Wednesday, July 22, 2015

( Bagian 5 ) Mengimani Sifat-sifat Allah : " Keberadaan Allah" Menurut Ustadz KH Muhammad Idrus Ramli ( Intelektual Aswaja )

Allah Ada Tanpa Tempat
allah ada tanpa tempat
Keyakinan yang paling mendasar setiap Muslim adalah meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala Maha Sempurna dan Maha Suci dari segala kekurangan. Allah subhanahu wa ta‘ala Maha Suci dari menyerupai makhluk-Nya. Allah subhanahu wa ta‘ala juga Maha Suci dari tempat dan arah. Allah subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat. Demikian keyakinan yang paling mendasar setiap Muslim Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Dalam ilmu akidah atau teologi, keyakinan semacam ini dibahasakan, bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala memiliki sifat Mukhalafatuhu lil-Hawaditsi, yaitu Allah subhanahu wa ta‘ala wajib tidak menyerupai makhluk-Nya.
Ada sebuah dialog yang unik antara seorang Muslim Sunni yang meyakini Allah subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat, dengan seorang Wahhabi yang berkeyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bertempat. Wahhabi berkata: “Kamu ada pada suatu tempat. Aku ada pada suatu tempat. Berarti setiap sesuatu yang ada, pasti ada tempatnya. Kalau kamu berkata, Allah ada tanpa tempat, berarti kamu berpendapat Allah tidak ada.” Sunni menjawab; “Sekarang saya akan bertanya kepada Anda: “Bukankah Allah telah ada tanpa tempat sebelum diciptakannya tempat?” Wahhabi menjawab: “Betul, Allah ada tanpa tempat sebelum terciptanya tempat.” Sunni berkata: “Kalau memang wujudnya Allah tanpa tempat sebelum terciptanya tempat itu rasional, berarti rasional pula dikatakan, Allah ada tanpa tempat setelah terciptanya tempat. Mengatakan Allah ada tanpa tempat, tidak berarti menafikan wujudnya Allah.”
Wahhabi berkata: “Bagaimana seandainya saya berkata, Allah telah bertempat sebelum terciptanya tempat?” Sunni menjawab: “Pernyataan Anda mengandung dua kemungkinan. Pertama, Anda mengatakan bahwa tempat itu bersifat azali (tidak ada permulaannya), keberadaannya bersama wujudnya Allah dan bukan termasuk makhluk Allah. Demikian ini berarti Anda mendustakan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
اَللهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ. (الزمر : ٦٢).
“Allah-lah pencipta segala sesuatu.” (QS. al-Zumar : 62).
Kemungkinan kedua, Anda berpendapat, bahwa Allah itu baru, yakni wujudnya Allah terjadi setelah adanya tempat, dengan demikian berarti Anda mendustakan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
هُوَ اْلأَوَّلُ وَاْلآَخِرُ. (الحديد : ٣).
“Dialah (Allah) Yang Maha Awal (wujudnya tanpa permulaan) dan Yang Maha Akhir (Wujudnya tanpa akhir).”  (QS. al-Hadid : 3).
Demikianlah dialog seorang Muslim Sunni dengan orang Wahhabi. Pada dasarnya, pendapat Wahhabi yang meyakini bahwa wujudnya Allah subhanahu wa ta‘ala ada dengan tempat dapat menjerumuskan seseorang keluar dari keyakinan yang paling mendasar setiap Muslim, yaitu Allah subhanahu wa ta‘ala Maha Suci dari segala kekurangan.
Tidak jarang, kaum Wahhabi menggunakan ayat-ayat al-Qur’an untuk membenarkan keyakinan mereka, bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bertempat di langit. Akan tetapi, dalil-dalil mereka dapat dengan mudah dipatahkan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang sama.

nu wahabi bersatu
NU – WAHABI BERSATU, MUNGKINKAH?
Wawancara Dengan Situs www.islampos.com di Ruang Khalid bin al-Walid, az-Zikra, Sentul Bogor.

Pada tanggal 22 Pebruari 2015 yang lalu, saya diundang az-Zikra, majlis dzikir pimpinan Ustadz Arifin Ilham, di Bogor, untuk menjadi salah satu pembicara dalam acara Tabligh Akbar. Sepertinya dalam acara tersebut juga melibatkan orang-orang Wahabi. Dalam acara yang membicarakan penyimpangan ajaran Syiah tersebut, sepertinya aroma Wahabi memang agak terasa.
Saya berbicara di forum yang dihadiri orang-orang yang memenuhi lantai bawah Masjid az-Zikra tersebut. Konon Masjid tersebut hasil sumbangan al-Marhum Muammar Qadzafi, Presiden Libia, yang dibunuh dalam serangan tentara Barat ke Libia beberapa waktu yang lalu. Setelah saya selesai berbicara tentang perbedaan ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah dengan Syiah, dua orang wartawan situs islampos.com mengikuti saya menuju ruang istirahat, ruangan VIP di sebelah Raudhatul Athfal az-Zikra. Mereka mengikuti saya untuk wawancara dengan saya seputar ajaran Syiah. Pada waktu itu, saya ditemani beberapa teman sealmamater dengan saya di Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, yaitu Ustadz Abdussalam, Ahmad Mukhlishuddin, Rohmatullah Adni Asymuni, Ahmad Zuhud, Badrus Sholeh dan Abdurrohim.
Pada awalnya, kedua wartawan tersebut, yang kemudian disusul oleh seorang wartawan lagi dari situs yang sama, menanyakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan Syiah. Tetapi, tanpa saya duga, setelah selesai menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan Syiah, mereka mulai menanyakan tentang serangan-serangan saya terhadap Wahabi di dunia maya. Berikut wawancaranya.
Islampos (IP): Mengapa Anda sering menyerang Wahabi dalam tulisan-tulisan Anda di dunia maya, baik di akun facebook, fanpage maupun situswww.idrusramli.com?
Saya (S): Saya tidak pernah menyerang Wahabi. Saya hanya menanggapi dan merespon serangan mereka. Coba Anda perhatikan, kaum Wahabi tidak pernah lelah dan tidak pernah berhenti mensyirikkan, mengkafirkan dan membid’ahkan kami, baik melalui dunia maya, radio, televisi, buku-buku dan lainnya. Jadi, kami hanya merespon saja.
IP: Apakah mungkin Nahdlatul Ulama bersatu dengan Wahabi?
S: Pertanyaan Anda ini lucu. Sebab sebenarnya Islam telah menyatukan semuanya. Ahlussunnah Wal-Jama’ah Islam, Wahabi Islam, Syiah juga Islam. Jadi Islam telah menyatukan mereka. Hanya saja kemudian mereka dikotak-kotakkan dan dipisahkan oleh banyak perbedaan baik dalam masalah-masalah ushul (akidah) maupun dalam masalah-masalah furu’ (fiqih). [Tentu saja, Syiah masih dianggap Islam, selama mereka tidak menistakan para istri Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak mengakafirkan sahabat dan tidak meyakini kepalsuan al-Qur’an).
Sebenarnya bagaimana peta perpecahan antara aliran-aliran tersebut?
Jadi begini, 90 % umat Islam itu pengikut madzhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan yang 10 % ada yang Syiah, Zaidiyah, Khawarij (Ibadhiyah) dan Mu’tazilah.
Dari 90 % pengikut madzhab empat tersebut, apabila kita petakan akidah mereka adalah sebagai berikut:
1) Pengikut madzhab Hanafi, 30 % mengikuti akidah Asya’irah, dan 70 % mengikuti Maturidiyah
2) Pengikut madzhab Maliki dan Syafi’i, 100 % mengikuti Asya’irah
3) Pengikut madzhab Hanbali, dalam akidah pecah menjadi tiga kelompok.
Pertama, mayoritas mereka, atau sekitar 60 % adalah pengikut Hasyawiyah, atau Mujassimah yang berkeyakinan Allah berdomisili di Arasy. Kelompok ini disebut dengan Ghulat al-Hanabilah (kaum ekstrem madzhab Hanbali).
Kedua, kelompok yang mengikuti madzhab Asya’iroh, seperti Abul Wafa Ibnu ‘Aqil, Rizqullah bin Abdul Wahhab al-Tamimi dan Abul Faraj Ibnul Jauzi. Kelompok ini disebut dengan fudhala’ al-hanabilah (kaum utama madzhab Hanbali).
Ketiga, mengikuti ajaran tafwidh, yakni tidak melakukan ta’wil terhadap nash-nash mutasyabihat, tapi menyerahkan maknanya kepada Allah subhanahu wata’ala.
Ketiga kelompok tersebut sama-sama mengklaim sebagai representasi pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal dalam bidang akidah. Akan tetapi meskipun ketiga kelompok tersebut berbeda dalam soal-soal akidah, mereka sama-sama mengikuti ajaran tashawuf, melakukan istighatsah, tawasul, tabaruk dan ziarah kubur.
Pada abad ketujuh Hijriah, kelompok Ghulat al-Hanabilah hampir habis dan beralih haluan mengikuti Asya’irah, berkat kebijakan Raja Zhahir Baibars al-Bindiqdari, yang mengangkat Hakim Agung (Qadhi al-Qudhat) dari madzhab empat. Sehingga keempat madzhab tersebut sering melakukan diskusi, dan dampak positifnya, penyakit tajsim (menjasmanikan Tuhan) yang menggerogoti Hanabilah, sedikit demi sedikit terobati dan hampir habis.
Hanya saja setelah itu lahir Syaikh Ibnu Taimiyah, yang kemudian berhasil meradikalisasi madzhab Hanbali dalam bidang ushul dan furu’. Dalam bidang akidah, Ibnu Taimiyah mengembalikan mayoritas Hanabilah menjadi pengikut Hasyawiyyah dan membabat habis kelompok Fudhala’ al-Hanabilah yang mengikuti Asya’irah. Sedangkan dalam bidang furu’, Ibnu Taimiyah mengharamkan istighatsah, tawasul, tabaruk dan ziarah makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan wali dengan tujuan tabaruk. Dalam rangka radikalisasi tersebut, Ibnu Taimiyah membuat perangkat ideologi yang disebut dengan pembagian Tauhid menjadi tiga, yaitu Rububiyah, Uluhiyah dan Asma wa Shifat. Tauhid Uluhiyah dibuat untuk melarang amalan-amalan seperti istighatsah, tawasul, tabaruk dan ziarah. Sedangkan Tauhid Asma wa Shifat dibuat untuk menyesatkan mayoritas umat Islam yang berakidah tanzih (menyucikan Allah dari menyerupai makhluk) dan melakukan ta’wil terhadap nash-nash mutasyabihat. Akan tetapi perlu dicatat, Ibnu Taimiyah masih membolehkan membaca al-Qur’an di kuburan, tahlilan, dzikir bersama, maulid dan beberapa tradisi shufi lainnya.
Pada abad kedua belas Hijriah, muncul Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, pendiri Wahabi. Dia meradikalisasi madzhab Hanbali, lebih keras dari Ibnu Taimiyah, dengan mengadopsi akidah Hasyawiyah. Hanya saja, beberapa amalan yang diharamkan oleh Ibnu Taimiyah, seperti istighatsah, tawasul, tabaruk dan ziarah dengan alasan Tauhid Uluhiyah, oleh pendiri Wahabi tersebut dinaikkan status hukumnya menjadi syirik akbar, murtad dan kafir. Sedangkan beberapa tradisi shufi yang dibolehkan oleh Ibnu Taimiyah, seperti dzikir bersama, membaca al-Qur’an di kuburan, maulid, tahlilan dan semacamnya diharamkan dengan alasan bid’ah dhalalah dan pemurnian agama.
Lalu bagaimana perbedaan mendasar dalam aspek akidah, antara Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Wahabi dan Syiah?
Perbedaannya tidak sederhana, dan tidak semudah Anda mengajak kami, mari kita bersatu menghadapi Syiah dan Liberal. Ini namanya menyederhanakan persoalan.
Sekarang kita melihat perbedaan akidah, antara Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Wahabi dan Syiah. Contohnya dalam konsep tentang ketuhanan. Dalam madzhab Ahlussunnah Wal-Jama’ah, berkaitan dengan ketuhanan ada konsep sifat wajib dua puluh bagi Allah. Sifat dua puluh ini( ????? ), selain sebagai internalisasi, atau membangun konsep yang benar tentang ketuhanan sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah seperti yang dipahami oleh ulama salaf, juga sebagai respon terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan faksi-faksi di luar Ahlussunnah Wal-Jama’ah, seperti Mu’tazilah, Zaidiyah, Syiah, Wahabi dan lain-lain.
Secara sederhana begini, sifat dua puluh tersebut dibangun oleh para ulama dalam rangka menjawab pertanyaan paling mendasar tentang Allah.
Misalnya tentang sifat wujud. Ada sebuah pertanyaan, apakah Allah itu ada? Jawabannya, Allah itu ada, dan keberadaannya bersifat wajib ‘aqli (wajibul wujud). Dalam masalah ini, tidak ada perbedaan antara Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Wahabi, Mu’tazilah dan para pengikutnya, yaitu Zaidiyah, Syiah, Khawarij dan Hizbut Tahrir. Karena keempat kelompok tersebut secara ideologi mengikuti Mu’tazilah.
Pertanyaan kedua, apabila Tuhan itu ada, lalu sejak kapan keberadaan-Nya? Jawabannya, Tuhan itu bersifat qidam, keberadaan-Nya tanpa permulaan. Mengenai sifat qidam ini, umat Islam sepakat, bahwa wujudnya Tuhan tanpa permulaan, baik Ahlussunnah, Mu’tazilah, Syiah dan Wahabi. Hanya saja, dalam ajaran Hasyawiyah (yang diikuti Wahabi), sejak masa Ibnu Taimiyah, menolak penggunaan istilah qidam bagi Allah, dan menganggapnya bid’ah yang sesat, dengan alasan istilah qidam bagi Allah tidak ada dalam al-Qu’an dan hadits. ( ????? ) Padahal penetapan sifat Qidam tersebut didasarkan pada dalil ijma’ ulama salaf. Oleh karena itu, para ulama sebelum Ibnu Taimiyah, termasuk Hasyawiyah sendiri menerima istilah Qidam bagi Allah.( ?????? )
Pertanyaan ketiga, sampai kapan wujudnya Tuhan? Jawabannya, Tuhan wajib bersifat baqa’, kekal dan abadi, yaitu wujudnya tidak ada akhirnya. Dalam masalah ini, semua umat Islam sepakat, karena istilah baqa’ bagi Tuhan memang ditegaskan dalam al-Qur’an.
Pertanyaan keempat, kalau Tuhan itu memang Wujud, Qidam dan Baqa’, lalu Tuhan itu seperti apa? Jawabannya, mayoritas umat Islam, Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Mu’tazilah dan Syiah sepakat menjawab, Tuhan itu bersifat mukhalafah lil-hawaditsi, yaitu Dzat Tuhan berbeda dengan apapun dari makhluk-makhluk-Nya yang baru. ( mana tex tulisan wahhabi yang bertentangan dengan paragraph ini ? ) Sementara kaum Wahabi berbeda dengan mayoritas umat Islam. Karena itu, Wahabi disebut kaum Musyabbihah (menyerupakan Tuhan dengan makhluk) dan Mujassimah (menjasmanikan Tuhan).( ?????? ) bodoh benar !
Pertanyaan kelima, kalau begitu, Tuhan tinggal di mana? Menjawab pertanyaan ini, ketiga kelompok tadi berbeda lagi. Mu’tazilah dan Syiah menjawab, Tuhan ada di mana-mana. Wahabi menjawab lain, dan berpendapat bahwa Tuhan bertempat di Arasy. Sedangkan Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang merupakan mayoritas umat Islam menjawab, Tuhan tidak butuh pada tempat. Tuhan ada sebelum adanya tempat.
Masalah ini sebenarnya perbedaan yang paling utama dan paling pokok antara Wahabi dengan umat Islam yang lain dalam masalah ketuhanan. Sehingga menurut Wahabi, umat Islam yang tidak meyakini Tuhan berdomisili di Asrasy adalah kafir, karena telah melanggar Tauhid Asma wa Shifat. Dan dengan Tauhid Asma wa Shifat ini pula, Wahabi menganggap umat Islam yang melakukan ta’wil terhadap nash-nash mutasyabihat adalah sesat. Padahal ta’wil dalam hal tersebut telah dilakukan oleh kaum salaf yang shaleh sejak generasi sahabat. Jadinya, Tauhid Asma wa Shifat telah berdampat negatif, karena menyesatkan umat Islam sejak generasi salaf yang shaleh.
Sementara Ahlussunnah Wal-Jama’ah, berpendapat bahwa keyakinan Wahabi bahwa Tuhan berdomisili di Arasy adalah sesat dan menyesatkan. Karena keyakinan tersebut dapat menjerumuskan pada kekufuran. Kaum Wahabi memiliki keyakinan, bahwa setiap sesuatu yang ada pasti bertempat. Tuhan itu ada, berarti bertempat. Kalau tidak bertempat, berarti tidak ada.
Beberapa waktu yang lalu saya pernah berdialog dengan seorang Ustadz Wahabi. Saya bertanya kepada dia, Tuhan itu bertempat apa tidak? Dia menjawab, ya bertempat. Kalau tidak bertempat berarti tidak ada. Karena setiap sesuatu yang ada pasti bertempat. Lalu saya tanya, kalau begitu, tempat-Nya di mana? Dia menjawab, di Arasy. Lalu saya bertanya lagi, Arasy itu makhluk apa bukan? Kalau Anda menjawab bukan makhluk, Anda kafir, karena meyakini ada sesuatu selain Tuhan yang bukan makhluk Tuhan. Kalau Anda menjawab, Arasy itu makhluk, saya akan bertanya lagi. Dia menjawab, tentu saja Arasy itu makhluk. Lalu saya bertanya lagi, kalau begitu, sebelum Allah menciptakan Arasy, Allah bertempat di mana? Akhirnya Wahabi tersebut tidak bisa menjawab, dan berbicara ke mana-mana.
Pendapat Wahabi bahwa setiap sesuatu yang ada pasti bertempat, jelas menjerumuskan pada kekufuran, ketika mereka dihadapkan pada persoalan, di mana tempat Tuhan sebelum menciptakan tempat. Kalau mereka menjawab, Tuhan tidak ada, berarti mereka kafir. Kalau mereka menjawab, Tuhan ada tanpa tempat, berarti mereka paradoks dan membatalkan konsepnya sendiri.
Ahlussunnah Wal-Jama’ah juga menolak konsep Mu’tazilah dan Syiah yang mengatakan Tuhan ada di mana-mana. Karena pendapat tersebut melecehkan Tuhan, dengan kesimpulan bahwa Tuhan ada di tempat-tempat yang baik seperti Masjid dan tempat ibadah, juga di tempat-tempat yang tidak baik seperti toilet dan semacamnya. Oleh karena itu, mayoritas umat Islam, Ahlussunnah Wal-Jama’ah meyakini Tuhan itu ada tanpa tempat.
Nah, dari jawaban saya yang agak panjang, pertanyaan Anda, mungkinkan Nahdlatul Ulama bersatu dengan Wahabi? Jawabannya, di sini harus dipahami bahwa perbedaan kami dengan Wahabi tidaklah sederhana. Kami mengikuti mayoritas umat Islam sejak generasi salaf yang shaleh dari kaum ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih. Sedangkan Wahabi mengikuti kaum Hasyawiyah, Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi. Sedangkan Syiah mengikuti Mu’tazilah.
IP: Menurut Anda, Wahabi itu bagaimana?
S: Saya terus terang saja, Wahabi itu bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Wahabi itu sesat dan menyesatkan. Hanya saja, Syiah lebih sesat dari Wahabi. Ini seperti yang ditegaskan oleh mayoritas ulama madzhab yang empat, termasuk Hadlratusysyaikh KH Hasyim Asy’ari dalam Risalah-nya.
Demikian wawancara kami dengan wartawan www.islampos.com

Jul 6th, 2013 @ 03:42 pm › Ust. Idrus Ramli

dialog ustadz wahabi mujassimah
  
Pada tahun 2009, saya pernah terlibat perdebatan sengit dengan seorang Ustadz Salafi berinisial AH di Surabaya. Beberapa bulan berikutnya saya berdebat lagi dengan Ustadz Salafi di Blitar. Ustadz tersebut berinisial AH pula, tetapi lain orang. Dalam perdebatan tersebut saya bertanya kepada AH: “Mengapa Anda meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit?”
Menanggapi pertanyaan saya, AH menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an yang menurut asumsinya menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit. Lalu saya berkata: “Ayat-ayat yang Anda sebutkan tidak secara tegas menunjukkan bahwa Allah ada di langit. Karena kosa kata istawa, menurut para ulama memiliki 15 makna. Di samping itu, apabila Anda berargumentasi dengan ayat-ayat tersebut, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit. Misalnya Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman: “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. al-Hadid : 4). Ayat ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bersama kita di bumi, bukan ada di langit. Dalam ayat lain Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman:
وَقَالَ إِنِّيْ ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ. (الصافات : ٩٩).
“Dan Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku (Palestina), yang akan memberiku petunjuk.” (QS. al-Shaffat : 99).
Dalam ayat ini, Nabi Ibrahim alaihissalam berkata akan pergi menuju Tuhannya, padahal Nabi Ibrahim alaihissalam pergi ke Palestina. Dengan demikian, secara literal ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bukan ada di langit, tetapi ada di Palestina.” Setelah saya berkata demikian, AH tidak mampu menjawab akan tetapi mengajukan dalil lain dan berkata: “Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِلْجَارِيَةِ السَّوْدَاءِ: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ. قَالَ مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ: رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ. رواه مسلم.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak perempuan yang berkulit hitam: “Allah ada di mana?” Lalu budak itu menjawab: “Allah ada di langit.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya; “Saya siapa?” Ia menjawab: “Engkau Rasul Allah.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada majikan budak itu, “Merdekakanlah budak ini. Karena ia seorang budak yang mukmin.” (HR. Muslim).”
Setelah AH berkata demikian, saya menjawab begini: “Ada tiga tinjauan berkaitan dengan hadits yang Anda sebutkan. Pertama, dari aspek kritisisme ilmu hadits (naqd al-hadits). Hadits yang Anda sebutkan menurut para ulama tergolong hadits mudhtharib (hadits yang simpang siur periwayatannya), sehingga kedudukannya menjadi lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah. ( coba jabarkan/tulis dan dimana kelemahannya? )Kesimpangsiuran periwayatan hadits tersebut, dapat dilihat dari perbedaan setiap perawi dalam meriwayatkan hadits tersebut. Ada yang meriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertanya di mana Allah subhanahu wa ta‘ala. Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah.
Kedua, dari segi makna, para ulama melakukan ta’wil terhadap hadits tersebut dengan mengatakan, bahwa yang ditanyakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebenarnya adalah bukan tempat, tetapi kedudukan atau derajat Allah subhanahu wa ta‘ala. Lalu orang tersebut menjawab kedudukan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit, maksudnya Allah subhanahu wa ta‘ala itu Maha Luhur dan Maha Tinggi. (  ??????? mana dalilnya )
Ketiga, apabila Anda berargumen dengan hadits tersebut tentang keyakinan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan hadits lain yang lebih kuat dan menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit, bahkan ada di bumi. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَأَى نُخَامَةً فِي الْقِبْلَةِ فَحَكَّهَا بِيَدِهِ وَرُؤِيَ مِنْهُ كَرَاهِيَةٌ وَقَالَ: إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِيْ صَلاَتهِ فَإِنَّمَا يُنَاجِيْ رَبَّهُ أَوْ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قِبْلَتِهِ فَلاَ يَبْزُقَنَّ فِيْ قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat dahak di arah kiblat, lalu beliau menggosoknya dengan tangannya, dan beliau kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya apabila salah seorang kalian berdiri dalam shalat, maka ia sesungguhnya berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau Tuhannya ada di antara dirinya dan kiblatnya. Oleh karena itu, janganlah ia meludah ke arah kiblatnya, akan tetapi meludahlah ke arah kiri atau di bawah telapak kakinya.” (HR. al-Bukhari [405]).
Hadits ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di depan orang yang sedang shalat, bukan ada di langit. Hadits ini jelas lebih kuat dari hadits riwayat Muslim, karena hadits ini riwayat al-Bukhari. Setelah saya menjawab demikian, AH juga tidak mampu menanggapi jawaban saya. Sepertinya dia merasa kewalahan dan tidak mampu menjawab. Ia justru mengajukan dalil lain dengan berkata: “Keyakinan bahwa Allah ada di langit itu ijma’ ulama salaf.” Lalu saya jawab, “Tadi Anda mengatakan bahwa dalil keyakinan Allah ada di langit, adalah ayat al-Qur’an. Kemudian setelah argumen Anda kami patahkan, Anda beragumen dengan hadits. Lalu setelah argumen Anda kami patahkan lagi, Anda sekarang berdalil dengan ijma’. Padahal ijma’ ulama salaf sejak generasi sahabat justru meyakini Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata dalam al-Farqu Bayna al-Firaq:
وَأَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّهُ لاَ يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِيْ عَلَيْهِ زَمَانٌ
“Kaum Muslimin sejak generasi salaf (para sahabat dan tabi’in) telah bersepakat bahwa Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh waktu.” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).
Al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi juga berkata dalam al-’Aqidah al-Thahawiyyah, risalah kecil yang menjadi kajian kaum Sunni dan Wahhabi:
وَلاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِتُّ.
“Allah subhanahu wa ta‘ala tidak dibatasi oleh arah yang enam.”
Setelah saya menjawab demikian kepada AH, saya bertanya kepada AH: “Menurut Anda, tempat itu makhluk apa bukan?” AH menjawab: “Makhluk.” Saya bertanya: “Kalau tempat itu makhluk, lalu sebelum terciptanya tempat, Allah ada di mana?” AH menjawab: “Pertanyaan ini tidak boleh, dan termasuk pertanyaan yang bid’ah.” Demikian jawaban AH, yang menimbulkan tawa para hadirin dari semua kalangan pada waktu itu. Kebetulan pada acara tersebut, mayoritas hadirin terdiri dari kalangan Salafi, anggota jamaah AH.
Demikianlah, cara dialog orang-orang Wahhabi. Ketika mereka tidak dapat menjawab pertanyaan, mereka tidak akan menjawab, aku tidak tahu, sebagaimana tradisi ulama salaf dulu. Akan tetapi mereka akan menjawab, “Pertanyaanmu bid’ah dan tidak boleh.” AH sepertinya tidak mengetahui bahwa pertanyaan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di mana sebelum terciptanyan alam, telah ditanyakan oleh para sahabat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkata kepada mereka, bahwa pertanyaan tersebut bid’ah atau tidak boleh. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ إِنِّيْ عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم إِذْ دَخَلَ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالُوْا: جِئْنَاكَ لِنَتَفَقَّهَ فِي الدِّيْنِ وَلِنَسْأَلَكَ عَنْ أَوَّلِ هَذَا اْلأَمْرِ مَا كَانَ. قَالَ: كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ. (رواه البخاري).
“Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berada bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman dan berkata: “Kami datang untuk belajar agama dan menanyakan tentang permulaan yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah telah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Allah.” (HR. al-Bukhari [3191]).

Hadits ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya makhluk, termasuk tempat. Al-Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:
عَنْ أَبِيْ رَزِيْنٍ قَالَ قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ خَلْقَهُ ؟ قَالَ كَانَ فِيْ عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ وَخَلَقَ عَرْشَهُ عَلىَ الْمَاءِ قَالَ أَحْمَدُ بْنُ مَنِيْعٍ قَالَ يَزِيْدُ بْنُ هَارُوْنَ الْعَمَاءُ أَيْ لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ قَالَ التِّرْمِذِيُّ وَهَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ.
“Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai (termasuk tempat). Al-Tirmidzi berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, [3109]).
Dalam setiap dialog yang terjadi antara Muslim Sunni dengan kaum Wahhabi, pasti kaum Sunni mudah sekali mematahkan argumen Wahhabi. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dari ayat al-Qur’an, maka dengan mudahnya dipatahkan dengan ayat al-Qur’an yang lain. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti kaum Sunni dengan mudahnya mematahkan argumen tersebut dengan hadits yang lebih kuat. Dan ketika Sunni berargumen dengan dalil rasional, pasti Wahhabi tidak dapat membantah dan menjawabnya. Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat adalah keyakinan kaum Muslimin sejak generasi salaf, kalangan sahabat dan tabi’in. Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ اْلآَنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ
“Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah sekarang, sama seperti sebelum adanya tempat (maksudnya Allah tidak bertempat).” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).

