Sunday, August 2, 2015

Waktu Puasa Arafah Ketika kaum Muslimin Wukuf Di Arafah ! Bukan Masalah Khilafiyah dan Bermudah-Mudahan dalam Mengamalkan Syariat Islam ! ( 2 )


Tanya : Tanggal 9 Dzulhijjah telah lewat beberapa hari yang lalu, namun bagi saya masih menyisakan sedikit ganjalan karena ada perbedaan dalam hal pelaksanaan puasa hari ‘Arafah. Jika menurut Saudi, hari ‘Arafah jatuh tanggal 3 Oktober 2014. Menurut Indonesia, tanggal 4 Oktober 2014; sedangkan negara India, Pakistan, dan Bangladesh tanggal 5 Oktober 2014. Manakah yang valid dalam hal ini menurut tinjauan nash ?. Terima kasih.

Jawab : Apa yang Anda tanyakan memang menjadi bahasan para ulama dan mereka telah berselisih pendapat dalam hal ini – yang saya yakin Anda pun mengetahuinya. Namun demikian, sebagaimana telah dua kali dituliskankan dalam Blog ini[1], saya condong pada pendapat yang menyatakan hari ‘Arafah adalah hari yang di dalamnya terdapat peristiwa wuquf di ‘Arafah. Dalilnya antara lain adalah:
Pertama
أَخْبَرَنَا الْحَسَنُ بْنُ سُفْيَانَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ جَبَلَةَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَرْوَانَ الْعُقَيْلِيُّ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ هُوَ الدَّسْتُوَائِيُّ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا مِنْ أَيَّامٍ أَفْضَلُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ أَيَّامِ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ "، قَالَ: فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هُنَّ أَفْضَلُ أَمْ عِدَّتُهُنَّ جِهَادًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟، قَالَ: " هُنَّ أَفْضَلُ مِنْ عِدَّتِهِنَّ جِهَادًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَا مِنْ يوْمٍ أَفْضَلُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ يوْمِ عَرَفَةَ يَنْزِلُ اللَّهُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيُبَاهِي بِأَهْلِ الأَرْضِ أَهْلَ السَّمَاءِ، فَيَقُولُ: انْظُرُوا إِلَى عِبَادِي شُعْثًا غُبْرًا ضَاحِينَ جَاءُوا مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ يَرْجُونَ رَحْمَتِي، وَلَمْ يَرَوْا عَذَابِي، فَلَمْ يُرَ يَوْمٌ أَكْثَرُ عِتْقًا مِنَ النَّارِ مِنْ يوْمِ عَرَفَةَ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Hasan bin Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Amru bin Jabalah : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Marwaan Al-‘Uqailiy : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam Ad-Dustuwaa’iy, dari Abuz-Zubair, dari Jaabir, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak ada hari-hari yang lebih utama di sisi Allah daripada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah”. Seorang laki-laki berkata : “Wahai Rasulullah, mana yang lebih utama, sepuluh hari tersebut ataukan berjihad di jalan Allah selama sepuluh hari ?”. Beliau shallallahau ‘alaihi wa sallam menjawab : “Sepuluh hari tersebut lebih utama dibandingkan berjihad selama sepuluh hari. Tidak ada hari yang lebih utama di sisi Allah daripada hari ‘Arafah. (Pada hari tersebut), Allah turun ke langit dunia seraya berbangga-bangga dengan penduduk bumi di hadapan penduduk langit. Allah berfirman : ‘Lihatlah kepada para hamba-hamba-Ku yang keadaannya kusut, berdebu, dan berkurban datang dari segala penjuru negeri mengharapkan rahmat-Ku dan tidak melihat adzab-Ku. Tidaklah nampak hari yang lebih banyak dibebaskan dari neraka daripada hari ‘Arafah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 3853; dishahihkan oleh Al-Arna'uth dalam Tahqiq dan Takhrij-nya terhadap Shahiih Ibni Hibbaan, 9/164].
حَدَّثَنَا أَزْهَرُ بْنُ الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا الْمُثَنَّى يَعْنِي ابْنَ سَعِيدٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بَابَا، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ: " إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِي مَلَائِكَتَهُ عَشِيَّةَ عَرَفَةَ بِأَهْلِ عَرَفَةَ، فَيَقُولُ: انْظُرُوا إِلَى عِبَادِي، أَتَوْنِي شُعْثًا غُبْرًا "
