Friday, September 2, 2016

‘Umar Dan Imam Syafi’i Berbicara Tentang Bid’ah Hasanah

Hasil gambar

‘Umar dan Imam Syafi’i Berbicara tentang 
Bid’ah Hasanah

Kata-kata yang sudah sangat masyhur dan telah dianggap berasal dari Umar bin Khottob dan Imam Asy Syafi’i. Sebagaian orang lantas menyangka selama bid’ah itu baik, maka tidaklah masalah diamalkan. Karena bid’ah menurutnya ada yang baik (bid’ah hasanah) dan ada bid’ah yan jelek (bid’ah sayyi’ah). Lantas segala amalan pun yang tanpa tuntunan cuma sekedar dibangun atas landasan niat baik menjadi legal.

Khalifah ‘Umar dan Imam Syafi’i Berbicara Mengenai Bid’ah Hasanah
‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu ketika menghidupkan shalat tarawih secara berjama’ah, beliau berkata,
الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.[1]
Imam Syafi’i rahimahullah berkata,
البدعة بدعتان: بدعة محمودة، وبدعة مذمومة، فما وافق السنة، فهو محمود، وما خالف السنة، فهو مذموم
“Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madzmumah (yang tercela). Jika suatu amalan bersesuaian dengan tuntunan Rasul, itu termasuk amalan terpuji. Namun jika menyelisihi tuntunan, itu termasuk amalan tercela”[2]
Memahami Perkataan ‘Umar bin Khottob tentang Shalat Tarawih
Mengenai kisah keluarnya ucapan ‘Umar “sebaik-baik bid’ah adalah ini” dapat kita saksikan pada hadits berikut ini.
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ, وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ. فَقَالَ عُمَرُ: وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَانِي لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ, فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ. قَالَ: ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ, فَقَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ, وَالَّتِي تَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي تَقُومُونَ, يَعْنِي آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ
Dari Abdurrahman bin Abdil Qaary katanya; aku keluar bersama Umar bin Khatthab di bulan Ramadhan menuju masjid (Nabawi). Sesampainya di sana, ternyata orang-orang sedang shalat secara terpencar; ada orang yang shalat sendirian dan ada pula yang menjadi imam bagi sejumlah orang. Maka Umar berkata: “Menurutku kalau mereka kukumpulkan pada satu imam akan lebih baik…” maka ia pun mengumpulkan mereka –dalam satu jama’ah– dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya di malam yang lain, dan ketika itu orang-orang sedang shalat bersama imam mereka, maka Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini, akan tetapi saat dimana mereka tidur lebih baik dari pada saat dimana mereka shalat”, maksudnya akhir malam lebih baik untuk shalat karena saat itu mereka shalatnya di awal malam.[3]
Perkataan ‘Umar di atas disikapi oleh Ibnu Rajab dengan pernyataan berikut,
“Adapun perkataan ulama salaf yang menganggap adanya bid’ah yang baik, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah lughowi (bid’ah secara bahasa) dan bukan menurut istilah syar’i. Contoh perkataan yang dimaksud adalah perkataan ‘Umar bin Khottob ketika beliau mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) bersama dengan satu imam di masjid. Lantas ‘Umar keluar dan melihat mereka shalat (dengan satu imam), lalu ia pun berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Diriwayatkan bahwa Ka’ab bin Malik berkata pada ‘Umar, “Ini sebelumnya tidak ada”. “Aku tahu. Akan tetapi perbuatan ini baik (hasan)”, jawab ‘Umar. Yang dimaksudkan oleh ‘Umar bahwa shalat tarawih sebelumnya tidak dilakukan seperti itu sebelumnya. Akan tetapi, ada landasan dalam syari’at mengenai hal ini di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong dan memotivasi untuk melaksanakan qiyam Ramadhan. Dahulu di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang melaksanakan shalat tarawih secara jama’ah namun terpisah-pisah atau berkelompok-kelompok. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama para sahabat di bulan Ramadhan lebih dari semalam. Kemudian beliau enggan melaksanakannya lagi karena khawatir shalat tarawih itu wajib. Beliau pun tidak merutinkannya setelah itu. Namun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kekhawatiran tersebut sudah tidak ada. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan shalat tarawih bersama para sahabatnya di malam ganjil di sepuluh hari terakhir dari Ramadhan”.[4]
Ibnu Rajab setelah itu mengatakan bahwa shalat tarawih yang dihidupkan kembali oleh ‘Umar tetap sah dan bukan bid’ah karena itu adalah bagian dari sunnah[5] (ajaran) khulafaur rosyidin al mahdiyyin[6] yang kita juga diperintahkan untuk mengikutinya. Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Alasan lain bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikuti sunnah (ajaran) khulafaur rosyidin. Bahkan shalat tarawih telah menjadi sunnah (ajaran) khulafaur rosyidin. Manausia di masa ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali juga menghidupkannya secara berjama’ah.”[7]
Dalil bahwasanya kita diperintahkan mengikuti ajaran khulafaur rosyidin,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegang teguhlah dengan ajaranku dan ajaran kholifah yang diberi petunjuk dalam ilmu dan amal, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah (kuat-kuat) dengan gigi geraham kalian”.[8]
Ibnu Taimiyah berkata, “Perlu dipahami bahwa istilah bid’ah hasanah yang disebutkan ‘Umar hanyalah penyebutan bid’ah secara bahasa dan bukan istilah syari’at. Karena bid’ah  secara bahasa berarti setiap perbuatan yang diawali tanpa ada contoh sebelumnya.”[9]
Perkataan bid’ah dengan artian bahasa -yaitu sesuatu yang baru- dikatakan pula oleh anak ‘Umar bin Khottob, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Yang namanya adzan pertama pada shalat Jum’at baru dilakukan di masa ‘Utsman karena kebutuhan manusia akan hal itu. Dan amalan ini diteruskan pula oleh ‘Ali bin Abi Tholib. Namun Ibnu ‘Umar lantas berkata, “Huwa bid’ah (ini adalah bid’ah)”. Ibnu Rajab menerangkan maksud Ibnu ‘Umar, “Sepertinya Ibnu ‘Umar ingin berkata seperti maksud ayahnya dalam masalah qiyam Ramadhan (shalat tarawih).”[10]
Bagaimana bisa hadits dipertentangkan dengan perkataan sahabat?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sebagaimana sabdanya,
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Setiap bid’ah adalah sesat?”[11] Asy Syathibi mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah hasanah.”[12] Artinya setiap bid’ah itu tercela, tidak ada yang hasanah.
Lalu bagaimana kita menyikapi perkataan ‘Umar?
Taruhlah kita setuju dengan perkataan ‘Umar bahwa ada bid’ah hasanah karena beliau telah berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Maka cukup disanggah seperti kata Ibnu Taimiyah, “Perkataan sahabat bukanlah argumen. Bagaimana perkataan sahabat bisa sebagai alasan di saat bertentangan dengan sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”[13]
Jika dengan perkataan sahabat saja tidak bisa dipertentangkan dengan sabda Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, lantas bagaimana lagi dengan perkataan ulama yang berada di bawah sahabat?
Memahami Perkataan Imam Syafi’i
Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam fatawanya menjelaskan maksud perkataan Imam Asy Syafi’i di atas seraya berkata, “Apa saja yang menyelisihi dalil, maka itu adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin. Dan apa yang tidak diketahui menyelisihi dalil, maka tidak disebut bid’ah. Imam Syafi’i rahimahullah menuturkan, “Bid’ah itu ada dua macam, yaitu bid’ah yang menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah, ijma’ dan atsar dari sebagian sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bid’ah seperti ini termasuk bid’ah dholalah (sesat). Sedangkan jika tidak menyelisihi dalil-dalil tadi, maka ia termasuk bid’ah hasanah.” Karena  ‘Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Perkataan semacam ini dan semisalnya dikeluarkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih”.[14]
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah menjelaskan maksud perkataan Imam Asy Syafi’i mengenai bid’ah hasanah (mahmudah) dan bid’ah madzmumah, “Yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i rahimahullah seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa bid’ah madzmumah (yang tercela) adalah segala amalan yang tidak ada asalnya dalam syari’at yang mendukungnya. Inilah bid’ah yang dimutlakkan dalam syari’at. Sedangkan bid’ah yang terpuji (bid’ah hasanah, pen) adalah bid’ah yang bersesuaian dengan sunnah (ajaran Rasul), yaitu yang memiliki asal dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pendukung. Namun yang dimaksudkan dengan bid’ah hasanah di sini adalah bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah menurut istilah syar’i karena bid’ah kedua ini bersesuaian dengan ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”[15]
Ibnu Rajab rahimahullah juga menambahkan, “Telah diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i perkataan beliau yang menafsirkan perkataan beliau di atas. Imam Syafi’i berkata,
والمحدثات ضربان : ما أُحدِثَ مما يُخالف كتاباً ، أو سنةً ، أو أثراً ، أو إجماعاً ، فهذه البدعة الضلال ، وما أُحدِث مِنَ الخير ، لا خِلافَ فيه لواحدٍ مِنْ هذا ، وهذه محدثة غيرُ مذمومة
“Perkara yang muhdats (yang baru) itu ada dua macam, yaitu pertaka yang dibuat-buat dan menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah, atsar (sahabat) dan ijma’, maka ini termasuk bid’ah dholalah (yang sesat). Sedangkan perkara yang masih dalam kebaikan yang tidak menyelisihi dalil-dalil tadi, maka itu bukanlah perkara baru (bid’ah) yang tercela”.[16]
Intinya di sini, sahabat mulia seperti ‘Umar bin Khottob dan Imam Syafi’i bukanlah orang yang begitu mudahnya melegalkan bid’ah. Dengan perkataan mereka berdua, orang-orang beralasan adanya bid’ah yang hasanah sehingga acara bid’ah maulid, selamatan kematian, yasinan, dan tahlilan sah-sah saja untuk dilegalkan. Karena perbuatan-perbuatan tadi jelas baik menurut mereka. Sebagai penutup, kami ulas sanggahan terakhir berikut ini bagi siapa saja yang beralasan dengan dua orang terkemuka di atas.
Pertama: Secara jelas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat tanpa ada pengecualian. Maka tidak bisa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dipertentangkan dengan perkataan sahabat atau perkataan imam madzhab. Sebagaimana kata Ibnu ‘Abbas dan Mujahid, lalu perkataan ini masyhur diucapkan oleh Imam Malik, juga diucapkan oleh Imam Ahmad,
ليس أحد إلا ويؤخذ من رأيه ويترك ؛ ما خلا النبي
“Pendapat seseorang bisa diambil atau ditinggalkan selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”
Kedua: Jika seseorang merenungkan kembali perkataan Imam Syafi’i, “Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madzmumah (yang tercela). Jika suatu amalan bersesuaian dengan tuntunan Rasul, itu termasuk amalan terpuji. Namun jika menyelisihi tuntunan, itu termasuk amalan tercela”. Maksud beliau di sini adalah jika suatu amalan tidak menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah, maka itulah bid’ah hasanah (mahmudah) karena dalam perkataan beliau dikaitkan dengan demikian. Jika tidak demikian maksudnya, apalah gunanya beliau membuatkan kaitan setelah perkataannya. Setiap bid’ah yang menyelisihi syari’at bertentangan dengan ayat yang menyatakan bahwa Islam telah sempurna,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu” (QS. Al Ma’idah: 3). Begitu pula bid’ah yang tercela bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718).
Ibnu Taimiyah berkata, “Setiap bid’ah bukan wajib dan bukan sunnah, maka ia termasuk bid’ah sayyi’ah dan termasuk bid’ah dholalah (yang menyesatkan) menurut sepakat para ulama. Siapa yang menyatakan bahwa sebagian bid’ah dengan bid’ah hasanah, maka itu jika telah ada dalil syar’i yang mendukungnya yang menyatakan bahwa amalan tersebut sunnah (dianjurkan). Jika bukan wajib dan bukan pula sunnah (anjuran), maka tidak ada seorang ulama pun mengatakan amalan tersebut sebagai hasanah (kebaikan) yang mendekatkan diri kepada Allah.”[17]
Ketiga: Sudah sangat ma’ruf bahwa Imam Syafi’i  adalah orang yang paling semangat dalam ittiba’ atau mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau juga adalah orang yang sangat keras pada orang yang membantah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat saja perkataan beliau pada orang yang menentang ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Ar Rabie’ (murid Imam Syafi’i) bercerita, Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya, “Lalu bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata kepadanya,
أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ  وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ
“Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat lain…!?”[18]
Jika Imam Syafi’i bersikap keras dalam hal semacam ini, bagaimana mungkin kita pahami bahwa perkataan beliau berseberangan dengan sabda Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Kullu bid’atin dholalah” (setiap bid’ah adalah sesat). Seharusnya kita memposisikan dengan benar perkataan Imam Syafi’I, yaitu kita pahami dengan pemahaman yang tidak bertentangan dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadinya kita pahami bahwa maksud Imam Syafi’i adalah bid’ah secara bahasa. Hal yang membuat kita seharusnya semakin husnuzhon kepada Imam Syafi’i karena beliau pernah mengeluarkan perkataan-perkataan seperti berikut ini,
إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ  فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ  وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ
“Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang.”[19]
كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ  فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ
“Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku.”[20]
كُلُّ مَا قُلْتُ فَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ   خِلاَفُ قَوْلِي مِمَّا يَصِحُّ فَحَدِيثُ النَّبِيِّ أَوْلىَ فَلاَ تُقَلِّدُونِي
“Semua yang pernah kukatakan jika ternyata berseberangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi lebih utama untuk diikuti dan janganlah kalian taqlid kepadaku.”[21]
كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا  قُلْتُ فَأَناَ رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِي وَبَعْدَ مَوْتِي
“Setiap masalah yang di sana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku.”[22]
إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ
“Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.”[23]
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.”[24]
Setelah kita mengetahui pernyataan Imam Syafi’i bahwa perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib didahulukan dari ucapan beliau, maka semestinya kita berbaik sangka kepada beliau dengan mendudukkan ucapan beliau mengenai bid’ah tadi sebagai bid’ah secara bahasa, –yaitu setiap hal baru– yang tidak ada kaitannya dengan agama. Dengan demikian, antara ucapan Imam Syafi’i; “Bid’ah mahmudah dan madzmumah” dan sabda Rasulullah; “setiap bid’ah sesat” tidak akan bertabrakan.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 14 Jumadats Tsaniyah 1433 H
[1] HR. Bukhari no. 2010.
[2] Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 9: 113.
[3] HR. Malik dalam Al Muwaththa’ bab: Ma jaa-a fi qiyami Ramadhan.
[4] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 128.
[5] Sunnah adalah jalan yang ditempuh. Sunnah di sini bukan hanya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, termasuk pula ajaran para kholifah rosyidin berupa i’tiqod, keyakinan, amalan dan perkataan. Inilah pengertian sunnah yang sempurna dan yang dipegang oleh para ulama salaf, mereka tidaklah memaksudkan kecuali demikian. Inilah yang diriwayatkan dari Al Hasan Al Bashri, Al Auza’i dan Al Fudhail bin ‘Iyadh.
Namun kebanyakan ulama belakangan memahami sunnah dengan maksud i’tiqod (keyakinan) karena i’tiqod itulah yang disebut ushulud diin (pokok ajaran Islam). Sehingga yang menyelisihi sunnah ini, ia berarti telah berada dalam bahaya yang besar (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 120).
[6] Rusydu adalah mengenal kebenaran dan mengikutinya (mengamalkannya). Ghowi adalah mengenal kebenaran tetapi tidak mengikutinya. Sedangkan dholal adalah tidaklah mengenal dan mengamalkan kebenaran. Setiap orang yang rosyid, maka dia disebut muhtad (mendapat petunjuk). Setiap yang mendapati petunjuk secara sempurna dialah rosyid. Yang namanya hidayah adalah dengan mengenal dan mengamalkan kebenaran sekaligus (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 126).
[7] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 129.
[8] HR. Abu Daud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 42. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shahih. Begitu pula hal yang sama dinyatakan oleh Syaikh Al Albani.
[9] Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, 1: 95.
[10] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 129.
[11] HR. Muslim no. 867, Abu Daud no. 4607, An Nasai no. 1578.
[12] Disebutkan oleh Asy Syatibi dalam fatawanya hal. 180-181. Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91.
[13] Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, 1: 95.
[14] Majmu’ Al Fatawa, 20: 163.
[15] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131.
[16] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’I (1: 468-469). Riwayat ini shahih sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq beliau terhadap Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131.
[17] Majmu’ Al Fatawa, 1: 162.
[18] Hilyatul Auliya’, 9: 107.
[19] Al Majmu’ syarh Al Muhadzdzab, 1: 63.
[20] Tarikh Dimasyq, 51: 389.
[21] Tarikh Dimasyq, Ibnu ‘Asakir, 2: 9: 15.
[22] Hilyatul Auliya’, 9: 107.
[23] Siyar A’laamin Nubala’, 3: 3284-3285.
[24] I’lamul Muwaqi’in, 2: 282.