Membedah Syubhat-Syubhat “Buku Pintar Berdebat Dengan Wahabi

Ustadz Abu Ahmad Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah
Di antara karakteristik ahli bid’ah dari masa ke masa, bahwasanya mereka selalu mencela dan mencoreng citra Ahli Sunnah wal Jama’ah untuk menjauhkan umat dari al-haq. Al-Imam Abu Hatim ar-Razi Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Ciri ahli bid’ah adalah mencela ahlil atsar.” (Ashlu Sunnah hlm. 24)
Al-Imam Abu Utsman ash-Shabuni Rahimahullahu Ta’alaberkata, “Tanda yang paling jelas dari ahli bid’ah adalah kerasnya permusuhan mereka kepada pembawa Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka melecehkan dan menghina Ahli Sunnah dan menamakan Ahli Sunnah dengan Hasyawiyyah, Jahalah, Dhahiriyyah, dan Musyabbihah.” (Aqidah Salaf Ashabul Hadits hlm. 116)
Di antara deretan buku-buku ‘hitam’ yang mencela ulama Sunnah adalah Buku Pintar Berdebat Dengan Wahabi yang beredar belakangan ini. Buku ini penuh dengan banyak cercaan, kedustaan, tadlis (manipulasi), dan pengkhianatan ilmiah terhadap Dakwah Salafiyyah.
Mengingat kitab ini telah menyebar di kalangan kaum muslimin—bahkan banyak dijadikan rujukan oleh para pemasar bid’ah—maka untuk menunaikan kewajiban kami dalam nasihat kepada kaum muslimin dan membela dakwah yang haq, dengan memohon pertolongan kepada Allah akan kami paparkan telaah kritis terhadap buku ini agar menjadi kewaspadaan dan peringatan bagi kita semua.
Penulis dan Penerbit Buku Ini
Buku ini ditulis oleh Muhammad Idrus Ramli dan diterbitkan oleh Bina Aswaja, Surabaya, cetakan ketujuh, Rajab 1433 H/Juni 2012 M.
Penulis Mengingkari “Allah di Langit”
Penulis berkata di dalam hlm. 16:
Allah juga Maha Suci dari tempat dan arah. Allah ada tanpa tempat.
Dia juga berkata di dalam hlm. 18:
Tidak jarang, kaum Wahabi menggunakan ayat-ayat Al-Qur‘an untuk membenarkan keyakinan mereka, bahwa Allah bertempat di langit. Akan tetapi dalil-dalil mereka dapat dengan mudah dipatahkan dengan ayat-ayat Al-Qur‘an yang sama.
Kami katakan:
Tidak syak lagi bahwa bahwa penulis telah terpengaruh dengan pemikiran Mu’tazilah yang menolak sifat-sifat Allah seperti istiwa‘ dan yang lainnya. Ini menyelisihi manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah yang menetapkan semua sifat yangtsabitah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Yang shahih adalah bahwa “Allah bersemayam di atas ’Arsy di atas semua makhluk-Nya”. Al-Qur‘an, hadits shahih, dan fitrah yang bersih serta cara berpikir yang sehat adalah dalil-dalil yang qath’i yang mendukung kenyataan bahwa Allah berada di atas ’Arsy:
Allah Ta’ala berfirman:
ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ ﴿٥﴾
Allah Yang Maha Pengasih itu beristiwa‘ di atas ’Arsy. (QS Thaha [20]: 5)
Keterangan bahwa Allah bersemayam di atas ’Arsy terdapat dalam tujuh surat, yaitu: al-A’raf [7]: 54, Yunus [10]: 3, ar-Ra’d [51]: 2, Thaha [20]: 5, al-Furqan [25]: 59, as-Sajdah [22]: 4, dan al-Hadid [59]: 4.
Para tabi’in menafsirkan istiwa‘ dengan “naik dan tinggi”, sebagaimana diterangkan dalam hadits al-Bukhari (lihat Syarh al-’Aqidah al-Wasithiyyah, asy-Syaikh al-Fauzan hlm. 73–75 cet. Maktabah al-Ma’arif).
1. Dan Allah Ta’ala berfirman:
ءَأَمِنتُم مَّن فِى ٱلسَّمَآءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ ٱلْأَرْضَ
Apakah kalian merasa aman terhadap “Yang di langit” bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian? (QS al-Mulk [67]: 16)
Menurut Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, yang dimaksud dengan “Yang di langit” adalah Allah, seperti disebutkan dalam kitab Tafsir Ibnul Jauzi.
2. Dan Allah Ta’ala berfirman:
يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ
Mereka takut kepada Tuhan mereka yang (ada) di atas mereka. (QS an-Nahl [16]: 50)
3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mi’raj ke langit ketujuh dan berdialog dengan Allah serta diwajibkan untuk melakukan shalat lima waktu. (Muttafaqun ’alaih)
4. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Kenapa kamu tidak mempercayaiku, padahal aku ini dipercaya oleh Allah yang ada di langit?” (Muttafaqun ’alaih)
5. Di dalam Shahih Muslim (no. 537) bahwa ada seorang jariyah(budak perempuan) penggembala kambing ditanya oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Di manakah Allah?” Jawab budak perempuan, “Di atas langit.” Beliau bertanya (lagi), “Siapakah aku?” Jawab budak itu, “Engkau adalah Rasulullah.” Beliau bersabda, “Merdekakan ia, karena sesungguhnya ia mukminah (seorang perempuan yang beriman).”
6. Al-Imam Malik, ketika ditanya tentang masalah istiwa‘(tingginya) Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas ’Arsy-Nya berkata, “Istiwa‘ (Allah) sudah sama dipahami, dan bagaimana (hakikat)nya tidak diketahui, sedangkan mengimaninya adalah wajib, dan bertanya tentang bagaimana (hakikat) Allah ber-istiwa‘ adalah bid’ah.” (Lihat Mukhtashar al-’Uluw oleh al-Imam adz-Dzahabi hlm. 141.)
7. Al-Imam Abdullah bin Mubarak Rahimahullahu Ta’alaberkata, “Kita mengetahui bahwa Tuhan kita berada di atas langit yang tujuh; ber-istiwa‘ di atas ’Arsy-Nya; terpisah dari makhluk-Nya. Kami tidak mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Jahmiyyah.” (Lihat Mukhtashar al-’Uluw oleh al-Imam adz-Dzahabi hlm. 151.)
8. Al-Imam al-Auza’i Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Kami dan para Tabi’in mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah penyebutannya di atas ’Arsy-Nya dan kami mengimani apa saja yang terdapat di dalam Sunnah.’” (Lihat Mukhtashar al-’Uluw oleh al-Imam adz-Dzahabi hlm. 138.)
9. Al-Imam Abu Hanifah Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Barangsiapa yang mengatakan ‘Saya tidak tahu apakah Tuhan saya berada di langit atau bumi’ berarti dia telah kafir.” (LihatMukhtashar al-’Uluw oleh al-Imam adz-Dzahabi hlm. 136.)
10. Al-Imam Ibnu Khuzaimah Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Barangsiapa yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah Ta’ala di atas ’Arsy-Nya Dia istiwa‘ di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Rabbnya…” (Diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam kitab Ma’rifah Ulumul Hadits hlm. 84 dengan sanad yang shahih)


Dikutip dari :

PENJELASAN ILMIAH TERHADAP FATWA MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA ACEH
(MPU ACEH) NOMOR 09 TAHUN 2014TENTANG:
PEMAHAMAN, PEMIKIRAN, PENGAMALAN DAN PENYIARANAGAMA ISLAM DI ACEH
TIM PENYUSUN:
USTADZ HARITS, USTADZ IMAM dan USTADZ ADAM

Mengimani bahwa zat Allah“hanya” di atas langit/’arasy
adalah sesat dan menyesatkan;

Jawaban:
Perlu kami luruskan di sini, bahwa keyakinan Dzat Allah “HANYA” di atas langit / ‘Arsy bukan dari perkataan dan keyakinan kami.
Adapun yang kami ketahui dari Al-Qur’an dan hadits serta ucapan para ulama dijelaskan bahwa Allah  di atas langit/’Arsy-Nya beristiwa’ sesuai dengan keagungan dan kemulianNya,
Allah  berfirman:
Artinya: (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah.Yang beristiwa’ di atas ´Arsy.
[Thaha: 5]
Allah  juga berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya Tuhan kamu ialahAllah Yang menciptakan langit danbumi dalam enam masa, kemudianDia beristiwa’ di atas ´Arsy untukmengatur segala urusan”.
[QS. Yunus: 3]
Sesungguhnya Allah  beristiwa’ di atas ‘Arsy, tetapi Allah  tidak berhajat kepadanya, bahkan Dia beristiwa’ dengan hikmah yang Dia Maha Mengetahui. Istiwa’Allah  di atas ‘Arsy bukan berarti Allah dibatasi (terikat) oleh arah (jihah), tempat dan waktu, bahkan Allah  yang meliputi segala-galanya. Akan tetapi istiwa’ Allah  mengikut cara yang layak bagi-Nya yang Maha Suci lagi Maha Besar , yang tidak dapat diketahui dandijangkau oleh akal makhluk-Nya akan kaifiyat (bagaimananya) dan hakikatnya.
Allah  berfirman:
Artinya:  “…Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat”. [Asy-Syura: 11]
Inilah yang kami yakini sebagai ‘itiqad Ahlus-sunnah Waljama’ah dari pada junjungan kita Baginda Rasulullah , sahabat, tabi’in,tabiut-tabi’in, para imam 4 (empat) mazhab,para salafusshalih (ulama-ulama terdahulu) dan yang mengikuti mereka dengan baik.
Artinya:  Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami : dia berkata, ”Aku mempunyai seorang budak perempuan yang menggembalakan kambingku di antara gunung Uhud dan Al-Jawaniyah. Suatu hari aku mengawasinya; tiba-tiba seekor serigala menerkam kambing yang dia gembalakan.  Sebagai manusia biasa, tentu saja aku merasa kecewa sebagaimana orang lain kecewa.Aku pun memukul dan menampar budakku itu. Kemudian aku menemui Rasulullah  dan beliau menegurku, aku berkata, ‘Wahai Rasulullah , apa aku harus memerdekakan-nya?’ Beliauberkata, ‘bawa dia kemari.’Kemudian beliau bertanya kepadanya, ‘Di mana Allah?’Budak itu menjawab, ‘di langit’ Beliau bertanya, ‘Siapakah aku? ’Dia menjawab, ‘Engkau adalah Rasulullah ’.
Rasulullah  bersabda:
Artinya:  “Bebaskanlah dia (budak perempuan) karena dia adalah seorang mukminah”. (HR.Muslim)
Di dalam hadits di atas menunjukkan bahwa di antara bukti akan benarnya keimanan seseorang adalah meyakini bahwa Allah diatas langit, di atas ‘Arsy-Nya. Sehingga budak perempuan itu dibenarkan oleh Rasulullah sebagai seorang mukminah.
Dari Abi Sa’id Al-Khudry  Rasulullah bersabda:
Artinya:  “Tidakkah kalian percaya padaku sedangkan aku adalah kepercayaan Dzat yang berada di langit. Datang kepadaku wahyu dari langit diwaktu pagi dan petang”. (HR.Bukhari dan Muslim)
Dalil di atas adalah dalil yang menunjukkan bahwa  Allah berada di atas makhluk-makhluk-Nya di atas ‘Arsy-Nya beristiwa’.
Berikut kami nukilkan ijma’ para ulama yang menunjukkan bahwa Allah di atas makhluk-Nya di atas ‘Arsy-Nya beristiwa’:
Artinya:  “Abu Bakr Al-Khallal mengatakan,telah mengabarkan kepada kami Al-Maruzi. Beliau berkata, telahmengabarkan pada kami Muhammad bin Shobah An-Naisaburi. Beliau berkata, telah mengabarkan pada kami Abu DaudAl-Khonaf Sulaiman bin Daud. Beliau berkata, Ishaq bin Rahawaih berkata, Allah  berfirman:
Artinya:  (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurahyang beristiwa’ di atas ´Arsy.
[Thaha: 5]
Para ulama sepakat (ijma’) bahwa Allah berada di atas ‘Arsy dan beristiwa’ (tinggidi atas). Namun Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang terjadi dibawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi yang ketujuh.  Al-Imam Adz-Dzahabi Rahimahullah ketika membawakan perkataan Ishaq di atas, beliau Rahimahullah mengatakan:
Artinya:  “Dengarkanlah perkataan imam yang satu ini, lihatlah bagaimana beliau menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) mengenai masalah ini. Sebagaimana pula ijma’ ini dinukil oleh Qutaibah di masanya”.
Kalau kita melihat ucapan para sahabat, kita mendapatkan bahwa mereka juga menyakini dengan apa yang telah dijelaskan oleh Rasulullah .
Dari Zaid bin Aslam, dia berkata:
Artinya:  “(Suatu saat) Ibnu Umar melewati seorang budak pengembala. Lalu beliau berkata,‘Adakah hewan yang bias disembelih?’ budak Pengembala tadi mengatakan, ‘Pemiliknya tidak ada di sini.’ Ibnu Umar mengatakan, ‘Katakan saja padapemiliknya bahwa ada serigala yang telah memakannya.’ Kemudian budak pengembala tersebut menghadapkan kepalanya ke langit. Lantas mengajukan pertanyaan pada Ibnu Umar  ‘Lalu dimanakah Allah?’ Ibnu Umar malah mengatakan, ‘demi Allah, seharusnya aku yang berhak menanyakan padamu ‘di manaAllah? Kemudian setelah Ibnu Umar  melihat keimanan budak pengembala itu, dia lantas membelinya, juga dengan hewan gembalaannya (dari Tuannya).
Kemudian Ibnu Umar membebaskan budak pengembala tadi dan memberikan hewan gembalaan tadi pada pengembala tersebut. [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 311]
Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa sanad riwayat ini jayyid sebagaimana dalam [Mukhtashor Al ‘Uluw-no. 95, hal. 127]
Masruq Rahimahullah [wafat tahun 63 H] menceritakan dari ‘Aisyah :
Artinya:  “Aisyah wanita yang shidiq anak dari orang yang shidiq (Abu Bakar),kekasih di antara kekasih Allah,yang disucikan oleh Allah yang berada di atas langit yang tujuh”. [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffarno. 317.  Syaikh Al-Albanimengatakan bahwa riwayat ini shahih berdasarkan syarat Bukhari Muslim dan sanadnya sampai padaAbu Shafwan itu shahih. LihatMukhtashor Al ‘Uluw, hal. 128]
Kemudian kami nukilkan di sini ucapan empat imam madzhab agar menjadi jelas bahwa mereka juga meyakini bahwa Allahdi atas langit beristiwa di atas ‘Arsy-Nya.
Berkata Al-Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit rahimahullah ( imam Madzhab Hanafi):
Artinya:  “Dan Allah itu kita mintai dari tempat yang rendah ke atas bukan dari Atas ke tempat yang rendah, dikarenakan kerendahan bukan termasuk sifat Robb”. [Al Fiqh Al- Abshath: 51]
Al-Imam Malik rahimahullah ( ImamMadzhab Maliki) berkata:
Artinya: "Allah berada di atas langit, dan ilmu-Nya ada di setiap tempat dan tidak ada yang tersembunyi daripada-Nya sesuatu pun”. (Itsbat Sifat Al-'Uluw, halaman 115)
Dalam ucapan lain, beliau berkata:
Artinya:  "Kaifiat (tatacara bagaimana Istiwa`) itu tidak dapat digambarkan oleh akal) Istiwa’ itu tidaklah majhul (diketahui akan maknanya), dan mengimaninya adalah kewajiban, dan bertanya tentangnya (yaitu bagaimana kaifiatnya) adalah bid'ah ( sesuatu yang baru)”. (Itsbat Sifat Al-'Uluw, halaman 119)
Kemudian lebih jelas lagi pernyataan Al-Imam Asy-Syafi’i Muhammad bin Idris rahimahullah yang mana beliau adalah imam kita dan juga imam seluruh kaum muslimin,tanpa terkecuali kaum muslimin yang ada di Aceh. Berikut ini pernyataan beliau, ImamAsy-Syafi’i rahimahullah berkata:
Artinya:  "Perkataan yang mengikuti sunnah yang mana aku berada di atasnya serta aku melihat orang-orang yangberada di atasnya seperti Sufyan,Malik dan selain mereka berdua ialah berikrar (mengakui) dengan persaksian bahwasanya tidak adaTuhan yang berhak disembah (dengan benar) melainkan Allah dan Muhammad itu utusan Allah, dan bahwasanya Allah beristiwa` diatas 'Arasy-Nya di atas langit-Nya,dekat dengan makhluk-Nya sebagaimana yang dikehendaki-Nya, dan Dia (Allah) turun ke langit dunia sebagaimana yang dikehendaki-Nya (juga)”. (Itsbat Sifat Al-'Uluw, halaman 123-124)
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (Imam Madzhab Hanbali) , pernah suatu ketika ditanya, benarkah Allah  berada di atas langit yang ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya terpisah dari makhluk-Nya, dan qudrat serta ilmu-Nya berada di setiap tempat? Maka beliau menjawab:
Artinya:  "Ya, Dia berada di atas 'Arasy-Nya,dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari ilmu-Nya”. (ItsbatSifat Al-'Uluw, halaman 116)
Beliau juga berkata:
Artinya: "Kami beriman bahwa Allah di atas‘Arsy-Nya, sesuai dengan kehendak-Nya, tanpa ada batasan dan tidak ada sifat yang semisal dengan-Nya,sifat Allah berasal dari Allah dan hanya dimiliki Allah dan sesuaidengan apa yang Allah sifatiterhadap diri-Nya sendiri dan tidakakan terliputi oleh pandangan mata”.
Termasuk di dalamnya apa yang dinukilkan anaknya Hanbal, beliau berkata:
Artinya:  Hanbal berkata: “Aku bertanya kepada Abu Abdillah, tentang makna ayat Allah: dan Dia bersama dengan kalian” [Al-Hadid: 4], dan firman Allah: “dan tidaklah suatu perbincangan tiga orang kecuali Dia-Lah yang keempat” [AlMujadalah: 7]. Beliau berkata:Ilmunya Allah mencakup segala sesuatu, dan Rabb kita Allah di atas‘Arsy-Nya tanpa dengan had (batasan) dan sifat (bagaimana)”.
Kemudian kami nukilkan di sini beberapa ucapan ulama dari madzhab Syafi’iyyah, agar semakin jelas bahwa mereka juga menyakini bahwa Allah  di atas langit.
Berkata Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ary didalam kitab beliau Al-Ibanah:
Artinya:  “Jika ada orang yang berkata kepadamu: Apa yang kamu yakini tentang sifat Al-Istiwa’? Maka katakanlah kepadanya: kami menyakini, sesungguhnya Allah beristiwa’ di atas ArsyNya dengan sifat istiwa’ yang sesuai dengan kemuliaan Allah dan keagunganNya.”
Lalu beliau menyebutkan beberapa dalil dari Al-Quran yang menjelaskan keyakinantersebut.
Berkata Abu Qasim Al-Lalikai Asy-Syafi’i (418H):
Artinya:  “Dan konteks yang diriwayatkan didalam firman Allah: Ar-Rahman beristiwa’ diatas ‘Arsy dan bahwa Allah di atas ‘Arsy di atas langit. Allah berfirman kepadanya: Akan naik kepada-Nya ucapan yang baik dan amalan yang shalih diangkat kepada Allah“. Dan Allah berfirman: “apakah kalian merasa aman dari Dzat yang di langit untuk menenggelamkan bumi kalian”. Dan berkata: “dan Dialah Dzatyang mengatur di atas hamba-hamba-Nya dan mengirimkankepada kalian penjaga”.
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa Allah di langit dan ilmu-Nya di semua tempatdari tempat-tempat bumi dan langit-Nya.
Berkata Sa’ad bin Ali Az-Zinjani Asy-Syafi’i (471H):
Artinya:  “Dan bukan makna istiwa’ bahwa Allah menempel dengan  ‘Arsy-Nya atau menyandar dengan ‘Arsy-Nya.Karena itu semua tidak mungkin disifatkan kepada Allah, akan tetapi Allah beristiwa’ dengan Dzat-Nyadi atas ‘Arsy-Nya tanpa dengan membagaimanakan. Sebagaimana Dia mengabarkan tentang diri-Nya,dan telah sepakat kaum muslimin bahwa Allah itu maha tinggi dan paling di atas”
Telah dinyatakan pula di dalam Al-Quran dengan firman-Nya: “Maha Suci nama Rabb-mu yang Maha Tinggi”    
Berkata Al-Husain Al-Baghawi Asy-Syafi’i (510H):
Artinya:  “Allah berfirman: Ar-Rahman diatas ‘Arsy beristiwa’, dan Allah berfirman: kemudian  Allah bersitiwa di atas ‘Arsy-Nya. Lalu beliau menyebutkan beberapa ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah. Kemudian beliau berkata: ‘dan ayat-ayat tersebut atau yang semisalnya adalah sifat-sifat Allah yang datang dalilnya,wajib kita imani dan menjalankannya sesuai dhahirnya tanpa menta'wil dan mejauhitasybih dengan meyakini bahwa Allah tidak serupa dengan-Nya sesuatu dari sifat-sifat mahluk,sebagaimana Dzat-Nya tidak sama dengan zat mahluk. Allahberfirman: tidak ada yang serupa dengan-Nya sesuatu apapun danAllah Maha Mendengar dan Melihat. Dan di atas inilahk eyakinan salaful ummah dan ulamasunnah”.
Berkata Yahya Al-'Amrani Asy-Syafi’i(558H):
Artinya:  Menurut Ashabul Hadits dan sunnah bahwa Allah dengan Dzat-Nya beristiwa’ di atas ‘Arsy-Nya terpisah dari mahlukNya dan tidak menempel dengan-Nya dan ilmu-Nya mencakup segala sesuatu.
Berkata Al-Imam Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani:
Artinya:  “Dan Allah ada di atas ‘Arsy-Nyaberistiwa’, dan Kerajaan Allahmencakup segala-galanya, dan IlmuAllah menjangkau segala sesuatu” [Al-Ghunyah]
Dari nukilan dalil-dalil di atas dapatdisimpulkan bahwa Allah  berada di ataslangit, istiwa’ di atas ‘arsy-Nya sesuai dengan kesucian dan kebesaranNya.


Posted By Abu Ayaz
Oleh: Abu Nu'aim Al Atsari


Golongan Asy 'ariyah yaitu sekelompok orang yang mengaku mengikuti aqidah Imam Abul Hasan Ali bin Isma'il Al Asy'ari dalam masalah aqidah khususnya sifat-sifat Allah, menetapkan sifat Allah hanya duapuluh. Padahal beliau hanya menetapkan tujuh sifat (sebelum kembali ke manhaj salaf, ahlussunnah wal jama'ah). Yang tiga belas itu sebenarnya tambahan dari kelompok Maturidiyyah, pengikut Abul Manshur Muhammad bin Muhammad Al Maturidi As Samarqondi (wafat 333 H)

Adapun sifat duapuluh itu adalah Wujud, Qidam, Baqa', Mukholafatuhu Ta'ala lil Hawaditsi, Qiyamuhu binafsihi, Wahdaniyah, Qudrat, Iradah, Ilmu, Hayat, Sama', Bashar, Kalam, Kaunuhu Qadiran, Kaunuhu Muridan, Kaunuhu 'Aliman, Kaunuhu Hayyan, Kaunuhu Sami'an, Kaunuhu Bashiran, Kaunuhu Mutakalliman. Inilah yang dinamakan sifat wajib duapuluh bagi Allah yang wajib diyakini menurut Asy 'Ariyah.

Dalam menetapkan sifat tujuh (ditambah menjadi dua puluh oleh Maturidiyyah) mereka (Asy 'Ariyah) hanya berdasarkan akal. Kata mereka: "Adanya makhluk ini menunjukkan adanya qudroh, lalu adanya sifat khusus bagi masing-masing akhluk menunjukkan adanya irodah, teraturnya alam ini tanda adanya 'ilmu. Ketiga sifat ini tanda adanya sifat Hayyu(hidup) karena ketiga sifat itu tidak akan terwujud tanpan Al Hayyu. Dan sifat hayyu harus memiliki sifat berbicara, mendengar dan melihat. Ini adalah sifat sempurna. Atau tersifati dengan bisu, tuli atau buta, namun karena ini sifat tercela maka tidak mungkin Allah tersifati dengannya".

Bantahan Ahlussunnah (manhaj salaf) : Berbicara dalam masalah ini hanya berdasarkan akal mengandung konsekwensi sebagai berikut :
1. Menyelisihi metode yang diterapkan oleh salaful ummah, generasi awal, dari kalangan shahabat, tabi'in, atba'uttabi'in dan para ulama setelah mereka. Mereka mengembalikan masalah ini kepada Al Qur'an dan Sunnah. Mereka menetapkan semua nama-nama dan sifat sebagaimana Allah tetapkan dalam Al Qur'an atau melalui sunnah Nabi-Nya tanpa diserupakan dan dita'thil. Imam Ahmad berkata: "Kita mensifati Allah sesuai yang telah Allah tentukan, tidak boleh melampaui Al Qur'an dan Hadits".
2. Juga menyelisihi akal itu sendiri. Karena masalah ini termasuk urusan ghoib. Sehingga akal tidak bisa campur tangan. Yang bisa dilakukan hanyalah menerima.
3. Akan menyebabkan perselisihan dan kontradiksi yang tiada henti. Karena setiap orang mempunyai akal. Lalu akal mana yang dipakai? Si Fulan akan menetapkan sesuatu yang dinafikan oleh Fulan yang lain, begitu seterusnya. Maka tidak ada mizan (timbangan) yang kongkrit sebagai pijakan baku. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan : "Aduhai, dengan akal siapa Kitab dan Sunnah akan ditimbang? Semoga Allah meridhoi Imam Malik bin Anas dimana beliau berkata: 'Atau apakah setiap kali ada seseorang yang lebih lihai berdebat mendatangi kita, lalu kita akan campakkan apa yang disampaikan Jibril kepada Muhammad y hanya karena mengikuti pendapatnya? Padahal sudah dimaklumi bahwa kontradiktifnya perkataan merupakan bukti kebatilannya".
4. Jika mereka(Asy 'Ariyah dan ahlikalam) mengatakan bahwa makna tangan Allah adalah kekuatan karena takut dikhawatirkan menyerupai tangan makhluk, maka mereka juga harus menta'wilkan makna kekuatan supaya tidak terjadi penyerupaan karena makhluk juga punya kekuatan. Jika mereka berkelit (dgn mengatakan) kekuatan Allah tidak sama dengan kekuatan makhluk. Kita jawab: Demikian pula tangan Allah tidak sama dengan tangan makhluk. Jadi tidak ada jalan untuk menta'wil.(Majmu' Fatawa, bagian Taqrib At Tadamuriyah, Sayikh Ibnu Utsaimin, 4/123-124). Allahu A'lam bish showab.
Uraian berikut akan mencoba mengulas kesalahan madzhab mereka yang sudah mengakar di masyarakat. Semoga Allah masih membuka jalan bagi mereka untuk kembali ke manhaj ahsunnah yang hakiki.
Nama dan sifat Allah tidak terbatas karena tidak ada dalil yang membatasi. Bahkan ketidak terbatasan asma' dan sifat Allah disabdakan oleh Rasulullah sendiri:
"Aku mohon kepada-Mu dengan seluruh asma-Mu yang telah Engkau namakan untuk diri-Mu atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang dari hamba-Mu, atau masih dalam rahasia ghoib pada-Mu yang Engkau sendiri mengetahuinya"
[Hadits shohih riwayat Ahmad dalam Musnad, Ibnu Hibban dalam Mawaridu Dhom'an, Al-Hakim dalam Mustadrok. Dishohihkan oleh Ibnul Qoyyim dalam Sifa'ul 'Alil, Ahmad Syakir, Al-Albani dalam Shohihah, dan Al-Arnauth dalam takhrij Zadul Ma'ad]
Sesuatu yang masih berada dalam ilmu ghoib tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya Allah, sehingga tidak mungkin bagi seseorang untuk mengetahuinya, apalagi menghitungnya. Jelas sekali bahwa nama Allah itu tidak terbatas.

