‘Umar dan Imam Syafi’i Berbicara tentang
Bid’ah
Hasanah
Kata-kata yang sudah sangat
masyhur dan telah dianggap berasal dari Umar bin Khottob dan Imam Asy Syafi’i.
Sebagaian orang lantas menyangka selama bid’ah itu baik, maka tidaklah masalah
diamalkan. Karena bid’ah menurutnya ada yang baik (bid’ah hasanah) dan ada
bid’ah yan jelek (bid’ah sayyi’ah). Lantas segala amalan pun yang tanpa
tuntunan cuma sekedar dibangun atas landasan niat baik menjadi legal.
Khalifah ‘Umar dan Imam
Syafi’i Berbicara Mengenai Bid’ah Hasanah
‘Umar bin Al Khottob
radhiyallahu ‘anhu ketika menghidupkan shalat tarawih secara berjama’ah, beliau
berkata,
الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah
ini”.[1]
Imam Syafi’i rahimahullah
berkata,
البدعة بدعتان: بدعة محمودة، وبدعة مذمومة، فما
وافق السنة، فهو محمود، وما خالف السنة، فهو مذموم
“Bid’ah itu ada dua macam
yaitu bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madzmumah (yang tercela). Jika
suatu amalan bersesuaian dengan tuntunan Rasul, itu termasuk amalan terpuji.
Namun jika menyelisihi tuntunan, itu termasuk amalan tercela”[2]
Memahami Perkataan ‘Umar bin
Khottob tentang Shalat Tarawih
Mengenai kisah keluarnya
ucapan ‘Umar “sebaik-baik bid’ah adalah ini” dapat kita saksikan pada hadits
berikut ini.
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ
أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ إِلَى
الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ
لِنَفْسِهِ, وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ. فَقَالَ
عُمَرُ: وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَانِي لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ
وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ, فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ. قَالَ: ثُمَّ
خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ,
فَقَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ, وَالَّتِي تَنَامُونَ عَنْهَا
أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي تَقُومُونَ, يَعْنِي آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ
يَقُومُونَ أَوَّلَهُ
Dari Abdurrahman bin Abdil
Qaary katanya; aku keluar bersama Umar bin Khatthab di bulan Ramadhan menuju
masjid (Nabawi). Sesampainya di sana, ternyata orang-orang sedang shalat secara
terpencar; ada orang yang shalat sendirian dan ada pula yang menjadi imam bagi
sejumlah orang. Maka Umar berkata: “Menurutku kalau mereka kukumpulkan pada
satu imam akan lebih baik…” maka ia pun mengumpulkan mereka –dalam satu
jama’ah– dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi
bersamanya di malam yang lain, dan ketika itu orang-orang sedang shalat bersama
imam mereka, maka Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini, akan tetapi saat
dimana mereka tidur lebih baik dari pada saat dimana mereka shalat”, maksudnya
akhir malam lebih baik untuk shalat karena saat itu mereka shalatnya di awal
malam.[3]
Perkataan ‘Umar di atas
disikapi oleh Ibnu Rajab dengan pernyataan berikut,
“Adapun perkataan ulama salaf
yang menganggap adanya bid’ah yang baik, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah
lughowi (bid’ah secara bahasa) dan bukan menurut istilah syar’i. Contoh
perkataan yang dimaksud adalah perkataan ‘Umar bin Khottob ketika beliau
mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan qiyam Ramadhan (shalat tarawih)
bersama dengan satu imam di masjid. Lantas ‘Umar keluar dan melihat mereka
shalat (dengan satu imam), lalu ia pun berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah
ini”. Diriwayatkan bahwa Ka’ab bin Malik berkata pada ‘Umar, “Ini sebelumnya
tidak ada”. “Aku tahu. Akan tetapi perbuatan ini baik (hasan)”, jawab ‘Umar.
Yang dimaksudkan oleh ‘Umar bahwa shalat tarawih sebelumnya tidak dilakukan
seperti itu sebelumnya. Akan tetapi, ada landasan dalam syari’at mengenai hal
ini di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong dan memotivasi untuk
melaksanakan qiyam Ramadhan. Dahulu di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
orang-orang melaksanakan shalat tarawih secara jama’ah namun terpisah-pisah
atau berkelompok-kelompok. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat
bersama para sahabat di bulan Ramadhan lebih dari semalam. Kemudian beliau
enggan melaksanakannya lagi karena khawatir shalat tarawih itu wajib. Beliau
pun tidak merutinkannya setelah itu. Namun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kekhawatiran tersebut sudah tidak ada. Ada riwayat yang menyebutkan
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan shalat tarawih bersama para
sahabatnya di malam ganjil di sepuluh hari terakhir dari Ramadhan”.[4]
Ibnu Rajab setelah itu
mengatakan bahwa shalat tarawih yang dihidupkan kembali oleh ‘Umar tetap sah
dan bukan bid’ah karena itu adalah bagian dari sunnah[5] (ajaran) khulafaur
rosyidin al mahdiyyin[6] yang kita juga diperintahkan untuk mengikutinya. Ibnu
Rajab rahimahullah berkata, “Alasan lain bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengikuti sunnah (ajaran) khulafaur rosyidin. Bahkan shalat tarawih
telah menjadi sunnah (ajaran) khulafaur rosyidin. Manausia di masa ‘Umar,
‘Utsman dan ‘Ali juga menghidupkannya secara berjama’ah.”[7]
Dalil bahwasanya kita
diperintahkan mengikuti ajaran khulafaur rosyidin,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegang teguhlah dengan
ajaranku dan ajaran kholifah yang diberi petunjuk dalam ilmu dan amal,
berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah (kuat-kuat) dengan gigi geraham
kalian”.[8]
Ibnu Taimiyah berkata, “Perlu
dipahami bahwa istilah bid’ah hasanah yang disebutkan ‘Umar hanyalah penyebutan
bid’ah secara bahasa dan bukan istilah syari’at. Karena bid’ah secara bahasa berarti setiap perbuatan yang
diawali tanpa ada contoh sebelumnya.”[9]
Perkataan bid’ah dengan
artian bahasa -yaitu sesuatu yang baru- dikatakan pula oleh anak ‘Umar bin
Khottob, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Yang namanya adzan pertama
pada shalat Jum’at baru dilakukan di masa ‘Utsman karena kebutuhan manusia akan
hal itu. Dan amalan ini diteruskan pula oleh ‘Ali bin Abi Tholib. Namun Ibnu
‘Umar lantas berkata, “Huwa bid’ah (ini adalah bid’ah)”. Ibnu Rajab menerangkan
maksud Ibnu ‘Umar, “Sepertinya Ibnu ‘Umar ingin berkata seperti maksud ayahnya
dalam masalah qiyam Ramadhan (shalat tarawih).”[10]
Bagaimana bisa hadits
dipertentangkan dengan perkataan sahabat?
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menegaskan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sebagaimana
sabdanya,
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Setiap bid’ah adalah
sesat?”[11] Asy Syathibi mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai
dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena
itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah hasanah.”[12]
Artinya setiap bid’ah itu tercela, tidak ada yang hasanah.
Lalu bagaimana kita menyikapi
perkataan ‘Umar?
Taruhlah kita setuju dengan
perkataan ‘Umar bahwa ada bid’ah hasanah karena beliau telah berkata,
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Maka cukup disanggah seperti kata Ibnu
Taimiyah, “Perkataan sahabat bukanlah argumen. Bagaimana perkataan sahabat bisa
sebagai alasan di saat bertentangan dengan sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi
wa sallam?”[13]
Jika dengan perkataan sahabat
saja tidak bisa dipertentangkan dengan sabda Rasul –shallallahu ‘alaihi wa
sallam-, lantas bagaimana lagi dengan perkataan ulama yang berada di bawah
sahabat?
Memahami Perkataan Imam
Syafi’i
Ibnu Taimiyah rahimahullah
dalam fatawanya menjelaskan maksud perkataan Imam Asy Syafi’i di atas seraya
berkata, “Apa saja yang menyelisihi dalil, maka itu adalah bid’ah berdasarkan
kesepakatan para ulama kaum muslimin. Dan apa yang tidak diketahui menyelisihi
dalil, maka tidak disebut bid’ah. Imam Syafi’i rahimahullah menuturkan, “Bid’ah
itu ada dua macam, yaitu bid’ah yang menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah, ijma’
dan atsar dari sebagian sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
bid’ah seperti ini termasuk bid’ah dholalah (sesat). Sedangkan jika tidak
menyelisihi dalil-dalil tadi, maka ia termasuk bid’ah hasanah.” Karena ‘Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah
ini.” Perkataan semacam ini dan semisalnya dikeluarkan oleh Al Baihaqi dengan
sanad yang shahih”.[14]
Ibnu Rajab Al Hambali
rahimahullah menjelaskan maksud perkataan Imam Asy Syafi’i mengenai bid’ah
hasanah (mahmudah) dan bid’ah madzmumah, “Yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i
rahimahullah seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa bid’ah madzmumah
(yang tercela) adalah segala amalan yang tidak ada asalnya dalam syari’at yang
mendukungnya. Inilah bid’ah yang dimutlakkan dalam syari’at. Sedangkan bid’ah
yang terpuji (bid’ah hasanah, pen) adalah bid’ah yang bersesuaian dengan sunnah
(ajaran Rasul), yaitu yang memiliki asal dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai pendukung. Namun yang dimaksudkan dengan bid’ah hasanah di sini
adalah bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah menurut istilah syar’i karena
bid’ah kedua ini bersesuaian dengan ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa
sallam-.”[15]
Ibnu Rajab rahimahullah juga
menambahkan, “Telah diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i perkataan beliau yang
menafsirkan perkataan beliau di atas. Imam Syafi’i berkata,
والمحدثات ضربان : ما أُحدِثَ مما يُخالف كتاباً
، أو سنةً ، أو أثراً ، أو إجماعاً ، فهذه البدعة الضلال ، وما أُحدِث مِنَ الخير
، لا خِلافَ فيه لواحدٍ مِنْ هذا ، وهذه محدثة غيرُ مذمومة
“Perkara yang muhdats (yang
baru) itu ada dua macam, yaitu pertaka yang dibuat-buat dan menyelisihi Al
Qur’an, As Sunnah, atsar (sahabat) dan ijma’, maka ini termasuk bid’ah dholalah
(yang sesat). Sedangkan perkara yang masih dalam kebaikan yang tidak
menyelisihi dalil-dalil tadi, maka itu bukanlah perkara baru (bid’ah) yang
tercela”.[16]
Intinya di sini, sahabat
mulia seperti ‘Umar bin Khottob dan Imam Syafi’i bukanlah orang yang begitu
mudahnya melegalkan bid’ah. Dengan perkataan mereka berdua, orang-orang
beralasan adanya bid’ah yang hasanah sehingga acara bid’ah maulid, selamatan
kematian, yasinan, dan tahlilan sah-sah saja untuk dilegalkan. Karena
perbuatan-perbuatan tadi jelas baik menurut mereka. Sebagai penutup, kami ulas
sanggahan terakhir berikut ini bagi siapa saja yang beralasan dengan dua orang
terkemuka di atas.
Pertama: Secara jelas Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah
sesat tanpa ada pengecualian. Maka tidak bisa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ini dipertentangkan dengan perkataan sahabat atau perkataan imam
madzhab. Sebagaimana kata Ibnu ‘Abbas dan Mujahid, lalu perkataan ini masyhur
diucapkan oleh Imam Malik, juga diucapkan oleh Imam Ahmad,
ليس أحد إلا ويؤخذ من رأيه ويترك ؛ ما خلا النبي
“Pendapat seseorang bisa
diambil atau ditinggalkan selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”
Kedua: Jika seseorang
merenungkan kembali perkataan Imam Syafi’i, “Bid’ah itu ada dua macam yaitu
bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madzmumah (yang tercela). Jika suatu
amalan bersesuaian dengan tuntunan Rasul, itu termasuk amalan terpuji. Namun
jika menyelisihi tuntunan, itu termasuk amalan tercela”. Maksud beliau di sini
adalah jika suatu amalan tidak menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah, maka itulah
bid’ah hasanah (mahmudah) karena dalam perkataan beliau dikaitkan dengan
demikian. Jika tidak demikian maksudnya, apalah gunanya beliau membuatkan
kaitan setelah perkataannya. Setiap bid’ah yang menyelisihi syari’at
bertentangan dengan ayat yang menyatakan bahwa Islam telah sempurna,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu” (QS. Al Ma’idah: 3). Begitu pula bid’ah yang tercela
bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ
مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu
perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut
tertolak” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718).
Ibnu Taimiyah berkata,
“Setiap bid’ah bukan wajib dan bukan sunnah, maka ia termasuk bid’ah sayyi’ah
dan termasuk bid’ah dholalah (yang menyesatkan) menurut sepakat para ulama.