Al-Imam Asy-Syafi'iy rahimahullah dan Bid'ah Hasanah

Pada bahasan pembagian bid’ah, beberapa ulama membagi bid’ah menjadi dua yaitu : bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) dan bid’ah yang tercela (bid’ah madzmumah). Mereka menyandarkan pembagian tersebut kepada Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah, yang kemudian dengan semangat pembagian ini diikuti secara ghulluw oleh para pengikut hawa nafsu. Melalui dasar pembagian bid’ah ini, maka hampir dikata tidak ada istilah bid’ah (dlalalah) dalam terminology syari’at menurut mereka, karena setiap orang berhak untuk menentukan kadar baik dalam bid’ah yang mereka lakukan.

Oleh karena itu, pada artikel kali ini saya mencoba menuliskan secara singkat tentang bid’ah hasanah menurut sisi pandang Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah. Namun sebelumnya, perlu kiranya saya tuliskan sedikit dalil dan riwayat atau atsar yang menyinggung tentang tercelanya bid’ah dan bahayanya.

Allah ta’ala berfirman :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu” [QS. Al-Maaidah : 3].

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ (مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ)

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus Allah kepada suatu umat sebelumku melainkan dari umatnya itu terdapat orang-orang yang menjadi pengikut (hawariyyun) dan shahabatnya yang mereka mengambil sunnahnya dan mentaati perintahnya. Kemudian setelah itu terjadi kebusukan/perselisihan dimana mereka mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan tangannya, maka ia seorang mukmin. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan lisannya maka ia seorang mukmin. Dan barangsiapa yang memerangi mereka dengan hatinya, ia juga seorang mukmin. Selain itu, maka tidak ada keimanan sebesar biji sawipun”  [HR. Muslim no. 50 dan Ahmad 1/458 no. 4379, 1/461 no. 4402].

Berkata Bakr bin Al-’Alaa’ :

فَقَالَ مُعَاذُ بْنِ جَبَلٍِ يَوْمًَا : إِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ فِتَنًا، يَكْثُرُ فِيْهَا الْمَالُ، وَيُفْتَحُ فِيْهَا الْقُرْانُ، حَتَّى يَأْخُذَهُ الْمُؤْمِنُ وَالْمُنَافِقُ، وَالرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ، وَالصَّغِيْرُ وَالْكَبِيْرُ، وَالْعَبْدُ وَالْحُرُّ، فَيُوْشِكُ قَائِلٌُ أَنْ يَقُوْلَ : مَا لِلنَّاسِ لاَ يَتَّبِعُوْنِي، وَقَدْ قَرَأْتُ الْقُرْانَ ؟ مَا هُمْ بِمُتَّبِعِيَّ حَتَّى أَبْتَدَعَ لَهُمْ غَيْرَهُ ! فَإِيَّكُمْ وَمَا ابْتُدِعَ، فَإِنَّ مَا ابْتُدِعَ ضَلاَلَةٌُ، وَأُحَذُِّرُكُمْ زَيْغَةَ الْحَكِيْمِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَقُوْلُ كَلِمَةَ الضَّلاَلَةِ عَلَى لِسَانِ الْحَكِيْمِ، وَقَدْ يَقُوْلُ الْمُنَافِقُ كَلِمَةَ الْحَقِّ.

Mu’adz bin Jabal berkata pada suatu hari : ”Sesungguhnya di belakang kalian nanti akan terdapat fitnah, dimana pada waktu itu harta berlimpah ruah dan Al-Qur’an dalam keadaan terbuka hingga semua orang baik mukmin, munafiq, laki-laki, perempuan, anak kecil, orang dewasa, hamba sahaya, atau orang merdeka pun membacanya. Pada saat itu akan ada seseorang yang berkata : ’Mengapa orang-orang itu tidak mengikutiku padahal aku telah membaca Al-Qur’an ? Mereka itu tidak akan mengikutiku hingga aku membuat-buat sesuatu bagi mereka dari selain Al-Qur’an !’. Maka hendaklah kamu hati-hati/waspada dari apa-apa yang dibuat-buat (oleh manusia), karena sesungguhnya apa-apa yang dibuat-buat (bid’ah) itu adalah kesesatan. Dan aku peringatkan kalian akan penyimpangan yang dilakukan oleh seorang hakim ! Karena seringkali syaithan itu mengatakan kalimat kesesatan melalui lisan seorang hakim, dan seringkali seorang munafiq itu berkata tentang kebenaran” [HR. Abu Dawud no. 4611; shahih – Shahih Sunan Abi Dawud 3/120].

عَنْ عَبْدِ اللهِ (بْنِ مَسْعُوْد) قَالَ : الْقَصْدُ فِي السُّنَّةِ خَيْرٌ مِنْ الاجْتِهَادِ فِي الْبِدْعَةِ

Dari ’Abdullah (bin Mas’ud) radliyallaahu ’anhu ia berkata : ”Sederhana dalam sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah” [Diriwayatkan oleh Ad-Darimi no. 223, Al-Laalikaiy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 14, 114, Al-Haakim 1/103, dan yang lainnya; sanad riwayat ini jayyid].

عَن المبَارَك عَن الحَسَن قَالَ سننكم والله الذي لا إله إلا هو بينهما بين الغالي والجافي فاصبروا عليها رحمكم الله فإن أهل السنة كانوا أقل الناس فيما مضى وهم أقل الناس فيما بقي الذين لم يذهبوا مع أهل الأتراف في أترافهم ولا مع أهل البدع في بدعهم وصبروا على سنتهم حتى لقوا ربهم فكذلك إن شاء الله فكونوا

Dari ’Abdillah bin Al-Mubarak dari Al-Hasan ia berkata : ”Perbedaan antara perilaku/perikehidupan kalian dengan sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah yang tiada tuhan yang patut disembah dengan benar melainkan Dia, seperti perbedaan antara sesuatu yang sangat berharga (mahal) dengan sesuatu yang busuk (murah). Maka bersabarlah kalian dalam memegang syari’at Allah, niscaya Allah akan mengasihi kalian. Sesunggunya Ahlus-Sunnah itu merupakan kelompok yang sangat sedikit dan kecil, baik pada masa lampau maupun pada masa yang akan datang. Mereka itu adalah orang yang tidak senang bercampur dengan ahli maksiat pada kemaksiatan mereka, dan tidak mau bekerjasama dengan para ahli bid’ah dalam mengerjakan kebid’ahan mereka. Bersabarlah kalian dalam memegang apa yang diwariskan oleh Ahlus-Sunnah hingga kalian menghadap Tuhannya (Allah). Seandainya kalian melakukannya, maka insyaAllah keberadaan kalian seperti mereka” [Diriwayatkan oleh Ad-Darimi no. 222; dla’if].

عَنِ ابْنِ الْعَبَاس – رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا – أَنَهُ قَالَ : مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ ، إِلّا أَحْدَثُوْا فِيْهِ بِدْعَةً ، وَأَمَاتُوْا فِيْهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَا الْبِدَعِ وَتَمُوْتُ السُّنَنُ.

Dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma bahwasannya ia berkata : Tidaklah datang kepada manusia satu tahun kecuali mereka membuat-buat bid’ah dan mematikan sunnah di dalamnya. Hingga hiduplah bid’ah dan matilah sunnah” [Al-Haitsami berkata dalam Majma’uz-Zawaaid, 1/188, Bab Fil-Bida’i wal-Ahwaa’ : ”Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir, dan rijalnya adalah terpercaya”. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Wadldlaah dalam Kitaabul-Bida’ hal. 39].