Lalu bagaimana dengan hadits:

"Sesungguhnya bagi Allah sembilan puluh sembilan nama, barang siapa menghitungnya/menghapalnya
 akan masuk jannah."
[Riwayat Bukhori:6410, Muslim:2677]
Jawabnya: Hadits ini tidak menunjukkan pembatasan nama Allah hanya semobilan puluh sembilan saja. Bila demikian maka susunan kalimatnya adalah:
"Sesungguhnya nama-nama Allah ada sembilan puluh sembilan, barang siapa menghitungnya/menghapalnya akan masuk jannah"
Dengan demikian, maka makna hadits ini adalah nama-nama Allah yang sembilan puluh sembilan yang siapa saja dapat menghapalnya akan masuk jannah. Berarti masih ada nama-nama lain yang tidak diperintahkan untuk menghapalnya. Selain itu kalimat "…barang siapa menghitungnya/menghapalnya akan masuk jannah" bukan merupakan kalimat tersendiritetapi kalimat pelengkap dari sebelumnya. Kalimat yang semisal dengannya, seperti ucapan: "Saya mempunyai seratus ribu rupiah yang saya persiapkan untuk shodaqoh". Berarti anda masih mempunyai uang yang lain yang dipersiapkan untuk keperluan lainnya. [Al-Qowa'idul Mutsla Fi Sifatillahi Wa Asma'ihi Al-Husna, Ibnu Utsaimin, hal.17. dan Al-Qowa'idul Muhimmat Fil Asma'I was Sifat, Ibnul Qoyyim, hal.32]

Imam Nawawi berkata: "Ulama telah bersepakat bahwa hadits ini bukan pembatasan nama-nama Allah. Namun bukan berarti Allah tidak memiliki nama-nama yang lain. Tetapi maksud dari hadits ini yaitu sembilan puluh sembilan nama ini, bagi yang menghapalnya akan masuk jannah. Tujuannya sekedar informasi akan masuk jannah bagi yang mampu menghapal 99 nama tersebut, bukan pembatasan nama. Oleh karenanya tersebut dalam lafadz lain: Aku memohon kepada-Mu dengan seluruh asma-Mu yang telah Engkau namakan untuk Diri-Mu…atau masih dalam rahasia ghoib pada-Mu yang Engkau sendiri mengetahuinya" [Syarah Muslim, 6/177]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Inilah pendapat jumhur ulama' "[lihat Dar'u Ta'arudhil 'Aqli Wa Naqli, juz 3 hal.323]

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: "Tentang penyebutan 99 nama ini para ulama berselisih, apakah nama Allah sebatas itu atau lebih, namun disebutkannya sejumlah nama itu merupakan kekhususan sebab bagi yang menghapalnya/menghitungnya akan masuk jannah. Jumhur ulama memilih pendapat kedua (nama Allah lebih dari 99 nama). Dan An-Nawawi menukil adanya kesepakatan ulama' tentang masalah ini (seperti yg disebutkan diatas). Al-Khothobi berkata: "Dalam hadits ini terdapat penetapan sejumlah 99 nama, namun bukan merupakan halangan adanya tambahan nama yang lain. Pengkhususan ini dikarenakan nama-nama ini sering muncul dan maknanya paling jelas". Al-Qurthubi berpendapat sama dalam kitabnya Al Mufhim. Ibnu bathal menukil pendapat Al-Qodhi Abu Bakar bin Thoyyib, katanya: "Dalam hadits ini tidak ada bukti pembatasan nama Allah hanya 99. Namun makna hadits ini adalah siapa yang menghapalnya/menghitungnya akan masuk jannah, dan yang menunjukkan tiadanya pembatasan adalah kebanyakan dari nama-nama itu berupa sifat, sedangkan sifat Allah tidak terbatas".[Fathul Bari, 12/521]

Kesimpulannya bahwa nama Allah tidak terbatas. Demikian pula sifat-Nya. Karena setiap nama pasti mengandung sifat, berarti sifat Allah juga tidak terbatas. Ibnul Qoyyim berkata: "Allah mempunyai nama-nama dan sifat yang disimpan pada ilmu ghoib di sisi-Nya. Tidak ada yang mengetahuinya, baik itu malaikat yang dekat dengan Allah atau nabi yang diutus, seperti disebutkan dalam hadits shohih: Aku mohon kepada-Mu dengan seluruh asma-Mu yang telah Engkau namakan untuk diri-Mu atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang dari hamba-Mu, atau masih dalam rahasia ghoib pada-Mu yang Engkau sendiri mengetahuinya".[Al Qowa'idul Muhimmat fil Asma' Was Sifat, hal.32]
Wallahu ta'ala a'lam

Kaidah Emas Dalam Memahami Sifat Allah


Prof. Dr. Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr[1]
TEKS ATSAR
Imam Malik berkata: “Istiwa’ itu diketahui maknanya[2], adapun bagaimananya tidak diketahui[3], beriman dengannya wajib, bertanya tentang bagaimananya adalah bid’ah”.
TAKHRIJ ATSAR
SHOHIH. Atsar ini shahih dan masyhur dari Imam Malik. Diriwayatkan dari sepuluh murid Imam Malik. Diantaranya yang paling bagus adalah riwayat sebagai berikut:
1. Abdullah bin Wahb sebagaimana dalam riwayat Imam al-Baihaqi dalam al-Asma’ wa Shifat 2/304 dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi dalam al-Uluw hlm. 141 dan dihasankan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 13/406.
2. Yahya bin Yahya at-Tamimi sebagaimana dalam riwayat al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Shifat 2/305 dan al-I’tiqod hlm. 56. Dishahihkan adz-Dzahabi dalam Al-Uluw hlm. 141 dan Ibnu Abdil Hadi dalam Kitabul Istiwa’ hlm 4 (manuskrip).
Anehnya, pada zaman kita sekarang ada seorang yang melemahkan atsar ini dengan alasan-alasan yang rapuh yaitu Syaikh Hassan Abdul Mannan dalam Ta’liqnya terhadapMajmu’ah Rosail Syaikh Muhammad Nasib Ar-Rifa’I hlm. 28-29, cet Maktab Islami, padahal tidak ada seorangpun di kalangan ulama Ahli Sunnah yang mengingkarinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam Al-Iklil hlm. 5: “Para ulama telah menerima atsar ini, dan tidak ada di kalangan Ahlu Sunnah seorangpun yang mengingkarinya”. Beliau juga berkata dalamSyarh Hadits Nuzul hlm. 391: “Para ahli ilmu menerima ucapan beliau ini dan memujinya”.
FIQIH ATSAR
Atsar ini merupakan kaidah berharga dalam memahami masalah sifat-sifat Allah yang banyak diperbincangkan oleh manusia tanpa ilmu sehingga menjerumuskan kebanyakan mereka dalam kebingungan dan kesesatan. Syaikhul Islam berkata: “Jawaban Imam Malik dalam istiwa’ sangatlah memuaskan dan mencakup seluruh sifat Allah seperti turun, datang, tangan, wajah dan selainnya. Maka dikatakan dalam sifat turun misalnya: Turun itu maknanya diketahui, adapun bagaimananya tidak diketahui, beriman dengannya hukumnya wajib, bertanya tentangnya adalah bid’ah. Demikian pula dalam semua sifat-sifat Allah lainnya”. (Majmu’ Fatawa 4/4)
Ucapan semisal juga dikatakan oleh Imam Ibnul Qoyyim, lalu beliau mengatakan: “Maka jalan yang selamat dalam masalah ini adalah dengan mensifati Allah dengan apa yang Dia sifatkan untuk diriNya dan apa yang disifatkan oleh Rasulullah tanpatahrif (perubahan makna) dan ta’thil (mengingkari) dan tanpatakyif (membagaimanakan) dan tamtsil  (menyerupakan dengan makhluk). Namun hendaknya kita tetapkan nama dan sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan makhluk”. (Madarij Salikin 2/86)
Sebenarnya kaidah dalam masalah sifat ini sangatlah mudah sekali. Bila kita menerapkannya dan berpegang teguh dengannya sampai ajal menjemput kita maka kita akan selamat dari penyimpangan yaitu:
Menetapkan semua nama dan sifat yang ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan Nabi Muhammad dalam hadits-haditsnya yang shahih. (Lihat QS. As-Syuro: 11)
Tidak menyerupakannya dengan makhluk. (Lihat QS. As-Syuro: 11)
Tidak membagaimanakan sifatnya karena itu di luar jangkauan akal manusia. (Lihat. QS. Thoha: 110)
Semoga Allah meneguhkan kita di atas aqidah salafus shalih yang selamat dari kesesatan dan penyimpangan.
Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi


[1] Dikutip oleh Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi dari risalah beliau “Al-Atsar Al-Masyhur ‘anil Imam Malik Fi Shifatil Istiwa’ Dirosah Tahliliyyah”, cet Dar Ibnul Atsir, cet pertama 1423 H.
[2] Karena dalam bahasa Arab kata istawa bermakna tinggi dan naik, sebagaimana dikatakan oleh para ulama ahli tafsir, hadits dan bahasa. (Lihat Shahih Bukhori 13/403 dan Al-Uluw  hlm. 160.
[3] Karena sifat itu cabang dari Dzat. Maka sebagaimana kita tidak mengetahui bagaimana dzat Allah, demikian juga kita tidak mengetahui bagaimana sifat Allah.
http://abiubaidah.com/kaidah-emas-dalam-memahami-sifat-allah.html/

Kaidah Kaidah Penting Untuk Memahami Asma dan Sifat Allah
Kaidah Umum terkait nama dan sifat Allah – Kewajiban kita terhadap nash-nash Al Quran dan As Sunnah yang membahas tentang asma dan sifat Allah. Dalam memahami nash-nash Al …
Kaidah Umum terkait nama dan sifat Allah
– Kewajiban kita terhadap nash-nash Al Quran dan As Sunnah yang membahas tentang asma dan sifat Allah.
Dalam memahami nash-nash Al Quran dan As Sunnah kita wajib untuk menetapkan maknanya apa adanya, berdasar dzahir nash dan tidak memalingkannya ke makna lain. Karena Allah menurunkan Al Quran dengan bahasa Arab, yang bahasa tersebut sudah jelas. Disamping itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamjuga berbicara dengan bahasa Arab, sehingga wajib bagi kita menetapkan makna kalam Allah dan perkataan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan apa yang ditunjukkan secara makna bahasa tersebut. Merubahnya dari makna dzahir merupakan perbuatan terlarang, karena ini termasuk berkata tentang Allah tanpa dasar ilmu. Allah berfirman,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ (٣٣)
“Katakanlah: ‘Rabbku mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui” (Al A’raf: 33)
Sebagai contoh, firman Allah ta’ala,
بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ
“(Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbentang. Dia menafkahkan sebagaimana dia kehendaki” ( QS. Al Ma’idah)
Secara dzahir, ayat ini menunjukkan bahwa Allah mempunyai dua tangan yang hakiki. Maka wajib menetapkan dua tangan Allah tersebut. Jika ada orang yang mengatakan kedua tangan tersebut maksudnya kekuatan, maka kita katakan : ini termasuk memalingkan makna Al Quran dari dzahirnya. Kita tidak boleh bekata demikian karena ini berati kita berkomentar tentang Allah tanpa dasar ilmu.
Kaidah Dalam Asma Allah
– Asma Allah seluruhnya husna (paling baik)
Dalam kebaikan Allahlah yang paling tinggi karena nama Allah mengandung sifat yang sempurna, tidak ada kekurangan di dalamnya dari segala sisi.
وَلِلَّهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى
“Dan bagi Allah asmaul husna” (Al A’raf: 180)
Contoh:
Ar Rahman adalah salah satu dari nama-nama Allah, menunjukkan atas sifat yang agung yaitu memiliki rahmat yang luas.
Berdasarkan penjelasan di atas, kita tahu bahwa ad dahr (waktu) bukan termasuk salah satu dari nama Allah karena tidak mengandung makna yang terpuji. Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Janganlah kalian menela dahr (masa) karena Allah adalah Dahr” (HR. Muslim)
Maka maknanya adalah Allah lah yang menguasai masa. Kita palingkan ke makna tersebut dengan dalil hadis,
“Di tangan-Ku lah segala urusan, Aku yang membolak-balikkan siang dan malam” (HR. Bukhari)
– Nama Allah tidak dibatasi pada bilangan tertentu
Kaidah ini didasari doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masyhur,
“Ya Allah aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama-Mu yang Engkau gunakan untuk diri-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau rahasiakan untuk diri-Mu dalam ilmu ghaib di sisi-Mu” (HR. Ahmad, HR Ibnu Hibban)
Lalu bagaimana menggabungkan dengan hadits berikut,
“Sesngguhnya ada 99 nama milik Allah, barang siapa menjaganya akan masuk syurga”(HR. Bukhari)
Makna hadits ini adalah: Diantara nama Allah ada 99 nama yang jika kita menjaganya kita akan masuk syurga. Dan tidaklah dimaksudkan disini membatasi nama Allah hanya 99. Kita bisa melihat hal ini dengan contoh perkataan “saya mempunyai 100 dirham untuk disedekahkan”. Maka pernyataan ini tidak menafikan kalau saya mempunyai dirham yang lain yang saya peruntukkan untuk selain sedekah.
– Nama Allah tidak dapat ditetapkan berdasarkan akal tetapi harus dengan dalil syar’i
Nama Allah adalah tauqifiyah, yaitu harus ditetapkan berdasarkan dalil syari’at, tidak boleh menambahnya dan tidak boleh menguranginya karena akal tidak mungkin mencapai semua yang menjadi hak Allah dari nama-nama-Nya. Maka dalam hal ini kita wajib untuk mencukupkan diri dengan dalil syar’i. Hal ini karena menamai Allah dengan nama yang tidak Allah namakan diri-Nya dengan nama tersebut atau mengingkari nama yang Allah menamai diri-Nya dengan nama tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak Allah ta’ala. Kita wajib mempunyai adab yang baik kepada Allah ta’ala.
– Seluruh nama dari nama-nama Allah menunjukkan atas dzat Allah, sifat yang terkandung di dalam nama tersebut, dan adanya pengaruh yang dihasilkan jika nama tersebut adalah nama yang muta’adi (membutuhkan objek)
Dan tidak sempurna iman seseorang terhadap asma dan sifat Allah kecuali dengan menetapkan semua hal tersebut.
Contoh nama Allah yang bukan muta’adi: Al ‘Adzim (Yang Maha Agung)
Tidak sempurna mengimani nama ini sampai mengimani dengan menetapkan 2 hal:
a. Menetapkan Al Adzim sebagai nama Allah yang menunjukkan pada Dzat Allah
b. Menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut, yaitu Al ‘Udzmah(keagungan)
Contoh nama Allah yang muta’adi: Ar Rahman
Tidak sempurna mengimaninya sampai mengimani dengan menetapkan 3 hal:
a. Menetapkan Ar Rahman sebagai nama Allah yang menunjukkan pada dzat Allah
b. Menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut, yaitu Ar Rahmah ,
c. Menetapkan adanya pengaruh dari nama itu, yaitu merahmati siapa yang Allah kehendaki.
Kaidah dalam memahami sifat Allah
– Sifat Allah seluruhnya tinggi, sempurna, mengandung pujian, dan tidak ada kekurangan dari sisi mana pun.
Seperti Al Hayah (hidup), Al’ Ilmu (mengetahui), Al Qudrah (kehendak), As Sama(mendengar), Al Bashar (melihat), Al Hikmah, Ar Rahmah, Al Uluw (tinggi), dll. Allah berfirman,
وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الأعْلَى
“Dan Allah mempunyai sifat yang maha tinggi” (Qs. An Nahl: 60)
Karena Allah adalah Rabb yang maha sempurna maka sifatnya harus sempurna.
– Jika suatu sifat menunjukkan kekurangan dan bukan kesempurnaan sama sekali maka mustahil sifat itu dimiliki Allah, seperti Al Maut (mati), Al Jahl (bodoh), Al Ajs(lemah), As Samam (tuli), Al ‘Ama (buta), dll. Oleh karena itu Allah membantah orang yang mensifati diri-Nya dengan kekurangan dan mensucikan diri-Nya dari kekurangan tersebut. Allah tidak mungkin mempunyai kekurangan karena hal itu akan mengurangi keberadaan-Nya sebagai Rab semesta alam.
– Jika sifat tersebut di satu sisi menunjukkan kesempurnaan sedangkan di sisi lain menunjukkan kekurangan maka sifat ini tidak dinisbatkan dan tidak dinafikan (ditolak) dari Allah secara mutlak akan tetapi perlu dirinci. Kita menetapkan sifat tersebut dalam keadaan yang menunjukkan kesempurnaan dan kita menolak sifat tersebut dalam keadaan yang menunjukkan kekurangan.
Contohnya sifat Al Makr, Al Kaid, Al Khida’ (makna ketiganya adalah tipu daya)
Sifat ini merupakan sifat yang sempurna jika dalam rangka menghadapi semisalnya (membalas orang yang berbuat tipu daya) Karena hal ini menunjukkan bahwa yang mempunyai sifat ini (Allah) tidak lemah menghadapi tipu daya musuh-musuh-Nya.
Dan sifat ini menupakan sifat yang kurang dalam keadaan selain diatas. Maka kita menetapkan sifat tersebut untuk Allah dalam keadaan yang pertama, bukan yang kedua.
Allah ta’ala berfirman,
وَيَمْكُرُ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
“Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (Qs. Al Anfal: 30)
إِنَّهُمْ يَكِيدُونَ كَيْدًا (١٥وَأَكِيدُ كَيْدًا (١٦)
“Sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya. Aku pun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya.” (Qs. At Thariq: 15-16)
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka.” (Qs. An Nisa: 142)
Jika dikatakan Apakah Allah disifati dengan Al Makr? Maka jangan menjawab “ya” dan jangan pula menjawab “tidak”, akan tetapi kaakanlah “Allah berbuat makar terhadap orang yang pantas mendapatkannya” wallahu a’lam.
– Sifat Allah terbagi menjadi dua, yaitu tsubutiyah dan salbiyah
Tsubutiyah yaitu sifat yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya seperti Al Hayah, Al Alim, Al Qudrah. Sifat ini wajib kita tetapkan pada Allah sesuai dengan keagungan-Nya karena Allah sendiri menetapkan sifat tersebut untuk diri-Nya dan Allah lebih mengetahui tentang sifat diri-Nya.
Salbiyah yaitu sifat yang Allah nafikan (tiadakan) untuk diri-Nya seperti dzalim. Sifat ini wajib kita nafikan pada Allah karena Allah telah menafikan sifat tersebut pada diri-Nya. Dan kita wajib untuk menetapkan pada Allah sifat yang merupakan lawannya yaitu sifat yang menunjukkan sifat kesempurnaan. Penafian tidak sempurna tanpa menetapkan kebalikannya.
Contohnya, Firman Allah ta’ala,
وَلا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا (٤٩,)
“Dan Rabmu tidak menganiaya seorang jua pun.” (Qs. Al Kahfi: 49)
Kita wajib menafikan sifat dzalim dari Allah disertai dengan keyakinan menetapkan sifat adil bagi Allah yang mana sifat adil tersebut dalam bentuk yang sempurna.
– Sifat tsubutiyah terbagi menjadi dua, yaitu sifat dzatiyah dan sifat fi’liyah
Sifat dzatiyah yaitu sifat yang terus-menerus ada (selalu melekat) pada diri Allah seperti sifat As Sama, Al Bashar
Sifat fi’liyah yaitu sifat yang terikat dengan kehendak Allah. Jika Allah menghendaki maka Dia melakukannya dan jika Allah tidak menghendaki maka Dia tidak melakukannya. Contohnya sifat istiwa’ di atas arsy, sifat maji’ (datang)
Dan ada beberapa sifat yang termasuk sifat dzatiyah sekaligus fi’liyah jika dilihat dari dua sisi. Contohnya sifat kalam (berbicara). Dilihat dari sisi asalnya sifat tersebut merupakan sifat dzatiyah karena Allah senantiasa berbicara. Tetapi jika dilihat dari sisi lain, kalam merupakan sifat fi’liyah karena Allah berbicara tergantung pada kehendak-Nya. Dia berbicara kapan dan bagaimana Dia kehendaki.
– Seluruh sifat Allah bisa menerima tiga pertayaan
1. Apakah sifat itu hakiki, mengapa?
2. Apakah boleh menanyakan kaifiyahnya (bagaimananya) (takyif)? Dan mengapa?
3. Apakah boleh menyerupakannya sengan makhluk (tamtsil)? Dan mengapa?
Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah,
1. Benar, sifat Allah hakiki karena asal sebuah perkataan adalah mempunyai makna hakiki. Maka tidak boleh memalingkannya kecuali dengan dalil yang shahih.
2. Tidak boleh menanyakan kaifiyahnya karena firman Allah ta’ala,
وَلا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا (١١٠)
“Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya” (Qs. Thaha: 110)
Dan karena akal tidak mungkin mengetahui kaifiyah sifat Allah
3. Tidak boleh menyerupakan dengan sifat makhluk karena firman Allah ta’ala
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia” (Qs. As Syuura: 11)
Karena Allah sempurna, tidak ada puncak sifat kebaikan yang lebih tingi dari-Nya sehingga tidak mungkin diserupakan dengan makhluk karena makhluk itu penuh kekurangan.
Perbedaan antara tamtsil dan takyif yaitu:
Tamtsil berarti menyebutkan kaifiyah sifat Allah dengan mengaitkannya dengan sifat makhluk sedangkan takyif adalah menyebutkan kaifiyah sifat Allah tanpa mengaitkannya dengan makhluk.
Contoh tamtsil: Perkataan “tangan Allah itu seperti tangan manusia”
Contoh takyif: Membayangkan kaifiyah (bagaimana) tangan Allah dengan suatu gambaran tertentu dengan tidak menyerupakannya dengan tangan makhluk. Maka hal ini tidak boleh.
– Bagaimana membantah Mu’athilah
Mu’athilah adalah orang yang mengingkari atau menolak sebagian asma Allah atau sifat Allah dan memalingkan nash dari makna dzahirnya. Mereka jiga disebutmuawwilah.
Kaidah umum dalam membantah mereka adalah kita katakan kepada mereka bahwa pendapat mereka menyelisihi dzahir nash, menyelisihi jalan para salaf dalam memahami asma dan sifat Allah, penyelisihan mereka tidak didasari dalil yang shahih dan pada beberapa sifat bisa disertai bantahan-bantahan khusus yang ke empat, atau lebih.
Sumber: Syarah Lum’atul I’tiqad, Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin (Pendahuluan Syaikh Utsaimin sebelum men-syarah)
***
Diterjemahkan oleh tim penerjemah muslimah.or.id
Murojaah: Ust. Ammi Nur Baits


yang pertama, Sifat wajib bagi Allah adalah sifat yang harus ada pada Zat Allah sebagai kesempurnaan bagi_Nya.
Allah adalah Khaliq, Zat yang memiliki sifat yang tidak mungkin sama dengan sifat-sifat yang dimiliki makhluk_Nya.
apakah Allah menjelaskan tentang sifat wajib tersebut, jika menjelaskan, tentu rasulullah sudah menjelaskannya, demikian pula para sahabatnya, demikian pula imam yang empat,.. dan nyatanya mereka semua tidak menjelaskan tentang sifat wajib bagi Allah ini,
Jadi, dimanakah Penjelasan tentang hal tersebut, jika itu perkataan Rasulullah, maka dimana bisa ditemukan penjelasan tersebut, hadits riwayat siapa,
yang kedua, Allah sendiri yang menetapkan bagi Allah sifat-sifat-Nya melalui Al Qur’an dan lisan nabi-Nya.
kalau yang ini betul,. allah menetapkan nama dan sifat, bisa kita lihat di alquran, juga hadits2 rasulullah,.
Yang menjadi masalah adalah adanya sifat wajib, mustahil, … ini yang tidak ada keterangannya baik dari alquran atau lisan nabinya,.
Janganlah kita mendahului Allah dan rasulnya dalam menetapkan sifat-sifat Allah,.
Mengenai sifat wajib 20, hasil ijtihad ulama untu’ mensucikan-Nya dari makhluk-Nya diambil dasarnya dari Al Qur’an. Tujuannya hanya untuk mensucikan Allah dari makhluk-Nya. Sedangkan, berapa hakekatnya jumlah sifat wajib Allah, hanya Allah yang mengetahuinya.
Berarti sifat 20 bukanlah dari Allah, bukan pula dari Rasulullah,. tapi sekedar ijtihad menggunakan logika si ulama yang berijtihad tersebut.
Dan ijtihad bisa diterima bisa ditolak,.
namun perlu diketahui, nama dan sifat Allah itu adalah hal ghaib,.
dan dalam hal ghaib, tidak dibenarkan adanya ijtihad,
Jadi ulama yang berijtihad tentang sifat-sifat Allah, maka hasil ijtihadnya adalah KELIRU, dan tidak bisa dijadikan hujjah,.
Apalagi ijtihadnya sangat keliru, jadi kesimpulannya, pembagian dan penamaan sifat wajib bagi Allah, ini adalah sangat keliru, bahkan bisa fatal akibatnya,. Jadi, pembagian dan penamaan seperti itu tidak dibenarkan dalam islam,. Alhamdulillah pencetus hal tersebut di akhir hayatnya taubat dari pemikirannya, bisa dilihat disini biografinya
Saya hanya ingin menyampaikan,
Bahwa sifat wajib 20 bagi Allah,,,,,, hanya untuk mensucikan Allah dari sifat-sifat mahkluk. Dan bukan untuk membatasi asma dan sifat Allah,,,,,
Pertanyaan untuk anda :
1. Apa sih yang disebut sifat Wajib bagi Allah?
2. Siapa yang menetapkan sifat wajib bagi Allah?
Ini untuk membuka wawasan dan cara berpikir anda,. silahkan dijawab, mudah2an banyak manfaat dari diskusi ini,
kalau masih menyakini bahwa sifat Allah ada 20 apakah bisa menyebabkan pelakunya keluar dari islam ( syahadatnya Batal )
Banyak orang yang meyakini karena kebodohan, karena ketidak tahuan,cuma ikut-ikutan,.
Jika dia meyakini cuma 20, berarti ada puluhan, ratusan, bahkan jumlah yang tak terhingga yang dia dustakan, ini perkaranya lebih berat lagi,.
Mengingkari satu nama dan sifat Allah saja bisa kufur, apalagi mengingkari dalam jumlah yang sangat banyak,.
yg kedua “Sesungguhnya bagi Allah sembilan puluh sembilan nama, barang siapa menghitungnya/menghapalnya
akan masuk jannah.” apa ini berarti siapapu yg menghapalnya pasti masuk syurga dan tidak perlu mengamalkan yg lain.
yg ketiga maksud dari ” menghitungnya ”
mohon penjelasan dan pencerahannya
Maksudnya bukan menghafal, tapi mengamalkan kandungannya, meminta kepada Allah dengan nama-namanya, jadi bukan sekedar menghafal atau malah dinyanyikan,. silahkan lihat ulasannya disini


PERKATAAN ABU HASAN AL-ASYA’ARI SEPUTAR SIFAT– SIFAT ALLAH

Berikut ini akan dikemukakan perkataan imam Abu Hasan Al-Asy’ari yang diambil dari kitab beliau yaitu Al Ibanah An Ushulid Diyanah dan Muqolatul Islamiyyin Wakhtilafil Mushollin. Dalam kitab Al Ibanah Bab Kejelasan Perkataan ahlul hak dan ahlussunah hal 17–19, beliau berkata;
“Apabila seseorang bertanya: “kamu mengingkari perkataan Mu’tazilah, Qodariyyah, Jahmiyyah, Harruriyyah, Rofidhoh dan Murji’ah, maka terangkan kepada kami pendapatmu dan keyakinanmu yang mengaku beribadah kepada Allah dengannya!
Jawablah:
“Pendapat dan keyakinan kami yang kami pegangi adalah perpegang teguh dengan kitab rabb kita azza wajalla, sunnah Nabi kita  dan apa yang diriwayatkan dari para sahabat, Tabi’in dan para ahlul hadits. Kami berpegang teguh dengannya.
Dan berpendapat dengan apa yang dikatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal–semoga Allah mencerahkan wajahnya, meninggikan derajatnya, dan memberi balasan yang melimpah. Siapa yang menyelisihi perkataannya dia akan menyimpang, karena dia adalah imam yang mulia, pemimpin yang sempurna yang dengan perantaranya Allah menjelaskan kebenaran, menumpas kesesatan, membuat minhaj ini menjadi gamblang, membarantas bid’ah–bid’ah rekayasa para ahli bid’ah, penyelewangan orang yang menyimpang, dan kegamangan orang yang ragu–ragu. Semoga Allah merohmatinya’.
Ringkas perkataan kami adalah kami beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab– kitab-Nya, para Rasul-nya dan apa yang dibawa oleh mereka dari sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para ulama yang terpercaya dari Rasulullah, kami tidak akan menolak sedikitpun, sesunguhnya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Dia, Dia Esa dan tempat bergantung seluruh makluk, tidak membutuhkan anak dan istri, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, Allah mengutusnya dengan membawa petunjuk dan dien yang benar, Surga dan Neraka benar adanya. Hari kiamat pasti datang, tidak ada kesamaran sedikitpun. Dan Allah akan membangkitkan yang ada di kubur, dan Allah bersemayam di atas Arsy, seperti firman-nya. الرَّحْمَانُ عَلىَ الْعَرْشِ اسْتَوَاى(Thoha ayat 5) Allah mempunyai dua tangan, tapi tidak boleh di takyif, seperti firman-Nya: خَلَقْتُ بِيَدَيً (QS. Shod: 75) dan Firman-Nya: بَلْ يََدَاهُ مَبْسُوْطَتَانِ (QS. Al Maidah: 64) Allah mempunyai dua mata tanpa ditakyif, seperti firmanya (QS. Al Qomar: 14), siapa yang menyangka bahwa nama–nama Allah bukanlah Allah maka dia telah sesat, Allah mempunyai ilmu, firmanya (QS. An Nisa 166) firmannya:وَمَاتَحْمِلُ مِنْ أُنْثَى  وَلاَتَضْعُ إِلاَّ بِعِلْمِهِ tidak ada seorang perempuan –perempuan mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. (QS. Al Fathir: 11)
Kita menetapkan bahwa Allah mendengar dan melihat, kita tidak menafikanya seperti dilakukan oleh Mu’tazilah, Jahmiyah dan Khowarij, kita juga menetapkan bahwa Allah mempunyai Quwwah (kekuatan), seperti firman-Nya :أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللهَ الَّذِي خَلَقَهُمْ هُوَ أَشَدّ مِنْهُمْ قُوَّةً (QS. Fushilat: 15), kita katakan bahwa kalam Allah bukan makhluk, Allah tidak menciptakan sesuatupun kecuali akan mengatakan jadilah! Seperti firmannya إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَىءٍ إِذَاأَرِدْنَاهُ أَنْ نَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنَ (QS. An Nahl: 40) Tidak ada satu kebaikan atau kejelekan pun di bumi ini kecuali telah dikehendaki oleh Allah, sebab sesuatu itu terjadi karena kehendak-Nya azza wajalla seseorang tidak mampu berbuat suatu perbuatanpun sebelum Allah menentukannya dan dia pasti butuh kepada Allah, tidak ada seorangpun yang mampu keluar dari ilmu Allah azza wa jalla sesungguhnya tidak ada pencipta kecuali Allah, amal perbuatan hamba itu diciptakan dan ditentukan oleh Allah, seperti firmannya: وَ اللهُ خَلَقَكُمْ وَمَاتَُعْمَلُوْنَ (Qs.Ash Shofat: 96) seorang hamba tidak mampu menciptakan sesuatupun, bahwa mereka diciptakan, seperti firman-Nya: هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللهِ (QS. Fathir: 3) لاَيَخْلُقُوْنَ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُوْنَ (QS An Nahl: 20) أَفَمَنْ يَخْلُقُ كَمَنْ لاَيَخْلُقُ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ (Qs. An Nahl; 17) أَمْ خُلِقُوْا مِنْ غَيْرِ شَىءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُوْنَ (QS At Thur: 35) dan masih banyak lagi ayat yang lain dalam kitab Allah.”
Dalam maqolatul Islamiyyin bab inilah hikayat Sekumpulan perkatan ahlul hadits dan ahlussunah, hal 290–297 beliau berkata seperti yang tercantum dalam Al Ibanah di muka. Kemudian pada akhir Bab beliau berkata:
“Inilah sekumpulan perkataan yang diperintahkan, dilaksanakan oleh mereka dan itulah pendapat mereka, kami berkata dan berpendapat sama persis dengan siapa perkataan dan pendapat mereka. Tidak ada yang memberi taufik kepada kami kecuali Allah saja. Dialah yang mencukupi kami dan dialah sebaik–baik pemelihara. Kepada-Nya kami meminta pertolongan, kepada-Nya kami bertawakal dan kepada-Nya akan kembali!”
Dari dua kitab tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa beliau menetapkan:
1.     Sifat–sifat yang tetap bagi Allah yang termaktuf dalam kitab-nya dan dalam sunah nabi-Nya secara hakiki sesuai kegungan Allah ta’ala, seperti sifat istiwa Allah di atas Arsy, Allah mempunyai dua tangan, dua mata dan wajah secra hakiki, namun tidak boleh ditanyakan bentuknya dan diserupakan dengan makhluk. Allah memiliki sifat ilmu, pendengaran, penglihatan, kekuatan dan irodah (berkehendak) Allah berbicara dan al Qur’an adalah kalam Allah, Allah turun ke langit dunia.
2.     Allah akan dilihat pada hari kiamat dengan jelas tanpa pengahalng.
3.     Allah akan datang (sifat mamji’) pada hari kiamat sedangkan malaikat berbaris )
Tidak hanya itu dalam kitab lainnya Risalah Ila Ahli Tsaghr, beliau menetapkan adanya ijma’ (kesepakatan) salaf dalam masalah aqidah khususnya asma dan sifat yaitu;
1.     Salaf bersepakat menetapkan sifat mendengar, melihat, dua tangan, sifat qobdh (menggenggam) dan dua tangan Allah adalah kanan.
2.     Mereka bersepakat menetapkan sifat nuzul (Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir), maji (kedatangan Allah pada hari kiamat untuk memutuskan), uluw (ketinggian) dan Allah berada di atas arsy.
3.     Mereka bersepakat bahwa kaum mukmin akan melihat Allah pada hari kiamat dengan mata mereka, (hal 210 – 225)
Kemudian beliau menyebutkan beberap ijma’ lainnya, lalu menutup dengan ijma’ yang menyeluruh sebagai kaidah terpenting bagi salaf, katanya:
“para salaf telah bersepakat untuk menetapkan sifat–sifat bagi Allah sebagaimana Allah telah mensifati diri-Nya dengan sifat tersebut dan pensifatan oleh Nabi-Nya tanpa pemalingan dan tanpa ditakyif, iman kepada sifat–sifat tersebut adalah wajib, demikian pula tidak bolehnya takhif juga wajib” (hal 224)
Semakin jelas kiranya bahwa akidah imam Abu Hasan Al-Asy’ari dalam masalah asma’ dan sifat berdasarkan:
1.     Kitab Allah ta’ala yaitu al Qur’an dimana Allah menetapkan di dalamnya sifat–sifat bagi diri-nya
2.     Hadits – hadits Rasululah yang shohih yang menetapkan sifat
3.     Perkatan salaf dan para imam hadits. Karena aqidah mereka adalah aqidah yang selamat dan motode mereka adalah lurus, yang menetapkan sifat-sifat yang baik bagi Allah, tanpa ditakyif, tanpa tamsil, tanpa tahrif, tanpa ta’thil, panutan dalam masalah ini adalah imam Ahmad bin Hambal
Berbeda dengan apa yng diyakini oleh sementara orang yang mengaku mengikuti beliau, dikenal dengan nama Asya’iroh, ternyata yang mereka klaim itu tidak benar sama sekali, sehingga terlihat nyata perbedaan antara imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Asy’iroh, dimana beliau menetapkan semua sifat bagi Allah yang tertera dalam al Qur’an sedangkan Asya’iroh hanya menetapkan dua puluh sifat saja, uraian ini sebenarnya sudah cukup membuktikan kesalahan mereka dan sebagai bantahan kepada mereka, karena beliau telah ruju’ (berlepas diri) dari faham Mu’tazilah dan faham Kullabiyah. Membuktikan bahwa faham tadi itu salah dan sesat, selain itu mereka telah berbuat lancang dzolim kepada imam Abu Hasan Al-Asy’ari, jika mereka mengaku ittiba’ kepada beliau seharusnya juga bertaubat dari keyakinan mereka dan ruju’ kepada faham salaf, ahlussunnah wal jama’ah yang hakiki, Allahu a’lam.
(Penyusun: Abu Syamiel A)
Sumber: 
https://aslibumiayu.wordpress.com/2013/09/27/mengenal-al-imam-abul-hasan-al-asyariy-dan-asyariyyah/