Telah menceritakan kepada kami Az-har bin Al-Qaasim : Telah menceritakan kepada kami Al-Mutsannaa bin Sa’iid, dari Qataadah, dari ‘Abdullah bin Baabaa, dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla berbangga-bangga kepada para malaikat-Nya pada sore hari ‘Arafah dengan orang-orang di Arafah, dan berfirman : ‘Lihatlah keadaan hambaku, mereka mendatangiku dalam keadaan kusut dan berdebu” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 2/224; Al-Arna’uth dkk. dalam Tahqiq dan Takhrij-nya terhadap Musnad Al-Imaam Ahmad 11/660 berkata : “Sanadnya tidak mengapa”].
Faedah:
1.     Hari ‘Arafah adalah hari yang spesifik.
2.     Hari ‘Arafah adalah hari yang mempunyai keutamaan sangat besar.
3.     Hari ‘Arafah adalah hari yang Allah paling banyak membebaskan hamba-Nya dari neraka.
4.     Pada hari ‘Arafah, Allah turun ke langit dunia.
5.     Pada hari ‘Arafah, Allah berbangga-bangga dengan para jama’ah haji yang berkumpul di ‘Arafah kepada penduduk langit (para malaikat).
Hadits di atas adalah dalil yang paling jelas menunjukkan hari ‘Arafah adalah hari yang di dalamnya ada peristiwa wuqufnya jama’ah haji di ‘Arafah. Seandainya kita menetapkan hari ‘Arafah sehari lebih lambat atau sehari lebih cepat dari pelaksanaan wuquf di ‘Arafah, apakah keutamaan yang disebutkan dalam hadits di atas ada/terjadi ?.
Kedua
Secara bahasa, puasa hari ‘Arafah adalah terkait dengan ‘Arafah itu sendiri[2], yaitu nama satu tempat yang digunakan jama’ah haji untuk wuquf. Ibnu Qudaamahrahimahullah berkata:
فَأَمَّا يَوْمُ عَرَفَةَ : فَهُوَ الْيَوْمُ التَّاسِعُ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ ، سُمِّيَ بِذَلِكَ ، لِأَنَّ الْوُقُوفَ بِعَرَفَةَ فِيهِ .
وَقِيلَ : سُمِّيَ يَوْمَ عَرَفَةَ ، لِأَنَّ إبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ أُرِيَ فِي الْمَنَامِ لَيْلَةَ التَّرْوِيَةِ أَنَّهُ يُؤْمَرُ بِذَبْحِ ابْنِهِ ، فَأَصْبَحَ يَوْمَهُ يَتَرَوَّى ، هَلْ هَذَا مِنْ اللَّهِ أَوْ حُلْمٌ ؟ فَسُمِّيَ يَوْمَ التَّرْوِيَةِ ، فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الثَّانِيَةُ رَآهُ أَيْضًا فَأَصْبَحَ يَوْمَ عَرَفَةَ ، فَعَرَفَ أَنَّهُ مِنْ اللَّهِ ، فَسُمِّيَ يَوْمَ عَرَفَةَ .
“Adapun hari ‘Arafah, ia adalah hari kesembilan bulan Dzulhijjah. Dinamakan demikian karena wuquf di ‘Arafah dilakukan pada hari itu. Dikatakan : Dinamakan hari ‘Arafah karena Ibraahiim ‘alaihis-salaam diperlihatkan dalam mimpinya pada malam hari tarwiyyah bahwasannya ia diperintahkan untuk menyembelih anaknya (Ismaa’iil). Pada pagi harinnya ia merenung, apakah ini berasal dari Allah ataukah sekedar mimpi saja ?. Maka hari itu dinamakan hari tarwiyyah. Ketika tiba malam kedua, ia bermimpi hal yang sama dan bangun pada pagi harinya di hari ‘Arafah, lalu ia pun mengetahui bahwa perintah tersebut berasal dari Allah. Lalu dinamakanlah hari itu hari ‘Arafah” [Al-Mughniy, 3/112].
Ibnu Qudaamah rahimahullah menyebutkan sebab penamaan hari ‘Arafah karena wuquf di ‘Arafah dilakukan pada hari itu sebagai yang pertama. Baru kemudian ia menyebutkan pendapat kedua dengan shighah : qiilaa (dikatakan)”. Ini menunjukkan pendapat pertama yang ia sebutkan merupakan pendapat yang lebih masyhur dibandingkan kedua. Dan inilah yang lebih sesuai dengan dalil yang disebutkan di awal.
Oleh karena itu, puasa ‘Arafah adalah puasa yang dilakukan pada hari ‘Arafah yang di dalamnya ada peristiwa wuqufnya jama’ah haji di ‘Arafah, dan itu mesti berkesesuaian dengan penetapan yang dilakukan penguasa Makkah[3]. Itulah yang lebih sesuai dengan teks nash.
إذا ورد الأثر بطل النظر
“Apabila telah tetap nash, batallah segala pendapat”.
Jika ada yang menyanggah bahwa tidak mungkin kaum muslimin di segala penjuru negeri Islam di jaman dahulu berpuasa 'Arafah dalam waktu yang bersamaan sesuai dengan penduduk Makkah[4]; maka itu merupakan 'udzur. 'Udzur karena sikon waktu itu yang tidak memungkinkan untuk melakukan transfer informasi yang cepat seperti saat sekarang, sehingga masing-masing mereka berijtihad dengan ru'yah mereka masing-masing di setiap negeri. Atau ringkasnya, yang tahu mengikuti, yang tidak tahu berijtihad. Maka, kalau sekarang kita mengqiyaskan dengan jaman dulu, ini namanya qiyas dengan sesuatu yang berbeda.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – 17 Dzulhijjah 1435].


