Tuesday, December 26, 2017

Syeikh Abdul Qadir Jailani Dan Syiah

Abdul Qadir Jailani: Antara Akidah dan Karamahnya

Melihat Syeikh Abdul Qadir al-Jailani, sebaiknya umat Islam tak hanya fokus pada sisi kesufian saja, juga kegigihan beliau melawan/memberantas aliran menyimpang
SYEIKH Abdul Qadir al-Jailâni atau al-Kailâni (470-561 H / 1077-1166 M), yang di Indonesia lebih dikenal dengan kewaliannya atau karamahnya, memiliki sisi lain yang jarang diketahui –atau kurang diperhatikan- kebanyakan orang. Dalam lembaran sejarah, bersama gerakan Qadiriyahnya, beliau memiliki kontribusi cukup besar dalam mempertahankan akidah Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Pada masa hidupnya, memang sedang terjadi konflik antara Islam dan Kristen; konflik Syiah (diwakili Daulah Fathimiyah) dan Sunni (diwakili Daulah Abbasiyah), percekcokan madzhab fikih; demikian juga aliran-aliran menyimpang tumbuh subur (M. Shallâbi, Syeikh Abdul Qâdir al-Jailâni, 22). Kondisi sosial yang penuh konflik tersebut, tentu saja turut berpengaruh dalam menentukan pilihan peran strategisnya.
Salah satu bentuk konkret kontribusi ulama bermadzhab Hanbali ini, adalah menanggulangi secara aktif aliran-aliran menyimpang, contohnya: Syi’ah. Dalam bukunya yang berjudul “al-Ghunyah li Thâlibi Thârîq al-Haqqi Azza wa Jalla”  (1417: 179-184), beliau membahas tentang bagian-bagian Syi’ah serta beberapa penyimpangannya.
Menariknya, Syeikh Abdul Qadir al-Jailâni dalam membantah ajaran-ajaran sesat Syi’ah, atau aliran menyimpang lainnya, tidak mengedepankan emosi, tapi argumentasi. Dr. Mâjid Ersan al-Kailâni dalam buku “Hâkadza Dhahara Jîlu Shalâhuddîn wa Hâkadza Âdat al-Quds” (1995: 236-238) menyebutkan bahwa Syeikh Pendiri Madrasah Qadiriyah ini melawan aliran-aliran menyimpang pada zamannya melalui diskusi atau dialog.
Diskusi yang dilakukan beliau –sebagaimana catatan Muhammad al-Shallâbi dalam “Ashru al-Daulah al-Zankiyah”- memiliki dua keistimewaan: Pertama, menggugurkan argumentasi lawan-lawan dialognya bukan dengan ideologi Sunni yang diyakininya, tapi justru menggunakan ideologi menyimpang mereka. Artinya, beliau menjatuhkan mereka, dengan senjata yang mereka sendiri. Kedua, luasnya pengetahuannya mengenai aliran-aliran menyimpang. Tak mengherankan jika beliau sangat berani berdiskusi dengan aliran-aliran menyimpang (2017: 406-407)
Ketika membahas Syi’ah, Syeikh Abdul Qadir mengulas sejarah serta akidah mereka sembari menjelaskan dengan lugas perbedaan antara kelompok-kelompok yang moderat dengan kelompok yang bersembunyi dengan baju Syi’ah. Beliau menandaskan bahwa kelompok yang bersembunyi ini memiliki akar (ideologi) Yahudi (yaitu kelompok Rafidhah).
Sebagai contoh, berikut adalah catatan beliau: “Orang Yahudi berkata: tidak ada jihad di jalan Allah sampai keluarnya Masih Dajjal serta turun dengan sebab dari langit. Kelompok Rafidhah juga berkata: tidak ada jihad fî sabîlillah hingga keluarnya Imam Mahdi dan ada panggilan dari langit.  Orang Yahudi mengakhirkan shalat Maghrib. Demikian juga kelompok Rafidhah juga mengakhirkannya. Orang Yahudi benci pada Jibril ‘alahis salam dan mengatakan bahwa ia adalah musuh kita dari kalangan malaikat. Kelompok Rafhidah juga membeo bahwa Jibril ‘alaihis salam salah menyampaikan wahyu kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam padahal sebenarnya wahyu itu diturunkan kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.” (Abdul Qadir Jailani, al-Ghunyah, 184)