Bantahan Allah Ada Tanpa Tempat dan Arah

Muqaddimah
Dalam tujuh ayat Al-Quran, yaitu Surat Al-A’raf: 54, Yunus: 3, Ar-Ra’d: 2, Al-Furqan: 59, As-Sajdah: 4 dan Al-Hadid: 4, semuanya dengan lafazh yang sama
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
Artinya:
“Kemudian Dia berada di atas ‘Arsy (singgasana).”
Dan dalam Surat Thaha 5 dengan lafazh:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Artinya:
“Yang Maha Penyayang di atas ‘Arsy (singgasana) berada.”
Hadits Abu Hurairah rahiiallahu’anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:
لَمَّا قَضَى اللَّهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابِهِ -فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ- إِنَّ رَحْمَتِي غَلَبَتْ غَضَبِي
“Ketika Allah menciptakan makhluk (maksudnya menciptakan jenis makhluk), Dia menuliskan di kitab-Nya (Al-Lauh Al-Mahfuzh) – dan kitab itu bersama-Nya di atas ‘Arsy (singgasana) : “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Nabi memegang tangannya (Abu Hurairah) dan berkata:
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، إِنَّ اللهَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرَضِيْنَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ، ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya Allah menciptakan langit dan bumi serta apa-apa yang ada diantara keduanya dalam enam hari, kemudian Dia berada di atas ‘Arsy (singgasana).” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra, dishahihkan Al-Albani dalam Mukhtasharul ‘Uluw)
Hadits Qatadah bin An-Nu’man radiallahu’anhu bahwa ia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:
لَمَّا فَرَغَ اللهُ مِنْ خَلْقِهِ اسْتَوَى عَلَى عَرْشِهِ.
“Ketika Allah selesai mencipta, Dia berada di atas ‘Arsy singgasana-Nya.” (Diriwayatkan oleh Al-Khallal dalam As-Sunnah, dishahihkan oleh Ibnul Qayyim dan Adz-Dzahabi berkata: Para perawinya tsiqah)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Abdil-Wahhab rahimahullah meriwayatkan hadits seperti ini :
وعن العباس بن عبد المطلب رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (هل تدرون كم بين السماء والأرض؟) قلنا: الله ورسوله أعلم قال: (بينهما مسيرة خمسمائة سنة، ومن كل سماء إلى سماء مسيرة خمسمائة سنة وكثف كل سماء خمسمائة سنة، وبين السماء السابعة والعرش بحر بين أسفله وأعلاه كما بين السماء والأرض، والله سبحانه وتعالى فوق ذلك، وليس يخفى عليه شيء من أعمال بني آدم). أخرجه أبو داود وغيره.
Dari Al-’Abbas bin ’Abdil-Muthallib radliyallaahu ’anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : ”Tahukah kamu sekalian berapa jarak antara langit dan bumi ?”. Kami menjawab : ”Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Beliau bersabda : ”Antara langit dan bumi jaraknya 500 tahun perjalanan, dan antara satu langit ke langit lainnya jaraknya 500 tahun perjalanan, sedangkan ketebalan masing-masing langit adalah 500 tahun perjalanan. Antara langit yang ketujuh dengan ’Arsy ada samudera, dan antara dasar samudera itu dengan permukaannya seperti jarak antara langit dan bumi. Allah ta’ala di atas semua itu dan tidak tersembunyi bagi-Nya sesuatu apapun dari perbuatan anak keturunan Adam”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya. Lihat Kitaabut-Tauhiid Alladzii Huwa Haqqullaahi ’alal-’Abiid, hal. 149, tahqiq : ’Abdul-’Aziiz bin ’Abdirrahmaan As-Sa’iid dll.; Cet. Universitas Al-Imam Muhammad bin Su’uud, Riyadh.
Aliran Sesat Jahmiyah
Jahmiyyah, mereka dalam masalah tauhid adalah menolak sifat-sifat Allah termasuk menolak menetapkan sifat istiwa’ nya Allah di atas ‘Arsy-Nya. Sedangkan madzhab mereka dalam masalah takdir adalah menganut paham Jabriyah. Paham Jabriyah menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang terpaksa dan tidak memiliki pilihan dalam mengerjakan kebaikan dan keburukan. Adapun dalam masalah keimanan madzhab mereka adalah menganut paham Murji’ah yang menyatakan bahwa iman itu cukup dengan pengakuan hati tanpa harus diikuti dengan ucapan dan amalan. Sehingga konsekuensi dari pendapat mereka ialah pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang sempurna imannya.
Para ulama menyebutkan bahwa Ja’d bin Dirham merupakan pencetus dan penebar pertama pemikiran Jahmiyah yang kemudian digulirkan oleh Jahm bin Shafwan, sehingga pemikiran tersebut dinisbatkan kepadanya. Menurut salah satu riwayat bahwa Ja’d mengambil pemikiran dari Aban bin Sam’an, dan Aban mengambil dari Thalut anak saudara perempuan Lubaid bin al-A’sham, seorang Yahudi yang pernah menyihir Nabi. Lihat al-Milal wan Nihal, (173) karya as-Sahrastani, al-Farqu baina al-Firaq, hal.194 oleh al-Baghdadi dan Thabaqah al-Hanabilah (1/32) karya Ibnu Abu Ya’la, dan Maqalaat Islamiyyah (1/312).
Jahm bin Shafwan bisa dianggap penebar kesesatan, karena ia telah menghimpun tiga kebid’ahan yang sangat buruk dan berbahaya disamping beberapa bid’ah yang lain :

Pertama : Bid’ah Ya’thil yaitu peniadaan sifat-sifat Allah dan menyangka bahwa Allah tidak bisa disifati dengan sifat apa pun, karena pemberian sifat bisa mengakibatkan penyerupaan dengan makhluk-Nya (Ar-Radd ‘alaa Jahmiyyah, hal.17 karya Imam ad-Darimi, dan Majmuu’ Fataawaa 5/20)

Kedua : Bid’ah Jabr yaitu pernyataan bahwa menusia tidak mempunyai kemampuan dan daya upaya sama sekali bahkan semua kehendaknya muncul dalam keadaan dipaksa oleh kehendak Allah, maka ia menganggap perbuatan manusia dinisbatkan kepadanya hanya sekedar metafora. Maqalaat Islamiyyin al-Asy’ari (1/312)

Ketiga: Bid’ah Irja’ bahwa iman cukup hanya dengan ma’rifat, barang siapa yang inkar di lisan maka hal tersebut tidak membuatnya kafir sebab ilmu dan ma’rifat tidak bisa lenyap karena ingkar, dan keimanan tidak berkurang dan semua hamba setara dalam keimanannya serta iman dan kufur hanya dalam hati tidak dalam perbuatan. Maqalaat Islamiyyin (1/312)]

Asy-Syaikh ‘Abdul-Qadiir Al-Jiilaaniy rahimahullah (wafat 561 H) berkata dalam menjelaskan tentang Jahmiyah, dalam kitab Al-Ghun-yah li-Thaalibiy Thariiqil-Haqq (1/128; Daar Ihyaa At-Turaats, Cet. 1/1416) :

Adapun Jahmiyyah, maka ia dinisbatkan pada Jahm bin Shafwaan dimana ia berkata:

1. Iman adalah hanyalah ma’rifah kepada Allah dan Rasul-Nya, serta seluruh apa yang datang di sisinya;
2. Al-Qur’an adalah makhluq;
3. Allah tidak pernah berbicara kepada Musa (secara langsung);
4. Allah ta’ala tidak pernah berfirman (= menafikkan sifat kalaam – );
5. Allah tidak bisa dilihat;
6. Allah tidak diketahui mempunyai tempat tertentu;
7. Allah tidak mempunyai ‘Arsy dan Kursiy, dan Ia tidak berada di atas ‘Arsy;
8. Mengingkari adanya mawaaziin (timbangan-timbangan) amal (di akhirat);
9. Mengingkari adzab qubur;
10. Surga dan neraka telah diciptakan yang memiliki sifat fana (tidak kekal);
11. Allah ‘azza wa jalla tidak akan berbicara kepada makhluk-Nya dan tidak akan melihat mereka di hari kiamat;
12. Penduduk surga tidak akan (bisa) melihat Allah ta’ala dan tidak pula melihatnya di surga;
13. Iman itu cukup dengan ma’rifatul-qalb tanpa pengikraran dengan lisan; dan
14. Mengingkari seluruh sifat-sifat Al-Haqq (Allah) ‘azza wa jallaa”
Pendapat Para Imam dan Ulama Ahlusunnah Tentang Sesatnya Jahmiyyah Bahkan Sebagian Ada yang Mengkafirkannya
1. Abdullah bin Mubarak mengatakan, “Saya menukil ucapan orang Yahudi dan Nasrani lebih aku senangi daripada aku menukil ucapan Jahmiyah. Dan kebanyakan dalam firqah Islam, bahkan Abdullah bin Mubarak menyatakan kekafiran Jahmiyah”.[ Lihat al-Milal wa Nihal (1/134) karya as-Sahratani, dan Maqalaat Islamiyyin (1/198) karya al-Asy’ari.

2. Imam Syafii berkata terhadap Hafsh al Fard yang ketika mengatakan bahwa al Qur’an itu makhluk maka Syafii berkata, “Engkau telah kafir terhadap Allah” sebagaimana nukilan Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah? Demikian vonis kafir yang diberikan kepada al Jahm bin Shafwan, Bisyr al Marisi, an Nazham dan Abu Hudzail al ‘Allaf sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Baththah dalam al Ibanah al Shughra.
Beliau rahimahullah berkata : ‘Barangsiapa yang berkata lafadhku dengan Al-Qur’an atau Al-Qur’an dengan lafadhku adalah makhluk, maka ia seorang Jahmiy (penganut paham Jahmiyyah)” [I’tiqaad Asy-Syaafi’iy oleh Al-Hakkaariy, hal. 23, tahqiq : Al-Barraak].

4. Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab “Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah”

5. Adz Dzahabi dalam kitabnya Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar membawakan berbagai perkataan ulama masa silam yang jelas-jelas menyatakan bahayanya pemikiran Jahmiyah

6. Sufyan As-Tsauri mengatakan, Al-Quran kalamullah, barang siapa mengatakan ia mahluk maka sungguh kafir dan barang siapa ragu akan kekafirannya maka ia kafir(juga). Imam Ahmad berkata, Barang siapa yang mengatakan Al-Quran mahluk maka ia menurut kami kafir karena al-Quran bersumber dari Allah dan di dalamnya terdapat nama Allah azza wa jalla.

7. Imam ad-Darimi menuliskan dalam kitabnya ar-Rad aal Jahmiyah (Membantah Jahmiyah) satu bab husus yang membahas kekafiran Jahmiyah. Beliau menerangkan, Bab Pengambilan dalil Untuk Mengafirkan Jahmiyah, kemudian beliau berkata di bawahnya, Di Baghdad, seorang laki-laki mendebatku dalam rangka membela golongan Jahmiyah. Ia bertanya, Ayat apa yang Anda jadikan dasar untuk mengafirkan Jahmiyah, padahal kita dilarang mengafirkan ahli kiblat(Orang yang masih shalat), apakah dengan kitab yang dapat berbicara Anda mengafirkan mereka? Atau dengan dengan hadits? Atau dengan ijma? Maka aku jawab, Jahmiyah menurut pendapat Kami bukanlah ahli kiblat, dan kami tidaklah mengafirkan mereka kecuali dengan kitab yang tertulis, atsar yang masyhur dan kekafiran mereka telah masyhur kemudian beliau merinci dalil-dalil yang mengafirkan mereka

8. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah meriwatyatkan, sebagian besar ulama mengkafirkan Jahmiyah. Beliau berkata, Dan yang terkenal dari madzhab Imam Ahmad dan mayoritas ulama sunnah adalah mengafirkan Jahmiyah. Merekalah yang menolak sifat-sfat Allah dan ucapan mereka sangat jelas menentang apa yang dibawa rasululah.

9. Ibnul Qayyim dalam syair Nuniyahnya mengatakan :
Sungguh limapuluh dari puluhan ulama telah mengafirkan mereka di berbagai negeri Al-Imam Al-Likai meriwaytkan dari mereka bahkan sebelumnya sudah ada yang mendahuluinya, at-Tahabrani.

10. Al-Baijuriy – seorang pembesar madzhab Asy’ariyyah – dalam kitab Hasyiyyah Al-Baijuriy ‘alaa Jauharit-Tauhiid dalam permasalahan yang sama. Ia berkata :
“Madzhab Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah menyatakan bahwa Al-Qur’an dengan makna al-kalaamun-nafsiy (yaitu : yang berasal dari diri Allah ta’ala) bukanlah makhluk. Adapun Al-Qur’aan dengan makna lafadh yang kita baca, maka ia adalah makhluk. Akan tetapi terlarang untuk dikatakan : Al-Qur’an adalah makhluk – yang dimaksudkan dengannya adalah lafadh yang kita baca, kecuali dalam konteks pengajaran. Karena, perkataan tersebut bisa disalahartikan bahwa Al-Qur’an dengan makna kalam-Nya ta’ala (al-kalaamun-nafsiy –)adalah makhluk. Dengan alasan itulah para imam melarang terhadap perkataan Al-Qur’an adalah makhluk” [hal. 160].

Diantara sekte yang mengusung faham jahmiyah adalah mu’tazilah, Asy-Ariyah, Qadariyah dan yang sependapat dengan mereka.
Arti Istiwa’
Lafazh istawa ‘ala (اِسْتَوَى عَلَى) dalam bahasa Arab – yang dengannya Allah menurunkan wahyu – berarti (عَلاَ وَارْتَفَعَ), yaitu berada di atas (tinggi/di ketinggian). Hal ini adalah kesepakatan salaf dan ahli bahasa. Tidak ada yang memahaminya dengan arti lain di kalangan salaf dan ahli bahasa.
Istiwa’ adalah hakikat dan bukan majas. Kita bisa memahaminya dengan bahasa Arab yang dengannya wahyu diturunkan. Yang tidak kita ketahui adalah kaifiyyah (cara/bentuk) istiwa’ Allah, karena Dia tidak menjelaskannya. Ketika ditanya tentang ayat 5 Surat Thaha (الرحمن على العرش استوى), Rabi’ah bin Abdurrahman dan Malik bin Anas mengatakan:
الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ، وَاْلكَيْفُ مَجْهُوْلٌ، وَالإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ.
“Istiwa’ itu diketahui, kaifiyyahnya tidak diketahui, dan mengimaninya wajib.” (Al-Iqtishad fil I’tiqad, Al-Ghazali)
 Al-Arsy
Sesungguhnya madzhab salaf (para sahabat, tabiin dan yang lainnya) berpendapat bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala bersemayam diatas Al Arsy dengan tanpa takyif (membagaimanakannya), tamtsil (menyerupainya dengan makhluk), Tahrif (menyelewengkan makna yang sebenarnya) dan Ta’thil (menolaknya) karena Allah Subhanahu wa Ta’ala bersemayam diatas ArsyNya dengan persemayaman yang sesuai dengan kebesaran dan keagunganNya. Adapun hakikat bersemayamnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak diketahui oleh kita dan bertanya tentang hal itu satu kebidahan, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memperlihatkan kepada kita hakikat dzatNya, maka bagaimana kita dapat mengetahui bagaimana bersemayamnya Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Dia yang berfirman:
وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَآءَ
Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang
dikehendaki-Nya. [Al-Baqarah/2:255]
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (QS. as-Syura: 11)
 Ciri, Karakteristik dan Kekhususan ‘Arsy
Adapun ‘Arsy, secara bahasa artinya Singgasana kekuasaan.
27:23

Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar..(Q.S An-Naml:23)
27:26

Allah, tiada Tuhan Yang disembah kecuali Dia, Tuhan Yang mempunyai ‘Arsy yang besar”..(Q.S An-Naml:26)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat di dalam Al-Quran yang mulia, Allah ‘azza wa jalla memberitahukan bahwa Dia-lah pemilik Arsy (singgasana) yang agung…
Arsy adalah makhluk tertinggi. Rasulullah bersabda:
فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ وَفَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ
“Maka jika kalian meminta kepada Allah, mintalah Al-Firdaus, karena sungguh ia adalah surga yang paling tengah dan paling tinggi. Di atasnya singgasana Sang Maha Pengasih, dan darinya sungai-sungai surga mengalir.” (Lihat Bukhari dalam shahihnya kitab Tauhid bab wa kaana Arsyuhu Ala Alma’ )
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengkhususkan Al-Arsy dengan beberapa kekhususan yang membedakanya dari sekalian makhluk yang lain karena Al-Arsy memiliki kedudukan yang tinggi disisi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut kata Al-Arsy sebanyak dua puluh satu kali didalam Al Quran dan hal ini menunjukkan ketinggian kedudukan dan martabat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji dirinya dalam banyak ayat dengan mengatakan dialah pemilik Al-Arsy yang agung dan besar lagi mulia, seperti dalam firmanNya.
وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
Dan Dia adalah Rabb yang memiliki ‘Arsy yang agung”. [At-Taubah/9:129]
قُلْ مَن رَّبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
Katakanlah:”Siapakah Yang Mempunyai langit yang tujuh dan Yang Mempunyai ‘Arsy yang besar?” [Al-Mu’minuun/23:86]
ذُوالْعَرْشِ الْمَجِيدُ
Yang mempunyai singgasana, lagi Maha Mulia [Al-Buruuj/85:15]
فَتَعَالَى اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لآإِلَهَ إِلاَّهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيم
Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya;tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Dia, Rabb (Yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia. [Al-Mu’minuun/23:116]
Dalam banyak ayat-ayat diatas Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifatkan kepada kita bahwa Al-Arsy itu agung dan mulia, agung karena dia adalah makhluk yang paling besar dan paling tinggi sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikanya sebagai tempat bersemayamNya dan mulia karena dia memiliki kedudukan yang berbeda dari makhluk-makhluk yang lainnya dan dia memiliki sifat-sifat yang tinggi dan mulia, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
رَفِيعُ الدَّرَجَاتِ ذُو الْعَرْشِ يُلْقِي الرُّوحَ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِ لِيُنذِرَ يَوْمَ التَّلاَقِ
(Dialah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, Yang mempunyai ‘Arsy, Yang mengutus Jibril dengan (membawa) perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari kiamat). [Al-Mu’min/40:15]
Juga menunjukkan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ketinggian ArsyNya yang berada diatas seluruh makhluqnya apalagi Allah l telah banyak menghubungkannya dengan namanya “Arrahman” yang tentunya mengandung satu keistimewaan yang tidak dimiliki selainnya, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
الرَّحْمَنُ عَلَى اْلعَرْشِ اسْتَوَى
(Yaitu) Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy. [Thaahaa/20:5]
الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَمَابَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ الرَّحْمَنُ فَسْئَلْ بِهِ خَبِيرًا
Yang Menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia. [Al-Furqaan/25:59]
Al-Arsy Adalah Makhluk Yang Tertinggi Dan Menjadi Atapnya Para Makhluk Yang Lain.
Diantar kekhususan yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Al Arsy adalah menjadikannya sebagai makhluk paling dekat denganNya dan yang paling tinggi lebih tinggi dari langit, bumi dan syurga dan dia merupakan atapnya, sebagaimana sabda Rasulullah .
إِذَا سَأَلْتُمُ الله فَاسْأَلُوْهُ اْلفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ وَسَطُ اْلجَنَّةِ وَ أَعْلاهَا وَفَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ وَمِنْهُ تَفْجُرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ
Jika kalian meminta, mintalah Alfirdaus, karena dia adalah tengah-tengah syurga dan yang paling tinggi dan diatasnya adalah Arsy Allah, dan darinya terpancar sungai-sungai syurga. Lihat Bukhari dalam shahihnya kitab Tauhid bab wa kaana Arsyuhu Ala Alma’ lihat fathul Bari 13/404.
Berkata Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Abi Zamaniin dalam kitabnya Ushulussunnah: dan dari pendapat Ahlussunnah adalah Allah telah menciptakan AlArsy dan mengkhususkannya dengan berada diatas dan ketinggian diatas semua makhluqNya kemudian bersemayam diatasnya. Lihat Bukhari dalam shahihnya kitab Tauhid bab wa kaana Arsyuhu Ala Alma’ lihat fathul Bari 13/282.
Ketinggian Al Arsy sebagai makhluk yang paling tinggi menunjukkan secara langsung bahwa dia adalah makhluk yang paling dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hal ini sebagaimana dikatakan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu.
بَيْنَ السَمَاء السَابِعَةِ و الكُرْسِي خَمْسَمِائَةِ عَامٍ وَبَيْنَ الكُرْسِي والمَاء خَمْسَمِائَةِ عَامٍ وَالْعَرْشُ فَوْقَ الْمَاءِ وَاللهُ فَوْقَ الْعَرْشِ
Antara langit ketujuh dan kursi lima ratus tahun dan antara kursi dan air lima ratus tahun dan Al Arsy diatas air dan Allah Subhanahu wa Ta’ala diatas Al Arsy. Hadits dikeluarkan oleh ibnu Khuzaimah dalam kitab Attauhid hal.105, Addaarimiy dalam Arrad ‘alal Jahmiyah hal.26-27 dan Alalikaaiy dalam Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah 3/396 dan dibawakan Ibnul Qayim dalam Ijtimaul Juyusy Al Islamiyah hal.100, dan berkata diriwayatakan oleh Sunaid bin Daud dengan sanad yang shahih.
Dan berkata Ibnu Taimiyah rahimahullah : Adapun Al Arsy maka dia berupa kubah sebagaimana diriwayatkan dalam As Sunan karya Abu Daud dari jalan periwayatan Jubair bin Muth’im, dia berkata : Telah datang menemui Rasulullah seorang A’rab dan berkata : Wahai Rasulullah jiwa-jiwa telah susah dan keluarga telah kelaparan- dan beliau menyebut hadits- sampai berkata Rasulullah `
إِنَّ الله عَلَى عَرْشِهِ وَ إِنَّ عَرْشَهُ عَلَى سَمَوَاتِهِ وَ أَرْضِهِ كَهَكَذَا وَ قَالَ بِأَصَابِعِهِ مِثْلَ اْلقُبَّةِ
Sesungguhnya Allah diatas ArsyNya dan ArsyNya diatas langit-langit dan bumi, seperti begini dan memberikan isyarat dengan jari-jemarinya seperti kubah. Lihat Hadits Shahih dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim dalam Assunnah 1/252.
Dan jelaslah dengan hadits-hadits ini bahwa Al Arsy adalah makhluq yang paling tinggi dan dia seperti kubah..LihatAl Fatawa 5/151

Al Arsy Adalah Makhluk Yang Terbesar Dan Teragung Serta Terberat

Al Arsy merupakan makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling besar dan luas serta agung dan ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan agar sesuai dan pantas sebagai tempat bersemayamnya Dia Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah bersabda dalam hadits Jabir bin Abdillah : Aku diizinkan untuk membicarakan seorang malaikat dari para malaikat Allah dari pemikul Al-Arsy, sungguh jarak antara daun telinganya sampai bahunya sepanjang perjalanan 700 tahun. Hadits dengan Sanadnya shahih, diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sunannya 5/96 No.4727, Alkhathib dalam tarikhnya 10/195 dan Albaihaqy dalam AlAsma wa Shifat hal. 397 dari hadits Ibnul Munkadir dari Jabir. Berkata Adz -Dzahabiy dalam kitabnya Al Ulu : sanadnya shahih dan berkata Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 4/414 :Sanadnya baik dan perawi-perawinya tsiqat semua.

Adapun syubhat yang dilontarkan orang-orang Jahmiyah bahwa makna Al-Arsy dalam firman Allah :
الرَّحْمَنُ عَلَى اْلعَرْشِ اسْتَوَى
(Yaitu) Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy. [Thaha/20:5]
Mengandung kemungkinan beberapa makna, sehingga tidak diketahui makna apa yang ditunjukkan ayat ini dari makna-makna tersebut.
Hal ini telah dijawab oleh Ibnu Qayim dengan mengatakan : Ini merupakan perancuan terhadap orang-orang yang bodoh dan merupakan kedustaan yang nyata, karena Arsy Allah yang Dia bersemayam diatasnya tidak memiliki makna kecuali satu makna saja, walaupun Arsy secara umum memiliki beberapa makna. Akan tetapi huruf lam disini adalah untuk menunjukkan sesuatu yang telah diketahui sebelumnya (Al ‘Ahd), maka hal itu membuat makna Arsy menjadi tertentu saja yaitu Arsy Arrabb yang bermakna singgasana kerajaannya yang telah disepakati dan diakui para rasul dan para umat kecuali orang yang menentang para Rasul…Lihat Mukhtashar Shawaiqul Mursalah 1/17-18.
Pendapat para Shahabat Rasulullah , para Tabi’in, para ‘Aimmatul Arba’ (Imam 4) dan para Ulama Sesudahnya tentang Allah Berada Di atas Langit dan Bersemayam Di atas Arsy-Nya
Abu Bakar ash Shidiq radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barang siapa yang menyembah Allah maka Allah berada di langit, ia hidup dan tidak mati.” [Riwayat Imam ad Darimiy dalam Ar Radd ‘Alal Jahmiyah].
Dari Zaid bin Aslam, dia berkata,
مر ابن عمر براع فقال هل من جزرة فقال ليس هاهنا ربها قال ابن عمر تقول له أكلها الذئب  قال فرفع رأسه إلى السماء وقال فأين الله فقال ابن عمر أنا والله أحق أن أقول أين الله واشترى الراعي والغنم فأعتقه وأعطاه الغنم
“(Suatu saat) Ibnu ‘Umar melewati seorang pengembala. Lalu beliau berkata,  “Adakah hewan yang bisa disembelih?” Pengembala tadi mengatakan, “Pemiliknya tidak ada di sini.” Ibnu Umar mengatakan, “Katakan saja pada pemiliknya bahwa ada serigala yang telah memakannya.” Kemudian pengembala tersebut menghadapkan kepalanya ke langit. Lantas mengajukan pertanyaan pada Ibnu Umar, ”Lalu di manakah Allah?” Ibnu ‘Umar malah mengatakan, “Demi Allah, seharusnya aku yang berhak menanyakan padamu ‘Di mana Allah?’.”
Kemudian setelah Ibnu Umar melihat keimanan pengembala ini, dia lantas membelinya, juga dengan hewan gembalaannya (dari Tuannya). Kemudian Ibnu Umar membebaskan pengembala tadi dan memberikan hewan gembalaan tadi pada pengembara tersebut. [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar no. 311. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad riwayat ini jayyid sebagaimana dalam Mukhtashar Al ‘Uluw no. 95, hal. 127].
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu.
بَيْنَ السَمَاء السَابِعَةِ و الكُرْسِي خَمْسَمِائَةِ عَامٍ وَبَيْنَ الكُرْسِي والمَاء خَمْسَمِائَةِ عَامٍ وَالْعَرْشُ فَوْقَ الْمَاءِ وَاللهُ فَوْقَ الْعَرْشِ
Antara langit ketujuh dan kursi lima ratus tahun dan antara kursi dan air lima ratus tahun dan Al Arsy diatas air dan Allah Subhanahu wa Ta’ala diatas Al Arsy.         Atsar yang shahih, dikeluarkan oleh ibnu Khuzaimah dalam kitab Attauhid hal.105, Addaarimiy dalam Arrad ‘alal Jahmiyah hal.26-27 dan Alalikaaiy dalam Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah 3/396 dan dibawakan Ibnul Qayim dalam Ijtimaul Juyusy Al Islamiyah hal.100, dan berkata diriwayatakan oleh Sunaid bin Daud dengan sanad yang shahih.

01.  Ibnu Abbas menemui ‘Aisyah. Ibnu Abbas berkata padanya,
كنت أحب نساء رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم يكن يحب إلا طيبا وأنزل الله براءتك من فوق سبع سموات
“Engkau adalah wanita yang paling dicintai oleh Rasulullah . Tidaklah engkau dicintai melainkan kebaikan (yang ada padamu). Allah pun menurunkan perihal kesucianmu dari atas langit yang tujuh.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar no. 335].
Dalam riwayat lainnya, Ibnu ‘Abbas mengatakan,
إذا نزل الوحي سمعت الملائكة صوتا كصوت الحديد
“Jika wahyu turun, aku mendengar malaikat bersuara seperti suara besi.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar no. 295. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa periwayat hadits ini tsiqah (terpercaya) sebagaimana dalam Mukhtashar Al ‘Uluw no. 93, hal. 126].
Jika dikatakan bahwa wahyu itu turun dan wahyu itu dari Allah, ini menunjukkan bahwa Allah berada di atas karena sesuatu yang turun pasti dari atas ke bawah.