Siapa yang menyatakan bahwa sebagian bid’ah dengan bid’ah hasanah, maka itu
jika telah ada dalil syar’i yang mendukungnya yang menyatakan bahwa amalan
tersebut sunnah (dianjurkan). Jika bukan wajib dan bukan pula sunnah (anjuran),
maka tidak ada seorang ulama pun mengatakan amalan tersebut sebagai hasanah
(kebaikan) yang mendekatkan diri kepada Allah.”[17]
Ketiga: Sudah sangat ma’ruf
bahwa Imam Syafi’i adalah orang yang
paling semangat dalam ittiba’ atau mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Dan beliau juga adalah orang yang sangat keras pada orang yang
membantah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat saja perkataan beliau
pada orang yang menentang ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Ar Rabie’ (murid Imam
Syafi’i) bercerita, Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i tentang
sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya, “Lalu bagaimana
pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata
kepadanya,
أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي وَأَيُّ أَرْضٍ
تُقِلُّنِي إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ
وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ
“Langit mana yang akan
menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat lain…!?”[18]
Jika Imam Syafi’i bersikap
keras dalam hal semacam ini, bagaimana mungkin kita pahami bahwa perkataan
beliau berseberangan dengan sabda Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Kullu
bid’atin dholalah” (setiap bid’ah adalah sesat). Seharusnya kita memposisikan
dengan benar perkataan Imam Syafi’I, yaitu kita pahami dengan pemahaman yang
tidak bertentangan dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadinya
kita pahami bahwa maksud Imam Syafi’i adalah bid’ah secara bahasa. Hal yang
membuat kita seharusnya semakin husnuzhon kepada Imam Syafi’i karena beliau
pernah mengeluarkan perkataan-perkataan seperti berikut ini,
إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ
رَسُولِ اللهِ فَقُولُوا بِسُنَّةِ
رَسُولِ اللهِ وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي
رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ
“Jika kalian mendapati dalam
kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam
riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan jangan
pedulikan ucapan orang.”[19]
كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ
“Setiap hadits yang diucapkan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian
tak mendengarnya dariku.”[20]
كُلُّ مَا قُلْتُ فَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ خِلاَفُ قَوْلِي مِمَّا يَصِحُّ فَحَدِيثُ
النَّبِيِّ أَوْلىَ فَلاَ تُقَلِّدُونِي
“Semua yang pernah kukatakan
jika ternyata berseberangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka hadits Nabi lebih utama untuk diikuti dan janganlah kalian taqlid
kepadaku.”[21]
كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ
رَسُولِ اللهِ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَأَناَ رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِي
وَبَعْدَ مَوْتِي
“Setiap masalah yang di sana
ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut
bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari
pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku.”[22]
إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا
صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ
“Kalau ada hadits shahih,
maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku
ke (balik) tembok.”[23]
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ
اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا
لِقَوْلِ أَحَدٍ
“Kaum muslimin sepakat bahwa
siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah
itu karena mengikuti pendapat siapa pun.”[24]
Setelah kita mengetahui
pernyataan Imam Syafi’i bahwa perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam wajib didahulukan dari ucapan beliau, maka semestinya kita berbaik sangka
kepada beliau dengan mendudukkan ucapan beliau mengenai bid’ah tadi sebagai
bid’ah secara bahasa, –yaitu setiap hal baru– yang tidak ada kaitannya dengan
agama. Dengan demikian, antara ucapan Imam Syafi’i; “Bid’ah mahmudah dan
madzmumah” dan sabda Rasulullah; “setiap bid’ah sesat” tidak akan bertabrakan.
Wallahu waliyyut taufiq was
sadaad.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA,
14 Jumadats Tsaniyah 1433 H
[1] HR. Bukhari no. 2010.
[2] Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al
Hilyah, 9: 113.
[3] HR. Malik dalam Al Muwaththa’ bab: Ma jaa-a
fi qiyami Ramadhan.
[4] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 128.
[5] Sunnah adalah jalan yang ditempuh. Sunnah
di sini bukan hanya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, termasuk pula
ajaran para kholifah rosyidin berupa i’tiqod, keyakinan, amalan dan perkataan.
Inilah pengertian sunnah yang sempurna dan yang dipegang oleh para ulama salaf,
mereka tidaklah memaksudkan kecuali demikian. Inilah yang diriwayatkan dari Al
Hasan Al Bashri, Al Auza’i dan Al Fudhail bin ‘Iyadh.
Namun kebanyakan ulama belakangan memahami
sunnah dengan maksud i’tiqod (keyakinan) karena i’tiqod itulah yang disebut
ushulud diin (pokok ajaran Islam). Sehingga yang menyelisihi sunnah ini, ia
berarti telah berada dalam bahaya yang besar (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2:
120).
[6] Rusydu adalah mengenal kebenaran dan
mengikutinya (mengamalkannya). Ghowi adalah mengenal kebenaran tetapi tidak
mengikutinya. Sedangkan dholal adalah tidaklah mengenal dan mengamalkan
kebenaran. Setiap orang yang rosyid, maka dia disebut muhtad (mendapat
petunjuk). Setiap yang mendapati petunjuk secara sempurna dialah rosyid. Yang
namanya hidayah adalah dengan mengenal dan mengamalkan kebenaran sekaligus
(Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 126).
[7] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 129.
[8] HR. Abu Daud no. 4607, Tirmidzi no. 2676,
Ibnu Majah no. 42. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Begitu pula hal yang sama dinyatakan oleh Syaikh Al Albani.
[9] Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, 1: 95.
[10] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 129.
[11] HR. Muslim no. 867, Abu Daud no. 4607, An
Nasai no. 1578.
[12] Disebutkan oleh Asy Syatibi dalam
fatawanya hal. 180-181. Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91.
[13] Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, 1: 95.
[14] Majmu’ Al Fatawa, 20: 163.
[15] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131.
[16] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Manaqib
Asy Syafi’I (1: 468-469). Riwayat ini shahih sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al
Arnauth dalam tahqiq beliau terhadap Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131.
[17] Majmu’ Al Fatawa, 1: 162.
[18] Hilyatul Auliya’, 9: 107.
[19] Al Majmu’ syarh Al Muhadzdzab, 1: 63.
[20] Tarikh Dimasyq, 51: 389.
[21] Tarikh Dimasyq, Ibnu ‘Asakir, 2: 9: 15.
[22] Hilyatul Auliya’, 9: 107.
[23] Siyar A’laamin Nubala’, 3: 3284-3285.
[24] I’lamul Muwaqi’in, 2: 282.
Al-Imam
Asy-Syafi'iy rahimahullah dan Bid'ah Hasanah
Pada bahasan pembagian
bid’ah, beberapa ulama membagi bid’ah menjadi dua yaitu : bid’ah yang baik
(bid’ah hasanah) dan bid’ah yang tercela (bid’ah madzmumah). Mereka
menyandarkan pembagian tersebut kepada Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah, yang
kemudian dengan semangat pembagian ini diikuti secara ghulluw oleh para
pengikut hawa nafsu. Melalui dasar pembagian bid’ah ini, maka hampir dikata
tidak ada istilah bid’ah (dlalalah) dalam terminology syari’at menurut mereka,
karena setiap orang berhak untuk menentukan kadar baik dalam bid’ah yang mereka
lakukan.
Oleh karena itu, pada artikel
kali ini saya mencoba menuliskan secara singkat tentang bid’ah hasanah menurut
sisi pandang Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah. Namun sebelumnya, perlu kiranya
saya tuliskan sedikit dalil dan riwayat atau atsar yang menyinggung tentang
tercelanya bid’ah dan bahayanya.
Allah ta’ala berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu” [QS. Al-Maaidah : 3].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ (مَا مِنْ نَبِيٍّ
بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ
حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ
ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ
وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ
وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ
فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ)
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud
radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda : “Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus Allah kepada suatu umat
sebelumku melainkan dari umatnya itu terdapat orang-orang yang menjadi pengikut
(hawariyyun) dan shahabatnya yang mereka mengambil sunnahnya dan mentaati
perintahnya. Kemudian setelah itu terjadi kebusukan/perselisihan dimana mereka
mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan sesuatu yang
tidak diperintahkan. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan tangannya, maka
ia seorang mukmin. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan lisannya maka ia
seorang mukmin. Dan barangsiapa yang memerangi mereka dengan hatinya, ia juga
seorang mukmin. Selain itu, maka tidak ada keimanan sebesar biji sawipun” [HR. Muslim no. 50 dan Ahmad 1/458 no. 4379,
1/461 no. 4402].
Berkata Bakr bin Al-’Alaa’ :
فَقَالَ مُعَاذُ بْنِ جَبَلٍِ يَوْمًَا : إِنَّ
مِنْ وَرَائِكُمْ فِتَنًا، يَكْثُرُ فِيْهَا الْمَالُ، وَيُفْتَحُ فِيْهَا
الْقُرْانُ، حَتَّى يَأْخُذَهُ الْمُؤْمِنُ وَالْمُنَافِقُ، وَالرَّجُلُ
وَالْمَرْأَةُ، وَالصَّغِيْرُ وَالْكَبِيْرُ، وَالْعَبْدُ وَالْحُرُّ، فَيُوْشِكُ
قَائِلٌُ أَنْ يَقُوْلَ : مَا لِلنَّاسِ لاَ يَتَّبِعُوْنِي، وَقَدْ قَرَأْتُ
الْقُرْانَ ؟ مَا هُمْ بِمُتَّبِعِيَّ حَتَّى أَبْتَدَعَ لَهُمْ غَيْرَهُ !
فَإِيَّكُمْ وَمَا ابْتُدِعَ، فَإِنَّ مَا ابْتُدِعَ ضَلاَلَةٌُ، وَأُحَذُِّرُكُمْ
زَيْغَةَ الْحَكِيْمِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَقُوْلُ كَلِمَةَ الضَّلاَلَةِ
عَلَى لِسَانِ الْحَكِيْمِ، وَقَدْ يَقُوْلُ الْمُنَافِقُ كَلِمَةَ الْحَقِّ.
Mu’adz bin Jabal berkata pada
suatu hari : ”Sesungguhnya di belakang kalian nanti akan terdapat fitnah,
dimana pada waktu itu harta berlimpah ruah dan Al-Qur’an dalam keadaan terbuka
hingga semua orang baik mukmin, munafiq, laki-laki, perempuan, anak kecil,
orang dewasa, hamba sahaya, atau orang merdeka pun membacanya. Pada saat itu
akan ada seseorang yang berkata : ’Mengapa orang-orang itu tidak mengikutiku
padahal aku telah membaca Al-Qur’an ? Mereka itu tidak akan mengikutiku hingga
aku membuat-buat sesuatu bagi mereka dari selain Al-Qur’an !’. Maka hendaklah
kamu hati-hati/waspada dari apa-apa yang dibuat-buat (oleh manusia), karena
sesungguhnya apa-apa yang dibuat-buat (bid’ah) itu adalah kesesatan. Dan aku
peringatkan kalian akan penyimpangan yang dilakukan oleh seorang hakim ! Karena
seringkali syaithan itu mengatakan kalimat kesesatan melalui lisan seorang
hakim, dan seringkali seorang munafiq itu berkata tentang kebenaran” [HR. Abu
Dawud no. 4611; shahih – Shahih Sunan Abi Dawud 3/120].
عَنْ عَبْدِ اللهِ (بْنِ مَسْعُوْد) قَالَ :
الْقَصْدُ فِي السُّنَّةِ خَيْرٌ مِنْ الاجْتِهَادِ فِي الْبِدْعَةِ
Dari ’Abdullah (bin Mas’ud)
radliyallaahu ’anhu ia berkata : ”Sederhana dalam sunnah itu lebih baik
daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah” [Diriwayatkan oleh Ad-Darimi no. 223,
Al-Laalikaiy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 14, 114, Al-Haakim 1/103, dan
yang lainnya; sanad riwayat ini jayyid].
عَن المبَارَك عَن الحَسَن قَالَ سننكم والله
الذي لا إله إلا هو بينهما بين الغالي والجافي فاصبروا عليها رحمكم الله فإن أهل
السنة كانوا أقل الناس فيما مضى وهم أقل الناس فيما بقي الذين لم يذهبوا مع أهل
الأتراف في أترافهم ولا مع أهل البدع في بدعهم وصبروا على سنتهم حتى لقوا ربهم
فكذلك إن شاء الله فكونوا
Dari ’Abdillah bin Al-Mubarak
dari Al-Hasan ia berkata : ”Perbedaan antara perilaku/perikehidupan kalian
dengan sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah yang tiada tuhan yang patut
disembah dengan benar melainkan Dia, seperti perbedaan antara sesuatu yang
sangat berharga (mahal) dengan sesuatu yang busuk (murah). Maka bersabarlah
kalian dalam memegang syari’at Allah, niscaya Allah akan mengasihi kalian.
Sesunggunya Ahlus-Sunnah itu merupakan kelompok yang sangat sedikit dan kecil,
baik pada masa lampau maupun pada masa yang akan datang. Mereka itu adalah
orang yang tidak senang bercampur dengan ahli maksiat pada kemaksiatan mereka,
dan tidak mau bekerjasama dengan para ahli bid’ah dalam mengerjakan kebid’ahan
mereka. Bersabarlah kalian dalam memegang apa yang diwariskan oleh Ahlus-Sunnah
hingga kalian menghadap Tuhannya (Allah). Seandainya kalian melakukannya, maka
insyaAllah keberadaan kalian seperti mereka” [Diriwayatkan oleh Ad-Darimi no.
222; dla’if].
عَنِ ابْنِ الْعَبَاس – رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا –
أَنَهُ قَالَ : مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ ، إِلّا أَحْدَثُوْا فِيْهِ
بِدْعَةً ، وَأَمَاتُوْا فِيْهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَا الْبِدَعِ وَتَمُوْتُ
السُّنَنُ.
Dari Ibnu ’Abbas
radliyallaahu ’anhuma bahwasannya ia berkata : Tidaklah datang kepada manusia
satu tahun kecuali mereka membuat-buat bid’ah dan mematikan sunnah di dalamnya.
