Saturday, June 13, 2015

Menunggu “Kejutan” Dari Yaman

Kamis, 11 Juni 2015 - 15:00 WIB
Persetujuan pihak-pihak bertikai di Yaman untuk bertemu di Jenewa pekan depan tidak serta merta mengurangi tensi perang di negeri itu
Hari-hari mendatang masih menyimpan banyak kejutan, meskipun yang ditunggu-tunggu rakyat dan masyarakat internasional adalah kejutan positif
Oleh: Musthafa Luthfi
OPERASI militer negara-negara sekutu pimpinan Arab Saudi dengan nama sandi Aashifatul Hazm (Badai Menentukan) untuk mengembalikan pemerintahan sah di Yaman telah memasuki bulan ketiga. Bila upaya politis untuk mengatasi krisis di negeri Ratu Sheba itu tidak mengalami kemajuan berarti, dipastikan perang akan berlarut seperti kejadian di Suriah.
Kekhawatiran upaya penyelesaian politis bakal gagal sempat terbersit pada minggu terakhir Mei 2015 ketika diumumkan pertemuan di Kota Jenewa, Swiss ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan. Pertemuan ini bertujuan untuk menfasilitasi faksi-faksi yang bertikai di Yaman agar dapat duduk bersama mencari penyelesaian politis guna mengakhiri pertikaian bersenjata di negara itu.
Pertemuan Jenewa membuka peluang lebar bagi penyelesaian politis untuk menghentikan pertikaian bersenjata. Karenanya banyak pihak yang kecewa ketika Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Yaman, Ismail Walad Sheikh Ahmad mengumumkan pada 26 Mei lalu tentang penundaan pertemuan tersebut untuk waktu yang tidak ditentukan.
Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik yakni pemerintahan sah dibawah pimpinan Presiden Abdurrabbu Mansyur Hadi di satu pihak dan kelompok pemberontak Syiah Hautsi dan mantan Presiden Ali Abdullah Saleh di pihak lain sama-sama mengklaim bahwa pihak lawan lah sebagai penyebab penundaan itu.
Pemberontak Syiah Al Hautsi (Al-Houthi) dan kubu mantan Presiden yang masih menguasai sebagian besar angkatan bersenjata Yaman dinilai ”setengah hati” berunding dengan pemerintahan sah. Kedua kubu (Hautsi dan Saleh) yang sebelumnya adalah musuh bebuyutan namun bersekutu menjatuhkan pemerintahan sah ditengarai ingin melanjutkan petualangan militer untuk memaksa masyarakat internasional menerima realita.
Realita dimaksud adalah bahwa Yaman tidak lagi berada dibawah pemerintahan Hadi yang dinilai lemah tanpa dukungan militer, namun negeri itu berada dibawah kekuasaan mantan Presiden Saleh dan sekutunya Hautsi yang unggul secara militer. Namun upaya pemberontak Hautsi (Al-Houthi) dan mantan Presiden Saleh yang pernah berkuasa lebih dari tiga puluh tahun itu dimentahkan oleh Resolusi PBB nomor 2216.
Resolusi tersebut intinya berisi tuntutan kepada pemberontak Hautsi dan Saleh untuk segera mengundurkan diri dari seluruh wilayah yang didudukinya dan mengembalikan semua senjata yang dikuasainya ke pemerintah yang sah. Resolusi ini juga sempat menjadi kendala pertemuan Jenewa tersebut ketika Presiden Mansyur Hadi menuntut Syiah al-Hautsi dan Saleh melaksanakan resolusi itu sebagai pra syarat kesedian pemerintah berunding di Jenewa.
Melihat kebuntuan tersebut, AS yang telah berhasil mencapai kata sepakat dengan Iran terkait program nuklir negeri Persia itu mencoba melakukan terobosan dengan melakukan pertemuan dengan Hautsi di Muscat Oman.
Pertemuan AS dengan Hautsi yang didukungan Iran itu ternyata berjalan lancar sehingga lobi negeri Paman Sam itu berhasil meyakinkan kelompok Syiah ini untuk berunding di Jenewa tanpa syarat.
Kebekuan upaya penyelesaian politis di negeri itu akhirnya mencair karena sebelum Hautsi menerima untuk berunding pemerintahan Hadi juga lebih dahulu menyatakan kesediaan untuk hadir dalam pertemuan Jenewa yang dijadwalkan pada 14 Juni mendatang. Hal ini oleh banyak pengamat dinilai sebagai pembuka jalan bagi Yaman menuju fase politik baru.
Sayangnya persetujuan pihak-pihak bertikai di Yaman untuk bertemu di Jenewa pekan depan tidak serta merta mengurangi tensi perang di negeri itu. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa serangan udara sekutu terus berlanjut, di lain pihak Hautsi dan Saleh meningkatkan aksinya dengan menyerang wilayah perbatasan Arab Saudi yang mereka sebut sebagai balasan atas serangan udara sekutu.
Empat faktor
Terlepas dari situasi perang yang masih berkecamuk, upaya penyelesaian politis yang diprakarsai PBB di Jenewa tersebut perlu mendapat perhatian dan dukungan penuh masyarakat internasional.
Pasalnya kekuatan senjata sulit menjadi penentu penyelesaian damai apalagi dengan kondisi di Yaman yang seluruh warganya memiliki senjata api dan para pemimpin kabilah pun memiliki milisi khusus.
Perlu pula dicatat bahwa operasi militer sekutu pimpinan Saudi ke Yaman intinya bertujuan untuk memaksa pemberontak Hautsi dan Saleh kembali melanjutkan dialog nasional sesuai kesepakatan sebelumnya yang diprakarsai oleh negara-negara Teluk. Serangan sekutu tersebut dilakukan setelah Hautsi dan Saleh secara sepihak melanggar kesepakatan dan menggunakan kekuatan militer menggulingkan pemerintahan sah dan berusaha menguasai Yaman.
Memang banyak pihak di Yaman yang khawatir pertemuan Jenewa tersebut dapat dimanfaatkan Hautsi dan Saleh untuk menyelamatkan diri dengan mengorbankan rakyat Yaman yang mayoritas antipati terhadap keduanya. Namun kali ini Hautsi dan Saleh kelihatannya tidak bisa lagi ”mempermainkan” masyarakat dunia setelah mereka menjadi penyebab utama meletusnya perang saudara di negeri itu.
Setidaknya ada empat faktor yang menyebabkan Hautsi setuju berunding di Jenewa.
Pertama, adalah serangan badai penentuan yang menandai bahwa Saudi dan sekutunya di Teluk dan Arab tidak bisa lagi mentolerir upaya-upaya Iran menguasai negara Arab dengan menanam pengaruhnya lewat milisi bersenjata di Yaman seperti yang dilakukannya di Libanon lewat milisi Syiah Hizbullah.
Faktor kedua, adalah Al-Hautsi dan Saleh beserta pasukannya dianggap berada di luar kerangka legitimasi internasional setelah keluarnya resolusi PBB nomor 2216. Resolusi ini mengisyaratkan bahwa kekuasaan mereka tidak sah dan hanya bersifat sementara sehingga harus segera diakhiri sesuai kehendak rakyat Yaman dan masyarakat internasional.* 
FAKTOR ketiga, adalah terkait dengan mantan Presiden Ali Abdullah Saleh yang telah kehilangan sekutu utamanya di negara-negara Teluk. Upaya Saleh yang telah berkuasa secara otoriter lebih dari tiga dekade di Yaman untuk terus ”bermain api” dinilai sebagai bentuk sikap putus asa karena kehilangan sekutu dan tidak didukung mayoritas rakyat Yaman.
Faktor keempat, yang oleh banyak pengamat dinilai sebagai faktor terpenting adalah mengendornya dukungan Iran terhadap Al-Hautsi. Hal ini disebabkan karena negeri Syiah itu merasa bahwa secara geografis dan sikap internasional, tidak mampu lagi menancapkan pengaruhnya di Yaman dan merasa gagal memanfaatkan milisi Hautsi untuk menggabungkan Yaman dalam kelompok negara Arab loyalis Iran.
Dengan demikian, kendala satu-satunya yang mungkin dapat mengganggu perundingan Jenewa adalah mantan Presiden Saleh. Belum ada kepastian apakah ”singa tua” ini siap berunding untuk mencapai penyelesaian politis atau siap berunding untuk sekedar sarana untuk rehat sejenak sebelum melanjutkan perang.
Sejumlah analis menilai di tangan Seleh lah akan muncul kejutan yang ditunggu-tunggu rakyat Yaman. Beberapa informasi menyebutkan bahwa dia siap mengasingkan diri keluar Yaman yang berarti sebagai kejutan positif karena akan membuka peluang lebar bagi penyelesaian politis.