[2]     Asy-Syaikh Sulaimaan bin 'Abdillah Al-Maajid hafidhahullah berkata:
والقاعدة الأصولية أنه يتعين البقاء على الظاهر من دلالة الاسم ؛ حتى يدل دليل على العدول عنه
"Kaedah ushuliyyah dimaknai secara dhaahir dari penunjukan namanya hingga ada dalil yang memalingkan dari makna dhahir tersebut".
Dan dalam hal ini tidak ada. Hal yang menguatkan statement itu justru ada pada teks haditsnya sendiri, yaitu:
صوم يوم عرفة يكفر سنتين ماضية ومستقبلة وصوم يوم عاشوراء يكفر سنة ماضية
"Puasa hari 'Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun yang telah lepas dan akandatang, dan puasa 'Aasyuuraa' (tanggal 10 Muharram) menghapuskan dosa setahun yang lepas".
Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam saat menyebut puasa 10 Muharram disebutkan dengan lafadh : 'Aasyuuraa'. Namun ketika menyebutkan puasa 'Arafah, tetap dengan lafadh 'shaumi yaumi 'Arafah'. Ini menunjukkan bahwa puasa 'Arafah tidak semata-mata dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijjah tanpa ada keterkaitannya dengan 'Arafah itu sendiri. Seandainya hari 'Arafah itu memang hanya dipertimbangkan dilakukan tanggal 9 Dzulhijjah tanpa ada keterkaitan dengan ‘Arafah, niscaya penyebutannya menggunakan lafadh yang semisal dengan 'Asyuuraa' (yaitu : Tasuu'aa'). Fatwa Asy-Syaikh Sulaimaan Al-Maajid dapat dibaca di sini : إذا اختلف إعلان عيد الأضحى بلد ما عن رؤية بلد المشاعر تقديما أو تأخيرا فكيف يكون صوم عرفة؟.
[3]      Dalam hal ini adalah Pemerintah Saudi Arabia.
[4]      Sehingga kemudian mereka berpuasa sesuai dengan ru’yah hilal masing-masing negeri.

COMMENTS
Anonim mengatakan...
Assalamualaikum Ustaz, sudah lama saya menunggu post baru ustaz..akhirnya...persoalan saya ustaz bagaimana kalau hari wukuf jatuh pada hari raya di negara kita, bagaimana ingin kita berpuasa?
Anonim mengatakan...
afwan syaikh,..
mengenai bab aqidah yg menyatakan taat pemerintah dlm hal hari ied, jum'at, dll, bagaimana? Ied ini bukankan termasuk Iedul adh-ha?

