Benarkah Masalah Khilafiyah Tidak
Perlu Diingkari?
Seorang ulama yang alim dan zuhud,
akan hati-hati dalam mengeluarkan pendapat. Dalam benak pikiran/ persepsinya,
hanya ada ketakutan/khauf kepada Allah Azza wa Jalla dalam mengeluarkan pendapat. Dalam
pemaparan dibawah ini hanya ada satu pendapat yang benar !! bukan dan jangan
ditarik-tarik kemasalah khilafiyah !! rujukan dan keputusan ulil amri
tergantung ke ilmuan dan kezuhudan ulama yang memberi masukan !! jadi tidak
absolute dan masih bisa dikoreksi . masalah sepenting ini jangan dianggap
remeh/sepele.
Masalah yang sudah ada nash (dalil
tegas) dari Al Qur’an, hadits dan tidak bisa ditentang, juga terdapat pendukung
dari ijma’ (kesepakatan para ulama). Jika dalam masalah ini ada orang yang
berpendapat keliru yang datang belakangan dan menyelisihi ijma’ atau
menyelisihi qiyas jalii, maka masalah semacam ini boleh diingkari karena
menyelisihi dalil.
Ibnu Taimiyah berkata, “Masalah
ijtihadiyah seperti ini tidak boleh diingkari dengan tangan. Dan tidak boleh
seorang pun memaksa untuk mengikuti pendapatnya. Akan tetapi yang dilakukan
adalah sampaikanlah hujjah dengan alasan ilmiah. Jika telah terang salah satu
dari dua pendapat yang diperselisihkan, ikutilah. Namun untuk pendapat yang
lain tidak perlu diingkari (dengan keras).” (Majmu’ Al Fatawa, 30: 80)
Bahkan ulama dahulu hingga saat ini
telah membahas masalah ijtihadiyah semacam ini. Jika telah jelas manakah
pendapat yang benar, maka hendaklah kita rujuk padanya.” (Fatawa Al Islam Sual
wal Jawab no. 70491)
Penjelasan Para Ulama
Ibnu Taimiyah berkata, “Jika ada yang
mengatakan bahwa masalah khilaf tidak perlu diingkari, maka itu tidaklah benar
jika melihat dari sisi ucapan yang dihukumi atau amalan. Jika ada ucapan yang
menyelisihi ajaran Rasul atau menyelisihi ijma’ (kesepakatan para ulama), maka
wajib mengingkarinya. Jika masalah tersebut tidak disepakati, maka boleh
mengingkari untuk menjelaskan bahwa pendapat tersebut lemah dan menyebutkan
pendapat yang benar dari ulama salaf atau para fuqoha’.
Imam Malik berkata,
لَيْسَ لِلْفَقِيهِ أَنْ يَحْمِلَ النَّاسَ عَلَى مَذْهَبِهِ
“Tidak boleh bagi seorang faqih (yang
berilmu) mengajak manusia pada madzhabnya.” (Majmu’ Al Fatawa, 30: 80).
Namun ajaklah untuk mengikuti dalil.
Mari kita bahas masalah khilafiyah
(??) terkait " waktu Puasa Arofah " . Kita bandingkan pendapat/paparan Abu
Al-Jauza/ Agus Hasan Bashori Lc., M.Ag dan lain-lain dengan pendapat
Firanda/serupa dengannya. Silahkan komentari dan kasih masukan secara tertulis
dengan dalil yang jelas. Masalah ini tetap belum selesai, sebab karena
kejahilannya, seorang pengurus MUI memfitnah Ustadz A Hakim Amir Abdat terkait
kebenaran yang beliau yakini. Si oknum MUI kebetulan punya tendensi dendam
terkait “penyimpangan manhajnya”. Kalau Ustadz2 alim dan zuhud membenarkan dan
yakin dengan pendapat Abul Al-Jauza/yang sependapat dengannya, mari kita ajukan
ke Ulil Amri, agar tahun ini keputusan sidang isbat dikoreksi.
Tulisan Abul Al-Jauza terbaru ( oktober 2014 ) masih menunggu comment
berikutnya. Mari kita cermati. Kita menyadari bahwa ini masalah khilafiyyah, sampai kapanpun
tetap ada khilaf ini, namun demikian kita perlu membahasnya secara ilmiah, agar
kita bisa mengamalkan atas dasar ilmu. Silahkan
komentari tulisan ini setelah membacanya dengan tuntas, memahami serta tidak
overlapping dengan komentar yang ada pada tulisan dibawah ini. Jika argument
yang kita pegang selama ini lemah, semata karena masalah eksistensi/harga diri,
harus berani merubahnya. Insya Allah.
[ admin lamurkha ]
1.Puasa 'Arafah ( Abul Al-Jauza )
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ
أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ قَبْلَهُ، وَ السَّنَةَ الَّتِيْ بَعْدَهُ
“Puasa pada hari ‘Arafah, aku
berharap kepada Allah agar menghapuskan (dengannya) dosa-dosa pada tahun lalu
dan tahun yang akan datang”.[1]
An-Nawawiy rahimahullah berkata
:
قوله صلى الله عليه وسلم: "صيام يوم عرفة
أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والسنة التي بعده" معناه يكفر ذنوب
صائمه في السنتين، قالوا: والمراد بها الصغائر،
“Sabda beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam : ‘Puasa pada hari ‘Arafah, aku berharap kepada
Allah agar menghapuskan (dengannya) dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun yang
akan datang’ ; maknanya adalah menghapuskan dosa-dosa bagi orang yang
berpuasa pada hari itu selama dua tahun. Mereka (para ulama) berkata :
Maksudnya adalah menghapus dosa-dosa kecil” [Syarh Shahih Muslim, 8/50-51].
قوله صلى الله عليه وسلم في يوم عرفة " يكفر
السنة الماضية والمستقبلة " قال الماوردى في الحاوى فيه تأويلان (أحدهما) ان
الله تعالي يغفر له ذنوب سنتين (والثانى) ان الله تعالي يعصمه في هاتين السنتين
فلا يعص فيهما وقال السرخسي أما السنة الاولي فتكفر ما جرى فيها قال واختلف
العلماء في معنى تكفير السنة الباقية المستقبلة وقال بعضهم معناه إذا ارتكب فيها معصية
جعل الله تعالي صوم يوم عرفة الماضي كفارة لها كما جعله مكفرا لما في السنة
الماضية وقال بعضهم معناه ان الله تعالي يعصمه في السنة المستقبلة عن ارتكاب ما
يحتاج فيه إلى كفارة
“Sabda beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengenai hari ‘Arafah : ‘dapat menghapus dosa-dosa
tahun lalu dan tahun yang akan datang’ ; berkata Al-Maawardiy dalam Al-Haawiy bahwasannya
hadits ini mempunyai dua penafsiran. Pertama, Allah ta’alamengampuni
dosa-dosanya selama dua tahun; Kedua, Allah ta’ala menjaganya
untuk tidak berbuat dosa selama dua tahun. As-Sarkhaasiy berkata : ‘Adapun
tahun pertama, maka dosa-dosanya akan diampuni’. Ia melanjutkan : ‘Para ulama
berbeda pendapat mengenai makna penghapusan dosa di tahun selanjutnya (tahun
depan). Sebagian mereka mengatakan, maknanya adalah bila seseorang melakukan
maksiat pada tahun itu, Allah ta’ala akan menjadikan puasa di hari
‘Arafah yang ia lakukan di tahun lalu sebagai penghapus, sebagaimana ia menjadi
penghapus dosa di tahun sebelumnya. Sebagian ulama lain mengatakan bahwa maknanya
adalah Allah ta’ala menjaganya dari melakukan dosa di tahun depan” [Al-Majmu’
Syarhul-Muhadzdzab, 6/381].
Ash-Shan’aniy rahimahullah berkata
:
استشكال تكفير ما لم يقع، وهو ذنب السنة الآتية،
وأجيب بأن المراد أنه يوفق فيها لعدم الإتيان بذنب؛ وسماه تكفيراً لمناسبة
الماضية، أو أنه إن أوقع فيها ذنباً، وفق للإتيان بما يكفره.
“Sulit diterima penghapusan
dosa yang belum terjadi, yaitu dosa tahun yang akan datang. Pendapat itu
dibantah dengan alasan bahwa yang dimaksudkan adalah bahwa ia diberi taufiq
pada tahun yang akan datang untuk tidak melakukan dosa. Hanya saja itu dinamai
penghapusan untuk penyesuaian dengan istilah tahun lalu. Atau bahwa jika dia melakukan
dosa tahun yang akan datang, maka ia diveri taufiq untuk melakukan sesuatu yang
akan menghapuskannya” [Subulus-Salaam, 2/461].
Mengenai jenis dosa yang
dihapuskan Allah ta’ala dari amalan puasa ‘Arafah, An-Nawawiy rahimahullah berkata
:
قلت وفى معنى هذه الاحاديث تأويلان (أحدهما) يكفر
الصغائر بشرط أن لا يكون هناك كبائر فان كانت كبائر لم يكفر شيئا لا الكبائر لا
الكبائر ولا الصغائر (والثانى) وهو الاصح المختار انه يكفر كل الذنوب الصغائر
وتقديره يغفر ذنوبه كلها إلا الكبائر قال القاضى عياض رحمه الله هذا المذكور في
الاحاديث من غفران الصغائر دون الكبائر هو مذهب أهل السنة وان الكبائر إنما تكفرها
التوبة أو رحمة الله تعالي
“Aku katakan : hadits-hadits
ini mempunyai dua penafsiran : Pertama, menghapus dosa-dosa kecil dengan
syarat ia tidak melakukan dosa besar. Jika ada dosa besar, maka tidak akan
menghapus apapun, baik dosa besar ataupun dosa kecil. Kedua, - dan ini
adalah pendapat yang lebih shahih/benar lagi terpilih – ia menghapus setiap
dosa kecil. Jadi pengetiannya adalah (Allah) mengampuni semua dosanya, kecuali
dosa besar. Telah berkata Al-Qaadliy ‘Iyaadl rahimahullahu ta’ala :
‘Apa yang disebutkan dalam hadits-hadits ini berbicara tentang pengampunan
terhadap dosa-dosa kecil, selain dosa besar. Inilah madzhab Ahlus-Sunnah,
karena dosa besar hanya bisa dihapus dengan taubat atau rahmat Allah ta’ala”
[Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, 6/382].
Disunnahkannya puasa ‘Arafah
ini khusus bagi mereka yang tidak sedang melakukan wuquf di ‘Arafah. Adapun
yang sedang wuquf di ‘Arafah, maka tidak disunnahkan.
عن أبي نجيح قال سئل بن عمر عن صوم يوم عرفة
بعرفة فقال : حججت مع النبي صلى الله عليه وسلم فلم يصمه ومع أبي بكر فلم يصمه ومع
عمر فلم يصمه ومع عثمان فلم يصمه وأنا لا أصومه ولا آمر به ولا أنهى عنه
Dari Abu Najiih ia berkata :
Ibnu ‘Umar pernah ditanya tentang puasa ‘Arafah, lalu ia menjawab : “Aku pernah
berhaji bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak
berpuasa, bersama Abu Bakar dan ia tidak berpuasa, bersama ‘Umar dan ia tidak
berpuasa, juga bersama ‘Utsmaan dan ia tidak berpuasa. Adapun aku tidak
berpuasa, tidak memerintahkannya, dan tidak pula melarangnya” [Diriwayatkan
oleh At-Tirmidzi no. 751, Ahmad 2/47 & 50, Ad-Daarimiy no. 1772, Abu Ya’laa
no. 5595, Ibnu Hibbaan no. 3604, dan Al-Baghawiy no. 1792; shahih].[2]
عن أم الفضل بنت الحارث : أَنَّ نَاساً تَمَارَوا
عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ
بَعضُهُمْ : هُوَ صَائِمٌ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ : لَيْسَ بِصَائِمٍ. فَأَرْسَلَتُ
إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيْرِهِ فَشَرِبَهُ.
Dari Ummul-Fadhl binti
Al-Haarits : Bahwasannya orang-orang berdebat di sisinya pada hari ‘Arafah
tentang puasa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian mereka berkata
: “Beliau berpuasa”. Sebagian lain berkata : “Beliau tidak berpuasa”. Lalu aku
(Ummul-Fadhl) mengirimkan pada beliau satu wadah yang berisi susu ketika beliau
sedang wuquf di atas ontanya. Maka, beliau meminumnya” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhariy no. 1988 dan Muslim no. 1123].
عن سَعِيدِ بْنِ جُبَيرٍ، قَالَ : أَتَيْتُ ابْنَ
عَبَّاسٍ بِعَرَفَةَ، وَهُوَ يَأْكُلُ رُمَّاناً، فَقَالَ : أَفْطَرَ رَسُولُ
اللهِ صلى الله عليه وسلم بِعَرَفَةَ، فَبَعَثَتْ إِلَيْهِ أَمُّ الْفَضلِ
بِلَبَنٍ، فَشَرِبَهُ.
Dari Sa’iid bin Jubair, ia
berkata : “Aku mendatangi Ibnu ‘Abbaas di ‘Arafah yang waktu itu sedang makan
buah delima. Lalu ia berkata : ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berbuka
di ‘Arafah. Ummul-Fadhl pernah mengirim susu, lalu beliau meminumnya”
[Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa no. 2828 dengan sanad
shahih].
Inilah pendapat shahih dari
jumhur ulama.
At-Tirmidziy rahimahullah berkata
:
وقد استحب أهل العلم صيام يوم عرفة إلا بعرفة
“Para ulama menyenangi puasa
di hari ‘Arafah, kecuali jika berada di ‘Arafah (melaksanakan wuquf haji)” [Sunan
At-Tirmidziy, 2/116].
An-Nawawiy rahimahullah berkata
:
(واما) الحاج الحاضر في عرفة فقال الشافعي في المختصر والاصحاب
يستحب له فطره لحديث أم الفضل وقال جماعة من أصحابنا يكره له صومه
“Adapun bagi orang yang
melaksanakan haji di ‘Arafah, berkata Asy-Syafi’iy dan murid-muridnya dalam Al-Mukhtashar :
‘Disunnahkan baginya untuk berbuka berdasarkan hadits Ummul-Fadhl. Dan berkata
sekelompok dari shahabat kami : Dimakruhkan baginya untuk berpuasa” [Al-Majmu’,
6/380].
Ibnu Baaz rahimahullah pernah
ditanya : “Apa hukum puasa di hari kesembilan bulan Dzulhijjah ?”. Maka beliau rahimahullah menjawab
:
يوم التاسع سنة، يوم عرفة سنة لجميع الناس صيام
يوم عرفة، سئل النبي عن يوم عرفة فقال عليه الصلاة والسلام: (يكفر الله به السنة
التي قبله والسنة التي بعده) فيوم عرفة يسن صيامه للرجال والنساء إلا من كان في
الحج فلا يصوم، من كان حاجاً فإنه يقوم يوم عرفة مفطراً هذه السنة، أما غير الحجاج
فالسنة لهم أن يصوموا إذا تيسر ذلك.