Syeikh Abdul Qadir al-Jailâni ini juga mengingkari kaum konservatif Syiah yang menyatakan bahwa ketiga khalifah rasyidin (Abu Bakar, Umar dan Utsman) tidak sah. Beliau menetapkan bahwa khilafah ketiganya berdasarkan mandat nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dan Ali sendiri juga membaiat mereka.
Meski demikian, kritik-kritik yang dilontarkan beliau tidak sampai mengakibatkan permusuhan (fisik) seperti konflik yang terjadi di antara madhzab-madzhab yang lain. Beliau tetap komitmen dengan metode obyektif dan akhlak ulama, ini karena –sebagaimana riwayat At-Tadafi- bahwa ulama-ulama Syi’ah pernah mendatangi majelis Syeih Abdul Qadir, dan beliau berdialog mengenai akidah mereka.
Walau begitu, akibat sikap kritisnya ini, beliau sangat dibenci kalangan Syi’ah Rafidhah Bhatiniyah baik secara politik dan pemikiran. Pada tahun 914 H/1508 M misalnya, Syah Isma’il As-Shafawi saat menduduki (menaklukkan) Baghdad, dedengkot Syi’ah ini menghancurkan Madrasah Qadiriyah, kuburan beliau, serta menyakiti keluarga Kailani sehingga membuat mereka berpencar-pencar ke berbagai negeri. Kehebatan madrasah ini baru bisa dikembalikan di era Sultan Sulaiman al-Qanuni dari Daulah Utsmaniyah (Majid al-Kailâni, Nasy’ah al-Qadiriyah, 129)
Lebih dari itu, pada tahun 80-an seorang “muhaqqiq” (pemeriksa atau pengoreksi) yang dikenal sebagai seorang shufi terkenal di Iraq, ketika meneliti kitab “al-Gunyah” karya Syeikh Abdul Qadir, dengan sengaja menghapus bagian tentang pembahasan tercelanya Syi’ah (Arsyîf Multaqa Ahli al-Hadîts, III/8: 231) Bisa jadi, seorang “muhaqqiq” shufi itu adalah orang Syi’ah yang berusaha menghilangkan kritik Syeikh Abdul Qadir tentang Syi’ah, atau kemungkinan lain ia telah bersekongkol dengan orang Syi’ah untuk menghapus jejak tulisan beliau mengenai Syi’ah. Wallahu a’lam.
Terlepas dari itu semua, peran besar yang dimainkan oleh Syeikh Abdul Qadir (sebagaimana yang ditandaskan oleh Majid dan Shallabi) yaitu kontribusi efektifnya dalam melawan pemikiran (aliran) menyimpang, seperti: Syi’ah Konservatif Bahtiniyah dan lainnya; di samping itu mempunyai andil besar –meski tidak secara langsung- dalam meruntuhkan Daulah Fathimiyah Ubaidiyah di Mesir dan yang tak kalah penting adalah sebagai pelapang jalan bagi masuknya Shalahuddin (1138-1193 M) dalam ekspedisi pembebasan Mesir dari hegemoni Daulah Syiah Fathimiyah.
Oleh karena itu, jika mau mengambil pelajaran dari sisi lain sosok Abdul Qadir al-Jailani, maka umat Islam jangan hanya fokus pada sisi ke-shufi-an saja (yang belum tentu benar semuanya), tapi juga pada kegigihan beliau dalam melawan (memberantas) aliran menyimpang melalui dialog, pendirian madrasah, bahkan sampai ke tingkat negara dengan cara mendukung kebijakan pemerintah untuk mengatasi aliran menyimpang. Wallâhu a’lam.*/Mahmud Budi Setiawan