Hingga hiduplah bid’ah dan matilah sunnah” [Al-Haitsami berkata dalam
Majma’uz-Zawaaid, 1/188, Bab Fil-Bida’i wal-Ahwaa’ : ”Diriwayatkan oleh
Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir, dan rijalnya adalah terpercaya”. Diriwayatkan
pula oleh Ibnu Wadldlaah dalam Kitaabul-Bida’ hal. 39].
Itulah sedikit di antara nash
dan atsar dari para pendahulu kita yang shalih (as-salafush-shalih) tentang
tercelanya bid’ah. Mereka memutlakkan apa-apa yang baru dalam syari’at yang
tidak ada dalilnya dan tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam serta para shahabatnya sebagai bid’ah. Mereka tidak pernah
mengecualikan bid’ah dengan kata hasanah (baik), karena seluruh bid’ah menurut
mereka adalah dlalalah (sesat). Barangsiapa yang mengklaim ada bid’ah yang
tergolong hasanah, maka pada hakekatnya ia telah menuduh Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menyampaikan semua risalah. Baik baginya
untuk memperhatikanlah perkataan Ummul-Mukminin ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa :
وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًَا صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَمَ شَيْئًَا مِمَّا أَنْزَلَ اللهُ عَلَيْهِ، فَقَدْ
أَعْظَمَ عَلَيْهِ الْفِرْيَةًَ، واللهُ يَقُوْلُ : (يَا أَيُّهَا الرَّسُوْلُ
بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ
رِسَالَتَه)
“Dan barangsiapa yang
menyangka Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari
apa-apa yang diturunkan Allah, sungguh ia telah membuat kedustaan yang sangat
besar terhadap Allah. Padahal Allah telah berfirman : ”Hai Rasul, sampaikanlah
apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa
yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS.
Al-Maidah : 67) [HR. Al-Bukhari no. 7380 dan Muslim no. 177].
Juga hendaknya ia
memperhatikan perkataan ’Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma :
كُلُّ بِدْعَةٍِ ضَلاَلَةٌُ وَإِنْ رَآهَا
النَّاسُ حَسَنَةًَ
”Setiap bid’ah itu adalah
sesat walaupun manusia memandangnya sebagai satu kebaikan” [Diriwayatkan oleh
Al-Laalikai dalam Syarh Ushulil-I’tiqad no. 205 dan Ibnu Baththah dalam
Al-Ibaanah no. 205 dengan sanad shahih].
Jika kita kaitkan dengan
perbuatan salafunash-shaalih di bawah, maka perkataan di atas akan lebih jelas
maksudnya.
عن نافع أن رجلا عطس إلى جنب بن عمر فقال الحمد
لله والسلام على رسول الله قال بن عمر وأنا أقول الحمد لله والسلام على رسول الله
وليس هكذا علمنا رسول الله صلى الله عليه وسلم علمنا أن نقول الحمد لله على كل حال
Dari Nafi’ : Bahwasannya ada
seseorang bersin di samping Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, lalu dia berkata :
“Alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasulihi (segala puji bagi Allah dan
kesejahteraan bagi Rasul-Nya)”. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Dan saya mengatakan,
alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan tetapi tidak demikian
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami. Akan tetapi beliau
mengajarikami untuk mengatakan : “Alhamdulillah ‘alaa kulli haal”
(Alhamdulillah dalam segala kondisi) [HR. At-Tirmidzi no. 2738, Hakim
4/265-266, dan yang lainnya dengan sanad hasan].
Membaca shalawat kepada Nabi
di waktu yang tidak dicontohkan (yaitu sewaktu bersin) ternyata diingkari oleh
Ibnu ‘Umar dengan alasan bahwa hal itu tidak dicontohkan oleh Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Itulah bid’ah. Tidak ada pemahaman di dalamnya adanya bid’ah
hasanah (walau dengan alasan membaca shalat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam).
Oleh karena itu, Al-Imam
Malik rahimahullah – pemimpin ulama Madinah di jamannya – sangat mengingkari
bid’ah hasanah. Ibnul-Majisyun mengatakan :
سمعت مالكا يقول : "من ابتدع في الإسلام
بدعة يراها حسنة ، فقد زعم أن محمدا – صلى الله عليه وسلم- خان الرسالة ، لأن الله
يقول :{اليوم أكملت لكم دينكم}، فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا"
”Aku mendengar Imam Malik
berkata : ”Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya
baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam
mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ”Pada hari
ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”. Maka apa saja yang pada hari itu
(yaitu hari dimana Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam beserta para
shahabatnya masih hidup) bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula
pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama” [Al-I’tisham oleh Asy-Syathibi,
1/49].
Kembali pada pembahasan
Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah. Kita tidak pernah berpandangan bahwa beliau
menyelisihi pendahulunya dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in.
Tidak pula ia menyelisihi gurunya, Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah
sebagaimana di atas. Beliau (Al-Imam Asy-Syafi’iy) pernah berkata :
مَن اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barangsiapa yang menganggap
baik sesuatu (menurut pendapatnya), sesungguhnya ia telah membuat syari’at”
[Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal. 374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395,
dan yang lainnya].
Asy-Syaukani menukil
perkataan Ar-Ruyani ketika menjelaskan perkataan Asy-Syafi’iy di atas :
معناه أنه ينصب من جهة نفسه شرعًا غير الشرع
“Maknanya adalah orang yang
menetapkan hukum syar’iy atas dirinya dan tidak berdasarkan dalil-dalil
syar’iy” [Irsyaadul-Fuhuul, hal. 240].
Dalam Ar-Risalah, Al-Imam
Asy-Syafi’iy rahimahullah mengatakan :
إِنَّمَا الاستحسانُ تلذُّنٌ
“Sesungguhnya anggapan baik
(al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu” [Ar-Risalah, hal. 507].
Dan juga dalam kitab Al-Umm
(7/293-304) terdapat pasal yang indah berjudul : Pembatal Istihsaan/Menganggap
Baik Menurut Akal (Ibthaalul-Istihsaan).
Perkataan-perkataan di atas
tidak mungkin kita pahami bahwa Al-Imam Asy-Syafi’iy menetapkan bid’ah hasanah
– satu klasifikasi yang tidak pernah disebut oleh para pendahulu beliau. Bid’ah
hasanah pada hakekatnya kembalinya pada sikap istihsan (menganggap baik
sesuatu) tanpa dilandasi dalil, dan ini ditentang oleh beliau rahimahullah.
Apabila kita tanya kepada mereka yang berkeyakinan adanya bid’ah hasanah : “Apa
standar Anda dalam menentukan baiknya satu bid’ah ?”. Niscaya kita akan
mendapatkan jawaban yang beragam, karena memang tidak ada standarnya. Akhirnya,
jika kita rangkum keseluruhan pendapat mereka beserta contoh-contohnya,
tidaklah tersisa bid’ah bagi mereka kecuali ia adalah hasanah. Al-‘Allamah Abu
Syammah Al-Maqdisi Asy-Syafi’iy (seorang pembesar ulama Syafi’iyyah) berkata :
فالواجب على العالم فيما يَرِدُ عليه من الوقائع
وما يُسألُ عنهُ من الشرائعِ : الرجوعُ إلى ما دلَّ عليهِ كتابُ اللهِ المنزَّلُ،
وما صحَّ عن نبيّه الصادق المُرْسَل، وما كان عليه أصحابهُ ومَن بعدَهم مِن الصدر
الأول، فما وافق ذلك؛ أذِنَ فيه وأَمَرَ، وما خالفه؛ نهى عنه وزَجَرَ، فيكون بذلك
قد آمَنَ واتَّبَعَ، ولا يستَحْسِنُ؛ فإنَّ (مَن استحسن فقد شَرَعَ).
“Maka wajib atas seorang
ulama terhadap peristiwa yang terjadi dan pertanyaan yang disampaikan kepadanya
tentang syari’at adalah kembali kepada Al-Qur’an, riwayat shahih dari Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan atsar para shahabat serta orang-orang
setelah mereka dalam abad pertama. Apa yang sesuai dengan rujukan-rujukan
tersebut dia mengijinkan dan memerintahkan, dan apa yang tidak sesuai dengannya
dia mencegah dan melarangnya. Maka dengan itu dia beriman dan mengikuti. Dan
janganlah dia menyatakan baik menurut pendapatnya. Sebab : ‘Barangsiapa yang
menganggap baik menurut pendapatnya (istihsan), maka sesungguhnya dia telah
membuat syari’at” [Al-Ba’its ‘alaa Inkaaril-Bida’ wal-Hawadits oleh Abu
Syaammah, hal. 50].
Lantas bagaimana riwayat yang
dibawakan oleh Abu Nu’aim tentang perkataan Asy-Syafi’iy tentang pembagian
bid’ah terpuji dan tercela ?
Harmalah bin Yahya
meriwayatkan :
سمعت الإمام الشافعي – رحمه الله – يقول : (
البدعة بدعتان : بدعة محمود وبدعة مذمومة ، فما وافق السنة فهو محمود ، وما خالف
السنة فهو مذموم )
”Aku mendengar Imam
Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata : ’Bid’ah itu ada dua macam : (1) Bid’ah
yang terpuji, dan (2) Bid’ah yang tercela. Apa-apa yang sesuai dengan Sunnah,
maka hal itu adalah (bid’ah yang) terpuji. Sedangkan yang menyelisihi sunnah,
maka hal itu adalah (bid’ah yang) tercela” [Hilyatul-Auliyaa’ oleh Abu Nu’aim
9/113, Daarul-Kutub Al-’Ilmiyyah, Cet. 1/1409 H].
Asy-Syaikh ‘Ali Al-Halabiy
hafidhahullah telah menjelaskan bahwa selain riwayat ini bertentangan dengan
perkataan Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah yang telah dinukil sebelumnya, juga
sanadnya lemah, karena dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul [lihat ‘Ilmu
Ushuulil-Bida’, hal. 121; Daarur-Raayah, Cet. 2/1417].
Ini saja yang dapat
dituliskan. Semoga ada manfaatnya.
Abu Al-Jauzaa’ – Ciomas Permai, 2
Jumadits-Tsaaniy 1430
COMMENTS ( menarik dibaca )
Anonim mengatakan...
Yth Ustadz Abul-Jauzaa
Masalah bid'ah ini sungguh
msh menyisakan berbagai persoalan, dan ia tdk pernah tuntas diselesaikan.
Pertanyaan mendasar yg sangat
penting mengenai bid'ah ini, jika semua bid'ah itu sesat, adalah: (1) Apakah
semua perbuatan baik dengan niat mendapat ridla Allah swt adalah bid'ah jika
tdk ditemukan riwayat Nabi saw pernah mencontohkannya? Jika tdk, jenis
perbuatan baik seperti apa yg bid'ah dan yang bukan bid'ah?
(2) Siapa yg berhak
menyatakan bahwa ia bid'ah dan bukan bid'ah?
(3) Jika sebuah manhaj
mengatakan bahwa perbuatan tsb bid'ah, sementara manhaj lain mengatakan tidak,
bagaimana sikap kita?
Demikian ustadz, semoga bisa
ditanggapi.
Salam
Abujafar
Btw, komen sy mengenai
Ahlulbait Nabi saw kok belum dimasukkan?
29 Mei 2009 11.11
Abu Al-Jauzaa' :
mengatakan...
Masalah bid'ah bukanlah
masalah yang tidak pernah tuntas diselesaikan. Ia bisa diselesaikan jika
dikembalikan kepada nash dan kaidah-kaidah yang ma'ruf. Masalah bid'ah menjadi
masalah yang mengambang dan tidak pernah terselesaikan adalah bagi orang yang
tidak mengenal kaidah-kaidah dalam mengenal bid'ah (qawaaidu ma'rifatil-bida').
Bid'ah hasanah salah satu contohnya. Orang yang memegang pendapata lemah ini
selamanya tidak akan pernah menyelesaikan persoalan bid'ah, karena mereka
(secara umum) tidak bisa menentukan kaidah hasanah dalam bid'ah mereka.
Adapun kemudian ada
pembahasan ilmiah tentang penentuan bid'ah tidaknya satu amalan, maka kita
kembalikan pada dalil dan kaidah.
1. Satu amalan mempunyai dua
rukun, yaitu : ikhlash dan mutaba'ah. Jika tidak memenuhi dua unsur ini, maka
amalannya tertolak, tidak boleh dikerjakan. Betapa banyak orang yang
menginginkan kebaikan namun ia tidak mendapatkannya. Dan tentu saja, segala
macam amalan dalam syari'at yang tidak ada dasarnya, maka ia dinamakan bid'ah.
Kita mengatakan ini sebagaimana dikatakan oleh beliau shallallaahu 'alaihi wa
sallam :
وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالة
Tinggalkanlah hal-hal yang
baru, karena setiap bid’ah adalah sesat.
Menginjak pada pembahasan apakah
amalan yang tidak dilakukan oleh Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam apakah
bisa disebut sebagai bid'ah secara mutlak, maka ini memerlukan perincian. Harus
dikaitkan dengan adanya faktor pendorong dan faktor penghalang. Anda bisa
membaca tulisan saya yang membahas salah satu kaidah ini di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/02/apakah-setiap-amal-yang-tidak-dilakukan.html
2. Yang berhak mengatakan bid'ah
dan bukan bid'ah adalah ahli ilmu, bukan orang bodoh dan awam.
3. Perbedaan yang disebabkan
karena (perbedaan) manhaj, maka itu adalah perbedaan yang sifatnya tanaqudlaat.