“(Puasa di) hari kesembilan
adalah sunnah. Hari ‘Arafah adalah sunnah bagi seluruh kaum muslimin untuk
berpuasa di dalamnya. Nabi pernah ditanya mengenai hari ‘Arafah, maka beliau ‘alaihish-shalaatu
was-salaam menjawab : ‘Allah mengampuni dengannya dosa-dosa pada
tahun lalu dan tahun yang akan datang’. Oleh karena itu, pada hari ‘Arafah
disunnahkan untuk berpuasa bagi laki-laki dan wanita kecuali bagi mereka yang
melaksaksanakan haji, maka ia tidak berpuasa. Barangsiapa yang melaksanakan
haji, maka pada hari ‘Arafah itu ia berbuka pada tahun ini. Adapun selain
orang-orang yang berhaji, maka yang sunnah bagi mereka adalah berpuasa jika
merasa ringan/mudah melaksanakannya” [sumber : http://www.ibnbaz.org.sa/mat/19016].
Namun ada keterangan dari
beberapa orang salaf yang tetap berpuasa walaupun mereka berada di ‘Arafah
melakukan wuquf.
عن هشام بن عروة ، عن أبيه ، قال : "مَا
شَهِدَ أَبِي عَرَفَةَ قَطُّ إِلَّا وَهُوَ صَائِمٌ"
Dari Hisyaam bin ‘Urwah, dari
ayahnya, ia berkata : “Tidaklah aku menyaksikan ayahku (‘Urwah bin Zubair)di
‘Arafah, kecuali ia sedang berpuasa” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraiy dalam Tahdziibul-Aatsaar no.
1057; shahih].
عن القاسم بن محمد ، قال : " رأيت عائشة
عشية عرفة يدفع الإمام ، فتقف بعد حتى يقصى ما بينها وبين الناس من الأرض ، ثم
تدعو بالشراب فتفطر "
Dari Al-Qaasim bin Muhammad,
ia berkata : “Aku pernah melihat ‘Aisyah pada waktu sore di ‘Arafah
meninggalkan (memisahkan diri dari) imam (rombongan haji). Ia berhenti sebentar
hingga orang-orang jauh darinya, lalu minta dibawakan minuman dan mulai berbuka
puasa” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraiy dalam Tahdziibul-Aatsaar no.
1059; shahih].
Hal itu sebagaimana
diterangkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah :
أكثر أهل العلم يستحبون الفطر يوم عرفة بعرفة
،وكانت عائشة وابن الزبير يصومانه، وقال قتادة : لا بأس به إذا لم يضعف عن الدعاء،
وقال عطاء :أصوم في الشتاء ولا أصوم في الصيف، لأن كراهة صومه إنما هي معللة
بالضعف عن الدعاء فإذا قوي عليه أو كان في الشتاء لم يضعف فتزول الكراهة
“Kebanyakan ulama menyenangi
berbuka pada hari ‘Arafah ketika berada di ‘Arafah. Adalah ‘Aisyah dan Ibnu
Zubair tetap berpuasa (saat di ‘Arafah). Qataadah berkata : ‘Tidak mengapa
dengannya jika tidak menyebabkan lemah untuk berdoa’. ‘Athaa’ berkata : ‘Aku
berpuasa saat musim dingin, dan aku tidak berpuasa saat musim panas’.
Kemakruhan berpuasa di waktu itu dikarenakan akan menyebabkan kelemahan untuk
berdoa. Namun bila ia kuat melaksanakannya atau saat berada di musim dingin
sehingga tidak membuat lemah, maka kemakruhan itu pun hilang” [Al-Mughniy,
3/58].
Puasa ‘Arafah Menurut Negeri Masing-Masing atau Menurut Saudi ?
Permasalahan ini
menjadi khilaf di kalangan ulama’. Sebagian ulama memahami bahwa
ibadah ini (dan juga ‘Iedul-Adlha)[3] tergantung
pada sebab terlihatnya bulan Dzulhijjah, sebagaimana hal yang sama untuk
permulaan Ramadlan dan Syawal. Sementara itu ulama lain berpendapat bahwa
ibadah ini mengikuti ibadah haji di tanah Haram yang merupakan bentuk
solidaritas para hujjaj. Dan dalam hal ini, kami mengikuti tarjih ulama
pada pendapat kedua. Hal itu didasari oleh beberapa alasan berikut :
1. Telah berlalu
penjelasan bahwasannya puasa ‘Arafah disunnahkan hanya bagi mereka yang
tidak melaksanakan wuquf di ‘Arafah. Ini mengandung pengertian bahwa puasa
‘Arafah ini terkait dengan pelaksanaan ibadah haji/wuquf. Jika para hujjajtelah
wuquf, maka pada waktu itulah disyari’atkannya melaksanakan puasa ‘Arafahbagi
mereka yang tidak melaksanakan haji.
2. Dalam nash-nash tidak
pernah disebutkan puasa di hari kesembilan, namun hanya disebutkan puasa
‘Arafah. Berbeda halnya dengan puasa ‘Aasyuura yang disebutkan tanggalnya
secara spesifik :
عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما يقول: حين
صام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء وأمر بصيامه، قالوا: يا رسول الله !
إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "فإذا
كان العام المقبل إن شاء الله، صمنا اليوم التاسع. قال: فلم يأت العام المقبل، حتى
توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم.
Dari ‘Abdullah bin
‘Abbaas radliyallaahu ;anhumaa, ia berkata : “Ketika Rasulullahshallallaahu
‘alaihi wa sallam berpuasa di hari ‘Aasyuuraa dan memerintahkannya, para
shahabat berkata : ‘Sesungguhnya ia adalah hari yang diagungkan oleh
orang-orang Yahudi dan Nashrani’. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :‘Tahun depan, insya Allah, kita akan berpuasa di hari
kesembilan”. Ibnu ‘Abbas berkata : “Sebelum tiba tahun depan, Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam telah wafat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1134].
عن ابن عباس يقول في يوم عاشوراء خالفوا اليهود
وصوموا التاسع والعاشر
Dari Ibnu ‘Abbaas ia berkata
tentang (puasa) hari ‘Aasyuuraa’ : “Selisihilah orang-orang Yahudi dan
berpuasalah di hari kesembilan dan kesepuluh” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq
no. 7839 dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/287; shahih].
Adapun perintah berpuasa
‘Arafah adalah :
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ
أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ قَبْلَهُ، وَ السَّنَةَ الَّتِيْ بَعْدَهُ
“Puasa pada hari ‘Arafah, aku
berharap kepada Allah agar menghapuskan (dengannya) dosa-dosa pada tahun lalu
dan tahun yang akan datang”
Jadi jelas perbedaannya bahwa
puasa ‘Arafah tidak tergantung pada urutan hari dalam bulan Dzulhijjah, namun
pada pelaksanaan wuquf di ‘Arafah.
3. Telah bersabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam :
فطركم يوم تفطرون وأضحاكم يوم تضحون
“Berbuka kalian adalah hari
kalian berbuka dan penyembelihan kalian adalah hari kalian menyembelih” [Diriwayatkan
oleh Abu Dawud no. 2324, Al-Baihaqiy 1/251, Ad-Daaruquthniy 2/163; shahih.
Lihat Shahiihul-Jaami’ no. 4225].
فطركم يوم تفطرون وأضحاكم يوم تضحون وعرفة يوم
تعرفون
“Berbuka kalian adalah di
hari kalian berbuka, penyembelihan kalian adalah di hari kalian menyembelih,
dan ‘Arafah kalian adalah di hari kalian melakukan wuquf di ‘Arafah” [Diriwayatkan
oleh Asy-Syaafi’iy dalam Al-Umm 1/230 dan Al-Baihaqiy 5/176; shahih
dari ‘Athaa’ secara mursal. Lihat Shahiihul-Jaami’ no. 4224].
يوم عرفة ويوم النحر وأيام التشريق عيدنا أهل
الإسلام وهي أيام أكل وشرب
“Hari ‘Arafah, hari
penyembelihan (‘Iedul-Adlhaa), dan hari-hari tasyriiq adalah hari raya kita
orang-orang Islam. Ia adalah hari-hari makan dan minum” [Diriwayatkan oleh
Abu Dawud no. 2419 dan At-Tirmidziy no. 773; shahih].
Makna ’ penyembelihan
kalian adalah hari kalian menyembelih’ dan ‘Arafah kalian adalah di
hari kalian melakukan wuquf di ‘Arafah’ adalah mengikuti dan menyesuaiakan
pelaksanakaan hari menyembelih dan pelaksanaan wuquf orang-orang yang
melaksanakan haji di Makkah.
An-Nawawiy rahimahullah berkata
:
قَال أَصْحَابُنَا: وَليْسَ يَوْمُ الفِطْرِ
أَوَّل شَوَّالٍ مُطْلقًا وَإِنَّمَا هُوَ اليَوْمُ الذِي يُفْطِرُ فِيهِ النَّاسُ
بِدَليل الحَدِيثِ السَّابِقِ، وَكَذَلكَ يَوْمَ النَّحْرِ، وَكَذَا يَوْمَ
عَرَفَةَ هُوَ اليَوْمُ الذِي يَظْهَرُ للنَّاسِ أَنَّهُ يَوْمَ عَرَفَةَ، سَوَاءٌ
كَانَ التَّاسِعَ أَوْ العَاشِرَ قَال الشَّافِعِيُّ فِي الأُمِّ عَقِبَ هَذَا
الحَدِيثِ: فَبِهَذَا نَأْخُذُ
“Telah berkata
shahabat-shahabat kami (fuqahaa’ Syafi’iyyah) : Tidaklah hari berbuka
(‘Iedul-Fithri) itu (mempunyai pengertian) hari pertama bulan Syawal
secara muthlaq. Ia adalah hari dimana orang-orang berbuka padanya dengan
dalil hadits sebelumnya (yaitu : ‘Berbuka kalian di hari kalian berbuka’).
Begitu pula dengan hari penyembelihan (Yaumun-Nahr/’Iedul-Adlhaa). Begitu
pula dengan hari ‘Arafah, ia adalah hari yang nampak bagi orang-orang
bahwasannya hari itu adalah hari ‘Arafah. Sama saja apakah itu hari kesembilan
atau hari kesepuluh. Asy-Syaafi’iy berkata dalam Al-Umm saat
berkomentar tentang hadits ini : Maka dengan inilah kami berpendapat…..” [Al-Majmu’’,
5/26].
Hari yang nampak sebagai hari
‘Arafah adalah hari ketika orang-orang yang melaksanakan ibdah haji wuquf di
‘Arafah.
4. Husain bin Al-Harts
Al-Jadaliy pernah berkata :
أن أمير مكة خطب ثم قال : عهد إلينا رسول الله
صلى الله عليه وسلم أن ننسك للرؤية فإن لم نره وشهد شاهدا عدل نسكنا بشهادتهما
....
“Bahwasannya amir kota Makkah
pernah berkhutbah, lalu berkata : ‘Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa
sallam telah berpesan kepada kami agar kami (mulai) menyembelih
berdasarkan ru’yah. Jika kami tidak melihatnya, namun dua orang saksi ‘adil
menyaksikan (hilal telah tampak), maka kami mulai menyembelih berdasarkan
persaksian mereka berdua….” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2338; shahih].
Atsar di atas
menunjukkan ru’yah hilal yang dianggap/dipakai untuk melaksanakan
ibadah penyembelihan (dan semua hal yang terkait dengan haji) adalah ru’yah
hilalpenduduk Makkah, bukan yang lain. Dengan demikian, maka hadits tersebut
menunjukkan bahwa pada masa itu Amir Mekkah-lah yang menetapkan pelaksanaan
manasik haji, mulai dari wuquf di ‘Arafah, Thawaf Ifadlah, bermalam di
Muzdalifah, melempar Jumrah, dan seterusnya. Atau dengan kata lain, penguasa
yang menguasai kota Mekkah saat ini berhak menentukan wukuf di Arafah (9
Dzulhijjah), pelaksanaan penyembelihan hewan kurban (10 Dzulhijjah), dan
rangkaian manasik haji lainnya. Hal itu berarti negeri-negeri Islam lainnya
harus mengikuti penetapan hari wukuf di Arafah, yaumun nahar (hari
penyembelihan hewan kurban pada tanggal 10 Dzulhijjah) berdasarkan keputusan
Amir Mekkah, atau penguasa yang saat ini mengelola kota Makkah.[4]
Wallaahu a’lam.
Itu saja yang dapat
dituliskan, semoga ada manfaatnya.
[Abul-Jauzaa’ – perumahan
ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – http://abul-jauzaa.blogspot.com].
[1] Diriwayatkan
oleh Muslim no. 1162, ‘Abdurrazzaaq no. 7826 & 7831 & 7865, Ibnu Abi
Syaibah 3/78, Ahmad 5/297 & 308 & 310-311, Abu Dawud no. 2425-2426,
An-Nasa’iy dalam Al-Kubraano. 2826, Ibnu Maajah no. 1730, Ibnu Khuzaimah
no. 2087, Ibnu Hibbaan no. 3631-3632, Ath-Thahaawiy dalam Syarh
Ma’aanil-Aatsaar 2/72 & 77 dan dalam Syarh Musykilil-Aatsaar no.
2967-2968, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/286 & 300, Ibnu
‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid21/162, dan Al-Baghawiy no. 1789-1790, dari
beberapa jalan dari Ghailaan bin Jariir, dari ‘Abdullah bin Ma’bad
Az-Zimmaaniy, dari Abu Qatadah Al-Anshariy secara marfu’.
Sebagian orang ada yang
melemahkan hadits ini dengan alasan bahwa ‘Abdullah bin Ma’bad tidak mendengar
hadits dari Abu Qatadah radliyallaahu ‘anhu berdasarkan perkataan
Al-Bukhariy rahimahullah :
لا نعرف سماعه ـ يعني عبد الله بن مَعْبَد ـ من
أبي قَتَادَة
“Kami tidak mengetahui
penyimakannya – yaitu ‘Abdullah bin Ma’bad – dari Abu Qataadah” [At-Taariikh
Al-Kabiir, 3/68 & 5/198].