Abdul Qadir Jailani: Antara Akidah dan Karamahnya

Sikap terbaik dalam masalah Syeikh Abd Qodier adalah sikap ketiga. Seimbang dalam menilai Syeikh Abdul Qadir Jailani. Tidak ekstrim kanan, dan tidak ekstrim kiri
Oleh: Luqman Hakim
SIAPA tak kenal Syeikh Abdul Qadir Jailani? Di Indonesia, nama ini bukanlah nama yang asing. Hampir semua muslim Indonesia mengenalnya. Bahkan tidak hanya di Indonesia, ia dikenal baik di seluruh belahan dunia muslim. Namun sayang, tidak sedikit orang yang telah salah kaprah dalam menilai sosoknya. Dalam bahasa lain, mereka mengkultuskannya di atas manusia pada umumnya, hingga nyaris mensejajarkannya dengan nabi, bahkan lebih tinggi dari beliau (Nabi).
Sebagai contoh, dalam karya Dr. Sa’id bin Musfir Al-Qahthani, As-Syeikh Abdul Al-Jailani wa Arauhu Al-I’tiqadiyah wa Ash-Shufiyah, diceritakan bahwa guru penulis (Al-Qahthani) pernah masuk ke kota Baghdad, Iraq. Ia masuk sekolah Al-Qadariyah. Di dinding qubahnya ditulis sebagian bait-bait syair dengan bahasa Persi. Adapun terjemahannya adalah:
Penguasa dua dunia

Syeikh Abdul Qadir Jailani

Pemimpin keturunan anak Adam

Syeikh Abdul Qadir Jailani
Matahari, bulan,
Arsy, Kursi dan Pena
Berada di bawah Syeikh Abdul Qadir Jailani