Tidak bisa dianggap sebagai satu perbedaan yang perlu mendapat 'toleransi'
karena perbedaan jenis ini. Jika manhaj Syi'ah menganggap bahwa para imam
mereka ma'shum, sementara manhaj Ahlus-Sunnah mengatakan bahwa 'aqidah tersebut
adalah 'aqidah bid'ah; maka anggapan tidak bid'ahnya sebagaimana dikatakan oleh
Syi'ah tidaklah dianggap. Wajib mendapatkan pengingkaran. Wallaahu a'lam
bish-shawwaab.
NB : Tidak ada komentar yang
masuk terkait dengan Ahlul-Bait dari Anda dalam mesin penyimpan komentar.
29 Mei 2009 12.59
Anonim mengatakan...
jazakallahu khoiron, artikel
yg sangat bermanfaat..
17 Februari 2011 08.33
Anonim mengatakan...
dari raha.
saya setuju sekali dengan
perkataan ustad,,
tetapi seringkali orang
mengatakan bahwa bid'ah hasanah itu ada dalam hadits riwayat muslgm no. 1017.
tentang membuat hal baru yang baik dalam islam.
pertanyaan ini sebenarnya
sudah pernah dijawab oleh guru saya bahwa yang baik dalam islam itu harus
sesuai dengan konsep islam (al qur'an dan sunnah).
kalau tanggapan ustad gimana?
8 Maret 2011 09.25
Abu Al-Jauzaa' :
mengatakan...
Guru Anda benar.
8 Maret 2011 09.29
Anonim mengatakan...
Abu......!!!!!trus terang klo
sy di suruh milih pendapat antum tentang bid'ah dan pembagiannya,dengan
pendapat ulama mu'tabaroh sy akan memilih pndpt ulama mu'tabaroh,antup blm
cukup ilmu untuk mengkaji pendapat ulama,kok mau langsung ngmbil dr Al quran
dan Al Hadits,,??mbok ya klo mau sombong tu lihat lihat dulu,,!!!orang mcm kmu
mema'nai ucapan ulama aja kgk becus kok ya mau jd mujtahid..!!!???
9 Juni 2011 14.20
rasi mengatakan...
@anonim diatas :
Mungkin antum yang belum
cukup ilmu untuk membaca isi bloq ini , sehingga antum berkomentar demikian
jeleknya.
Ada baiknya antum belajar
bahasa indonesia dulu untuk memahami isi tulisan al akhi abul jauzaa .
Memang isi bloq ini cukup
berat pembahasannya yang jarang kita temui dalam kajian langsung di daerah2 ,
jadi ambilah hikmahnya dan seandainya tidak jelas bertanyalah dengan adab yang
baik atau kalau antum punya pendapat yang beda sampaikanlah dengan cara yang
baik pula.
9 Juni 2011 15.31
Anonim mengatakan...
Ustadz...gimana hadits berikut:
a. "Siapa yang
memberikan contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala
orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka
sedikit pun." (HR Muslim)
b. Apa yang dilakukan oleh
Sayyidina Umar ibn Khattab ketika mengumpulkan semua umat Islam untuk
mendirikan shalat tarawih berjamaah. Tatkala Sayyidina Umar melihat orang-orang
itu berkumpul untuk shalat tarawih berjamaah, dia berkata: "Sebaik-baik
bid'ah adalah ini".
Dan masih byk lg dalil2 yg
dijadikan hujjah oleh suatu Ormas utk melaksanakan apa yg mereka sebut sbg
Bid'ah Hasanah. Bagaimana ustadz memandang 2 poin di atas???
budi
5 September 2012 12.15
Abu Al-Jauzaa' :
mengatakan...
Tidak ada hujjah dalam kedua
hadits tersebut untuk melegalkan bid'ah hasanah. Hadits pertama adalah
berkaitan dengan seseorang yang memulai shadaqah dan kemudian diikuti oleh
orang-orang setelahnya. Ini bukan amalan bid'ah. Hadits kedua berkaitan dengan
tarawih berjama'ah. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dulu menetapkan
masyru'-nya shalat tarawih berjama'ah.
6 September 2012 05.22
Anonim mengatakan...
Ustadz, benarkah Dr. Wahbah
Zuhaili berpandangan bahwa bid'ah hanya satu (munkarah) dalam bukunya al bida'
al-munkarah ?
Adakah ustadz link download
ke buku ini ? syukron
7 September 2012 18.01
Abu Al-Jauzaa' :
mengatakan...
Saya tidak tahu.
8 September 2012 01.04
Anonim mengatakan...
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ
"Barangsiapa yang
menganggap baik (suatu perkara) maka dia telah membuat syari'at"
Ini adalah contoh akibat menolak
bermadzhab namun mengambil pernyataan Imam Madzhab hanya sepotong… akibatnya
dalam kesimpulan anda sangat tidak sesuai dengan pandangan Imam as Syafi’iy,
dan jika hal tersebut anda sengaja berarti anda telah berdusta atas nama Imam
Syafi’iy, berikut buktinya :
Dalam Ar Risalah, Ushul Fiqih
karya Imam Syafi’iy disana dijelaskan secara tersendiri dalam “BAB ISTIHSAN”
jika anda tidak ingin salah mengartikan maksud dari pernyataan Imam Syafi’iy
tsb (Man Istahsana Faqod Syaro’a), maka wajib bagi anda mempelajarinya secarah
utuh…
Berikut kami kutipkan sebatas
sebagai gambaran :
فهل تجيز أنت أن يقول الرجل أستحسن بغير قياس
فقلت لا يجوز هذا عندي والله أعلم لاحد وإنما كان لاهل العلم ان يقولوا دون غيرهم
لان يقولوا في الخبر باتباعه فيما ليس فيه الخبر بالقياس على الخبر
Imam Syafi’iy rohimahulloh
ditanya; “Apakah anda memperbolehkan jika seseorang berkata ‘ Aku menganggap
baik dengan tanpa qiyas’? maka aku (Imam Syafi’iy) menjawab : Hal ini
(berpendapat dengan menggunakan hujjah Istihsan/menganggap baik sebuah perkara
dengan meninggalkan qiyas dan hanya bermodal penilaian akal) tidak boleh bagi
seorangpun –wallohu a’lam- dan seharusnya bagi orang yang berilmu -bukan yang
lain- hendaknya berpendapat mengikuti Khobar (hadits) sedang dalam perkara yang
tidak ada dalam Khobar (hadits) maka dengan qiyas pada Khobar….
Selanjutnya dalam kesimpulan
anda : “Oleh karenanya barangsiapa yang menganggap baik suatu ibadah yang tidak
dicontohkan oleh Nabi maka pada hakikatnya ia telah menjadikan ibadah tersebut
syari’at yang baru”
Jawaban kami : kami pastikan
itu bukan pernyataan Imam Syafi’iy dan bukan pula Istihsan yang dimaksud Imam
Syafi’iy, namun itu hanyalah kesimpulan anda yang lahir dari ketidak fahaman
atas pernyataan yang disampaikan Imam Syafi’iy, akibat dari mengambil pernyataan
hanya sepotong….
Selanjutnya, ketika kami
mengajukan Hujjah Spesifik baik berupa Hadits Nabi Saw maupun pandangan para
Ulama dalam masalah “Kenduri Kematian” anda tuduh kami membuat syari’at baru,
di saat yang sama anda mengharamkan “Kenduri Kematian” dengan menunjukkan
hujjah tentang qodho’ sholat dan puasa yang tentunya nggak nyambung, lantas
siapa yang sebenarnya menetapkan Syari’at baru?….
22 November 2012 09.20
Abu Al-Jauzaa' :
mengatakan...
Ya terima kasih atas
sarannya.
Gambaran Anda itu sangat-sangat
sempit. Membicarakan masalah istihsaan, maka itu akan sangat panjang jika
dikaitkan konteks perkataan para fuqahaa madzhab.
Imam Syaafi'iy itu
membolehkan qiyas, tapi melarang istihsaan. Maka dari itu, ketika membahas
istihsaan, Asy-Syaafi'iy membahas dua hal ini secara terperinci. Di antaranya
Asy-Syaafi'iy berkata dalam bab Al-Istihsaan dalam kitab Ar-Risalaah :
ولو قال بلا خبر لازم و قياس كان أقرب من الإثم
من الذي قال وهو غير عالم وكان القول لغير أهل العلم جائزا
"Dan seandainya
seseorang berkata tanpa dalil dan qiyas, maka ia lebih dekat kepada dosa
daripada orang yang berkata dalam keadaan ia bukan seorang yang berilmu.
Perkataan dari orang yang bukan ulama adalah boleh (dimaafkan)".
Ditambaha lagi keterangan
Asy-Syaafi'iy yang Anda kutip di atas.
Jadi, istihsaan yang dicela
Asy-Syaafi'iy adalah istihsaan yang keluar dari hukum nadhaair. Seandainya
istihsaan yang dilakukan itu berdasarkan dengan qiyaas yang shahih, maka
menurut Asy-Syaafi'iy itu boleh.
Dan yang patut Anda garis
bawahai sebelumnya, paham 'Wahabi' itu juga menerima qiyas mas. Orang-orang
Wahabi juga membaca kitab-kitab Ushul Fiqh seperti Ar-Risalah nya Asy-Syaafi'iy
atau Irsyaadul-Fuhuul nya Asy-Syaukaaniy. Seandainya Anda mau menyimpulkan
bahwa pernyataan dalam artikel di atas itu mengkonsekuensikan penolakan
terhadap qiyas, maka itu hanyalah kesimpulan Anda saja.
Istihsan yang dicela
Asy-Syaafi'iy itu adalah istihsan yang menyelisihi nash. Beliau rahimahullah
berkata :
أن حراماً على أحد أن يقول بالاستحسان إذا خالف
الاستحسان الخبر
“Sesungguhnya haram bagi seseorang untuk
berkata berdasarkan istihsaan, apabila istihsan-nya itu menyelisihi nash”.
Asy-Syaukani menukil
perkataan Ar-Ruyani ketika menjelaskan perkataan Asy-Syafi’iy di atas :
معناه أنه ينصب من جهة نفسه شرعًا غير الشرع
“Maknanya adalah orang yang menetapkan hukum
syar’iy atas dirinya dan tidak berdasarkan dalil-dalil syar’iy”
[Irsyaadul-Fuhuul, hal. 240].
Istihsan yang ditolak
Asy-Syaafi'iy adalah istihsan yang didasari oleh hawa nafsu tanpa ilmu. Beliau
rahimahullah berkata :
كان حلال الله وحرامه أولى أن لا يقال فيهما
بالتعسف والاستحسان وإنما الاستحسان تلذذ
"Hukum halal dan haram
Allah lebih pantas untuk tidak dikatakan dengan serampangan dan istihsaan,
karena istihsaan itu hanyalah ingin enak saja"
Jadi,...tolong Anda
membedakan antara yang dimaksud istihsaan dan qiyas olrh Asy-Syaafi'iy.
Perkataan Anda :
"Selanjutnya dalam
kesimpulan anda : “Oleh karenanya barangsiapa yang menganggap baik suatu ibadah
yang tidak dicontohkan oleh Nabi maka pada hakikatnya ia telah menjadikan
ibadah tersebut syari’at yang baru”
Jawaban kami : kami pastikan
itu bukan pernyataan Imam Syafi’iy dan bukan pula Istihsan yang dimaksud Imam
Syafi’iy, namun itu hanyalah kesimpulan anda yang lahir dari ketidak fahaman
atas pernyataan yang disampaikan Imam Syafi’iy, akibat dari mengambil
pernyataan hanya sepotong…." [selesai kutipan].
Memang itu adalah perkataan
saya, bukan perkataan Asy-Syaafi'iy. Kalau perkataan Asy-Syaafi'iy, tentu sudah
saya kasih referensi. Akan tetapi itu adalah konsekuensi logis dari perkataan
beliau rahimahullah.
[memangnya Anda paham
perkataan Asy-Syaafi'iy ?].
22 November 2012 18.50
Abu Al-Jauzaa' :
mengatakan...
Tentang kenduri makan-makan
setelah kematian, sudah jelas kok perkataan beberapa shahabat tentang hal ini :
Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajaly
radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
كنا نرى الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام من
النياحة
“Kami (para shahabat) menganggap
berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh
mereka (kepada para tamu) merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)” (HR.
Ahmad nomor 6905 dan Ibnu Majah nomor 1612).
Dari Thalhah radliyallaahu
‘anhu, ia berkata :
قدم جرير على عمر فقال : هل يناح قبلكم على
الميت. قال : لا. قال : فهل تجتمع النسآء عنكم على الميت ويطعم. قال : نعم. فقال :
تلك النياحة.
Jarir mendatangi ‘Umar,
kemudian ‘Umar berkata : “Apakah kamu sekalian suka meratapi mayit ?”. Jarir
menjawab : “Tidak”. ‘Umar berkata : “Apakah diantara wanita-wanita kalian semua
suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya ?”. Jarir
menjawab : “Ya”. ‘Umar berkata : “Hal itu sama dengan niyahah (meratapi
mayit)”. (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/487).
Kalau Anda mengatakan boleh
ya monggo saja... itu tanggung jawab Anda.
NB : Aneh sekali kalau nanti
ada yang memahami bahwa perkataan dua shahabat di atas menunjukkan hukum
kenduri kematian adalah boleh.
wallaahu a'lam.