Itulah sedikit di antara nash dan atsar dari para pendahulu kita yang shalih (as-salafush-shalih) tentang tercelanya bid’ah. Mereka memutlakkan apa-apa yang baru dalam syari’at yang tidak ada dalilnya dan tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam serta para shahabatnya sebagai bid’ah. Mereka tidak pernah mengecualikan bid’ah dengan kata hasanah (baik), karena seluruh bid’ah menurut mereka adalah dlalalah (sesat). Barangsiapa yang mengklaim ada bid’ah yang tergolong hasanah, maka pada hakekatnya ia telah menuduh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menyampaikan semua risalah. Baik baginya untuk memperhatikanlah perkataan Ummul-Mukminin ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa :

وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَمَ شَيْئًَا مِمَّا أَنْزَلَ اللهُ عَلَيْهِ، فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَيْهِ الْفِرْيَةًَ، واللهُ يَقُوْلُ : (يَا أَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَه)

“Dan barangsiapa yang menyangka Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari apa-apa yang diturunkan Allah, sungguh ia telah membuat kedustaan yang sangat besar terhadap Allah. Padahal Allah telah berfirman : ”Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS. Al-Maidah : 67) [HR. Al-Bukhari no. 7380 dan Muslim no. 177].

Juga hendaknya ia memperhatikan perkataan ’Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma :

كُلُّ بِدْعَةٍِ ضَلاَلَةٌُ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةًَ

”Setiap bid’ah itu adalah sesat walaupun manusia memandangnya sebagai satu kebaikan” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikai dalam Syarh Ushulil-I’tiqad no. 205 dan Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah no. 205 dengan sanad shahih].

Jika kita kaitkan dengan perbuatan salafunash-shaalih di bawah, maka perkataan di atas akan lebih jelas maksudnya.

عن نافع أن رجلا عطس إلى جنب بن عمر فقال الحمد لله والسلام على رسول الله قال بن عمر وأنا أقول الحمد لله والسلام على رسول الله وليس هكذا علمنا رسول الله صلى الله عليه وسلم علمنا أن نقول الحمد لله على كل حال

Dari Nafi’ : Bahwasannya ada seseorang bersin di samping Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, lalu dia berkata : “Alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasulihi (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi Rasul-Nya)”. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Dan saya mengatakan, alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan tetapi tidak demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami. Akan tetapi beliau mengajarikami untuk mengatakan : “Alhamdulillah ‘alaa kulli haal” (Alhamdulillah dalam segala kondisi) [HR. At-Tirmidzi no. 2738, Hakim 4/265-266, dan yang lainnya dengan sanad hasan].

Membaca shalawat kepada Nabi di waktu yang tidak dicontohkan (yaitu sewaktu bersin) ternyata diingkari oleh Ibnu ‘Umar dengan alasan bahwa hal itu tidak dicontohkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Itulah bid’ah. Tidak ada pemahaman di dalamnya adanya bid’ah hasanah (walau dengan alasan membaca shalat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam).

Oleh karena itu, Al-Imam Malik rahimahullah – pemimpin ulama Madinah di jamannya – sangat mengingkari bid’ah hasanah. Ibnul-Majisyun mengatakan :

سمعت مالكا يقول : "من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة ، فقد زعم أن محمدا – صلى الله عليه وسلم- خان الرسالة ، لأن الله يقول :{اليوم أكملت لكم دينكم}، فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا"

”Aku mendengar Imam Malik berkata : ”Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”. Maka apa saja yang pada hari itu (yaitu hari dimana Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam beserta para shahabatnya masih hidup) bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama” [Al-I’tisham oleh Asy-Syathibi, 1/49].

Kembali pada pembahasan Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah. Kita tidak pernah berpandangan bahwa beliau menyelisihi pendahulunya dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in. Tidak pula ia menyelisihi gurunya, Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah sebagaimana di atas. Beliau (Al-Imam Asy-Syafi’iy) pernah berkata :

مَن اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

“Barangsiapa yang menganggap baik sesuatu (menurut pendapatnya), sesungguhnya ia telah membuat syari’at” [Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal. 374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya].

Asy-Syaukani menukil perkataan Ar-Ruyani ketika menjelaskan perkataan Asy-Syafi’iy di atas :

معناه أنه ينصب من جهة نفسه شرعًا غير الشرع

“Maknanya adalah orang yang menetapkan hukum syar’iy atas dirinya dan tidak berdasarkan dalil-dalil syar’iy” [Irsyaadul-Fuhuul, hal. 240].

Dalam Ar-Risalah, Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah mengatakan :

إِنَّمَا الاستحسانُ تلذُّنٌ

“Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu” [Ar-Risalah, hal. 507].

Dan juga dalam kitab Al-Umm (7/293-304) terdapat pasal yang indah berjudul : Pembatal Istihsaan/Menganggap Baik Menurut Akal (Ibthaalul-Istihsaan).

Perkataan-perkataan di atas tidak mungkin kita pahami bahwa Al-Imam Asy-Syafi’iy menetapkan bid’ah hasanah – satu klasifikasi yang tidak pernah disebut oleh para pendahulu beliau. Bid’ah hasanah pada hakekatnya kembalinya pada sikap istihsan (menganggap baik sesuatu) tanpa dilandasi dalil, dan ini ditentang oleh beliau rahimahullah. Apabila kita tanya kepada mereka yang berkeyakinan adanya bid’ah hasanah : “Apa standar Anda dalam menentukan baiknya satu bid’ah ?”. Niscaya kita akan mendapatkan jawaban yang beragam, karena memang tidak ada standarnya. Akhirnya, jika kita rangkum keseluruhan pendapat mereka beserta contoh-contohnya, tidaklah tersisa bid’ah bagi mereka kecuali ia adalah hasanah. Al-‘Allamah Abu Syammah Al-Maqdisi Asy-Syafi’iy (seorang pembesar ulama Syafi’iyyah) berkata :

فالواجب على العالم فيما يَرِدُ عليه من الوقائع وما يُسألُ عنهُ من الشرائعِ : الرجوعُ إلى ما دلَّ عليهِ كتابُ اللهِ المنزَّلُ، وما صحَّ عن نبيّه الصادق المُرْسَل، وما كان عليه أصحابهُ ومَن بعدَهم مِن الصدر الأول، فما وافق ذلك؛ أذِنَ فيه وأَمَرَ، وما خالفه؛ نهى عنه وزَجَرَ، فيكون بذلك قد آمَنَ واتَّبَعَ، ولا يستَحْسِنُ؛ فإنَّ (مَن استحسن فقد شَرَعَ).

“Maka wajib atas seorang ulama terhadap peristiwa yang terjadi dan pertanyaan yang disampaikan kepadanya tentang syari’at adalah kembali kepada Al-Qur’an, riwayat shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan atsar para shahabat serta orang-orang setelah mereka dalam abad pertama. Apa yang sesuai dengan rujukan-rujukan tersebut dia mengijinkan dan memerintahkan, dan apa yang tidak sesuai dengannya dia mencegah dan melarangnya. Maka dengan itu dia beriman dan mengikuti. Dan janganlah dia menyatakan baik menurut pendapatnya. Sebab : ‘Barangsiapa yang menganggap baik menurut pendapatnya (istihsan), maka sesungguhnya dia telah membuat syari’at” [Al-Ba’its ‘alaa Inkaaril-Bida’ wal-Hawadits oleh Abu Syaammah, hal. 50].

Lantas bagaimana riwayat yang dibawakan oleh Abu Nu’aim tentang perkataan Asy-Syafi’iy tentang pembagian bid’ah terpuji dan tercela ?

Harmalah bin Yahya meriwayatkan :

سمعت الإمام الشافعي – رحمه الله – يقول : ( البدعة بدعتان : بدعة محمود وبدعة مذمومة ، فما وافق السنة فهو محمود ، وما خالف السنة فهو مذموم )

”Aku mendengar Imam Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata : ’Bid’ah itu ada dua macam : (1) Bid’ah yang terpuji, dan (2) Bid’ah yang tercela. Apa-apa yang sesuai dengan Sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) terpuji. Sedangkan yang menyelisihi sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) tercela” [Hilyatul-Auliyaa’ oleh Abu Nu’aim 9/113, Daarul-Kutub Al-’Ilmiyyah, Cet. 1/1409 H].

Asy-Syaikh ‘Ali Al-Halabiy hafidhahullah telah menjelaskan bahwa selain riwayat ini bertentangan dengan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah yang telah dinukil sebelumnya, juga sanadnya lemah, karena dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul [lihat ‘Ilmu Ushuulil-Bida’, hal. 121; Daarur-Raayah, Cet. 2/1417].
Ini saja yang dapat dituliskan. Semoga ada manfaatnya.
Abu Al-Jauzaa’ – Ciomas Permai, 2 Jumadits-Tsaaniy 1430

COMMENTS ( menarik dibaca )

