Tuesday, May 10, 2016

Memaknai Kebencian Iran Terhadap Saudi. Pangeran Saudi: Iran Buat Bom Nuklir, Kami Kembangkan Senjata Nuklir

Arab Saudi - Iran

Memaknai Kebencian Iran Terhadap Saudi

Jumat, 22 Apr 2016 10:17
Oleh : Dr. Slamet Muliono*
Selama ini, Iran sering dipersonifikasikan sebagai satu-satunya negara di kawasan Timur Tengah yang berani terhadap Amerika Serikat (AS). Sementara Saudi Arabia digambarkan sebagai negara kuat dan kaya minyak tetapi lemah karena berada di ketiak AS. Artinya, opini dunia sudah terbentuk begitu kuat bahwa Iran adalah negara yang berani melawan hegemoni dan kesewenang-wenangan AS. Bukti keberanian dalam melawan AS bisa dijumpai dengan banyaknya ceramah dan pidato di berbagai mimbar yang berani menghujat AS. Bahkan banyak didapati berbagai tulisan anti AS, seperti “Matilah Amerika.”
Namun saat ini keadaan berubah. Kebencian terhadap AS beralih kepada Saudi Arabia. Media-media jurnalis Iran beberapa waktu terakhir ramai membicarakan penghapusan slogan “Matilah Amerika” dari jalan-jalan dan dinding-dinding di ibukota Teheran. Slogan itu kini diubah menjadi “Matilah Saudi.” Bahkan penghapusan slogan tersebut tak hanya di jalan-jalan dan alun-alun di Teheran, bahkan sampai di bekas gedung kedutaan AS. Seluruh slogan yang menyerang AS dihapus dari gedung tersebut. Bahkan Basij dan Garda Revolusi Iran meletakkan poster dan spanduk di sejumlah daerah di Teheran yang berisi menyerang Kerajaan Arab Saudi. Di antara slogan anti Saudi itu berukuran besar dan di pasang di pinggir jalan Teheran. Isinya menyerang Arab Saudi dan keluarga Ali Su’ud, terlebih setelah mereka mengintervensi Yaman. Sementara itu, para pemerhati urusan Iran berpendapat bahwa fenomena itu memberikan isarat jelas bahwa Iran bersedia bernegosiasi serius untuk menjalin hubungan baik dengan AS. (Kiblat.net.18/4/2016)
Fenomena peralihan dari “kebencian AS” menjadi “kebencian Saudi” tentu ada beberapa sebab yang melatarbelakangi.  Untuk melihat perubahan sikap Iran, dari benci AS menjadi benci Saudi, maka bisa dilihat dari kebijakan politik Saudi Arabia yang begitu massif. Hal itu bisa dilihat dari kepemimpinan raja Salman saat ini. Kepemimpinan baru Saudi Arabia ini bisa dikatakan menjadi penentu adanya perubahan sikap Iran. Dengan kata lain, raja Salman memiliki beberapa prestasi baru.
Pertama, keberhasilannya dalam mempersatukan negara-negara di kawasan Timur Tengah. Selama ini negara-negara di kawasan Tiimur Teluk ini terkoyak-koyak dan terpecah belah oleh perbedaan kepentingan. Saat ini dengan koalisi militer yang digerakkan bersama negara-negara Teluk yang dipimpin Saudi Arabia, maka kondisi yang terpetak-petak itu menjadi satu jalinan yang kuat. Perseteruan beberapa kubu berubah dan bersatu kembali menjadi satu kekuatan yang solid. Salah satu di antara kebijakan Salman adalah membentuk poros Islam (koalisi Saudi-Turki-Qatar) untuk melawan poros Komunis (Rusia-Suriah-Iran-China) saat membantu Turki dalam penyelesaian kasus di Suriah.
Kedua, menghapus image negara Saudi sebagai sarang terorisme dan radikalisme. Kalau selama ini, Saudi Arabia sering dijadikan sasaran sekaligus tudingan sebagai inspirator dari berbagai tindakan terorisme dan radikalisme. Maka saat ini ada perubahan pendulum, dimana Saudi Arabia justru menjadi negara yang memerangi terorisme dan radikalisme. Eksekusi terhadap Nimr al-Nimr dan para pemberontak, yang ingin membuat kerusuhan di negara Saudi, adalah salah satu contoh keberhasilannya. Nimr adalah tokoh Syiah yang  keluar masuk penjara Saudi karena sikapnya yang anti pemerintah Saudi. Bahkan dia secara terang-terangan menginginkan Qathif, komunitas Syiah di Saudi, memisahkan diri dari Saudi. Nimr bersama 47 orang yang terbukti melakukan tindakan terorisme yang membahayakan negara. Maka keberhasilan pemerintah Arab Saudi dalam menumpas gerakan Nimr dan jaringan Al-Qaedah hakekatnya adalah keberhasilan dalam menumpas gerakan terorisme dan radikalisme. Demikian pula Koalisi Militer Islam yang bermarkas di Riyadh juga merupakan keberhasilan raja Salman. Negara-negara yang tergabung dalam koalisi 48 negara, di antaranya Arab Saudi, Yordania, Uni Emirat Arab (UEA), Pakistan, Bahrain, Bangladesh, Benin, Turki, Chad, Togo, Tunisia, Djibouti, Senegal, Sudan, Sierra Leone, Somalia, Gabon, Guinea, Palestina, Republik Federal Islam Komoro, Qatar, Cote d’Ivoire, Kuwait, Libanon, Libya, Maladewa, Mali, Malaysia, Mesir, Maroko, Mauritania, Niger, Nigeria, Yaman dan Uganda. Negara-negara di atas telah memutuskan pembentukan aliansi militer yang dipimpin oleh Arab Saudi guna memerangi terorisme.
Ketiga, keberhasilan menjadikan Iran sebagai penyokong gerakan terorisme dan separatisme. Kalau selama ini Iran selalu menuduh Saudi sebagai negara penyokong bagi tindakan terorisme dan radikalisme, maka saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi kerjasama negara-negara Islam (OKI) April 2016 di Turki, sepakat bahwa Iran sebagai penyokong kegiatan terorisme dan ekstrimisme. Mereka menunjukkan bahwa berbagai peristiwa pemberontakan yang dilakukan para separatis, seperti di Yaman, Libanon, Bahrain, Sudan tidak lepas dari peran Iran. Kontribusi Iran dalam mensuplai senjata terhadap penganut Syiah di Libanon dan Yaman, merupakan bukti empirik peran Iran dalam menyokong gerakan terorisme dan separatrisme negara.
Tiga realitas di atas merupakan fakta-fakta empirik yang menjadikan Iran begitu benci terhadap Saudi Arabia. Realitas ketiga (pandangan bahwa Iran sebagai penyokong gerakan terorisme dan separatime) merupakan faktor puncak kebencian Iran terhadap Arab Saudi sehingga mengganti slogan “Matilah Amerika” menjadi “Matilah Saudi”. Betapa tidak, Saudi Arabia di mata Iran dianggap sebagai negara yang berhasil menggalang kekuatan dan menyatukan pandangan negara-negara kawasan Timur Tengah untuk menyudutkan dirinya sebagai negara penyokong tidakan terorisme dan separitisme negara.
Surabaya, 19 April 2016

