Tuesday, May 19, 2015

Beda Malaysia dan Indonesia dalam Menyikapi Syiah

Oleh: Budi Marta Saudin

Pekan lalu Malaysia resmi bergabung dengan koalisi negara-negara Teluk pimpinan Arab Saudi untuk menghentikan aksi kejam para pemberontak Syiah Hutsi di Yaman.
Malaysia menjadi negara ke-12 yang bergabung bersama koalisi tersebut, setelah sebelumnya Senegal menyatakan diri ikut serta dalam koalisi ini. Malaysia juga satu-satunya negara Asia Tenggara yang berani turut serta dalam penumpasan milisi Syiah ini.
Beberapa tahun lalu pemerintah negeri Jiran telah resmi melarang ajaran Syiah masuk ke negaranya. Ada indikasi turut serta Malaysia dalam koalisi pimpinan Saudi ini terkait dengan aturan pelarangan Syiah tersebut.
Berbeda dengan Indonesia, Malaysia lebih dulu sadar akan bahaya Syiah. Pelarangan dimaksud, selain ajaran yang menyimpang, stabilitas keamanan negara pun akan terancam karena mereka akan membentuk angkatan bersenjata tandingan untuk melawan pemerintah yang sah, seperti yang terjadi di Lebanon dan Yaman saat ini.
Adapun Indonesia, jangan jauh-jauh bicara keikutsertaan dalam koalisi. Sekedar memvonis Syiah sesat saja penolakan terjadi dimana-mana. Sebab pengaruh Syiah di negeri ini sangat kuat meskipun jumlah mereka saat ini sedikit.
Berlindung dibalik kebebasan beragama, para penganut Syiah di Indonesia melakukan pembelaan. Tak tanggung-tanggung, dukungan kepada Syiah terus mengalir baik dari pejabat, pengusaha, politisi hingga menteri.
Seperti yang dilakukan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang telah menampakkan dukungannya kepada Syiah meskipun masih dilakukan dengan malu-malu. Memberikan pengantar buku Syiah berjudul “Syiah Menurut Syiah”, memberikan izin kepada organisasi Syiah Indonesia untuk mengadakan pembukaan muktamar di gedung Kementrian Agama hingga pembelaannya kepada Syiah dengan menggunakan risalah Amman.
Pertama, buku “Syiah menurut Syiah” adalah sebuah buku yang menikam Ahlussunnah, buku yang jelas-jelas menggambarkan sosok dan keyakinan Syiah. Menteri Agama justru memberikan pujian dan kata pengantar pada buku tersebut. Padahal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat telah mengeluarkan buku tentang bahaya dan penyimpangan ajaran Syiah, tak ada pujian atau kata pengantar dari Menteri Agama.
Kedua, acara muktamar Ormas Ahlul Bait Indonesia di gedung Kementrian Agama. Ini adalah tikaman yang telak bagi umat Islam Indonesia, menunjukkan betapa dekatnya hubungan Syiah dengan Kementrian Agama karena tak sembarang lembaga bisa menggunakan fasilitas tersebut.
Ketiga, risalah Amman selalu jadi dalil bagi Syiah dan orang yang membela Syiah bahwa perbedaan Sunni-Syiah hanyalah masalah cabang, bukan pokok. Padahal, para ulama penandatangan risalah Amman kini banyak yang menarik diri dari sikapnya, seperti Syaikh Yusuf Al Qardhawi. Dalil yang digunakan oleh Syiah adalah kejadian masa silam, dimana dahulu Syiah bermacam-macamg, ada yang kesalahannya ringan ada yang fatal. Padahal saat ini tak ada Syiah yang memiliki kesalahan ringan. Mereka semua adalah Rafidhah yang menganggap kafir sebagian besar sahabat nabi dan menganggap kafir orang selain Syiah.
Kembali ke masalah bergabungnya Malaysia bersama pasukan koalisi untuk memerangi pemberontak Syiah, tidak  usah mengkhayal terlalu jauh Indonesia akan turut serta. Karena tindakan pasukan kaolisi di dasari pada ideologi dan keyakinan Syiah adalah ajaran berbahaya, sedangkan pemerintah Indonesia hingga kini memberikan dukungan dan perlindungannya kepada para penganut Syiah.
Semoga para pemimpin di negeri ini cepat sadar betapa bahayanya Syiah, baik dari sisi aqidah maupun stabilitas keamanan.