Anonim mengatakan...
Yth Ustadz Abul-Jauzaa
Masalah bid'ah ini sungguh msh menyisakan berbagai persoalan, dan ia tdk pernah tuntas diselesaikan.
Pertanyaan mendasar yg sangat penting mengenai bid'ah ini, jika semua bid'ah itu sesat, adalah: (1) Apakah semua perbuatan baik dengan niat mendapat ridla Allah swt adalah bid'ah jika tdk ditemukan riwayat Nabi saw pernah mencontohkannya? Jika tdk, jenis perbuatan baik seperti apa yg bid'ah dan yang bukan bid'ah?
(2) Siapa yg berhak menyatakan bahwa ia bid'ah dan bukan bid'ah?
(3) Jika sebuah manhaj mengatakan bahwa perbuatan tsb bid'ah, sementara manhaj lain mengatakan tidak, bagaimana sikap kita?
Demikian ustadz, semoga bisa ditanggapi.
Salam
Abujafar
Btw, komen sy mengenai Ahlulbait Nabi saw kok belum dimasukkan?
29 Mei 2009 11.11
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Masalah bid'ah bukanlah masalah yang tidak pernah tuntas diselesaikan. Ia bisa diselesaikan jika dikembalikan kepada nash dan kaidah-kaidah yang ma'ruf. Masalah bid'ah menjadi masalah yang mengambang dan tidak pernah terselesaikan adalah bagi orang yang tidak mengenal kaidah-kaidah dalam mengenal bid'ah (qawaaidu ma'rifatil-bida'). Bid'ah hasanah salah satu contohnya. Orang yang memegang pendapata lemah ini selamanya tidak akan pernah menyelesaikan persoalan bid'ah, karena mereka (secara umum) tidak bisa menentukan kaidah hasanah dalam bid'ah mereka.
Adapun kemudian ada pembahasan ilmiah tentang penentuan bid'ah tidaknya satu amalan, maka kita kembalikan pada dalil dan kaidah.
1. Satu amalan mempunyai dua rukun, yaitu : ikhlash dan mutaba'ah. Jika tidak memenuhi dua unsur ini, maka amalannya tertolak, tidak boleh dikerjakan. Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan namun ia tidak mendapatkannya. Dan tentu saja, segala macam amalan dalam syari'at yang tidak ada dasarnya, maka ia dinamakan bid'ah. Kita mengatakan ini sebagaimana dikatakan oleh beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam :
وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالة
Tinggalkanlah hal-hal yang baru, karena setiap bid’ah adalah sesat.
Menginjak pada pembahasan apakah amalan yang tidak dilakukan oleh Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam apakah bisa disebut sebagai bid'ah secara mutlak, maka ini memerlukan perincian. Harus dikaitkan dengan adanya faktor pendorong dan faktor penghalang. Anda bisa membaca tulisan saya yang membahas salah satu kaidah ini di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/02/apakah-setiap-amal-yang-tidak-dilakukan.html
2. Yang berhak mengatakan bid'ah dan bukan bid'ah adalah ahli ilmu, bukan orang bodoh dan awam.
3. Perbedaan yang disebabkan karena (perbedaan) manhaj, maka itu adalah perbedaan yang sifatnya tanaqudlaat. Tidak bisa dianggap sebagai satu perbedaan yang perlu mendapat 'toleransi' karena perbedaan jenis ini. Jika manhaj Syi'ah menganggap bahwa para imam mereka ma'shum, sementara manhaj Ahlus-Sunnah mengatakan bahwa 'aqidah tersebut adalah 'aqidah bid'ah; maka anggapan tidak bid'ahnya sebagaimana dikatakan oleh Syi'ah tidaklah dianggap. Wajib mendapatkan pengingkaran. Wallaahu a'lam bish-shawwaab.
NB : Tidak ada komentar yang masuk terkait dengan Ahlul-Bait dari Anda dalam mesin penyimpan komentar.
29 Mei 2009 12.59
Anonim mengatakan...
jazakallahu khoiron, artikel yg sangat bermanfaat..
17 Februari 2011 08.33
Anonim mengatakan...
dari raha.
saya setuju sekali dengan perkataan ustad,,
tetapi seringkali orang mengatakan bahwa bid'ah hasanah itu ada dalam hadits riwayat muslgm no. 1017. tentang membuat hal baru yang baik dalam islam.
pertanyaan ini sebenarnya sudah pernah dijawab oleh guru saya bahwa yang baik dalam islam itu harus sesuai dengan konsep islam (al qur'an dan sunnah).
kalau tanggapan ustad gimana?
8 Maret 2011 09.25
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Guru Anda benar.
8 Maret 2011 09.29
Anonim mengatakan...
Abu......!!!!!trus terang klo sy di suruh milih pendapat antum tentang bid'ah dan pembagiannya,dengan pendapat ulama mu'tabaroh sy akan memilih pndpt ulama mu'tabaroh,antup blm cukup ilmu untuk mengkaji pendapat ulama,kok mau langsung ngmbil dr Al quran dan Al Hadits,,??mbok ya klo mau sombong tu lihat lihat dulu,,!!!orang mcm kmu mema'nai ucapan ulama aja kgk becus kok ya mau jd mujtahid..!!!???
9 Juni 2011 14.20
rasi mengatakan...
@anonim diatas :
Mungkin antum yang belum cukup ilmu untuk membaca isi bloq ini , sehingga antum berkomentar demikian jeleknya.
Ada baiknya antum belajar bahasa indonesia dulu untuk memahami isi tulisan al akhi abul jauzaa .
Memang isi bloq ini cukup berat pembahasannya yang jarang kita temui dalam kajian langsung di daerah2 , jadi ambilah hikmahnya dan seandainya tidak jelas bertanyalah dengan adab yang baik atau kalau antum punya pendapat yang beda sampaikanlah dengan cara yang baik pula.
9 Juni 2011 15.31
Anonim mengatakan...
Ustadz...gimana hadits berikut:
a. "Siapa yang memberikan contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun." (HR Muslim)
b. Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khattab ketika mengumpulkan semua umat Islam untuk mendirikan shalat tarawih berjamaah. Tatkala Sayyidina Umar melihat orang-orang itu berkumpul untuk shalat tarawih berjamaah, dia berkata: "Sebaik-baik bid'ah adalah ini".
Dan masih byk lg dalil2 yg dijadikan hujjah oleh suatu Ormas utk melaksanakan apa yg mereka sebut sbg Bid'ah Hasanah. Bagaimana ustadz memandang 2 poin di atas???
budi
5 September 2012 12.15
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Tidak ada hujjah dalam kedua hadits tersebut untuk melegalkan bid'ah hasanah. Hadits pertama adalah berkaitan dengan seseorang yang memulai shadaqah dan kemudian diikuti oleh orang-orang setelahnya. Ini bukan amalan bid'ah. Hadits kedua berkaitan dengan tarawih berjama'ah. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dulu menetapkan masyru'-nya shalat tarawih berjama'ah.
6 September 2012 05.22
Anonim mengatakan...
Ustadz, benarkah Dr. Wahbah Zuhaili berpandangan bahwa bid'ah hanya satu (munkarah) dalam bukunya al bida' al-munkarah ?
Adakah ustadz link download ke buku ini ? syukron
7 September 2012 18.01
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Saya tidak tahu.
8 September 2012 01.04
Anonim mengatakan...
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ
"Barangsiapa yang menganggap baik (suatu perkara) maka dia telah membuat syari'at"
Ini adalah contoh akibat menolak bermadzhab namun mengambil pernyataan Imam Madzhab hanya sepotong… akibatnya dalam kesimpulan anda sangat tidak sesuai dengan pandangan Imam as Syafi’iy, dan jika hal tersebut anda sengaja berarti anda telah berdusta atas nama Imam Syafi’iy, berikut buktinya :
Dalam Ar Risalah, Ushul Fiqih karya Imam Syafi’iy disana dijelaskan secara tersendiri dalam “BAB ISTIHSAN” jika anda tidak ingin salah mengartikan maksud dari pernyataan Imam Syafi’iy tsb (Man Istahsana Faqod Syaro’a), maka wajib bagi anda mempelajarinya secarah utuh…
Berikut kami kutipkan sebatas sebagai gambaran :
فهل تجيز أنت أن يقول الرجل أستحسن بغير قياس فقلت لا يجوز هذا عندي والله أعلم لاحد وإنما كان لاهل العلم ان يقولوا دون غيرهم لان يقولوا في الخبر باتباعه فيما ليس فيه الخبر بالقياس على الخبر
Imam Syafi’iy rohimahulloh ditanya; “Apakah anda memperbolehkan jika seseorang berkata ‘ Aku menganggap baik dengan tanpa qiyas’? maka aku (Imam Syafi’iy) menjawab : Hal ini (berpendapat dengan menggunakan hujjah Istihsan/menganggap baik sebuah perkara dengan meninggalkan qiyas dan hanya bermodal penilaian akal) tidak boleh bagi seorangpun –wallohu a’lam- dan seharusnya bagi orang yang berilmu -bukan yang lain- hendaknya berpendapat mengikuti Khobar (hadits) sedang dalam perkara yang tidak ada dalam Khobar (hadits) maka dengan qiyas pada Khobar….
Selanjutnya dalam kesimpulan anda : “Oleh karenanya barangsiapa yang menganggap baik suatu ibadah yang tidak dicontohkan oleh Nabi maka pada hakikatnya ia telah menjadikan ibadah tersebut syari’at yang baru”
Jawaban kami : kami pastikan itu bukan pernyataan Imam Syafi’iy dan bukan pula Istihsan yang dimaksud Imam Syafi’iy, namun itu hanyalah kesimpulan anda yang lahir dari ketidak fahaman atas pernyataan yang disampaikan Imam Syafi’iy, akibat dari mengambil pernyataan hanya sepotong….
Selanjutnya, ketika kami mengajukan Hujjah Spesifik baik berupa Hadits Nabi Saw maupun pandangan para Ulama dalam masalah “Kenduri Kematian” anda tuduh kami membuat syari’at baru, di saat yang sama anda mengharamkan “Kenduri Kematian” dengan menunjukkan hujjah tentang qodho’ sholat dan puasa yang tentunya nggak nyambung, lantas siapa yang sebenarnya menetapkan Syari’at baru?….
22 November 2012 09.20
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Ya terima kasih atas sarannya.
Gambaran Anda itu sangat-sangat sempit. Membicarakan masalah istihsaan, maka itu akan sangat panjang jika dikaitkan konteks perkataan para fuqahaa madzhab.
Imam Syaafi'iy itu membolehkan qiyas, tapi melarang istihsaan. Maka dari itu, ketika membahas istihsaan, Asy-Syaafi'iy membahas dua hal ini secara terperinci. Di antaranya Asy-Syaafi'iy berkata dalam bab Al-Istihsaan dalam kitab Ar-Risalaah :
ولو قال بلا خبر لازم و قياس كان أقرب من الإثم من الذي قال وهو غير عالم وكان القول لغير أهل العلم جائزا
"Dan seandainya seseorang berkata tanpa dalil dan qiyas, maka ia lebih dekat kepada dosa daripada orang yang berkata dalam keadaan ia bukan seorang yang berilmu. Perkataan dari orang yang bukan ulama adalah boleh (dimaafkan)".
Ditambaha lagi keterangan Asy-Syaafi'iy yang Anda kutip di atas.
Jadi, istihsaan yang dicela Asy-Syaafi'iy adalah istihsaan yang keluar dari hukum nadhaair. Seandainya istihsaan yang dilakukan itu berdasarkan dengan qiyaas yang shahih, maka menurut Asy-Syaafi'iy itu boleh.
Dan yang patut Anda garis bawahai sebelumnya, paham 'Wahabi' itu juga menerima qiyas mas. Orang-orang Wahabi juga membaca kitab-kitab Ushul Fiqh seperti Ar-Risalah nya Asy-Syaafi'iy atau Irsyaadul-Fuhuul nya Asy-Syaukaaniy. Seandainya Anda mau menyimpulkan bahwa pernyataan dalam artikel di atas itu mengkonsekuensikan penolakan terhadap qiyas, maka itu hanyalah kesimpulan Anda saja.
Istihsan yang dicela Asy-Syaafi'iy itu adalah istihsan yang menyelisihi nash. Beliau rahimahullah berkata :
أن حراماً على أحد أن يقول بالاستحسان إذا خالف الاستحسان الخبر
 “Sesungguhnya haram bagi seseorang untuk berkata berdasarkan istihsaan, apabila istihsan-nya itu menyelisihi nash”.
Asy-Syaukani menukil perkataan Ar-Ruyani ketika menjelaskan perkataan Asy-Syafi’iy di atas :
معناه أنه ينصب من جهة نفسه شرعًا غير الشرع
 “Maknanya adalah orang yang menetapkan hukum syar’iy atas dirinya dan tidak berdasarkan dalil-dalil syar’iy” [Irsyaadul-Fuhuul, hal. 240].
Istihsan yang ditolak Asy-Syaafi'iy adalah istihsan yang didasari oleh hawa nafsu tanpa ilmu. Beliau rahimahullah berkata :
كان حلال الله وحرامه أولى أن لا يقال فيهما بالتعسف والاستحسان وإنما الاستحسان تلذذ
"Hukum halal dan haram Allah lebih pantas untuk tidak dikatakan dengan serampangan dan istihsaan, karena istihsaan itu hanyalah ingin enak saja"
Jadi,...tolong Anda membedakan antara yang dimaksud istihsaan dan qiyas olrh Asy-Syaafi'iy.
Perkataan Anda :
"Selanjutnya dalam kesimpulan anda : “Oleh karenanya barangsiapa yang menganggap baik suatu ibadah yang tidak dicontohkan oleh Nabi maka pada hakikatnya ia telah menjadikan ibadah tersebut syari’at yang baru”
Jawaban kami : kami pastikan itu bukan pernyataan Imam Syafi’iy dan bukan pula Istihsan yang dimaksud Imam Syafi’iy, namun itu hanyalah kesimpulan anda yang lahir dari ketidak fahaman atas pernyataan yang disampaikan Imam Syafi’iy, akibat dari mengambil pernyataan hanya sepotong…." [selesai kutipan].
Memang itu adalah perkataan saya, bukan perkataan Asy-Syaafi'iy. Kalau perkataan Asy-Syaafi'iy, tentu sudah saya kasih referensi. Akan tetapi itu adalah konsekuensi logis dari perkataan beliau rahimahullah.
[memangnya Anda paham perkataan Asy-Syaafi'iy ?].
22 November 2012 18.50
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Tentang kenduri makan-makan setelah kematian, sudah jelas kok perkataan beberapa shahabat tentang hal ini :
Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajaly radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
كنا نرى الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام من النياحة
“Kami (para shahabat) menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka (kepada para tamu) merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)” (HR. Ahmad nomor 6905 dan Ibnu Majah nomor 1612).
Dari Thalhah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
قدم جرير على عمر فقال : هل يناح قبلكم على الميت. قال : لا. قال : فهل تجتمع النسآء عنكم على الميت ويطعم. قال : نعم. فقال : تلك النياحة.
Jarir mendatangi ‘Umar, kemudian ‘Umar berkata : “Apakah kamu sekalian suka meratapi mayit ?”. Jarir menjawab : “Tidak”. ‘Umar berkata : “Apakah diantara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya ?”. Jarir menjawab : “Ya”. ‘Umar berkata : “Hal itu sama dengan niyahah (meratapi mayit)”. (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/487).
Kalau Anda mengatakan boleh ya monggo saja... itu tanggung jawab Anda.
NB : Aneh sekali kalau nanti ada yang memahami bahwa perkataan dua shahabat di atas menunjukkan hukum kenduri kematian adalah boleh.
wallaahu a'lam.
22 November 2012 18.50
Anonim mengatakan...
assalamualikum ustad
apakah boleh melakukan yasinan dengan dalil dibawah ini
dan ini banyak di pakai oleh ahlul bida' sebagai dalil dari Bid'ah Hasana
Berikut riwayat shahih mengenai diperbolehkannya mengada – adakan suatu amal tanpa diperintah oleh Rasul saw :
Ubaidullah berkata dari Zaid bin Tsabit: dari Anas, “Salah seorang Anshar shalat mengimami orang-orang Anshar yang lain di Masjid Quba’. Sudah menjadi kebiasaannya membaca ‘Qul Huwallahu Ahad’ (setelah membaca surah al-Faatihah) apabila dia hendak membaca suatu bacaan di dalam shalat. Setelah selesai membaca surah itu (Qul Huwallaahu Ahad), dia membaca surah yang lain bersamanya. Hal itu ia lakukan pada setiap rakaat. Beberapa orang kawannya mengemukakan pembicaraan atau saran kepadanya dengan berkata, ‘Sesungguhnya Anda membaca surah itu dan tidak menganggapnya cukup, dan Anda membaca surah yang lain. Bagaimana kalau Anda membaca surah itu saja atau meninggalkannya dan membaca yang lain?’ Orang Anshar itu menjawab, ‘Aku sama sekali tidak akan meninggalkan bacaan surah ‘Qul Huwallahu Ahad’ itu. Oleh sebab itu, kalau kamu semua masih senang jika aku menjadi imam untukmu dengan cara sebagaimana yang kulakukan itu, maka aku akan mengerjakan (bertindak sebagai imam). Dan, jika kamu sudah tidak senang terhadap yang demikian itu, biarlah aku tinggalkan kamu.’ Mereka mengetahui bahwa dia adalah orang yang terbaik di antara mereka. Mereka pun tidak ingin orang lain menggantikannya untuk mengimami mereka. Pada waktu Nabi saw. datang kepada mereka seperti biasanya, mereka memberitahukan hal itu kepada beliau. Lalu Nabi bersabda kepada orang itu, ‘Hai Fulan, apa yang melarangmu dari melakukan sesuatu yang dimintai oleh sahabat-sahabatmu? Dan, apa yang mendorongmu untuk senantiasa membaca surah itu di dalam setiap rakaat?’ Dia menjawab, ‘Aku menyukai surah itu.’ Nabi bersabda, ‘Kecintaanmu kepada surah itu akan membuatmu masuk surga.’” [HR. Bukhari]
23 November 2012 22.29
Anonim mengatakan...
Assalamu'alaikum.
ustadz tolong dijelaskan mengenai perbuatan para sahabat yang merubah bacaan tasyahud setelah wafatnya nabi shollallohu 'alayhi wa sallam. padahal tidak ada perintah nabi untuk itu, sehingga sahabat yang lan memilih untuk tidak merubahnya. apa ini bukan bid'ah ustadz?
lalu, syaikhul islam ibnu taimiyyah yang mengkhususkan dzikir sebanyak 40 kali antara sholat qobliyah shubuh hingga sholat shubuh tanpa dalil, apa ini bukan bid'ah ustadz. bukankah mengkhususkan ibadah itu perlu dalil? jazakumullohu khoyron atas penjelasannya ustadz
29 Agustus 2013 14.21
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Biar tidak salah memahami, bisa disebutkan riwayat atau perkataan asli yang dimaksud ?
29 Agustus 2013 14.25
Anonim mengatakan...
untuk tasyahudnya, yang saya maksudkan perubahan dari kalimat "assalamu'alayka ayyuhannabiyyu.." di rubah menjadi "assalamu'alannabiy.." ketika nabi telah wafat.
kemudian, Ibnul Qoyyim berkata, “Aku mendengar Ibnu Taimiyah mengatakan, ‘Barang siapa yang merutinkan untuk membaca sebanyak empat puluh kali di antara sholat qobliyah shubuh dengan sholat shubuh ‘Ya Hayyu Ya Qoyyum la ilaha illa anta birohmatika astaghitsu’ maka dia akan memiliki hati yang hidup dan hatinya tidak akan mati”. (Madarijus Salikin)
tolong dijelaskan ustadz
29 Agustus 2013 19.23
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Anonim,.... tentang tasyahud, itu masalah dlamir saja. Jadi, nggak ada yang dirubah. Maknanya sama. Para ulama telah membolehkan membaca dengan dlamir assalamu'alaika atau assalamu 'alan-nabiy.
Kemudian tentang masalah perkataan Ibnu Taimiyyah, maka di situ lah ittiba' kita terhadap Nabi diuji. Ibnu Taimiyyah tidaklah ma'shum. Kita tidaklah mesti mengikuti semua apa yang dikatakan Ibnu Taimiyyah. Oleh karena itu,... selama perkataan beliau tidak didasari landasan dari syari'at, maka tidak kita terima. Mungkin saja beliau menerima riwayat yang tidak kita ketahui atau menerima riwayat dari jalan yang lemah atau yang lainnya. Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menerangkan sendiri beberapa sebab ketergelinciran sebagian ulama dalam kitab Raf'ul-Malaam.
29 Agustus 2013 20.05
damai aman mengatakan...
apa boleh kita merubah dhomir dalam bacaan sholat tanpa dalil ust? setahu saya sahabat ibnu abbas rohimahulloh menolak untuk mengganti dhomir pada bacaan tasyahud tersebut. apakah boleh ketika menjadi imam kita merubah doa duduk diantara dua sujud menjadi Allohummaghfirlanaa, warhamnaa dst...
29 Agustus 2013 22.03
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Tentu tidak sebebas begitu. Yang kita bahas adalah tasyahud dimana dalam riwayat dalam sebagian riwayat disebutkan assalamu'alaika dan di lain riwayat disebutkan assalamu'alan-nabiy.
Ibnu Mas'uud setelah menyebutkan lafadh tasyahud yang diajarkan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam (dengan lafadh : assalaamu'alaika), diakhir perkataannya berkata :
وَهُوَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْنَا، فَلَمَّا قُبِضَ، قُلْنَا السَّلَامُ "، يَعْنِي عَلَى النَّبِيِّصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Itu ketika beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam berada di tengah-tengah kami. Namun ketika beliau telah wafat, maka kami mengatakan : "Assalamu'alan-Nabiy" [Shahiih Al-Bukhaariy no. 6265].
Begitu juga tasyahud yang diucapkan Ibnu 'Umar sebagaimana diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa' - dimana Ibnu 'Umar terkenal dengan sikap ittiba'-nya kapada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Begitu juga tasyahud yang diajarkan 'Aaisyah :
التَّحِيَّاتُ الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ الزَّاكِيَّاتُ لِلَّهِ، السَّلامُ عَلَى النَّبِيِّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، ثُمَّ يَدْعُو الإِنْسَانُ لِنَفْسِهِ بَعْدُ "
Begitu juga Ibnu 'Abbaas dan Ibnuz-Zubair sebagaimana diriwayatkan oleh 'Abdurrazzaaq no. 3070 dengan sanad shahih :
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ، وَابْنَ الزُّبَيْرِ، يَقُولانِ فِي التَّشَهُّدِ فِي الصَّلاةِ: " التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ لِلَّهِ، الصَلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ، السَّلامُ عَلَى النَّبِيِّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ "، قَالَ: " لَقَدْ سَمِعْتُ ابْنَ الزُّبَيْرِ يَقُولُهُنَّ عَلَى الْمِنْبَرِ يُعَلِّمُهُنَّ النَّاسَ "، قَالَ: " وَلَقَدْ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُهُنَّ كَذَلِكَ "، قُلْتُ: فَلَمْ يَخْتَلِفْ فِيهَا ابْنُ عَبَّاسٍ وَابْنُ الزُّبَيْرِ؟، قَالَ: " لا "
Sehingga 'Athaa' bin Abi Rabbaah mengatakan bahwa para shahabat di jamannya mengucapkan assalamu'alan-nabiy sewaktu Nabi telah meninggal dan assalamu'alaika hanya mereka ucapkan saat beliau masih hidup :
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ: " أَنَّ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانُوا يُسَلِّمُونَ وَالنَّبِيُّ K حَيٌّ: السَّلامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، فَلَمَّا مَاتَ قَالُوا: السَّلامُ عَلَى النَّبِيِّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ "
[Diriwayatkan oleh 'Abdurrazzaaq no. 3075; shahih].
Ini semua menunjukkan bahwa lafadh assalamu'alainaa itu merupakan hal yang diajarkan oleh Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, karena hal tersebut bukan ruang untuk ijtihaad. Dalam ilmu hadits disebut mauquf, tapi marfu' hukman.
Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan assalamu'alaika dengan khithaab kaaf pada waktu Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam hidup, dan ketika beliau telah wafat para shahabat meninggalkan khithaab tersebut dan mengucapkan dengan lafadh ghaibah [lihat Fathul-Baariy, 2/250].
Wallaahu a'lam.
29 Agustus 2013 23.25
Anonim mengatakan...
Assalamu'alaykum ust. Lalu yang di lakukan sahabat usman bin affan dlam menambah adzan jumat itu hukumnya apa ust? Apa ada tuntunan sebelumnya dari Nabi Shollallohu 'alaihi wasallam?
Klau ga slah dlam ilmu hadits ada kaidah.... yang lebih mengetahui makna hadits adalah perawi hadits itu sendiri. Bgitu ya ust, sya jga melihat seharusnya yang paling memahami makna perkataannya imam asy syafi'i adalah murid2 beliau sendiri yaitu ulama madzhab syafi'i bukan orang2 di luar madzhab syafi'i. Kenyataanx mayoritas madzhab syafi'i brpendapat tidak semua bid'ah itu sesat..
17 Januari 2015 13.17
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumus-salaam.
Beberapa ulama menjelaskan bahwa adzan tambahan yang dilakukan 'Utsmaan waktu itu bukanlah bid'ah, karena beliau radliyallaahu 'anhu melakukannya karena ada alasan, yaitu manusia semakin bertambah banyak sehingga adzan yang dikumandangkan (khawatir) tidak terdengar oleh mereka yang sedang beraktivitas di pasar dan tempat-tempat lainnya.
Namun ketika sekarang sudah ada pengeras suara, maka 'illat nya hilang, sehingga adzannya kembali pada apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Faktor pendorong itu melakukannya sudah tidak ada.
wallaahu a'lam.
2 Februari 2015 14.57