Ta’lil ini dijawab
sebagai berikut :
a. Perkataan Al-Bukhariy
di atas tidak secara sharih (jelas) meniadakan samaa’ ‘Abdullah
bin Ma’bad dari Abu Qatadah. Hanya saja Al-Bukhariy mengatakan bahwa ia tidak
mengetahui penyimakannya dari Abu Qatadah. Jika ia memastikan tidak adanya
penyimakan, maka ia akan menggunakan lafadh : “Ia tidak mendengar darinya” atau
“mursal” sebagaimana kebiasaan beliau dalam permasalahan ini. Adapun
persyaratan Muslim dalam Shahih-nya adalah mu’asharah yang
memungkinkan adanya pertemuan secara umum dari para perawi.
b. Ibnu Abi Haatim
(1/260) dan Ad-Daaruquthniy dalam Al-‘Ilal (6/152) saat mentarjih dua
jalan sanad dari Ghailaan bin Jariir, mereka berdua tidak men-ta’lil adanya inqitha’ dan
peniadaan samaa’ ‘Abdullah bin Ma’bad dari Abu Qatadah secara mutlak.
Jika saja ini merupakan ‘illat, niscaya mereka menyebutkannya dan tidak
men-tashhih-nya.
c. Ibnu Hajar dan
Adz-Dzahabiy rahimahumallah menguatkan kebersambungan sanad ‘Abdullah
bin Ma’bad dari Abu Qatadah. Ibnu Hajar berkata :
عبد الله بن معبد الزماني البصري روى عن أبي
قتادة وأبي هريرة وعبد الله بن عتبة بن مسعود وأرسل عن عمر وعنه قتادة وغيلان بن
جرير وثابت البناني والحجاج بن عتاب العبدي
“’Abdullah bin Ma’bad
Az-Zimmaaniy Al-Bashriy. Ia meriwayatkan dari Abu Qatadah, Abu Hurairah, dan
‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’uud. Meriwayatkan secara mursal dari
‘Umar. Qatadah, Ghailaan bin Jariir, Tsaabit Al-Bunaaniy, dan Al-Hajjaaj bin
‘Attaab Al-‘Abdiy meriwayatkan darinya” [At-Tahziib, 6/36].
Di sini Ibnu Hajar hanya
mengatakan mursal dalam riwayatnya dari ‘Umar, tidak pada Abu
Qatadah, Abu Hurairah, dan ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’uud.
Adz-Dzahabiy berkata :
قال البخاري : لا يعرف له سماع من أبي قتادة،قلت
ـ الذهبي ـ:لا يضره ذلك
“Al-Bukhariy berkata : ‘Tidak
diketahui penyimakannya dari Abu Qatadah’. Aku – (yaitu Adz-Dzahabiy) – berkata
: “Hal itu tidak memudlaratkannya” [Diiwaan Adl-Dlu’afaa’, hal. 229].
Orang yang melemahkan hadits
ini juga berhujjah bahwa ‘Abdullah bin Ma’bad ini seorang yang dla’iif dimana
sebagian ulama al-jarh wat-ta’diil memasukkannya dalam kitab Adl-Dlu’afaa’.
Dijawab :
Sudah menjadi satu hal yang ma’ruuf bahwa
sebagian ulama al-jarh wat-ta’diil memasukkan beberapa perawi dalam
kitab Adl-Dlu’afaa’ orang-orang yang diperbincangkan, baik yang itu
bersifat tercela/merusak ataupun tidak. Contoh dalam permasalahan ini banyak.
Salah satunya contohnya adalah Ibnu ‘Adiy telah memasukkan ‘Aliy bin Al-Madiniy
dalam kitabnyaAdl-Dlu’afaa’.
‘Abdullah bin Ma’baad dalam
hadits tersebut mempunyai mutaba’ah dari Iyaas bin Harmalah.
Diriwayatkan oleh ‘Abd bin
Humaid no. 194, Ahmad 5/296 & 304, An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa3/220-321,
Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/283, serta Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid21/162
dari beberapa jalan dari Iyaas bin Harmalah, dari Abu Qataadah, dari Nabishallallaahu
‘alaihi wa sallam :
صوم عاشوراء يكفر السنة الماضية وصوم عرفة يكفر
السنتين الماضية والمستقبلة
“Puasa ‘Aasyuuraa’
menghapuskan dosa tahun yang lalu dan puasa ‘Arafah menghapuskan dosa dua
tahun, yaitu tahun yang lalu dan tahun depan”.
Sedangkan hadits Abu
Qataadah mempunyai syawaahid dari beberapa orang shahabat, yaitu :
1. Sahl bin Sa’d radliyallaahu
‘anhuma. Diriwayatkan oleh ‘Abd bin Humaid no. 463, Ibnu Abi Syaibah 3/97, Abu
Ya’laa no. 7548, Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir 6/179, dari Sahl bin
Sa’d, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam :
مَنْ صَامَ يَوْمَ عَرَفَةَ، غُفِرَ لَهُ
سَنَتَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ
“Barangsiapa yang berpuasa di
hari ‘Arafah, niscaya ia akan diampuni (dari dosa-dosanya) dua tahun
berturut-turut”.
Sanad hadits ini jayyid.
Al-Haitsamiy berkata : “Diriwayatkan oleh Abu Ya’laa dan Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir. Rijaal Abu
Ya’laa adalah rijaal shahiih” [Majma’uz-Zawaaid, 3/189].
2. Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhuma. Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Ausath(Majma’ul-Bahrain no.
1573) dari Sa’iid bin Jubair, ia berkata :
سأل رجل عبد الله بن عمر عن صوم يوم عرفة
فقال:" كنا ونحن مع رسول الله صلى الله عليه وسلم يعدله بصوم سنتين"
“Ada seorang laki-laki
bertanya kepada ‘Abdullah bin ‘Umar tentang puasa hari ‘Arafah. Maka ia berkata
: ‘Kami dulu pernah bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamdimana
beliau menyamakannya dengan puasa selama dua tahun”.
Al-Haitsaimiy berkata :
“Hadits tersebut hasan” [Majma’uz-Zawaaid, 3/190].
Ada beberapa hadits dari
jalan lain yang dla’if.
Secara keseluruhan, hadits
tersebut adalah shahih.
[2] Sebagian
ulama menggunakan riwayat ini sebagai dalil dimakruhkannya puasa ‘Arafah. Ini
tidak benar, karena dalam riwayat tersebut Ibnu ‘Umar menceritakan keadaannya
saat berhaji bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr,
‘Umar, dan ‘Utsmanradliyallaahu ‘anhum. Tentu saja ini pembicaraan ini dalam
konteks wuquf di ‘Arafah bagi orang yang berhaji.
أن الذبح بالمشاعر أصل، وبقية الأمصار تبع لمكة،
ولهذا كان عيد النحر العيد الأكبر، ويوم النحر يوم الحج الأكبر.....
“Sesungguhnya menyembelih di masyaair adalah
pokok, dan penyembelihan di tempat lain adalah mengikuti Makkah. Oleh
karena itu hari raya penyembelihan (‘Iedul-Adlhaa) adalah hari raya yang besar.
Hari penyembelihan adalah hari haji akbar…..” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 24/227].
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata :
ويكون تعجيل صلاة الأضحى بمقدار وصول الناس من
المزدلفة إلى منى ورميهم وذبحهم -نص عليه أحمد في رواية حنبل- ؛ ليكون أهل الأمصار
تبعاً للحاج في ذَلِكَ ؛ فإن رمي الحاج الجمرة بمنزلة صلاة العيد لأهل الأمصار
“Dan pelaksanaan shalat
‘Iedul-Adlhaa disesuaikan dengan sampainya orang-orang (yang melaksanakan
ibadah haji) dari Muzdalifah menuju Mina, melempar jumrah mereka, dan
penyembelihan mereka – hal ini dinyatakan oleh Ahmad dalam riwayat Hanbal - .
Dan orang-orang yang ada di tempat lain, hendaknya mengikuti orang-orang yang
berhaji dalam hal tersebut. Sesungguhnya waktu pelemparan jumrah oleh
orang-orang yang melaksanakan haji di Muzdalifah, maka waktu itu adalah waktu
pelaksanaan shalat ‘Ied bagi orang-orang yang ada di tempat lain” [Fathul-Baariy].
[4] Point ini saya mengambil faedah dari al-akh Abu Hannan di :http://salafyitb.wordpress.com/2007/01/24/al-imam-ibnu-utsaimin-shaum-arafah-tidak-mengikuti-saudi/ --- komentar tanggl 22
Pebruari 2007.
COMMENTS
Abduh mengatakan...
Assalamu'alaikum wa rahmatullah wa barakatuh,
Semoga Allah senantiasa memberkahi ilmu antum.
Sedikit tanggapan dari ana.
1. Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin berpendapat:
Permasalahan ini adalah turunan dari perselisihan ulama apakah hilal untuk
seluruh dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah.
2. Kalau di Saudi wukuf lebih dahulu daripada tanggal 9 Dzulhijah di negeri
ini, berarti kalau kita puasa Arofah ikut Saudi, nantinya akan ada selang satu
hari yang kosong. Lantas hari tersebut disebut hari apa? Padahal hari rayanya
masih besoknya lagi.
3. Jika demikian, mengapa hari raya Idul Adha tidak lebih dulu sama dengan
Saudi?
4. Apakah ada praktek dari para salaf, kalau puasa Arofah ikut wukuf di
Arofah sedangkan Idul Adha ikut di negeri masing2?
Ada artikel sebagai pertimbangan:
Mohon tanggapannya Ustadz. Semoga Allah senantiasa menjaga antum.
19 November 2009 09.53
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumsalam warahmatullaahi wabarakatuh
Terima kasih atas tanggapannya akh. Memang benar, Asy-Syaikh Ibnu 'utsaimin
rahimahullah berpendapat bahwa dalam permasalahan ini tidak harus mengikuti
haji akbar di tanah haram. Begitu juga sebagian masyaikh Saudi lainnya.
Sebenarnya bila dicermati tulisan di atas, saya tidak sedang menguatkan
pendapat 'Iedul-Adlhaa (Yaumun-Nahar) sesuai dengan negeri masing-masing. Namun
ia tetap mengikuti ibadah haji yang ada di tanah haram. Oleh karena itu, tidak
ada hari yang 'kosong' di sini.
Para ulama telah menjelaskan bahwa puasa 'Arafah, menyembelih hewan kurban,
dan 'Iedul-Adlhaa dilakukan sebagai bentuk solidaritas kaum muslimin terhadap
para hujjaj dengan mengikuti/menyesuaikan pelaksanaan haji di tanah haram.
wallaahu a'lam.
20 November 2009 07.57
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Komentar di atas adalah ralat dari komentar sebelumnya (yang sudah
dihapus). Sebelumnya tertulis :
"Para ulama telah menjelaskan bahwa puasa 'Arafah, menyembelih hewan
kurban, dan 'Iedul-Fithri dilakukan sebagai bentuk solidaritas kaum muslimin
terhadap para hujjaj...".
Yang dimaksud adalah : "'Iedul-Adlhaa" - sebagaimana komentar di
atas.
20 November 2009 08.08
nicetapa mengatakan...
Assalamu'alaikum ustadz.
Bagaimana Jika ada yang berpendapat puasa arafah adalah ikut wukufnya
jama'ah haji di arafah sementara, iedul adha tetap mengikuti negaranya masing 2
dan ia berdalil dari hadits yang diriwayatkan Imam at Tirmidzi : "puasalah
kamu pada hari kalian berpuasa dan berbukalah kamu pada hari kalian berbuka dan
berqurban ( berldul Adha ) itu adalah pada hari kalian berqurban." afwan
ustadz ana belum tahu di hadits hadits nomor berapa dan derajat bagaimana.
Jazakallahu khoiron.
20 November 2009 08.46
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumsalam warahmatullaahi wabarakatuh...
Dalam hal ini (minimal untuk sementara ini), .... saya mengikuti
pentarjihan ulama yang berpendapat bahwa pelaksanaan puasa 'Arafah dan
'Iedul-Adlhaa disesuaikan dengan pelaksanaan haji di Makkah. Hal itu
sebagaimana penjelasan Syaikhul-Islaam dan Ibnu Rajab Al-Hanbaliy pada catatan
nomor 3.
Wallaahu a'laam.
20 November 2009 09.34
abu abdissalam mengatakan...
Assalamu'alaikum ustadz,
Mau tanya, ana membayangkan di zaman dulu ketika belum ada media massa,
belum ada TV, radio, internet, dll. Sedangkan negeri Islam sudah meluas
kemana-mana. Lalu bagaimana sebuah negeri yang terletak beribu-ribu mil dari
Mekkah mengetahui kapan pelaksanaan wuquf di arafah. Sedangkan seperti yang ana
bilang tadi, tidak ada media massa. Hal ini juga dikaitkan dengan idul fitri.
Syukron atas jawabannya.
Barakallohu fik
Wassalamu'alaikum
4 November 2010 10.21
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Allah ta'ala berfirman :
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ
نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
"Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya" (QS.
Al-Baqarah : 286).
Apa
yang disebutkan di atas merupakan hukum asal bagi setiap orang yang mampu
mengetahui khabar nampaknya hilal di Makkah atau pelaksanaan wuquf di 'Arafah.
Dapat kita lihat bahwasannya Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan
amir kota Makkah untuk melihat hilal yang kemudian hilal itu dirujuk oleh kaum
muslimin yang lain termasuk di Madinah.
Jarak
ribuan kilometer beberapa negeri Islam dan arus informasi yang tidak secepat
sekarang menyebabkan para ulama berijtihad dalam hal ini. Ini semua dikarenakan
'udzur atas sesuatu yang sifatnya dlaruriy. 'Tidak mungkin' kan kaum muslimin
tidak melaksanakan puasa 'Arafah, shalat 'Ied, dan menyembelih kurban dengan
alasan tidak mengetahui informasi yang ada di negeri Makkah. Salah satunya
mereka (para ulama) berijtihad berdasarkan hilal di masing-masing tempat.
Hukum
ini tentu saja mengikuti illat pengetahuan atas khabar yang sampai kepada
mereka tentang kenampakan hilal penduduk Makkah atau waktu pelaksanaan wuquf di
'Arafah.
Nah,
untuk waktu sekarang dimana sarana komunikasi sudah sedemikian canggihnya,
bukan hal yang susah bagi kita untuk mengetahui hilal penduduk Makkah/Saudi
atau pelaksanaan wuquf di 'Arafah.
Wallaahu
a'lam.
4
November 2010 10.56
Anton
mengatakan...
Assalamu`alaikum
Menurut
ana(maaf Ustadz) pendapat terkuat adalah mengikuti Saudi mungkin
ustadz(maaf)lupa bukankah tentang pengertian Hari Arafah sendiri yaitu ‘Arafah
kalian adalah di hari kalian melakukan wuquf di ‘Arafah” ,padahal saat mereka
sedang wukuf Arafah maka selainnya dianjurkan berpuasa saat itu kan. Demikian
pendapat terkuat yang ana pegang samapai saat ini. Walaupun demikian ana hargai
pendapat Ustadz. Jazakallah.
8
November 2010 14.10
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumus-salaam.