Anonim mengatakan...
assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
apakah dengan demikian, apapun hasil keputusan pemerintah setempat khusus berkaitan dengan awal Dzulhijjah menjadi tidak berlaku jika berbeda dengan perhitungan awal Dzulhijjag di Makkah? Karena akan selalu mengacu pada ditetapkannya tanggal 9 Dzulhijjah di Arafah? (kecuali di tempatnya sama sekali tidak ada akses internet, TV dan sarana komunikasi lainnya yang menginformasikan kejadian aktual prosesi Haji di Mekkah)?
Mohon penjelasan lebih lanjut.
Syukron jazakallahu khairan

Anonim mengatakan...
Tahun 1995 telpon neng Arab Saudi


http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/11/fatwa-lajnah-daaimah-asy-syaikh-al.html

Tanya :
“Apakah kami boleh berpuasa dua hari di negeri kami sini selama dua hari, yaitu untuk puasa ‘Arafah ? karena kami mendengar di radio bahwa hari ‘Arafah esok (di Saudi) bertepatan dengan tanggal delapan Dzulhijjah di sini”.

Jawab :
Hari ‘Arafah adalah hari dimana orang-orang melakukan wuquf di ‘Arafah. Dan puasa di hari tersebut disyari’atkan bagi selain orang yang menunaikan ibadah haji. Apabila engkau ingin berpuasa, maka berpuasalah pada hari ini. Jika engkau ingin berpuasasehari sebelumnya, maka tidak mengapa. Dan jika engkau ingin sembilan hari dari awal bulan Dzulhijjah, maka itu baik, karena hari-hari itu merupakan hari-hari yang mulia yang dianjurkan untuk berpuasa berdasakan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :‘Tidak ada hari yang amal shalih dilakukan padanya lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari sepuluh ini (di bulan Dzulhijjah)’. Dikatakan : ‘Wahai Rasulullah, tidak pula jihad di jalan Allah ?’. Beliau menjawab : ‘Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali seorang laki-laki yang keluar dengan diri dan hartanya, kemudian tidak kembali sesuatupun darinya (yaitu, orang tersebut mati syahid)’. Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy.
Wabillaahit-taufiiq, wa shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammadin wa aalihi wa shahbihi wa sallam.[1]
[Fatwa Lajnah Daaimah 10/393, ketua : ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah bin Baaz, anggota : ‘Abdullah bin Ghudayaan - http://dean4me.com/play-130.html].
Tanya :
“Pemerintah kami di Libya telah mengumumkan hari Rabu adalah hari ‘Arafah dan hari Kamis adalah ‘Iedul-Adlhaa; yang menyelisihi apa yang telah ditetapkan Kerajaan Saudi ‘Arabia bahwa hari ‘Arafah dan wukufnya jama’ah haji jatuh pada hari Kamis. Maka, apa hukum mengenai hal itu ?”.
Jawab :
“Alhamdulillah, wash-shalaatu ‘alaa rasuuliullah, wa ba’d :
Allah ta’ala telah berfirman : “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah : "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung” (QS. Al-Baqarah : 189). Dan mengenai ibadah haji, sebagaimana disabdakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Haji itu ‘Arafah”. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ahlus-Sunan dengan sanad shahih.
Maka wajib bagi semua negeri kaum muslimin yang mengetahuinya untuk membatasinya dengan ru’yah negeri yang dituju orang-orang untuk ibadah haji, yaitu negeri Al-Haramain yang mulia.
Dan karenanya, tidak boleh bagi kalian untuk mentaati pemerintah kalian yang menjadikan ‘Ied jatuh pada hari Kamis. Dan barangsiapa yang menyembelih pada hari Kamis, maka sembelihannya itu tidak terjadi pada posisi/tempat yang syar’iy. Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang orang yang menyembelih sebelum shalat ‘Ied : ‘Kambingmu itu adalah kambing yang disembelih untuk dimakan dagingnya saja (bukan kambing sembelihan kurban)’. Beliau ‘alaihish-shalaatu was-salaambersabda : ‘Tidak ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah’. Permasalahan ini bukan seperti perselisihan dalam ru’yah hilal Ramadlaan atau Syawaal, karena puasa dan berbuka dimungkinkan untuk dilakukan di negeri manapun. Adapun hari ‘Arafah dan ‘Iedul-Adlhaa, sudah seharusnya orang-orang untuk bersatu, meskipun hanya satu bagian di waktu siang, berdasarkan ayat-ayat dan hadits.Wallaahu a’lam.
[Fatwa dari Asy-Syaikh Al-‘Ubailaan hafidhahullah -http://kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?p=97989].
Tanya :
“Fadliilatusy-Syaikh, apakah kami boleh berpuasa ‘Arafah berdasarkan waktu setempat/lokal ataukah kami mesti mengikuti waktu Saudi, yaitu hari kedelapan Dzulhijjah jika berdasarkan waktu setempat/lokal ? Jazaakumullaahu khairan.
Jawab :
‘Arafah adalah nama gunung dimana para jama’ah haji melakukan melakukan wuquf pada hari kesembilan bulan Dzulhijjah. Ia (hari ‘Arafah) merupakan hari yang satu lagi tidak berbilang. Maka, puasa yang bersamaan dengan wuqufnya jama’ah haji adalah puasa yang benar. Adapun selain itu, aku tidak mengetahui sumbernya dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah”
[Fatwa dari Asy-Syaikh Dr. Muhammad Al-Maghrawiy hafidhahullah -http://www.darcoran.org/?taraf=fatawi&file=displayfatawi&id=119]
Baca juga artikel kami : Puasa ‘Arafah.