Salah kaprah dalam memahami 
“Bid’ah hasanah”

Inilah perkataan yang sering dilontarkan ahlul hawa (pengikut hawa nafsu) yang ingin membenarkan amalan-amalan bid’ah yang mereka lakukan dengan dalih bahwa tidak semua bid’ah itu sesat, namun ada bid’ah yang baik (hasanah), perkataan inilah yang sering mereka nisbatkan dan sandarkan kepada madzhab syafi’i. Maka marilah kita lihat bagaimana pandangan Imam Syafi’i dan Ulama-ulama yang bermadzhab syafi’iyyah mengenai hal ini.

Harmalah bin Yahya meriwayatkan :

سمعت الإمام الشافعي – رحمه الله – يقول : ( البدعة بدعتان : بدعة محمود وبدعة مذمومة ، فما وافق السنة فهو محمود ، وما خالف السنة فهو مذموم )

”Aku mendengar Imam Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata : ’Bid’ah itu ada dua macam : (1) Bid’ah yang terpuji, dan (2) Bid’ah yang tercela. Apa-apa yang sesuai dengan Sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) terpuji. Sedangkan yang menyelisihi sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) tercela”

[Hilyatul-Auliyaa’ oleh Abu Nu’aim 9/113, Daarul-Kutub Al-’Ilmiyyah, Cet. 1/1409 H]

Dari perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i diatas itulah yang menjadi sandaran kebanyakan orang yang ‘mengaku’ bermadzhab syafi’iyyah, yang ternyata perkataan inilah yang membantah mereka sendiri.

Kalaulah kita mendefinisikan secara terperinci apa yang dimaksud dengan ‘yang sesuai dengan sunnah’ dan apa yang dimaksud dengan ‘yang menyelisihi sunnah’ (bid’ah) maka perkataan diatas sejalan dengan hadits Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam, yang mana beliau bersabda, yang artinya:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Shåhih, HR. Muslim no. 867)

Sesungguhnya tidak ada pertentangan dari sabda Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam diatas, dengan perkataan imam asy-syafi’i, Seperti yang telah dinyatakan diatas. Karena, jika kita mendefinisikan dan menempatkannya secara benar mengenai maksud bid’ah tersebut, maka akan kita temukan bahwa ternyata keduanya akan sejalan tanpa ada pertentangan.

Pelurusan Definisi Bid’ah secara Bahasa Dan Maknawi

1. Pengertian bid’ah dalam kacamata bahasa (lughah) lebih umum dibanding makna syar’inya. Antara dua makna ini ada keumuman dan kekhususan yang mutlak, karena setiap bid’ah syar’iyyah masuk dalam pengertian bid’ah lughawiyyah, namun tidak sebaliknya, karena sesungguhnya sebagian bid’ah lughawiyyah seperti penemuan atau pengada-adaan yang sifatnya materi tidak termasuk dalam pengertian bid’ah secara syari’at [Lihat Iqhtidlaush Shirathil Mustaqim 2/590]

Contohnya yaitu, adanya sarana-sarana baru dalam agama, seperti pesawat terbang, bus, mobil atau alat transportasi lainnya yang memudahkan jama’ah haji dalam perjalanan hajinya, adanya microphone untuk memudahkan orang mendengarkan adzan, adanya telefon untuk memudahkan silaturahmi, adanya internet untuk dapat memudahkan dakwah, dan berbagai hal-hal baru yang dapat membantu kaum muslimin dalam menjalankan dan mengamalkan syari’at ini.