Coba
pak Anton baca lebih pelan-pelan lagi tentang apa yang ditarjih dalam artikel
ini.....
Baarakallaahu
fiik.
8
November 2010 14.43
The
True Ideas mengatakan...
ustadz,
tahun 1431H ini, nampaknya di negeri kita akan berbeda dengan Saudi, karena
Menag menetapkan Idul Adha tanggal 17 November,
yang
ingin ana tanyakan yakni, salah satu ormas yang ada -Muhammadiyah-- jauh-jauh
hari sudah menetapkan bahwa Idul Adha akan jatuh pada 16 November 2010, sebelum
Saudi mengumumkan masuk tanggal 1 Dzulhijjah, pertanyaannya adalah, apakah sama
kemudian antara yang merayakan Idul Adha lantaran mengikuti perayaan haji
(dengan rukyatnya Saudi) dengan yang mengikuti pendapat ormas ini?
jazakallah
khaira untuk jawabannya
8
November 2010 19.01
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
tidak
sama.
8
November 2010 20.15
Abu
mengatakan...
Ustadz,
kalau kita mengikuti Saudi sementara di negeri kita berbeda, bukankah ini
berarti kita tidak mengikuti penguasa?
Ini
ada kutipan dari penjelasan Syaikh Utsaimin di website nya Ustadz Muhammad
Abduh ttg wajibnya mengikuti penguasa dalam masalah khilafiyah seperti ini :
"Akan
tetapi yang perlu jadi perhatian, jika dua negeri yang sama dalam matholi’
(tempat terbitnya hilal), telah diputuskan oleh masing-masing penguasa untuk
mulai puasa atau berhari raya, maka wajib mengikuti keputusan penguasa di
negeri masing-masing. Masalah ini adalah masalah khilafiyah, sehingga keputusan
penguasalah yang akan menyelesaikan perselisihan yang ada.
Berdasarkan
hal ini, hendaklah kalian berpuasa dan berhari raya sebagaimana puasa dan hari
raya yang dilakukan di negeri kalian (yaitu mengikuti keputusan penguasa).
Meskipun memulai puasa atau berpuasa berbeda dengan negeri lainnya. Begitu pula
dalam masalah puasa Arofah, hendaklah kalian mengikuti penentuan hilal di
negeri kalian."
Bagaimana
menurut Ustadz ?
Syukron
Abu
Raihan
9
November 2010 15.44
Ayazka
mengatakan...
Ustadz
... jadi untuk tahun ini puasa Arafahnya hari Senin atau Selasa? Jzkl
9
November 2010 16.39
Iwana
Nashaya mengatakan...
Sebagaimana
Ustadz Abu Al-Jauzaa', ana juga ngikut penetapan dari Saudi.
-----------------------
'Afwan,
berikut ini ana copas-kan sedikit ilmu yang pernah ana baca (barangkali
bermanfaat).
1.
MATHLA’
Istilah
perbedaan mathla’ menunjukkan tempat terbit dan terbenamnya matahari, bintang,
bulan, fajar di suatu tempat, yang mendahului tempat yang lain atau sebaliknya.
Para
mujtahid madzhab Syafi’i (Catatan: Mujtahid Madzhab adalah Mujtahid yang berjihad
dengan menggunakan metode imam madzhabnya) telah menentukan adanya kesamaan
mathla’ bagi daerah-daerah yang berada dalam radius 120 km (tanpa memperhatikan
garis bujur dan lintang daerah-daerah tersebut) sekaligus perbedaan mathla’
bagi tempat-tempat yang jaraknya lebih dari 120 km. Pendapat ini tidak
disandarkan pada nash, melainkan diqiyaskan dengan pendapat Imam Syafi’i dalam
batasan jarak bolehnya meng-qashar shalat bagi musafir.
Pada
faktanya, sebenarnya perbedaan waktu hanya terjadi pada tempat-tempat yang
berbeda garis bujurnya, yaitu tempat-tempat yang berada sepanjang garis timur
ke barat. Sedangkan untuk daerah-daerah yang memiliki garis bujur sama atau
berdekatan, memiliki waktu yang sama (berpeluang untuk menyaksikan terbitnya
matahari atau bulan pada saat yang bersamaan), sekalipun jarak mereka lebih
dari 120 km. (please, review pembagian daerah waktu di peta!).
Sebagai
contoh, kita perhatikan antara kota Perth, Ujung Pandang dan Manila. Demikian
juga antara kota Istambul, Cairo, Cape Town (ujung selatan Benua Afrika).
Ketiga kota ini berada pada garis bujur yang berdekatan, namun perbedaan
jaraknya mencapai ribuan km. Dan kalau di peta kita bisa lihat, ternyata mereka
memiliki daerah waktu yang sama (+8 jam dan +2 jam dari GMT). Artinya mereka
memiliki kesamaan tempat terbitnya matahari dan bulan.
Dengan
kata lain, sangat mungkin negeri-negeri yang memiliki garis bujur yang sama
atau berdekatan melakukan ru’yatul hilal pada saat yang bersamaan, sekalipun
jarak mereka berjauhan. Negeri-negeri seperti Tanzania, Kenya, Ethiopia, Saudi
Arabia, Iraq, dan Yaman semuanya terletak antara 300 BT - 400 BT, sangat
mungkin melakukan ru’yat bersama-sama selama cuacanya cerah, sebagaimana halnya
juga dengan Indonesia, Malaysia, Brunei darussalam, dan singapura yang berada
pada garis bujur yang berdekatan.
Sementara
itu, menentukan dan menaksir perbedaan waktu dengan perbedaan jarak
menghasilkan waktu 4 menit (lebih sedikit) untuk setiap perbedaan berjarak 120
km (untuk beda letak bujur = 10). Pada faktanya perbedaan waktu 4 menit ini
(jarak 120 km) tidak berpengaruh sedikitpun dalam penentuan hari dan tanggal,
bukan? Jadi, pertanyaannya… bagaimana mungkin kita menjadikannya sebagai tolok
ukur dalam menentukan perbedaan hari untuk shaum ataupum ‘Ied?
Apabila
kita menjelaskan istilah kesatuan mathla’ terhadap daerah-daerah yang dapat
melihat bulan di saat yang bersamaan, maka hal ini menyerupai kesatuan mathla’
untuk matahari. Daerah-daerah yang memiliki waktu yang sama pada saat matahari
terbit pada umumnya berada sepanjang garis utara ke selatan (mempunyai bujur
yang sama). Sedangkan daerah-daerah yang berada sepanjang garis timur ke barat,
inilah sebenarnya yang berada dari segi mathla’. Oleh karena itu tidak jadi
masalah apakah jarak suatu negeri berjauhan ataukah berdekatan, selama terletak
pada garis bujur yang sama, ia dikatakan memiliki mathla’ yang sama.
Kesimpulan:
Oleh karena itu, pendapat Syafi’iyah tentang penetapan mathla’ berdasarkan
radius (memperhitungkan beda garis bujur dan lintangnya) bertentangan dengan
fakta astronomis tentang mathla’ itu sendiri.
BERSAMBUNG
9
November 2010 18.59
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
@pak
Abu,.... begitulah memang fatwa Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah. Dan
saya rasa, saya sudah menanggapi apa yang ditulis akh Abduh dimaksud. Lihat
perkataan beliau nya di komen no. 1. Artikel di atas sebenarnya juga telah
tersirat respon saya atas hal tersebut. Wal-'ilmu 'indallaah.......
@pak
Ayazka, puasa 'Arafahnya pada waktu jama'ah haji wuquf di 'Arafah ...
9
November 2010 19.37
umm
asiyah mengatakan...
ustadz,
misalnya wukuf di arafah tgl 18 november, lalu pemerintah indonesia menetapkan
hari idul adha adalah 17 november, apa yang paling tepat kita lakukan?
jazakallohu khayran
9
November 2010 22.21
Ayazka
mengatakan...
Ustadz
... kalo puasa 'Arafahnya pada waktu jama'ah haji wuquf di 'Arafah, maka disini
waktunya adalah mulai Senin sore hingga pagi hari. Pertanyaan saya kan simple,
kita puasanya hari Senin atau Selasa?
Jzkl
10
November 2010 09.07
Anonim
mengatakan...
afwan
ustadz, ana masih bingung dalam penetapan harinya..
misal
saudi sore ini menetapkan besok tanggal 9 dzulhijjah, berarti kan kita mundur
20 jam??? atau kita duluan 4 jam??? jadi kita duluan 4 jam dari
penetapan/pelaksanaan di saudi... atau kita mundur (saudi dulu) baru setelah 20
jam (berarti hari esoknya) kita melaksanakannya???
afwan
ustadz ana masih bingung(semoga ini bukan pertanyaan yang dibenci)
syukron,
jazaakumulloohu khoiro
10
November 2010 10.17
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
@pak
Ayazka dan pak anonim,....sebenarnya perkaranya sangat mudah (tapi entah kok
menjadi seakan-akan rumit sekali). Pemerintah Saudi menetapkan 'Iedul Adlhaa
tanggal 16 Nopember 2010, yang bertepatan dengan hari Selasa. Artinya, wuquf
'Arafahnya hari Senin. Kita pun mengikutinya pada hari Senin juga. Hari Senin
Indonesia dan Saudi sama. Selisih waktu kita dengan Saudi adalah 4 jam.
Wallaahu
a'lam bish-shawwaab.
10
November 2010 12.13
Sa'ad
mengatakan...
Terkait
bagian ini
"..2.
Dalam nash-nash tidak pernah disebutkan puasa di hari kesembilan, namun hanya
disebutkan puasa ‘Arafah. Berbeda halnya dengan puasa ‘Aasyuura yang disebutkan
tanggalnya secara spesifik ..."
Ana
minta tolong antum untuk mengecek sanad hadits berikut:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا أَبُو
عَوَانَةَ حَدَّثَنَا الْحُرُّ بْنُ الصَّيَّاحِ عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ
عَنِ امْرَأَتِهِ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَتْ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ
أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ
Telah
menceritakan kepada kami [Affan] telah menceritakan kepada kami [Abu Awanah]
telah menceritakan kepada kami [Al Hurru bin Ashshayyah] dari [Hunaidah bin
Khalid] dari [isterinya] dari [sebagian isteri Nabi shallaallahu 'alaihi wa
sallam] berkata; "Rasulullah shallaallahu 'alaihi wa sallam berpuasa pada
hari ke sembilan bulan dzulhijjah, pada hari asyura, dan tiga hari setiap
bulan, yaitu hari senin pada pekan pekan pertama dan dua hari kamis pada pekan
setelah nya." (Musnad Ahmad No. 25263)
Apakah
statusnya dlo'if karena majhul-nya istri Hunaidah bin Khalid ?
Jazakallohu
khoyr ...
10
November 2010 22.27
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
sebenarnya
permasalahan utamanya bukan istri Hunaidah - walau itu masuk dalam masalah. ya
benar, istri Hunaidah ini mubham nggak disebutkan namanya. para ulama berbeda
pendapat dalam hadits tersebut. syaikh al-albaniy menshahihkannya dalam shahih
sunan abi dawud. namun ulama lain mendla'ifkannya seperti syaikh al-arna'uth
dan yang lainnya. para ulama mengatakan sebab kedla'ifannya setidaknya ada dua
faktor :
1.
perselisihan status kebershahabatannya.
2.
perselisihan dalam sanad dan matannya.
apapun
penghukumannya, maka itu tidak ada kaitannya dengan puasa 'Arafah secara khusus
(pada point 2 yang antum maksudkan). Sebab, makna kalimat يصوم تسع ذي الحجة
adalah berpuasa sembilan hari (pertama) pada bulan Dzulhijjah.
wallahu
ta'ala a'lam.
10
November 2010 23.35
bayu
mengatakan...
ada
satu yg mengganjal ustadz
back
to jaman para sahabat dlu. islam menyebar ke seluruh dunia. nah, dlu belum ada
alat komunikasi canggih. lantas bagaimana suatu negeri bisa mengetahui bahwa di
arab sana telah dimulai ibadah haji?
lebih
jauh, bagaimana suatu negeri yang jauh dari arab mengambil patokan waktu utk
menentukan awal ibadah haji?
11
November 2010 13.07
bayu
mengatakan...
ternyata
pertanyaan saya udah ada di komentar sebelumnya dan udah dijawab pula. ga usah
ditampilkan aja ya ustadz ^_^
11
November 2010 13.33
abifasya
mengatakan...
subhnallah
ustadz tulisan yang luar biasa, izin COPAS
11
November 2010 17.51
ayahzaid
mengatakan...
Perbedaan
pendapat dalam hal ini apakah sudah terjadi sejak zaman salaf? Atau perbedaan
pendapat ini jika ditarik ke belakang paling jauh sampai mana? Apakah sampai
jaman imam mazhab atau bahkan sampai ke era salafussalih.
Apakah
dalam hal ini diperbolehkan tabdi' atas pendapat yang berbeda dengan yg kita
pahami?
12
November 2010 13.22
Sa'ad
mengatakan...
1.
"Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...on 10 November 2010 23.35
........
apapun
penghukumannya, maka itu tidak ada kaitannya dengan puasa 'Arafah secara khusus
(pada point 2 yang antum maksudkan). Sebab, makna kalimat يصوم تسع ذي الحجة
adalah berpuasa sembilan hari (pertama) pada bulan Dzulhijjah.."
Kalau
begitu, bagaimana lafadz dalam bahasa Arab untuk menyebut "hari/tanggal
kesembilan Dzulhijjah" ?
2.
"Abu Al-Jauzaa' : mengatakan... on 4 November 2010 10.56
..Allah
ta'ala berfirman :
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
"Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya" (QS.
Al-Baqarah : 286).
Apa
yang disebutkan di atas merupakan hukum asal bagi setiap orang yang mampu
mengetahui khabar nampaknya hilal di Makkah atau pelaksanaan wuquf di 'Arafah.
Dapat kita lihat bahwasannya Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan
amir kota Makkah untuk melihat hilal yang kemudian hilal itu dirujuk oleh kaum
muslimin yang lain termasuk di Madinah.
Jarak
ribuan kilometer beberapa negeri Islam dan arus informasi yang tidak secepat
sekarang menyebabkan para ulama berijtihad dalam hal ini. Ini semua dikarenakan
'udzur atas sesuatu yang sifatnya dlaruriy. 'Tidak mungkin' kan kaum muslimin
tidak melaksanakan puasa 'Arafah, shalat 'Ied, dan menyembelih kurban dengan
alasan tidak mengetahui informasi yang ada di negeri Makkah. Salah satunya
mereka (para ulama) berijtihad berdasarkan hilal di masing-masing tempat.
Hukum
ini tentu saja mengikuti illat pengetahuan atas khabar yang sampai kepada
mereka tentang kenampakan hilal penduduk Makkah atau waktu pelaksanaan wuquf di
'Arafah...."