Penulis adalah dosen UIN Sunan Ampel dan STAI Ali bin Abi Thalib Surabaya
http://fokusislam.com/2759-memaknai-kebencian-iran-terhadap-saudi.html

Pangeran Saudi: Iran Buat Bom Nuklir, Kami Kembangkan Senjata Nuklir ( mantab, mati siji mati kabeh )

By: On: 
ISLAMNEWS.CO – Pangeran Arab Saudi, Turki al Faisal, bersikeras negaranya harus memiliki senjata nuklir jika Iran membuat bom nuklir. Pangeran al Faisal adalah mantan Kepala Intelijen Saudi. Dia juga pernah menjabat sebagai Duta Besar Saudi untuk Amerika Serikat (AS).
Pernyataan Pangeran Al-Faisal soal sikap Saudi terkait kekhawatiran Iran membuat bom nuklir itu muncul saat dia berdebat dengan mantan penasihat keamanan nasional Perdana Menteri Israel, Mayor Jenderal (Purn) Yaakov Amidror di Washington, AS. Debat itu digelar The Washington Institute for Near East Policy.
Mantan pejabat Saudi dan Iran ini kompak menentang jika Iran membuat bom nuklir. Menurut Pangeran al Faisal, semua opsi Saudi berada di atas meja jika Iran bergerak ke arah pembuatan bom nuklir.
”Termasuk mengakuisisi senjata nuklir, untuk menghadapi kemungkinan apa pun yang mungkin datang dari Iran,” kata Al-Faisal, mencontohkan salah satu opsi Saudi, seperti dikutip laman CNN Indonesia, (7/5/2016).
Saudi sendiri sejatinya merupakan pihak yang ikut dalam perjanjian nonproliferasi nuklir. Menurut al Faisal, Saudi tetap konsisten menekankan perlunya Timur Tengah menjadi zona bebas senjata pemusnah massal.
Sementara itu, Amidror memprediksi bahwa Iran akan bergerak untuk membuat sebuah bom nuklir menjelang akhir perjanjian nuklir yang disepakati Iran dengan enam kekuatan dunia (Amerika Serikat, Rusia, China, Inggris, Prancis dan Jerman).
”Pada prinsipnya, Iran bisa pergi (mendapatkan senjata) nuklir dan dari sudut pandang Israel, ini merupakan ancaman bagi eksistensi,” kata Amidror. “Kami tidak akan membiarkan ini terjadi.”
Polemik nuklir Iran bukanlah poin perdebatan dua mantan pejabat itu. Mereka semula berdebat soal nasib Palestina, di mana Faisal menegaskan rakyat Palestina berhak memiliki negara sendiri. Sedangkan Amidror menyatakan bahwa Israel menolak didikte negara-negara Arab dan minta dunia Arab membawa Palestina ke meja perundingan untuk duduk bersama dengan Israel.*