Benar ini adalah Bid’ah, karena dahulu sarana-sarana semacam ini tidaklah ada sebelumnya, namun perlu diketahui penggunaan sarana ini tidaklah mengubah/menambah amalan atau syari’at baru yang telah sempurna. Jadi hal ini bukanlah termasuk bid’ah yang sesat, seperti yang disabdakan oleh Råsulullåh shållallåhi ‘alaihi wa sallam.

2. Jika dikatakan bid’ah secara mutlak, maka itu adalah bid’ah syar’iyyah, inilah yang dimaksud oleh hadits “Setiap bid’ah itu sesat”, yang bid’ah disini bermakna,

“Suatu cara baru dalam beragama yang menyerupai syari’at dan menanggapnya bagian dari syari’at, yang dimana tujuan dibuatnya adalah untuk beribadah kepada Allah, yang sebelumnya belum pernah sama sekali ada petunjuk dan tuntunan dari Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam”

Dan bid’ah lughawiyyah tidak termasuk di dalamnya, oleh sebab itu sesungguhnya bid’ah syar’iyyah disifati dengan dlalalah (sesat) dan mardudah (ditolak). Pemberian sifat ini sangat umum dan menyeluruh tanpa pengecualian, berbeda dengan bid’ah lughawiyyah, maka jenis bid’ah ini tidak termasuk yang dimaksud oleh hadits : “Setiap bid’ah itu sesat”, sebab bid’ah lughawiyyah (bahasa) itu tidak bisa diembel-embeli sifat sesat dan celaan serta serta tidak bisa dihukumi ditolak dan batil.

Inilah yang disebut Imam Asy-Syafi’i Bid’ah yang tercela, karena ini telah menyelisihi syari’at yang dibawa oleh Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam. (seperti dalam pendefinisian beliau, bahwa bid’ah yang tercela adalah yang menyelisihi syari’at).

Dalam sabda, Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam,

وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Setiap bid’ah adalah sesat”, dan hadits semacamnya..

كُلَّ “kullu”, yang dimaksudkan adalah ‘semua tanpa terkecuali’, Asy-Syatibhi mengatakan,

“Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah yang baik.”

(Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91, Darul Ar Royah)

Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhumaa pun menguatkan hadits diatas dengan berkata,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)

Taruhlah jika mereka tetap kekeuh bahwa tidak setiap bid’ah adalah sesat. Maka bagaimanakah mereka jika dihadapkan dengan lafazh hadits berikut?

كل بدعة ضلالة و كل ضلالة في النار

..wa kullu bid’atin dhålaalah, wa KULLU DHÅLAALATIN finn-naar

“Setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka”

[HR. An-Nasa-i (III/189) dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang SHÅHIYH]

Maka dengan mengganti arti “KULLU” dengan ‘sebagian’, maka makna hadits diatas akan menjadi:

“SEBAGIAN bid’ah adalah kesesatan, dan SEBAGIAN KESESATAN tempatnya di neraka”

Maka kita tanyakan: “Apakah ada kesesatan yang membawa ke surga?” Allåhul musta’aan, cukuplah ini menjadi hujjah yang nyata bagi orang-orang yang berpikir!

Bantahan Terhadap “Dalil-Dalil Pendukung” Bid’ah Hasanah

Lalu bagaimanakah bid’ah hasanah yang sering digembar-gemborkan dengan menggunakan sabda Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam, perkataan ‘Umar bin Khåttab, perkataan imam asy-syafi’i, perkataan ibnu mas’ud, dan perkataan Al ‘Izz?

Maka hal ini, insya Allåh akan kita bahas secara mendalam,

1. Pemahaman mereka terhadap hadits,

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ. ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

”Barang siapa yang memberi contoh yang baik di dalam Islam, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang melakukannya setelah itu tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa memberi contoh yang buruk dalam Islam maka dia akan mendapatkan beban dosanya serta dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi beban mereka sedikitpun.” (HR. Muslim no: 1017).

Bantahan:

– Yang dimaksud dengan مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً adalah

“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah (yang sudah ada, dan telah dicontohkan Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam). Bahkan, asbabul wurud dari hadits diatas yaitu ketika salah seorang shahabat Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam datang dengan membawa sedekah di satu waktu dari saat-saat krisis, kemudian perbuatannya ini diikuti oleh orang lain sehingga mereka berturut-turut memberikan sedekah.”

“Hadits ini tidak menunjukkan sebagaimana yang dikatakan oleh mereka (bahwasanya ada bid’ah hasanah) karena Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam dalam hadits tersebut tidak menyatakan:

مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً حَسَنَةً

Siapa yang mengada-adakan bid’ah hasanah,

namun beliau shalallahu ‘alaihi wassalam hanya menyatakan:

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً

Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah

Sementara sunnah bukanlah bid’ah. Sunnah adalah apa yang mencocoki Al-Kitab dan As-Sunnah, mencocoki dalil, dan sesuai dengan petunjuk dan tuntunan Råsulullåh shållallåhi ‘alaihi wa sallam, demikianlah yang namanya sunnah.

Maka barangsiapa yang mengamalkan satu sunnah yang ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah ash-shåhihah –dengan menghidupkannya atau mengajarkannya kepada manusia dan menerangkannya kepada manusia hingga mereka mengamalkan sunnah tersebut karena mencontohnya (orang yang menghidupkan sunnah tersebut-, maka ia akan mendapatkan pahala sunnah tersebut dan pahala orang-orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat.

– Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata ketika mensyarah (menjelaskan) hadits yang agung ini: “Dalam hadits ini ada dorongan untuk mengawali melakukan amalan-amalan kebaikan dan mengerjakan sunnah-sunnah hasanah (menghidupkan perkara kebaikan yang telah ditinggalkan oleh orang-orang dan menghidupkan sunnah yang telah mati,.). Dan (dalam hadits ini juga) terdapat peringatan untuk tidak melakukan perkara kebatilan dan kejelekan.”

– Imam An-Nawawi juga menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan yang besar bagi orang yang memulai melakukan satu amalan kebaikan dan menjadi pembuka pintu amalan ihsan/ kebaikan bagi lainnya.

Beliau menafsirkan, “Dan barangsiapa yang melakukan sunnah hasanah, ia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala-pahala yang didapatkan oleh orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut (karena mencontohnya) semasa hidupnya ataupun setelah matinya sampai hari kiamat. Dan sebaliknya, barangsiapa membuat sunnah sayyiah, niscaya ia akan mendapatkan dosa semisal dosa orang-orang yang menirunya dalam melakukan sunnah tersebut semasa hidupnya atau sepeninggalnya sampai hari kiamat. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 7/105-106, 16/443-444).

Maka kecelakaan besarlah, bagi para pelaku bid’ah, jika ternyata banyak yang mengikuti kebid’ahannya itu, karena ia akan mendapatkan dosa semisal dosa orang-orang yang menirunya (tanpa mengurangi dosa para peniru kebid’ahan tersebut), baik semasa hidupnya atau sepeninggalnya sampai hari kiamat. Bukannya hadits ini menjadi dalil pembenar para pengekor hawa nafsu malah inilah yang bisa menjadi bumerang bagi mereka sendiri.

– Bahwa makna “barangsiapa” dalam hadits tersebut adalah “barangsiapa” yang memberi contoh aplikatif bukan inovatif. Maka yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah mengamalkan sesuatu yang telah ada dalam sunnah nabawiyah (bukan yang diada-adakan).

Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syathibi rahimahullah dalam kitabnya yang masyhur Al-I’tisham (1/233 dan 235) menyatakan bahwa dalam sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam di atas tidaklah sama sekali menunjukkan bolehnya mengada-adakan perkara baru, tapi justru menunjukkan pengamalan suatu sunnah yang tsabit (pasti) keberadaannya, sehingga sunnah hasanah bukanlah perkara mubtada’ah (yang diada-adakan/ bid’ah).

– Yang menyatakan ,”Barang siapa yang memberi sunnah/contoh yang baik dalam Islam” adalah yang menyatakan,” Setiap bid’ah adalah sesat.” Dan mustahil beliau shållallåhu ‘alaihi wa sallam mengatakan sesuatau yang mendustakan pernyataannya sendiri, sedangkan kedua hadits tersebut adalah shåhih, sehingga informasi Islam ini berbenturan.(Al-Ibda’ Ibnu Utsaimin hal:19)

2. Pemahaman mereka mengenai perkataan ‘umar,

نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari no. 2010)

Bantahan

– Disebut bid’ah hasanah disini adalah bid’ah secara bahasa-nya, dan bukanlah dimaksudkan sebagai bid’ah secara syar’i.

Bahkan ini telah dijelaskan oleh ulama lain, seperti Al Alamah Ibnu Hajar al haitami didalam fatwanya yang menyatakan :

“….sedangkan ucapan ‘Umar berkenaan dengan tarawih : Sebaik-baik bid’ah,…” yang dimaksud adalah bid’ah secara bahasa. Yaitu sesuatu yang diperbuat tanpa contoh sebelumnya : sebagaimana firman Allah Ta’ala : “Katakanlah Aku bukanlah rasul yang pertama diantara rasul-rasul ….”(al Ahqaf :9)

Dikuatkan juga dengan perkataan Al-Imam Ibnu Råjab:

“Sementara yang berkaitan dengan ucapan sebagian ulama salaf yang mengkategorikan beberapa perbuatan sebagai bid’ah hasanah adalah ditinjau dari pemakaian istilah bid’ah itu secara etimologi , bukan TERMINOLOGI syar’I . Termasuk ucapan Umar Radhiallahu ‘anhu :”Sebaik-baik bid’ah adalah perbuatan ini!!” Maksudnya adalah perbuatan tersebut tidak dilakukan pada saat itu. Namun terdapat dalil yang menjadi dasar perbuatan itu.”

(silahkeun lih. Jami’ul ulum wal Hikam hadits no.28)

Terbukti, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat tarawih secara berjama’ah pada awal Ramadhan selama dua atau tiga malam. Beliau juga pernah shalat secara berjama’ah pada sepuluh hari terakhir selama beberapa kali. Jadi shalat tarawih bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang dimaksudkan bid’ah dari perkataan Umar bahwa ’sebaik-baik bid’ah adalah ini’ yaitu bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah secara syar’i.

Perlu diperhatikan, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan dianjurkan atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah beliau wafat, atau menunjukkannya secara mutlak, namun hal ini tidak dilakukan kecuali setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat (maksudnya dilakukan oleh orang sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), maka boleh kita menyebut hal-hal semacam ini sebagai bid’ah secara bahasa.

Begitu pula agama Islam ini disebut dengan muhdats/bid’ah (sesuatu yang baru yang diada-adakan) –sebagaimana perkataan utusan Quraisy kepada raja An-Najasiy mengenai orang-orang Muhajirin-. Namun yang dimaksudkan dengan muhdats/bid’ah di sini adalah muhdats secara bahasa karena setiap agama yang dibawa oleh para Rasul adalah agama baru. (Disarikan dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93-96)

– Kalaupun memang perkataan Umar diatas yang dimaksudkan adlaah bid’ah syar’i, maka hal tersebut harus disanggah. Karen perkataan sahabat jika menyelisihi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujah (pembela). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sedangkan Umar menyatakan bahwa ada bid’ah yang baik. Sikap yang tepat adalah kita tidak boleh mempertentangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan sahabat. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencela bid’ah secara umum tetap harus didahulukan dari perkataan yang lainnya. (Faedah dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim)

Ingatlah pula dengan perkataan Imam Asy-Syafi’i, dalam kitabnya, Hilyatul Awliya’ pada halaman 107, yang artinya:

“Apabila engkau dapati ajaran dari Rasulullah shallallahu alaihi wa aalihi wasallam, maka ikutilah ajaran itu dan jangan kalian menoleh kepada pendapat seorangpun”

– Anggap saja kita katakan bahwa perbuatan Umar adalah pengkhususan dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat. Jadi perbuatan Umar dengan mengerjakan shalat tarawih terus menerus adalah bid’ah yang baik (hasanah). Namun, ingat bahwa untuk menyatakan bahwa suatu amalan adalah bid’ah hasanah harus ada dalil lagi baik dari Al Qur’an dan As Sunnah Ash-Shåhihah sesuai pemahaman shåhabat atau ijma’ kaum muslimin. Karena ingatlah –berdasarkan kaedah ushul fiqih- bahwa sesuatu yang tidak termasuk dalam pengkhususan dalil tetap kembali pada dalil yang bersifat umum.