Lantas, siapa Abdul Qadir Jailani sebenarnya? Bagaimana pemahamannya dalam masalah akidah? Lantas, bagaimana dengan berbagai karamah yang dinisbatkan kepadanya sehingga ia dikultuskan?
Dipuji Ibnu Taimiyah
Ia adalah Abdul Qadir bin Abu Shalih Musa Janki Dausat bin Abu Abdullah bin Yahya Az-Zahid bin muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa Al-Jun bin Abdullah Al-Mahadh. Adapun nama “Jailani” yang disematkan di akhir namanya karena ia berasal dari negeri Jailan, yaitu negeri yang terpencil di belakang Thabrastan, yang dikenal dengan Kail atau Kailan.
Blahir pada tahun 471 Hijriah, di mana pada zaman tersebut juga lahir ulama-ulama besar seperti Imam Al-Jauzi, Syeikh Abdullah bin Ahmad bin Qadamah, Syeikh Abu Umar bin Shalah, Syeikh Al-Mundziri, dan Syeikh Abu Samah. Maka tidak mengherankan jika Abdul Qadir Jailani kecil tumeliau buh menjadi ulama besar di zamannya dan memiliki pengaruh yang luas.
Bukti bahwa ia ulama besar adalah banyaknya ulama yang memberikan pujian kepadanya, kitab-kitabnya yang masih dipelajari sampai sekarang, serta banyaknya murid-muridnya yang menjadi ulama.
Sebagai contoh, di antara ulama yang memberikan pujian kepadanya adalah Ibnu Taimiyah.
Dalam Fatawa Ibnu Taimiyah, beliau berkata, “Syeikh Abdul Qadir Jailani dan semisalnya merupakan Syeikh terbesar di masa mereka dalam hal berpegang kepada syariat, menyuruh kepada yang baik, mencegah dari yang mungkar, mendahulukannya daripada rasa dan takdir, serta termasuk Syeikh terbesar untuk meninggalkan dorongan hawa nafsu”.
Akidah Ahlus Sunnah
Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa tidak sedikit orang yang mengkultuskannya hingga nyaris mensejajarkan bahkan lebih tinggi dari nabi. Maka dari itu, penting kiranya kita mengenal manhajnya dalam menjelaskan dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya, khusunya masalah akidah.
Dari buku-buku yang dikarangnya, dapat diketahui bahwa ketika Syeikh Abdul Qadir Jailani berbicara tentang akidah, maka dia tidak pernah keluar dari madlul (apa yang ditunjukkan) oleh Al-Quran dan hadits nabi. Hal ini ditunjukkan oleh perkatannya ketika menetapkan nama-nama dan sifat Allah Subhanahu Wata’ala. “Kami tidak keluar dari Al-Kitab dan As-Sunnah, kami baca ayat dan hadits, dan kami beriman kepada keduanya. Kami serahkan kepada Allah tentang bagaimana sifat itu kepada ilmu Allah”. Ia juga berkata, “Kami berlindung kepada Allah Subhanahu Wata’ala dari mengatakan tentang-Nya dan tentang sifat-sifat-Nya dengan perkataan yang tidak diberitakan Allah Subhanahu Wata’ala atau Rasul-Nya kepada kita” (Al-Ghinyah Lithalib al-haq Azza wa Jalla, hal. 56). Dari sini dapat kita pahami bahwa metode yang ditempuhnya adalah metode yang ditempuh adalah manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Pun, ketika menjelaskan tentang keimanan, tauhid, kenabian, hari akhir, dan bid’ah misalnya; ia tidak berbeda dengan akidah Ahlus Sunnah wal jama’ah.
Dalam hal keimanan, misalnya, Syeikh Abdul Qadir Jailani sepakat dengan ahussunnah wal jama’ah yang memberi makna iman sebagai perkataan dan perbuatan, yaitu perkataan dengan lisan dan perbuatan dengan hati dan anggota badan. Ia berkata, “Kami yakin bahwa iman adalah pernyataan dengan lisan, pengetahuan dengan hati dan perbuatan dengan anggota badan” (Al-Ghinyah, I, 62). Begitu pula dengan hal-hal lain seperti berkurang dan bertambahnya iman, Islam dan iman itu berbeda, serta tidak kafirnya orang yang melakukan dosa besar, melainkan fasik.
Terkait yang disebut terakhir, Syeikh Abdul Qadir Jailani berkata,”Kami yakin bahwa orang yang oleh Allah Subhanahu Wata’ala dimasukkan ke dalam neraka karena dosa besarnya, tidak abadi di dalamnya, tetapi dia akan dikeluarkan darinya karena baginya neraka hanya seperti penjara di dunia, yang dijalaninya berdasarkan dosa dan kesalahannya. Ia juga berkata, “Walaupun mempunyai banyak dosa, baik dosa besar ataupun kecil, ia tidak kafir karenanya” (Al-Ghinayah, I, 65). Tentu hal ini jauh berbeda dengan kelompok selain Ahlus Sunnah seperti Khawarij, Mu’tazilah, dan Murji’ah.
Maka tidak mengherankan jika Syeikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali menegaskan bahwa akidah Syeikh Abdul Qadir Jailani selaras dengan akidah Ahlus Sunnah dan penentang kelompok-kelompok yang menyimpang. Ia berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136, “Aku telah mempelajari akidah Syeikh Abdul Qadir Al Jailani di dalam kitabnya, Al-Ghunyah. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan akidah-akidah lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.”