'Afwan,
apakah suatu hukum syar'i itu bisa berubah mengikuti perkembangan teknologi.
Misalnya -senada dengan penjelasan antum di atas-, mengenai arah kiblat. Di
zaman sekarang sudah ditemukan teknologi GPS dan astronomi yang lebih canggih
sehingga posisi arah kiblat Indonesia yang dulu ke arah barat, sekarang
digeser-geser miring ke arah barat laut (sebagaimana fatwa MUI yang meralat fatwanya
yang lama tentang arah kiblat).
Ataukah
kita tetap mengikuti hadits:
"Antara
timur dan barat adalah kiblat." ?
14
November 2010 13.18
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
1.
Dalam bahasa 'Arab, kesembilah itu dilafadhkan dengan taasi'(التاسع ).
2.
Saya sebenarnya tidak paham-paham benar dengan yang antum maksudkan. Kita tentu
telah paham makna kiblat. Cuma, orang akan berbeda-beda caranya dalam
menentukan arah kiblatnya. Ada yang dengan metode bertanya, memakai kompas,
memakai GPS, dan yang lainnya. Itu semua tidak mengubah konteks hukum syar'iy.
Dengan cara apapun - dan syari'at tidak membatasi metodenya - shalat ya tetap
harus menghadap kiblat.
Dan
untuk korelasi dengan bahasan di artikel ini, mohon maaf, sekali lagi, saya
kurang begitu paham dengan maksud antum.
14
November 2010 13.38
Sa'ad
mengatakan...
'Afwan
jika gaya bahasa ana kurang bisa dipahami.
Intinya,
antum menjelaskan kalau penentuan arafah dan idul adha daerah yang jauh dari
Mekkah pada zaman dulu ditentukan oleh ijtihad penguasa/'ulama' karena tidak
sampainya informasi pelaksanaan wuquf di arafah ke negeri mereka (dikarenakan
jauhnya). Dan hal ini dimaklumi karena terbatasnya sarana informasi pada waktu
itu.
"..Jarak
ribuan kilometer beberapa negeri Islam dan arus informasi yang tidak secepat
sekarang menyebabkan para ulama berijtihad dalam hal ini (yakni penentuan puasa
arafah dan hari raya idul adha).." >> silahkan dilihat komentar
antum pada 4 November 2010 10.56 sebagai jawaban atas akhi Abu Abdisalam. Mohon
dikoreksi bila pemahaman ana keliru.
Nah,
terkait dg pernyataan di atas : arah kiblat Indonesia dulu yang dikenal adalah
menghadap ke barat (karena posisi Indonesia yg secara umum berada di timur
Mekkah dan terbatasnya alat untuk menentukan arah kiblat dengan akurat).
Namun
seiring ditemukannya teknologi GPS dll (yang baru ada beberapa dekade
terakhir), ada beberapa kaum muslimin yang menyerukan perombakan arah kiblat
karena ternyata arah kiblat Indonesia selama ini tidak pas menghadap ke Ka'bah.
Hal ini berakibat beberapa masjid mempunyai arah kiblat yang miring, tidak
sesuai bangunan masjid.
Yang
ana tangkap, penentuan suatu hukum syar'i (d.h.i arah kiblat) bisa berubah
seiring ditemukannya kemajuan teknologi, sebagaimana penjelasan antum:
"...Hukum
ini tentu saja mengikuti illat pengetahuan atas khabar yang sampai kepada
mereka tentang kenampakan hilal penduduk Makkah atau waktu pelaksanaan wuquf di
'Arafah.
Nah,
untuk waktu sekarang dimana sarana komunikasi sudah sedemikian canggihnya,
bukan hal yang susah bagi kita untuk mengetahui hilal penduduk Makkah/Saudi
atau pelaksanaan wuquf di 'Arafah..."
Maka
ana ingin mengetahui: Apakah penetapan suatu hukum syar'i itu bisa berubah
menyesuaikan dengan penemuan dalam teknologi ?
Dulu
: sarana informasi terbatas, maka dimaklumi bila penentuan arafah dan idul adha
berbeda dengan Saudi
Sekarang
: sarana informasi sudah canggih, maka arafah dan idul adha harus sesuai dengan
Saudi
sebagaimana
dulu: arah kiblat cukup menghadap ke barat, karena terbatasnya sarana pencari
arah
sekarang
: arah kiblat harus diusahakan "selurus mungkin" (walau tidak benar2
pas) dengan Ka'bah, karena sudah ada teknologi GPS
(Untuk
yang masalah arah kiblat, ana pribadi sampai sekarang lebih memilih untuk
menghadap ke barat secara biasa seperti dulu, sebagaimana sabda Nabi:
"Antara timur dan barat adalah kiblat". Tidak perlu
memiring-miringkan arah kiblat)
Sekali
lagi 'afwan bila gaya bahasa ana membingungkan antum. Syukron jiddan untuk
tanggapannya
14
November 2010 16.50
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Tidak
ada perubahan dalam masalah syari'at, appaun teknologinya. Terkait dalam
masalah kiblat, teknologi yang ada hanya MEMBANTU untuk melihat akurasi arah
kiblat. Fungsinya sebenarnya tidak lebih dari kompas ataupun bintang.
Tentang
masalah 'Ied, ya beda lah kasusnya. Saya copas-kan lagi :
Hukum
ini tentu saja mengikuti illat pengetahuan atas khabar yang sampai kepada
mereka tentang kenampakan hilal penduduk Makkah atau waktu pelaksanaan wuquf di
'Arafah.
Hukum
asalnya adalah mengikuti Makkah. Ketika ada seseorang tidak mengetahui kapan
waktu wuquf di 'Arafah, maka di situ ia mempunyai 'udzur sehingga diperbolehkan
berijtihad menurut kemampuannya.
Kasus
lain : Ketika kita berada di tengah hutan seorang diri yang ketika itu hari
mendung. Sementara waktu itu kita ingin melaksnaakan shalat. Kita tidak punya
kompas, GPS, atau yang semisal untuk menentukan arah kiblat. Nah, pada waktu
itu kita boleh berijtihad dengan memakai akal kita untuk menentukan arah kiblat
dengan melihat tanda-tanda alam yang ada. Ini boleh kita lakukan karena ada
sebab karena tidak sampainya pada kita ilmu tentang arah kiblat secara pasti.
Begitu
juga dengan penentuan waktu 'Arafah di negeri-negeri yang jauh letaknya dari
Makkah yang tidak sampai pada mereka khabar.
Wallaahu
ta'ala a'lam.
14
November 2010 17.25
Sa'ad
mengatakan...
Jazakallohu
khoyron akhi buat penjelasannya.
Semoga
Allah memberkahi ilmu antum dan memperbanyak orang-orang seperti antum di
seluruh penjuru bumi.
Sayang
diskusi antum dengan akhi Abu Umair As-Sundawy di
tidak
berlanjut.
Ana
banyak mendapat tambahan ilmu tentang khilaf puasa Arafah dan Idul Adha dari
situ.
14
November 2010 20.44
Anonim
mengatakan...
Izin
share ya Ustadz ...
15
November 2010 04.38
Anonim
mengatakan...
afwan
bgmn sikap kita org2 awam dlm hal ini apakah memilih ngikut makkah atw
pemerintah..????
ust
blum menanggapi pnyataan dr saudara Abu Hannan
dihttp://salafyitb.wordpress.com/2007/01/24/al-imam-ibnu-utsaimin-shaum-arafah-tidak-mengikuti-saudi/
cz org2 HT pun punya berargumen demikian malah mereka ngotot bhwa masalah ini
adalah masalah IJMA
syukran
ust, barakallahu fiek.. :)
15
November 2010 19.12
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Ngikut
pada pendapat yang raajih sesuai dengan ilmu yang sampai kepada masing-masing.
Apa
yang ditulis akh @abu Hannaan itu inti simpulannya sama dengan yang ada di
artikel ini.
Adapun
rekan-rekan HT (Muhammadiyyah, Persis, atau yang lainnya), maka saya tidak
dipusingkan dengan apa yang mereka ambil, karena istinbath hukum bukan
bersumber dari mereka. Adapun seandainya dalilnya sama dan logika/alur
berpikirnya sama, itu lain perkara. Wallaahu a'lam.
15
November 2010 23.06
Abu
Inshirah mengatakan...
Salaam
'alaikum,
Afwan,
sekadar mengongsi:-
16
November 2010 11.30
abu
zaid mengatakan...
Sebenarnya
saya sepakat dengan Ustadz Abul Jauzaa.
Namun
saya tetap shalat idul adha pada 17 November.
Sebenarnya
kedua pendapat tersebut sinkron jika kita bisa memahami konsep-konsep hilal,
visibilitas dan hijri date line.
Pembahasan
dan sedikit tanggapan atas pendapat Idul Adha 16 November ada di http://ayahzaid.blogspot.com/2010/11/kesalahan-pendapat-idul-adha-di.html.
Mohon
maaf jika kurang berkenan.
16
November 2010 18.07
Fahrul
mengatakan...
Minta
izin menyebarluaskannya.
16
November 2010 18.52
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
@akh
abuzaid,….. Terima kasih atas ulasannya. Ada beberapa hal yang dapat saya ambil
manfaat dari tulisan antum. Akan tetapi, jika diperkenankan berkomentar,
sebenarnya tulisan antum tidak begitu ‘nyambung’ dengan esensi bahasan dalam
permasalahan ini. Terutama jika dikaitkan apakah puasa ‘Arafah dan ‘Ied itu
ikut Saudi ataukah sesuai dengan mathla’ masing-masing. Tidak lebih bahasan
antum – sependek pemahaman saya - hanya ingin mengingkapkan kenapa penampakan hilal
bisa berbeda-beda dan sebab-musabab terjadinya perbedaan waktu antara satu
tempat dengan tempat yang lain. Saya kira, ini semua sudah mafhum bagi kita
semua, walau dengan tingkat pendalaman yang berbeda-beda.
Namun
permasalahan utamanya adalah : Apakah perbedaan tempat dan perbedaan waktu
diakui dalam asas melegalkan perbedaan pelaksanaan ibadah ini atau tidak. Tidak
menjadi masalah dimanapun letak titik nol international day-nya, jika misalnya
kita sepakat bahwa kita semuanya mengacu Saudi – yaitu, dengan mainstream :
Puasa ‘Arafah dan ‘Ied adalah ibadah yang terkait dengan waktu dan tempat.
Dalam skala tathbiq-nya, kita tinggal menyesuaikan. Di sinilah ranah ijtihad
bekerja. Perbedaan ‘nama hari’ selama mainstreamnya masih sama. Bukanlah
masalah.
Lain
halnya jika mainstreamnya adalah diakuinya perbedaan mathla’. Hal ini akan
mengakibatkan hal yang lebih tidak sederhana dari perkiraan kita. Lagi-lagi,
keputusan pemerintahlah yang akhirnya lebih menjadi penentu. Saya pernah
mengajukan logika geografi juga. Seandainya saya tinggal di daratan Propinsi
Kalimantan Barat dan antum di Malaysia Timur. Jarak rumah saya dan antum hanya
50 m. Antara rumah saya dan rumah antum hanya terbatasi tembok perbatasan
negara. Kebetulan, Depag RI memutuskan bahwa hilal Dzulhijjah nampak pada hari
Kamis dan Depag Malaysia memutuskan hilal nampak pada hari Jum’at. Sekarang,
apa sikap kita dalam hal ini. Jika kita berpikir dengan asas diakuinya hilal
Dzulhijah adalah hilal-nya Saudi, maka perbedaan yang seperti itu bukan menjadi
problem. Immaa rumah saya dan rumah antum terpaut ribuan kilometer, asalkan
cara berpikir kita masih sama, maka – sekali lagi – hal itu bukan problem. Yang
jadi masalah adalah ketika kita menganut pendapat pengakuan hilal masing-masing
mathla’. Logika macam apa yang bisa dipakai dalam hal ini ? Jarak hanya 50 m
berbeda pelaksanaan waktu ibadahnya. Paling banter, kita akan merujuk keputusan
pemerintah. Soalnya jika kita merujuk dengan teori geografis, akan tidak
‘nyambung’. Akhirnya, logika perbedaan mathla’ ini menjadi sesuatu yang fasi.
Kita tidak perlu berpikir untuk dua tempat yang terpaut belasan jam. Sebab,
permasalahan utama perbedaan mathla’ adalah pada ‘daerah perbatasan’.
Saya
selalu berangkat dengan menyederhanakan masalah, karena dengan menyederhanakan
masalah kita mengetahui pola-pola dasar setiap pemikiran.
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab.
16
November 2010 22.33
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Dan
sedikit tambahan :
Seandainya
dikatakan bahwa secara 'de jure' Indonesia baru masuk 1 Dzulhijjah 20 jam
kemudian. Kalau boleh saya sedikit berkomentar, maka secara umum daerah-daerah
yang terletak di sebelah timur Saudi dihukumi dengan dengan selisih beda
sehari. Jika demikian, lantas bagaimana dengan daerah yang selisihnya 23 jam
dengan Saudi alias 'de facto'-nya hanya selisih 1 jam saja dengan posisi
'Arafah. Apakah juga 'diwajibkan' puasa 'Arafah dan 'Ied sehari kemudian ? Atau
kita paksa lagi dengan pernyataan : beda 23 1/2 jam, alias bedanya secara 'de
facto' hanya setengah jam saja dengan 'Arafah.
Bagi
saya, secara 'aqliyyah ini sulit diterima.
Secara
umum, sebatas pemahaman saya, logika ini sama seperti logika 'mathla'; hanya
saja dengan bahasa yang sedikit berbeda.
Mohon
koreksinya.
Wallaahu
a'lam.
17
November 2010 00.31
zax
mengatakan...
Banyak
yang rancu memahami permulaan hari dalam tahun Masehi dan Hijriah. Hari baru
pada tahun Masehi mulai pukul 00.00 sedangkan pada hijriah dimulai saat
matahari tenggelam, misal pukul 18.00. Misalkan jika pada 6 oktober pukul 18.00
hilal terlihat di Saudi,maka Saudi sudah memasuki hari baru yaitu tanggal 1
Dzulhijjah,sedangkan di Indonesia sudah pukul 22.00 maka tanggal 1 Dzulhijjah
indonesia baru dimulai pukul 18.00 keesokan harinya tanggal 7, karena
pergantian hari saat tenggelamnya matahari yaitu 20 jam kemudian. Keterangan
lengkapnya
17
November 2010 02.16
Anonim
mengatakan...
Ada
komentar dalam blog fawaaid.sg.
Saya
masih bingung menentukan mana yang rajih dalam masalah ini.
Jazakallah
khairan.
18
November 2010 08.49
abu
zaid mengatakan...