[1]      Perhatikan uslub Lajnah dalam menjawab pertanyaan. Mereka menyandarkan bahwa hari ‘Arafah adalah hari dimana orang-orang melaksanakan wuquf di ‘Arafah, dan puasa pada waktu tersebut disyari’atkan bagi orang yang tidak melakukan haji. Kemudian Lajnah berfatwa kepada Penanya bahwa jika si Penanya ingin berpuasa dua hari, maka ia berpuasa pada hari ‘Arafah yang sesuai dengan pelaksanaan wuquf di ‘Arafah yang bertepatan tanggal 8 Dzulhijjah di daerah si Penanya, dan juga hari sebelumnya. Artinya, Lajnah tidak menyarankan si Penanya berpuasa di hari setelahnya, meskipun hari itu bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah menurut daerah si Penanya.
COMMENTS
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
'Iedul-Adlhaa ikut Saudi, sehingga tidak ada kekosongan hari. Wallaahu ta'ala a'lam.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Jika orang yang menyelenggarakan shalat 'Ied pada hari Selasa tidak ada, atau ada namun dikhawatirkan menimbulkan fitnah, maka tidak mengapa ikut shalat 'Ied di hari Rabu. Wallaahu a'lam.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumus-salaam.
Silakan saja bagi antum jika memang fatwa Syaikh Ibnu 'Utsaimin - menurut antum - lebih kuat untuk diikuti. Ini adalah khilaf mu'tabar di kalangan ulama yang tidak selayaknya menjadikan kita bertikai antara satu dengan yang lainnya. Dan saya rasa, pertanyaan yang antum sampaikan itu bukanlah pertanyaan, namun tidak lebih sebagai salah satu alasan antum untuk mengambil perajihan yang telah antum pilih.
Adapun komentar saya : Mengikuti jama'ah haji adalah asal hukum, dan hukum ini dilaksanakan sesuai dengan kesanggupan. Bagi yang tidak mendengar atau tidak sampai kepadanya informasi tentang wuquf 'Arafah, maka diperbolehkan baginya untuk berijtihad dengan ru'yah hilal yang nampak baginya. Begitu pula dengan negeri-negeri yang beda 12 jam dengan Saudi. Jika memang negeri tersebut tidak pernah bersama waktu siangnya dengan Saudi, bukankah negeri itu bisa masih bersama waktu malamnya dengan Saudi. Karena, tidak ada negara di dunia ini yang akan berbeda waktu selama lebih dari 12 jam dengan Saudi. Ini adalah satu kondisi yang tidak boleh dijadikan hukum umum.
Dan kalau boleh saya pun bertanya kepada antum (jika antum menguatkan pendapat Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin) :
1. Adakah nukilan salaf (terutama generasi awal Islam) yang menyatakan bahwa negeri Syaam, Yaman, 'Iraaq, ataupun Mesir berbeda pelaksanaan 'Arafahnya dengan Makkah ? Saya harap antum tidak memakai dalil Ibnu 'Abbaas dalam masalah Syawal. 
2. Seandainya antum di negara A dan saya di negara B, dimana jarak rumah antum dengan saya hanya 50 m. Namun antara rumah saya dan antum terdapat pagar perbatasan negara. Negara antum memutuskan 'Arafah hari Selasa, sedangkan negara saya hari Senin. Bagaimana penjelasan antum mengenai hal ini ? [saya memakai logika geografi yang sama dengan yang antum pakai].

