpin para Syeikh, pemilik maqam dam karamah”
(Ibnu Rajab, Zail Thabaqaat Al-Hanabilah, I, 290).
Akan tetapi, tidak sedikit orang-orang
yang menceritakan kejadian aneh yang dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir
Jailani, padahal ditolak syariat dan diingkari akal. Orang yang paling banyak
mengumpulkan kejadian-kejadian aneh yang dialami Syeikh Abdul Qadir Jailani
adalah Ali bin Yusuf Asy-Syathnufi dalam bukunya Bahjatu Al-Asraar wa Ma’dinu
Al-Anwar fi Ba’di Manaqib Al-Quthb Ar-Rabbani Abdul Qadir jailani.
Para ulama telah mengingkari tulisan
Asy-Syathnufi ini. Salah satunya adalah Ibnu Rajab. Ia berkata, “Cukuplah
seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar. Aku telah melihat
sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya,
sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah
yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak
berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Di dalamnya juga terdapat
perkataan aneh, perilaku aneh, anggapan sesat dan perkataan batil yang tidak
pantas untuk dinisbatkan kepada seseorang sekaliber Syeikh Abdul Jailani
Rahimahullah.” (Ibnu Rajab, Zail Thabaqaat Al-Hanabilah, I, 290).
Untuk menguatkan pembahasan ini, penting
kiranya kita memperhatikan salah satu cerita di kitab Asy-Syathfuni tersebut.
Diceritakan, Syeikh Abdul Qadir Jailani berkumpul dengan para guru sufi.
Tiba-tiba ia berkata, “Telapak kakiku ini berada di atas leher setiap
waliyullah”. Lalu berdirilah Syeikh Ali Al-Haitsi naik di atas kursi. Tiba-tiba
telapak kaki Syeikh Abdul Qadir Jailani naik dan diletakkan di atas lehernya.
Orang-orang yang hadir pun semuanya menjulurkan leher mereka.
Ungkapan Syeikh Abdul Qadir Jailani di
atas bermakna ia meninggikan diri-sendiri, serta merendahkan dan menginakan
orang lain. Padahal, ia dikenal tawadhu’ dan tidak sombong. Hal ini dikuatkan
oleh perkataannya ketika ditanya, “darimana dia”, ia menjawab, “Seorang ahli
fikih dari Jailan”. Dan di antara ajaran Syeikh Jailani adalah perkatannya,
“Jangan meminta kemuliaan dan kebesaran untuk diri-sendiri”, seraya menyebut
firman Allah, “Negeri akhirat itu, kami jadikan untuk orang-orang yang tidak
ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan
(yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa,” (Al-Qashas: 83)
Jadi, Syeikh Abdul Qadir Jailani memang
memiliki banyak keutamaan dan karamah. Hanya saja, para murid dan pengikutnya
banyak yang melebih-lebihkan dengan cara meriwayatkan cerita-cerita tentangnya.
Kedudukannya sama dengan ulama lainnya yang juga memiliki keutamaan dan karamah
dari Allah, tidak lebih.
Seimbang dalam Menilai
Ketika menilai sosok Syeikh Abdul Qadir
Jailani, terutama mengenai karamah yang dinisbatkan kepadanya, terdapat 3
kelompok.
Kelompok pertama, mereka yang mencela
Syeikh Abdul Qadir Jailani dan menyifatinya dengan Dajjal. Mungkin yang
menyebabkan mereka bersikap demikian karena adanya karamah dusta dan riwayat
yang tidak benar yang dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Jailani. Di antara
mereka adalah Ali bin Muhammad Al-Qirmani.
Kelompok kedua, mereka yang fanatik
kepada Syeikh Abdul Qadir Jailani dan menerima segala sesuatu yang diceritakan
tentangnya atau yang dinisbatkan kepadanya, walaupun ditolak syariat dan
diingkari akal. Di antara mereka adalah Ali bin Yusuf Asy-Syathnufi
Kelompok ketiga, mereka yang mengambil
sikap tengah-tengah, di satu sisi menerima karamah Syeikh Abdul Qadir Jailani
yang benar dan dinukil dengan penukilan yang kuat, yang tidak bertentangan
dengan syariat, dan sisi lain juga menolak yang tidak memenuhi kriteria itu. Di
antara mereka adalah Imam Adz-Dzahabi .
Sikap terbaik dalam hal ini adalah sikap
kelompok ketiga. Mereka seimbang dalam menilai Syeikh Abdul Qadir Jailani.
Tidak ekstrim kanan, dan tidak ekstrim kiri. Sikap tawazzun (seimbang) seperti
ini adalah sikap yang dimiliki oleh Ahlus Sunnah wal jama’ah ketika menilai
sesuatu. Wallahua’lam bis shawab.*
Penulis adalah pengajar di Sekolah Tinggi
Agama Islam, Luqmanul Hakim (STAIL)