Misalnya mengenai acara selamatan kematian (tahlilan). Jika kita ingin memasukkan amalan ini dalam bid’ah hasanah maka harus ada dalil dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’. Kalau tidak ada dalil yang menunjukkan benarnya amalan ini, maka dikembalikan ke keumuman dalil bahwa setiap perkara yang diada-adakan dalam masalah agama (baca : setiap bid’ah) adalah sesat dan tertolak.

Namun yang lebih tepat, lafazh umum yang dimaksudkan dalam hadits ’setiap bid’ah adalah sesat’ adalah termasuk lafazh umum yang tetap dalam keumumannya (‘aam baqiya ‘ala umumiyatihi) dan tidak memerlukan takhsis (pengkhususan). Inilah yang tepat berdasarkan berbagai hadits dan pemahaman sahabat mengenai bid’ah.

Lalu pantaskah kita orang-orang saat ini memakai istilah sebagaimana yang dipakai oleh sahabat Umar?

Ingatlah bahwa umat Islam saat ini tidaklah seperti umat Islam di zaman Umar radhiyallahu ‘anhu. Umat Islam saat ini tidak seperti umat Islam di generasi awal dahulu yang memahami maksud perkataan Umar. Maka tidak sepantasnya kita saat ini menggunakan istilah bid’ah (tanpa memahamkan apa bid’ah yang dimaksudkan) sehingga menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat. Jika memang kita mau menggunakan istilah bid’ah namun yang dimaksudkan adalah definisi secara bahasa, maka selayaknya kita menyebutkan maksud dari perkataan tersebut.

4. Pemahaman mereka terhadap atsar, ”Apapun yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka hal itu baik menurut Allah .”(Musnad Ahmad 1/39).

Bantahan:

– Periwayatan atsar tersebut hanya sampai pada Abdullah Ibnu Mas’ud dan tidak sampai pada Rasulullah . Ibnul Qoyyim berkata,” Atsar ini bukan perkataan Rasulullah dan tak seorangpun menisbatkannya kepada beliau kecuali ia tidak mengerti tentang hadits. Ini hanyalah dari Ibnu Mas’ud.”(Al- Furuusiyyah, Ibnul Qoyyim hal:167). Komentar Az-Zaila’iy:” Gharib secara marfu’ dan tidak aku dapatkan kecuali terhenti pada Ibnu Mas’ud.”(Nashburrayah 4/133).

– Fungsi alif lam dalam kata “almuslimun”(pada atsar di atas) adalah untuk menyatakan sesuatu yang telah diketahui yaitu para shahabah sebagaimana yang ditunjukkan oleh alur kalimat dalam atsar tersebut dimana dikatakan di situ,” Sesungguhnya Allah melihat hati-hati para hambaNya, maka Allah dapatkan hati Muhammad sebaik-baiknya lalu Allah pilih beliau untuk diri-Nya dan mengutusnya untuk mengemban misi-Nya, di mana hati para shahabah adalah yang terbaik lalu Allah jadikan mereka para pendukungnya. Mereka berperang demi membela agamanya, maka apapun yang dianggap baik para muslimun tersebut baik pulalah dalam pandangan Allah. Sebaliknya apapun yang dianggap buruk oleh mereka, maka buruk pulalah dalam pandangan Allah .”

– Bagaimana mungkin berdalih untuk menganggap baiknya sebuah bid’ah dengan perkataan seorang shahabah yang merupakan orang yang paling keras dalam melarang daqn mengecam bid’ah. Bukankah telah kita baca bersama beliau mengatakan:”Ikutilah dan jangan membuat bid’ah, karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” Dan banyak lagi ucapan-ucapan beliau yang lain dalam hal ini.

5. Perkataan Imam Syafi’iy (semoga Allah merahmatinya),” Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela.”(Hilyatul aulia 9/113). “ Yang diadaadakan dalam agama itu ada dua macam, yang diada-adakan menyelisihi Al-Quran atau sunnah, atsar atau ijma’ maka itulah bid’ah kesesatan. Sementara yang diadakan dari kebaikan yang tidak bertentangan dengan itu semua, maka itu adalah muhdash yang tidak tercela.” (Manaaqib Asy-Syafi’iy, Albaihaqy 1/469 dan Al-Baaits Abii Syaamah hal 94).

Bantahan:

– Perkataan Rasulullah merupakan hujjah atas siapapun, tidak boleh dikalahkan dengan perkataan siapapun. Tidak berlaku sebaliknya.

– Bila kita cermati perkataan beliau, tidak ragu lagi bahwa yang beliau maksudkan dengan bid’ah terpuji adalah bid’ah secara bahasa, sebab semua bid’ah dalam syari’ah yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, sedangkan beliau mendefinisikan bid’ah terpuji dengan batasan bahwa hal itu tidak bertentangan dengan al-Kitab dan As-Sunnah dan setiap bid’ah dalam syaria’h pasti menyelisihi firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3.

– Beliau(Imam Syafi’iy) terkenal dengan antusiasmenya yang tinggi dalam mengikuti jejak Rasulullah serta sangat murka terhadap orang yang menolak hadits Rasulullah . Beliau berkata,” Jika telah kau dapatkan dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi sunnah Rasulullah , maka ambillah sunnah itu dan tinggalkan fatwaku.”(Siyar 10/43).

6. Pernyataan Al ‘Izz Ibnu Abdissalam:” Bahwa bid’ah terbagi kedalam kategori wajib, haram, sunnah dan mubah. Dan cara mengetahuinya adalah dengan menimbang bid’ah tersebut di atas kaidah-kaidah syar’iyyah. Jika masuk dalam kaidah yang menghasilkan hukum wajib, maka keberadaan bid’ah tersebut menjadi wajib begitupula jika haram.”(Qowa’idul Ahkam 2/173).

Bantahan:

– Tidak boleh membantah hadits Rasulullah dengan perkataan siapapun, seperti pada kasus ‘umar dan imam syafi’i diatas

– Hal ini juga dibantah oleh Imam Asy-Syathibi berkata:” Pembagian ini adalah rekayasa tak berdalilkan syar’iy dan kontradiktif dengan sendirinya. Karena hakekat bid’ah adalah kehampaannya dari dalil syar’iy baik secara nash maupun kaidah-kaidah yang terintisarikan daripadanya karena seandainya ada dalil syar’iy atas pembagian itu niscaya tidak ada istilah bid’ah dan berarti pula merupakan usaha korelasi antara dua hal yang selalu kontradiktif (Jam’un baina mutanafiyaini).”(Al- I’tishom 1/246).

– Bahwa yang dimaksud beliau diatas adalah bid’ah secara bahasa, bukan syar’iy berdasarkan contoh-contoh yang beliau berikan dalam hal itu.

– Al’Izz adalah sosok ulama yang terkenal dengan sikap penyerangan serta pelarangannya yang keras terhadap bid’ah. Bahkan beliau sendiri yang melarang orang melakukan hal-hal yang mereka namakan dengan bid’ah hasanah.

Kesimpulan

Maka, pengelompokkan Bid’ah di atas, tidak mungkin dan tidak boleh kita pahami bahwa Al-Imam Asy-Syafi’iy menetapkan dan membenarkan amalan-amalan bid’ah (makna syar’iyyah) sebagai bid’ah hasanah (satu klasifikasi yang tidak pernah disebut oleh para pendahulu beliau). Karena dengan mengklasifikasikan seperti ini, maka bid’ah hasanah pada hakekatnya akan kembali kepada sikap istihsan (menganggap baik sesuatu) tanpa dilandasi dalil, yang mana ditentang oleh beliau rahimahullah sendiri.

Sebagaimana dalam beliau,

مَن اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

“Barangsiapa yang menganggap baik sesuatu (dalam agama, menurut pendapat/akalnya), sesungguhnya ia telah membuat syari’at (baru)”

[Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal. 374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya].

Asy-Syaukani menukil perkataan Ar-Ruyani ketika menjelaskan perkataan Imam Asy-Syafi’iy di atas :

معناه أنه ينصب من جهة نفسه شرعًا غير الشرع

“Maknanya adalah orang yang menetapkan hukum syar’iy atas dirinya dan tidak berdasarkan dalil-dalil syar’iy (yang telah ditetapkan Allåh dan Råsul-Nya)” [Irsyaadul-Fuhuul, hal. 240].

Dalam kesempatan lain, Imam Syafi’i berkata, dalam Ar-Risalah :

إِنَّمَا الاستحسانُ تلذُّنٌ

“Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu” [Ar-Risalah, hal. 507].

Cobalah kita tanyakan kepada mereka yang berkeyakinan adanya bid’ah hasanah : “Apa standar Anda dalam menentukan baik-tidaknya satu bid’ah ?”. Niscaya kita akan mendapatkan jawaban yang beragam, karena memang tidak ada standarnya.

Akhirnya, jika kita rangkum keseluruhan pendapat mereka beserta contoh-contohnya, tidaklah tersisa bid’ah bagi mereka kecuali ia adalah hasanah.

Maka marilah kita tutup dengan perkataan Al-‘Allamah Abu Syammah Al-Maqdisi Asy-Syafi’iy (seorang pembesar ulama Syafi’iyyah) :

فالواجب على العالم فيما يَرِدُ عليه من الوقائع وما يُسألُ عنهُ من الشرائعِ : الرجوعُ إلى ما دلَّ عليهِ كتابُ اللهِ المنزَّلُ، وما صحَّ عن نبيّه الصادق المُرْسَل، وما كان عليه أصحابهُ ومَن بعدَهم مِن الصدر الأول، فما وافق ذلك؛ أذِنَ فيه وأَمَرَ، وما خالفه؛ نهى عنه وزَجَرَ، فيكون بذلك قد آمَنَ واتَّبَعَ، ولا يستَحْسِنُ؛ فإنَّ (مَن استحسن فقد شَرَعَ).

“Maka wajib atas seorang ulama terhadap peristiwa yang terjadi dan pertanyaan yang disampaikan kepadanya tentang syari’at adalah kembali kepada Al-Qur’an, riwayat shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan atsar para shahabat serta orang-orang setelah mereka dalam abad pertama. Apa yang sesuai dengan rujukan-rujukan tersebut dia mengijinkan dan memerintahkan, dan apa yang tidak sesuai dengannya dia mencegah dan melarangnya. Maka dengan itu dia beriman dan mengikuti. Dan janganlah dia menyatakan baik menurut pendapatnya. Sebab : ‘Barangsiapa yang menganggap baik menurut pendapatnya (istihsan), maka sesungguhnya dia telah membuat syari’at (baru)” [Al-Ba’its ‘alaa Inkaaril-Bida’ wal-Hawadits oleh Abu Syaammah, hal. 50]

Maraji’:
– Al-Ustadz Abul Jauzaa, Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah dan Bid’ah Hasanah, http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/05/al-imam-asy-syafiiy-rahimahullah-dan.html
– Al-Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, Mengenal Seluk Beluk BID’AH (2): Adakah BID’AH HASANAH?, http://muslim.or.id/manhaj-salaf/mengenal-seluk-beluk-bidah-2.html
– Makalah Ust Syaikh Mudrik Ilyas dalam acara Daurah Dirosah Islamiyah pada tanggal 15, 16, 17 Maret 2002 di Masjid Abu Bakar shiddiq oleh Lajnah dakwah Yayasan Qolbun Salim Malang.”
*Dengan beberapa perubahan dan penambahan

Silahkan buka 17 responses menarik 
(lihat source)

10 Faedah Tentang Bid’ah

I. BID’AH PEMECAH BELAH UMAT

Bid’ah adalah penyebab utama perpecahan umat dan permusuhan di tengah-tengah mereka. Allah berfirman (yang artinya):

“Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan,karena itu akan mencerai beraikan kalian dari jalanNya”. [1]

Mujahid[2] menafsirkan “jalan-jalan” dengan aneka macam bid’ah dan syubhat.[3]
Setelah menyebutkan beberapa dalil-dalil bahwa bid’ah adalah pemecah belah umat, Imam Asy Syatibi mengatakan :”Semua bukti dan dalil ini menunjukan bahwa munculnya perpecahan dan permusuhan adalah ketika munculnya kebid’ahan”[4]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Al Istiqomah 1/42 :

”bid’ah itu identik dengan perpecahan sebagaimana sunnah identik dengan persatuan.”