Agar
lebih sistematis saya menanggapi per paragraf saja ya akh.
Antum
berkata: "Ada beberapa hal yang dapat saya ambil manfaat dari tulisan
antum. Akan tetapi, jika diperkenankan berkomentar, sebenarnya tulisan antum
tidak begitu ‘nyambung’ dengan esensi bahasan dalam permasalahan ini. Terutama
jika dikaitkan apakah puasa ‘Arafah dan ‘Ied itu ikut Saudi ataukah sesuai
dengan mathla’ masing-masing."
Saya
menanggapi: Mohon maaf kalau (terkesan) tidak nyambung. Dengan tulisan tersebut
saya memang tidak memiliki maksud untuk membantah semua ilmu kanuragan yang
dikeluarkan antum. Saya setuju bahwa puasa arofah dilakukan pada saat para
hujjaj wukuf arofah dan demikian pula idul adha. (kalau mau yang bener-bener
adu ilmu kanuragan silakan ditanggapi email-emailnya akh Abu Umair di milis,
hehe)
Pada
intinya tidak ada yang saya tidak sepakat dari body tulisan utama antum. Yang
saya kurang setuju adalah buntut diskusi di comment2 di bawah body tulisan
utama bahwa untuk kasus tahun 2010 ini puasa arofah jatuh pada hari senin 15
November dan Idul Adha sehari setelahnya.
Antum
berkata: "Namun permasalahan utamanya adalah : Apakah perbedaan tempat dan
perbedaan waktu diakui dalam asas melegalkan perbedaan pelaksanaan ibadah ini
atau tidak. Tidak menjadi masalah dimanapun letak titik nol international
day-nya, jika misalnya kita sepakat bahwa kita semuanya mengacu Saudi – yaitu,
dengan mainstream : Puasa ‘Arafah dan ‘Ied adalah ibadah yang terkait dengan
waktu dan tempat. Dalam skala tathbiq-nya, kita tinggal menyesuaikan. Di
sinilah ranah ijtihad bekerja. Perbedaan ‘nama hari’ selama mainstreamnya masih
sama. Bukanlah masalah."
Tanggapan
saya: Kalau saya kerucutkan sebenarnya perbedaan antara kita adalah pada
bagaimana memaknai yaumu arofah sebagaimana disebutkan oleh Nabi. Antum
memahami yaumu arofah sebagai “day” yang sama dengan pelaksanaan wukuf arofah.
Sementara saya memahami yaumu arofah sebagai “date” pelaksanaan wukuf arofah,
yaitu sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Bin Baz mengenai hari kesembilan.
Memang tidak ada hadits yang menegaskan puasa arofah pada hari kesembilan
dzulhijjah sehingga antum sampai bisa menyimpulkan bahwa yang harus sama adalah
day-nya. Namun sampai sekarang saya tetap berpendapat bahwa yang disebut dengan
yaumu arofah adalah date hijri dimana dilakukan wukuf arofah yaitu hari
kesembilan dzulhijjah, karena kita tidak bisa menggunakan international date
line dalam masalah ini. International date line (yang secara internasional
dijadikan sebagai day line juga) yang menjadi secara praktis kita terima dalam
penentuan day berasal dari aplikasi konsep penanggalan masehi yang murni
menggunakan matahari dalam penentuan hari dan tahun, sementara penentuan
bulannya dilakukan secara arbitrer tanpa melihat (fase) bulan.
Day
line internasional ini menurut saya tidak terlalu menjadi masalah untuk
diterapkan pada ibadah-ibadah umat muslim yang bersifat harian dan pekanan
(karena pekan adalah fungsi dari hari). Dengan demikian tidak masalah kalau
kita menggunakan penentuan hari jumat dengan menggunakan day line internasional
ini (kecuali kalau nanti ada kesepakatan dunia islam yang berbeda mengenai day
line ini.
Namun
demikian day line internasional ini menjadi masalah untuk ibadah-ibadah yang
terikat bulan seperti misalnya wukuf arofah ini, karena pola penampakan hilal
dan pergantian bulan tidak pernah bisa sama dengan pergantian day secara
internasional. Pola penampakan hilal bersifat dinamis mengikuti apa yang
disebut hijri date line.
Dengan
demikian menurut saya yang lebih tepat untuk digunakan untuk ibadah yang
terikat bulan ini adalah hijri date line karena hijri date line ini memang
dibuat sesuai dengan pola penampakan hilal di semua belahan dunia. Termasuk
yang menurut saya harus menggunakan hijri date line ini adalah ibadah turunan dari
wukuf arofah ini yaitu puasa arofah bagi yang tidak melaksanakan haji.
Bersambung.
18
November 2010 11.58
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Mengenai
tanggapan ustadz Murad Sa'iid di http://www.fawaaid.sg/2010/11/puasa-arafah-mengikut-imam.html,
ijinkanlah saya memerikan tanggapan balik secara ringkas sebagai berikut :
1.
Dikatakan bahwa khilaf ini hanyalah terjadi di masa kontemporer. Namun Dr.
Muhamad l-Asyqaar dan Syaikh ‘Adnaan ‘Ar’ur menjelaskan sebaliknya, bahwa tidak
ada perselisihan di kalangan salaf tentang kewajiban mengikuti pelaksanakan
wuquf di 'Arafah.
2.
Dikatakan bahwa puasa ‘Arafah tidak terkait dengan wuquf di ‘Arafah. Justru
mafhumnya, puasa ‘Arafah tidaklah dilakukan pada waktu jama’ah haji tidak
melaksanakan wuquf di ‘Arafah. Hari ‘Arafah itu adalah nama satu hari yang
tidak berbilang. Puasa yang disandarkan kepadanya pun terkait dengan tempat dan
waktu pelaksanaan wuquf di ‘Arafah.
3.
3. Hadits mursal : ((وعرفة يوم تعرفون)) justru menunjukkan apa yang disebutkan
dalam point kedua di atas. Dan bagi orang di luar Makkah, maka ini pun selaras,
tidak ada pertentangan dan pembeda-bedaan. Hari dimana kalian wuquf di ‘Arafah
adalah seperti halnya penyebutan keseluruhan namun yang dimaksudkan sebagian
sebagaimana tertera dalam kaedah ushul fiqh. Saat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam mengucapkannya di Makkah atau Madinah, maka dipahami bahwa tidak semua
orang/shahabat melakukan wuquf di ‘Arafah. Akan tetapi para shahabat tetap
memberlakukan penetapan hari ‘Arafah berdasarkan waktu para shahabat lain yang
melakukan wuquf di ‘Arafah. Mereka berpuasa ‘Arafah pada waktu shahabat lain
melakukan wuquf di ‘Arafah. Dan itulah yang banyk tertera dalam atsar.
4.
Tentang perkataan An-Nawawiy dalam Al-Majmu’, maka itu sebagai petunjuk bahwa
hari ‘Arafah itu bukan ditentukan berdasarkan urutan hari (yaitu hari
kesembilan) sebagaimana telah lewat penyebutannya. Maka ia bisa saja hari
kesembilan atau kesepuluh menurut perhitungan hari Dzulhijjah orang tersebut.
5.
Tentang hadits Husain bin Al-Haarits, maka itu sebagai petunjuk bahwa
pengesahan dan penerimaan persaksian ditentukan oleh Amir kota Makkah. Saksi
yang berasal dari penduduk Makkah adalah boleh, dengn syarat hal itu disahkan
dan diakui oleh amir Makkah. (Dan ingat, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam saat itu adalah pemimpin seluruh umat Islam, namun beliau tetap
menyandarkan keputusan dan pengesahan pada amir kota Makkah).
Seandainya
persaksian itu tidak diterima (karena Amir kota Makkah lebih menerima
persaksian selainnya). Pertanyaan kecilnya : "Adakah riwayat di kalangan
shahabat atau tabi'in yang tersebar di daerah Syaam, Yaman, atau 'Iraaq yang
menyelisihi keputusan amir kota Makkah ?". Termasuk penyelisihan mereka
dalam pelaksanaan puasa di hari 'Arafah ? Hukum asal penetapan waktu yang
dilakukan oleh amir Makkah atas perintah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa
sallam juga berlaku bagi penduduk Madinah atau tempat-tempat lainnya; baik bagi
orang yang ingin melaksanakan haji atau tidak. Apakah perintah menyembelih
dalam hadits hanya terkait manasik haji saja ? Bahkan menyembelih itu dilakukan
oleh para jama;ah haji yang kemudian juga diikuti oleh kaum muslimin lain yang
tidak melaksnaakan ibadah haji.
Jika
dikatakan bahwa perintah Rasulullah itu hanyalah berkaitan dengan manasik haji
di kota Makkah, maka dimana letak dhahir pernyataan itu dalam hadits ?
18
November 2010 17.16
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
6.
Tentang perkataan Ibnu Taimiyyah, sebenarnya bagi saya itu telah jelas bahwa
ibadah-ibadah yang terkait dengan haji (termasuk puasa ‘Arafah) terkait dengan
tempat, sehingga orang-orang lain yang tidak melaksanakan haji di tanah Haram,
mengikuti pelaksanaannya orang orang yang melakukan haji. Itulah yang dhahir.
Adapun fatwa Ibnu Taimiyyah lain yang terkait dengan permasalahan ini [25/203],
justru tidak ada petunjuk padanya bahwa hilal yang berlaku adalah hilal
penduduk kota tersebut dengan mengabaikan pengetahuan hilal penduduk Makkah.
Karena, ada kemungkinan bahwa yang diputuskan oleh hakim kota tersebut
mengikuti keputusan hilal Dzulhijjah penduduk Makkah. Atau pendek kata,
pengambilan perkataan Ibnu Taimiyyah oleh beliau pun tidak lepas dari banyak
kemungkinan.
7.
Tentang perkatan Ibnu Rajab, maka itu hanya sebagai catatan kaki tentang
penyebutan di antara ulama ada yang berpendapat bahwa shalat ‘Iedul-Adlha
mengikuti/menyesuaikan pelaksanaan haji di Makkah. Sangat jelas pada perkataan
beliau : ” Sesungguhnya waktu pelemparan jumraholeh orang-orang yang
melaksanakan haji di Muzdalifah, maka waktu itu adalah waktu pelaksanaan shalat
‘Ied bagi orang-orang yang ada di tempat lain”.
8.
Dikatakan bahwa orang yang berpuasa ‘Arafah mengikuti wuqufnya para hujjaj di
‘Arafah tidak mempunyai dalil, maka mafhumnya beliau mengatakan apa yang beliau
pegang itu mempunyai dalil yang shahih dan sharih. Lantas dimanakah gerangan
dalil itu ? Apapun perkataan beliau (Ustadz Murad) dalam hal ini, maka itu
adalah haknya untuk mengatakannya.
Namun,
mari kita cermati atsar sebagai berikut :
حدثنا يزيد بن هارون قال أنا ابن عون عن
إبراهيم قال كانوا لا يرون يصوم عرفة بأسا إلا أن يتخوفوا أن يكون يوم الذبح
Telah
menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun, ia berkata : Telah memberitakan
kepada kami Ibnu ‘Aun, dari Ibraahiim (An-Nakha’iy), ia berkata : “Mereka
berpendapat tidak mengapa berpuasa ‘Arafah, kecuali mereka khawatir hari itu
adalah hari penyembelihan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah; shahih].
"Mereka"
di sini adalah sebagian shahabat dan tabi’in, karena Ibraahiim adalah seorang
tabi’iy. Sisi pendalilannya adalah :
“Kekhawatiran
itu datang dari ketidakpastian atau keraguan. Mafhumnya, kekhawatiran itu tidak
terjadi bagi penduduk Makkah dan sekitarnya, karena mereka mengetahui kapan
para jama’ah haji wuquf di ‘Arafah. Penduduk Makkah di kalangan salaf tidak
pernah ragu kapan melakukan wuquf ‘Arafah dan puasa ‘Arafah. Kekhawatiran itu
muncul bagi mereka bagi mereka yang jauh dari ‘Arafah. Misal : Penduduk ‘Iraq,
Syaam, dan yang lainnya. Dan Ibraahiim sendiri adalah orang ‘Iraaq (Bashrah).
Jika memang penduduk negeri masing-masing telah menetapkan hilal yang
ditentukan oleh penguasa setempat – dan seandainya mereka telah sepakat
menerima hal itu - , buat apa mereka ragu ? ‘Illat kekhawatiran/keraguan mereka
adalah karena bertepatan dengan hari penyembelihan. Besar kemungkinan keraguan
itu ada karena kekhawatiran hari itu bertepatan dengan hari dimana penduduk
Makkah (dan jama’ah haji) melakukan penyembelihan, dimana khabar itu belum
sampai pada mereka”.
18
November 2010 17.20
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Hadits
lain yang berbicara tentang penyifatan keutamaan hari ‘Arafah :
Dari
‘Aisyah radliyallaahu ‘anha :
ما من يوم أكثر من أن يعتق الله فيه عبدا من
النار من يوم عرفة وإنه ليدنو ثم يباهي بهم الملائكة فيقول ما أراد هؤلاء
“Tidak
ada hari Allah membebaskan hambaNya dari api neraka seperti hari Arafah.
Sesungguhnya, Dia mendekat, kemudian Dia banggakan mereka di hadapan para
malaikatNya sambil berkata: Apa yang diinginkan oleh mereka?” (HR. Muslim)
Kemuliaan
ini terkait dengan orang-orang sedang melaksanakan wuquf di ‘Arafah.
Dari
‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radliyallaahu ‘anhuma, bahwasannya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
ان الله عز وجل يباهي ملائكته عشية عرفة بأهل
عرفة فيقول انظروا إلى عبادي آتوني شعثا غبرا
“Sesungguhnya
Allah berbangga kepada para malaikat-Nya pada sore Arafah dengan orang-orang di
Arafah, dan berkata: “Lihatlah keadaan hambaku, mereka mendatangiku dalam
keadaan kusut dan berdebu” (HR. Ahmad 2/224).
Adakah
hadits ini bisa dibawa pada pengertian ‘berbilangnya hari ‘Arafah’ sesuai
dengan mathla’ masing-masing negeri ? Bahkan, hari ‘Arafah dengan kemuliaannya
itu adalah hari yang satu yang terkait dengan sebab tempat sebagaimana kita
lihat dalam hadits di atas.
Itu
saja yang dapat saya tanggapi secara ringkas. Bagaimanapun, saya ucapkan banyak
terima kasih kepada Ustadz Murad Sa’iid di Singapura yang telah bersedia
mengomentari tulisan saya. Jazaahullaahu khairan.
Wallaahu
a'lam bish-shawwaab.
18
November 2010 17.24
abu
wafa mengatakan...
tanggapan
antum ditanggapi kembali oleh ust murad said di kolom komentarnya.
21
November 2010 15.52
Anonim
mengatakan...