Selain itu, sebagaimana ulamaahussunnah lainnya, Syeikh Abdul Qadir jailani adalah ulama yang sangat tegas dalam masalah tauhid dan mewanti-wanti para muridnya agar bertauhid dan tidak berbuat syirik. Ia berkata, “Bertauhidlah dan janganlah berbuat syirik” (Futuh Al-Ghaib, hal. 10). Ia juga berkata, “Berbuat ikhlaslah, janganlah kalian berbuat syirik, esakanlah Allah subhaanahu wata’alaa, dan janganlah menyelinap dari pintu-Nya. Mintalah kepada-Nya dan jangan meminta kepada selain-Nya. Mintalah pertolongan kepada-Nya dan jangan meminta kepada selain-Nya. Bertawakkallah kepada-Nya dan janganlah bertawakkal kepada selain-Nya”. (Al-Fath Ar-Rabbani). Ketika menyikapi kasus Al-Hallaj pun, dia sangat tegas. Ia berkata, “Barangsiapa yang berkeyakinan seperti keyakinan Al-Hallaj dengan perkataan-perkataan yang karenanya Al-Hallaj dibunuh (dieksekusi), maka dia adalah kafir murtad menurut kesepakatan kaum Muslimin. Orang-orang Islam mengeksekusinya karena dia berkeyakinan tentang hulul, wihdatul wujud, perkataan-perkatan yang zindik dan keyakinan-keyakinan yang kafir lainnya”.
Tentang Karamahnya
Syeikh Abdul Qadir Jailani dikenal memiliki banyak keutamaan dan karamah. Hal itu bisa diketahui dari kitab-kitab yang membahas profilnya. Beberapa ulama seperti Imam Adz-Dzahabi, Ibnu Rajab, Ibnu Ma’ad, dan lain-lain mengakui hal itu. Imam Adz-Dzahabi, misalnya, berkata dalam Siyar A’laam An-Nubala’, “Ia (Abdul Qadir Jailani) memiliki banyak karamah yang jelas”. Ibnu Rajab juga berkata, Ia adalah guru di masanya, teladan orang-orang yang ma’rifat, pemimpin para Syeikh, pemilik maqam dam karamah” (Ibnu Rajab, Zail Thabaqaat Al-Hanabilah, I, 290).
Akan tetapi, tidak sedikit orang-orang yang menceritakan kejadian aneh yang dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Jailani, padahal ditolak syariat dan diingkari akal. Orang yang paling banyak mengumpulkan kejadian-kejadian aneh yang dialami Syeikh Abdul Qadir Jailani adalah Ali bin Yusuf Asy-Syathnufi dalam bukunya Bahjatu Al-Asraar wa Ma’dinu Al-Anwar fi Ba’di Manaqib Al-Quthb Ar-Rabbani Abdul Qadir jailani.
Para ulama telah mengingkari tulisan Asy-Syathnufi ini. Salah satunya adalah Ibnu Rajab. Ia berkata, “Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Di dalamnya juga terdapat perkataan aneh, perilaku aneh, anggapan sesat dan perkataan batil yang tidak pantas untuk dinisbatkan kepada seseorang sekaliber Syeikh Abdul Jailani Rahimahullah.” (Ibnu Rajab, Zail Thabaqaat Al-Hanabilah, I, 290).
Untuk menguatkan pembahasan ini, penting kiranya kita memperhatikan salah satu cerita di kitab Asy-Syathfuni tersebut. Diceritakan, Syeikh Abdul Qadir Jailani berkumpul dengan para guru sufi. Tiba-tiba ia berkata, “Telapak kakiku ini berada di atas leher setiap waliyullah”. Lalu berdirilah Syeikh Ali Al-Haitsi naik di atas kursi. Tiba-tiba telapak kaki Syeikh Abdul Qadir Jailani naik dan diletakkan di atas lehernya. Orang-orang yang hadir pun semuanya menjulurkan leher mereka.
Ungkapan Syeikh Abdul Qadir Jailani di atas bermakna ia meninggikan diri-sendiri, serta merendahkan dan menginakan orang lain. Padahal, ia dikenal tawadhu’ dan tidak sombong. Hal ini dikuatkan oleh perkataannya ketika ditanya, “darimana dia”, ia menjawab, “Seorang ahli fikih dari Jailan”. Dan di antara ajaran Syeikh Jailani adalah perkatannya, “Jangan meminta kemuliaan dan kebesaran untuk diri-sendiri”, seraya menyebut firman Allah, “Negeri akhirat itu, kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa,” (Al-Qashas: 83)
Jadi, Syeikh Abdul Qadir Jailani memang memiliki banyak keutamaan dan karamah. Hanya saja, para murid dan pengikutnya banyak yang melebih-lebihkan dengan cara meriwayatkan cerita-cerita tentangnya. Kedudukannya sama dengan ulama lainnya yang juga memiliki keutamaan dan karamah dari Allah, tidak lebih.
Seimbang dalam Menilai
Ketika menilai sosok Syeikh Abdul Qadir Jailani, terutama mengenai karamah yang dinisbatkan kepadanya, terdapat 3 kelompok.
Kelompok pertama, mereka yang mencela Syeikh Abdul Qadir Jailani dan menyifatinya dengan Dajjal. Mungkin yang menyebabkan mereka bersikap demikian karena adanya karamah dusta dan riwayat yang tidak benar yang dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Jailani. Di antara mereka adalah Ali bin Muhammad Al-Qirmani.
Kelompok kedua, mereka yang fanatik kepada Syeikh Abdul Qadir Jailani dan menerima segala sesuatu yang diceritakan tentangnya atau yang dinisbatkan kepadanya, walaupun ditolak syariat dan diingkari akal. Di antara mereka adalah Ali bin Yusuf Asy-Syathnufi
Kelompok ketiga, mereka yang mengambil sikap tengah-tengah, di satu sisi menerima karamah Syeikh Abdul Qadir Jailani yang benar dan dinukil dengan penukilan yang kuat, yang tidak bertentangan dengan syariat, dan sisi lain juga menolak yang tidak memenuhi kriteria itu. Di antara mereka adalah Imam Adz-Dzahabi .
Sikap terbaik dalam hal ini adalah sikap kelompok ketiga. Mereka seimbang dalam menilai Syeikh Abdul Qadir Jailani. Tidak ekstrim kanan, dan tidak ekstrim kiri. Sikap tawazzun (seimbang) seperti ini adalah sikap yang dimiliki oleh Ahlus Sunnah wal jama’ah ketika menilai sesuatu. Wallahua’lam bis shawab.*
Penulis adalah pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam, Luqmanul Hakim (STAIL)