22 November 2012 18.50
Anonim mengatakan...
assalamualikum ustad
apakah boleh melakukan
yasinan dengan dalil dibawah ini
dan ini banyak di pakai oleh
ahlul bida' sebagai dalil dari Bid'ah Hasana
Berikut riwayat shahih
mengenai diperbolehkannya mengada – adakan suatu amal tanpa diperintah oleh
Rasul saw :
Ubaidullah berkata dari Zaid
bin Tsabit: dari Anas, “Salah seorang Anshar shalat mengimami orang-orang
Anshar yang lain di Masjid Quba’. Sudah menjadi kebiasaannya membaca ‘Qul
Huwallahu Ahad’ (setelah membaca surah al-Faatihah) apabila dia hendak membaca
suatu bacaan di dalam shalat. Setelah selesai membaca surah itu (Qul Huwallaahu
Ahad), dia membaca surah yang lain bersamanya. Hal itu ia lakukan pada setiap
rakaat. Beberapa orang kawannya mengemukakan pembicaraan atau saran kepadanya
dengan berkata, ‘Sesungguhnya Anda membaca surah itu dan tidak menganggapnya
cukup, dan Anda membaca surah yang lain. Bagaimana kalau Anda membaca surah itu
saja atau meninggalkannya dan membaca yang lain?’ Orang Anshar itu menjawab,
‘Aku sama sekali tidak akan meninggalkan bacaan surah ‘Qul Huwallahu Ahad’ itu.
Oleh sebab itu, kalau kamu semua masih senang jika aku menjadi imam untukmu
dengan cara sebagaimana yang kulakukan itu, maka aku akan mengerjakan
(bertindak sebagai imam). Dan, jika kamu sudah tidak senang terhadap yang
demikian itu, biarlah aku tinggalkan kamu.’ Mereka mengetahui bahwa dia adalah
orang yang terbaik di antara mereka. Mereka pun tidak ingin orang lain
menggantikannya untuk mengimami mereka. Pada waktu Nabi saw. datang kepada
mereka seperti biasanya, mereka memberitahukan hal itu kepada beliau. Lalu Nabi
bersabda kepada orang itu, ‘Hai Fulan, apa yang melarangmu dari melakukan
sesuatu yang dimintai oleh sahabat-sahabatmu? Dan, apa yang mendorongmu untuk
senantiasa membaca surah itu di dalam setiap rakaat?’ Dia menjawab, ‘Aku
menyukai surah itu.’ Nabi bersabda, ‘Kecintaanmu kepada surah itu akan
membuatmu masuk surga.’” [HR. Bukhari]
23 November 2012 22.29
Anonim mengatakan...
Assalamu'alaikum.
ustadz tolong dijelaskan
mengenai perbuatan para sahabat yang merubah bacaan tasyahud setelah wafatnya
nabi shollallohu 'alayhi wa sallam. padahal tidak ada perintah nabi untuk itu,
sehingga sahabat yang lan memilih untuk tidak merubahnya. apa ini bukan bid'ah
ustadz?
lalu, syaikhul islam ibnu
taimiyyah yang mengkhususkan dzikir sebanyak 40 kali antara sholat qobliyah
shubuh hingga sholat shubuh tanpa dalil, apa ini bukan bid'ah ustadz. bukankah
mengkhususkan ibadah itu perlu dalil? jazakumullohu khoyron atas penjelasannya
ustadz
29 Agustus 2013 14.21
Abu Al-Jauzaa' :
mengatakan...
Biar tidak salah memahami,
bisa disebutkan riwayat atau perkataan asli yang dimaksud ?
29 Agustus 2013 14.25
Anonim mengatakan...
untuk tasyahudnya, yang saya
maksudkan perubahan dari kalimat "assalamu'alayka ayyuhannabiyyu.."
di rubah menjadi "assalamu'alannabiy.." ketika nabi telah wafat.
kemudian, Ibnul Qoyyim
berkata, “Aku mendengar Ibnu Taimiyah mengatakan, ‘Barang siapa yang merutinkan
untuk membaca sebanyak empat puluh kali di antara sholat qobliyah shubuh dengan
sholat shubuh ‘Ya Hayyu Ya Qoyyum la ilaha illa anta birohmatika astaghitsu’
maka dia akan memiliki hati yang hidup dan hatinya tidak akan mati”. (Madarijus
Salikin)
tolong dijelaskan ustadz
29 Agustus 2013 19.23
Abu Al-Jauzaa' :
mengatakan...
Anonim,.... tentang tasyahud,
itu masalah dlamir saja. Jadi, nggak ada yang dirubah. Maknanya sama. Para
ulama telah membolehkan membaca dengan dlamir assalamu'alaika atau assalamu
'alan-nabiy.
Kemudian tentang masalah
perkataan Ibnu Taimiyyah, maka di situ lah ittiba' kita terhadap Nabi diuji.
Ibnu Taimiyyah tidaklah ma'shum. Kita tidaklah mesti mengikuti semua apa yang
dikatakan Ibnu Taimiyyah. Oleh karena itu,... selama perkataan beliau tidak
didasari landasan dari syari'at, maka tidak kita terima. Mungkin saja beliau
menerima riwayat yang tidak kita ketahui atau menerima riwayat dari jalan yang
lemah atau yang lainnya. Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menerangkan sendiri
beberapa sebab ketergelinciran sebagian ulama dalam kitab Raf'ul-Malaam.
29 Agustus 2013 20.05
damai aman mengatakan...
apa boleh kita merubah dhomir
dalam bacaan sholat tanpa dalil ust? setahu saya sahabat ibnu abbas rohimahulloh
menolak untuk mengganti dhomir pada bacaan tasyahud tersebut. apakah boleh
ketika menjadi imam kita merubah doa duduk diantara dua sujud menjadi
Allohummaghfirlanaa, warhamnaa dst...
29 Agustus 2013 22.03
Abu Al-Jauzaa' :
mengatakan...
Tentu tidak sebebas begitu.
Yang kita bahas adalah tasyahud dimana dalam riwayat dalam sebagian riwayat
disebutkan assalamu'alaika dan di lain riwayat disebutkan assalamu'alan-nabiy.
Ibnu Mas'uud setelah
menyebutkan lafadh tasyahud yang diajarkan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam
(dengan lafadh : assalaamu'alaika), diakhir perkataannya berkata :
وَهُوَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْنَا، فَلَمَّا قُبِضَ،
قُلْنَا السَّلَامُ "، يَعْنِي عَلَى النَّبِيِّصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
"Itu ketika beliau
shallallaahu 'alaihi wa sallam berada di tengah-tengah kami. Namun ketika
beliau telah wafat, maka kami mengatakan : "Assalamu'alan-Nabiy"
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 6265].
Begitu juga tasyahud yang
diucapkan Ibnu 'Umar sebagaimana diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa' -
dimana Ibnu 'Umar terkenal dengan sikap ittiba'-nya kapada Nabi shallallaahu
'alaihi wa sallam.
Begitu juga tasyahud yang
diajarkan 'Aaisyah :
التَّحِيَّاتُ الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ
الزَّاكِيَّاتُ لِلَّهِ، السَّلامُ عَلَى النَّبِيِّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ
وَبَرَكَاتُهُ، السَّلامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ،
أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُولُهُ، ثُمَّ يَدْعُو الإِنْسَانُ لِنَفْسِهِ بَعْدُ "
Begitu juga Ibnu 'Abbaas dan
Ibnuz-Zubair sebagaimana diriwayatkan oleh 'Abdurrazzaaq no. 3070 dengan sanad
shahih :
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ، قَالَ:
سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ، وَابْنَ الزُّبَيْرِ، يَقُولانِ فِي التَّشَهُّدِ فِي
الصَّلاةِ: " التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ لِلَّهِ، الصَلَوَاتُ
الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ، السَّلامُ عَلَى النَّبِيِّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ
وَبَرَكَاتُهُ، السَّلامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ،
أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُولُهُ "، قَالَ: " لَقَدْ سَمِعْتُ ابْنَ الزُّبَيْرِ
يَقُولُهُنَّ عَلَى الْمِنْبَرِ يُعَلِّمُهُنَّ النَّاسَ "، قَالَ: "
وَلَقَدْ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُهُنَّ كَذَلِكَ "، قُلْتُ: فَلَمْ
يَخْتَلِفْ فِيهَا ابْنُ عَبَّاسٍ وَابْنُ الزُّبَيْرِ؟، قَالَ: " لا "
Sehingga 'Athaa' bin Abi
Rabbaah mengatakan bahwa para shahabat di jamannya mengucapkan
assalamu'alan-nabiy sewaktu Nabi telah meninggal dan assalamu'alaika hanya
mereka ucapkan saat beliau masih hidup :
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ: " أَنَّ
أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانُوا يُسَلِّمُونَ
وَالنَّبِيُّ K حَيٌّ:
السَّلامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ،
فَلَمَّا مَاتَ قَالُوا: السَّلامُ عَلَى النَّبِيِّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ
وَبَرَكَاتُهُ "
[Diriwayatkan oleh
'Abdurrazzaaq no. 3075; shahih].
Ini semua menunjukkan bahwa
lafadh assalamu'alainaa itu merupakan hal yang diajarkan oleh Nabi shallallaahu
'alaihi wa sallam, karena hal tersebut bukan ruang untuk ijtihaad. Dalam ilmu
hadits disebut mauquf, tapi marfu' hukman.
Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan
assalamu'alaika dengan khithaab kaaf pada waktu Nabi shallallaahu 'alaihi wa
sallam hidup, dan ketika beliau telah wafat para shahabat meninggalkan khithaab
tersebut dan mengucapkan dengan lafadh ghaibah [lihat Fathul-Baariy, 2/250].
Wallaahu a'lam.
29 Agustus 2013 23.25
Anonim mengatakan...
Assalamu'alaykum ust. Lalu
yang di lakukan sahabat usman bin affan dlam menambah adzan jumat itu hukumnya
apa ust? Apa ada tuntunan sebelumnya dari Nabi Shollallohu 'alaihi wasallam?
Klau ga slah dlam ilmu hadits
ada kaidah.... yang lebih mengetahui makna hadits adalah perawi hadits itu
sendiri. Bgitu ya ust, sya jga melihat seharusnya yang paling memahami makna
perkataannya imam asy syafi'i adalah murid2 beliau sendiri yaitu ulama madzhab
syafi'i bukan orang2 di luar madzhab syafi'i. Kenyataanx mayoritas madzhab
syafi'i brpendapat tidak semua bid'ah itu sesat..
17 Januari 2015 13.17
Abu Al-Jauzaa' :
mengatakan...
Wa'alaikumus-salaam.
Beberapa ulama menjelaskan
bahwa adzan tambahan yang dilakukan 'Utsmaan waktu itu bukanlah bid'ah, karena
beliau radliyallaahu 'anhu melakukannya karena ada alasan, yaitu manusia
semakin bertambah banyak sehingga adzan yang dikumandangkan (khawatir) tidak
terdengar oleh mereka yang sedang beraktivitas di pasar dan tempat-tempat lainnya.
Namun ketika sekarang sudah
ada pengeras suara, maka 'illat nya hilang, sehingga adzannya kembali pada apa
yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Faktor pendorong
itu melakukannya sudah tidak ada.
wallaahu a'lam.
2 Februari 2015 14.57
Salah kaprah dalam memahami
“Bid’ah hasanah”
Inilah perkataan yang sering
dilontarkan ahlul hawa (pengikut hawa nafsu) yang ingin membenarkan
amalan-amalan bid’ah yang mereka lakukan dengan dalih bahwa tidak semua bid’ah
itu sesat, namun ada bid’ah yang baik (hasanah), perkataan inilah yang sering
mereka nisbatkan dan sandarkan kepada madzhab syafi’i. Maka marilah kita lihat
bagaimana pandangan Imam Syafi’i dan Ulama-ulama yang bermadzhab syafi’iyyah
mengenai hal ini.
Harmalah bin Yahya
meriwayatkan :
سمعت الإمام الشافعي – رحمه الله – يقول : (
البدعة بدعتان : بدعة محمود وبدعة مذمومة ، فما وافق السنة فهو محمود ، وما خالف
السنة فهو مذموم )
”Aku mendengar Imam
Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata : ’Bid’ah itu ada dua macam : (1) Bid’ah
yang terpuji, dan (2) Bid’ah yang tercela. Apa-apa yang sesuai dengan Sunnah,
maka hal itu adalah (bid’ah yang) terpuji. Sedangkan yang menyelisihi sunnah,
maka hal itu adalah (bid’ah yang) tercela”
[Hilyatul-Auliyaa’ oleh Abu
Nu’aim 9/113, Daarul-Kutub Al-’Ilmiyyah, Cet. 1/1409 H]
Dari perkataan Al-Imam
Asy-Syafi’i diatas itulah yang menjadi sandaran kebanyakan orang yang ‘mengaku’
bermadzhab syafi’iyyah, yang ternyata perkataan inilah yang membantah mereka
sendiri.
Kalaulah kita mendefinisikan
secara terperinci apa yang dimaksud dengan ‘yang sesuai dengan sunnah’ dan apa
yang dimaksud dengan ‘yang menyelisihi sunnah’ (bid’ah) maka perkataan diatas
sejalan dengan hadits Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam, yang mana
beliau bersabda, yang artinya:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ
اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya
sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah
yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Shåhih, HR. Muslim
no. 867)
Sesungguhnya tidak ada
pertentangan dari sabda Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam diatas, dengan
perkataan imam asy-syafi’i, Seperti yang telah dinyatakan diatas. Karena, jika
kita mendefinisikan dan menempatkannya secara benar mengenai maksud bid’ah
tersebut, maka akan kita temukan bahwa ternyata keduanya akan sejalan tanpa ada
pertentangan.