Pak
Ustaz nampaknya belum belajar Ilmu Astronomi, Fisika, dan Matematika.
Baca
dulu ini:
Ada
yg bilang, bulannya 1 kenapa beda tanggal.
Itu
dalam konsep bulan.
Bagaimana
dengan mataharinya 1.
Matahari
antara 1 wilayah dengan wilayah lain kan beda-beda jam sampai hari juga beda.
26
Maret 2011 10.56
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Saya
memang bukan ahli di bidang astronomi. Akan tetapi terkait dengan link yang
Anda sampaikan, coba Anda cermati jawaban saya tanggal 16 November 2010 pukul
22:33 dan 17 November 2010 00:31, karena pembicaraan itu telah lewat. Dan
sampai sekarang, yang bersangkutan belum memberikan tanggapannya kepada saya
terkait logika geografis-astronomis yang saya sampaikan.
Baarakallaahu
fiikum.
26
Maret 2011 15.51
Abu
Zuhriy mengatakan...
Baarakallaahu
fiik ustadz...
Mohon
perkenankan ana untuk mengekspresikan kemusykilan...
----
Diatas
disebutkan:
"Atsar
di atas menunjukkan ru’yah hilal yang dianggap/dipakai untuk melaksanakan
ibadah penyembelihan (dan semua hal yang terkait dengan haji) adalah RU'YAH
HILAL penduduk MAKKAH, bukan yang lain. "
Kalaulah
ru'yah hilal makkah menjadi rujukan...
Adakah
dalam atsar diatas menunjukkan bahwa RASUULULLAAH memerintahkan kaum muslimiin
untuk berkiblat kepada makkah?
Yang
nampak dari hadits diatas, adalah RASUULULLAAH hanyalah memerintahkan penduduk
mekkah mengikuti hilal yang ditetapkan amir mereka...
jika
seandainya kaum muslimin diperintahkan (yaitu wajib) untuk mengikuti ru'yatul
hilal makkah dalam idul adh-ha (dzulhijjah).. maka PASTILAH rasuulullaah SAAT
ITU langsung bersabda: "dan wajib bagi kaum muslimin untuk mengikuti
ru'yah kalian".. karena tidak boleh bagi beliau MENGAKHIRKAN PENJELASAN
pada waktu yang dibutuhkan..
tapi
adakah beliau dalam hadits diatas bersabda demikain?
15
Oktober 2012 08.25
Abu
Zuhriy mengatakan...
lagi
pula perbedaan penetapan ru'yatul hilal SUDAH ADA DIZAMAN PARA SHAHABAT...
sebagaimana riwayat ibnu abbaas dalam shahiih muslim..
1.
Atsar ibnu abbas tersebut ini telah menjadi landasan bagi sebagian ulama yang
berpendapat bahwa penduduk suatu negeri tidak diperbolehkan mengikuti ru'yah
hilal negeri yang lain.
2.
SEKARANG.. adakah DALIL KHUSUS yang MEMBEDAKAN idul adh-ha dengan shaum
ramadhan dan idul fithriy; yang SHAHIIH lagi SHARIIH yang memalingkan dari
DALIL UMUM berikut:
“Puasa
itu adalah di hari kalian (umat Islam) berpuasa, berbuka adalah pada saat
kalian berbuka, dan berkurban/ Iedul Adha di hari KALIAN berkurban.”
[HR.
at-Tirmidzi]
Seandainya
kita memahami "kalian" itu adalah masyarakat sekitar (dan inilah yang
dipahami ibnu abbaas).. Maka tentunya kita wajib memahami KETIGANYA SECARA
SAMA.. tidak membeda-bedakan penyikapannya, kecuali ada dalil yang shariih yang
mengecualikan idul adh-ha..
Rasuulullaah
pun tidak bersabda: "hari berkurban adalah hari PENDUDUK MEKKAH
berkurban" akan tetapi beliau menyamakannya sebagaimana shaum ramadhan dan
idul fithri..
Dan
demikian pula pemahaman 'aa-isyah dalam atsar masruq..
Lantas
dalil SHAHIH dan SHARIIH mana yang mendukung ta'wil dengan "kecuali idhul
adh-ha, maka mengikuti ru'yatul hilal makkah"
Hadits-hadits
yang antum bawakan dalam artikel diatas, tidak shariih dalam memalingkan hadits
shariih diatas..
3.
Para shahabat MERIWAYATKAN DAN MERIWAYATKAN DAN MERIWAYATKAN.. seandainya
berkiblat kepada ru'yatul hilal penduduk mekkah pada bulan dzulhijjah itu
diperintahkan rasuulullaah.. maka mereka akan meriwayatkan: "sesungguhnya
apabila telah mendekati bulan dzulhijjah, rasuulullah mengutus utusan beliau ke
makkah untuk mengetahui hilal disana, agar kami mengikuti hilal mereka..."
namun
yang sampai kepada kita hanyalah riwayat yang ini... dan itupun menurut
pemahaman ibnu abbas, TIDAK WAJIB mengikuti ru'yatul hilal amirul mukminin yang
ada di syam.. BAHKAN YANG SUNNAH adalah mengikuti ru'yatul hilal penduduk
sekitar..
sekiranya,
mengikuti hilal mekkah itu adalah biasa, tentu hal ini akan disepakati oleh
Ibnu Abbaas.. karena beliau biasa melakukannya dizaman rasuulullaah..
bahkan
dalam atsar diatas jelas-jelas beliau memerintahkan untuk mengikuti ru'yatul
hilal penduduk masing-masing..
4.
Kalaupun mu'awiyah berpemahaman bahwa idul adh-ha DIPERINTAHKAN RASUULULLAAH
untuk mengikuti ru'yatul hilalnya mekkah.. mana dalil beliau mengutus utusan ke
makkah untuk mengikuti ru'yatul hilal makkah?
adakah
ternukil para shahabat yang berada di syam, mengikuti ru'yatul hilal mekkah?
ini perkara besar, yang pasti akan sampai kepada kita riwayatnya.. sebagaimana
telah sampai kepada kita atsar ibnu abbaas diatas..
5.
Dan telah shahiih lagi shariih hadits:
“Adalah
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam berpuasa pada (TANGGAL/HARI KE) 9
Dzulhijjah.”
(HR.
Abu Dawud no. 2437 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih wa Dhaif
Sunan Abi Dawud no. 2081)
Lihat,
disana shaum arafah disandarkan kepada TANGGAL/HARI ke 9-nya...
Bukankah
ini secara jelas dan terang bahwa para shahabat memahami puasa arafah, tidak
disandarkan secara mutlak kepada "hari arafah"-nya? tapi juga bisa
dipahami berdasarkan harinya atau tanggalnya?!
15
Oktober 2012 08.25
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Singkat
saja ya,.... hanya tiga point pokok saja yang saya tanggapi saat ini :
1.
Tentang riwayat Husain bin Al-Haarits Al-Jadaliy.
Yang
nampak bagi saya bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam ketika akan
datang bulan Dzulhijjah memerintahkan amir kota Makkah untuk melihat hilal.
Tentu saja ini dalam rangka pelaksanaan rangkaian ibadah haji. Waktu itu,
beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam berkedudukan di Madiinah. Tentu saja
dipahami bahwa perintah beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam tersebut adalah
untuk beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam pakai juga.
2.
Riwayat Ibnu 'Abbaas radliyallaahu 'anhu yang antum sebut tidak berkaitan
dengan 'Iedul-Adlhaa. Lagi pula, ada beberapa penakwilan dari beberapa ulama
bahwa atsar Ibnu 'Abbaas radliyallaahu 'anhumaa tersebut tidaklah menetapkan
adanya perbedaan mathlaa'.
3.
Tentang HR. Abu Dawud no. 2437, itu keliru dalam terjemahan. Begini lafadhnya :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم تسع ذي
الحجة ويوم عاشوراء وثلاثة أيام من كل شهر أول اثنين من الشهر والخميس
"Dulu
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam biasa berpuasa sembilan hari pada
bulan Dzulhijjah, berpuasa pada hari 'Aasyuuraa'......".
Wallaahu
a'lam.
15
Oktober 2012 08.51
Abu
Zuhriy mengatakan...
Lantas
bagiamana memahami sabda Rasuulullaah "berpuasa/berbuka/berkurban"
diatas?
Dari
as-Sahmi,
“Aku
mendatangi Aba Amamah, lalu beliau berkata: “Janganlah engkau mencela (mengutuk
dan menghina) al-Hajjaj, karena beliau adalah penguasa bagi engkau, dan bukan
penguasa bagiku.”
[Diriwayatkan
oleh al-Bukhari, at-Tarikh al-Kabir, no. 83 - Maktabah Syamilah]
Aba
Umamah tinggal di Syam, manakala as-Sahmi tinggal di Iraq yang mana pemimpin
(wakil khalifah) di Iraq ketika itu adalah al-Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqafiy
Dan
kita tahu... Dimana telah ternukil dari imam-imam bahwa kewajiban mentaati
penguasa dalam penentuan DUA 'IID... sebagaimana disampaikan para imam salafush
shalih?
Imam
asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan berkaitan isu berbilang-bilangnya negeri,
wilayah, ataupun negara Islam berkata:
وأما بعد انتشار الإسلام واتساع رقعته وتباعد
أطرافه فمعلوم أنه قد صار في كل قطر أو أقطار الولاية إلى إمام أو سلطان وف يالقطر
الآخر أو الأقطار كذلك ولا ينفذ لبعضهم أمر ولا نهي في قطر الآخر وأقطاره
التي رجعت إلى ولايته فلا بأس بتعدد الأئمة
والسلاطين ويجب الطاعة لكل واحد منهم بعد البيعة له على أهل القطر الذي ينفذ فيه
أوامره ونواهيه وكذلك صاحب القطر الآخر فإذا قام من ينازعه في القطر الذي قد ثبتت
فيه ولايته وبايعه أهله كان الحكم فيه أن يقتل إذا لم يتب ولا تجب على أهل القطر
الآخر طاعته ولا الدخول تحت ولايته لتباعد الأقطار فإنه قد لا يبلغ إلى ما تباعد
منها خبر إمامها أو سلطانها ولا يدرى من قام منهم أو مات فالتكليف بالطاعة والحال
هذه تكليف بما لا يطاق وهذا معلوم لكل من له اطلاع على أحوال العباد والبلاد فإن
أهل الصين والهند لا يدرون بمن له الولاية في أرض المغرب فضلا عن أن يتمكنوا من
طاعته وهكذا العكس وكذلك أهل ما وراء النهر لا يدرون بمن له الولاية في اليمين
وهكذا العكس فاعرف هذا فإنه المناسب للقواعد الشرعية
والمطابق لما تدل عليه الأدلة ودع عنك ما يقال
في مخالفته فإن الفرق بين ما كانت عليه الولاية الإسلامية في أول الإسلام وما هي
عليه الآن
“Adapun
selepas penyebaran Islam, semakin luas wilayahnya, dan jarak yang jauh di
antara negeri-negerinya, maka telah diketahui bahawa setiap negeri atau
beberapa negeri bergantung kepada seorang pemerintah atau sultan.
Begitu
juga dengan negeri yang lain. Seseorang pemerintah itu tidak memiliki kuasa
untuk mengeluarkan perintah maupun larangan selain dari negerinya atau beberapa
negeri yang tunduk kepadanya.
Oleh
itu, berbilang-bilang pemerintah atau sultan bagi setiap negeri masing-masing
diharuskan (dibolehkan).
Setiap
daripada mereka wajib ditaati selepas bai’ah yang diberikan oleh penduduk
negeri tersebut dan ia berhak mengeluarkan perintah dan larangan. Begitulah
juga dengan pemerintah bagi negeri yang lain.
Apabila
terdapat segolongan pihak yang mencoba merampas kekuasaan daripada seseorang
pemerintah yang telah memiliki kedaulatan (yang sah) dan juga diberi bai’ah
(kepercayaan) oleh penduduknya, maka pada ketika itu, hukuman kepada golongan
tersebut ialah dibunuh jika ia tidak bertaubat.
Penduduk
negeri yang lain tidak wajib mentaatinya, atau pun berlindung di negaranya
kerana kedudukan yang jauh antara negeri.
Penduduk
seperti ini tidak sampai kepada hal-ehwal pemerintah atau pun sultan mereka,
dan mereka tidak mengetahui siapa yang masih hidup atau yang sudah mati
daripada pemerintah mereka.
Kewajiban
untuk taat dalam keadaan ini merupakan satu kewajiban yang tidak terdaya untuk
ditanggung. Perkara ini sedia dimaklumi oleh mereka yang arif dalam bidang
pentadbiran rakyat dan negara.
Maka
ketahuilah kamu tentang perkara ini, kerana ia amat sesuai dengan kaedah
syara’. Dan bertepatan dengan yang telah ada.
Pendapat
yang menyelisihinya tidak perlu dihiraukan kaena memang terdapat perbedaan yang
sangat jelas di antara negeri-negeri Islam diawal Islam dengan yang ada
sekarang.”
(asy-Syaukani,
as-Sailul Jarrar al-Mutadafiq ‘Ala Hada’iqil Azhar, 1/941)
15
Oktober 2012 09.19
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Pendalilan
antum tidak nyambung. Adakah di antara dalil yang antum sebut berbicara tentang
puasa 'Arafah ?.
Seandainya
inti yang antum tekankan adalah 'ketaatan terhadap penguasa', bukankah antum
juga tahu itu tidak bersifat mutlak. Ia tetap dibatasi dengan kalimat : 'dalam
hal yang ma'ruuf'. Maknanya : yang sesuai dengan kebenaran.
Jadi,
jika perkaranya adalah :
"Apakah
puasa 'Arafah itu diputuskan sesuai dengan keputusan penguasa negeri setempat,
ataukah berdasarkan waktu wuquf di 'Arafah ?".
Inilah
yang dibahas.
Adapun
misalnya ada yang berhujjah bahwa tidak mungkin kaum muslimin di segala penjuru
negeri Islam berpuasa 'Arafah dalam waktu yang bersamaan; maka itu merupakan
'udzur. 'Udzur karena sikon waktu itu yang tidak memungkinkan untuk melakukan
transfer informasi yang cepat seperti saat sekarang, sehingga masing-masing
mereka berijtihad dengan ru'yah mereka masing-masing di setiap negeri.
wallaahu
a'lam.
16
Oktober 2012 22.43
Anonim
mengatakan...
Mohon
jawabannya ustadz, karena sedikit bingnug :
1.
Dalam menentukan bulan menggunakan ru'yatul hilal dari siapa? dari amir masing2
negri atau mekah ? atau cuma dzulijjah aja yang disesuaikan mekah atau gimana ?
2.
Seandainya kita duluan dzulhijjahnya maka akan ada jarak 1 hari kosong ini
bagaimana ? apa puasa 9 hari kemudian untuk arafahnya ikut mekah ?