II. BILA BID’AH DIANGGAP SUNNAH

Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tatkala mengatakan:

كَيْفَ أَنْتُمْ إِذَا لَبِسَتْكُمْ فِتْنَةٌ يَهْرَمُ فِيْهَا الْكَبِيْرُ, وَيَرْبُوْ فِيْهَا الصَّغِيْرُ, إِذَا تُرِكَ مِنْهَا شَيْءٌ قِيْلَ تُرِكَتِ السُّنَّةُ. قَالُوْا : وَمَتَى ذَاكَ؟ قَالَ : إِذَا ذَهَبَتْ عُلَمَاؤُكُمْ, وَكَثُرَتْ قُرَّاؤُكُمْ, وَقَلَّتْ فُقَهَاؤُكُمْ, وَكَثُرَتْ أُمَرَاؤُكُمْ, وَقَلَّتْ أُمَنَاؤُكُمْ, وَالْتُمِسَتِ الدُّنْيَا بِعَمَلِ الآخِرَةِ, وَتُفُقِّهَ لِغَيْرِ الدِّيْنِ

Bagaimana sikap kalian apabila datang sebuah fitnah yang membuat orang-orang dewasa menjadi pikun, anak-anak menjadi tua dibuatnya, dan manusia menganggapnya sunnah, apabila ditinggalkan maka dikatakanlah, “Sunnah telah ditinggalkan.” Mereka bertanya, “Kapankah itu terjadi?” Beliau menjawab, “Apabila telah wafat para ulama kalian dan meninggal para pembaca kalian, sedikitnya orang-orang faqih kalian, banyaknya para pemimpin kalian, sedikitnya orang-orang yang amanah, dunia dikejar dengan amalan akhirat, ilmu selain agama dipelajari secara mendalam.”[5]

Syaikh al-Albani menerangkan bahwa hadits ini sekalipun mauquf pada Ibnu Mas’ud tetapi dia tergolong marfu’ hukman (sampai kepada Nabi n/), lalu lanjutnya: “Hadits ini merupakan salah satu bukti kebenaran kenabian Nabi dan risalah yang beliau emban, karena setiap penggalan hadits ini telah terbukti nyata pada zaman kita sekarang, di antaranya banyaknya kebid’ahan dan banyaknya manusia yang terfitnah olehnya sehingga menjadikannya sebagai suatu sunnah dan agama, lalu ketika ada Ahlus Sunnah yang memalingkannya kepada sunnah yang sebenarnya, maka mereka mengatakan: “Sunnah telah ditinggalkan”.!! [6]

III. SENJATA PAMUNGKAS

Dari Said bin Musayyib, ia melihat seorang laki-laki menunaikan shalat setelah fajar lebih dari dua rakaat, ia memanjangkan rukuk dan sujudnya. Akhirnya Said bin Musayyib pun melarangnya. Orang itu berkata: “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah aka menyiksaku dengan sebab shalat? “Beliau menjawab tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyelisihi As-Sunnah”. [7]
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengomentari atsar ini dalam Irwaul Ghalil 2/236 “Ini adalah jawaban Said bin Musayyib yang sangat indah. Dan merupakan senjata pamungkas terhadap para ahlul bid’ah yang menganggap baik kebanyakan bid’ah dengan alasan dzikir dan shalat, kemudian membantai Ahlus Sunnah dan menuduh bahwa mereka (Ahlu Sunnah) mengingkari dzikir dan shalat! Padahal sebenarnya yang mereka ingkari adalah penyelewengan ahlu bid’ah dari tuntunan Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam dzikir, shalat dan lain-lain”.

IV. BID’AH HASANAH, ADAKAH?

Sungguh aneh bin ajaib apa yang dikatakan oleh al-Ghumari dalam bukunya “Itqon Shun’ah fi Tahqiqi Ma’na al-Bid’ah” hlm. 5: “Sesungguhnya para ulama bersepakat untuk membagi bid’ah menjadi dua macam; bid’ah terpuji dan tercela…Tidak ada yang menyelisihnya kecuali asy-Syathibi!!!”.

Demikian ucapannya, sebuah ucapan yang tidak membutuhkan keterangan panjang tentang bathilnya, karena para ulama salaf semenjak dahulu hingga sekarang selalu mengingkari bid’ah dan menyatakan bahwa setiap kebid’ahan adalah sesat. Alangkah bagusnya ucapan sahabat Abdulloh bin Umar tatkala berkata:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ إِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

Setiap bid’ah adalah kesesatan walaupun dipandang oleh manusia sebagai suatu kebaikan. [8]

V. KELUARGA WARNA WARNI

Sungguh unik apa yang dikisahkan oleh Ibnu Hazm dalam Nuqothul Arus sebagaimana dalam Rosail Ibnu Hazm 2/112-115, di antaranya:

Hirosy memiliki enam anak, dua anaknya Ahlu Sunnah, duanya lagi dari Khowarij, duanya lagi dari Rafidhoh, mereka saling bermusuhan, sehingga suatu kali bapak mereka mengatakan: “Sesungguhkan Allah telah mencerai beraikan hati kalian!!”.
Sayyid al-Himyari Kisani adalah seorang Syi’ah, sedangkan kedua orang tuanya adalah khowarij, anaknya suka melaknat kedua orang tuanya dan kedua orang tuanya membalas melaknatnya juga!! [9]

VI. BID’AH MEMATIKAN SUNNAH

Hassan bin ‘Athiyyah berkata: “Tidaklah suatu kaum melakukan suatu kebid’ahan dalam agama mereka, ekcuali Allah akan mencabut dari mereka sunnah semisalnya, kemudian dia tidak kembali ke sunnah hingga hari kiamat”. [10]
Imam adz-Dzahabi berkata: “Mengikuti sunnah adalah kehidupan hati dan makanan baginya. Apabila hati telah terbiasa dengan bid’ah, maka tiada lagi ruang untuk sunnah”. [11]

VII. HATI ITU LEMAH

Suatu kali, ada dua orang lelaki pengekor hawa nafsu datang kepada Muhammad bin Sirin seraya mengatakan: “Wahai Abu Bakr! Kami akan menceritakan kepadamu suatu hadits? Beliau berkata: Tidak. Keduanya mengatakan: Kami akan membacakan ayat Al-Qur’an kepadamu. Beliau berkata: Tidak, kalian yang pergi ataukah saya yang akan pergi. [12]Sufyan ats-Tsauri berkata: “Barangsiapa mendengarkan suatu kebid’ahan, maka janganlah dia menceritakan kepada teman duduknya, janganlah dia memasukkan syubhat dalam hati mereka”.
Imam adz-Dzahabi membawakannya dalam Siyar A’lam Nubala’ 7/261, lalu berkomentar: “Mayoritas ulama salaf seperti ini kerasnya dalam memperingatkan dari bid’ah, mereka memandang bahwa hati manusia itu lemah, sedangkan syubhat kencang menerpa”.

VIII. ANTARA BID’AH DAN MASLAHAT

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memberikan sebuah kaidah penting tentang maslahat dan mafsadah, beliau berkata :

فَكُلُّ أَمْرٍ يَكُوْنُ الْمُقْتَضِيْ لِفِعْلِهِ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم مَوْجُوْدًا لَوْ كَانَ مَصْلَحَةً وَلَمْ يَفْعَلْ, يُعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَصْلَحَةٍ

Setiap perkara yang faktor dilakukannya ada pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang nampaknya membawa maslahat tetapi tidak dikerjakan Nabi, maka jelas bahwa hal itu bukanlah maslahat. [13]

Beliau kemudian memberikan contoh, seperti adzan pada hari raya. Adzan itu sendiri pada asalnya adalah maslahat. Dan faktor dilakukannya juga ada, yaitu mengumpulkan jama’ah sholat. Tetapi Nabi tidak melakukannya. Berarti adzan pada hari raya bukanlah maslahat. Kita menyakini hal itu sesat sebelum kita mendapatakan larangan khusus akan hal tersebut atau  sebelum kita mendapaakan bahwa hal tersebut membawa mafsadah.

IX. PESAN SUNAN BONANG

Salah satu catatan menarik yang terdapat dalam dokumen “Het Book van Mbonang”[14] adalah peringatan dari sunan Mbonang kepada umat untuk selalu bersikap saling membantu dalam suasana cinta kasih, dan mencegah diri dari kesesatan dan bid’ah. Bunyinya sebagai berikut: “Ee..mitraningsun! Karana sira iki apapasihana sami-saminira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah“.

Artinya: “Wahai saudaraku! Karena kalian semua adalah sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah saling mengasihi dengan saudaramu yang mengasihimu. Kalian semua hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan bid’ah.[15]

X. MEMBANTAH AHLI BID’AH

Alangkah bagusnya ucapan seorang:
يَا طَالِبَ الْعِلْمِ صَارِمْ كُلَّ بَطَّالِ
وَكُلَّ غَاوٍ إِلىَ الأَهْوَاءِ مَيَّالِ
وَلاَ تَمِيْلَنَّ يَا هَذَا إِلَى بِدَعٍ
ضَلَّ أَصْحَابُهَا بِالْقِيْلِ وَالْقَالِ
Wahai penuntut ilmu, seranglah setiap ahli kebathilan
Dan setiap orang yang condong kepada hawa nafsu
Janganlah dirimu condong kepada bid’ah
Sungguh pelaku bid’ah telah tersesat karena kabar burung. [16]
Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
[1] QS.Al-An’am: 153.
[2] Beliau adalah seorang pakar ilmu tafsir,beliau belajar dan khatam al qur’an beserta tafsirnya perayat kepada Ibnu Abbas sebanyak dua puluh sembilan kali. Sufyan Ats-Tsauri berkata :”Apabila datang padamu tafsir dari Mujahid, maka cukuplah dengannya.(lihat Ma’rifah Qurra’ kibar 1/66-67 Adz-Dzahabi, Muqodimah Tafsir 94-95 Ibnu Taimiyyah).
[3] Jami’ul Bayan 5/88 Ibnu Jarir.
[4] Al-I’tishom 1/157.
[5] HR. Darimi 1/64, al-Hakim 4/514 dengan sanad hasan shohih.
[6] Qiyam Romadhan hlm. 4-5.
[7] Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam Sunan Kubra 2/466.
[8] Diriwayatkan oleh Lalikai dalam Syarah Ushul I’tiqod: 126, Ibnu Baththoh dalam Ibanah: 205, al-Baihaqi dalam Madkhol Ila Sunan: 191, dan Ibnu Nashr dalam as-Sunnah: 70 dan dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Ahkam Janaiz hlm. 258.
[9] An-Nadhoir, Syaikh Bakr Abu Zaid hlm. 86.
[10] Dikeluarkan al-Lalikai: 129, ad-Darimi: 98 dengan sanad shohih.
[11] Tasyabbuh al-Khosis bi Ahlil Khomis hlm. 46.
[12] Ad-Darimi 1/109.
[13] Iqtidho’ Sirhotil Mustaqim 2/594.
[14] Dokumen ini adalah sumber tentang walisongo yang dipercayai sebagai dokumen asli dan valid, yang tersimpan di Museum Leiden, Belanda. Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa kajian oleh beberapa peneliti. Diantaranya thesis Dr. Bjo Schrieke tahun 1816, dan Thesis Dr. Jgh Gunning tahun 1881, Dr. Da Rinkers tahun 1910, dan Dr. Pj Zoetmulder Sj, tahun 1935.
[15] Dari info Abu Yahta Arif Mustaqim, pengedit buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali hlm. 12-13.
[16] Dzail Tarikh Baghdad 16/318, sebagaimana dalam Ilmu Ushul Bida’ hlm. 300.

Related articles

Definisi Bid’ah Menurut Ulama Silam
Shalat Taraweh Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam (Sunnah Muaqad), Bukan Bid’ahnya Umar RA. Mengapa Syiah Anti-Shalat Tarawih Berjama’ah (Karena Kedengkiannya Kepada Aisyah RA Dan Umar RA) ?
Tentang perkataan umar radhiallahu 'anhu : "inilah sebaik-baik bid'ah"[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalisy Syar'i wa Khatharil Ibtidaa' edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, terbitan Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor - Jabar]

Bantahan