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
@Abu Afifah,...
1. Wajib mengetahui khabar hilal penduduk Makkah, terkait pelaksanaan haji mereka. Wajib di sini bukan 'ain, tapi kifaayah.
2. Konsekuensi hukum yang terlalu 'dipaksakan'.
3. Tidak ada perubahan hukum. Dan sebenarnya pertanyaan semisal sudah saya komentari.
4. Jika antum paham akan duduk permasalahan khilaf di antara ulamanya, insya Allah antum tidak akan berkata demikian.
@Anonim,.... berbeda, tentu saja dari sisi pandang pendapat ulama yang mengatakan berbeda. 
@Abu Hanif,... yang terdapat dalam hadits bahwasannya hari tasyrik adalah hari makan dan minum. Saya belum mendapati keterangan bahwa hari tasyrik termasuk 'Ied. 
Wallaahu ta'ala a'lam.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
bisa
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Sebenarnya saya ingin 'sudahi' pendiskusian ini, mengingat apa yang kita bicarakan telah 'lewat'. Selain itu, masih ada waktu panjang bagi kita ke depan, insya Allah, untuk mendalami permasalahan ini kembali.
@Anonim (25 Nopember 2010),.... berikut tanggapan singkat saya :
1. Ya, itulah ulama yang berpendapat berbeda dengan yang saya sebutkan di atas. Namun, apakah benar hari 'Arafah itu tanggal 9 secara mutlak ? Bukankah jika jama'ah haji wuquf karena keliru pada tanggal 10 atau 8 Dzulhijjah, maka wuqufnya adalah sah ? Selain itu, telah banyak penjelasan ulama (semisal An-Nawawiy dan yang lainnya) bahwa hari 'Arafah itu bukan hari kesembilan pada bulan Dzulhijjah secara mutlak.
2. Hadits itu lemah. Dan sepertinya, terjemahan "at-tis'u" itu bukan pada tanggal sembilan Dzulhijjah, tapi puasa sembilan hari pada bulan Dzulhijjah.
3. Ya saya sudah baca. Adapun sanggahan Ustadz Murad Sa'iid, saya juga sedikit telah mengomentarinya.
Baarakallaahu fiik.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Semoga kita terjauh dari sikap 'mempertahankan pendapat mati-matian, meskipun dalil-dalil yang dipakai lemah dan ada pendapat yang lebih kuat'. Dan jangan bakhil mendoakan saya agar tidak termasuk salah satu di antaranya.
Syukran !!

agung sutrisno mengatakan...
kalau kita ikut saudi, padahal waktunya duluan indonesia maka waktu kita puasa saudi belum wukuf. mohon pencerahannya
Anonim mengatakan...
Ustadz, saya sependapat dengan antum, alasannya.
Jika hadits dari Nabi isinya menyatakan puasa pada 9 Dzulhizah maka, hukum asalnya mengikuti hilal (pertanggalan).
Jika kita lihat, hadits Nabi tentang puasa ada yang berdasarkan tanggal seperti puasanya tanggal 10 Muharram, puasa tanggal 1 Ramadhan, tanggal 13,14,15.
Ada yang berdasarkan hari tidak terikat tanggal, seperti puasa hari senin, puasa hari kamis, puasa hari arafah, puasa Nabi Daud.
Hari arafah adalah hari jamaah haji wukuf di padang arafah.
wallahu'alam.


Penanya (Abu Athiyyah Rismal) : Assalamu Alaikum Warohmatullahi Wa Barokatuh. Bersama anda Abu Athiyyah Rismal al-indunisy.
Asy-Syaikh Badr : Wa Alaikumus Salam. hayyakalah wahai Abu Athiyyah.
Penanya : Ahsanallahu ilaikum ya syaikh kami, sehubungan dengan perbedaan mathla’ (Tempat munculnya hilal, pen), mahkamah Saudi Arabia telah menetapkan bahwa hari arofah jatuh pada hari jum’at, sedangkan mahkamah negeri kami Indonesia menetapkan bahwa hari arofah jatuh pada hari sabtu. Maka manakah diantara 2 ketetapan ini yang diikuti oleh penduduk negeri kami (Indonesia, pen).
Asy-Syaikh Badr : Bulan dzulhijjah rujukannya adalah Saudi Arabia.

Bersambung..... Insya Allah