Jazakallahu
khairan
Abul
Hasan
17
Oktober 2012 07.52
Muhammad
al Umari mengatakan...
bismiLlah,
afwan ustadz tanya. bagaimana bila ada orang yang berencana menyengaja untuk
wuquf setelah matahari terbenam (jadi siangnya tidak wuquf) apakah dia jg
disunnahkan tidak berpuasa ataukah berpuasa? mohon ifadah dan nukilan bila ada.
jazakumullohu khoiro
25
Juli 2013 04.24
Anonim
mengatakan...
Pemahaman
ini benar dan berlaku bagi kaum muslimin yang berada di Mekkah dan sekitarnya
yang tidak melaksanakan ibadah haji.
Sedangkan
kaum muslimin yang berada di daerah yang jauh dari Mekkah, maka pendapat yang
lebih kuat adalah melaksanakan puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut
rukyah hilal yang mereka lakukan di negeri mereka.
1. Sejarah
Puasa
Arafah disyariatkan pada tahun kedua —ada juga riwayat yang menyebutkan tahun
pertama— setelah hijrah bersamaan dengan disyariatkannya shalat Idul Fitri dan
Idul Adha. Adapun wukuf di Arafah sebagai bagian dari manasik haji,
disyariatkan pada tahun keenam setelah hijrah.
2. Tiga Nama Puasa Arafah.
a.
Puasa Tis’a Dzuhijjah.
Salah
seorang istri Nabi saw. menyampaikan, “Rasulullah saw. biasa melaksanakan puasa
pada hari kesembilan Dzulhijjah, hari ‘Asyura, dan tiga hari setiap.”
b.
Puasa Al-’Asyru
“Empat
perkara yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw.: puasa ‘Asyura,
puasa al-asyru.
3.
Fatwa Para Ulama
a.
Ibnu Taimiyyah berkata, “Hendaknya orang-orang melaksanakan puasa pada tanggal
sembilan Dzulhijjah menurut kaum muslimin, meskipun sebenarnya itu adalah
tanggal sepuluh Dzulhijjah.”
b.
Ibnu Taimiyyah juga mengatakan, “Puasa pada hari yang diragukan, apakah itu
tanggal sembilan ataukah sepuluh Dzulhijjah, tanpa diperselisihkan oleh para
ulama adalah sah.”
c.
Ketika Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya tentang puasa Arafah,
apakah dilaksanakan berdasarkan rukyah di negeri tempat seseorang tinggal,
ataukah rukyah di tanah haram, beliau menjawab —yang ringkasnya—hendaklah puasa
dilaksanakan berdasarkan rukyah di negeri tempat seseorang tinggal."
Bahwa
Ummu Fadhl telah mengutus dia (Kuraib) kepada Muawiyah di Sam. Dia (Kuraib)
berkata: "Maka aku tiba di Syam dan menyesaikan kebutuhan Ummu Fadhl.
Ramadhan tiba dan saya ada di Syam. Saya melihat hilal malam Jumat. Kemudian
saya tiba di Madinah pada akhir bulan Ramadhan, lalu Ibnu Abbas bertanya
kepadaku, lalu dia menyebut persoalan hilal. Dia bertanya, ‘Kapan kamu melihat
hilal?’ Saya jawab, ‘Kami melihatnya malam Jumat.’ Dia bertanya,’Kamu
melihatnya sendiri?’. Saya jawab,’Ya. Orang-orang juga melihatnya lalu mereka
berpuasa dan berpuasa juga Muawiyah.’ Ibnu Abbas berkata,’Tapi kami melihatnya
malam Sabtu. Maka kami tetap berpuasa hingga kami sempurnakan 30 hari atau
hingga kami melihat hilal.’ Saya berkata,’Tidakkah kita mencukupkan diri dengan
rukyat dan puasanya Muawiyah?’ Ibnu Abbas menjawab,’Tidak, demikianlah Rasulullah
SAW memerintahkan kita.”
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ketika ditanya: “Apabila hari Arafah berbeda
karena perbedaan masing-masing wilayah di dalam mathla’ (tempat terbit) hilal,
maka apakah kita berpuasa mengikuti ru’yah negeri tempat kita berada ataukah
kita berpuasa mengikuti ru’yah al-Haramain (Makkah dan Madinah)? Beliau pun
menjawab: Perkara ini dibangun di atas ikhtilaf para ulama, apakah hilal itu
satu saja untuk seluruh dunia atau berbeda sesuai mathla’nya (tempat terbit bulan).
Dan yang benar bahwa penampakan hilal berbeda sesuai dengan perbedaan mathla’.
“Jika
kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka
berbukalah”
Bagi
orang-orang yang hilal itu tidak nampak dari arah (daerah) mereka berarti
mereka tidaklah melihat hilal tersebut. Begitu juga manusia telah sepakat bahwa
mereka menganggap terbitnya fajar dan terbenamnya matahari pada setiap wilayah
disesuaikan dengan wilayah masing-masing. Maka demikian pulalah penetapan waktu
bulan seperti penetapan waktu harian. Demikianlah fatwa dari Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin.
Sebagai
informasi tambahan, ada beberapa mahasiswa Indonesia di Makkah bertanya kepada
Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi, Mufti Kerajaan Saudi Arabia Bagian Selatan
tentang permasalahan ini, maka beliau menjawab bahwa puasa Arafah adalah dengan
mengikuti ru’yah negerinya.
30
September 2014 22.14
Anonim
mengatakan...
Ketika
Nabi SAW puasa tgl 9 dzulhijjah belum ada umat Islam yg wuquf di Arafah. Sebab
ibadah haji baru terlaksana di tahun ke-10 hijriyah (baca : Zaadul maad II :
101, Manarul qari III : 64).
Sedangkan
puasa 9 dzulhijjah sudah disyariatkan sejak tahun ke-2 hijriyah jauh sebelum
wukuf haji disyariatkan (baca : shubhul a'sya II : 444, Bulughul Amani Juz VI :
119, Subulus salam I : 60).
Jelas,
penamaan shaum Arafah bukan karena fi'lun (wukuf di Arafah dalam ibadah haji).
Dan
istilah “Arafah” hanya sekedar mim bab Taghlib (penggunaan istilah untuk
sesuatu yg biasa atau banyak dipakai) dan Arafah adalah ismul yaum (nama hari)
ke 9 (tis'a) dibulan dzulhijah.
Sudah
sangat jelas dan terang benderang penjelasannya tanpa keraguan sedikitpun.
3
Oktober 2014 23.36
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wuquf
'Arafah itu merupakan syari'at manasik yang telah ada semenjak jaman Nabi
Ibraahiim 'alaihis-salaam. Ibnu Katsiir rahimahullah pernah berkata saat menjelaskan
QS. Al-Baqarah : 197:
وقال عبد الله بن وهب : قال مالك : قال الله
تعالى : ( ولا جدال في الحج ) فالجدال في الحج والله أعلم أن قريشا كانت تقف عند
المشعر الحرام بالمزدلفة ، وكانت العرب ، وغيرهم يقفون بعرفة ، وكانوا يتجادلون ،
يقول هؤلاء : نحن أصوب . ويقول هؤلاء : نحن أصوب . فهذا فيما نرى ، والله أعلم .
وقال ابن وهب ، عن عبد الرحمن بن زيد بن أسلم :
كانوا يقفون مواقف مختلفة يتجادلون ، كلهم يدعي أن موقفه موقف إبراهيم فقطعه الله
حين أعلم نبيه بالمناسك
.
Orang-orang
Quraisy wuquf di Muzdalifah, sedangkan orang-orang Arab dan yang lainnya wuquf
di 'Arafah. Mereka berbantah-bantahan. Semua mengklaim paling benar dalam
manasiknya dan mengikuti manasik Ibraahiim 'alaihis-salaam. Maka kemudian Allah
lah yang memutuskan dengan mengutus Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam
mengajarkan kepada mereka manasik haji yang benar.
Dan
sebagaimana diketahui, wuquf beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam di 'Arafah.
Intinya,.......
hari 'Arafah dengan penyandaran pada wuquf di 'Arafah itu sudah ada semenjak
sebelum haji wada', dan merupakan bagian dari syari'at manasik Nabi Ibraahiim
'alaihis-salaam.
عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: " اعْلَمُوا أَنَّ
عَرَفَةَ كُلَّهَا مَوْقِفٌ إِلَّا بَطْنَ عُرَنَةَ، وَأَنَّ الْمُزْدَلِفَةَ
كُلَّهَا مَوْقِفٌ، إِلَّا بَطْنَ مُحَسِّرٍ ". قَالَ مَالِك: قَالَ اللَّهُ
تَبَارَكَ وَتَعَالَى: فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ،
قَالَ: فَالرَّفَثُ إِصَابَةُ النِّسَاءِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ، قَالَ اللَّهُ
تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى
نِسَائِكُمْ، قَالَ: وَالْفُسُوقُ الذَّبْحُ لِلْأَنْصَابِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ،
قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ،
قَالَ: وَالْجِدَالُ فِي الْحَجِّ أَنَّ قُرَيْشًا كَانَتْ تَقِفُ عِنْدَ
الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ، بِالْمُزْدَلِفَةِ، بِقُزَحَ وَكَانَتْ الْعَرَبُ
وَغَيْرُهُمْ يَقِفُونَ بِعَرَفَةَ، فَكَانُوا يَتَجَادَلُونَ، يَقُولُ هَؤُلَاءِ:
نَحْنُ أَصْوَبُ، وَيَقُولُ هَؤُلَاءِ: نَحْنُ أَصْوَبُ، فَقَالَ اللَّهُ
تَعَالَى: لِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا هُمْ نَاسِكُوهُ فَلا
يُنَازِعُنَّكَ فِي الأَمْرِ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ إِنَّكَ لَعَلَى هُدًى
مُسْتَقِيمٍ، فَهَذَا الْجِدَالُ فِيمَا نُرَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ، وَقَدْ
سَمِعْتُ ذَلِكَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ
Diriwayatkan
oleh Maalik dalam Al-Muwaththa.
aya
mendapatkan kutipan tulisan dari Syaikh Muhammad Khaliil Harraas tentang ibadah
haji berikut :
"Allah
Azza wa Jalla telah memperlihatkan manasik-manasik haji dan syi’ar-syi’arnya
kepada Ibrâhîm Alaihissallam dan putranya, yaitu Ismâ’îl Alaihissallam. Maka
manasik-manasik itu akan tetap ada sepeninggal keduanya kepada anak
keturunannya yaitu berhaji ke Baitullah dan melakukan thawâf di situ, wukûf di
‘Arafah dan Muzdalifah, serta melaksanakan sa’i antara Shafa dan Marwa"
[selesai
kutipan].
Syariat
Ibadah Haji
Dari
tulisan tersebut dijelaskan bahwa wuquf di 'Arafah merupakan bagian dari
manasik haji Nabi Ibraahiim 'alaihis-salaam.
Oleh
karena itu, penyandaran hari 'Arafah pada wuqufnya jama'ah haji di 'Arafah
adalah benar.
Tentang
nama puasa 'Arafah, maka terjemahan yang benar bukan puasa tanggal 9 Dzulhijjah
atau puasa tanggal 10 Dzulhijjah, akan tetapi puasa 9 hari awal bulan
Dzulhijjah atau puasa 10 hari awal bulan Dzulhijjah. Maka, hadits ini tidak
relevan jika dikaitkan dengan puasa 'Aasyuuraa'. Tidak nyambung. Lagi pula,
hadits ini lemah. Silakan baca artikel : Hadits Puasa 9 Hari Awal Bulan
Dzulhijjah.
4
Oktober 2014 03.21
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Kemudian
ditinjau dari bahasa. Puasa 'Arafah itu kan diambil dari Shaumi yaumi 'Arafah
(puasa hari 'Arafah). 'Arafah itu jelas nama tempat. Asy-Syaikh Sulaimaan bin
'Abdillah Al-Maajid hafidhahullah berkata:
والقاعدة الأصولية أنه يتعين البقاء على الظاهر
من دلالة الاسم ؛ حتى يدل دليل على العدول عنه.
"Kaedah
ushuliyyah dimaknai secara dhaahir dari penunjukan namanya hingga ada dalil
yang memalingkan dari makna dhahir tersebut".
Dan
dalam hal ini tidak ada. Hal yang menguatkan statement itu justru ada pada teks
haditsnya sendiri, yaitu:
صوم يوم عرفة يكفر سنتين ماضية ومستقبلة وصوم
يوم عاشوراء يكفر سنة ماضية
"Puasa
hari 'Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun yang telah lepas dan akandatang,
dan puasa 'Aasyuuraa' (tanggal 10 Muharram) menghapuskan dosa setahun yang
lepas".
Nabi
shallallaahu 'alaihi wa sallam saat menyebut puasa 10 Muharram disebutkan
dengan lafadh : 'Aasyuuraa'. Namun ketika menyebutkan puasa 'Arafah, tetap
dengan lafadh 'shaumi yaumi 'Arafah'. Ini menunjukkan bahwa puasa 'Arafah tidak
semata-mata dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijjah tanpa ada keterkaitannya dengan
'Arafah itu sendiri. Seandainya hari 'Arafah itu memang hanya dipertimbangkan
dilakukan tanggal 9 Dzulhijjah, niscaya penyebutannya menggunakan lafadh yang
semisal dengan 'Asyuuraa' (yaitu : Tasuu'aa'). Fatwa Asy-Syaikh Sulaimaan
Al-Maajid tersebut dapat dibaca di sini : إذا اختلف إعلان
عيد الأضحى بلد ما عن رؤية بلد المشاعر تقديما أو تأخيرا فكيف يكون صوم عرفة؟.
Ratusan
tahun yang lalu, Ibnul-'Arabiy Al-Maalikiy rahimahullah saat menjelaskan QS.
Al-Baqarah ayat 203 berkata:
وأن سائر أهل الآفاق تبع للحاج فيها
"Dan
bahwasannya seluruh penduduk negeri (di dunia) mengikuti jama'ah haji dalam hal
tersebut (termasuk puasa 'Arafah)" [Ahkaamul-Qur'aan, 1/143].
Selain
itu, beberapa ulama kontemporer juga telah memfatwakan semisal. Silakan baca :
Fatwa Lajnah Daaimah, Asy-Syaikh Al-'Ubailan, dan Asy-Syaikh Muhammad
Al-Maghrawiy tentang Puasa 'Arafah.
Wallaahu
a'lam.
4
Oktober 2014 03.37
Abu
Umar mengatakan...
mohon
ditanggapi pendapat yg mengatakan kelebihan puasa arafah adalah dhaif, seperti
yg ada dalam artikel di bawah. terima kasih.
4
Oktober 2014 09.01
Bersambung..........Insya Allah