Pelurusan Definisi Bid’ah
secara Bahasa Dan Maknawi
1. Pengertian bid’ah dalam
kacamata bahasa (lughah) lebih umum dibanding makna syar’inya. Antara dua makna
ini ada keumuman dan kekhususan yang mutlak, karena setiap bid’ah syar’iyyah
masuk dalam pengertian bid’ah lughawiyyah, namun tidak sebaliknya, karena
sesungguhnya sebagian bid’ah lughawiyyah seperti penemuan atau pengada-adaan
yang sifatnya materi tidak termasuk dalam pengertian bid’ah secara syari’at
[Lihat Iqhtidlaush Shirathil Mustaqim 2/590]
Contohnya yaitu, adanya
sarana-sarana baru dalam agama, seperti pesawat terbang, bus, mobil atau alat
transportasi lainnya yang memudahkan jama’ah haji dalam perjalanan hajinya,
adanya microphone untuk memudahkan orang mendengarkan adzan, adanya telefon
untuk memudahkan silaturahmi, adanya internet untuk dapat memudahkan dakwah,
dan berbagai hal-hal baru yang dapat membantu kaum muslimin dalam menjalankan
dan mengamalkan syari’at ini.
Benar ini adalah Bid’ah,
karena dahulu sarana-sarana semacam ini tidaklah ada sebelumnya, namun perlu
diketahui penggunaan sarana ini tidaklah mengubah/menambah amalan atau syari’at
baru yang telah sempurna. Jadi hal ini bukanlah termasuk bid’ah yang sesat,
seperti yang disabdakan oleh Råsulullåh shållallåhi ‘alaihi wa sallam.
2. Jika dikatakan bid’ah
secara mutlak, maka itu adalah bid’ah syar’iyyah, inilah yang dimaksud oleh
hadits “Setiap bid’ah itu sesat”, yang bid’ah disini bermakna,
“Suatu cara baru dalam
beragama yang menyerupai syari’at dan menanggapnya bagian dari syari’at, yang
dimana tujuan dibuatnya adalah untuk beribadah kepada Allah, yang sebelumnya
belum pernah sama sekali ada petunjuk dan tuntunan dari Råsulullåh shållallåhu
‘alaihi wa sallam”
Dan bid’ah lughawiyyah tidak
termasuk di dalamnya, oleh sebab itu sesungguhnya bid’ah syar’iyyah disifati
dengan dlalalah (sesat) dan mardudah (ditolak). Pemberian sifat ini sangat umum
dan menyeluruh tanpa pengecualian, berbeda dengan bid’ah lughawiyyah, maka
jenis bid’ah ini tidak termasuk yang dimaksud oleh hadits : “Setiap bid’ah itu
sesat”, sebab bid’ah lughawiyyah (bahasa) itu tidak bisa diembel-embeli sifat
sesat dan celaan serta serta tidak bisa dihukumi ditolak dan batil.
Inilah yang disebut Imam
Asy-Syafi’i Bid’ah yang tercela, karena ini telah menyelisihi syari’at yang
dibawa oleh Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam. (seperti dalam
pendefinisian beliau, bahwa bid’ah yang tercela adalah yang menyelisihi
syari’at).
Dalam sabda, Råsulullåh
shållallåhu ‘alaihi wa sallam,
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Setiap bid’ah adalah sesat”,
dan hadits semacamnya..
كُلَّ “kullu”, yang dimaksudkan
adalah ‘semua tanpa terkecuali’, Asy-Syatibhi mengatakan,
“Para ulama memaknai hadits
di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali.
Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah
yang baik.”
(Dinukil dari Ilmu Ushul
Bida’, hal. 91, Darul Ar Royah)
Abdullah bin ‘Umar
radhiyallahu ‘anhumaa pun menguatkan hadits diatas dengan berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا
النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat,
walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni
Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)
Taruhlah jika mereka tetap
kekeuh bahwa tidak setiap bid’ah adalah sesat. Maka bagaimanakah mereka jika
dihadapkan dengan lafazh hadits berikut?
كل بدعة ضلالة و كل ضلالة في النار
..wa kullu bid’atin
dhålaalah, wa KULLU DHÅLAALATIN finn-naar
“Setiap bid’ah adalah
kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka”
[HR. An-Nasa-i (III/189) dari
Jabir Radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang SHÅHIYH]
Maka dengan mengganti arti
“KULLU” dengan ‘sebagian’, maka makna hadits diatas akan menjadi:
“SEBAGIAN bid’ah adalah
kesesatan, dan SEBAGIAN KESESATAN tempatnya di neraka”
Maka kita tanyakan: “Apakah
ada kesesatan yang membawa ke surga?” Allåhul musta’aan, cukuplah ini menjadi
hujjah yang nyata bagi orang-orang yang berpikir!
Bantahan Terhadap
“Dalil-Dalil Pendukung” Bid’ah Hasanah
Lalu bagaimanakah bid’ah
hasanah yang sering digembar-gemborkan dengan menggunakan sabda Råsulullåh
shållallåhu ‘alaihi wa sallam, perkataan ‘Umar bin Khåttab, perkataan imam
asy-syafi’i, perkataan ibnu mas’ud, dan perkataan Al ‘Izz?
Maka hal ini, insya Allåh
akan kita bahas secara mendalam,
1. Pemahaman mereka terhadap
hadits,
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ
مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ. ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ
عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
”Barang siapa yang memberi
contoh yang baik di dalam Islam, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala
orang yang melakukannya setelah itu tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.
Dan barang siapa memberi contoh yang buruk dalam Islam maka dia akan
mendapatkan beban dosanya serta dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa
mengurangi beban mereka sedikitpun.” (HR. Muslim no: 1017).
Bantahan:
– Yang dimaksud dengan مَنْ
سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً adalah
“Barangsiapa yang
menghidupkan satu sunnah (yang sudah ada, dan telah dicontohkan Råsulullåh
shållallåhu ‘alaihi wa sallam). Bahkan, asbabul wurud dari hadits diatas yaitu
ketika salah seorang shahabat Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam datang
dengan membawa sedekah di satu waktu dari saat-saat krisis, kemudian
perbuatannya ini diikuti oleh orang lain sehingga mereka berturut-turut
memberikan sedekah.”
“Hadits ini tidak menunjukkan
sebagaimana yang dikatakan oleh mereka (bahwasanya ada bid’ah hasanah) karena
Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam dalam hadits tersebut tidak menyatakan:
مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً حَسَنَةً
Siapa yang mengada-adakan
bid’ah hasanah,
namun beliau shalallahu
‘alaihi wassalam hanya menyatakan:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
Barangsiapa yang menghidupkan
satu sunnah
Sementara sunnah bukanlah
bid’ah. Sunnah adalah apa yang mencocoki Al-Kitab dan As-Sunnah, mencocoki
dalil, dan sesuai dengan petunjuk dan tuntunan Råsulullåh shållallåhi ‘alaihi
wa sallam, demikianlah yang namanya sunnah.
Maka barangsiapa yang
mengamalkan satu sunnah yang ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah
ash-shåhihah –dengan menghidupkannya atau mengajarkannya kepada manusia dan
menerangkannya kepada manusia hingga mereka mengamalkan sunnah tersebut karena
mencontohnya (orang yang menghidupkan sunnah tersebut-, maka ia akan
mendapatkan pahala sunnah tersebut dan pahala orang-orang yang mengamalkannya
sampai hari kiamat.
– Al-Imam An-Nawawi
rahimahullah berkata ketika mensyarah (menjelaskan) hadits yang agung ini:
“Dalam hadits ini ada dorongan untuk mengawali melakukan amalan-amalan kebaikan
dan mengerjakan sunnah-sunnah hasanah (menghidupkan perkara kebaikan yang telah
ditinggalkan oleh orang-orang dan menghidupkan sunnah yang telah mati,.). Dan
(dalam hadits ini juga) terdapat peringatan untuk tidak melakukan perkara
kebatilan dan kejelekan.”
– Imam An-Nawawi juga
menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan yang besar bagi orang yang
memulai melakukan satu amalan kebaikan dan menjadi pembuka pintu amalan ihsan/
kebaikan bagi lainnya.
Beliau menafsirkan, “Dan
barangsiapa yang melakukan sunnah hasanah, ia akan mendapatkan pahala semisal
dengan pahala-pahala yang didapatkan oleh orang-orang yang mengamalkan sunnah
tersebut (karena mencontohnya) semasa hidupnya ataupun setelah matinya sampai
hari kiamat. Dan sebaliknya, barangsiapa membuat sunnah sayyiah, niscaya ia
akan mendapatkan dosa semisal dosa orang-orang yang menirunya dalam melakukan
sunnah tersebut semasa hidupnya atau sepeninggalnya sampai hari kiamat.
(Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 7/105-106, 16/443-444).
Maka kecelakaan besarlah,
bagi para pelaku bid’ah, jika ternyata banyak yang mengikuti kebid’ahannya itu,
karena ia akan mendapatkan dosa semisal dosa orang-orang yang menirunya (tanpa
mengurangi dosa para peniru kebid’ahan tersebut), baik semasa hidupnya atau
sepeninggalnya sampai hari kiamat. Bukannya hadits ini menjadi dalil pembenar
para pengekor hawa nafsu malah inilah yang bisa menjadi bumerang bagi mereka
sendiri.
– Bahwa makna “barangsiapa”
dalam hadits tersebut adalah “barangsiapa” yang memberi contoh aplikatif bukan
inovatif. Maka yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah mengamalkan sesuatu
yang telah ada dalam sunnah nabawiyah (bukan yang diada-adakan).
Al-Imam Abu Ishaq
Asy-Syathibi rahimahullah dalam kitabnya yang masyhur Al-I’tisham (1/233 dan
235) menyatakan bahwa dalam sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam di atas
tidaklah sama sekali menunjukkan bolehnya mengada-adakan perkara baru, tapi justru
menunjukkan pengamalan suatu sunnah yang tsabit (pasti) keberadaannya, sehingga
sunnah hasanah bukanlah perkara mubtada’ah (yang diada-adakan/ bid’ah).
– Yang menyatakan ,”Barang
siapa yang memberi sunnah/contoh yang baik dalam Islam” adalah yang menyatakan,”
Setiap bid’ah adalah sesat.” Dan mustahil beliau shållallåhu ‘alaihi wa sallam
mengatakan sesuatau yang mendustakan pernyataannya sendiri, sedangkan kedua
hadits tersebut adalah shåhih, sehingga informasi Islam ini
berbenturan.(Al-Ibda’ Ibnu Utsaimin hal:19)
2. Pemahaman mereka mengenai
perkataan ‘umar,
نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah
ini.” (HR. Bukhari no. 2010)
Bantahan
– Disebut bid’ah hasanah
disini adalah bid’ah secara bahasa-nya, dan bukanlah dimaksudkan sebagai bid’ah
secara syar’i.
Bahkan ini telah dijelaskan
oleh ulama lain, seperti Al Alamah Ibnu Hajar al haitami didalam fatwanya yang
menyatakan :
“….sedangkan ucapan ‘Umar
berkenaan dengan tarawih : Sebaik-baik bid’ah,…” yang dimaksud adalah bid’ah
secara bahasa. Yaitu sesuatu yang diperbuat tanpa contoh sebelumnya :
sebagaimana firman Allah Ta’ala : “Katakanlah Aku bukanlah rasul yang pertama
diantara rasul-rasul ….”(al Ahqaf :9)
Dikuatkan juga dengan
perkataan Al-Imam Ibnu Råjab:
“Sementara yang berkaitan dengan
ucapan sebagian ulama salaf yang mengkategorikan beberapa perbuatan sebagai
bid’ah hasanah adalah ditinjau dari pemakaian istilah bid’ah itu secara
etimologi , bukan TERMINOLOGI syar’I . Termasuk ucapan Umar Radhiallahu ‘anhu
:”Sebaik-baik bid’ah adalah perbuatan ini!!” Maksudnya adalah perbuatan
tersebut tidak dilakukan pada saat itu. Namun terdapat dalil yang menjadi dasar
perbuatan itu.”
(silahkeun lih. Jami’ul ulum
wal Hikam hadits no.28)
Terbukti, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat tarawih secara berjama’ah
pada awal Ramadhan selama dua atau tiga malam. Beliau juga pernah shalat secara
berjama’ah pada sepuluh hari terakhir selama beberapa kali. Jadi shalat tarawih
bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang dimaksudkan bid’ah dari perkataan
Umar bahwa ’sebaik-baik bid’ah adalah ini’ yaitu bid’ah secara bahasa dan bukan
bid’ah secara syar’i.
Perlu diperhatikan, apabila
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan dianjurkan atau
diwajibkannya suatu perbuatan setelah beliau wafat, atau menunjukkannya secara
mutlak, namun hal ini tidak dilakukan kecuali setelah beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam wafat (maksudnya dilakukan oleh orang sesudah beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), maka boleh kita menyebut hal-hal semacam
ini sebagai bid’ah secara bahasa.
Begitu pula agama Islam ini
disebut dengan muhdats/bid’ah (sesuatu yang baru yang diada-adakan)
–sebagaimana perkataan utusan Quraisy kepada raja An-Najasiy mengenai
orang-orang Muhajirin-. Namun yang dimaksudkan dengan muhdats/bid’ah di sini
adalah muhdats secara bahasa karena setiap agama yang dibawa oleh para Rasul
adalah agama baru. (Disarikan dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93-96)
– Kalaupun memang perkataan
Umar diatas yang dimaksudkan adlaah bid’ah syar’i, maka hal tersebut harus
disanggah. Karen perkataan sahabat jika menyelisihi hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujah (pembela). Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sedangkan Umar menyatakan
bahwa ada bid’ah yang baik. Sikap yang tepat adalah kita tidak boleh
mempertentangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan
sahabat. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencela bid’ah
secara umum tetap harus didahulukan dari perkataan yang lainnya. (Faedah dari
Iqtidho’ Shirotil Mustaqim)
Ingatlah pula dengan
perkataan Imam Asy-Syafi’i, dalam kitabnya, Hilyatul Awliya’ pada halaman 107,
yang artinya:
“Apabila engkau dapati ajaran
dari Rasulullah shallallahu alaihi wa aalihi wasallam, maka ikutilah ajaran itu
dan jangan kalian menoleh kepada pendapat seorangpun”
– Anggap saja kita katakan
bahwa perbuatan Umar adalah pengkhususan dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat.