Atau sebaliknya kejutan buruk, bila dia tetap ingin melanjutkan perang habis-habisan meskipun akan bernasib seperti pendahulunya penguasa Libya, Muammar Kaddafi. Pasalnya bila Saleh menolak ikut serta di Jenewa itu pertanda buruk karena akan terjadi perang lebih dahsyat dengan musuhnya bahkan dengan sekutunya sekarang Hautsi bila Hautsi nantinya mencapai kesepakatan dengan pemerintahan Hadi.

Lebih kondusif
Idealnya semua pihak bertikai di Yaman dapat memanfaatkan pertemuan Jenewa tersebut untuk mencari solusi damai yang diterima semua pihak dan sebagai sarana untuk membahas penerapan resolusi PBB nomor 2216. Pelaksaaan resolusi itu tidak semudah membalik telapak tangan mengingat peliknya situasi di negeri Ratu Bilquis itu.
Barangkali itu sebabnya pemerintahan Mansyur Hadi bersedia berunding di Jenewa tanpa besikukuh agar seterunya melaksanakan terlebih dahulu resolusi tersebut sebagai pra syarat sebelum memutuskan ikut serta. Pertemuan Jenewa adalah tempat yang lebih kondusif untuk membahas masalah tersebut.
Sebagai contoh ketika penerapan resolusi tersebut menyangkut penyerahan semua senjata yang dikuasai Hautsi, tentunya masih terdapat tanda tanya kepada pihak mana senjata diserahkan mengingat mayoritas petinggi militer dan angkatan bersenjata Yaman loyal terhadap mantan Presiden Saleh. Kemudian siapa yang akan mengawasi penyerahan senjata dimaksud.
Lalu pertanyaan selanjutnya, bila Hautsi bersedia mundur ke basisnya di Provinsi Sa`dah pasukan mana yang akan mengisi kekosongan di ibu kota dan daerah-daerah yang ditinggalkannya. Tentunya masalah tersebut secara teknis dan lebih rinci dapat dibahas dalam pertemuan tersebut agar tercapai kesepakatan yang diterima semua pihak.
Situasi di Yaman menjelang pertemuan Jenewa masih menyimpan teka-teki akan kesudahan krisis di negeri itu. Hari-hari mendatang masih menyimpan banyak kejutan, meskipun yang ditunggu-tunggu rakyat dan masyarakat internasional adalah kejutan positif dari kota indah di Swiss itu.* (Ahad, 20 Sya`ban 1436 H).*
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman