Sunday, August 2, 2015

Waktu Puasa Arafah Ketika kaum Muslimin Wukuf Di Arafah ! Bukan Masalah Khilafiyah dan Bermudah-Mudahan dalam Mengamalkan Syariat Islam ! ( 1 )

Benarkah Masalah Khilafiyah Tidak Perlu Diingkari?
Seorang ulama yang alim dan zuhud, akan hati-hati dalam mengeluarkan pendapat. Dalam benak pikiran/ persepsinya, hanya ada ketakutan/khauf kepada Allah Azza wa Jalla dalam mengeluarkan pendapat. Dalam pemaparan dibawah ini hanya ada satu pendapat yang benar !! bukan dan jangan ditarik-tarik kemasalah khilafiyah !! rujukan dan keputusan ulil amri tergantung ke ilmuan dan kezuhudan ulama yang memberi masukan !! jadi tidak absolute dan masih bisa dikoreksi . masalah sepenting ini jangan dianggap remeh/sepele.
Masalah yang sudah ada nash (dalil tegas) dari Al Qur’an, hadits dan tidak bisa ditentang, juga terdapat pendukung dari ijma’ (kesepakatan para ulama). Jika dalam masalah ini ada orang yang berpendapat keliru yang datang belakangan dan menyelisihi ijma’ atau menyelisihi qiyas jalii, maka masalah semacam ini boleh diingkari karena menyelisihi dalil.
Ibnu Taimiyah berkata, “Masalah ijtihadiyah seperti ini tidak boleh diingkari dengan tangan. Dan tidak boleh seorang pun memaksa untuk mengikuti pendapatnya. Akan tetapi yang dilakukan adalah sampaikanlah hujjah dengan alasan ilmiah. Jika telah terang salah satu dari dua pendapat yang diperselisihkan, ikutilah. Namun untuk pendapat yang lain tidak perlu diingkari (dengan keras).” (Majmu’ Al Fatawa, 30: 80)
Bahkan ulama dahulu hingga saat ini telah membahas masalah ijtihadiyah semacam ini. Jika telah jelas manakah pendapat yang benar, maka hendaklah kita rujuk padanya.” (Fatawa Al Islam Sual wal Jawab no. 70491)
Penjelasan Para Ulama
Ibnu Taimiyah berkata, “Jika ada yang mengatakan bahwa masalah khilaf tidak perlu diingkari, maka itu tidaklah benar jika melihat dari sisi ucapan yang dihukumi atau amalan. Jika ada ucapan yang menyelisihi ajaran Rasul atau menyelisihi ijma’ (kesepakatan para ulama), maka wajib mengingkarinya. Jika masalah tersebut tidak disepakati, maka boleh mengingkari untuk menjelaskan bahwa pendapat tersebut lemah dan menyebutkan pendapat yang benar dari ulama salaf atau para fuqoha’.
Imam Malik berkata,
لَيْسَ لِلْفَقِيهِ أَنْ يَحْمِلَ النَّاسَ عَلَى مَذْهَبِهِ
“Tidak boleh bagi seorang faqih (yang berilmu) mengajak manusia pada madzhabnya.”  (Majmu’ Al Fatawa, 30: 80). Namun ajaklah untuk mengikuti dalil.
Mari kita bahas masalah khilafiyah (??) terkait " waktu Puasa Arofah " . Kita bandingkan pendapat/paparan Abu Al-Jauza/ Agus Hasan Bashori Lc., M.Ag dan lain-lain dengan pendapat Firanda/serupa dengannya. Silahkan komentari dan kasih masukan secara tertulis dengan dalil yang jelas. Masalah ini tetap belum selesai, sebab karena kejahilannya, seorang pengurus MUI memfitnah Ustadz A Hakim Amir Abdat terkait kebenaran yang beliau yakini. Si oknum MUI kebetulan punya tendensi dendam terkait “penyimpangan manhajnya”. Kalau Ustadz2 alim dan zuhud membenarkan dan yakin dengan pendapat Abul Al-Jauza/yang sependapat dengannya, mari kita ajukan ke Ulil Amri, agar tahun ini  keputusan sidang isbat dikoreksi. Tulisan Abul Al-Jauza terbaru ( oktober 2014 ) masih menunggu comment berikutnya. Mari kita cermati.  Kita menyadari bahwa ini masalah khilafiyyah, sampai kapanpun tetap ada khilaf ini, namun demikian kita perlu membahasnya secara ilmiah, agar kita bisa mengamalkan atas dasar ilmu. Silahkan komentari tulisan ini setelah membacanya dengan tuntas, memahami serta tidak overlapping dengan komentar yang ada pada tulisan dibawah ini. Jika argument yang kita pegang selama ini lemah, semata karena masalah eksistensi/harga diri, harus berani merubahnya. Insya Allah.
[ admin lamurkha ]

1.Puasa 'Arafah ( Abul Al-Jauza )
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ قَبْلَهُ، وَ السَّنَةَ الَّتِيْ بَعْدَهُ
“Puasa pada hari ‘Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapuskan (dengannya) dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun yang akan datang”.[1]
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
قوله صلى الله عليه وسلم: "صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والسنة التي بعده" معناه يكفر ذنوب صائمه في السنتين، قالوا: والمراد بها الصغائر،
“Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Puasa pada hari ‘Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapuskan (dengannya) dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun yang akan datang’ ; maknanya adalah menghapuskan dosa-dosa bagi orang yang berpuasa pada hari itu selama dua tahun. Mereka (para ulama) berkata : Maksudnya adalah menghapus dosa-dosa kecil” [Syarh Shahih Muslim, 8/50-51].
قوله صلى الله عليه وسلم في يوم عرفة " يكفر السنة الماضية والمستقبلة " قال الماوردى في الحاوى فيه تأويلان (أحدهما) ان الله تعالي يغفر له ذنوب سنتين (والثانى) ان الله تعالي يعصمه في هاتين السنتين فلا يعص فيهما وقال السرخسي أما السنة الاولي فتكفر ما جرى فيها قال واختلف العلماء في معنى تكفير السنة الباقية المستقبلة وقال بعضهم معناه إذا ارتكب فيها معصية جعل الله تعالي صوم يوم عرفة الماضي كفارة لها كما جعله مكفرا لما في السنة الماضية وقال بعضهم معناه ان الله تعالي يعصمه في السنة المستقبلة عن ارتكاب ما يحتاج فيه إلى كفارة
“Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengenai hari ‘Arafah : ‘dapat menghapus dosa-dosa tahun lalu dan tahun yang akan datang’ ; berkata Al-Maawardiy dalam Al-Haawiy bahwasannya hadits ini mempunyai dua penafsiran. Pertama, Allah ta’alamengampuni dosa-dosanya selama dua tahun; Kedua, Allah ta’ala menjaganya untuk tidak berbuat dosa selama dua tahun. As-Sarkhaasiy berkata : ‘Adapun tahun pertama, maka dosa-dosanya akan diampuni’. Ia melanjutkan : ‘Para ulama berbeda pendapat mengenai makna penghapusan dosa di tahun selanjutnya (tahun depan). Sebagian mereka mengatakan, maknanya adalah bila seseorang melakukan maksiat pada tahun itu, Allah ta’ala akan menjadikan puasa di hari ‘Arafah yang ia lakukan di tahun lalu sebagai penghapus, sebagaimana ia menjadi penghapus dosa di tahun sebelumnya. Sebagian ulama lain mengatakan bahwa maknanya adalah Allah ta’ala menjaganya dari melakukan dosa di tahun depan” [Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, 6/381].
Ash-Shan’aniy rahimahullah berkata :
استشكال تكفير ما لم يقع، وهو ذنب السنة الآتية، وأجيب بأن المراد أنه يوفق فيها لعدم الإتيان بذنب؛ وسماه تكفيراً لمناسبة الماضية، أو أنه إن أوقع فيها ذنباً، وفق للإتيان بما يكفره.
“Sulit diterima penghapusan dosa yang belum terjadi, yaitu dosa tahun yang akan datang. Pendapat itu dibantah dengan alasan bahwa yang dimaksudkan adalah bahwa ia diberi taufiq pada tahun yang akan datang untuk tidak melakukan dosa. Hanya saja itu dinamai penghapusan untuk penyesuaian dengan istilah tahun lalu. Atau bahwa jika dia melakukan dosa tahun yang akan datang, maka ia diveri taufiq untuk melakukan sesuatu yang akan menghapuskannya” [Subulus-Salaam, 2/461].
Mengenai jenis dosa yang dihapuskan Allah ta’ala dari amalan puasa ‘Arafah, An-Nawawiy rahimahullah berkata :
قلت وفى معنى هذه الاحاديث تأويلان (أحدهما) يكفر الصغائر بشرط أن لا يكون هناك كبائر فان كانت كبائر لم يكفر شيئا لا الكبائر لا الكبائر ولا الصغائر (والثانى) وهو الاصح المختار انه يكفر كل الذنوب الصغائر وتقديره يغفر ذنوبه كلها إلا الكبائر قال القاضى عياض رحمه الله هذا المذكور في الاحاديث من غفران الصغائر دون الكبائر هو مذهب أهل السنة وان الكبائر إنما تكفرها التوبة أو رحمة الله تعالي
“Aku katakan : hadits-hadits ini mempunyai dua penafsiran : Pertama, menghapus dosa-dosa kecil dengan syarat ia tidak melakukan dosa besar. Jika ada dosa besar, maka tidak akan menghapus apapun, baik dosa besar ataupun dosa kecil. Kedua, - dan ini adalah pendapat yang lebih shahih/benar lagi terpilih – ia menghapus setiap dosa kecil. Jadi pengetiannya adalah (Allah) mengampuni semua dosanya, kecuali dosa besar. Telah berkata Al-Qaadliy ‘Iyaadl rahimahullahu ta’ala : ‘Apa yang disebutkan dalam hadits-hadits ini berbicara tentang pengampunan terhadap dosa-dosa kecil, selain dosa besar. Inilah madzhab Ahlus-Sunnah, karena dosa besar hanya bisa dihapus dengan taubat atau rahmat Allah ta’ala” [Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, 6/382].
Disunnahkannya puasa ‘Arafah ini khusus bagi mereka yang tidak sedang melakukan wuquf di ‘Arafah. Adapun yang sedang wuquf di ‘Arafah, maka tidak disunnahkan.
عن أبي نجيح قال سئل بن عمر عن صوم يوم عرفة بعرفة فقال : حججت مع النبي صلى الله عليه وسلم فلم يصمه ومع أبي بكر فلم يصمه ومع عمر فلم يصمه ومع عثمان فلم يصمه وأنا لا أصومه ولا آمر به ولا أنهى عنه
Dari Abu Najiih ia berkata : Ibnu ‘Umar pernah ditanya tentang puasa ‘Arafah, lalu ia menjawab : “Aku pernah berhaji bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak berpuasa, bersama Abu Bakar dan ia tidak berpuasa, bersama ‘Umar dan ia tidak berpuasa, juga bersama ‘Utsmaan dan ia tidak berpuasa. Adapun aku tidak berpuasa, tidak memerintahkannya, dan tidak pula melarangnya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 751, Ahmad 2/47 & 50, Ad-Daarimiy no. 1772, Abu Ya’laa no. 5595, Ibnu Hibbaan no. 3604, dan Al-Baghawiy no. 1792; shahih].[2]
عن أم الفضل بنت الحارث : أَنَّ نَاساً تَمَارَوا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ بَعضُهُمْ : هُوَ صَائِمٌ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ : لَيْسَ بِصَائِمٍ. فَأَرْسَلَتُ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيْرِهِ فَشَرِبَهُ.
Dari Ummul-Fadhl binti Al-Haarits : Bahwasannya orang-orang berdebat di sisinya pada hari ‘Arafah tentang puasa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian mereka berkata : “Beliau berpuasa”. Sebagian lain berkata : “Beliau tidak berpuasa”. Lalu aku (Ummul-Fadhl) mengirimkan pada beliau satu wadah yang berisi susu ketika beliau sedang wuquf di atas ontanya. Maka, beliau meminumnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 1988 dan Muslim no. 1123].
عن سَعِيدِ بْنِ جُبَيرٍ، قَالَ : أَتَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ بِعَرَفَةَ، وَهُوَ يَأْكُلُ رُمَّاناً، فَقَالَ : أَفْطَرَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِعَرَفَةَ، فَبَعَثَتْ إِلَيْهِ أَمُّ الْفَضلِ بِلَبَنٍ، فَشَرِبَهُ.
Dari Sa’iid bin Jubair, ia berkata : “Aku mendatangi Ibnu ‘Abbaas di ‘Arafah yang waktu itu sedang makan buah delima. Lalu ia berkata : ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berbuka di ‘Arafah. Ummul-Fadhl pernah mengirim susu, lalu beliau meminumnya” [Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa no. 2828 dengan sanad shahih].
Inilah pendapat shahih dari jumhur ulama.
At-Tirmidziy rahimahullah berkata :
وقد استحب أهل العلم صيام يوم عرفة إلا بعرفة
“Para ulama menyenangi puasa di hari ‘Arafah, kecuali jika berada di ‘Arafah (melaksanakan wuquf haji)” [Sunan At-Tirmidziy, 2/116].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
(واما) الحاج الحاضر في عرفة فقال الشافعي في المختصر والاصحاب يستحب له فطره لحديث أم الفضل وقال جماعة من أصحابنا يكره له صومه
“Adapun bagi orang yang melaksanakan haji di ‘Arafah, berkata Asy-Syafi’iy dan murid-muridnya dalam Al-Mukhtashar : ‘Disunnahkan baginya untuk berbuka berdasarkan hadits Ummul-Fadhl. Dan berkata sekelompok dari shahabat kami : Dimakruhkan baginya untuk berpuasa” [Al-Majmu’, 6/380].
Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya : “Apa hukum puasa di hari kesembilan bulan Dzulhijjah ?”. Maka beliau rahimahullah menjawab :
يوم التاسع سنة، يوم عرفة سنة لجميع الناس صيام يوم عرفة، سئل النبي عن يوم عرفة فقال عليه الصلاة والسلام: (يكفر الله به السنة التي قبله والسنة التي بعده) فيوم عرفة يسن صيامه للرجال والنساء إلا من كان في الحج فلا يصوم، من كان حاجاً فإنه يقوم يوم عرفة مفطراً هذه السنة، أما غير الحجاج فالسنة لهم أن يصوموا إذا تيسر ذلك.
“(Puasa di) hari kesembilan adalah sunnah. Hari ‘Arafah adalah sunnah bagi seluruh kaum muslimin untuk berpuasa di dalamnya. Nabi pernah ditanya mengenai hari ‘Arafah, maka beliau ‘alaihish-shalaatu was-salaam menjawab : ‘Allah mengampuni dengannya dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun yang akan datang’. Oleh karena itu, pada hari ‘Arafah disunnahkan untuk berpuasa bagi laki-laki dan wanita kecuali bagi mereka yang melaksaksanakan haji, maka ia tidak berpuasa. Barangsiapa yang melaksanakan haji, maka pada hari ‘Arafah itu ia berbuka pada tahun ini. Adapun selain orang-orang yang berhaji, maka yang sunnah bagi mereka adalah berpuasa jika merasa ringan/mudah melaksanakannya” [sumber : http://www.ibnbaz.org.sa/mat/19016].
Namun ada keterangan dari beberapa orang salaf yang tetap berpuasa walaupun mereka berada di ‘Arafah melakukan wuquf.
عن هشام بن عروة ، عن أبيه ، قال : "مَا شَهِدَ أَبِي عَرَفَةَ قَطُّ إِلَّا وَهُوَ صَائِمٌ"
Dari Hisyaam bin ‘Urwah, dari ayahnya, ia berkata : “Tidaklah aku menyaksikan ayahku (‘Urwah bin Zubair)di ‘Arafah, kecuali ia sedang berpuasa” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraiy dalam Tahdziibul-Aatsaar no. 1057; shahih].
عن القاسم بن محمد ، قال : " رأيت عائشة عشية عرفة يدفع الإمام ، فتقف بعد حتى يقصى ما بينها وبين الناس من الأرض ، ثم تدعو بالشراب فتفطر "
Dari Al-Qaasim bin Muhammad, ia berkata : “Aku pernah melihat ‘Aisyah pada waktu sore di ‘Arafah meninggalkan (memisahkan diri dari) imam (rombongan haji). Ia berhenti sebentar hingga orang-orang jauh darinya, lalu minta dibawakan minuman dan mulai berbuka puasa” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraiy dalam Tahdziibul-Aatsaar no. 1059; shahih].
Hal itu sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah :
أكثر أهل العلم يستحبون الفطر يوم عرفة بعرفة ،وكانت عائشة وابن الزبير يصومانه، وقال قتادة : لا بأس به إذا لم يضعف عن الدعاء، وقال عطاء :أصوم في الشتاء ولا أصوم في الصيف، لأن كراهة صومه إنما هي معللة بالضعف عن الدعاء فإذا قوي عليه أو كان في الشتاء لم يضعف فتزول الكراهة
“Kebanyakan ulama menyenangi berbuka pada hari ‘Arafah ketika berada di ‘Arafah. Adalah ‘Aisyah dan Ibnu Zubair tetap berpuasa (saat di ‘Arafah). Qataadah berkata : ‘Tidak mengapa dengannya jika tidak menyebabkan lemah untuk berdoa’. ‘Athaa’ berkata : ‘Aku berpuasa saat musim dingin, dan aku tidak berpuasa saat musim panas’. Kemakruhan berpuasa di waktu itu dikarenakan akan menyebabkan kelemahan untuk berdoa. Namun bila ia kuat melaksanakannya atau saat berada di musim dingin sehingga tidak membuat lemah, maka kemakruhan itu pun hilang” [Al-Mughniy, 3/58].

Puasa ‘Arafah Menurut Negeri Masing-Masing atau Menurut Saudi ?

Permasalahan ini menjadi khilaf di kalangan ulama’. Sebagian ulama memahami bahwa ibadah ini (dan juga ‘Iedul-Adlha)[3] tergantung pada sebab terlihatnya bulan Dzulhijjah, sebagaimana hal yang sama untuk permulaan Ramadlan dan Syawal. Sementara itu ulama lain berpendapat bahwa ibadah ini mengikuti ibadah haji di tanah Haram yang merupakan bentuk solidaritas para hujjaj. Dan dalam hal ini, kami mengikuti tarjih ulama pada pendapat kedua. Hal itu didasari oleh beberapa alasan berikut :
1. Telah berlalu penjelasan bahwasannya puasa ‘Arafah disunnahkan hanya bagi mereka yang tidak melaksanakan wuquf di ‘Arafah. Ini mengandung pengertian bahwa puasa ‘Arafah ini terkait dengan pelaksanaan ibadah haji/wuquf. Jika para hujjajtelah wuquf, maka pada waktu itulah disyari’atkannya melaksanakan puasa ‘Arafahbagi mereka yang tidak melaksanakan haji.
2. Dalam nash-nash tidak pernah disebutkan puasa di hari kesembilan, namun hanya disebutkan puasa ‘Arafah. Berbeda halnya dengan puasa ‘Aasyuura yang disebutkan tanggalnya secara spesifik :
عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما يقول: حين صام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء وأمر بصيامه، قالوا: يا رسول الله ! إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "فإذا كان العام المقبل إن شاء الله، صمنا اليوم التاسع. قال: فلم يأت العام المقبل، حتى توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم.
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ;anhumaa, ia berkata : “Ketika Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di hari ‘Aasyuuraa dan memerintahkannya, para shahabat berkata : ‘Sesungguhnya ia adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani’. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :‘Tahun depan, insya Allah, kita akan berpuasa di hari kesembilan”. Ibnu ‘Abbas berkata : “Sebelum tiba tahun depan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah wafat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1134].
عن ابن عباس يقول في يوم عاشوراء خالفوا اليهود وصوموا التاسع والعاشر
Dari Ibnu ‘Abbaas ia berkata tentang (puasa) hari ‘Aasyuuraa’ : “Selisihilah orang-orang Yahudi dan berpuasalah di hari kesembilan dan kesepuluh” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 7839 dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/287; shahih].
Adapun perintah berpuasa ‘Arafah adalah :
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ قَبْلَهُ، وَ السَّنَةَ الَّتِيْ بَعْدَهُ
“Puasa pada hari ‘Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapuskan (dengannya) dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun yang akan datang”
Jadi jelas perbedaannya bahwa puasa ‘Arafah tidak tergantung pada urutan hari dalam bulan Dzulhijjah, namun pada pelaksanaan wuquf di ‘Arafah.
3. Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
فطركم يوم تفطرون وأضحاكم يوم تضحون
“Berbuka kalian adalah hari kalian berbuka dan penyembelihan kalian adalah hari kalian menyembelih” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2324, Al-Baihaqiy 1/251, Ad-Daaruquthniy 2/163; shahih. Lihat Shahiihul-Jaami’ no. 4225].
فطركم يوم تفطرون وأضحاكم يوم تضحون وعرفة يوم تعرفون
“Berbuka kalian adalah di hari kalian berbuka, penyembelihan kalian adalah di hari kalian menyembelih, dan ‘Arafah kalian adalah di hari kalian melakukan wuquf di ‘Arafah” [Diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy dalam Al-Umm 1/230 dan Al-Baihaqiy 5/176; shahih dari ‘Athaa’ secara mursal. Lihat Shahiihul-Jaami’ no. 4224].
يوم عرفة ويوم النحر وأيام التشريق عيدنا أهل الإسلام وهي أيام أكل وشرب
“Hari ‘Arafah, hari penyembelihan (‘Iedul-Adlhaa), dan hari-hari tasyriiq adalah hari raya kita orang-orang Islam. Ia adalah hari-hari makan dan minum” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2419 dan At-Tirmidziy no. 773; shahih].
Makna ’ penyembelihan kalian adalah hari kalian menyembelih’ dan ‘Arafah kalian adalah di hari kalian melakukan wuquf di ‘Arafah’ adalah mengikuti dan menyesuaiakan pelaksanakaan hari menyembelih dan pelaksanaan wuquf orang-orang yang melaksanakan haji di Makkah.
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
قَال أَصْحَابُنَا: وَليْسَ يَوْمُ الفِطْرِ أَوَّل شَوَّالٍ مُطْلقًا وَإِنَّمَا هُوَ اليَوْمُ الذِي يُفْطِرُ فِيهِ النَّاسُ بِدَليل الحَدِيثِ السَّابِقِ، وَكَذَلكَ يَوْمَ النَّحْرِ، وَكَذَا يَوْمَ عَرَفَةَ هُوَ اليَوْمُ الذِي يَظْهَرُ للنَّاسِ أَنَّهُ يَوْمَ عَرَفَةَ، سَوَاءٌ كَانَ التَّاسِعَ أَوْ العَاشِرَ قَال الشَّافِعِيُّ فِي الأُمِّ عَقِبَ هَذَا الحَدِيثِ: فَبِهَذَا نَأْخُذُ
“Telah berkata shahabat-shahabat kami (fuqahaa’ Syafi’iyyah) : Tidaklah hari berbuka (‘Iedul-Fithri) itu (mempunyai pengertian) hari pertama bulan Syawal secara muthlaq. Ia adalah hari dimana orang-orang berbuka padanya dengan dalil hadits sebelumnya (yaitu : ‘Berbuka kalian di hari kalian berbuka’). Begitu pula dengan hari penyembelihan (Yaumun-Nahr/’Iedul-Adlhaa). Begitu pula dengan hari ‘Arafah, ia adalah hari yang nampak bagi orang-orang bahwasannya hari itu adalah hari ‘Arafah. Sama saja apakah itu hari kesembilan atau hari kesepuluh. Asy-Syaafi’iy berkata dalam Al-Umm saat berkomentar tentang hadits ini : Maka dengan inilah kami berpendapat…..” [Al-Majmu’’, 5/26].
Hari yang nampak sebagai hari ‘Arafah adalah hari ketika orang-orang yang melaksanakan ibdah haji wuquf di ‘Arafah.
4. Husain bin Al-Harts Al-Jadaliy pernah berkata :
أن أمير مكة خطب ثم قال : عهد إلينا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن ننسك للرؤية فإن لم نره وشهد شاهدا عدل نسكنا بشهادتهما ....
“Bahwasannya amir kota Makkah pernah berkhutbah, lalu berkata : ‘Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berpesan kepada kami agar kami (mulai) menyembelih berdasarkan ru’yah. Jika kami tidak melihatnya, namun dua orang saksi ‘adil menyaksikan (hilal telah tampak), maka kami mulai menyembelih berdasarkan persaksian mereka berdua….” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2338; shahih].
Atsar di atas menunjukkan ru’yah hilal yang dianggap/dipakai untuk melaksanakan ibadah penyembelihan (dan semua hal yang terkait dengan haji) adalah ru’yah hilalpenduduk Makkah, bukan yang lain. Dengan demikian, maka hadits tersebut menunjukkan bahwa pada masa itu Amir Mekkah-lah yang menetapkan pelaksanaan manasik haji, mulai dari wuquf di ‘Arafah, Thawaf Ifadlah, bermalam di Muzdalifah, melempar Jumrah, dan seterusnya. Atau dengan kata lain, penguasa yang menguasai kota Mekkah saat ini berhak menentukan wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah), pelaksanaan penyembelihan hewan kurban (10 Dzulhijjah), dan rangkaian manasik haji lainnya. Hal itu berarti negeri-negeri Islam lainnya harus mengikuti penetapan hari wukuf di Arafah, yaumun nahar (hari penyembelihan hewan kurban pada tanggal 10 Dzulhijjah) berdasarkan keputusan Amir Mekkah, atau penguasa yang saat ini mengelola kota Makkah.[4]
Wallaahu a’lam.
Itu saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
[Abul-Jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – http://abul-jauzaa.blogspot.com].


[1] Diriwayatkan oleh Muslim no. 1162, ‘Abdurrazzaaq no. 7826 & 7831 & 7865, Ibnu Abi Syaibah 3/78, Ahmad 5/297 & 308 & 310-311, Abu Dawud no. 2425-2426, An-Nasa’iy dalam Al-Kubraano. 2826, Ibnu Maajah no. 1730, Ibnu Khuzaimah no. 2087, Ibnu Hibbaan no. 3631-3632, Ath-Thahaawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 2/72 & 77 dan dalam Syarh Musykilil-Aatsaar no. 2967-2968, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/286 & 300, Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid21/162, dan Al-Baghawiy no. 1789-1790, dari beberapa jalan dari Ghailaan bin Jariir, dari ‘Abdullah bin Ma’bad Az-Zimmaaniy, dari Abu Qatadah Al-Anshariy secara marfu’.
Sebagian orang ada yang melemahkan hadits ini dengan alasan bahwa ‘Abdullah bin Ma’bad tidak mendengar hadits dari Abu Qatadah radliyallaahu ‘anhu berdasarkan perkataan Al-Bukhariy rahimahullah :
لا نعرف سماعه ـ يعني عبد الله بن مَعْبَد ـ من أبي قَتَادَة
“Kami tidak mengetahui penyimakannya – yaitu ‘Abdullah bin Ma’bad – dari Abu Qataadah” [At-Taariikh Al-Kabiir, 3/68 & 5/198].
Ta’lil ini dijawab sebagai berikut :
a. Perkataan Al-Bukhariy di atas tidak secara sharih (jelas) meniadakan samaa’ ‘Abdullah bin Ma’bad dari Abu Qatadah. Hanya saja Al-Bukhariy mengatakan bahwa ia tidak mengetahui penyimakannya dari Abu Qatadah. Jika ia memastikan tidak adanya penyimakan, maka ia akan menggunakan lafadh : “Ia tidak mendengar darinya” atau “mursal” sebagaimana kebiasaan beliau dalam permasalahan ini. Adapun persyaratan Muslim dalam Shahih-nya adalah mu’asharah yang memungkinkan adanya pertemuan secara umum dari para perawi.
b. Ibnu Abi Haatim (1/260) dan Ad-Daaruquthniy dalam Al-‘Ilal (6/152) saat mentarjih dua jalan sanad dari Ghailaan bin Jariir, mereka berdua tidak men-ta’lil adanya inqitha’ dan peniadaan samaa’ ‘Abdullah bin Ma’bad dari Abu Qatadah secara mutlak. Jika saja ini merupakan ‘illat, niscaya mereka menyebutkannya dan tidak men-tashhih-nya.
c. Ibnu Hajar dan Adz-Dzahabiy rahimahumallah menguatkan kebersambungan sanad ‘Abdullah bin Ma’bad dari Abu Qatadah. Ibnu Hajar berkata :
عبد الله بن معبد الزماني البصري روى عن أبي قتادة وأبي هريرة وعبد الله بن عتبة بن مسعود وأرسل عن عمر وعنه قتادة وغيلان بن جرير وثابت البناني والحجاج بن عتاب العبدي
“’Abdullah bin Ma’bad Az-Zimmaaniy Al-Bashriy. Ia meriwayatkan dari Abu Qatadah, Abu Hurairah, dan ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’uud. Meriwayatkan secara mursal dari ‘Umar. Qatadah, Ghailaan bin Jariir, Tsaabit Al-Bunaaniy, dan Al-Hajjaaj bin ‘Attaab Al-‘Abdiy meriwayatkan darinya” [At-Tahziib, 6/36].
Di sini Ibnu Hajar hanya mengatakan mursal dalam riwayatnya dari ‘Umar, tidak pada Abu Qatadah, Abu Hurairah, dan ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’uud.
Adz-Dzahabiy berkata :
قال البخاري : لا يعرف له سماع من أبي قتادة،قلت ـ الذهبي ـ:لا يضره ذلك
“Al-Bukhariy berkata : ‘Tidak diketahui penyimakannya dari Abu Qatadah’. Aku – (yaitu Adz-Dzahabiy) – berkata : “Hal itu tidak memudlaratkannya” [Diiwaan Adl-Dlu’afaa’, hal. 229].
Orang yang melemahkan hadits ini juga berhujjah bahwa ‘Abdullah bin Ma’bad ini seorang yang dla’iif dimana sebagian ulama al-jarh wat-ta’diil memasukkannya dalam kitab Adl-Dlu’afaa’.
Dijawab :
Sudah menjadi satu hal yang ma’ruuf bahwa sebagian ulama al-jarh wat-ta’diil memasukkan beberapa perawi dalam kitab Adl-Dlu’afaa’ orang-orang yang diperbincangkan, baik yang itu bersifat tercela/merusak ataupun tidak. Contoh dalam permasalahan ini banyak. Salah satunya contohnya adalah Ibnu ‘Adiy telah memasukkan ‘Aliy bin Al-Madiniy dalam kitabnyaAdl-Dlu’afaa’.
‘Abdullah bin Ma’baad dalam hadits tersebut mempunyai mutaba’ah dari Iyaas bin Harmalah.
Diriwayatkan oleh ‘Abd bin Humaid no. 194, Ahmad 5/296 & 304, An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa3/220-321, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/283, serta Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid21/162 dari beberapa jalan dari Iyaas bin Harmalah, dari Abu Qataadah, dari Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam :
صوم عاشوراء يكفر السنة الماضية وصوم عرفة يكفر السنتين الماضية والمستقبلة
“Puasa ‘Aasyuuraa’ menghapuskan dosa tahun yang lalu dan puasa ‘Arafah menghapuskan dosa dua tahun, yaitu tahun yang lalu dan tahun depan”.
Sedangkan hadits Abu Qataadah mempunyai syawaahid dari beberapa orang shahabat, yaitu :
1. Sahl bin Sa’d radliyallaahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh ‘Abd bin Humaid no. 463, Ibnu Abi Syaibah 3/97, Abu Ya’laa no. 7548, Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir 6/179, dari Sahl bin Sa’d, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ صَامَ يَوْمَ عَرَفَةَ، غُفِرَ لَهُ سَنَتَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ
“Barangsiapa yang berpuasa di hari ‘Arafah, niscaya ia akan diampuni (dari dosa-dosanya) dua tahun berturut-turut”.
Sanad hadits ini jayyid. Al-Haitsamiy berkata : “Diriwayatkan oleh Abu Ya’laa dan Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir. Rijaal Abu Ya’laa adalah rijaal shahiih” [Majma’uz-Zawaaid, 3/189].
2. Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Ausath(Majma’ul-Bahrain no. 1573) dari Sa’iid bin Jubair, ia berkata :
سأل رجل عبد الله بن عمر عن صوم يوم عرفة فقال:" كنا ونحن مع رسول الله صلى الله عليه وسلم يعدله بصوم سنتين"
“Ada seorang laki-laki bertanya kepada ‘Abdullah bin ‘Umar tentang puasa hari ‘Arafah. Maka ia berkata : ‘Kami dulu pernah bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamdimana beliau menyamakannya dengan puasa selama dua tahun”.
Al-Haitsaimiy berkata : “Hadits tersebut hasan” [Majma’uz-Zawaaid, 3/190].
Ada beberapa hadits dari jalan lain yang dla’if.
Secara keseluruhan, hadits tersebut adalah shahih.
[2] Sebagian ulama menggunakan riwayat ini sebagai dalil dimakruhkannya puasa ‘Arafah. Ini tidak benar, karena dalam riwayat tersebut Ibnu ‘Umar menceritakan keadaannya saat berhaji bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmanradliyallaahu ‘anhum. Tentu saja ini pembicaraan ini dalam konteks wuquf di ‘Arafah bagi orang yang berhaji.
[3] Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
أن الذبح بالمشاعر أصل، وبقية الأمصار تبع لمكة، ولهذا كان عيد النحر العيد الأكبر، ويوم النحر يوم الحج الأكبر.....‏
“Sesungguhnya menyembelih di masyaair adalah pokok, dan penyembelihan di tempat lain adalah mengikuti Makkah. Oleh karena itu hari raya penyembelihan (‘Iedul-Adlhaa) adalah hari raya yang besar. Hari penyembelihan adalah hari haji akbar…..” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 24/227].
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata :
ويكون تعجيل صلاة الأضحى بمقدار وصول الناس من المزدلفة إلى منى ورميهم وذبحهم -نص عليه أحمد في رواية حنبل- ؛ ليكون أهل الأمصار تبعاً للحاج في ذَلِكَ ؛ فإن رمي الحاج الجمرة بمنزلة صلاة العيد لأهل الأمصار
“Dan pelaksanaan shalat ‘Iedul-Adlhaa disesuaikan dengan sampainya orang-orang (yang melaksanakan ibadah haji) dari Muzdalifah menuju Mina, melempar jumrah mereka, dan penyembelihan mereka – hal ini dinyatakan oleh Ahmad dalam riwayat Hanbal - . Dan orang-orang yang ada di tempat lain, hendaknya mengikuti orang-orang yang berhaji dalam hal tersebut. Sesungguhnya waktu pelemparan jumrah oleh orang-orang yang melaksanakan haji di Muzdalifah, maka waktu itu adalah waktu pelaksanaan shalat ‘Ied bagi orang-orang yang ada di tempat lain” [Fathul-Baariy].
[4] Point ini saya mengambil faedah dari al-akh Abu Hannan di :http://salafyitb.wordpress.com/2007/01/24/al-imam-ibnu-utsaimin-shaum-arafah-tidak-mengikuti-saudi/ --- komentar tanggl 22 Pebruari 2007.

COMMENTS

Abduh mengatakan...
Assalamu'alaikum wa rahmatullah wa barakatuh,
Semoga Allah senantiasa memberkahi ilmu antum.

Sedikit tanggapan dari ana.

1. Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin berpendapat:
Permasalahan ini adalah turunan dari perselisihan ulama apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah.

2. Kalau di Saudi wukuf lebih dahulu daripada tanggal 9 Dzulhijah di negeri ini, berarti kalau kita puasa Arofah ikut Saudi, nantinya akan ada selang satu hari yang kosong. Lantas hari tersebut disebut hari apa? Padahal hari rayanya masih besoknya lagi.

3. Jika demikian, mengapa hari raya Idul Adha tidak lebih dulu sama dengan Saudi?

4. Apakah ada praktek dari para salaf, kalau puasa Arofah ikut wukuf di Arofah sedangkan Idul Adha ikut di negeri masing2?

Ada artikel sebagai pertimbangan:

Mohon tanggapannya Ustadz. Semoga Allah senantiasa menjaga antum.

19 November 2009 09.53
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumsalam warahmatullaahi wabarakatuh

Terima kasih atas tanggapannya akh. Memang benar, Asy-Syaikh Ibnu 'utsaimin rahimahullah berpendapat bahwa dalam permasalahan ini tidak harus mengikuti haji akbar di tanah haram. Begitu juga sebagian masyaikh Saudi lainnya.

Sebenarnya bila dicermati tulisan di atas, saya tidak sedang menguatkan pendapat 'Iedul-Adlhaa (Yaumun-Nahar) sesuai dengan negeri masing-masing. Namun ia tetap mengikuti ibadah haji yang ada di tanah haram. Oleh karena itu, tidak ada hari yang 'kosong' di sini.

Para ulama telah menjelaskan bahwa puasa 'Arafah, menyembelih hewan kurban, dan 'Iedul-Adlhaa dilakukan sebagai bentuk solidaritas kaum muslimin terhadap para hujjaj dengan mengikuti/menyesuaikan pelaksanaan haji di tanah haram.

wallaahu a'lam.

20 November 2009 07.57
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Komentar di atas adalah ralat dari komentar sebelumnya (yang sudah dihapus). Sebelumnya tertulis :

"Para ulama telah menjelaskan bahwa puasa 'Arafah, menyembelih hewan kurban, dan 'Iedul-Fithri dilakukan sebagai bentuk solidaritas kaum muslimin terhadap para hujjaj...".

Yang dimaksud adalah : "'Iedul-Adlhaa" - sebagaimana komentar di atas.

20 November 2009 08.08
nicetapa mengatakan...
Assalamu'alaikum ustadz.

Bagaimana Jika ada yang berpendapat puasa arafah adalah ikut wukufnya jama'ah haji di arafah sementara, iedul adha tetap mengikuti negaranya masing 2 dan ia berdalil dari hadits yang diriwayatkan Imam at Tirmidzi : "puasalah kamu pada hari kalian berpuasa dan berbukalah kamu pada hari kalian berbuka dan berqurban ( berldul Adha ) itu adalah pada hari kalian berqurban." afwan ustadz ana belum tahu di hadits hadits nomor berapa dan derajat bagaimana.

Jazakallahu khoiron.

20 November 2009 08.46
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumsalam warahmatullaahi wabarakatuh...

Dalam hal ini (minimal untuk sementara ini), .... saya mengikuti pentarjihan ulama yang berpendapat bahwa pelaksanaan puasa 'Arafah dan 'Iedul-Adlhaa disesuaikan dengan pelaksanaan haji di Makkah. Hal itu sebagaimana penjelasan Syaikhul-Islaam dan Ibnu Rajab Al-Hanbaliy pada catatan nomor 3.

Wallaahu a'laam.

20 November 2009 09.34
abu abdissalam mengatakan...
Assalamu'alaikum ustadz,

Mau tanya, ana membayangkan di zaman dulu ketika belum ada media massa, belum ada TV, radio, internet, dll. Sedangkan negeri Islam sudah meluas kemana-mana. Lalu bagaimana sebuah negeri yang terletak beribu-ribu mil dari Mekkah mengetahui kapan pelaksanaan wuquf di arafah. Sedangkan seperti yang ana bilang tadi, tidak ada media massa. Hal ini juga dikaitkan dengan idul fitri.

Syukron atas jawabannya.
Barakallohu fik

Wassalamu'alaikum

4 November 2010 10.21
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Allah ta'ala berfirman :

لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya" (QS. Al-Baqarah : 286).

Apa yang disebutkan di atas merupakan hukum asal bagi setiap orang yang mampu mengetahui khabar nampaknya hilal di Makkah atau pelaksanaan wuquf di 'Arafah. Dapat kita lihat bahwasannya Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan amir kota Makkah untuk melihat hilal yang kemudian hilal itu dirujuk oleh kaum muslimin yang lain termasuk di Madinah.

Jarak ribuan kilometer beberapa negeri Islam dan arus informasi yang tidak secepat sekarang menyebabkan para ulama berijtihad dalam hal ini. Ini semua dikarenakan 'udzur atas sesuatu yang sifatnya dlaruriy. 'Tidak mungkin' kan kaum muslimin tidak melaksanakan puasa 'Arafah, shalat 'Ied, dan menyembelih kurban dengan alasan tidak mengetahui informasi yang ada di negeri Makkah. Salah satunya mereka (para ulama) berijtihad berdasarkan hilal di masing-masing tempat.

Hukum ini tentu saja mengikuti illat pengetahuan atas khabar yang sampai kepada mereka tentang kenampakan hilal penduduk Makkah atau waktu pelaksanaan wuquf di 'Arafah.

Nah, untuk waktu sekarang dimana sarana komunikasi sudah sedemikian canggihnya, bukan hal yang susah bagi kita untuk mengetahui hilal penduduk Makkah/Saudi atau pelaksanaan wuquf di 'Arafah.

Wallaahu a'lam.

4 November 2010 10.56
Anton mengatakan...
Assalamu`alaikum
Menurut ana(maaf Ustadz) pendapat terkuat adalah mengikuti Saudi mungkin ustadz(maaf)lupa bukankah tentang pengertian Hari Arafah sendiri yaitu ‘Arafah kalian adalah di hari kalian melakukan wuquf di ‘Arafah” ,padahal saat mereka sedang wukuf Arafah maka selainnya dianjurkan berpuasa saat itu kan. Demikian pendapat terkuat yang ana pegang samapai saat ini. Walaupun demikian ana hargai pendapat Ustadz. Jazakallah.

8 November 2010 14.10
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumus-salaam.

Coba pak Anton baca lebih pelan-pelan lagi tentang apa yang ditarjih dalam artikel ini.....

Baarakallaahu fiik.

8 November 2010 14.43
The True Ideas mengatakan...
ustadz, tahun 1431H ini, nampaknya di negeri kita akan berbeda dengan Saudi, karena Menag menetapkan Idul Adha tanggal 17 November,

yang ingin ana tanyakan yakni, salah satu ormas yang ada -Muhammadiyah-- jauh-jauh hari sudah menetapkan bahwa Idul Adha akan jatuh pada 16 November 2010, sebelum Saudi mengumumkan masuk tanggal 1 Dzulhijjah, pertanyaannya adalah, apakah sama kemudian antara yang merayakan Idul Adha lantaran mengikuti perayaan haji (dengan rukyatnya Saudi) dengan yang mengikuti pendapat ormas ini?

jazakallah khaira untuk jawabannya

8 November 2010 19.01
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
tidak sama.

8 November 2010 20.15
Abu mengatakan...
Ustadz, kalau kita mengikuti Saudi sementara di negeri kita berbeda, bukankah ini berarti kita tidak mengikuti penguasa?

Ini ada kutipan dari penjelasan Syaikh Utsaimin di website nya Ustadz Muhammad Abduh ttg wajibnya mengikuti penguasa dalam masalah khilafiyah seperti ini :

"Akan tetapi yang perlu jadi perhatian, jika dua negeri yang sama dalam matholi’ (tempat terbitnya hilal), telah diputuskan oleh masing-masing penguasa untuk mulai puasa atau berhari raya, maka wajib mengikuti keputusan penguasa di negeri masing-masing. Masalah ini adalah masalah khilafiyah, sehingga keputusan penguasalah yang akan menyelesaikan perselisihan yang ada.

Berdasarkan hal ini, hendaklah kalian berpuasa dan berhari raya sebagaimana puasa dan hari raya yang dilakukan di negeri kalian (yaitu mengikuti keputusan penguasa). Meskipun memulai puasa atau berpuasa berbeda dengan negeri lainnya. Begitu pula dalam masalah puasa Arofah, hendaklah kalian mengikuti penentuan hilal di negeri kalian."

Bagaimana menurut Ustadz ?
Syukron
Abu Raihan

9 November 2010 15.44
Ayazka mengatakan...
Ustadz ... jadi untuk tahun ini puasa Arafahnya hari Senin atau Selasa? Jzkl

9 November 2010 16.39
Iwana Nashaya mengatakan...
Sebagaimana Ustadz Abu Al-Jauzaa', ana juga ngikut penetapan dari Saudi.

-----------------------

'Afwan, berikut ini ana copas-kan sedikit ilmu yang pernah ana baca (barangkali bermanfaat).

1. MATHLA’
Istilah perbedaan mathla’ menunjukkan tempat terbit dan terbenamnya matahari, bintang, bulan, fajar di suatu tempat, yang mendahului tempat yang lain atau sebaliknya.
Para mujtahid madzhab Syafi’i (Catatan: Mujtahid Madzhab adalah Mujtahid yang berjihad dengan menggunakan metode imam madzhabnya) telah menentukan adanya kesamaan mathla’ bagi daerah-daerah yang berada dalam radius 120 km (tanpa memperhatikan garis bujur dan lintang daerah-daerah tersebut) sekaligus perbedaan mathla’ bagi tempat-tempat yang jaraknya lebih dari 120 km. Pendapat ini tidak disandarkan pada nash, melainkan diqiyaskan dengan pendapat Imam Syafi’i dalam batasan jarak bolehnya meng-qashar shalat bagi musafir.
Pada faktanya, sebenarnya perbedaan waktu hanya terjadi pada tempat-tempat yang berbeda garis bujurnya, yaitu tempat-tempat yang berada sepanjang garis timur ke barat. Sedangkan untuk daerah-daerah yang memiliki garis bujur sama atau berdekatan, memiliki waktu yang sama (berpeluang untuk menyaksikan terbitnya matahari atau bulan pada saat yang bersamaan), sekalipun jarak mereka lebih dari 120 km. (please, review pembagian daerah waktu di peta!).
Sebagai contoh, kita perhatikan antara kota Perth, Ujung Pandang dan Manila. Demikian juga antara kota Istambul, Cairo, Cape Town (ujung selatan Benua Afrika). Ketiga kota ini berada pada garis bujur yang berdekatan, namun perbedaan jaraknya mencapai ribuan km. Dan kalau di peta kita bisa lihat, ternyata mereka memiliki daerah waktu yang sama (+8 jam dan +2 jam dari GMT). Artinya mereka memiliki kesamaan tempat terbitnya matahari dan bulan.
Dengan kata lain, sangat mungkin negeri-negeri yang memiliki garis bujur yang sama atau berdekatan melakukan ru’yatul hilal pada saat yang bersamaan, sekalipun jarak mereka berjauhan. Negeri-negeri seperti Tanzania, Kenya, Ethiopia, Saudi Arabia, Iraq, dan Yaman semuanya terletak antara 300 BT - 400 BT, sangat mungkin melakukan ru’yat bersama-sama selama cuacanya cerah, sebagaimana halnya juga dengan Indonesia, Malaysia, Brunei darussalam, dan singapura yang berada pada garis bujur yang berdekatan.
Sementara itu, menentukan dan menaksir perbedaan waktu dengan perbedaan jarak menghasilkan waktu 4 menit (lebih sedikit) untuk setiap perbedaan berjarak 120 km (untuk beda letak bujur = 10). Pada faktanya perbedaan waktu 4 menit ini (jarak 120 km) tidak berpengaruh sedikitpun dalam penentuan hari dan tanggal, bukan? Jadi, pertanyaannya… bagaimana mungkin kita menjadikannya sebagai tolok ukur dalam menentukan perbedaan hari untuk shaum ataupum ‘Ied?
Apabila kita menjelaskan istilah kesatuan mathla’ terhadap daerah-daerah yang dapat melihat bulan di saat yang bersamaan, maka hal ini menyerupai kesatuan mathla’ untuk matahari. Daerah-daerah yang memiliki waktu yang sama pada saat matahari terbit pada umumnya berada sepanjang garis utara ke selatan (mempunyai bujur yang sama). Sedangkan daerah-daerah yang berada sepanjang garis timur ke barat, inilah sebenarnya yang berada dari segi mathla’. Oleh karena itu tidak jadi masalah apakah jarak suatu negeri berjauhan ataukah berdekatan, selama terletak pada garis bujur yang sama, ia dikatakan memiliki mathla’ yang sama.

Kesimpulan: Oleh karena itu, pendapat Syafi’iyah tentang penetapan mathla’ berdasarkan radius (memperhitungkan beda garis bujur dan lintangnya) bertentangan dengan fakta astronomis tentang mathla’ itu sendiri.

BERSAMBUNG

9 November 2010 18.59
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
@pak Abu,.... begitulah memang fatwa Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah. Dan saya rasa, saya sudah menanggapi apa yang ditulis akh Abduh dimaksud. Lihat perkataan beliau nya di komen no. 1. Artikel di atas sebenarnya juga telah tersirat respon saya atas hal tersebut. Wal-'ilmu 'indallaah.......

@pak Ayazka, puasa 'Arafahnya pada waktu jama'ah haji wuquf di 'Arafah ...

9 November 2010 19.37
umm asiyah mengatakan...
ustadz, misalnya wukuf di arafah tgl 18 november, lalu pemerintah indonesia menetapkan hari idul adha adalah 17 november, apa yang paling tepat kita lakukan? jazakallohu khayran

9 November 2010 22.21
Ayazka mengatakan...
Ustadz ... kalo puasa 'Arafahnya pada waktu jama'ah haji wuquf di 'Arafah, maka disini waktunya adalah mulai Senin sore hingga pagi hari. Pertanyaan saya kan simple, kita puasanya hari Senin atau Selasa?
Jzkl

10 November 2010 09.07
Anonim mengatakan...
afwan ustadz, ana masih bingung dalam penetapan harinya..
misal saudi sore ini menetapkan besok tanggal 9 dzulhijjah, berarti kan kita mundur 20 jam??? atau kita duluan 4 jam??? jadi kita duluan 4 jam dari penetapan/pelaksanaan di saudi... atau kita mundur (saudi dulu) baru setelah 20 jam (berarti hari esoknya) kita melaksanakannya???
afwan ustadz ana masih bingung(semoga ini bukan pertanyaan yang dibenci)
syukron, jazaakumulloohu khoiro

10 November 2010 10.17
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
@pak Ayazka dan pak anonim,....sebenarnya perkaranya sangat mudah (tapi entah kok menjadi seakan-akan rumit sekali). Pemerintah Saudi menetapkan 'Iedul Adlhaa tanggal 16 Nopember 2010, yang bertepatan dengan hari Selasa. Artinya, wuquf 'Arafahnya hari Senin. Kita pun mengikutinya pada hari Senin juga. Hari Senin Indonesia dan Saudi sama. Selisih waktu kita dengan Saudi adalah 4 jam.

Wallaahu a'lam bish-shawwaab.

10 November 2010 12.13
Sa'ad mengatakan...
Terkait bagian ini

"..2. Dalam nash-nash tidak pernah disebutkan puasa di hari kesembilan, namun hanya disebutkan puasa ‘Arafah. Berbeda halnya dengan puasa ‘Aasyuura yang disebutkan tanggalnya secara spesifik ..."

Ana minta tolong antum untuk mengecek sanad hadits berikut:

حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ حَدَّثَنَا الْحُرُّ بْنُ الصَّيَّاحِ عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنِ امْرَأَتِهِ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ

Telah menceritakan kepada kami [Affan] telah menceritakan kepada kami [Abu Awanah] telah menceritakan kepada kami [Al Hurru bin Ashshayyah] dari [Hunaidah bin Khalid] dari [isterinya] dari [sebagian isteri Nabi shallaallahu 'alaihi wa sallam] berkata; "Rasulullah shallaallahu 'alaihi wa sallam berpuasa pada hari ke sembilan bulan dzulhijjah, pada hari asyura, dan tiga hari setiap bulan, yaitu hari senin pada pekan pekan pertama dan dua hari kamis pada pekan setelah nya." (Musnad Ahmad No. 25263)

Apakah statusnya dlo'if karena majhul-nya istri Hunaidah bin Khalid ?

Jazakallohu khoyr ...

10 November 2010 22.27
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
sebenarnya permasalahan utamanya bukan istri Hunaidah - walau itu masuk dalam masalah. ya benar, istri Hunaidah ini mubham nggak disebutkan namanya. para ulama berbeda pendapat dalam hadits tersebut. syaikh al-albaniy menshahihkannya dalam shahih sunan abi dawud. namun ulama lain mendla'ifkannya seperti syaikh al-arna'uth dan yang lainnya. para ulama mengatakan sebab kedla'ifannya setidaknya ada dua faktor :

1. perselisihan status kebershahabatannya.

2. perselisihan dalam sanad dan matannya.

apapun penghukumannya, maka itu tidak ada kaitannya dengan puasa 'Arafah secara khusus (pada point 2 yang antum maksudkan). Sebab, makna kalimat يصوم تسع ذي الحجة adalah berpuasa sembilan hari (pertama) pada bulan Dzulhijjah.

wallahu ta'ala a'lam.

10 November 2010 23.35
bayu mengatakan...
ada satu yg mengganjal ustadz
back to jaman para sahabat dlu. islam menyebar ke seluruh dunia. nah, dlu belum ada alat komunikasi canggih. lantas bagaimana suatu negeri bisa mengetahui bahwa di arab sana telah dimulai ibadah haji?
lebih jauh, bagaimana suatu negeri yang jauh dari arab mengambil patokan waktu utk menentukan awal ibadah haji?

11 November 2010 13.07
bayu mengatakan...
ternyata pertanyaan saya udah ada di komentar sebelumnya dan udah dijawab pula. ga usah ditampilkan aja ya ustadz ^_^

11 November 2010 13.33
abifasya mengatakan...
subhnallah ustadz tulisan yang luar biasa, izin COPAS

11 November 2010 17.51
ayahzaid mengatakan...
Perbedaan pendapat dalam hal ini apakah sudah terjadi sejak zaman salaf? Atau perbedaan pendapat ini jika ditarik ke belakang paling jauh sampai mana? Apakah sampai jaman imam mazhab atau bahkan sampai ke era salafussalih.
Apakah dalam hal ini diperbolehkan tabdi' atas pendapat yang berbeda dengan yg kita pahami?

12 November 2010 13.22
Sa'ad mengatakan...
1. "Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...on 10 November 2010 23.35

........

apapun penghukumannya, maka itu tidak ada kaitannya dengan puasa 'Arafah secara khusus (pada point 2 yang antum maksudkan). Sebab, makna kalimat يصوم تسع ذي الحجة adalah berpuasa sembilan hari (pertama) pada bulan Dzulhijjah.."

Kalau begitu, bagaimana lafadz dalam bahasa Arab untuk menyebut "hari/tanggal kesembilan Dzulhijjah" ?

2. "Abu Al-Jauzaa' : mengatakan... on 4 November 2010 10.56

..Allah ta'ala berfirman :

لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya" (QS. Al-Baqarah : 286).

Apa yang disebutkan di atas merupakan hukum asal bagi setiap orang yang mampu mengetahui khabar nampaknya hilal di Makkah atau pelaksanaan wuquf di 'Arafah. Dapat kita lihat bahwasannya Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan amir kota Makkah untuk melihat hilal yang kemudian hilal itu dirujuk oleh kaum muslimin yang lain termasuk di Madinah.

Jarak ribuan kilometer beberapa negeri Islam dan arus informasi yang tidak secepat sekarang menyebabkan para ulama berijtihad dalam hal ini. Ini semua dikarenakan 'udzur atas sesuatu yang sifatnya dlaruriy. 'Tidak mungkin' kan kaum muslimin tidak melaksanakan puasa 'Arafah, shalat 'Ied, dan menyembelih kurban dengan alasan tidak mengetahui informasi yang ada di negeri Makkah. Salah satunya mereka (para ulama) berijtihad berdasarkan hilal di masing-masing tempat.

Hukum ini tentu saja mengikuti illat pengetahuan atas khabar yang sampai kepada mereka tentang kenampakan hilal penduduk Makkah atau waktu pelaksanaan wuquf di 'Arafah...."

'Afwan, apakah suatu hukum syar'i itu bisa berubah mengikuti perkembangan teknologi. Misalnya -senada dengan penjelasan antum di atas-, mengenai arah kiblat. Di zaman sekarang sudah ditemukan teknologi GPS dan astronomi yang lebih canggih sehingga posisi arah kiblat Indonesia yang dulu ke arah barat, sekarang digeser-geser miring ke arah barat laut (sebagaimana fatwa MUI yang meralat fatwanya yang lama tentang arah kiblat).

Ataukah kita tetap mengikuti hadits:

"Antara timur dan barat adalah kiblat." ?

14 November 2010 13.18
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
1. Dalam bahasa 'Arab, kesembilah itu dilafadhkan dengan taasi'(التاسع ).

2. Saya sebenarnya tidak paham-paham benar dengan yang antum maksudkan. Kita tentu telah paham makna kiblat. Cuma, orang akan berbeda-beda caranya dalam menentukan arah kiblatnya. Ada yang dengan metode bertanya, memakai kompas, memakai GPS, dan yang lainnya. Itu semua tidak mengubah konteks hukum syar'iy. Dengan cara apapun - dan syari'at tidak membatasi metodenya - shalat ya tetap harus menghadap kiblat.

Dan untuk korelasi dengan bahasan di artikel ini, mohon maaf, sekali lagi, saya kurang begitu paham dengan maksud antum.

14 November 2010 13.38
Sa'ad mengatakan...
'Afwan jika gaya bahasa ana kurang bisa dipahami.

Intinya, antum menjelaskan kalau penentuan arafah dan idul adha daerah yang jauh dari Mekkah pada zaman dulu ditentukan oleh ijtihad penguasa/'ulama' karena tidak sampainya informasi pelaksanaan wuquf di arafah ke negeri mereka (dikarenakan jauhnya). Dan hal ini dimaklumi karena terbatasnya sarana informasi pada waktu itu.

"..Jarak ribuan kilometer beberapa negeri Islam dan arus informasi yang tidak secepat sekarang menyebabkan para ulama berijtihad dalam hal ini (yakni penentuan puasa arafah dan hari raya idul adha).." >> silahkan dilihat komentar antum pada 4 November 2010 10.56 sebagai jawaban atas akhi Abu Abdisalam. Mohon dikoreksi bila pemahaman ana keliru.

Nah, terkait dg pernyataan di atas : arah kiblat Indonesia dulu yang dikenal adalah menghadap ke barat (karena posisi Indonesia yg secara umum berada di timur Mekkah dan terbatasnya alat untuk menentukan arah kiblat dengan akurat).

Namun seiring ditemukannya teknologi GPS dll (yang baru ada beberapa dekade terakhir), ada beberapa kaum muslimin yang menyerukan perombakan arah kiblat karena ternyata arah kiblat Indonesia selama ini tidak pas menghadap ke Ka'bah. Hal ini berakibat beberapa masjid mempunyai arah kiblat yang miring, tidak sesuai bangunan masjid.

Yang ana tangkap, penentuan suatu hukum syar'i (d.h.i arah kiblat) bisa berubah seiring ditemukannya kemajuan teknologi, sebagaimana penjelasan antum:

"...Hukum ini tentu saja mengikuti illat pengetahuan atas khabar yang sampai kepada mereka tentang kenampakan hilal penduduk Makkah atau waktu pelaksanaan wuquf di 'Arafah.

Nah, untuk waktu sekarang dimana sarana komunikasi sudah sedemikian canggihnya, bukan hal yang susah bagi kita untuk mengetahui hilal penduduk Makkah/Saudi atau pelaksanaan wuquf di 'Arafah..."

Maka ana ingin mengetahui: Apakah penetapan suatu hukum syar'i itu bisa berubah menyesuaikan dengan penemuan dalam teknologi ?

Dulu : sarana informasi terbatas, maka dimaklumi bila penentuan arafah dan idul adha berbeda dengan Saudi

Sekarang : sarana informasi sudah canggih, maka arafah dan idul adha harus sesuai dengan Saudi

sebagaimana dulu: arah kiblat cukup menghadap ke barat, karena terbatasnya sarana pencari arah

sekarang : arah kiblat harus diusahakan "selurus mungkin" (walau tidak benar2 pas) dengan Ka'bah, karena sudah ada teknologi GPS

(Untuk yang masalah arah kiblat, ana pribadi sampai sekarang lebih memilih untuk menghadap ke barat secara biasa seperti dulu, sebagaimana sabda Nabi: "Antara timur dan barat adalah kiblat". Tidak perlu memiring-miringkan arah kiblat)

Sekali lagi 'afwan bila gaya bahasa ana membingungkan antum. Syukron jiddan untuk tanggapannya

14 November 2010 16.50
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Tidak ada perubahan dalam masalah syari'at, appaun teknologinya. Terkait dalam masalah kiblat, teknologi yang ada hanya MEMBANTU untuk melihat akurasi arah kiblat. Fungsinya sebenarnya tidak lebih dari kompas ataupun bintang.

Tentang masalah 'Ied, ya beda lah kasusnya. Saya copas-kan lagi :

Hukum ini tentu saja mengikuti illat pengetahuan atas khabar yang sampai kepada mereka tentang kenampakan hilal penduduk Makkah atau waktu pelaksanaan wuquf di 'Arafah.

Hukum asalnya adalah mengikuti Makkah. Ketika ada seseorang tidak mengetahui kapan waktu wuquf di 'Arafah, maka di situ ia mempunyai 'udzur sehingga diperbolehkan berijtihad menurut kemampuannya.

Kasus lain : Ketika kita berada di tengah hutan seorang diri yang ketika itu hari mendung. Sementara waktu itu kita ingin melaksnaakan shalat. Kita tidak punya kompas, GPS, atau yang semisal untuk menentukan arah kiblat. Nah, pada waktu itu kita boleh berijtihad dengan memakai akal kita untuk menentukan arah kiblat dengan melihat tanda-tanda alam yang ada. Ini boleh kita lakukan karena ada sebab karena tidak sampainya pada kita ilmu tentang arah kiblat secara pasti.

Begitu juga dengan penentuan waktu 'Arafah di negeri-negeri yang jauh letaknya dari Makkah yang tidak sampai pada mereka khabar.

Wallaahu ta'ala a'lam.

14 November 2010 17.25
Sa'ad mengatakan...
Jazakallohu khoyron akhi buat penjelasannya.

Semoga Allah memberkahi ilmu antum dan memperbanyak orang-orang seperti antum di seluruh penjuru bumi.

Sayang diskusi antum dengan akhi Abu Umair As-Sundawy di


tidak berlanjut.

Ana banyak mendapat tambahan ilmu tentang khilaf puasa Arafah dan Idul Adha dari situ.

14 November 2010 20.44
Anonim mengatakan...
Izin share ya Ustadz ...

15 November 2010 04.38
Anonim mengatakan...
afwan bgmn sikap kita org2 awam dlm hal ini apakah memilih ngikut makkah atw pemerintah..????

ust blum menanggapi pnyataan dr saudara Abu Hannan dihttp://salafyitb.wordpress.com/2007/01/24/al-imam-ibnu-utsaimin-shaum-arafah-tidak-mengikuti-saudi/ cz org2 HT pun punya berargumen demikian malah mereka ngotot bhwa masalah ini adalah masalah IJMA

syukran ust, barakallahu fiek.. :)

15 November 2010 19.12
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Ngikut pada pendapat yang raajih sesuai dengan ilmu yang sampai kepada masing-masing.

Apa yang ditulis akh @abu Hannaan itu inti simpulannya sama dengan yang ada di artikel ini.

Adapun rekan-rekan HT (Muhammadiyyah, Persis, atau yang lainnya), maka saya tidak dipusingkan dengan apa yang mereka ambil, karena istinbath hukum bukan bersumber dari mereka. Adapun seandainya dalilnya sama dan logika/alur berpikirnya sama, itu lain perkara. Wallaahu a'lam.

15 November 2010 23.06
Abu Inshirah mengatakan...
Salaam 'alaikum,

Afwan, sekadar mengongsi:-


16 November 2010 11.30
abu zaid mengatakan...
Sebenarnya saya sepakat dengan Ustadz Abul Jauzaa.
Namun saya tetap shalat idul adha pada 17 November.
Sebenarnya kedua pendapat tersebut sinkron jika kita bisa memahami konsep-konsep hilal, visibilitas dan hijri date line.
Pembahasan dan sedikit tanggapan atas pendapat Idul Adha 16 November ada di http://ayahzaid.blogspot.com/2010/11/kesalahan-pendapat-idul-adha-di.html.
Mohon maaf jika kurang berkenan.

16 November 2010 18.07
Fahrul mengatakan...
Minta izin menyebarluaskannya.

16 November 2010 18.52
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
@akh abuzaid,….. Terima kasih atas ulasannya. Ada beberapa hal yang dapat saya ambil manfaat dari tulisan antum. Akan tetapi, jika diperkenankan berkomentar, sebenarnya tulisan antum tidak begitu ‘nyambung’ dengan esensi bahasan dalam permasalahan ini. Terutama jika dikaitkan apakah puasa ‘Arafah dan ‘Ied itu ikut Saudi ataukah sesuai dengan mathla’ masing-masing. Tidak lebih bahasan antum – sependek pemahaman saya - hanya ingin mengingkapkan kenapa penampakan hilal bisa berbeda-beda dan sebab-musabab terjadinya perbedaan waktu antara satu tempat dengan tempat yang lain. Saya kira, ini semua sudah mafhum bagi kita semua, walau dengan tingkat pendalaman yang berbeda-beda.

Namun permasalahan utamanya adalah : Apakah perbedaan tempat dan perbedaan waktu diakui dalam asas melegalkan perbedaan pelaksanaan ibadah ini atau tidak. Tidak menjadi masalah dimanapun letak titik nol international day-nya, jika misalnya kita sepakat bahwa kita semuanya mengacu Saudi – yaitu, dengan mainstream : Puasa ‘Arafah dan ‘Ied adalah ibadah yang terkait dengan waktu dan tempat. Dalam skala tathbiq-nya, kita tinggal menyesuaikan. Di sinilah ranah ijtihad bekerja. Perbedaan ‘nama hari’ selama mainstreamnya masih sama. Bukanlah masalah.

Lain halnya jika mainstreamnya adalah diakuinya perbedaan mathla’. Hal ini akan mengakibatkan hal yang lebih tidak sederhana dari perkiraan kita. Lagi-lagi, keputusan pemerintahlah yang akhirnya lebih menjadi penentu. Saya pernah mengajukan logika geografi juga. Seandainya saya tinggal di daratan Propinsi Kalimantan Barat dan antum di Malaysia Timur. Jarak rumah saya dan antum hanya 50 m. Antara rumah saya dan rumah antum hanya terbatasi tembok perbatasan negara. Kebetulan, Depag RI memutuskan bahwa hilal Dzulhijjah nampak pada hari Kamis dan Depag Malaysia memutuskan hilal nampak pada hari Jum’at. Sekarang, apa sikap kita dalam hal ini. Jika kita berpikir dengan asas diakuinya hilal Dzulhijah adalah hilal-nya Saudi, maka perbedaan yang seperti itu bukan menjadi problem. Immaa rumah saya dan rumah antum terpaut ribuan kilometer, asalkan cara berpikir kita masih sama, maka – sekali lagi – hal itu bukan problem. Yang jadi masalah adalah ketika kita menganut pendapat pengakuan hilal masing-masing mathla’. Logika macam apa yang bisa dipakai dalam hal ini ? Jarak hanya 50 m berbeda pelaksanaan waktu ibadahnya. Paling banter, kita akan merujuk keputusan pemerintah. Soalnya jika kita merujuk dengan teori geografis, akan tidak ‘nyambung’. Akhirnya, logika perbedaan mathla’ ini menjadi sesuatu yang fasi. Kita tidak perlu berpikir untuk dua tempat yang terpaut belasan jam. Sebab, permasalahan utama perbedaan mathla’ adalah pada ‘daerah perbatasan’.

Saya selalu berangkat dengan menyederhanakan masalah, karena dengan menyederhanakan masalah kita mengetahui pola-pola dasar setiap pemikiran.

Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

16 November 2010 22.33
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Dan sedikit tambahan :

Seandainya dikatakan bahwa secara 'de jure' Indonesia baru masuk 1 Dzulhijjah 20 jam kemudian. Kalau boleh saya sedikit berkomentar, maka secara umum daerah-daerah yang terletak di sebelah timur Saudi dihukumi dengan dengan selisih beda sehari. Jika demikian, lantas bagaimana dengan daerah yang selisihnya 23 jam dengan Saudi alias 'de facto'-nya hanya selisih 1 jam saja dengan posisi 'Arafah. Apakah juga 'diwajibkan' puasa 'Arafah dan 'Ied sehari kemudian ? Atau kita paksa lagi dengan pernyataan : beda 23 1/2 jam, alias bedanya secara 'de facto' hanya setengah jam saja dengan 'Arafah.

Bagi saya, secara 'aqliyyah ini sulit diterima.

Secara umum, sebatas pemahaman saya, logika ini sama seperti logika 'mathla'; hanya saja dengan bahasa yang sedikit berbeda.

Mohon koreksinya.

Wallaahu a'lam.

17 November 2010 00.31
zax mengatakan...
Banyak yang rancu memahami permulaan hari dalam tahun Masehi dan Hijriah. Hari baru pada tahun Masehi mulai pukul 00.00 sedangkan pada hijriah dimulai saat matahari tenggelam, misal pukul 18.00. Misalkan jika pada 6 oktober pukul 18.00 hilal terlihat di Saudi,maka Saudi sudah memasuki hari baru yaitu tanggal 1 Dzulhijjah,sedangkan di Indonesia sudah pukul 22.00 maka tanggal 1 Dzulhijjah indonesia baru dimulai pukul 18.00 keesokan harinya tanggal 7, karena pergantian hari saat tenggelamnya matahari yaitu 20 jam kemudian. Keterangan lengkapnya

17 November 2010 02.16
Anonim mengatakan...
Ada komentar dalam blog fawaaid.sg.

Saya masih bingung menentukan mana yang rajih dalam masalah ini.

Jazakallah khairan.

18 November 2010 08.49
abu zaid mengatakan...
Agar lebih sistematis saya menanggapi per paragraf saja ya akh.
Antum berkata: "Ada beberapa hal yang dapat saya ambil manfaat dari tulisan antum. Akan tetapi, jika diperkenankan berkomentar, sebenarnya tulisan antum tidak begitu ‘nyambung’ dengan esensi bahasan dalam permasalahan ini. Terutama jika dikaitkan apakah puasa ‘Arafah dan ‘Ied itu ikut Saudi ataukah sesuai dengan mathla’ masing-masing."

Saya menanggapi: Mohon maaf kalau (terkesan) tidak nyambung. Dengan tulisan tersebut saya memang tidak memiliki maksud untuk membantah semua ilmu kanuragan yang dikeluarkan antum. Saya setuju bahwa puasa arofah dilakukan pada saat para hujjaj wukuf arofah dan demikian pula idul adha. (kalau mau yang bener-bener adu ilmu kanuragan silakan ditanggapi email-emailnya akh Abu Umair di milis, hehe)
Pada intinya tidak ada yang saya tidak sepakat dari body tulisan utama antum. Yang saya kurang setuju adalah buntut diskusi di comment2 di bawah body tulisan utama bahwa untuk kasus tahun 2010 ini puasa arofah jatuh pada hari senin 15 November dan Idul Adha sehari setelahnya.

Antum berkata: "Namun permasalahan utamanya adalah : Apakah perbedaan tempat dan perbedaan waktu diakui dalam asas melegalkan perbedaan pelaksanaan ibadah ini atau tidak. Tidak menjadi masalah dimanapun letak titik nol international day-nya, jika misalnya kita sepakat bahwa kita semuanya mengacu Saudi – yaitu, dengan mainstream : Puasa ‘Arafah dan ‘Ied adalah ibadah yang terkait dengan waktu dan tempat. Dalam skala tathbiq-nya, kita tinggal menyesuaikan. Di sinilah ranah ijtihad bekerja. Perbedaan ‘nama hari’ selama mainstreamnya masih sama. Bukanlah masalah."

Tanggapan saya: Kalau saya kerucutkan sebenarnya perbedaan antara kita adalah pada bagaimana memaknai yaumu arofah sebagaimana disebutkan oleh Nabi. Antum memahami yaumu arofah sebagai “day” yang sama dengan pelaksanaan wukuf arofah. Sementara saya memahami yaumu arofah sebagai “date” pelaksanaan wukuf arofah, yaitu sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Bin Baz mengenai hari kesembilan. Memang tidak ada hadits yang menegaskan puasa arofah pada hari kesembilan dzulhijjah sehingga antum sampai bisa menyimpulkan bahwa yang harus sama adalah day-nya. Namun sampai sekarang saya tetap berpendapat bahwa yang disebut dengan yaumu arofah adalah date hijri dimana dilakukan wukuf arofah yaitu hari kesembilan dzulhijjah, karena kita tidak bisa menggunakan international date line dalam masalah ini. International date line (yang secara internasional dijadikan sebagai day line juga) yang menjadi secara praktis kita terima dalam penentuan day berasal dari aplikasi konsep penanggalan masehi yang murni menggunakan matahari dalam penentuan hari dan tahun, sementara penentuan bulannya dilakukan secara arbitrer tanpa melihat (fase) bulan.
Day line internasional ini menurut saya tidak terlalu menjadi masalah untuk diterapkan pada ibadah-ibadah umat muslim yang bersifat harian dan pekanan (karena pekan adalah fungsi dari hari). Dengan demikian tidak masalah kalau kita menggunakan penentuan hari jumat dengan menggunakan day line internasional ini (kecuali kalau nanti ada kesepakatan dunia islam yang berbeda mengenai day line ini.
Namun demikian day line internasional ini menjadi masalah untuk ibadah-ibadah yang terikat bulan seperti misalnya wukuf arofah ini, karena pola penampakan hilal dan pergantian bulan tidak pernah bisa sama dengan pergantian day secara internasional. Pola penampakan hilal bersifat dinamis mengikuti apa yang disebut hijri date line.
Dengan demikian menurut saya yang lebih tepat untuk digunakan untuk ibadah yang terikat bulan ini adalah hijri date line karena hijri date line ini memang dibuat sesuai dengan pola penampakan hilal di semua belahan dunia. Termasuk yang menurut saya harus menggunakan hijri date line ini adalah ibadah turunan dari wukuf arofah ini yaitu puasa arofah bagi yang tidak melaksanakan haji.

Bersambung.

18 November 2010 11.58
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Mengenai tanggapan ustadz Murad Sa'iid di http://www.fawaaid.sg/2010/11/puasa-arafah-mengikut-imam.html, ijinkanlah saya memerikan tanggapan balik secara ringkas sebagai berikut :


1. Dikatakan bahwa khilaf ini hanyalah terjadi di masa kontemporer. Namun Dr. Muhamad l-Asyqaar dan Syaikh ‘Adnaan ‘Ar’ur menjelaskan sebaliknya, bahwa tidak ada perselisihan di kalangan salaf tentang kewajiban mengikuti pelaksanakan wuquf di 'Arafah.

2. Dikatakan bahwa puasa ‘Arafah tidak terkait dengan wuquf di ‘Arafah. Justru mafhumnya, puasa ‘Arafah tidaklah dilakukan pada waktu jama’ah haji tidak melaksanakan wuquf di ‘Arafah. Hari ‘Arafah itu adalah nama satu hari yang tidak berbilang. Puasa yang disandarkan kepadanya pun terkait dengan tempat dan waktu pelaksanaan wuquf di ‘Arafah.

3. 3. Hadits mursal : ((وعرفة يوم تعرفون)) justru menunjukkan apa yang disebutkan dalam point kedua di atas. Dan bagi orang di luar Makkah, maka ini pun selaras, tidak ada pertentangan dan pembeda-bedaan. Hari dimana kalian wuquf di ‘Arafah adalah seperti halnya penyebutan keseluruhan namun yang dimaksudkan sebagian sebagaimana tertera dalam kaedah ushul fiqh. Saat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya di Makkah atau Madinah, maka dipahami bahwa tidak semua orang/shahabat melakukan wuquf di ‘Arafah. Akan tetapi para shahabat tetap memberlakukan penetapan hari ‘Arafah berdasarkan waktu para shahabat lain yang melakukan wuquf di ‘Arafah. Mereka berpuasa ‘Arafah pada waktu shahabat lain melakukan wuquf di ‘Arafah. Dan itulah yang banyk tertera dalam atsar.

4. Tentang perkataan An-Nawawiy dalam Al-Majmu’, maka itu sebagai petunjuk bahwa hari ‘Arafah itu bukan ditentukan berdasarkan urutan hari (yaitu hari kesembilan) sebagaimana telah lewat penyebutannya. Maka ia bisa saja hari kesembilan atau kesepuluh menurut perhitungan hari Dzulhijjah orang tersebut.

5. Tentang hadits Husain bin Al-Haarits, maka itu sebagai petunjuk bahwa pengesahan dan penerimaan persaksian ditentukan oleh Amir kota Makkah. Saksi yang berasal dari penduduk Makkah adalah boleh, dengn syarat hal itu disahkan dan diakui oleh amir Makkah. (Dan ingat, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat itu adalah pemimpin seluruh umat Islam, namun beliau tetap menyandarkan keputusan dan pengesahan pada amir kota Makkah).
Seandainya persaksian itu tidak diterima (karena Amir kota Makkah lebih menerima persaksian selainnya). Pertanyaan kecilnya : "Adakah riwayat di kalangan shahabat atau tabi'in yang tersebar di daerah Syaam, Yaman, atau 'Iraaq yang menyelisihi keputusan amir kota Makkah ?". Termasuk penyelisihan mereka dalam pelaksanaan puasa di hari 'Arafah ? Hukum asal penetapan waktu yang dilakukan oleh amir Makkah atas perintah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam juga berlaku bagi penduduk Madinah atau tempat-tempat lainnya; baik bagi orang yang ingin melaksanakan haji atau tidak. Apakah perintah menyembelih dalam hadits hanya terkait manasik haji saja ? Bahkan menyembelih itu dilakukan oleh para jama;ah haji yang kemudian juga diikuti oleh kaum muslimin lain yang tidak melaksnaakan ibadah haji.

Jika dikatakan bahwa perintah Rasulullah itu hanyalah berkaitan dengan manasik haji di kota Makkah, maka dimana letak dhahir pernyataan itu dalam hadits ?

18 November 2010 17.16
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
6. Tentang perkataan Ibnu Taimiyyah, sebenarnya bagi saya itu telah jelas bahwa ibadah-ibadah yang terkait dengan haji (termasuk puasa ‘Arafah) terkait dengan tempat, sehingga orang-orang lain yang tidak melaksanakan haji di tanah Haram, mengikuti pelaksanaannya orang orang yang melakukan haji. Itulah yang dhahir. Adapun fatwa Ibnu Taimiyyah lain yang terkait dengan permasalahan ini [25/203], justru tidak ada petunjuk padanya bahwa hilal yang berlaku adalah hilal penduduk kota tersebut dengan mengabaikan pengetahuan hilal penduduk Makkah. Karena, ada kemungkinan bahwa yang diputuskan oleh hakim kota tersebut mengikuti keputusan hilal Dzulhijjah penduduk Makkah. Atau pendek kata, pengambilan perkataan Ibnu Taimiyyah oleh beliau pun tidak lepas dari banyak kemungkinan.

7. Tentang perkatan Ibnu Rajab, maka itu hanya sebagai catatan kaki tentang penyebutan di antara ulama ada yang berpendapat bahwa shalat ‘Iedul-Adlha mengikuti/menyesuaikan pelaksanaan haji di Makkah. Sangat jelas pada perkataan beliau : ” Sesungguhnya waktu pelemparan jumraholeh orang-orang yang melaksanakan haji di Muzdalifah, maka waktu itu adalah waktu pelaksanaan shalat ‘Ied bagi orang-orang yang ada di tempat lain”.

8. Dikatakan bahwa orang yang berpuasa ‘Arafah mengikuti wuqufnya para hujjaj di ‘Arafah tidak mempunyai dalil, maka mafhumnya beliau mengatakan apa yang beliau pegang itu mempunyai dalil yang shahih dan sharih. Lantas dimanakah gerangan dalil itu ? Apapun perkataan beliau (Ustadz Murad) dalam hal ini, maka itu adalah haknya untuk mengatakannya.

Namun, mari kita cermati atsar sebagai berikut :

حدثنا يزيد بن هارون قال أنا ابن عون عن إبراهيم قال كانوا لا يرون يصوم عرفة بأسا إلا أن يتخوفوا أن يكون يوم الذبح

Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Ibnu ‘Aun, dari Ibraahiim (An-Nakha’iy), ia berkata : “Mereka berpendapat tidak mengapa berpuasa ‘Arafah, kecuali mereka khawatir hari itu adalah hari penyembelihan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah; shahih].

"Mereka" di sini adalah sebagian shahabat dan tabi’in, karena Ibraahiim adalah seorang tabi’iy. Sisi pendalilannya adalah :

“Kekhawatiran itu datang dari ketidakpastian atau keraguan. Mafhumnya, kekhawatiran itu tidak terjadi bagi penduduk Makkah dan sekitarnya, karena mereka mengetahui kapan para jama’ah haji wuquf di ‘Arafah. Penduduk Makkah di kalangan salaf tidak pernah ragu kapan melakukan wuquf ‘Arafah dan puasa ‘Arafah. Kekhawatiran itu muncul bagi mereka bagi mereka yang jauh dari ‘Arafah. Misal : Penduduk ‘Iraq, Syaam, dan yang lainnya. Dan Ibraahiim sendiri adalah orang ‘Iraaq (Bashrah). Jika memang penduduk negeri masing-masing telah menetapkan hilal yang ditentukan oleh penguasa setempat – dan seandainya mereka telah sepakat menerima hal itu - , buat apa mereka ragu ? ‘Illat kekhawatiran/keraguan mereka adalah karena bertepatan dengan hari penyembelihan. Besar kemungkinan keraguan itu ada karena kekhawatiran hari itu bertepatan dengan hari dimana penduduk Makkah (dan jama’ah haji) melakukan penyembelihan, dimana khabar itu belum sampai pada mereka”.

18 November 2010 17.20
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Hadits lain yang berbicara tentang penyifatan keutamaan hari ‘Arafah :
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anha :

ما من يوم أكثر من أن يعتق الله فيه عبدا من النار من يوم عرفة وإنه ليدنو ثم يباهي بهم الملائكة فيقول ما أراد هؤلاء

“Tidak ada hari Allah membebaskan hambaNya dari api neraka seperti hari Arafah. Sesungguhnya, Dia mendekat, kemudian Dia banggakan mereka di hadapan para malaikatNya sambil berkata: Apa yang diinginkan oleh mereka?” (HR. Muslim)

Kemuliaan ini terkait dengan orang-orang sedang melaksanakan wuquf di ‘Arafah.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radliyallaahu ‘anhuma, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

ان الله عز وجل يباهي ملائكته عشية عرفة بأهل عرفة فيقول انظروا إلى عبادي آتوني شعثا غبرا

“Sesungguhnya Allah berbangga kepada para malaikat-Nya pada sore Arafah dengan orang-orang di Arafah, dan berkata: “Lihatlah keadaan hambaku, mereka mendatangiku dalam keadaan kusut dan berdebu” (HR. Ahmad 2/224).

Adakah hadits ini bisa dibawa pada pengertian ‘berbilangnya hari ‘Arafah’ sesuai dengan mathla’ masing-masing negeri ? Bahkan, hari ‘Arafah dengan kemuliaannya itu adalah hari yang satu yang terkait dengan sebab tempat sebagaimana kita lihat dalam hadits di atas.

Itu saja yang dapat saya tanggapi secara ringkas. Bagaimanapun, saya ucapkan banyak terima kasih kepada Ustadz Murad Sa’iid di Singapura yang telah bersedia mengomentari tulisan saya. Jazaahullaahu khairan.

Wallaahu a'lam bish-shawwaab.

18 November 2010 17.24
abu wafa mengatakan...
tanggapan antum ditanggapi kembali oleh ust murad said di kolom komentarnya.

21 November 2010 15.52
Anonim mengatakan...
Pak Ustaz nampaknya belum belajar Ilmu Astronomi, Fisika, dan Matematika.

Baca dulu ini:

Ada yg bilang, bulannya 1 kenapa beda tanggal.
Itu dalam konsep bulan.
Bagaimana dengan mataharinya 1.
Matahari antara 1 wilayah dengan wilayah lain kan beda-beda jam sampai hari juga beda.

26 Maret 2011 10.56
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Saya memang bukan ahli di bidang astronomi. Akan tetapi terkait dengan link yang Anda sampaikan, coba Anda cermati jawaban saya tanggal 16 November 2010 pukul 22:33 dan 17 November 2010 00:31, karena pembicaraan itu telah lewat. Dan sampai sekarang, yang bersangkutan belum memberikan tanggapannya kepada saya terkait logika geografis-astronomis yang saya sampaikan.

Baarakallaahu fiikum.

26 Maret 2011 15.51
Abu Zuhriy mengatakan...
Baarakallaahu fiik ustadz...

Mohon perkenankan ana untuk mengekspresikan kemusykilan...

----

Diatas disebutkan:

"Atsar di atas menunjukkan ru’yah hilal yang dianggap/dipakai untuk melaksanakan ibadah penyembelihan (dan semua hal yang terkait dengan haji) adalah RU'YAH HILAL penduduk MAKKAH, bukan yang lain. "

Kalaulah ru'yah hilal makkah menjadi rujukan...

Adakah dalam atsar diatas menunjukkan bahwa RASUULULLAAH memerintahkan kaum muslimiin untuk berkiblat kepada makkah?

Yang nampak dari hadits diatas, adalah RASUULULLAAH hanyalah memerintahkan penduduk mekkah mengikuti hilal yang ditetapkan amir mereka...

jika seandainya kaum muslimin diperintahkan (yaitu wajib) untuk mengikuti ru'yatul hilal makkah dalam idul adh-ha (dzulhijjah).. maka PASTILAH rasuulullaah SAAT ITU langsung bersabda: "dan wajib bagi kaum muslimin untuk mengikuti ru'yah kalian".. karena tidak boleh bagi beliau MENGAKHIRKAN PENJELASAN pada waktu yang dibutuhkan..

tapi adakah beliau dalam hadits diatas bersabda demikain?

15 Oktober 2012 08.25
Abu Zuhriy mengatakan...
lagi pula perbedaan penetapan ru'yatul hilal SUDAH ADA DIZAMAN PARA SHAHABAT... sebagaimana riwayat ibnu abbaas dalam shahiih muslim..

1. Atsar ibnu abbas tersebut ini telah menjadi landasan bagi sebagian ulama yang berpendapat bahwa penduduk suatu negeri tidak diperbolehkan mengikuti ru'yah hilal negeri yang lain.

2. SEKARANG.. adakah DALIL KHUSUS yang MEMBEDAKAN idul adh-ha dengan shaum ramadhan dan idul fithriy; yang SHAHIIH lagi SHARIIH yang memalingkan dari DALIL UMUM berikut:

“Puasa itu adalah di hari kalian (umat Islam) berpuasa, berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan berkurban/ Iedul Adha di hari KALIAN berkurban.”

[HR. at-Tirmidzi]

Seandainya kita memahami "kalian" itu adalah masyarakat sekitar (dan inilah yang dipahami ibnu abbaas).. Maka tentunya kita wajib memahami KETIGANYA SECARA SAMA.. tidak membeda-bedakan penyikapannya, kecuali ada dalil yang shariih yang mengecualikan idul adh-ha..

Rasuulullaah pun tidak bersabda: "hari berkurban adalah hari PENDUDUK MEKKAH berkurban" akan tetapi beliau menyamakannya sebagaimana shaum ramadhan dan idul fithri..

Dan demikian pula pemahaman 'aa-isyah dalam atsar masruq..

Lantas dalil SHAHIH dan SHARIIH mana yang mendukung ta'wil dengan "kecuali idhul adh-ha, maka mengikuti ru'yatul hilal makkah"

Hadits-hadits yang antum bawakan dalam artikel diatas, tidak shariih dalam memalingkan hadits shariih diatas..

3. Para shahabat MERIWAYATKAN DAN MERIWAYATKAN DAN MERIWAYATKAN.. seandainya berkiblat kepada ru'yatul hilal penduduk mekkah pada bulan dzulhijjah itu diperintahkan rasuulullaah.. maka mereka akan meriwayatkan: "sesungguhnya apabila telah mendekati bulan dzulhijjah, rasuulullah mengutus utusan beliau ke makkah untuk mengetahui hilal disana, agar kami mengikuti hilal mereka..."

namun yang sampai kepada kita hanyalah riwayat yang ini... dan itupun menurut pemahaman ibnu abbas, TIDAK WAJIB mengikuti ru'yatul hilal amirul mukminin yang ada di syam.. BAHKAN YANG SUNNAH adalah mengikuti ru'yatul hilal penduduk sekitar..

sekiranya, mengikuti hilal mekkah itu adalah biasa, tentu hal ini akan disepakati oleh Ibnu Abbaas.. karena beliau biasa melakukannya dizaman rasuulullaah..

bahkan dalam atsar diatas jelas-jelas beliau memerintahkan untuk mengikuti ru'yatul hilal penduduk masing-masing..

4. Kalaupun mu'awiyah berpemahaman bahwa idul adh-ha DIPERINTAHKAN RASUULULLAAH untuk mengikuti ru'yatul hilalnya mekkah.. mana dalil beliau mengutus utusan ke makkah untuk mengikuti ru'yatul hilal makkah?

adakah ternukil para shahabat yang berada di syam, mengikuti ru'yatul hilal mekkah? ini perkara besar, yang pasti akan sampai kepada kita riwayatnya.. sebagaimana telah sampai kepada kita atsar ibnu abbaas diatas..

5. Dan telah shahiih lagi shariih hadits:

“Adalah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam berpuasa pada (TANGGAL/HARI KE) 9 Dzulhijjah.”

(HR. Abu Dawud no. 2437 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Dawud no. 2081)

Lihat, disana shaum arafah disandarkan kepada TANGGAL/HARI ke 9-nya...

Bukankah ini secara jelas dan terang bahwa para shahabat memahami puasa arafah, tidak disandarkan secara mutlak kepada "hari arafah"-nya? tapi juga bisa dipahami berdasarkan harinya atau tanggalnya?!

15 Oktober 2012 08.25
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Singkat saja ya,.... hanya tiga point pokok saja yang saya tanggapi saat ini :

1. Tentang riwayat Husain bin Al-Haarits Al-Jadaliy.

Yang nampak bagi saya bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam ketika akan datang bulan Dzulhijjah memerintahkan amir kota Makkah untuk melihat hilal. Tentu saja ini dalam rangka pelaksanaan rangkaian ibadah haji. Waktu itu, beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam berkedudukan di Madiinah. Tentu saja dipahami bahwa perintah beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam tersebut adalah untuk beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam pakai juga.

2. Riwayat Ibnu 'Abbaas radliyallaahu 'anhu yang antum sebut tidak berkaitan dengan 'Iedul-Adlhaa. Lagi pula, ada beberapa penakwilan dari beberapa ulama bahwa atsar Ibnu 'Abbaas radliyallaahu 'anhumaa tersebut tidaklah menetapkan adanya perbedaan mathlaa'.

3. Tentang HR. Abu Dawud no. 2437, itu keliru dalam terjemahan. Begini lafadhnya :

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم تسع ذي الحجة ويوم عاشوراء وثلاثة أيام من كل شهر أول اثنين من الشهر والخميس

"Dulu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam biasa berpuasa sembilan hari pada bulan Dzulhijjah, berpuasa pada hari 'Aasyuuraa'......".

Wallaahu a'lam.

15 Oktober 2012 08.51
Abu Zuhriy mengatakan...
Lantas bagiamana memahami sabda Rasuulullaah "berpuasa/berbuka/berkurban" diatas?

Dari as-Sahmi,

“Aku mendatangi Aba Amamah, lalu beliau berkata: “Janganlah engkau mencela (mengutuk dan menghina) al-Hajjaj, karena beliau adalah penguasa bagi engkau, dan bukan penguasa bagiku.”

[Diriwayatkan oleh al-Bukhari, at-Tarikh al-Kabir, no. 83 - Maktabah Syamilah]

Aba Umamah tinggal di Syam, manakala as-Sahmi tinggal di Iraq yang mana pemimpin (wakil khalifah) di Iraq ketika itu adalah al-Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqafiy

Dan kita tahu... Dimana telah ternukil dari imam-imam bahwa kewajiban mentaati penguasa dalam penentuan DUA 'IID... sebagaimana disampaikan para imam salafush shalih?

Imam asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan berkaitan isu berbilang-bilangnya negeri, wilayah, ataupun negara Islam berkata:

وأما بعد انتشار الإسلام واتساع رقعته وتباعد أطرافه فمعلوم أنه قد صار في كل قطر أو أقطار الولاية إلى إمام أو سلطان وف يالقطر الآخر أو الأقطار كذلك ولا ينفذ لبعضهم أمر ولا نهي في قطر الآخر وأقطاره

التي رجعت إلى ولايته فلا بأس بتعدد الأئمة والسلاطين ويجب الطاعة لكل واحد منهم بعد البيعة له على أهل القطر الذي ينفذ فيه أوامره ونواهيه وكذلك صاحب القطر الآخر فإذا قام من ينازعه في القطر الذي قد ثبتت فيه ولايته وبايعه أهله كان الحكم فيه أن يقتل إذا لم يتب ولا تجب على أهل القطر الآخر طاعته ولا الدخول تحت ولايته لتباعد الأقطار فإنه قد لا يبلغ إلى ما تباعد منها خبر إمامها أو سلطانها ولا يدرى من قام منهم أو مات فالتكليف بالطاعة والحال هذه تكليف بما لا يطاق وهذا معلوم لكل من له اطلاع على أحوال العباد والبلاد فإن أهل الصين والهند لا يدرون بمن له الولاية في أرض المغرب فضلا عن أن يتمكنوا من طاعته وهكذا العكس وكذلك أهل ما وراء النهر لا يدرون بمن له الولاية في اليمين وهكذا العكس فاعرف هذا فإنه المناسب للقواعد الشرعية

والمطابق لما تدل عليه الأدلة ودع عنك ما يقال في مخالفته فإن الفرق بين ما كانت عليه الولاية الإسلامية في أول الإسلام وما هي عليه الآن

“Adapun selepas penyebaran Islam, semakin luas wilayahnya, dan jarak yang jauh di antara negeri-negerinya, maka telah diketahui bahawa setiap negeri atau beberapa negeri bergantung kepada seorang pemerintah atau sultan.

Begitu juga dengan negeri yang lain. Seseorang pemerintah itu tidak memiliki kuasa untuk mengeluarkan perintah maupun larangan selain dari negerinya atau beberapa negeri yang tunduk kepadanya.

Oleh itu, berbilang-bilang pemerintah atau sultan bagi setiap negeri masing-masing diharuskan (dibolehkan).

Setiap daripada mereka wajib ditaati selepas bai’ah yang diberikan oleh penduduk negeri tersebut dan ia berhak mengeluarkan perintah dan larangan. Begitulah juga dengan pemerintah bagi negeri yang lain.

Apabila terdapat segolongan pihak yang mencoba merampas kekuasaan daripada seseorang pemerintah yang telah memiliki kedaulatan (yang sah) dan juga diberi bai’ah (kepercayaan) oleh penduduknya, maka pada ketika itu, hukuman kepada golongan tersebut ialah dibunuh jika ia tidak bertaubat.

Penduduk negeri yang lain tidak wajib mentaatinya, atau pun berlindung di negaranya kerana kedudukan yang jauh antara negeri.

Penduduk seperti ini tidak sampai kepada hal-ehwal pemerintah atau pun sultan mereka, dan mereka tidak mengetahui siapa yang masih hidup atau yang sudah mati daripada pemerintah mereka.

Kewajiban untuk taat dalam keadaan ini merupakan satu kewajiban yang tidak terdaya untuk ditanggung. Perkara ini sedia dimaklumi oleh mereka yang arif dalam bidang pentadbiran rakyat dan negara.

Maka ketahuilah kamu tentang perkara ini, kerana ia amat sesuai dengan kaedah syara’. Dan bertepatan dengan yang telah ada.

Pendapat yang menyelisihinya tidak perlu dihiraukan kaena memang terdapat perbedaan yang sangat jelas di antara negeri-negeri Islam diawal Islam dengan yang ada sekarang.”

(asy-Syaukani, as-Sailul Jarrar al-Mutadafiq ‘Ala Hada’iqil Azhar, 1/941)

15 Oktober 2012 09.19
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Pendalilan antum tidak nyambung. Adakah di antara dalil yang antum sebut berbicara tentang puasa 'Arafah ?.

Seandainya inti yang antum tekankan adalah 'ketaatan terhadap penguasa', bukankah antum juga tahu itu tidak bersifat mutlak. Ia tetap dibatasi dengan kalimat : 'dalam hal yang ma'ruuf'. Maknanya : yang sesuai dengan kebenaran.

Jadi, jika perkaranya adalah :

"Apakah puasa 'Arafah itu diputuskan sesuai dengan keputusan penguasa negeri setempat, ataukah berdasarkan waktu wuquf di 'Arafah ?".

Inilah yang dibahas.

Adapun misalnya ada yang berhujjah bahwa tidak mungkin kaum muslimin di segala penjuru negeri Islam berpuasa 'Arafah dalam waktu yang bersamaan; maka itu merupakan 'udzur. 'Udzur karena sikon waktu itu yang tidak memungkinkan untuk melakukan transfer informasi yang cepat seperti saat sekarang, sehingga masing-masing mereka berijtihad dengan ru'yah mereka masing-masing di setiap negeri.

wallaahu a'lam.

16 Oktober 2012 22.43
Anonim mengatakan...
Mohon jawabannya ustadz, karena sedikit bingnug :
1. Dalam menentukan bulan menggunakan ru'yatul hilal dari siapa? dari amir masing2 negri atau mekah ? atau cuma dzulijjah aja yang disesuaikan mekah atau gimana ?
2. Seandainya kita duluan dzulhijjahnya maka akan ada jarak 1 hari kosong ini bagaimana ? apa puasa 9 hari kemudian untuk arafahnya ikut mekah ?
Jazakallahu khairan
Abul Hasan

17 Oktober 2012 07.52
Muhammad al Umari mengatakan...
bismiLlah, afwan ustadz tanya. bagaimana bila ada orang yang berencana menyengaja untuk wuquf setelah matahari terbenam (jadi siangnya tidak wuquf) apakah dia jg disunnahkan tidak berpuasa ataukah berpuasa? mohon ifadah dan nukilan bila ada. jazakumullohu khoiro

25 Juli 2013 04.24
Anonim mengatakan...
Pemahaman ini benar dan berlaku bagi kaum muslimin yang berada di Mekkah dan sekitarnya yang tidak melaksanakan ibadah haji.

Sedangkan kaum muslimin yang berada di daerah yang jauh dari Mekkah, maka pendapat yang lebih kuat adalah melaksanakan puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut rukyah hilal yang mereka lakukan di negeri mereka.

1.      Sejarah

Puasa Arafah disyariatkan pada tahun kedua —ada juga riwayat yang menyebutkan tahun pertama— setelah hijrah bersamaan dengan disyariatkannya shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Adapun wukuf di Arafah sebagai bagian dari manasik haji, disyariatkan pada tahun keenam setelah hijrah.

2.      Tiga Nama Puasa Arafah.

a. Puasa Tis’a Dzuhijjah.

Salah seorang istri Nabi saw. menyampaikan, “Rasulullah saw. biasa melaksanakan puasa pada hari kesembilan Dzulhijjah, hari ‘Asyura, dan tiga hari setiap.”

b. Puasa Al-’Asyru

“Empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw.: puasa ‘Asyura, puasa al-asyru.

3. Fatwa Para Ulama

a. Ibnu Taimiyyah berkata, “Hendaknya orang-orang melaksanakan puasa pada tanggal sembilan Dzulhijjah menurut kaum muslimin, meskipun sebenarnya itu adalah tanggal sepuluh Dzulhijjah.”

b. Ibnu Taimiyyah juga mengatakan, “Puasa pada hari yang diragukan, apakah itu tanggal sembilan ataukah sepuluh Dzulhijjah, tanpa diperselisihkan oleh para ulama adalah sah.”

c. Ketika Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya tentang puasa Arafah, apakah dilaksanakan berdasarkan rukyah di negeri tempat seseorang tinggal, ataukah rukyah di tanah haram, beliau menjawab —yang ringkasnya—hendaklah puasa dilaksanakan berdasarkan rukyah di negeri tempat seseorang tinggal."

Bahwa Ummu Fadhl telah mengutus dia (Kuraib) kepada Muawiyah di Sam. Dia (Kuraib) berkata: "Maka aku tiba di Syam dan menyesaikan kebutuhan Ummu Fadhl. Ramadhan tiba dan saya ada di Syam. Saya melihat hilal malam Jumat. Kemudian saya tiba di Madinah pada akhir bulan Ramadhan, lalu Ibnu Abbas bertanya kepadaku, lalu dia menyebut persoalan hilal. Dia bertanya, ‘Kapan kamu melihat hilal?’ Saya jawab, ‘Kami melihatnya malam Jumat.’ Dia bertanya,’Kamu melihatnya sendiri?’. Saya jawab,’Ya. Orang-orang juga melihatnya lalu mereka berpuasa dan berpuasa juga Muawiyah.’ Ibnu Abbas berkata,’Tapi kami melihatnya malam Sabtu. Maka kami tetap berpuasa hingga kami sempurnakan 30 hari atau hingga kami melihat hilal.’ Saya berkata,’Tidakkah kita mencukupkan diri dengan rukyat dan puasanya Muawiyah?’ Ibnu Abbas menjawab,’Tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kita.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ketika ditanya: “Apabila hari Arafah berbeda karena perbedaan masing-masing wilayah di dalam mathla’ (tempat terbit) hilal, maka apakah kita berpuasa mengikuti ru’yah negeri tempat kita berada ataukah kita berpuasa mengikuti ru’yah al-Haramain (Makkah dan Madinah)? Beliau pun menjawab: Perkara ini dibangun di atas ikhtilaf para ulama, apakah hilal itu satu saja untuk seluruh dunia atau berbeda sesuai mathla’nya (tempat terbit bulan). Dan yang benar bahwa penampakan hilal berbeda sesuai dengan perbedaan mathla’.

“Jika kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka berbukalah”

Bagi orang-orang yang hilal itu tidak nampak dari arah (daerah) mereka berarti mereka tidaklah melihat hilal tersebut. Begitu juga manusia telah sepakat bahwa mereka menganggap terbitnya fajar dan terbenamnya matahari pada setiap wilayah disesuaikan dengan wilayah masing-masing. Maka demikian pulalah penetapan waktu bulan seperti penetapan waktu harian. Demikianlah fatwa dari Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.

Sebagai informasi tambahan, ada beberapa mahasiswa Indonesia di Makkah bertanya kepada Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi, Mufti Kerajaan Saudi Arabia Bagian Selatan tentang permasalahan ini, maka beliau menjawab bahwa puasa Arafah adalah dengan mengikuti ru’yah negerinya.

30 September 2014 22.14
Anonim mengatakan...
Ketika Nabi SAW puasa tgl 9 dzulhijjah belum ada umat Islam yg wuquf di Arafah. Sebab ibadah haji baru terlaksana di tahun ke-10 hijriyah (baca : Zaadul maad II : 101, Manarul qari III : 64).

Sedangkan puasa 9 dzulhijjah sudah disyariatkan sejak tahun ke-2 hijriyah jauh sebelum wukuf haji disyariatkan (baca : shubhul a'sya II : 444, Bulughul Amani Juz VI : 119, Subulus salam I : 60).

Jelas, penamaan shaum Arafah bukan karena fi'lun (wukuf di Arafah dalam ibadah haji).

Dan istilah “Arafah” hanya sekedar mim bab Taghlib (penggunaan istilah untuk sesuatu yg biasa atau banyak dipakai) dan Arafah adalah ismul yaum (nama hari) ke 9 (tis'a) dibulan dzulhijah.

Sudah sangat jelas dan terang benderang penjelasannya tanpa keraguan sedikitpun.

3 Oktober 2014 23.36
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wuquf 'Arafah itu merupakan syari'at manasik yang telah ada semenjak jaman Nabi Ibraahiim 'alaihis-salaam. Ibnu Katsiir rahimahullah pernah berkata saat menjelaskan QS. Al-Baqarah : 197:

وقال عبد الله بن وهب : قال مالك : قال الله تعالى : ( ولا جدال في الحج ) فالجدال في الحج والله أعلم أن قريشا كانت تقف عند المشعر الحرام بالمزدلفة ، وكانت العرب ، وغيرهم يقفون بعرفة ، وكانوا يتجادلون ، يقول هؤلاء : نحن أصوب . ويقول هؤلاء : نحن أصوب . فهذا فيما نرى ، والله أعلم .
وقال ابن وهب ، عن عبد الرحمن بن زيد بن أسلم : كانوا يقفون مواقف مختلفة يتجادلون ، كلهم يدعي أن موقفه موقف إبراهيم فقطعه الله حين أعلم نبيه بالمناسك .

Orang-orang Quraisy wuquf di Muzdalifah, sedangkan orang-orang Arab dan yang lainnya wuquf di 'Arafah. Mereka berbantah-bantahan. Semua mengklaim paling benar dalam manasiknya dan mengikuti manasik Ibraahiim 'alaihis-salaam. Maka kemudian Allah lah yang memutuskan dengan mengutus Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kepada mereka manasik haji yang benar.

Dan sebagaimana diketahui, wuquf beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam di 'Arafah.

Intinya,....... hari 'Arafah dengan penyandaran pada wuquf di 'Arafah itu sudah ada semenjak sebelum haji wada', dan merupakan bagian dari syari'at manasik Nabi Ibraahiim 'alaihis-salaam.

عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: " اعْلَمُوا أَنَّ عَرَفَةَ كُلَّهَا مَوْقِفٌ إِلَّا بَطْنَ عُرَنَةَ، وَأَنَّ الْمُزْدَلِفَةَ كُلَّهَا مَوْقِفٌ، إِلَّا بَطْنَ مُحَسِّرٍ ". قَالَ مَالِك: قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ، قَالَ: فَالرَّفَثُ إِصَابَةُ النِّسَاءِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ، قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ، قَالَ: وَالْفُسُوقُ الذَّبْحُ لِلْأَنْصَابِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ، قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ، قَالَ: وَالْجِدَالُ فِي الْحَجِّ أَنَّ قُرَيْشًا كَانَتْ تَقِفُ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ، بِالْمُزْدَلِفَةِ، بِقُزَحَ وَكَانَتْ الْعَرَبُ وَغَيْرُهُمْ يَقِفُونَ بِعَرَفَةَ، فَكَانُوا يَتَجَادَلُونَ، يَقُولُ هَؤُلَاءِ: نَحْنُ أَصْوَبُ، وَيَقُولُ هَؤُلَاءِ: نَحْنُ أَصْوَبُ، فَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى: لِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا هُمْ نَاسِكُوهُ فَلا يُنَازِعُنَّكَ فِي الأَمْرِ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ إِنَّكَ لَعَلَى هُدًى مُسْتَقِيمٍ، فَهَذَا الْجِدَالُ فِيمَا نُرَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ، وَقَدْ سَمِعْتُ ذَلِكَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ

Diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa.

aya mendapatkan kutipan tulisan dari Syaikh Muhammad Khaliil Harraas tentang ibadah haji berikut :

"Allah Azza wa Jalla telah memperlihatkan manasik-manasik haji dan syi’ar-syi’arnya kepada Ibrâhîm Alaihissallam dan putranya, yaitu Ismâ’îl Alaihissallam. Maka manasik-manasik itu akan tetap ada sepeninggal keduanya kepada anak keturunannya yaitu berhaji ke Baitullah dan melakukan thawâf di situ, wukûf di ‘Arafah dan Muzdalifah, serta melaksanakan sa’i antara Shafa dan Marwa"

[selesai kutipan].

Syariat Ibadah Haji

Dari tulisan tersebut dijelaskan bahwa wuquf di 'Arafah merupakan bagian dari manasik haji Nabi Ibraahiim 'alaihis-salaam.

Oleh karena itu, penyandaran hari 'Arafah pada wuqufnya jama'ah haji di 'Arafah adalah benar.

Tentang nama puasa 'Arafah, maka terjemahan yang benar bukan puasa tanggal 9 Dzulhijjah atau puasa tanggal 10 Dzulhijjah, akan tetapi puasa 9 hari awal bulan Dzulhijjah atau puasa 10 hari awal bulan Dzulhijjah. Maka, hadits ini tidak relevan jika dikaitkan dengan puasa 'Aasyuuraa'. Tidak nyambung. Lagi pula, hadits ini lemah. Silakan baca artikel : Hadits Puasa 9 Hari Awal Bulan Dzulhijjah.

4 Oktober 2014 03.21
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Kemudian ditinjau dari bahasa. Puasa 'Arafah itu kan diambil dari Shaumi yaumi 'Arafah (puasa hari 'Arafah). 'Arafah itu jelas nama tempat. Asy-Syaikh Sulaimaan bin 'Abdillah Al-Maajid hafidhahullah berkata:

والقاعدة الأصولية أنه يتعين البقاء على الظاهر من دلالة الاسم ؛ حتى يدل دليل على العدول عنه.

"Kaedah ushuliyyah dimaknai secara dhaahir dari penunjukan namanya hingga ada dalil yang memalingkan dari makna dhahir tersebut".

Dan dalam hal ini tidak ada. Hal yang menguatkan statement itu justru ada pada teks haditsnya sendiri, yaitu:


صوم يوم عرفة يكفر سنتين ماضية ومستقبلة وصوم يوم عاشوراء يكفر سنة ماضية

"Puasa hari 'Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun yang telah lepas dan akandatang, dan puasa 'Aasyuuraa' (tanggal 10 Muharram) menghapuskan dosa setahun yang lepas".

Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam saat menyebut puasa 10 Muharram disebutkan dengan lafadh : 'Aasyuuraa'. Namun ketika menyebutkan puasa 'Arafah, tetap dengan lafadh 'shaumi yaumi 'Arafah'. Ini menunjukkan bahwa puasa 'Arafah tidak semata-mata dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijjah tanpa ada keterkaitannya dengan 'Arafah itu sendiri. Seandainya hari 'Arafah itu memang hanya dipertimbangkan dilakukan tanggal 9 Dzulhijjah, niscaya penyebutannya menggunakan lafadh yang semisal dengan 'Asyuuraa' (yaitu : Tasuu'aa'). Fatwa Asy-Syaikh Sulaimaan Al-Maajid tersebut dapat dibaca di sini : إذا اختلف إعلان عيد الأضحى بلد ما عن رؤية بلد المشاعر تقديما أو تأخيرا فكيف يكون صوم عرفة؟.

Ratusan tahun yang lalu, Ibnul-'Arabiy Al-Maalikiy rahimahullah saat menjelaskan QS. Al-Baqarah ayat 203 berkata:

وأن سائر أهل الآفاق تبع للحاج فيها

"Dan bahwasannya seluruh penduduk negeri (di dunia) mengikuti jama'ah haji dalam hal tersebut (termasuk puasa 'Arafah)" [Ahkaamul-Qur'aan, 1/143].

Selain itu, beberapa ulama kontemporer juga telah memfatwakan semisal. Silakan baca : Fatwa Lajnah Daaimah, Asy-Syaikh Al-'Ubailan, dan Asy-Syaikh Muhammad Al-Maghrawiy tentang Puasa 'Arafah.

Wallaahu a'lam.

4 Oktober 2014 03.37
Abu Umar mengatakan...
mohon ditanggapi pendapat yg mengatakan kelebihan puasa arafah adalah dhaif, seperti yg ada dalam artikel di bawah. terima kasih.


4 Oktober 2014 09.01


Bersambung..........Insya Allah