Jadi perbuatan Umar dengan mengerjakan shalat tarawih terus menerus adalah
bid’ah yang baik (hasanah). Namun, ingat bahwa untuk menyatakan bahwa suatu amalan
adalah bid’ah hasanah harus ada dalil lagi baik dari Al Qur’an dan As Sunnah
Ash-Shåhihah sesuai pemahaman shåhabat atau ijma’ kaum muslimin. Karena
ingatlah –berdasarkan kaedah ushul fiqih- bahwa sesuatu yang tidak termasuk
dalam pengkhususan dalil tetap kembali pada dalil yang bersifat umum.
Misalnya mengenai acara
selamatan kematian (tahlilan). Jika kita ingin memasukkan amalan ini dalam
bid’ah hasanah maka harus ada dalil dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’. Kalau
tidak ada dalil yang menunjukkan benarnya amalan ini, maka dikembalikan ke
keumuman dalil bahwa setiap perkara yang diada-adakan dalam masalah agama (baca
: setiap bid’ah) adalah sesat dan tertolak.
Namun yang lebih tepat,
lafazh umum yang dimaksudkan dalam hadits ’setiap bid’ah adalah sesat’ adalah
termasuk lafazh umum yang tetap dalam keumumannya (‘aam baqiya ‘ala
umumiyatihi) dan tidak memerlukan takhsis (pengkhususan). Inilah yang tepat
berdasarkan berbagai hadits dan pemahaman sahabat mengenai bid’ah.
Lalu pantaskah kita orang-orang
saat ini memakai istilah sebagaimana yang dipakai oleh sahabat Umar?
Ingatlah bahwa umat Islam
saat ini tidaklah seperti umat Islam di zaman Umar radhiyallahu ‘anhu. Umat
Islam saat ini tidak seperti umat Islam di generasi awal dahulu yang memahami
maksud perkataan Umar. Maka tidak sepantasnya kita saat ini menggunakan istilah
bid’ah (tanpa memahamkan apa bid’ah yang dimaksudkan) sehingga menimbulkan
kerancuan di tengah-tengah umat. Jika memang kita mau menggunakan istilah
bid’ah namun yang dimaksudkan adalah definisi secara bahasa, maka selayaknya
kita menyebutkan maksud dari perkataan tersebut.
4. Pemahaman mereka terhadap
atsar, ”Apapun yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka hal itu baik menurut
Allah .”(Musnad Ahmad 1/39).
Bantahan:
– Periwayatan atsar tersebut
hanya sampai pada Abdullah Ibnu Mas’ud dan tidak sampai pada Rasulullah . Ibnul
Qoyyim berkata,” Atsar ini bukan perkataan Rasulullah dan tak seorangpun
menisbatkannya kepada beliau kecuali ia tidak mengerti tentang hadits. Ini
hanyalah dari Ibnu Mas’ud.”(Al- Furuusiyyah, Ibnul Qoyyim hal:167). Komentar
Az-Zaila’iy:” Gharib secara marfu’ dan tidak aku dapatkan kecuali terhenti pada
Ibnu Mas’ud.”(Nashburrayah 4/133).
– Fungsi alif lam dalam kata
“almuslimun”(pada atsar di atas) adalah untuk menyatakan sesuatu yang telah
diketahui yaitu para shahabah sebagaimana yang ditunjukkan oleh alur kalimat
dalam atsar tersebut dimana dikatakan di situ,” Sesungguhnya Allah melihat
hati-hati para hambaNya, maka Allah dapatkan hati Muhammad sebaik-baiknya lalu
Allah pilih beliau untuk diri-Nya dan mengutusnya untuk mengemban misi-Nya, di
mana hati para shahabah adalah yang terbaik lalu Allah jadikan mereka para
pendukungnya. Mereka berperang demi membela agamanya, maka apapun yang dianggap
baik para muslimun tersebut baik pulalah dalam pandangan Allah. Sebaliknya
apapun yang dianggap buruk oleh mereka, maka buruk pulalah dalam pandangan
Allah .”
– Bagaimana mungkin berdalih
untuk menganggap baiknya sebuah bid’ah dengan perkataan seorang shahabah yang
merupakan orang yang paling keras dalam melarang daqn mengecam bid’ah. Bukankah
telah kita baca bersama beliau mengatakan:”Ikutilah dan jangan membuat bid’ah,
karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan dan setiap bid’ah adalah
kesesatan.” Dan banyak lagi ucapan-ucapan beliau yang lain dalam hal ini.
5. Perkataan Imam Syafi’iy
(semoga Allah merahmatinya),” Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan
bid’ah tercela.”(Hilyatul aulia 9/113). “ Yang diadaadakan dalam agama itu ada
dua macam, yang diada-adakan menyelisihi Al-Quran atau sunnah, atsar atau ijma’
maka itulah bid’ah kesesatan. Sementara yang diadakan dari kebaikan yang tidak
bertentangan dengan itu semua, maka itu adalah muhdash yang tidak tercela.”
(Manaaqib Asy-Syafi’iy, Albaihaqy 1/469 dan Al-Baaits Abii Syaamah hal 94).
Bantahan:
– Perkataan Rasulullah
merupakan hujjah atas siapapun, tidak boleh dikalahkan dengan perkataan
siapapun. Tidak berlaku sebaliknya.
– Bila kita cermati perkataan
beliau, tidak ragu lagi bahwa yang beliau maksudkan dengan bid’ah terpuji
adalah bid’ah secara bahasa, sebab semua bid’ah dalam syari’ah yang menyelisihi
Al-Kitab dan As-Sunnah, sedangkan beliau mendefinisikan bid’ah terpuji dengan
batasan bahwa hal itu tidak bertentangan dengan al-Kitab dan As-Sunnah dan setiap
bid’ah dalam syaria’h pasti menyelisihi firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat
3.
– Beliau(Imam Syafi’iy)
terkenal dengan antusiasmenya yang tinggi dalam mengikuti jejak Rasulullah
serta sangat murka terhadap orang yang menolak hadits Rasulullah . Beliau
berkata,” Jika telah kau dapatkan dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi sunnah
Rasulullah , maka ambillah sunnah itu dan tinggalkan fatwaku.”(Siyar 10/43).
6. Pernyataan Al ‘Izz Ibnu
Abdissalam:” Bahwa bid’ah terbagi kedalam kategori wajib, haram, sunnah dan
mubah. Dan cara mengetahuinya adalah dengan menimbang bid’ah tersebut di atas
kaidah-kaidah syar’iyyah. Jika masuk dalam kaidah yang menghasilkan hukum
wajib, maka keberadaan bid’ah tersebut menjadi wajib begitupula jika
haram.”(Qowa’idul Ahkam 2/173).
Bantahan:
– Tidak boleh membantah
hadits Rasulullah dengan perkataan siapapun, seperti pada kasus ‘umar dan imam
syafi’i diatas
– Hal ini juga dibantah oleh
Imam Asy-Syathibi berkata:” Pembagian ini adalah rekayasa tak berdalilkan
syar’iy dan kontradiktif dengan sendirinya. Karena hakekat bid’ah adalah
kehampaannya dari dalil syar’iy baik secara nash maupun kaidah-kaidah yang
terintisarikan daripadanya karena seandainya ada dalil syar’iy atas pembagian
itu niscaya tidak ada istilah bid’ah dan berarti pula merupakan usaha korelasi
antara dua hal yang selalu kontradiktif (Jam’un baina mutanafiyaini).”(Al-
I’tishom 1/246).
– Bahwa yang dimaksud beliau
diatas adalah bid’ah secara bahasa, bukan syar’iy berdasarkan contoh-contoh
yang beliau berikan dalam hal itu.
– Al’Izz adalah sosok ulama
yang terkenal dengan sikap penyerangan serta pelarangannya yang keras terhadap
bid’ah. Bahkan beliau sendiri yang melarang orang melakukan hal-hal yang mereka
namakan dengan bid’ah hasanah.
Kesimpulan
Maka, pengelompokkan Bid’ah
di atas, tidak mungkin dan tidak boleh kita pahami bahwa Al-Imam Asy-Syafi’iy
menetapkan dan membenarkan amalan-amalan bid’ah (makna syar’iyyah) sebagai
bid’ah hasanah (satu klasifikasi yang tidak pernah disebut oleh para pendahulu
beliau). Karena dengan mengklasifikasikan seperti ini, maka bid’ah hasanah pada
hakekatnya akan kembali kepada sikap istihsan (menganggap baik sesuatu) tanpa
dilandasi dalil, yang mana ditentang oleh beliau rahimahullah sendiri.
Sebagaimana dalam beliau,
مَن اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barangsiapa yang menganggap
baik sesuatu (dalam agama, menurut pendapat/akalnya), sesungguhnya ia telah
membuat syari’at (baru)”
[Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy
hal. 374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya].
Asy-Syaukani menukil
perkataan Ar-Ruyani ketika menjelaskan perkataan Imam Asy-Syafi’iy di atas :
معناه أنه ينصب من جهة نفسه شرعًا غير الشرع
“Maknanya adalah orang yang
menetapkan hukum syar’iy atas dirinya dan tidak berdasarkan dalil-dalil syar’iy
(yang telah ditetapkan Allåh dan Råsul-Nya)” [Irsyaadul-Fuhuul, hal. 240].
Dalam kesempatan lain, Imam
Syafi’i berkata, dalam Ar-Risalah :
إِنَّمَا الاستحسانُ تلذُّنٌ
“Sesungguhnya anggapan baik
(al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu” [Ar-Risalah, hal. 507].
Cobalah kita tanyakan kepada
mereka yang berkeyakinan adanya bid’ah hasanah : “Apa standar Anda dalam
menentukan baik-tidaknya satu bid’ah ?”. Niscaya kita akan mendapatkan jawaban
yang beragam, karena memang tidak ada standarnya.
Akhirnya, jika kita rangkum
keseluruhan pendapat mereka beserta contoh-contohnya, tidaklah tersisa bid’ah
bagi mereka kecuali ia adalah hasanah.
Maka marilah kita tutup
dengan perkataan Al-‘Allamah Abu Syammah Al-Maqdisi Asy-Syafi’iy (seorang
pembesar ulama Syafi’iyyah) :
فالواجب على العالم فيما يَرِدُ عليه من الوقائع
وما يُسألُ عنهُ من الشرائعِ : الرجوعُ إلى ما دلَّ عليهِ كتابُ اللهِ المنزَّلُ،
وما صحَّ عن نبيّه الصادق المُرْسَل، وما كان عليه أصحابهُ ومَن بعدَهم مِن الصدر
الأول، فما وافق ذلك؛ أذِنَ فيه وأَمَرَ، وما خالفه؛ نهى عنه وزَجَرَ، فيكون بذلك
قد آمَنَ واتَّبَعَ، ولا يستَحْسِنُ؛ فإنَّ (مَن استحسن فقد شَرَعَ).
“Maka wajib atas seorang
ulama terhadap peristiwa yang terjadi dan pertanyaan yang disampaikan kepadanya
tentang syari’at adalah kembali kepada Al-Qur’an, riwayat shahih dari Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan atsar para shahabat serta orang-orang
setelah mereka dalam abad pertama. Apa yang sesuai dengan rujukan-rujukan
tersebut dia mengijinkan dan memerintahkan, dan apa yang tidak sesuai dengannya
dia mencegah dan melarangnya. Maka dengan itu dia beriman dan mengikuti. Dan
janganlah dia menyatakan baik menurut pendapatnya. Sebab : ‘Barangsiapa yang
menganggap baik menurut pendapatnya (istihsan), maka sesungguhnya dia telah
membuat syari’at (baru)” [Al-Ba’its ‘alaa Inkaaril-Bida’ wal-Hawadits oleh Abu
Syaammah, hal. 50]
Maraji’:
– Al-Ustadz Abul Jauzaa,
Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah dan Bid’ah Hasanah, http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/05/al-imam-asy-syafiiy-rahimahullah-dan.html
– Al-Ustadz Muhammad Abduh
Tuasikal, Mengenal Seluk Beluk BID’AH (2): Adakah BID’AH HASANAH?, http://muslim.or.id/manhaj-salaf/mengenal-seluk-beluk-bidah-2.html
– Makalah Ust Syaikh Mudrik
Ilyas dalam acara Daurah Dirosah Islamiyah pada tanggal 15, 16, 17 Maret 2002
di Masjid Abu Bakar shiddiq oleh Lajnah dakwah Yayasan Qolbun Salim Malang.”