02.  Dari Ka’ab Al Ahbar [meninggal pada tahun 32 atau 33 H] berkata bahwa Allah ‘azza wa jalla dalam taurat berfirman,
أنا الله فوق عبادي وعرشي فوق جميع خلقي وأنا على عرشي أدبر أمور عبادي ولا يخفى علي شيء في السماء ولا في الأرض
“Sesungguhnya Aku adalah Allah. Aku berada di atas seluruh hamba-Ku. ‘Arsy-Ku berada di atas seluruh makhluk-Ku. Aku berada di atas ‘Arsyku. Aku-lah pengatur seluruh urusan hamba-Ku. Segala sesuatu di langit maupun di bumi tidaklah samar bagi-Ku. ” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar no. 315. Adz Dzahabi mengatakan  bahwa sanadnya shahih. Begitu pula Ibnul Qayyim dalam Ijtima’ul Juyusy Al Islamiyah mengatakan bahwa riwayat ini shahih].

03.  Masruq rahimahullah [wafat tahun 63 H] menceritakan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
حدثتني الصديقة بنت الصديق حبيبة حبيب الله، المبرأة من فوق سبع سموات.
“’Aisyah -wanita yang shidiq anak dari orang yang shidiq (Abu Bakar), kekasih di antara kekasih Allah, yang disucikan oleh Allah yang berada  di atas langit yang tujuh.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar no. 317. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih berdasarkan syarat Bukhari Muslim dan sanadnya sampai pada Abu Shafwan itu shahih. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 128].

04.  ‘Ubaid bin ‘Umair rahimahullah mengatakan,
ينزل الرب عزوجل شطر الليل إلى السماء الدنيا فيقول من يسألني فأعطيه من يستغفرني فأغفر له حتى إذا كان الفجر صعد الرب عزوجل أخرجه عبد الله بن الإمام أحمد في كتاب الرد على الجهمية تصنيفه
“Allah ‘azza wa jalla turun ke langit dunia pada separuh malam. Lalu Allah berkata, “Siapa saja yang memohon kepada-Ku, maka akan Kuberi. Siapa saja yang meminta ampun kepada-Ku, maka akan Kuampuni.” Jika fajar telah terbit, Allah pun naik.”
Dikeluarkan oleh ‘Abdullah bin Imam Ahmad dalam kitab karyanya yang berisi bantahan terhadap Jahmiyah. [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar no. 320].

05.  Imam Abu Hanifah Rahimahullah (tahun 80-150 H)
Sikap Keras Abu Hanifah Terhadap Orang Yang Tidak Tahu Di Manakah Allah :
Imam Abu Hanifah mengatakan dalam Fiqhul Akbar,
من انكر ان الله تعالى في السماء فقد كفر
“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.”
Itsbatu Shifatul ‘Uluw, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, hal. 116-117, Darus Salafiyah, Kuwait, cetakan pertama, 1406 H..
Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar–
7
(Imam Adz-Dzahaby dalam kitabnya Mukhtashar Al ‘Uluw, Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 136-137, Al Maktab Al Islamiy, yang memberikan pelajaran cukup berharga dari beliau rahimahullah menandakan bahwa kitab Fiqhul Akbar bukanlah milik Imam Abu Hanifah), beliau berkata,
سألت أبا حنيفة عمن يقول لا أعرف ربي في السماء أو في الأرض فقال قد كفر لأن الله تعالى يقول الرحمن على العرش استوى وعرشه فوق سمواته  فقلت إنه يقول أقول على العرش استوى ولكن قال لا يدري العرش في السماء أو في الأرض  قال إذا أنكر أنه في السماء فقد كفر رواها صاحب الفاروق بإسناد عن أبي بكر بن نصير بن يحيى عن الحكم
Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”. QS. Thaha: 5
Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.” Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.”Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghafar, Adz Dzahabi, hal. 135-136, Maktab Adhwaus Salaf, Riyadh, cetakan pertama, 1995…Ini diriwayatkan oleh pemilik “Al-Faruq” dengan isnad dari Abu Bakr bin Nushair bin Yahya dari Al-Hakam

Al Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya “Al-’Uluw” mengatakan :
سمعت القاضي الإمام تاج الدين عبد الخالق بن علوان قال سمعت الإمام أبا محمد عبد الله أحمد المقدسي مؤلف المقنع رحم الله ثراه وجعل الجنة مثواه يقول بلغني عن أبي حنيفة رحمه الله أنه قال من أنكر أن الله عزوجل في السماء فقد كفر.
(ص 135 – 136)
Dan saya mendengar Al-Qodhi Al-Imam Tajuddin Abdullah bin ‘Ulwan berkata, saya mendengar Al-Imam Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad Al-Maqdisi penulis “Al-Mugni’” –semoga Alloh mencurahkan rahmat pada kekayaan beliau dan menjadikan surga sebagai tempat tinggal beliau- mengatakan, telah sampai pada saya dari Abu Hanifah –semoga Alloh mencurahkan rahmat pada beliau- bahwa beliau berkata, ‘Barangsiapa yang mengingkari bahwa Allah ‘Azza wa Jalla di langit maka sungguh dia telah kafir’. (Halaman 135-136)

Menarik pembahasan tentang Al-Hakam ibn Abdullah, Abu Muth’i Al-Balkhy, sang sahabat Imam Abu Hanifah rahimahullah, ini dalam beberapa pendapat ulama-ulama hadits, beliau dihukumi sebagai perawi yg dhaif bahkan diantara mereka menghukumi dengan dhaifun hadits wa shahibun ra’yi..
Al Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya “Al-Mizaanul I’tidal jilid 3 hal 121-122” mengatakan bahwa
 abu-muth'i-1
Al-Hakam bin Abdullah, Abu Muth’i Al-Balkhy adalah seorang yg buruk riwayatnya. Berkata Ibnu Ma’in, Dia tidak diketahui dan dhaif. Berkata Imam Bukhari, Dia dhaif haditsnya. Berkata An-Nasa’i, Dhaif haditsnya. Berkata Imam Ahmad, Tidak boleh meriwayatkan hadits darinya. Dan berkata Abu Daud, Dia seorang jahmiyyah..
Al-Hafidz, Syaikhul Islam fiil Hadits, Imam Ibn Abi Hatim Ar-Razi rahimahullah dalam kitabnya ” Al-Jarh wa Ta’dil jilid 3 hal 121-122″ mengatakan bahwa,
abu-muth'i-2abu-muth'i-3
Al-Hakam ibn Abdullah, Abu Muth’i Al-Balkhy, dia selalu meriwayatkan berdasarkan akal..Saya bertanya kepada bapakku (Al-Hafidz, Imam Ahlul Hadits, Abu Hatim Ar-Razi rahimahullah) tentang Abi Muth’i Al-Balkhy, Dia seorang Qadhi dan dia seorang Murji’ah..Dia seorang yang dhaif haditsnya..
Demikian pendapat sebagian para ulama ahli hadits tentang biografi seorang ulama yang bernama Al-Hakam ibn Abdullah, Abu Muth’i Al-Balkhy, pemilik kitab ‘Al-FIQH AL-AKBAR / AL-FIQH AL-ABSATH, yang dimana mereka menghukumi sebagai seorang yang cacat haditsnya dan sebagian dari mereka menyebutnya sebagai murjiah dan jahmiyyah..

06.  Imam Malik rahimahullah (tahun 93-179 h)
Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah : Telah menceritakan ayahku, kemudian ia menyebutkan sanadnya dari ‘Abdullah bin Naafi’, ia berkata : Telah berkata Malik bin Anas :
الله في السماء، وعلمه في كل مكان، لا يخلو منه شيء.
“Allah berada di atas langit, dan ilmu-Nya berada di setiap tempat. Tidak ada terlepas dari-Nya sesuatu”. Diriwayatkan oleh ‘Abdullah dalam As-Sunnah hal. 5, Abu Dawud dalam Al-Masaail hal. 263, Al-Aajuriiy hal. 289, dan Al-Laalikaa’iy 1/92/2 dengan sanad shahih – dinukil melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 140 no. 130.
Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama lainnya, mereka berkata,
جاء رجل إلى مالك فقال يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف استوى قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه الرحضاء يعني العرق وأطرق القوم فسري عن مالك وقال الكيف غير معقول والإستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة وإني أخاف أن تكون ضالا وأمر به فأخرج
“Suatu saat ada yang mendatangi Imam Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy” QS. Thaha: 5.
Lalu bagaimana Allah beristiwa’ (menetap tinggi)?” Dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Imam Malik melakukan sesuatu (artinya beliau marah) sebagaimana yang ditemui pada orang tersebut. Urat beliau pun naik dan orang tersebut pun terdiam.” Kecemasan beliau pun pudar, lalu beliau berkata,
الكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَالإِسْتِوَاءُ مِنْهُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَإِنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ ضَالاًّ
“Hakekat dari istiwa’ tidak mungkin digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui maknanya. Beriman terhadap sifat istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai (hakekat) istiwa’ adalah bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian orang tersebut diperintah untuk keluar. Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghafar, hal. 378.
Inilah perkataan yang shahih dari Imam Malik. Perkataan beliau sama dengan keyakinan para shahabat, para ulama dan imam Ahlus Sunnah lainnya.

07.  Imam Syafi’i rahimahullah (tahun 150-204 h)
Syaikhul Islam berkata bahwa telah mengabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Khalil bin Abdullah Al Hafizh, beliau berkata bahwa telah memberitahukan kepada kami Abul Qasim bin ‘Alqamah Al Abhariy, beliau berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Raziyah telah memberitahukan pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (yang terkenal dengan Imam Syafi’i), beliau berkata,
القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وان الله تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر الاعتقاد
“Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya. “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqad) lainnya. Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, hal. 123-124. Dan disebutkan pula dalam Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghafar, hal.165

08.  Imam Ahmad bin Hambal (tahun 164-241 h)
Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela sunnah, sabar menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga. Imam Ahmad mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya sifat ru’yah (Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw (ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya).” Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghafar, hal. 176. Lihat pula Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 189.
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya,
ما معنى قوله وهو معكم أينما كنتم و ما يكون من نجوى ثلاثه الا هو رابعهم قال علمه عالم الغيب والشهاده علمه محيط بكل شيء شاهد علام الغيوب يعلم الغيب ربنا على العرش بلا حد ولا صفه وسع كرسيه السموات والأرض
“Apa makna firman Allah,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
“Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. Al Hadiid: 4)
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.” (QS. Al Mujadilah: 7)
Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi. Namun Rabb kita tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan ruang, tanpa dibatasi dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun meliputi langit dan bumi.”
Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa Al Ghadadiy, beliau berkata,
قيل لأبي عبد الله احمد بن حنبل الله عز و جل فوق السمآء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه بكل مكان قال نعم على العرش و لايخلو منه مكان
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 116
Abu Bakr Al Atsram mengatakan bahwa Muhammad bin Ibrahim Al Qaisi mengabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarak ketika ada yang bertanya padanya,
كيف نعرف ربنا
“Bagaimana kami bisa mengetahui Rabb kami?” Ibnul Mubarak menjawab,
في السماء السابعة على عرشه
“Allah di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan,
هكذا هو عندنا
“Begitu juga keyakinan kami.” Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 118

09.  Imam Adh-Dhahhaak [wafat th. 102 H].
Ahmad (bin Hanbal) meriwayatkan dengan sanadnya sampai Adh-Dhahhaak tentang ayat (yang artinya) : ‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya’ (QS. Al-Mujaadalah : 7); maka Adh-Dhahhaak berkata :
هو على العرش وعلمه معهم
“Allah berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya bersama mereka”.  [As-Sunnah oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal hal. 80 – melalui perantaraan Al-Masaail war-Rasaail Al-Marwiyyatu ‘anil-Imam Ahmad bin Hanbal fil-‘Aqiidah oleh ‘Abdullah bin Sulaimaan Al-Ahmadiy, 1/319; Daaruth-Thayyibah, Cet. 1/1412].
10.  Qatadah rahimahullah [wafat tahun 118 H] mengatakan bahwa Bani Israil berkata,
يا رب أنت في السماء ونحن في الأرض فكيف لنا أن نعرف رضاك وغضبك قال إذا رضيت استعملت عنكم عليكم خياركم وإذا غضبت إستعلمت عليكم شراركم هذا ثابت عن قتادة أحد الحفاظ الكبار
“Wahai Rabb, Engkau di atas langit dan kami di bumi, bagaimana kami bisa tahu jika Engkau ridho dan Engkau murka?” Allah Ta’ala berfirman, “Jika Aku ridho, maka Aku akan memberikan kebaikan pada kalian. Dan jika Aku murka, maka Aku akan menimpakan kejelekan pada kalian.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar no. 336. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad riwayat ini hasan. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 131].

11.  Dari Malik bin Dinar [wafat pada tahun 130 H], beliau berkata,
خذوا فيقرأ ثم يقول : إسمعوا إلى قول الصادق من فوق عرشه
“Ambillah (Al Qur’an) ini. Lalu beliau membacanya, kemudian beliau mengatakan, ‘Hendaklah kalian mendengar perkataan Ash Shadiq (Yang Maha Jujur yaitu Allah) dari atas ‘Arsy-Nya’.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar no. 348. Adz Dzahabi mengatakan diriwayatkan dalam Al Hilyah dengan sanad yang shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa mengatakan riwayat ini hasan saja termasuk murah hati. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 131].

12.  Harun bin Ma’ruf mengatakan, Dhamrah mengatakan pada kami dari Shadaqah, dia berkata bahwa dia mendengar Sulaiman At Taimiy berkata,
لو سئلت أين الله لقلت في السماء
“Seandainya aku ditanyakan di manakah Allah, maka aku menjawab (Allah berada) di atas langit.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar no. 357. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa periwayat riwayat ini tsiqah/terpercaya. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 133].

13.  Ayyub As Sikhtiyani [wafat th. 131 H].
Hamad bin Zaid mengatakan bahwa ia mendengar Ayyub As Sikhtiyani berbicara mengenai Mu’tazilah,
إنما مدار القوم على أن يقولوا ليس في السماء شيء
“Mu’tazilah adalah asal muasal kaum yang mengatakan bahwa di atas langit tidak ada sesuatu apa pun.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar no. 354].

14.  Rabi’ah bin Abi ‘Abdirrahman [Wafat tahun 136 H ].
Sufyan Ats Tsauriy mengatakan bahwa ia pernah suatu saat berada di sisi Rabi’ah bin Abi ‘Abdirrahman kemudian ada seseorang yang bertanya pada beliau,
الرحمن على العرش استوى كيف استوى
“Ar Rahman (yaitu Allah) beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy, lalu bagaimana Allah beristiwa’?” Rabi’ah menjawab,
الإستواء غير مجهول والكيف غير معقول ومن الله الرسالة وعلى الرسول البلاغ وعلينا التصديق
“Istiwa’ itu sudah jelas maknanya. Sedangkan hakikat dari istiwa’ tidak bisa digambarkan. Risalah (wahyu) dari Allah, tugas Rasul hanya menyampaikan, sedangkan kita wajib membenarkan (wahyu tersebut).” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar no. 352. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw hal. 132].

15.  Al Auza’i Abu ‘Amr ‘Abdurrahman bin ‘Amr [hidup sebelum tahun 157 H], Seorang Alim di Negeri Syam di Masanya Berbicara Mengenai Keyakinannya:
قال أبو عبد الله الحاكم أخبرني محمد بن علي الجوهري ببغداد قال حدثنا إبراهيم بن الهيثم البلدي قال حدثنا محمد بن كثير المصيصي قال سمعت الأوزاعي يقول كنا والتابعون متوافرون نقول إن الله عزوجل فوق عرشه ونؤمن بما وردت به السنة من صفاته
Abu ‘Abdillah Al Hakim mengatakan, Muhammad bin Ali Al Jauhari telah mengabarkan kepadaku di Bagdad. Ia mengatakan, Ibrahim bin Al Haitsam Al Baladi telah menceritakan pada kami.  Ia mengatakan, Muhammd bin Katsir Al Missisiy telah menceritakan pada kami. Ia berkata, aku mendengar Al Auza’i mengatakan, “Kami dan pengikut kami mengatakan bahwa Allah ‘azza wa jalla berada di atas ‘Arsy-Nya. Kami beriman terhadap sifat-Nya yang ditunjukkan oleh As Sunnah.” [Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Kitab Al Asma’ wa Ash Shifat. Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, 136. Ibnu Taimiyah sebagaimana dalam Al Aqidah Al Hamawiyah menyatakan bahwa sanadnya shahih, sebagaimana pula hal ini diikuti oleh muridnya (Ibnul Qayyim) dalam Al Juyusy Al Islamiyah].

16.  Dari Abu Ishaq Ats Tsa’labi –seorang pakar tafsir, ia berkata, “Al Auza’i pernah ditanya mengenai firman Allah Ta’ala,
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Kemudian Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya”. Al Auza’iy mengatakan, “Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang Dia sifati bagi Diri-Nya.” [ Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, 137].

17.  Muqaatil bin Hayyaan (semasa dengan Imam Al Auza’i, beliau hidup sebelum tahun 150 H).
Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad, dari ayahnya, dari Nuuh bin Maimuun, dari Bukair bin Ma’ruuf, dari Muqaatil bin Hayyaan tentang firman Allah ta’ala : ‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya’ (QS. Al-Mujaadalah : 7), ia berkata :
هو على عرشه، وعلمه معهم.
“Allah berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya bersama mereka”. [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah hal. 71, Abu Dawud dalam Al-Masaail hal. 263, dan yang lainnya dengan sanad hasan  melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 138 no. 124].

18.  Diriwayatkan dari Al Baihaqi dengan sanad darinya, dari Muqaatil bin Hayyan. Ia berkata, “Allah-lah yang lebih memahami firman-Nya:
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآَخِرُ
Huwal awwalu wal akhiru … (Allah adalah Al Awwal dan Al Akhir …) (QS. Al Hadiid: 3). Makna Al Awwalu adalah sebelum segala sesuatu. Al Akhir adalah setelah segala sesuatu. Azh Zhahir adalah di atas segala sesuatu. Al Bathin adalah lebih dekat dari segala sesuatu. Kedekatan Allah adalah dengan ilmu-Nya. Sedangkan Allah sendiri berada di atas ‘Arsy-Nya.”
Adz Dzahabi mengatakan, “Muqatil adalah ulama yang tsiqoh dan dia adalah imam besar yang semasa dengan Al Auza’i.” [ Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, 137. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa dalam sanad yang disebutkan oleh Al Baihaqi (hal. 430-431) terdapat Ismail bin Qutaibah. Ibnu Abi Hatim tidak memberikan penilaian positif (ta’dil) atau negatif (jarh) terhadapnya. Telah diriwayatkan pula oleh Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Musa Al Ka’bi, rowi dari atsar ini darinya. Beliau merupakan guru dari Al Hakim. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 138].

19.  Sufyan Ats Tsauri [hidup pada tahun 97-161 H].
روى غير واحد عن معدان الذي يقول فيه ابن المبارك هو أحد الأبدال قال سألت سفيان الثوري عن قوله عزوجل وهو معكم أينما كنتم قال علمه
Diriwayatkan lebih dari satu orang dari Mi’dan, yang Ibnul Mubarak juga mengatakan hal ini. Ia mengatakan bahwa ia bertanya pada Sufyan Ats Tsauri mengenai firman Allah ‘azza wa jalla,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
“Dia (Allah) bersama kalian di mana saja kalian berada.” (QS. Al Hadid: 4). Sufyan Ats Tsauri menyatakan bahwa yang dimaksudkan adalah ilmu Allah (yang berada bersama kalian, bukan dzat Allah, pen). [ Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, 137-138].

20.  Abdullah bin Al Mubarak [Seorang Alim Besar Negeri Khurasan tahun 118 – 181 H], Menyatakan Allah Berada di Atas Langit Ketujuh,
صح عن علي بن الحسن بن شقيق قال قلت لعبد الله بن المبارك كيف نعرف ربنا عزوجل قال في السماء السابعة على عرشه ولا نقول كما تقول الجهمية إنه هاهنا في الأرض  فقيل هذا لأحمد بن حنبل فقال هكذا هو عندنا
Telah shahih dari ‘Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, dia berkata, “Aku berkata kepada Abdullah bin Al Mubarak, bagaimana kita mengenal Rabb kita ‘azza wa jalla. Ibnul Mubarak menjawab, “Rabb kita berada di atas langit ketujuh dan di atasnya adalah ‘Arsy. Tidak boleh kita mengatakan sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah berada di sini yaitu di muka bumi.” Kemudian ada yang menanyakan tentang pendapat Imam Ahmad bin Hambal mengenai hal ini. Ibnul Mubarak menjawab, “Begitulah Imam Ahmad sependapat dengan kami.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, 149. Riwayat ini dishahihkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al Hamawiyah dan Ibnul Qayyim dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 152].

21.  Abu Bakr Al Atsram mengatakan bahwa Muhammad bin Ibrahim Al Qaisi mengabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarak ketika ada yang bertanya padanya,
كيف نعرف ربنا
“Bagaimana kami bisa mengetahui Rabb kami?” Ibnul Mubarak menjawab,
في السماء السابعة على عرشه
“Allah di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan,
هكذا هو عندنا
“Begitu juga keyakinan kami.” [ Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 118].

22.  Diriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad ketika membantah pendapat Jahmiyah dan beliau membawakan sanadnya dari Ibnul Mubarak. Ia ceritakan bahwa ada seseorang yang mengatakan pada Ibnul Mubarak, “Wahai Abu ‘Abdirrahman (Ibnul Mubarak), sungguh pengenalan tentang Allah menjadi samar karena pemikiran-pemikiran yang diklaim oleh Jahmiyah.” Ibnul Mubarak lantas menjawab, “Tidak usah khawatir. Mereka mengklaim bahwa Allah sebagai sesembahanmu yang sebenarnya berada di atas langit sana, namun mereka katakan Allah tidak di atas langit.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, 150. Syaikh Al Albani mengatakan dikeluarkan dalam As Sunnah (hal. 7) dari Ahmad bin Nashr, dari Malik, telah mengabarkan kepadaku seseorang dari Ibnul Mubarak. Seluruh periwayatnya tsiqah (terpercaya) kecuali yang tidak disebutkan namanya. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 152].

23.  ‘Abbad bin Al ‘Awwam [ hidup sekitar tahun 185 H], Muhaddits (Pakar Hadits) dari Daerah Wasith.
قال عباد بن العوام كلمت بشرا المريسي وأصحابه فرأيت آخر كلامهم ينتهي إلى أن يقولوا ليس في السماء شيء  أرى أن لا يناكحوا ولا يوارثوا
‘Abbad bin Al ‘Awwam mengatakan, “Aku pernah berkata Basyr Al Murasi dan pengikutnya, aku pun melihat bahwa mereka mengatakan, “Di atas langit tidak ada sesuatu pun. Aku menilai bahwa orang semacam ini tidak boleh dinikahi dan diwarisi.” [ Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, 151].

24.  ‘Abdurrahman bin Mahdi [hidup pada tahun 125-198 H], Seorang Imam Besar.
ابن مهدي قال إن الجهمية أرادوا أن ينفوا أن يكون الله كلم موسى وأن يكون على العرش أرى أن يستتابوا فإن تابوا وإلا ضربت أعناقهم
‘Abdurrahman bin Mahdi mengatakan bahwa Jahmiyah menginginkan agar dinafikannya pembicaraan Allah dengan Musa, dinafikannya keberedaan Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy. Orang seperti ini mesti dimintai taubat. Jika tidak, maka lehernya pantas dipenggal.  [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, hal. 159. Dikeluarkan pula oleh Abdullah (hal. 10-11) dari jalannya, disebutkan secara ringkas. Ibnul Qayyim menshahihkan riwayat ini dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw hal. 170].

25.  Syaikhul Islam Yazid bin Harun [hidup sebelum tahun 206 H],
قال الحافظ أبو عبد الرحمن بن الإمام أحمد في كتاب الرد على الجهمية حدثني عباس العنبري أخبرنا شاذ بن يحيى سمعت يزيد بن هارون وقيل له من الجهمية قال من زعم أن الرحمن على العرش استوى على خلاف ما يقر في قلوب العامة فهو جهمي
Al Hafizh Abu ‘Abdirrahman bin Al Imam Ahmad dalam kitab bantahan terhadap Jahmiyah, ia mengatakan, ‘Abbas Al Ambari telah menceritakan padaku, ia mengatakan, Syadz bin Yahya telah menceritakan pada kami bahwa ia mendengar Yazid bin Harun ditanya tentang Jahmiyah. Yazid mengatakan, “Siapa yang mengklaim bahwa Allah Yang Maha Pengasih menetap tinggi di atas ‘Arsy namun menyelisih apa yang diyakini oleh hati mayoritas manusia, maka ia adalah Jahmi.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, 157. Abdullah bin Ahmad mengeluarkan dalam As Sunnah (hal. 11-12) dari jalannya. Namun Adz Dzahabi menyebutkan dari selain kitab itu yaitu dalam kitab Ar Radd ‘alal Jahmiyah (bantahan terhadap Jahmiyah), Abdullah berkata, Abbas bin Al ‘Azhim Al Ambari telah mengabarkan pada kamim Syadz bin Yahya telah menceritakan pada kami. Juga riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Masail (hal. 268), ia berkata, Ahmad bin Sinan telah menceritakan pada kami, ia berkata: Aku mendengar Syadz bin Yahya. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 168].

26.  Sa’id bin ‘Amir Adh Dhuba’i [hidup pada tahun 122-208 H], Ulama Bashrah.
قال عبد الرحمن بن أبي حاتم حدثنا أبي قال حدثت عن سعيد ابن عامر الضبعي أنه ذكر الجهمية فقال هم شر قولا من اليهود والنصارى  قد إجتمع اليهود والنصارى وأهل الأديان مع المسلمين على أن الله عزوجل على العرش وقالوا هم ليس على شيء
‘Abdurrahman bin Abi Hatim berkata, ayahku menceritakan kepada kami, ia berkata aku diceritakan dari Sa’id bin ‘Amir Adh Dhuba’I bahwa ia berbicara mengenai Jahmiyah. Beliau berkata, “Jahmiyah lebih jelek dari Yahudi dan Nashrani. Telah diketahui bahwa Yahudi dan Nashrani serta agama lainnya bersama kaum muslimin bersepakat bahwa Allah ‘azza wa jalla menetap tinggi di atas ‘Arsy. Sedangkan Jahmiyah, mereka katakan bahwa Allah tidak di atas sesuatu pun.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, hal. 157 dan Mukhtashar Al ‘Uluw hal. 168].

27.  Wahb bin Jarir [meninggal tahun 206 H], Ulama Besar Bashrah,
محمد بن حماد قال سمعت وهب بن جرير يقول إياكم ورأي جهم فإنهم يحاولون أنه ليس شيء في السماء وما هو إلا من وحي إبليس ما هو إلا الكفر
Muhammad bin Hammad mengatakan bahwa ia mendengar Wahb bin Jarir berkata, “Waspadalah dengan pemikiran Jahmiyam. Sesungguhnya mereka memalingkan makna bahwa di atas langit sesuatu pun (berarti Allah tidak di atas langit, pen). Sesungguhnya pemikiran semacam ini hanyalah wahyu dari Iblis. Perkataan semacam tidak lain hanyalah perkataan kekufuran.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, hal. 159. Atsar ini dishahihkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 170].

28.  Al Qa’nabi [meninggal tahun 221 H], Ulama Besar di Masanya,
قال بنان بن أحمد كنا عند القعنبي رحمه الله فسمع رجلا من الجهمية يقول الرحمن على العرش استوى فقال القعنبي من لا يوقن أن الرحمن على العرش استوى كما يقر في قلوب العامة فهو جهمي أخرجهما عبد العزيز القحيطي في تصانيفه والمراد بالعامة عامة أهل العلم كما بيناه في ترجمة يزيد بن هارون إمام أهل واسط ولقد كان القعنبي من أئمة الهدى حتى لقد تغالى فيه بعض الحفاظ وفضله على مالك الإمام
Bunan bin Ahmad mengatakan, “Aku pernah berada di sisi Al Qa’nabi, ia mendengar seorang yang berpahaman Jahmiyah menyebutkan firman Allah,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.” [ QS. Thaha: 5], Al Qa’nabi lantas mengatakan, “Siapa yang tidak meyakini Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy sebagaimana diyakini oleh para ulama, maka ia adalah Jahmi.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, hal. 166. Bunan bin Ahmad tidak mengapa, sejarah hidupnya disebutkan di Tarikh Bagdad. Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 178].

29.  Abdullah bin Az Zubair Al Qurasyi Al Asadi Al Humaidi [meninggal tahun 219 H, Ulama Besar Makkah, Murid dari Sufyan bin ‘Uyainah, Guru dari Imam Al Bukhari], mengatakan:
أصول السنة عندنا فذكر أشياء ثم قال وما نطق به القرآن والحديث مثل وقالت اليهود يد الله مغلولة غلت أيديهم ومثل قوله والسموات مطويات بيمينه وما أشبه هذا من القرآن والحديث لا نزيد فيه ولا نفسره ونقف على ما وقف عليه القرآن والسنة ونقول الرحمن على العرش استوى ومن زعم غير هذا فهو مبطل جهم
Aqidah yang paling pokok yang kami yakini (lalu beliau menyebutkan beberapa hal): Ayat atau hadits yang menyebutkan (misalnya tangan Allah, pen),
وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ
“Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu” [ QS. Al Maidah: 64].
Semisal pula firman Allah,
وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ
“Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya” [ QS. Az Zumar: 67], dan juga ayat dan hadits yang semisal itu, kami tidak akan menambah dan kami tidak akan menafsirkan (bagaimanakah hakekat sifat tersebut). Kami cukup berdiam diri sebagaimana yang dituntunkan Al Quran dan Hadits Nabawi (yang tidak menyebutkan hakekatnya). Kami pun meyakini,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.” [ QS. Thaha: 5]. Barangsiapa yang tidak meyakini seperti ini, maka dialah Jahmiyah yang penuh kebatilan. [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, hal. 168. Ibnu Taimiyah telah menshahihkan atsar ini dari Al Humaidi dalam Kitabnya “Mufashal Al I’tiqad”. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw hal. 180].

30.  Al-Imam Al-Humaidiy rahimahullah juga berkata :
وما أشبه هذا من القرآن والحديث، لا نزيد فيه ولا نفسره. نقف على ما وقف عليه القرآن والسنة. ونقول : (الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى)، ومن زعم غير هذا فهو معطل جهمي.
“Dan ayat-ayat serta hadits-hadits yang serupa dengan ini (tentang Asma dan Shifat Allah), maka kami tidak menambah-nambahi dan tidak pula menafsirkannya (menta’wilkannya). Kami berhenti atas apa-apa yang Al-Qur’an dan As-Sunah berhenti padanya. Dan kami berkata : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). Barangsiapa yang berpendapat selain itu, maka ia seorang Mu’aththil Jahmiy” [Ushuulus-Sunnah oleh Al-Humaidiy, hal. 42, tahqiq : Misy’aal Muhammad Al-Haddaadiy; Daar Ibn Al-Atsiir, Cet. 1/1418].

31.  Hisyam bin ‘Ubaidillah Ar Razi [meninggal tahun 221 H], Ulama Hanafiyah, murid dari Muhammad bin Al Hasan.
قال ابن أبي حاتم حدثنا علي بن الحسن بن يزيد السلمي سمعت أبي يقول سمعت هشام بن عبيد الله الرازي وحبس رجلا في التجهم فجيء به إليه ليمتحنه فقال له أتشهد أن الله على عرشه بائن من خلقه فقال لا أدري ما بائن من خلقه فقال ردوه فإنه لم يتب بعد
Ibnu Abi Hatim mengatakan, ‘Ali bin Al Hasan bin Yazid As Sulami telah menceritakan kepada kami, ia berkata, ayahku berkata, “Aku pernah mendengar Hisyam bin ‘Ubaidillah Ar Razi –ketika itu beliau menahan seseorang yang berpemikiran Jahmiyah, orang itu didatangkan pada beliau, lantas beliau pun mengujinya-. Hisyam bertanya padanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya.” Orang itu pun menjawab, “Aku tidak mengetahui apa itu terpisah dari makhluk-Nya.” Hisyam kemudian berkata, “Kembalikanlah ia karena ia masih belum bertaubat.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, hal. 169. Riwayat ini juga dikeluarkan oleh Al Haruwi dalam “Dzammul Kalam” (1/120). Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 181].

32.  Basyr Al Haafi [hidup pada tahun 151-227 H], Ulama yang Begitu Zuhud di Masanya
Disebutkan oleh Adz Dzahabi,
له عقيدة رواها ابن بطة في كتاب الإبانة وغيره فمما فيها والإيمان بأن الله على عرشه استوى كما شاء وأنه عالم بكل مكان
Basyr Al Haafi memilki pemahaman aqidah yang disebutkan oleh Ibnu Battah dalam Al Ibanah dan selainnya, di antara perkataan beliau adalah: “Beriman bahwa Allah menetap tinggi (beristiwa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang Allah kehendaki. Namun meski begitu, ilmu Allah di setiap tempat.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, hal. 172. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 185].

33.  Ahmad bin Nashr Al Khuza’i [meninggal tahun 231 H].
قال إبراهيم الحربي فيما صح عنه قال أحمد بن نصر وسئل عن علم الله فقال علم الله معنا وهو على عرشه
Ibrahim Al Harbi berkata mengenai perkataan shahih darinya, yaitu Ahmad bin Nashr berkata ketika ditanya mengenai ilmu Allah, “Ilmu Allah selalu bersama kita, sedangkan Dzat-Nya tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, hal. 173. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 186-187].

34.  Abu Ma’mar Al Qutai’iy  [meninggal tahun 236 H, Guru dari Imam Bukhari dan Imam Muslim].
نقل ابن أبي حاتم في تأليفه عن يحيى بن زكرياء عن عيسى عن أبي شعيب صالح الهروي عن أبي معمر إسماعيل بن إبراهيم أنه قال آخر كلام الجهمية أنه ليس في السماء إله
Dinukil dari Ibnu Abi Hatim dalam karyanya, dari Yahya bin Zakariya, dari ‘Isa, dari Abu Syu’aib Shalih Al Harawiy, dari Abu Ma’mar Isma’il bin Ibrahim, beliau berkata, “Akhir dari perkataan Jahmiyah: Di atas langit (atau di ketinggian) tidak ada Allah yang disembah.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, hal. 174-175. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 188].

35.  ‘Ali bin Al Madini [meninggal tahun 234 H, Imam Para Pakar Hadits].
قال شيخ الإسلام أبو إسماعيل الهروي أنبأنا محمد بن محمد بن عبد الله حدثنا أحمد بن عبد الله سمعت محمد بن إبراهيم بن نافع حدثنا الحسن بن محمد بن الحارث قال سئل علي بن المديني وأنا أسمع ما قول أهل الجماعة قال يؤمنون بالرؤية وبالكلام وأن الله عزوجل فوق السموات على عرشه استوى
Syaikhul Islam Abu Isma’il Al Harawi mengatakan, Muhammad bin Muhammad bin ‘Abdillah menceritakan kepada kami, Ahmad bin Abdillah menceritakan kepada kami, aku mendengar Muhammad bin Ibrahim bin Naafi’ mengatakan, Al Hasan bin Muhammad bin Al Harits menceritakan kepada kami, ia berkata, ‘Ali bin Al Madini ditanya dan aku pun mendengarnya, “Apa perkataan dari Ahlul Jama’ah (Ahlus Sunnah)?” ‘Ali bin Al Madini mengatakan, “Mereka (Ahlus Sunnah) beriman pada ru’yah (Allah akan dilihat), mereka beriman bahwa Allah berbicara dan Allah berada di atas langit, menetap tinggi (beristiwa’) di atas ‘Arsy-Nya.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, hal. 175. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 188-189].

36.  Ishaq bin Rahuwyah [hidup antara tahun 166-238 H, Ulama Besar Khurasan.
قال أبو بكر الخلال أنبأنا المروذي حدثنا محمد بن الصباح النيسابوري حدثنا أبو داود الخفاف سليمان بن داود قال قال إسحاق بن راهويه قال الله تعالى الرحمن على العرش استوى إجماع أهل العلم أنه فوق العرش استوى ويعلم كل شيء في أسفل الأرض السابعة
Abu Bakr Al Khallal mengatakan, telah mengabarkan kepada kami Al Maruzi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Muhammad bin Shabah An Naisaburi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Abu Daud Al Khanaf Sulaiman bin Daud. Beliau katakan, Ishaq bin Rahuwyah berkata, “Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy” [ QS. Thaha: 5]. Para ulama sepakat (berijma’) bahwa Allah berada di atas ‘Arsy dan beristiwa’ (menetap tinggi) di atas-Nya. Namun Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang terjadi di bawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi yang ketujuh.  [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghafar, hal. 179. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 194].

37.  Ishaq bin Rahuwyah,
قال حرب بن إسماعيل الكرماني قلت لإسحاق بن راهويه قوله تعالى ما يكون من نجوى ثلاثة إلا هو رابعهم كيف تقول فيه قال حيث ما كنت فهو أقرب إليك من حبل الوريد وهو بائن من خلقه
ثم ذكر عن ابن المبارك قوله هو على عرشه بائن من خلقه
ثم قال أعلى شيء في ذلك وأبينه قوله تعالى الرحمن على العرش استوى رواها الخلال في السنة عن حرب
Harb bin Isma’il Al Karmani, ia berkata bahwa ia berkata pada Ishaq bin Rahuwyah mengenai firman Allah,
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.” (QS. Al Mujadilah: 7). Bagaimanakah pendapatmu mengenai ayat tersebut?”
Ishaq bin Rahuwyah menjawab, “Dia itu lebih dekat (dengan ilmu-Nya) dari urat lehermu. Namun Dzat-Nya terpisah dari makhluk. Kemudian beliau menyebutkan perkataan Ibnul Mubarak, “Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya.”
Lalu Ishaq bin Rahuwyah mengatakan, “Ayat yang paling gamblang dan paling jelas menjelaskan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.” [ QS. Thaha: 5]
Al Khallal meriwayatkannya dalam As Sunnah dari Harb. [ Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, hal. 177. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 191].

38.  Qutaibah bin Sa’id [hidup tahun 150-240 H], Ulama Besar Khurasan.
قال أبو أحمد الحاكم وأبو بكر النقاش المفسر واللفظ له حدثنا أبو العباس السراج قال سمعت قتيبة بن سعيد يقول هذا قول الأئمة في الإسلام والسنة والجماعة نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه كما قال جل جلاله الرحمن على العرش استوى وكذا نقل موسى بن هارون عن قتيبة أنه قال نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه
Abu Ahmad Al Hakim dan Abu Bakr An Naqasy Al Mufassir (dan ini lafazh dari Abu Bakr), ia berkata, Abul ‘Abbas As Siraj telah menceritakan pada kami, ia berkata, aku mendengar Qutaibah bin Sa’id berkata, “Ini adalah perkataan para ulama besar Islam, Ahlus Sunnah wal Jama’ah:  Kami meyakini bahwa Rabb kami berada di atas langit ketujuh di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.” [QS. Thaha: 5]. [ Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, hal. 174. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 187].

38.  Begitu pula dinukil dari Musa bin Harun dari Qutaibah, ia berkata,
نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه
“Kami meyakini bahwa Rabb kami berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, hal. 174. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 187].

39.  Al Imam Al ‘Alam Abu Muhammad ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Ad Dainuri [hidup pada tahun 213-276 H]–penulis kitab yang terkenal yaitu Mukhtalaf Al Hadits- berkata,
قال وفي الإنجيل أن المسيح عليه السلام قال للحواريين إن أنتم غفرتم للناس فإن أباكم الذي في السماء يغفر لكم ظلمكم أنظروا إلى الطير فإنهن لا يزرعن ولا يحصدن وأبوكم الذي في السماء هو يرزقهن ومثل هذا في الشواهد كثير قلت قوله أبوكم كانت هذه الكلمة مستعملة في عبارة عيسى والحواريين وفي المائدة وقالت اليهود والنصارى نحن أبناء الله وأحباؤه
“Disebutkan dalam Injil bahwa Al Masih (‘Isa bin Maryam) ‘alaihis salam berkata kepada (murid-muridnya yang setia) Al Hawariyyun, “Jika kalian memaafkan orang lain, sungguh Rabb kalian yang berada di atas langit akan mengampuni kezholiman kalian. Lihatlah pada burung-burung, mereka tidak menanam makanan, Rabb mereka-lah yang berada di langit yang memberi rizki pada mereka.” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 196 dan Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 216-217. Catatan: Istilah “abukum” (ayah kalian) untuk menyebut Allah yang digunakan di masa Isa dan sudah tidak berlaku lagi untuk umat Islam. Demikian dijelaskan oleh Adz Dzahabi].

40.  Qutaibah berkata dalam kitabnya Takwiil Mukhtalaf al-Hadiits (tahqiq Muhammad Muhyiiddin Al-Ashfar, cetakan keduan dari Al-Maktab Al-Islaami) :
“Seluruh umat –baik arab maupun non arab- mereka berkata bahwasanya Allah di langit selama mereka dibiarkan di atas fitrah mereka dan tidak dipindahkan dari fitrah mereka tersebut dengan pengajaran.”  [Takwiil Mukhtalafil Hadiits 395].

Adz Dzahabi setelah membawakan perkataan Qutaibah, beliau mengatakan, “Inilah Qutaibah sudah dikenal kebesarannya dalam ilmu dan kejujurannya, beliau menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) mengenai keyakinan Allah di atas langit”. [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, hal. 174. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 187].

41.  Muhammad bin Aslam Ath Thusi [meninggal dunia tahun 242 H].
قال الحاكم في ترجمته حدثنا يحيى العنبري حدثنا أحمد بن سلمة حدثنا محمد بن أسلم قال قال لي عبد الله بن طاهر بلغني أنك لا ترفع رأسك إلى السماء فقلت ولم وهل أرجو الخير إلا ممن هو في السماء
Al Hakim dalam biografinya mengatakan, Yahya Al ‘Anbari menceritakan pada kami, Ahmad bin Salamah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Aslam menceritakan kepada kami, beliau berkata, “’Abdullah bin Thahir berkata padaku, “Telah sampai padaku berita bahwa engkau enggan mengangkat kepalamu ke arah langit.” Muhammad bin Aslam menjawab, “Tidak demikian. Bukankah aku selalu mengharap kebaikan dari Rabb yang berada di atas langit?” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 191 dan Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 208-209].

42.  ‘Abdul Wahhab Al Warraq [meninggal dunia tahun 250 H].
حدث عبد الوهاب بن عبد الحكيم الوراق بقول ابن عباس ما بين السماء السابعة إلى كرسيه سبعة آلاف نور وهو فوق ذلك  ثم قال عبد الوهاب من زعم أن الله ههنا فهو جهمي خبيث إن الله عزوجل فوق العرش وعلمه محيط بالدنيا والآخرة
‘Abdul Wahhab bin ‘Abdil Hakim Al Warraq menceritakan perkataan Ibnu ‘Abbas, “Di antara langit yang tujuh dan kursi-Nya terdapat 7000 cahaya. Sedangkan Allah berada di atas itu semua.” Kemudian ‘Abdul Wahhab berkata, “Barangsiapa yang mengklaim bahwa Allah itu di sini (di muka bumi ini), maka Dialah Jahmiyah yang begitu jelek. Allah ‘azza wa jalla  berada di atas ‘Arsy, sedangkan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu di dunia dan akhirat.”
Adz Dzahabi menceritakan, bahwa pernah ditanya pada Imam Ahmad bin Hambal, “Alim mana lagi yang jadi tempat bertanya setelah engkau?” Lantas Imam Ahmad menjawab, “Bertanyalah pada ‘Abdul Wahhab bin Al Warraq”. Beliau pun banyak memujinya. [Lihat Al ‘Uluw, hal. 193 dan Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 212].

43.  Abu Muhammad Ad Darimi, penulis kitab Sunan Ad Darimi [hidup pada tahun 181-255 H].
Adz Dzahabi mengatakan,
وممن لا يتأول ويؤمن بالصفات وبالعلو في ذلك الوقت الحافظ أبو محمد عبد الله بن عبد الرحمن السمرقندي الدارمي وكتابه ينبيء بذلك
“Di antara ulama yang tidak mentakwil (memalingkan makna) dan benar-benar beriman dengan sifat Allah al ‘Uluw (yaitu Allah berada di ketinggian) saat ini adalah Al Hafizh Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman As Samarqindi Ad Darimi. Dalam kitab beliau menjelaskan hal ini.” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 195 dan Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 214].

44.  Harb Al Karmaniy [meninggal dunia pada tahun 270-an H],
قال عبد الرحمن بن محمد الحنظلي الحافظ أخبرني حرب بن إسماعيل الكرماني فيما كتب إلي أن الجهمية أعداء الله وهم الذين يزعمون أن القرآن مخلوق وأن الله لم يكلم موسى ولا يرى في الآخرة ولا يعرف لله مكان وليس على عرش ولا كرسي وهم كفار فأحذرهم
‘Abdurrahman bin Muhammad Al Hanzhali Al Hafizh berkata, Harb bin Isma’il Al Karmani menceritakan padaku terhadap apa yang ia tulis padaku, “Sesungguhnya Jahmiyah benar-benar musuh Allah. Mereka mengklaim bahwa Al Qur’an itu makhluk. Allah tidak berbicara dengan Musa dan juga tidak dilihat di akhirat. Mereka sungguh tidak  tahu tempat Allah di mana, bukan di atas ‘Arsy, bukan pula di atas kursi-Nya. Mereka sungguh orang kafir. Waspadalah terhadap pemikiran sesat mereka.”
Adz Dzahabi mengatakan bahwa Harb Al Karmani adalah seorang ulama besar di daerah Karman di zamannya. Ia mengambil ilmu dari Ahmad dan Ishaq. [Lihat Al ‘Uluw, hal. 194 dan Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 213].

45.  Al Muzanni [meninggal dunia pada tahun 264 H dalam usia 80-an tahun].
أنبأنا ابن سلامة عن أبي جعفر الطرطوسي عن يحيى بن منده حدثنا أحمد بن الفضل أنبأ الياطرقاني سمعت أبا عمر السلمي سمعت أبا حفص الرفاعي سمعت عمرو بن تميم المكي قال سمعت محمد بن إسماعيل الترمذي سمعت المزني يقول لا يصح لأحد توحيد حتى يعلم أن الله على العرش بصفاته  قلت مثل أي شيء قال سميع بصير عليم قدير أخرجها ابن منده في تاريخه
Ibnu Salamah telah menceritakan pada kami, dari Abu Ja’far Ath Thurthusi, dari Yahya bin Mandah, Ahmad bin Al Fadhl telah menceritakan kepada kami, Al Yathuqarni telah menceritakan, aku mendengar ‘Umar As Sulami, aku mendengar Abu Hafsh Ar Rifa’i, aku mendengar ‘Amr bin Tamim Al Makki, ia berkata, aku mendengar Muhammad bin Isma’il At Tirmidzi, aku mendengar Al Muzanni berkata,
لا يصح لأحد توحيد حتى يعلم أن الله على العرش بصفاته
“Ketauhidan seseorang tidaklah sah sampai ia mengetahui bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-nya dengan sifat-sifat-Nya.” Aku pun berkata, “Sifat-sifat yang dimaksud semisal apa?” Ia berkata, “Sifat mendengar, melihat, mengetahui dan berkuasa atas segala sesuatu.” Ibnu Mandah mengeluarkan riwayat ini dalam kitab tarikhnya. [Syaikh Al Albani mengatakan, “Dari jalur yang dibawakan oleh penulis (Adz Dzahabi) dengan sanadnya terdapat perawi yang tidak aku kenal semisal ‘Amr bin Tamim Al Makki.” (Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 201)].

46.  Muhammad bin Yahya Adz Dzuhliy [meninggal dunia pada tahun 258 H].
قال الحاكم قرأت بخط أبي عمرو المستملي سئل محمد بن يحيى عن حديث عبد الله بن معاوية عن النبي ليعلم العبد أن الله معه حيث كان فقال يريد أن الله علمه محيط بكل ما كان والله على العرش
Al Hakim berkata, “Aku membacakan dengan tulisan pada Abu ‘Amr Al Mustahli, Muhammad bin Yahya ditanya mengenai hadits ‘Abdullah bin Mu’awiyah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ليعلم العبد أن الله معه حيث كان
“Supaya hamba mengetahui bahwa Allah bersama dirinya di mana saja ia berada.”
Lantas Adz Dzuhliy mengatakan,
أن الله علمه محيط بكل ما كان والله على العرش
“Ketahuilah ilmu Allah itu meliputi segala sesuatu, namun Allah tetap di atas ‘Arsy-Nya.” [Syaikh Al Albani mengatakan, “Riwayat ini dibawakan oleh penulis dari Muhammad bin Nu’aim, aku sendiri tidak mengenalnya.”  (Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 202)].

47.  Muhammad bin Isma’il Al Bukhari [hidup dari tahun 194-256 H].
قال الإمام أبو عبد الله محمد بن إسماعيل في آخر الجامع الصحيح في كتاب الرد على الجهمية باب قوله تعالى وكان عرشه على الماء قال أبو العالية استوى إلى السماء إرتفع  وقال مجاهد في استوى علا على العرش  وقالت زينب أم المؤمنين رضي الله عنها زوجني الله من فوق سبع سموات
Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il Al Bukhari berkata dalam akhir Al Jaami’ Ash Shahih dalam kitab bantahan kepada Jahmiyah, beliau membawakan Bab firman Allah Ta’ala,
وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
“Dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air.” (QS. Hud : 7).
Abul ‘Aliyah mengatakan bahwa maksud dari ‘istiwa’ di atas langit’ adalah naik. Mujahid mengatakan bahwa istiwa’ adalah menetap tinggi di atas ‘Arsy. Zainab Ummul Mukminin mengatakan, “Allah yang berada di atas langit ketujuh yang telah menikahkanku.” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 186 dan Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 202].

48.  Abu Zur’ah Ar Razi [meninggal tahun 264 H].
قال أبو إسماعيل الأنصاري مصنف ذم الكلام وأهله أنبا أبو يعقوب القراب أنبأنا جدي سمعت أبا الفضل إسحاق حدثني محمد ابن إبراهيم الأصبهاني سمعت أبا زرعة الرازي وسئل عن تفسير الرحمن على العرش استوى فغضب وقال تفسيره كما تقرأ  هو على عرشه وعلمه في كل مكان من قال غير هذا فعليه لعنة الله
Abu Isma’il Al Anshari –penulis Dzammul Kalam wa Ahlih-, Abu Ya’qub Al Qurab menceritakan, kakekku menceritakan pada kami, aku mendengar Abul Fadhl Ishaq, Muhammad bin Ibrahim Al Ash-bahani telah menceritakan padaku, aku mendengar Abu Zur’ah Ar Razi ditanya mengenai tafsir firman Allah,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah yang menetap tinggi di atas ‘Arsy .” (QS. Thaha : 5). Beliau lantas marah. Kemudian beliau pun berkata, “Tafsirnya sebagaimana yang engkau baca. Allah di atas ‘Arsy-Nya sedangkan ilmu Allah yang berada di mana-mana. Siapa yang mengatakan selain ini, maka dialah yang akan mendapat laknat Allah.” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 187-188 dan Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 203].

49.  Ahmad bin Abul Khair telah menceritakan kepada kami, dari Yahya bin Yunus, Abu Thalib menceritakan pada kami, Abu Ishaq Al Barmaki telah menceritakan pada kami, ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz telah menceritakan pada kami, ia berkata bahwa ‘Abdurrahman bin Abu Hatim telah menceritakan pada kami, bahwa dia bertanya pada ayahnya dan Abu Zur’ah mengenai aqidah Ahlus Sunnah dalam ushuluddin dan apa yang dipahami oleh keduanya mengenai perkataan para ulama di berbagai negeri dan apa saja keyakinan mereka.

Abu Hatim dan Abu Zur’ah berkata,
“Yang kami ketahui bahwa ulama di seluruh negeri di Hijaz, ‘Iraq, Mesir, Syam, Yaman; mereka semua meyakini bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala berada di atas ‘Arsy-nya, terpisah dari makhluk-Nya sebagaimana yang Allah sifati pada diri-Nya sendiri dan tanpa kita ketahui hakikatnya. Sedangkan ilmu Allah meliputi segala sesuatu.” [ Lihat Al ‘Uluw, hal. 188 dan Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 204].

50.  Abu Hatim Ar Razi [meninggal dunia tahun 277 H].
قال الحافظ أبو القاسم الطبري وجدت في كتاب أبي حاتم محمد بن إدريس بن المنذر الحنظلي مما سمع منه يقول مذهبنا وإختيارنا إتباع رسول الله وأصحابه والتابعين من بعدهم والتمسك بمذاهب أهل الأثر مثل الشافعي وأحمد وإسحاق وأبي عبيد رحمهم الله تعالى ولزوم الكتاب والسنة ونعتقد أن الله عزوجل على عرشه بائن من خلقه ليس كمثله شيء وهو السميع البصير
Al Hafizh Abul Qasim Ath Thabari mengatakan bahwa beliau mendapati dalam kitab Abu Hatim Muhammad bin Idris bin Al Mundzir Al Hanzhali, perkataan yang didengar darinya, Abu Hatim mengatakan,
“Pilihan kami adalah mengikuti Rasulullah, para sahabat, para tabi’in dan yang setelahnya. Kami pun berpegang dengan madzhab Ahlus Sunnah semacam Asy Syafi’i, Ahmad , Ishaq, Abu ‘Abdillah rahimahumullah. Kami pun konsekuen dengan Al Kitab dan As Sunnah. Kami meyakini bahwa Allah ‘azza wa jalla menetap tinggi di atas ‘Arsy, terpisah dari makhluk-Nya. Tidak ada yang semisal dengan-Nya, Dialah (Allah) yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Lantas Abu Hatim Ar Razi menyebutkan perkataan,
وعلامة أهل البدع الوقيعة في أهل الأثر وعلامة الجهمية أن يسموا أهل السنة مشبهة
“Di antara tanda ahlul bid’ah adalah berbagai tuduhan keliru yang mereka sematkan pada Ahlus Sunnah. Tanda Jahmiyah adalah mereka menyebut Ahlus Sunnah dengan musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk).” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 189-190 dan Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 206-207].

51.  Yahya bin Mu’adz Ar Razi [meninggal dunia tahun 258 H].
قال أبو إسماعيل الأنصاري في الفاروق بإسناد إلى محمد بن محمود سمعت يحيى بن معاذ يقول إن الله على العرش بائن من خلقه أحاط بكل شيء علما لا يشذ عن هذه المقالة إلا جهمي يمزج الله بخلقه
Abu Isma’il Al Anshari berkata dalam Al Faruq dengan sanad sampai ke Muhammad bin Mahmud, aku mendengar Yahya bin Mu’adz berkata, “Sesungguhnya Allah di atas ‘Arsy, terpisah dari makhluk-Nya. Namun ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Tidak ada yang memiliki perkataan nyleneh selain Jahmiyah. Jahmiyah meyakini bahwa Allah bercampur dengan makhluk-Nya.” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 190 dan Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 207-208].

52.  Imam ‘Utsman bin Sa’id Ad-Darimi [meninggal tahun 280 H] berkata :
قد اتفقت الكلمة من المسلمين أن الله فوق عرشه فوق سماواتة
“Sungguh kaum muslimin telah bersepakat terhadap satu kalimat bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, di atas langit-langit-Nya”.  [Al-Arba’iin fii Shifaati Rabbil-‘Aalamiin oleh Adz-Dzahabiy, tahqiq ‘Abdul-Qaadir Athaa, hal. 43 no. 17; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 1/1413].

53.  Imam ‘Utsman bin Sa’id ad-Darimi berkata:  “Hadits ini (tentang hadits nuzul) sangat pahit bagi kelompok Jahmiyah dan mematahkan faham mereka bahwa Allah tidak di atas arsy tetapi di bumi sebagaimana Dia juga di langit. Lantas bagaimanakah Allah turun ke bumi kalau memang Dia sendiri sudah di atas bumi? Sungguh lafazh hadits ini membantah faham mereka dan mematahkan argumen mereka”. [Naqdhu Utsman bin Sa’id ‘ala Al-Mirrisi Al-Jahmi Al-Anid hal. 285].

54.  Imam ‘Utsman ad-Darimi berkata: “Dalam hadits ini (tentang budak jariyah) terdapat dalil bahwa seorang apabila tidak mengetahui kalau Allah itu di atas langit bukan di bumi maka dia bukan seorang mukmin. Apakah anda tidak tahu bahwa Nabi menjadikan tanda keimanannya adalah pengetahuannya bahwa Allah di atas langit?!! Dan dalam pertanyaan Nabi ‘Di mana Allah?’ terdapat bantahan ucapan sebagian kalangan yang mengatakan bahwa Allah berada di setiap tempat, tidak disifati dengan ‘di mana?’, sebab sesuatu yang ada di mana-mana tidak mungkin disifati ‘dimana?’. Seandainya Allah ada dimana-mana sebagaimana anggapan para penyimpang, tentu Nabi akan mengingkari jawabannya.”. [Ar-Radd ala Jahmiyyah hal. 46-47].

55.  Imam Utsman ad-Darimi berkata:  “Dan telah sepakat perkataan kaum muslimin dan orang-orang kafir bahwasanya Allah berada di langit, dan mereka telah menjelaskan Allah dengan hal itu (yaitu bahwasanya Allah berada di atas langit -pent) kecuali Bisyr Al-Marrisi yang sesat dan para sahabatnya. Bahkan anak-anak yang belum dewasa merekapun mengetahui hal ini, jika seorang anak kecil tersusahkan dengan sesuatu perkara maka ia mengangkat kedua tangannya ke Rabb-Nya berdoa kepadaNya di langit, dan tidak mengarahkan tangannya ke arah selain langit. Maka setiap orang lebih menetahui tentang Allah dan dimana Allah daripada Jahmiyah.” [Rad Ad-Darimi Utsmaan bin Sa’iid  alaa Bisyr Al-Mariisi Al-’Aniid Hal 25].

56.  Abu Ja’far Ibnu Abi Syaibah, Ulama Hadits di Negeri Kufah [meninggal tahun 297 H].
Al Hafizh Abu Ja’far Muhammad bin ‘Utsman bin Muhammad bin Abi Syaibah Al ‘Abasi, muhaddits Kufah di masanya, di mana beliau telah menulis tentang masalah ‘Arsy dalam seribu kitab, beliau berkata,
ذكروا أن الجهمية يقولون ليس بين الله وبين خلقه حجاب وأنكروا العرش وأن يكون الله فوقه وقالوا إنه في كل مكان ففسرت العلماء وهومعكم يعني علمه ثم تواترت الأخبار أن الله تعالى خلق العرش فاستوى عليه فهو فوق العرش متخلصا من خلقه بائنا منهم
Jahmiyah berkata bahwa antara Allah dan makhluk-Nya sama sekali tidak ada pembatas. Jahmiyah mengingkari ‘Arsy dan mengingkari keberadaan Allah di atas ‘Arsy. Jahmiyah katakan bahwa Allah berada di setiap tempat. Padahal para ulama menafsirkan ayat (وهومعكم), Allah bersama kalian, yang dimaksud adalah dengan ilmu Allah. Kemudian juga telah ada berbagai berita mutawatir (yang melalui jalan yang amat banyak) bahwa Allah menciptakan ‘Arsy, lalu beristiwa’ (menetap tinggi) di atasnya. Allah benar-benar di atas  ‘Arsy, namun Allah terpisah atau tidak menyatu dengan makhluk-Nya. [Lihat Al ‘Uluw, hal. 220 dan Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 220-221].

57.  Zakariyaa As-Saaji (wafat tahun 307 H).
Beliau berkata :
القول في السنة التي رأيت عليها أصحابنا أهل الحديث الذين لقيناهم أن الله تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء”.
“Perkataan tentang sunnah yang aku lihat merupakan perkataan para sahabat kami –dari kalangan Ahlul Hadits yang kami jumpai- bahwasanya Allah ta’aala di atas ‘arsyNya di langit, Ia dekat dengan makhluknya sesuai dengan yang dikehendakiNya.”
(Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1203 no 482).
Adz-Dzahabi berkata : As-Saji adalah syaikh dan hafizhnya kota Al-Bashrah dan Abul Hasan Al-Asy’ari mengambil ilmu hadits dan aqidah Ahlus Sunnah darinya (Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1203 dan Ijtimaa’ Al-Juyuusy Al-Islaamiyah li Ibnil Qayyim hal 185).