*Dengan beberapa perubahan
dan penambahan
Silahkan buka 17 responses
menarik
(lihat source)
10 Faedah Tentang Bid’ah
I. BID’AH PEMECAH BELAH UMAT
Bid’ah adalah penyebab utama
perpecahan umat dan permusuhan di tengah-tengah mereka. Allah berfirman (yang
artinya):
“Dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan,karena itu akan mencerai beraikan kalian dari jalanNya”. [1]
Mujahid[2] menafsirkan
“jalan-jalan” dengan aneka macam bid’ah dan syubhat.[3]
Setelah menyebutkan beberapa
dalil-dalil bahwa bid’ah adalah pemecah belah umat, Imam Asy Syatibi mengatakan
:”Semua bukti dan dalil ini menunjukan bahwa munculnya perpecahan dan
permusuhan adalah ketika munculnya kebid’ahan”[4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata dalam Al Istiqomah 1/42 :
”bid’ah itu identik dengan
perpecahan sebagaimana sunnah identik dengan persatuan.”
II. BILA BID’AH DIANGGAP
SUNNAH
Sahabat Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu tatkala mengatakan:
كَيْفَ أَنْتُمْ إِذَا لَبِسَتْكُمْ فِتْنَةٌ
يَهْرَمُ فِيْهَا الْكَبِيْرُ, وَيَرْبُوْ فِيْهَا الصَّغِيْرُ, إِذَا تُرِكَ
مِنْهَا شَيْءٌ قِيْلَ تُرِكَتِ السُّنَّةُ. قَالُوْا : وَمَتَى ذَاكَ؟ قَالَ :
إِذَا ذَهَبَتْ عُلَمَاؤُكُمْ, وَكَثُرَتْ قُرَّاؤُكُمْ, وَقَلَّتْ فُقَهَاؤُكُمْ,
وَكَثُرَتْ أُمَرَاؤُكُمْ, وَقَلَّتْ أُمَنَاؤُكُمْ, وَالْتُمِسَتِ الدُّنْيَا
بِعَمَلِ الآخِرَةِ, وَتُفُقِّهَ لِغَيْرِ الدِّيْنِ
Bagaimana sikap kalian
apabila datang sebuah fitnah yang membuat orang-orang dewasa menjadi pikun,
anak-anak menjadi tua dibuatnya, dan manusia menganggapnya sunnah, apabila
ditinggalkan maka dikatakanlah, “Sunnah telah ditinggalkan.” Mereka bertanya,
“Kapankah itu terjadi?” Beliau menjawab, “Apabila telah wafat para ulama kalian
dan meninggal para pembaca kalian, sedikitnya orang-orang faqih kalian,
banyaknya para pemimpin kalian, sedikitnya orang-orang yang amanah, dunia
dikejar dengan amalan akhirat, ilmu selain agama dipelajari secara
mendalam.”[5]
Syaikh al-Albani menerangkan
bahwa hadits ini sekalipun mauquf pada Ibnu Mas’ud tetapi dia tergolong marfu’
hukman (sampai kepada Nabi n/), lalu lanjutnya: “Hadits ini merupakan salah
satu bukti kebenaran kenabian Nabi dan risalah yang beliau emban, karena setiap
penggalan hadits ini telah terbukti nyata pada zaman kita sekarang, di
antaranya banyaknya kebid’ahan dan banyaknya manusia yang terfitnah olehnya
sehingga menjadikannya sebagai suatu sunnah dan agama, lalu ketika ada Ahlus
Sunnah yang memalingkannya kepada sunnah yang sebenarnya, maka mereka
mengatakan: “Sunnah telah ditinggalkan”.!! [6]
III. SENJATA PAMUNGKAS
Dari Said bin Musayyib, ia
melihat seorang laki-laki menunaikan shalat setelah fajar lebih dari dua
rakaat, ia memanjangkan rukuk dan sujudnya. Akhirnya Said bin Musayyib pun
melarangnya. Orang itu berkata: “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah aka
menyiksaku dengan sebab shalat? “Beliau menjawab tidak, tetapi Allah akan
menyiksamu karena menyelisihi As-Sunnah”. [7]
Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani mengomentari atsar ini dalam Irwaul Ghalil 2/236 “Ini adalah jawaban
Said bin Musayyib yang sangat indah. Dan merupakan senjata pamungkas terhadap
para ahlul bid’ah yang menganggap baik kebanyakan bid’ah dengan alasan dzikir
dan shalat, kemudian membantai Ahlus Sunnah dan menuduh bahwa mereka (Ahlu
Sunnah) mengingkari dzikir dan shalat! Padahal sebenarnya yang mereka ingkari
adalah penyelewengan ahlu bid’ah dari tuntunan Rasul Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam dalam dzikir, shalat dan lain-lain”.
IV. BID’AH HASANAH, ADAKAH?
Sungguh aneh bin ajaib apa
yang dikatakan oleh al-Ghumari dalam bukunya “Itqon Shun’ah fi Tahqiqi Ma’na
al-Bid’ah” hlm. 5: “Sesungguhnya para ulama bersepakat untuk membagi bid’ah
menjadi dua macam; bid’ah terpuji dan tercela…Tidak ada yang menyelisihnya
kecuali asy-Syathibi!!!”.
Demikian ucapannya, sebuah
ucapan yang tidak membutuhkan keterangan panjang tentang bathilnya, karena para
ulama salaf semenjak dahulu hingga sekarang selalu mengingkari bid’ah dan
menyatakan bahwa setiap kebid’ahan adalah sesat. Alangkah bagusnya ucapan sahabat
Abdulloh bin Umar tatkala berkata:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ إِنْ رَآهَا
النَّاسُ حَسَنَةً
Setiap bid’ah adalah
kesesatan walaupun dipandang oleh manusia sebagai suatu kebaikan. [8]
V. KELUARGA WARNA WARNI
Sungguh unik apa yang
dikisahkan oleh Ibnu Hazm dalam Nuqothul Arus sebagaimana dalam Rosail Ibnu
Hazm 2/112-115, di antaranya:
Hirosy memiliki enam anak,
dua anaknya Ahlu Sunnah, duanya lagi dari Khowarij, duanya lagi dari Rafidhoh,
mereka saling bermusuhan, sehingga suatu kali bapak mereka mengatakan:
“Sesungguhkan Allah telah mencerai beraikan hati kalian!!”.
Sayyid al-Himyari Kisani
adalah seorang Syi’ah, sedangkan kedua orang tuanya adalah khowarij, anaknya
suka melaknat kedua orang tuanya dan kedua orang tuanya membalas melaknatnya
juga!! [9]
VI. BID’AH MEMATIKAN SUNNAH
Hassan bin ‘Athiyyah berkata:
“Tidaklah suatu kaum melakukan suatu kebid’ahan dalam agama mereka, ekcuali
Allah akan mencabut dari mereka sunnah semisalnya, kemudian dia tidak kembali
ke sunnah hingga hari kiamat”. [10]
Imam adz-Dzahabi berkata:
“Mengikuti sunnah adalah kehidupan hati dan makanan baginya. Apabila hati telah
terbiasa dengan bid’ah, maka tiada lagi ruang untuk sunnah”. [11]
VII. HATI ITU LEMAH
Suatu kali, ada dua orang
lelaki pengekor hawa nafsu datang kepada Muhammad bin Sirin seraya mengatakan:
“Wahai Abu Bakr! Kami akan menceritakan kepadamu suatu hadits? Beliau berkata:
Tidak. Keduanya mengatakan: Kami akan membacakan ayat Al-Qur’an kepadamu.
Beliau berkata: Tidak, kalian yang pergi ataukah saya yang akan pergi.
[12]Sufyan ats-Tsauri berkata: “Barangsiapa mendengarkan suatu kebid’ahan, maka
janganlah dia menceritakan kepada teman duduknya, janganlah dia memasukkan
syubhat dalam hati mereka”.
Imam adz-Dzahabi membawakannya
dalam Siyar A’lam Nubala’ 7/261, lalu berkomentar: “Mayoritas ulama salaf
seperti ini kerasnya dalam memperingatkan dari bid’ah, mereka memandang bahwa
hati manusia itu lemah, sedangkan syubhat kencang menerpa”.
VIII. ANTARA BID’AH DAN
MASLAHAT
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
memberikan sebuah kaidah penting tentang maslahat dan mafsadah, beliau berkata
:
فَكُلُّ أَمْرٍ يَكُوْنُ الْمُقْتَضِيْ
لِفِعْلِهِ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم مَوْجُوْدًا لَوْ
كَانَ مَصْلَحَةً وَلَمْ يَفْعَلْ, يُعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَصْلَحَةٍ
Setiap perkara yang faktor
dilakukannya ada pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang nampaknya
membawa maslahat tetapi tidak dikerjakan Nabi, maka jelas bahwa hal itu
bukanlah maslahat. [13]
Beliau kemudian memberikan
contoh, seperti adzan pada hari raya. Adzan itu sendiri pada asalnya adalah
maslahat. Dan faktor dilakukannya juga ada, yaitu mengumpulkan jama’ah sholat.
Tetapi Nabi tidak melakukannya. Berarti adzan pada hari raya bukanlah maslahat.
Kita menyakini hal itu sesat sebelum kita mendapatakan larangan khusus akan hal
tersebut atau sebelum kita mendapaakan
bahwa hal tersebut membawa mafsadah.
IX. PESAN SUNAN BONANG
Salah satu catatan menarik
yang terdapat dalam dokumen “Het Book van Mbonang”[14] adalah peringatan dari
sunan Mbonang kepada umat untuk selalu bersikap saling membantu dalam suasana
cinta kasih, dan mencegah diri dari kesesatan dan bid’ah. Bunyinya sebagai
berikut: “Ee..mitraningsun! Karana sira iki apapasihana sami-saminira Islam lan
mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah“.
Artinya: “Wahai saudaraku!
Karena kalian semua adalah sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah saling
mengasihi dengan saudaramu yang mengasihimu. Kalian semua hendaklah mencegah dari
perbuatan sesat dan bid’ah.[15]
X. MEMBANTAH AHLI BID’AH
Alangkah bagusnya ucapan
seorang:
يَا طَالِبَ الْعِلْمِ صَارِمْ كُلَّ بَطَّالِ
وَكُلَّ غَاوٍ إِلىَ الأَهْوَاءِ مَيَّالِ
وَلاَ تَمِيْلَنَّ يَا هَذَا إِلَى بِدَعٍ
ضَلَّ أَصْحَابُهَا بِالْقِيْلِ وَالْقَالِ
Wahai penuntut ilmu,
seranglah setiap ahli kebathilan
Dan setiap orang yang condong
kepada hawa nafsu
Janganlah dirimu condong
kepada bid’ah
Sungguh pelaku bid’ah telah
tersesat karena kabar burung. [16]
Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
[1] QS.Al-An’am: 153.
[2] Beliau adalah seorang pakar ilmu
tafsir,beliau belajar dan khatam al qur’an beserta tafsirnya perayat kepada
Ibnu Abbas sebanyak dua puluh sembilan kali. Sufyan Ats-Tsauri berkata
:”Apabila datang padamu tafsir dari Mujahid, maka cukuplah dengannya.(lihat
Ma’rifah Qurra’ kibar 1/66-67 Adz-Dzahabi, Muqodimah Tafsir 94-95 Ibnu
Taimiyyah).
[3] Jami’ul Bayan 5/88 Ibnu Jarir.
[4] Al-I’tishom 1/157.
[5] HR. Darimi 1/64, al-Hakim 4/514 dengan
sanad hasan shohih.
[6] Qiyam Romadhan hlm. 4-5.
[7] Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam Sunan
Kubra 2/466.
[8] Diriwayatkan oleh Lalikai dalam Syarah
Ushul I’tiqod: 126, Ibnu Baththoh dalam Ibanah: 205, al-Baihaqi dalam Madkhol
Ila Sunan: 191, dan Ibnu Nashr dalam as-Sunnah: 70 dan dishohihkan oleh Syaikh
al-Albani dalam Ahkam Janaiz hlm. 258.
[9] An-Nadhoir, Syaikh Bakr Abu Zaid hlm. 86.
[10] Dikeluarkan al-Lalikai: 129, ad-Darimi: 98
dengan sanad shohih.
[11] Tasyabbuh al-Khosis bi Ahlil Khomis hlm.
46.
[12] Ad-Darimi 1/109.
[13] Iqtidho’ Sirhotil Mustaqim 2/594.
[14] Dokumen ini adalah sumber tentang
walisongo yang dipercayai sebagai dokumen asli dan valid, yang tersimpan di
Museum Leiden, Belanda. Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa kajian oleh
beberapa peneliti. Diantaranya thesis Dr. Bjo Schrieke tahun 1816, dan Thesis
Dr. Jgh Gunning tahun 1881, Dr. Da Rinkers tahun 1910, dan Dr. Pj Zoetmulder
Sj, tahun 1935.
[15] Dari info Abu Yahta Arif Mustaqim,
pengedit buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para
Wali hlm. 12-13.
[16] Dzail Tarikh Baghdad 16/318, sebagaimana
dalam Ilmu Ushul Bida’ hlm. 300.
Related articles
Definisi Bid’ah Menurut Ulama
Silam
Shalat Taraweh Sunnah Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam (Sunnah Muaqad), Bukan Bid’ahnya Umar RA. Mengapa
Syiah Anti-Shalat Tarawih Berjama’ah (Karena Kedengkiannya Kepada Aisyah RA Dan
Umar RA) ?
Tentang perkataan umar radhiallahu 'anhu : "inilah
sebaik-baik bid'ah"[Disalin dari
buku Al-Ibdaa' fi Kamaalisy Syar'i wa Khatharil Ibtidaa' edisi Indonesia
Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh
Al-'Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, terbitan Yayasan Minhajus Sunnah,
Bogor - Jabar]
Bantahan
Kritikan
Ilmiah Terhadap Buku DRMAZA: Bidaah Hasanah Istilah Yang Disalah Fahami Bab 2
(Bahagian II)