58.  Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (223 H-311 H).
Beliau berkata dalam kitabnya At-Tauhiid :
“Bab : Penyebutan penjelasan bahwasanya Allah Azza wa Jalla di langit:
Sebagaimana Allah kabarkan kepada kita dalam Al-Qur’an dan melalui lisan NabiNya –’alaihis salaam- dan sebagaimana hal ini dipahami pada fitrah kaum muslimin, dari kalangan para ulama mereka dan orang-orang jahilnya mereka, orang-orang merdeka dan budak-budak mereka, para lelaki dan para wanita, orang-orang dewasa dan anak-anak kecil mereka. Seluruh orang yang berdoa kepada Allah jalla wa ‘alaa hanyalah mengangkat kepalanya ke langit dan menjulurkan kedua tangannya kepada Allah, ke arah atas dan bukan kearah bawah” [At-Tauhiid 1/254].

59.  Berkata Muhammad bin Ishaq ibnu Khuzaimah: “Barangsiapa yang tidak mengatakan bahwa Allah Azza wa Jalla di atas ‘Arsy-Nya, tinggi di atas tujuh lapis langit, maka dia kafir kepada Rabb-nya; halal darahnya, diminta taubat kalau mau bertaubat; kalau tidak mau bertaubat, maka dipenggal lehernya, dibuang jasadnya ke tempat-tempat pembuangan sampah agar tidak mengganggu kaum muslimin dan para mu’ahad dengan busuknya bau bangkai mereka. Hartanya menjadi fa’i (rampasan perang untuk baitul maal). Tidak boleh mewarisinya seorang pun dari kaum muslimin, karena seorang muslim tidak mewarisi dari seorang kafir sebagaimana ucapan Nabi yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid :
“Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim”. (HR. Bukhari Muslim). [Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 47].

60.  Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Ath Thahawi rahimahullah [wafat tahun 321 H].
Beliau berkata:  “Allah tidak membutuhkan ‘Arsy dan apa yang ada dibawahnya. Allah menguasai segala sesuatu dan apa yang ada diatasnya. Dan Dia tidak memberi kemampuan kepada makhluk-Nya untuk mengetahui segala sesuatu.” Beliau menjelaskan bahwa Allah menciptakan ‘Arsy dan bersemayam di atasnya, bukanlah karena Allah membutuhkan ‘Arsy tetapi Allah memiliki hikmah tersendiri tentang hal itu. Bahkan sebaliknya, sekalian makhluk termasuk ‘Arsy bergantung kepada Allah Jalla wa ‘Ala.” [Lihat Imam al-Qadhi ‘Ali bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdil ‘Izz ad-Dimasyqi dalam Syarh ‘Aqidah at-Thahâwiyah, (hal. 372)].

61.  Imam Abul Hasan Al-’Asy’ari rahimahullah [lahir tahun 260 H dan wafat pada tahun 324 H].
Beliau berkata dalam kitabnya Risaalah ila Ahli Ats-Tsagr:
Ijmak kesembilan :
Dan mereka (para salaf) berkonsensus (ijmak) bahwasanya Allah ta’aala di atas langit, diatas arsyNya bukan di bumi. Hal ini telah ditunjukan oleh firman Allah,
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu (QS Al-Mulk : 16).
Dan Allah berfirman
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (QS Faathir : 10).
Dan Allah berfirman
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى‏
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa di atas Arasy.” (QS. Thâhâ;5).
Dan bukanlah istiwaa’nya di atas arsy maknanya istiilaa’ (menguasai) sebagaimana yang dikatakan oleh qadariah (Mu’tazilah-pent), karena Allah Azza wa Jalla selalu menguasai segala sesuatu. Dan Allah mengetahui yang tersembunyi dan yang lebih samar dari yang tersembunyi, tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi yang tersembunyi bagi Allah, hingga seakan-akan Allah senantiasa hadir bersama segala sesuatu. Hal ini telah ditunjukan oleh Allah Azza wa Jalla dengan firmanNya,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
Dia bersama kamu dimana saja kamu berada (QS Al-Hadiid : 4).
Para ahlul ilmi menafsirkan hal ini dengan ta’wil yaitu bahwasanya ilmu Allah meliputi mereka di mana saja mereka berada” [Risaalah ilaa Ahli Ats-Tsagr 231-234].

62.  Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy malah bersaksi bahwa ciri ahlussunnah adalah sebagai berikut:  “Berkata Ahlussunnah dan Ashhab al-Hadits: “Dia bukan jisim, tidak menyerupai apapun, Dia ada di atas Arsy seperti yang Dia kabarkan (Thaha: 5). Kita tidak melancangi Allah dalam ucapan, tetapi kita katakan: istawa tanpa kaif. Dia adalah Nur (pemberi cahaya) sebagaimana firmann-Nya (an-Nur: 35), Dia memiliki wajah sebagaimana firman-Nya (al-Rahman: 27), Dia memiliki Yadain (dua tangan) sebagaimana firman-Nya (Shad: 75), dia memiliki dua ‘ain (mata) sebagaimana firmanNya (al-Qamar: 14), Dia akan datang pada hari kiamat Dia dan para malaikat-Nya sebagaiman firman-Nya (al-Fajr: 22), dia turun ke langit terendah sebagaimana dalam hadits. Mereka tidak mengatakan apapun kecuali apa yang mereka dapatkan dalam al-Qur`an atau yang datang keterangannya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.” [Al Maqalat: 136].

63.  Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkomentar tentang ‘aqidah Jahmiyyah yang satu ini dengan perkataannya :
وقد قال قائلون من المعتزلة والجهمية والحرورية : إن معنى استوى إستولى وملك وقهر، وأنه تعالى في كل مكان، وجحدوا أن يكون على عرشه، كما قال أهل الحق، وذهبوا في الإستواء إلى القدرة، فلو كان كما قالوا كان لا فرق بين العرش وبين الأرض السابعة لأنه قادر على كل شيء، والأرض شيء، فالله قادر عليها وعلى الحشوش.
وكذا لو كان مستويا على العرش بمعنى الإستيلاء، لجاز أن يقال : هو مستو على الأشياء كلها ولم يجز عند أحد من المسلمين أن يقول : إن الله مستو على الأخلية والحشوش، فبطل أن يكون الإستواء [على العرش] : الإستيلاء.
“Dan telah berkata orang-orang dari kalangan Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah (Khawarij) : ‘Sesungguhnya makna istiwaa’ adalah menguasai (istilaa’), memiliki, dan mengalahkan. Allah ta’ala berada di setiap tempat’. Mereka mengingkari keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul-Haq (Ahlus-Sunnah). Mereka (Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah) memalingkan (mena’wilkan) makna istiwaa’ kepada kekuasaan/kemampuan (al-qudrah). Jika saja hal itu seperti yang mereka katakan, maka tidak akan ada bedanya antara ‘Arsy dan bumi yang tujuh, karena Allah berkuasa atas segala sesuatu. Bumi adalah sesuatu, dimana Allah berkuasa atasnya dan atas rerumputan.
Begitu juga apabila istiwaa’ di atas ‘Arsy itu bermakna menguasai (istilaa’), maka akan berkonsekuensi untuk membolehkan perkataan : ‘Allah ber-istiwaa’ di atas segala sesuatu’. Namun tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang membolehkan untuk berkata : ‘Sesungguhnya Allah ber-istiwaa’ di tanah-tanah kosong dan rerumputan’. Oleh karena itu, terbuktilah kebathilan perkataan bahwa makna istiwaa’ (di atas ‘Arsy) adalah istilaa’ (menguasai)” [selengkapnya, silakan lihat Al-Ibaanah, hal. 34-37 – melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabiy oleh Al-Albaaniy, hal. 239; Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 1/1401 H].

64.  Al Imam Abul Hasan Al-Asy’ari berkata dalam Al-Ibanah fi Ushul Diyanah hal. 69-76 : “Dan kita melihat seluruh kaum muslimin apabila mereka berdoa, mereka mengangkat tangannya ke arah langit, karena memang Allah tinggi di atas arsy dan arsy di atas langit. Seandainya Allah tidak berada di atas arsy, tentu mereka tidak akan mengangkat tangannya ke arah arsy.”

65.  Al-Qaadhiy Abu Bakr Al-Baqillaniy (beliau adalah seorang ulama madzhab Asy’ariyyah generasi awal yang terkemuka dan banyak dipuji, wafat pada tahun 403 H di Baghdad).
Beliau berkata dalam kitabnya Al-Ibaanah :
“Jika dikatakan : Apakah kalian mengatakan bahwa Allah berada dimana-mana?, dikatakan : Kita berlindung kepada Allah (dari perkataan ini-pent). Akan tetapi Allah beristiwa di atas ‘arsy-Nya sebagaimana Allah kabarkan dalam kitabNya “ArRahman  di atas ‘arsy beristiwaa”, dan Allah berfirman “Kepada-Nyalah naik perkatan-perkataan yang baik”, dan Allah berfirman “Apakah kalian merasa aman dari Allah yang berada di atas?”
Beliau berkata, “Kalau seandainya Allah di mana-mana maka Allah akan berada di perut manusia, di mulutnya, …”
[Sebagaimana dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-’Uluw 2/1298 (Mukhtashar Al-’Uluw 258)].
 66.  Al-Qaadhiy Abu Bakr Al-Baqillaniy berkata :
Bab : Apabila ada seseorang yang bertanya : “Dimanakah Allah ?”. Dikatakan kepadanya : “Pertanyaan ‘dimana’ adalah pertanyaan yang menyangkut tempat, dan Dia tidak boleh dilingkupi oleh satu tempat. Tidak pula satu tempat bisa meliputi-Nya. Namun, kita hanya boleh mengatakan (atas pertanyaan itu) : ‘Dia berada di atas ‘Arsy-Nya’, dimana hal itu tidak berkonsekuensi makna wujud badan (jism) yang bersentuhan dan berbatasan/berdekatan. Maha Tinggi (Allah) dari atas semua itu dengan setinggi-tinggi dan seagung-agung-Nya !” [At-Tamhiid, hal. 300-301].

67.  Ibnu Kullab [241 H] sendiri mengatakan:  “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, yang dia itu adalah orang pilihan Allah, dan yang terbaik, paling alim secara keseluruhan membolehkan untuk bertanya dengan “Dimana Allah”, dan mengatakannya serta membenarkan ucapan orang yang mengatakan: Di langit, dan pada saat itu bersaksi bahwa orang itu mukmin. Sedangkan Jahm ibn Abi Shafwan dan pengikutnya tidak membolehkan pertanyaan “Dimana“, mereka melarang mengucapkan itu. seandainya salah tentu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam lebih berhak untuk mengingkari. Seharusnya beliau mengatakan kepada jariyah itu: jangan berkata begitu nanti kamu mengesankan bahwa Allah itu dibatasi, atau di satu tempat tidak di tempat lain, tetapi ucapkanlah ada di setiap tempat, karena itu yang benar, bukan yang tadi kamu katakan. Tidak, sekali kali tidak. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah membolehkannya dengan segenap pengetahuan beliau tentang kandungannya, dan dia adalah ucapan yang paling benar, sesuatu yang wajib adanya iman bagi pengucapnya, karena itu rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menyaksikan keimanannya saat ia mengucapkannya. Lalu bagaimana kebenaran ada pada selainnya, sementara al-Qur`an mengatakan itu dan bersaksi untuk itu.” [Dar` at-Ta’arud: 6/193-194; Mawqif ibn taimiah minal asyairah, Dr. Abdurrahman al-Mahmud: 1/443].

68.  Al-Imam Ibnu Baththah (304 H-387 H).
Beliau berkata dalam kitabnya Al-Ibaanah ‘an Syarii’at Al-Firqah An-Naajiyah :
باب الإيمان بأن الله على عرشه بائن من خلقه وعلمه محيط بخلقه
أجمع المسلمون من الصحابة والتابعين وجميع أهل العلم من المؤمنين أن الله تبارك وتعالى على عرشه فوق سمواته بائن من خلقه وعلمه محيط بجميع خلقه
ولا يأبى ذلك ولا ينكره إلا من انتحل مذاهب الحلولية وهم قوم زاغت قلوبهم واستهوتهم الشياطين فمرقوا من الدين وقالوا : إن الله ذاته لا يخلو منه مكان”. انتهى
“Bab Beriman Bahwa Allah di atas ‘Arsy, ‘Arsy adalah makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi Makhluk-Nya”
Kaum muslimin dari para sahabat, tabiin dan seluruh ulama kaum mukminin telah bersepakat bahwa Allah -tabaraka wa ta’ala- di atas ‘arsy-Nya di atas langit-langit-Nya yang mana ‘arsy merupakan Makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi seluruh makhluknya. Tidaklah menolak dan mengingkari hal ini kecuali penganut aliran hululiyah, mereka itu adalah kaum yang hatinya telah melenceng dan setan telah menarik mereka sehingga mereka keluar dari agama, mereka mengatakan, “Sesungguhnya Dzat Allah Berada dimana-mana.” (al-Ibaanah 3/136).
Adz Dzahabi berkata, “Ibnu Baththah termasuk Pembesarnya Para Imam, Seorang yang Zuhud, Faqih, pengikut sunnah.” (Al-’uluw li Adz-Dzahabi 2/1284).

69.   Imam Abu Umar At-Thalamanki Al Andalusi (339-429H).
Beliau berkata di dalam kitabnya: Al Wushul ila Ma’rifatil Ushul,
أجمع المسلمون من أهل السنة على أن معنى قوله : “وهو معكم أينما كنتم” . ونحو ذلك من القرآن : أنه علمه ، وأن الله تعالى فوق السموات بذاتـه مستو على عرشه كيف شاء
وقال: قال أهل السنة في قوله :الرحمن على العرش استوى:إن الاستواء من الله على عرشه على الحقيقة لا على المجاز.”.
“Kaum Muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah telah bersepakat (ijmak) bahwa makna firman-Nya: “Dan Dia bersama kalian di manapun kalian berada” (QS. Al Hadid 4) dan ayat-ayat Al Qur’an yg semisal itu adalah Ilmu-Nya. Allah ta’ala di atas langit dengan Dzat-Nya, ber-istiwa di atas ‘arsy-Nya sesuai kehendak-Nya”
70.  Imam Abu Umar At-Thalamanki Al Andalusi juga mengatakan, “Ahlussunah berkata tentang firman Allah, “Tuhan yang Maha Pemurah, yang ber-istiwa di atas ‘Arsy” (QS Thaahaa : 5), bahwasanya ber-istiwa-nya Allah di atas Arsy adalah benar adanya bukan majaz.” (Sebagaimana dinukil oleh Ad-Dzahabi dalam Al-’Uluw 2/1315).
Imam Adz Dzahabi berkata, “At-Thalamanki termasuk pembesar para Huffazh dan  para imam dari para qurraa` di Andalusia” (Al-’Uluw 2/1315).

71.  Syaikhul Islam Abu Utsman Ash Shabuni (372 – 449H).
Beliau berkata, “Para Ahli Hadits berkeyakinan dan bersaksi bahwa Allah di atas langit yang tujuh di atas ‘arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Al Kitab(Al Qur’an)….
Para ulama dan pemuka umat dari generasi salaf tidak berselisih bahwasanya Allah di atas ‘arsy-Nya dan ‘arsy-Nya berada di atas langit-Nya.” (Aqidatus Salaf wa Ashaabil hadiits hal 44).
Adz Dzahabi berkata, “Syaikhul Islam Ash Shabuni adalah seorang yang faqih, ahli hadits, dan sufi pemberi wejangan. Beliau adalah Syaikhnya kota Naisaburi di zamannya” (Al-’Uluw 2/1317).

72.  Imam Abu Nashr As-Sijzi  (meninggal pada tahun 444 H).
Berkata Adz-Dzahabi (Siyar A’laam An-Nubalaa’ 17/656) : Berkata Abu Nashr As-Sijzi di kitab al-Ibaanah, “Adapun para imam kita seperti Sufyan Ats Tsauri, Malik, Sufyan Ibnu Uyainah, Hammaad bin Salamah, Hammaad bin Zaid, Abdullah bin Mubaarak, Fudhail Ibnu ‘Iyyaadh, Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Ibrahim al Handzali bersepakat (ijmak) bahwa Allah -Yang Maha Suci- dengan Dzat-Nya berada di atas ‘Arsy dan ilmu-Nya meliputi setiap ruang, dan Dia di atas  ‘arsy kelak akan dilihat pada hari kiamat oleh pandangan, Dia akan turun ke langit dunia, Dia murka dan ridha dan berbicara sesuai dengan kehendak-Nya”. Adz-Dzahabi juga menukil perkataan ini dalam Al-’Uluw 2/1321.

73.  Imam Abu Nu’aim -Pengarang Kitab al Hilyah-(336-430 H).
Beliau berkata di kitabnya al I’tiqad :
“Jalan kami adalah jalannya para salaf yaitu pengikut al Kitab dan As Sunnah serta ijmak ummat. Di antara hal-hal yang menjadi keyakinan mereka adalah Allah senantiasa  Maha Sempurna dengan seluruh sifat-Nya yang qadiimah…
dan mereka menyatakan dan menetapkan hadits-hadits yang telah valid (yang menyebutkan) tentang ‘arsy dan istiwa`nya Allah diatasnya tanpa melakukan takyif (membagaimanakan) dan tamtsil (memisalkan Allah dengan makhluk), Allah terpisah dengan makhluk-Nya dan para makhluk terpisah dari-Nya, Allah tidak menempati mereka serta tidak bercampur dengan mereka dan Dia ber-istiwa di atas ‘arsy-Nya di langit bukan di bumi.” (Al-’Uluw karya Adz-Dzahabi 2/1305 atau Mukhtashar Al-’Uluw 261).
Adz Dzahabi berkata, “Beliau (Imam Abu Nu’aim) telah menukil adanya ijmak tentang perkataan ini -dan segala puji hanya bagi Allah-, beliau adalah hafizhnya orang-orang ‘ajam (non Arab) di zamannya tanpa ada perselisihan. Beliau telah mengumpulkan antara ilmu riwayat dan ilmu dirayah. Ibnu Asaakir al Haafizh menyebutkan bahwa dia termasuk sahabat dari Abu Hasan al Asy’ari.” (Al-’Uluw 2/1306).

74.  Imam Ibnu Abdil Barr (meninggal tahun 463H).
Beliau  berkata: “Dalam hadits ini (tentang hadits nuzul) terdapat dalil bahwasanya Allah berada di atas langit, di atas arsy sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Hadits ini termasuk salah satu hujjah Ahli Sunnah terhadap kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyah yang berpendapat bahwa Allah ada dimana-mana, bukan di atas arsy”. [At-Tamhid 3/338. Lihat pula Kitab At-Tauhid hal. 126 oleh Imam Ibnu Khuzaimah, Dar’u Ta’arudzil Aqli wa Naqli 7/7 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah].
Imam Ibnu Abdil Barr juga berkata :
“Dan kaum muslimin di setiap masa masih senantiasa mengangkat wajah mereka dan tangan mereka ke langit jika mereka ditimpa kesempitan, berharap agar Allah menghilangkan kesempitan tersebut.” [Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/47].

75.  Al-Imam Juwaini (ayahnya Imam Al-Haramain rahimahumallah, penulis kitab Al-Jauharah, tahun 438 H) berkata:
استوى على عرشه فبان من خلفه لا يخفى عليه منهم خافية علمه بهم محيط وبصره بهم نافذ وهو في ذاته وصفاته لا يشبهه شيء من مخلوقاته ولا يمثل بشيء من جوارح مبتدعاته . هي صفات لائقة بجلاله وعظمته لا تتخيل كيفيتها الظنون ولا ترها في الدنيا العيون . بل نؤمن بحقائقها وثبوتها واتصاف الرب تعالى بها وننفي عنها تأويل المتأولين وتعطيل الجاحدين وتمثيل المشبهين تبارك الله أحسن الخالقين فبهذا الرب نؤمن وإياه نعبد وله نصلي ونسجد . فمن قصد بعبادته إلى إله ليست له هذه الصفات فإنما يعبد غير الله وليس معبوده ذلك بإله
“Dia (Allah) bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dengan makhluk-Nya, tidak ada yang tersembunyi dari-Nya, ilmu-Nya melingkupi mereka, dan penglihatan terhadap mereka terbukti. Dalam Dzat dan sifat-Nya, Dia tidak menyerupai makhluk-Nya. Tidak juga dimisalkan dengan sesuatu dari anggota-anggota badan makhluk-Nya. Ini adalah sifat-sifat yang sesuai dengan keagungan dan keluhuran-Nya. Bagaimananya tidak bisa dibayangkan, dan tidak ada mata yang dapat melihat-Nya di dunia. Tapi kita harus meyakini kebenaran dan ketetapannya, serta menyifati Tuhan dengan sifat-sifat tersebut. Kita (harus) menafikkan penakwilan dari orang-orang muta’awwiliin, penolakan dari orang-orang yang ingkar, dan permisalan dari orang-orang musyabbihiin. Maha Suci Allah dan Ia adalah sebaik-baik pencipta. Kepada Tuhan ini kita beriman, menyembah, shalat, dan bersujud. Oleh karena itu, orang yang sengaja beribadah kepada Tuhan yang tidak memiliki sifat-sifat ini, maka sesungguhnya ia menyembah kepada selain Allah, karena yang disembahnya itu bukanlah Tuhan.” [Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 56-57].

76.  Imam ‘Abdul Malik al Juwaini [Imam Al-Haramain, tahun 478 H].
Pernah dikisahkan bahwa suatu hari Imam ‘Abdul Malik al Juwaini mengatakan dalam majelisnya, “Allah tidak dimana-mana, sekarang Ia berada di mana pun Dia berada.” Lantas bangkitlah seorang yang bernama Abu Ja’far al Hamdhani seraya berkata, “Wahai ustadz! Kabarkanlah kepada kami tentang ketinggian Allah yang sudah mengakar di hati kami ini, bagaimana kami menghilangkannya?” Abdul Malik al Juwaini berteriak dan menampar kepalanya seraya mengatakan, “Al Hamdhani telah membuat diriku bingung, al Hamdhani telah membuat diriku bingung.” [Lihat Siyar A’lamin Nubala 18/475, al ‘Uluw hal. 276-277 oleh Adz Dzahabi].
Akhirnya Imam Juwaini pun mendapat hidayah Allah dan kembali ke jalan yang benar. Semoga saudara-saudara kita yang tersesat bisa mengikuti jejak beliau. Amiin.

77.  Imam Isma’il bin Muhammad at Taimi berkata, “Kaum muslimin bersepakat bahwa Allah tinggi sebagaimana ditegaskan dalam Al Qur’an.” [Ijtima’ Juyusy Islamiyyah hal. 182].

78.  Ahmad bin Abdul Halim Al Harani berkata:
قَالَ بَعْضُ أَكَابِرِ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ : فِي الْقُرْآنِ ” أَلْفُ دَلِيلٍ ” أَوْ أَزْيَدُ : تَدُلُّ عَلَى أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى عَالٍ عَلَى الْخَلْقِ وَأَنَّهُ فَوْقَ عِبَادِهِ . وَقَالَ غَيْرُهُ : فِيهِ ” ثَلَاثُمِائَةِ ” دَلِيلٍ تَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ
“Sebagian ulama besar Syafi’iyah mengatakan bahwa dalam Al Qur’an ada 1000 dalil atau lebih yang menunjukkan Allah itu berada di ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya. Dan sebagian mereka lagi mengatakan ada 300 dalil yang menunjukkan hal ini.” [Lihat Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Harani, 5/121, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H. Lihat pula Bayanu Talbisil Jahmiyah, Ahmad bin Abdul Halim Al Harani, 1/555, Mathba’atul Hukumah, cetakan pertama, tahun 1392 H].

79.  Imam Al-Baihaqi (wafat 458 H).
Beliau berkata dalam kitabnya Al-I’tiqaad wal Hidaayah ilaa Sabiil Ar-Rasyaad : “Dan maksud Allah adalah Allah di atas langit, sebagaimana firman-Nya, “Dan sungguh aku akan menyalib kalian di pangkal korma”, yaitu di atas pangkal korma. Dan Allah berfirman “Berjalanlah kalian di bumi”, maksudnya adalah di atas muka bumi. Dan setiap yang di atas maka dia adalah samaa’. Dan ‘Arsy adalah yang tertinggi dari benda-benda yang di atas. Maka makna ayat –wallahu a’lam- adalah “Apakah kalian merasa aman dari Dzat yang berada di atas ‘arsy?” [Al-I’tiqaad wal Hidaayah ilaa Sabiil Ar-Rasyaad, tahqiq : Abul ‘Ainain, Daar Al-Fadhiilah, cetakan pertama  bab Al-Qaul fi Al-Istiwaaa’ (hal 116)].

80.  Syaikh Abdul Qadir Jailani [470 H].
Beliau berkata: “Allah, menggenggam, membuka tangan, mencintai, senang, tidak suka, membenci, ridha, marah, dan murka. Dia memiliki dua tangan, dan kedua tangan itu kanan, dan bahwa hati para hamba berada di antara dua jari dari jemari-Nya. Dia berada di atas, beristiwa’ di atas Arsy, meliputi segala kerajaan-Nya. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah menyaksikan keIslâman budak wanita ketika beliau bertanya kepadanya: “Di mana Allah?” Maka dia menunjuk ke atas. Dan bahwasanya Arsy Allah itu di atas air. Allah beristiwa’ di atasnya, sebelumnya (di bawahnya) adalah 70.000 hijab dari cahaya dan kegelapan. Dan bahwa arsy itu memiliki batasan yang diketahui oleh Allah.”
Beliau juga berkata:  “Seharusnya menyebutkan sifat istiwa’ tanpa ta`wil. Bahwasanya ia adalah istiwa’nya Dzat di atas Arsy, bukan bermakna duduk dan bersentuhan sebagaimana yang dikatakan oleh kelompok Mujassimah Karromiyah; juga dalam arti ketinggian (kedudukan) seperti yang dikatakan oleh Asy’arîyyah, juga bukan beristila’ (menguasai) sebagaimana ucapan Mu’tazilah.”
“Allah juga turun ke langit terendah dengan cara yang Dia kehendaki, bukan bermakna turun rahmat-Nya atau pahala-Nya sebagaimana yang dikatakan oleh Mu’tazilah dan Asya’irah.” [‘Abdul Qadir al-Jailani, al-Ghunyah Li Thalibi `l-Haq, 56-57].

81.  Al Imam Ibnu Qudamah [wafat pada tahun 629 H].
Beliau mengatakan, “Amma ba’du: Sesungguhnya Allah mensifati diri-Nya bahwa Dia tinggi diatas langit, demikian juga Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam –penutup para Nabi- mensifati Allah dengan ketinggian juga, dan hal itu disepakati oleh seluruh para ulama dari kalangan shahabat yang bertaqwa dan para imam yang mendalam ilmunya, hadits-hadits tentangnya juga mutawatir sehingga mencapai derajat yakin, demikian pula Allah menyatukan semua hati kaum muslimin dan menjadikannya sebagai fithrah semua makhluk.” [Itsbat Shifatul Uluw hal. 12].

82.  Al Imam Al Qurthubi [Abu ‘Abdillah, Muhammad bin Ahmad bin Farh al-Anshariy al-Khazrajiy al-Andalusiy al-Qurthubiy. Wafat tahun 671 H].
Beliau berkata dalam tafsirnya, “Tiada satupun dari kalangan Salafush Shalih yang ingkar bahwa Allah istiwa di atas ‘Arsy secara hakiki.” [Tafsir Qurthubi 7219].

83.  Al Imam an-Nawawi rahimahullah [al-Imam al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mury bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i . Lahir tahun 631 H, wafat tahun 676 H].
Beliau mengatakan dalam kitabnya “Juz Fi Dzikri I’tiqad Salaf fil Huruf wal Ashwath” :  “Kami mengimani bahwa Allah berada di atas Arsy-Nya, sebagaimana telah diberitakan di dalam Kitab-Nya yang mulia. Kami tidak mengatakan bahwa Dia berada di setiap tempat. Akan tetapi Dia berada di atas langit, sedangkan ilmu-Nya di setiap tempat. Tidak ada satu tempat pun yang lutput dari ilmu-Nya. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), ‘Apakah kalian merasa aman dari hukuman Tuhan yang berada di atas langit?’ (Qs. al-Mulk: 16)…” [ad-Dala’il al-Wafiyah fi Tahqiq ‘Aqidati an-Nawawi a Salafiyah am Khalafiyah, transkrip ceramah Syaikh Masyhur Hasan Salman, hal. 42-43].
Imam Nawawi juga menegaskan ketinggian Allah dalam kitabnya Thabaqat Fuqaha Syafi’iyyah 1/470 dan Raudhah Thalibin 10/85, dan beliau juga menulis kitab Al-Ibanah karya Abul Hasan al-Asya’ari sebagaimana dalam Majmu Fatawa 3/224 yang di dalamnya terdapat ketegasan tentang ketinggian Allah.

84.  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu [wafat tahun 728 H].
Beliau berkata: “Dan termasuk dalam hal yang kami sebutkan dari iman kepada Allah,yaitu beriman kepada apa yang Allah beritakan dalam kitabNya dan dengan apa yang telah diriwayatkan dari RasulNya secara mutawatir serta disepakati oleh Salafus Shalih,bahwa Allah itu berada diatas langit diatas Arsy-Nya. Allah Maha Tinggi diatas mahlukNya dan Allah Subhanahu wa ta’ala bersama mereka dimana saja mereka berada dan Allah mengetahui apa yang mereka kerjakan. “ [Syarh Aqidah Al Wasithiyyah].

85.  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu juga berkata: “Masalah ini luas sekali, karena orang-orang yang menukil  ijma’ Ahlis Sunnah atau ijma’ Shahabat dan Tabi’in bahwa Allah di atas ‘Arsy, berpisah dari makhluk-Nya tidak bisa dihitung jumlahnya kecuali hanya Allah saja yang mampu…” [Bayanu Talbis Jahmiyyah 3/531].

86.  Al Imam Adz Dzahabi rahimahullah [Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz bin Abdullah adz-Dzahabi al-Fariqi. Tahun 673 H – 748 H].
Beliau berkata mengomentari hadits budak jariyah,
“Demikianlah kita melihat setiap orang yang ditanya: Dimana Allah? Niscaya dia akan menjawab dengan fitrahnya: Allah diatas langit. Dalam hadits ini terdapat dua masalah:
Pertama, disyariatkannya pertanyaan kepada seorang muslim: Dimana Allah?
Kedua, jawaban orang yang ditanya pertanyaan tersebut: Di atas langit. Barangsiapa yang mengingkari dua masalah ini, maka berarti dia mengingkari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Azhim, (Mukhtasar al ‘Uluw, Albani, hal. 81)].

87.  Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah [Imad ad-Dien, Abu al-Fida`, Isma’il bin ‘Umar bin Katsir ad-Dimasyqiy asy-Syafi’iy, seorang Imam, Hafizh dan juga sejarawan.Wafat tahun 774 H].
Beliau berkata dalam menafsirkan surat Al Hadiid: 4,
“…Dia bersama kamu…” ialah ilmu-Nya, pengawasan-Nya, penjagaan-Nya bersama kamu, sedang Dzat Allah di atas arsy di langit.” [Lihat Tafsir Qur`anil Azhim: 4/317].

88.  Al Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah [wafat 751 H].
Beliau juga berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya:  ‘Di mana Allah?’ Lalu dijawab oleh yang ditanya bahwa Allah berada di atas langit. Nabi pun kemudian ridha akan jawabannya dan mengetahui bahwa itulah hakekat iman kepada Allah dan beliau juga tidak mengingkari pertanyaan ini atasnya. Adapun kelompok Jahmiyyah, mereka menganggap bahwa pertanyaan ‘Dimana Allah?’ seperti halnya pertanyaan: Apa warnanya, apa rasanya, apa jenisnya dan apa asalnya dan lain sebagainnya dari pertanyaan yang mustahil dan batil!?”.  [I’lamul Muwaqqi’in (3/521)].

89.  Al-Hafizh Ibnu Abil Izzi al-Hanafi [wafat tahun 792 H].
Beliau mengatakan: “Dalam hadits Mi’raj ini terdapat dalil tentag ketinggian Allah ditinjau dari beberapa segi bagi orang yang menceramatinya”. [Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah 1/277].

90.  Al-Hafizh Ibnu Abil Izzi al-Hanafi juga mengatakan, “Dalil-dalil yang muhkam (yang begitu jelas) menunjukkan ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya. Dalil-dalil ini hampir mendekati 20 macam dalil”. [Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, 2/437].

Ijmak para Ulama Salaf tentang Keberadaan Allah di Atas Langit
Keberadaan Allah di atas langit merupakan ijmak para ulama salaf maupun khalaf. Bahkan telah dinukilkan ijmak mereka Dintara para ulama salaf lainnya, yaitu:

Pertama : Al-Imam Al-Auzaa’i rahimahullah (wafat 157 H)
Al-Auzaa’i berkata : “Ketika kami dahulu –dan para tabi’in masih banyak-kami berkata : Sesungguhnya Allah di atas arsyNya, dan kita beriman dengan sifat-sifatNya yang datang dalam sunnah” (Al-Asmaa’ was sifaat li Al-Baihaqi 2/304 no 865, Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/940 no 334, dan sanadnya dinyatakan Jayyid (baik) oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 13/406-407)

Kedua : Qutaibah bin Sa’iid (150-240 H)
Beliau berkata :
هذا قول الائمة في الإسلام والسنة والجماعة: نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه ، كما قال جل جلاله:الرحمن على العرش استوى
“Ini perkataan para imam di Islam, Sunnah, dan Jama’ah ; kami mengetahui Rabb kami di langit yang ketujuh di atas ‘arsy-Nya, sebagaimana Allah Jalla Jalaaluhu berfirman : Ar-Rahmaan di atas ‘arsy beristiwa” (Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1103 no 434)
Adz-Dzahabi berkata, “Dan Qutaibah -yang merupakan seorang imam dan jujur- telah menukilkan ijmak tentang permasalahan ini. Qutaibah telah bertemu dengan Malik, Al-Laits, Hammaad bin Zaid, dan para ulama besar, dan Qutaibah dipanjangkan umurnya dan para hafidz ramai di depan pintunya” (Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1103)

Ketiga : Ibnu Qutaibah (213 H- 276 H)
Beliau berkata dalam kitabnya Takwiil Mukhtalaf al-Hadiits (tahqiq Muhammad Muhyiiddin Al-Ashfar, cetakan keduan dari Al-Maktab Al-Islaami) :
“Seluruh umat –baik arab maupun non arab- mereka berkata bahwasanya Allah di langit selama mereka dibiarkan di atas fitrah mereka dan tidak dipindahkan dari fitrah mereka tersebut dengan pengajaran”  (Takwiil Mukhtalafil Hadiits 395)

Keempat : Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimi (wafat 280 H)
Beliau berkata dalam kitab beliau Ar-Rad ‘alal Marriisi
“Dan telah sepakat perkataan kaum muslimin dan orang-orang kafir bahwasanya Allah berada di langit, dan mereka telah menjelaskan Allah dengan hal itu (yaitu bahwasanya Allah berada di atas langit -pent) kecuali Bisyr Al-Marrisi yang sesat dan para sahabatnya. Bahkan anak-anak yang belum dewasa merekapun mengetahui hal ini, jika seorang anak kecil tersusahkan dengan sesuatu perkara maka ia mengangkat kedua tangannya ke Rabb-Nya berdoa kepadaNya di langit, dan tidak mengarahkan tangannya ke arah selain langit. Maka setiap orang lebih menetahui tentang Allah dan dimana Allah daripada Jahmiyah” (Rad Ad-Darimi Utsmaan bin Sa’iid  alaa Bisyr Al-Mariisi Al-’Aniid Hal 25)

Kelima : Zakariyaa As-Saaji (wafat tahun 307 H)
Beliau berkata :
القول في السنة التي رأيت عليها أصحابنا أهل الحديث الذين لقيناهم أن الله تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء”.
“Perkataan tentang sunnah yang aku lihat merupakan perkataan para sahabat kami –dari kalangan Ahlul Hadits yang kami jumpai- bahwasanya Allah ta’aala di atas ‘arsyNya di langit, Ia dekat dengan makhluknya sesuai dengan yang dikehendakiNya”
(Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1203 no 482)
Adz-Dzahabi berkata : As-Saji adalah syaikh dan hafizhnya kota Al-Bashrah dan Abul Hasan Al-Asy’ari mengambil ilmu hadits dan aqidah Ahlus Sunnah darinya (Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1203 dan Ijtimaa’ Al-Juyuusy Al-Islaamiyah li Ibnil Qayyim hal 185)

Keenam : Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (223 H-311 H)
Beliau berkata dalam kitabnya At-Tauhiid 1/254
“Bab : Penyebutan penjelasan bahwasanya Allah Azza wa Jalla di langit:
Sebagaimana Allah kabarkan kepada kita dalam Al-Qur’an dan melalui lisan NabiNya –’alaihis salaam- dan sebagaimana hal ini dipahami pada fitrah kaum muslimin, dari kalangan para ulama mereka dan orang-orang jahilnya mereka, orang-orang merdeka dan budak-budak mereka, para lelaki dan para wanita, orang-orang dewasa dan anak-anak kecil mereka. Seluruh orang yang berdoa kepada Allah jalla wa ‘alaa hanyalah mengangkat kepalanya ke langit dan menjulurkan kedua tangannya kepada Allah, ke arah atas dan bukan kearah bawah”

Ketujuh : Al-Imam Ibnu Baththah (304 H-387 H)
Beliau berkata dalam kitabnya Al-Ibaanah ‘an Syarii’at Al-Firqah An-Naajiyah :
باب الإيمان بأن الله على عرشه بائن من خلقه وعلمه محيط بخلقه
أجمع المسلمون من الصحابة والتابعين وجميع أهل العلم من المؤمنين أن الله تبارك وتعالى على عرشه فوق سمواته بائن من خلقه وعلمه محيط بجميع خلقه
ولا يأبى ذلك ولا ينكره إلا من انتحل مذاهب الحلولية وهم قوم زاغت قلوبهم واستهوتهم الشياطين فمرقوا من الدين وقالوا : إن الله ذاته لا يخلو منه مكان”. انتهى
“Bab Beriman Bahwa Allah di atas ‘Arsy, ‘Arsy adalah makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi Makhluk-Nya”
Kaum muslimin dari para sahabat, tabiin dan seluruh ulama kaum mukminin telah bersepakat bahwa Allah -tabaraka wa ta’ala- di atas ‘arsy-Nya di atas langit-langit-Nya yang mana ‘arsy merupakan Makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi seluruh makhluknya. Tidaklah menolak dan mengingkari hal ini kecuali penganut aliran hululiyah, mereka itu adalah kaum yang hatinya telah melenceng dan setan telah menarik mereka sehingga mereka keluar dari agama, mereka mengatakan, “Sesungguhnya Dzat Allah Berada dimana-mana.” (al-Ibaanah 3/136)
Adz Dzahabi berkata, “Ibnu Baththah termasuk Pembesarnya Para Imam, Seorang yang Zuhud, Faqih, pengikut sunnah.” (Al-’uluw li Adz-Dzahabi 2/1284)

Kedelapan: Imam Abu Umar At-Thalamanki Al Andalusi (339-429H)
Beliau berkata di dalam kitabnya: Al Wushul ila Ma’rifatil Ushul
أجمع المسلمون من أهل السنة على أن معنى قوله : “وهو معكم أينما كنتم” . ونحو ذلك من القرآن : أنه علمه ، وأن الله تعالى فوق السموات بذاتـه مستو على عرشه كيف شاء
وقال: قال أهل السنة في قوله :الرحمن على العرش استوى:إن الاستواء من الله على عرشه على الحقيقة لا على المجاز.”.
“Kaum Muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah telah bersepakat (ijmak) bahwa makna firman-Nya: “Dan Dia bersama kalian di manapun kalian berada” (QS. Al Hadid 4) dan ayat-ayat Al Qur’an yg semisal itu adalah Ilmu-Nya. Allah ta’ala di atas langit dengan Dzat-Nya, ber-istiwa di atas ‘arsy-Nya sesuai kehendak-Nya”
Beliau juga mengatakan, “Ahlussunah berkata tentang firman Allah, “Tuhan yang Maha Pemurah, yang ber-istiwa di atas ‘Arsy” (QS Thaahaa : 5), bahwasanya ber-istiwa-nya Allah di atas Arsy adalah benar adanya bukan majaz” (Sebagaimana dinukil oleh Ad-Dzahabi dalam Al-’Uluw 2/1315)
Imam Adz Dzahabi berkata, “At-Thalamanki termasuk pembesar para Huffazh dan  para imam dari para qurraa` di Andalusia” (Al-’Uluw 2/1315)

Kesembilan: Syaikhul Islam Abu Utsman Ash Shabuni (372 – 449H)
Beliau berkata, “Para Ahli Hadits berkeyakinan dan bersaksi bahwa Allah di atas langit yang tujuh di atas ‘arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Al Kitab(Al Qur’an)….
Para ulama dan pemuka umat dari generasi salaf tidak berselisih bahwasanya Allah di atas ‘arsy-Nya dan ‘arsy-Nya berada di atas langit-Nya.” (Aqidatus Salaf wa Ashaabil hadiits hal 44)
Adz Dzahabi berkata, “Syaikhul Islam Ash Shabuni adalah seorang yang faqih, ahli hadits, dan sufi pemberi wejangan. Beliau adalah Syaikhnya kota Naisaburi di zamannya” (Al-’Uluw 2/1317)

Kesepuluh : Imam Abu Nashr As-Sijzi  (meninggal pada tahun 444 H)
Berkata Adz-Dzahabi (Siyar A’laam An-Nubalaa’ 17/656) :
Berkata Abu Nashr As-Sijzi di kitab al-Ibaanah, “Adapun para imam kita seperti Sufyan Ats Tsauri, Malik, Sufyan Ibnu Uyainah, Hammaad bin Salamah, Hammaad bin Zaid, Abdullah bin Mubaarak, Fudhail Ibnu ‘Iyyaadh, Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Ibrahim al Handzali bersepakat (ijmak) bahwa Allah -Yang Maha Suci- dengan Dzat-Nya berada di atas ‘Arsy dan ilmu-Nya meliputi setiap ruang, dan Dia di atas ‘arsy kelak akan dilihat pada hari kiamat oleh pandangan, Dia akan turun ke langit dunia, Dia murka dan ridha dan berbicara sesuai dengan kehendak-Nya”
Adz-Dzahabi juga menukil perkataan ini dalam Al-’Uluw 2/1321

Kesebelas : Imam Abu Nu’aim -Pengarang Kitab al Hilyah-(336-430 H)
Beliau berkata di kitabnya al I’tiqad,
“Jalan kami adalah jalannya para salaf yaitu pengikut al Kitab dan As Sunnah serta ijmak ummat. Di antara hal-hal yang menjadi keyakinan mereka adalah Allah senantiasa  Maha Sempurna dengan seluruh sifat-Nya yang qadiimah…
dan mereka menyatakan dan menetapkan hadits-hadits yang telah valid (yang menyebutkan) tentang ‘arsy dan istiwa`nya Allah diatasnya tanpa melakukan takyif (membagaimanakan) dan tamtsil (memisalkan Allah dengan makhluk), Allah terpisah dengan makhluk-Nya dan para makhluk terpisah dari-Nya, Allah tidak menempati mereka serta tidak bercampur dengan mereka dan Dia ber-istiwa di atas ‘arsy-Nya di langit bukan di bumi.” (Al-’Uluw karya Adz-Dzahabi 2/1305 atau Mukhtashar Al-’Uluw 261)
Adz Dzahabi berkata, “Beliau (Imam Abu Nu’aim) telah menukil adanya ijmak tentang perkataan ini -dan segala puji hanya bagi Allah-, beliau adalah hafizhnya orang-orang ‘ajam (non Arab) di zamannya tanpa ada perselisihan. Beliau telah mengumpulkan antara ilmu riwayat dan ilmu diroyah. Ibnu Asaakir al Haafizh menyebutkan bahwa dia termasuk sahabat dari Abu Hasan al Asy’ari.” (Al-’Uluw 2/1306)

Kedua belas: Imam Abu Zur’ah Ar Raazi (meninggal tahun 264H) dan Imam Abu Hatim (meninggal tahun 277H)
Berkata Ibnu Abi Hatim :
“Aku bertanya pada bapakku (Abu Hatim-pent) dan Abu Zur’ah tentang madzhab-madzhab ahlussunnah pada perkara ushuluddin dan ulama di seluruh penjuru negeri yang beliau jumpai serta apa yang beliau berdua yakini tentang hal tersebut? Beliau berdua mengatakan, “Kami dapati seluruh ulama di penjuru negeri baik di hijaz, irak, syam maupun yaman berkeyakinan bahwa:
Iman itu berupa perkataan dan amalan, bertambah dan berkurang…
Allah ‘azza wa jalla di atas ‘arsy-Nya terpisah dari makhluk-Nya sebagaimana  Dia telah mensifati diri-Nya di dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menanyakan bagaimananya, Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat”(Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah karya Al-Laalikaai 1/198)

Ibnu Abi Haatim juga berkata berkata,
“Aku mendengar bapakku berkata, ciri ahli bid’ah adalah memfitnah ahli atsar, dan ciri orang zindiq adalah mereka menggelari ahlussunnah dengan hasyawiyah dengan maksud untuk membatalkan atsar, ciri jahmiyah adalah mereka menamai ahlussunnah dengan musyabbihah, dan ciri rafidhah adalah mereka menamai ahlussunnah dengan naasibah.” (selesai)
Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnah wal jama’ah lil imam al Laalikai 1/200-201

Ketiga belas : Imam Ibnu Abdil Bar (meninggal tahun 463H)
Beliau berkata dikitabnya at Tamhiid setelah menyebutkan hadits nuzul (turunnya Allah ke langit dunia, pent),
“Pada hadits tersebut terdapat dalil bahwa Allah berada di atas yaitu di atas ‘arsy-Nya, di atas langit yang tujuh, hal ini sebagaimana dikatakan oleh para jama’ah. Hal ini merupakan hujjah bagi mereka terhadap mu’tazilah dan jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah ‘azza wa jalla berada dimana-mana bukan di atas ‘arsy” (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/8)
Kemudian beliau menyebutkan dalil-dalil terhadap hal ini, di antaranya, beliau berkata :
“Diantara dalil bahwa Allah di atas langit yang tujuh adalah bahwasanya para ahli tauhid seluruhnya baik orang arab maupun selain arab jika mereka ditimpa kesusahan atau kesempitan mereka mendongakkan wajah mereka ke atas, mereka meminta pertolongan Rabb mereka tabaaraka wa ta’ala…”” (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/12)

Beliau juga berkata :
“Dan kaum muslimin di setiap masa masih senantiasa mengangkat wajah mereka dan tangan mereka ke langit jika mereka ditimpa kesempitan, berharap agar Allah menghilangkan kesempitan tersebut” (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/47)
Oleh karenanya tidak ada seorang ulama salafpun –apalagi para sahabat- yang perkataannya menunjukan bahwasanya Allah tidak berada di atas.
Perkataan para Ulama Asy‘ariyyah yang Mengakui Allah di Atas Langit
Ternyata kita dapati bahwasanya sebagian pembesar madzhab Asy’ariyyah juga mengakui keberadaan Allah di atas langit. Sebagaimana hal ini telah ditegaskan oleh Imam Al-Baihaqi dalam kitabnya Al-Asmaa’ wa As-Sifaat (2/308)
Beliau berkata, “Dan atsar dari salaf seperti hal ini (yaitu bahwasanya Allah berisitwa di atas ‘arsy -pent) banyak. Dan madzhab As-Syafii radhiallahu ‘anhu menunjukan di atas jalan ini, dan ini madzhab Ahmad bin Hanbal…Dan Abu Hasan Ali bin Ismaa’iil Al-’Asy’ari berpendapat bahwasanya Allah melakukan suatu fi’il (perbuatan) di ‘arsy yang Allah namakan istiwaa’… Dan Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Mahdi At-Thabari dan juga para ahli nadzar bahwasanya Allah ta’aalaa di langit di atas segala sesuatu, ber-istiwa di atas ‘arsynya, yaitu maknanya Allah di atas ‘arsy. Dan makna istiwaa’ adalah tinggi di atas sebagaimana jika dikatakan “aku beristiwa’ di atas hewan”, “aku beristiwa di atas atap”, maknanya yaitu aku tinggi di atasnya, “Matahari beristiwa di atas kepalaku”
Dari penjelasan Al-Imam Al-Baihaqi di atas nampak ;
–   Banyaknya atsar dari salaf tentang Allah di atas.
–   Ini merupakan madzhab As-Syafi’i dan madzhab Imam Ahmad bin Hanbal
–   Ini merupakan madzhab sebagian pembesar Asy’ariyyah seperti Abul Hasan Al-Asy’ari dan Abul Hasan At-Thabari.

Pertama : Imam Abul Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah
Merupakan perkara yang  mengherankan bahwasanya diantara para ulama yang menyebutkan konsensus salaf tersebut adalah Imam besar kaum Asy’ariyyah yaitu Imam Abul Hasan Al-’Asy’ari yang hidup di abad ke empat Hijriah. Dialah nenek moyang mereka, guru pertama mereka, sehingga merekapun berintisab (berafiliasi) kepada nama beliau menjadi firqah Asyaa’irah.
Berkata Imam Abul Hasan Al-’Asy’ari rahimahullah dalam kitabnya Risaalah ila Ahli Ats-Tsagr:
Ijmak kesembilan :
Dan mereka (para salaf) ijmak … bahwasanya Allah ta’aala di atas langit, diatas arsyNya bukan di bumi. Hal ini telah ditunjukan oleh firman Allah
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu (QS Al-Mulk : 16).
Dan Allah berfirman
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (QS Faathir : 10).
Dan Allah berfirman
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى‏
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa di atas Arasy.” (QS. Thâhâ;5)
Dan bukanlah istiwaa’nya di atas arsy maknanya istiilaa’ (menguasai) sebagaimana yang dikatakan oleh qadariah (Mu’tazilah-pent), karena Allah Azza wa Jalla selalu menguasai segala sesuatu. Dan Allah mengetahui yang tersembunyi dan yang lebih samar dari yang tersembunyi, tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi yang tersembunyi bagi Allah, hingga seakan-akan Allah senantiasa hadir bersama segala sesuatu. Hal ini telah ditunjukan oleh Allah Azza wa Jalla dengan firmanNya
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
Dia bersama kamu dimana saja kamu berada (QS Al-Hadiid : 4)
Para ahlul ilmi menafsirkan hal ini dengan ta’wil yaitu bahwasanya ilmu Allah meliputi mereka di mana saja mereka berada” (Risaalah ilaa Ahli Ats-Tsagr 231-234)
Ini merupakan hikayat kumpulan perkataan Ahlul Hadits dan Ahlus Sunnah
….
Dan bahwasanya Allah –subhaanahu- diatas arsyNya, sebagaimana Allah berfirman
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى‏
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa di atas Arasy.” (QS. Thâhâ;5)
Dan Allah memiliki dua tangan tanpa ditanyakan bagaimananya… dan Allah memiliki wajah… (Maqaalaatul Islaamiyiin 1/345)

Kedua : Abu Bakr Al-Baaqillaani (wafat 403 H)
Beliau berkata dalam kitabnya Al-Ibaanah
“Jika dikatakan : Apakah kalian mengatakan bahwa Alla berada dimana-mana?, dikatakan : Kita berlindung kepada Allah (dari perkataan ini-pent). Akan tetapi Allah beristiwa di atas ‘arsy-Nya sebagaimana Allah kabarkan dalam kitabNya “ArRahman  di atas ‘arsy beristiwaa”, dan Allah berfirman “Kepada-Nyalah naik perkatan-perkataan yang baik”, dan Allah berfirman “Apakah kalian merasa aman dari Allah yang berada di atas?”
Beliau berkata, “Kalau seandainya Allah di mana-mana maka Allah akan berada di perut manusia, di mulutnya, …
(Sebagaimana dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-’Uluw 2/1298 (Mukhtasar Al-’Uluw 258))
Ketiga : Imam Al-Baihaqi (wafat 458 H)
Beliau berkata dalam kitabnyaAl-I’tiqaad wal Hidaayah ilaa Sabiil Ar-Rasyaad, tahqiq : Abul ‘Ainain, Daar Al-Fadhiilah, cetakan pertama  bab Al-Qaul fi Al-Istiwaaa’ (hal 116)
“Dan maksud Allah adalah Allah di atas langit, sebagaimana firmanNya, “Dan sungguh aku akan menyalib kalian di pangkal korma”, yaitu di atas pangkal korma. Dan Allah berfirman “Berjalanlah kalian di bumi”, maksudnya adalah di atas muka bumi. Dan setiap yang di atas maka dia adalah samaa’. Dan ‘Arsy adalah yang tertinggi dari benda-benda yang di atas. Maka makna ayat –wallahu a’lam- adalah “Apakah kalian merasa aman dari Dzat yang berada di atas ‘arsy?”
Demikian telah jelas dan terang benderang  seluruh atsar-atsar para ulama ahlussunnah manhaj salaf sepakat bahwa Allah ‘Azza wa Jalla bersemayam di atas Arsy tanpa mengetahui kaifiyat istiwa’-Nya..Berbeda dengan pendapat sesat kaum Jahmiyyah, Mu’tazilah, Haruriyah dan semisalnya mereka mengingkari masalah ini..
Jika mereka mengingkari istiwa’-Nya Allah diatas Arsy, maka mereka telah mengingkari firman Allah yang mulia dengan sejumlah ayat-ayat diatas, mereka telah mengingkari hadits-hadits yang shahih yang telah diperiksa rawi dan matan nya yang datang dari Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mereka telah mengingkari pula kesepakatan para shahabat, para tabiin dan tabiut tabiin….Allahu Akbar..Semoga kita selalu di jauhi dari akidah yang sesat-menyesatkan ini dan di bimbing oleh Allah ‘Azza Wa Jalla untuk diberi ketetapan hati mengikuti sunnah Nabi yang mulia Shallahu ‘Alaihi wa sallam dan shahabatnya…….
http://aminbenahmed.blogspot.co.id/2016/09/bantahan-allah-ada-tanpa-tempat-dan-arah.html



Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Dalam sebuah siaran radio ditampilakan kisah dengan menggunakan kata-kata:”Seorang anak bertanya tentang Allah kepada ayahnya, maka sang ayah menjawab: “Allah itu ada dimana-mana.” Bagaimana pandangan hukum agama terhadap jawaban yang menggunakan kalimat semacam ini?
Jawaban.
Jawaban ini batil, merupakan perkataan golongan bid’ah dari aliran Jahmiyah dan Mu’tazilah serta aliran lain yang sejalan dengan mereka. Jawaban yang benar adalah yang diikuti oleh Ahli Sunnah wal Jama’ah, yaitu Allah itu ada di langit diatas Arsy, diatas semua mahlukNya. Akan tetapi ilmuNya ada dimana-mana (meliputi segala sesuatu).Hal ini sebagaimana disebutkan didalam beberapa ayat Al Qur’an,hadits-hadits Nabi Shalallahu alaihi wa sallam ,ijma’ dari pendahulu umat ini.Sebgaimana contoh adalah firman Allah:
“Artinya : Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy [Surat Al A'raf:54]
Didalam Al Qur’an ayat ini tersebut pada 6 tempat. Yang dimaksud dengan ‘bersemayam” menurut Ahli Sunnah ialah pada ketinggian atau berada diatas Arsy sesuai dengan keagungan Allah.Tidak ada yang dapat mengetahui BAGAIMANA bersemayamnya itu,seperti dikatakan oleh Imam Malik ketika beliau ditanya orang tentang hal ini.Beliau menjawab:
“Kata bersemayam itu telah kita pahami.Akan tetapi ,bagaimana caranya tidak kita ketahui.Mengimani hal ini adalah wajib, tetapi mempersoalkannya adalah bid’ah.”
Yang beliau maksudkan dengan mempersoalkannya adalah bid’ah yakni mempersoalkan cara Allah bersemayam diatas Arsy (cara detailnya seperti apa, pen). Pengertian ini beliau peroleh dari gurunya ,Syaikh Rabi’ah bin Abdurrahman yang bersumber dari riawayat Ummu Salamah radhiallahu anha .Hal ini merupakan pendapat semua Ahli Sunnah yang bersumber dari shahabat Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dan para tokoh Islam sesudahnya. Allah telah menerangkan pada beberapa ayat lainnya bahwa Dia dilangit dan Dia berada diatas, seperti dalam firmanNya:
“Artinya : Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” [Surat Faathir:10]
“Artinya : Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” [Al Baqarah:255]
“Artinya : Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang?, Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku” [Surat Al Mulk:16-17]
Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang dengan jelas memuat penegasan bahwa Allah itu ada di langit, Dia berada diatas. Hal ini sejalan dengan apa yang dimaksud oleh ayat-ayat yang menggunakan kata-kata bersamayam. Dengan demikian dapatlah diketahui perkataan ahlu bid’ah :”Allah itu berada dimana-mana,” merupakan hal yang sangat batil.Perkataan ini merupakan pernyataan firqoh yang beranggapan bahwa alam ini penjelmaan Allah,suatu aliran bid’ah lagi sesat,bahkan aliran kafir lagi sesat serta mendustakan Allah dan RasulNya Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam .Dikatakan demikian karena dalam riwayat yang sah dari beliau Shalallahu alaihi wa sallam dinyatakan bahwa Allah ada dilangit, sebagaimana sabda beliau Shalallahu alaihi wa sallam :
Alaa ta’manuniy wa anaa amiinu man fis samaa’
“Artinya : Tidakkah kalian mau percaya kepadaku padahal aku adalah kepercayaan dari Tuhan yang ada di langit.” [Bukhari no.4351 kitabul Maghazi ;Muslim no.1064 Kitabuz Zakat]
Hal ini juga disebutkan pada hadits-hadits (tentang) Isra’ Mi’raj, dan lain-lain.
[Majallatuud Dakwah no.1288]
——————————————————
MENGATAKAN ALLAH ADA DI MANA-MANA
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana pandangan hukum terhadap jawaban sebagian orang:”Allah berada dimana-mana,” bila ditanya :”Dimana Allah?” Apakah jawaban seperti ini sepenuhnya benar?
Jawaban.
Jawaban seperti ini sepenuhnya batil. Apabila seseorang ditanya :”Allah dimana?” hendaklah ia menjawab:”Di langit,” seperti dikemukakan oleh seorang (budak) perempuan yang ditanya oleh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :”Dimana Allah?” jawabnya:”Di langit.”
Adapun orang yang menjawab dengan kata-kata:” Allah itu ada,” maka jawaban ini sangat samar dan menyesatkan.Orang yang mengatakan bahwa Allah itu ada dimana-mana dengan pengertian dzat Allah ada dimana-mana, adalah kafir karena ia telah mendustakan keterangan-keterangan agama, bahwa dalil-dalil wahyu dan akal serta menurut fitrah.maka Allah berada diatas segala mahluk. Dia berada diatas semua langit, bersemayam diatas Arsy.
[Majmu' Fatawaa wa Rasaail, juz 1 halaman 132-133]
[Disalin dari kitab Al Fatawaa Asy Syar'iyyah Fil Masaail Al 'Ashriyyah min Fatawaa Ulamaa' Al Balaadil Haraami, Edisi Indonesia: Fatwa Kontenporer Ulama Besar Tanah Suci, Penyusun Khalid al Juraisy, Penerbit :Media Hidayah, Cet.1 September 2003]

http://aminbenahmed.blogspot.co.id/2012/12/sesatnya-keyakinan-jahiliyyun-allah-ada.html

Artikel terkait dan perlu dibaca :


( Bagian 1 ) Mengimani Sifat-sifat Allah : Bingung Tentang ( Keberadaan ) Rabbnya ?
( Bagian 2 ) Mengimani Sifat-sifat Allah : Isu tentang tajsim dan mujasimah
( Bagian 3 ) Mengimani Sifat-sifat Allah : Isu Tentang Tasybih dan Musyabihah
( Bagian 4 ) Mengimani Sifat-sifat Allah : 'Aqidah Ulama Besar Ahlus Sunnah, 'Aqidah Jahmiyah dan 'Aqidah "oknum" Aswaja
101 Perkataan Ulama Salaf Tentang Keberadaan Allah Di Atas Arsy
[Oleh Abu Fahd Negara Tauhid, dengan menukil dari berbagai macam sumber.
Jika Masih Ada yang Bertanya-tanya “Di manakah Allah”
Jawaban Ahlussunnah Terhadap Argumentasi Para Pengingkar Sifat ‘Uluw Bagi Allah
http://dzikra.com/jawaban-ahlussunnah-terhadap-argumentasi-para-pengingkar-sifat-uluw-bagi-allah/
TAHUKAH KAMU, DI MANAKAH ALLAH?
( ada 66 comments )
Dalil yang menunjukkan Allah di atas semua makhluknya
Bolehkah Mengatakan Allah Ada di Mana-mana?
http://www.konsultasisyariah.com/allah-ada-di-mana-mana/
Dalil Tentang Allah ada Diatas Makhluk-Nya dan Dia subhahanahu wata’ala di atas langit
http://islamqa.com/id/992